KERANGKA NASIONAL PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN TERPADU DI INDONESIA PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN TERPADU - IUWM PENAFIAN (DISCLAIMER) Publikasi ini telah memperoleh dukungan dari Global Water Security & Sanitation Partnership (GWSP). GWSP adalah multidonor trust fund yang dikelola oleh Water Global Practice Bank Dunia dan didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Kementerian Keuangan Federal Austria, Bill & Melinda Gates Foundation, Kementerian Luar Negeri Denmark, Kementerian Luar Negeri Belanda, Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia, Sekretariat Negara untuk Urusan Perekonomian Swiss, Badan Pembangunan dan Kerjasama Swiss, dan Badan Kerjasama Internasional Amerika Serikat. Laporan ini merupakan karya dari karyawan Bank Dunia. Semua temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang diungkapkan dalam volume ini belum tentu mencerminkan pandangan dari Bank Dunia, Dewan Direktur Eksekutifnya, maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak memberikan jaminan atas akurasi data yang dicantumkan dalam karya ini. Batas, warna, denominasi, dan informasi yang ditunjukkan pada peta yang ada dalam karya ini tidak menyiratkan pendangan dari Bank Dunia terkait status hukum dari teritori manapun maupun persetujuan atau penerimaan terhadap batas-batas tersebut. HAK DAN IZIN Materi dalam karya ini dilindungi hak cipta. Karena Bank Dunia mendorong terjadinya penyebarluasan pengetahuannya, hasil karya ini dapat diperbanyak, baik seluruhnya maupun sebagian, untuk tujuan non komersial sepanjang atribusi penuh karya ini diberikan. Pertanyaan lebih lanjut mengenai hak cipta maupun lisensi, termasuk hak turunannya, dapat ditujukan kepada Office of the Publisher, The World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; dengan nomor faksimili: 202-522-2422; dan alamat surat elektronik: pubrights@worldbank.org. Semua foto oleh Irma Setiono UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini merupakan hasil Studi Menuju Ketahanan Air dan Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia (Indonesia Towards Water Security and Integrated Urban Water Management Study), yang lahir dari kepentingan bersama dan kemitraan jangka panjang antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia dalam menangani kompleksitas permasalahan air perkotaan di Indonesia. Laporan ini telah diperkaya dengan berbagai masukan yang diperoleh pada tahap perencanaan, pengumpulan data, dan analisis, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat dan daerah. Pendekatan yang runut dan kolaboratif yang diterapkan dalam laporan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan ketahanan air jangka pendek maupun panjang yang dihadapi berbagai instansi yang memiliki peran tata kelola yang kompleks dan tanggung jawab berbagai skala. Studi ini diselenggarakan dan difasilitasi oleh Kantor Bank Dunia di Indonesia bersama Water Global Practice, berkolaborasi dengan Institute for the Public Understanding of Risk (IPUR), National University of Singapore. Tim penulis bermaksud menyampaikan penghargaan atas dukungan yang diperoleh dari Satu Kristiina Kahkonen (Country Director untuk Indonesia), Jennifer Sara (Water Global Practice Director), Benoit Bosquet (Sustainable Development Director for East Asia Pacific), dan Sudipto Sarkar (Water Practice Manager for East Asia Pacific). Studi ini telah melalui proses peer review dari Diego Rodriguez, Fook Chuan Eng, Marcus Wishart, dan Marcus Lee. Sepanjang pelaksanaan studi ini tim telah mendapatkan masukan dan bimbingan dari Gustavo Saltiel, Eileen Burke, Martin Gambrill, dan Lizmara Kirchner. Studi ini juga telah diperkaya dengan masukan yang diperoleh dari tim Water Security Diagnostic, di antaranya dari Abedalrazq Khalil, Jennifer M. Gulland, Tarasinta Perwitasari, Jun Matsumoto, dan Ilham Abla. Studi ini telah dipimpin oleh Task Team Leader Irma Magdalena Setiono (Senior Water Supply and Sanitation Specialist). Penelitian dan penulisan laporan dilakukan oleh Olivia Jensen (Lead Scientist, IPUR, National University of Singapore), Adilah Khalis (Research Associate, IPUR, National University of Singapore), Micah Fisher (Planning and Policy Consultant), Urban El-Fatih Bani Adam (Spatial Analysis Consultant), Arief Mulya Ramadhian (Institutional and Governance Consultant), dan Achmad Firas Khudi (Consultant). Studi ini tidak akan terselenggara tanpa kontribusi pendanaan dari Global Water Security and Sanitation Partnership (GWSP), Local Services Delivery Trust Fund yang didukung oleh United States Agency for International Development (USAID), dan Indonesia Sustainable Urbanization (ID-SUN) Trust Fund yang didukung oleh Switzerland State Secretariat for Economic Affairs (SECO). a national framework for integrated urban water management in indonesia DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN iv RINGKASAN EKSEKUTIF vi 1 Pendahuluan 1 2 Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu 4 2.1 Gambaran Umum IUWM 4 2.2 Kerangka IUWM 6 2.3 Intervensi IUWM 8 3 Pengalaman Internasional terkait IUWM 12 3.1 Gambaran Umum 12 3.2 Evaluasi Manfaat Proyek IUWM Internasional 13 3.3 Kasus dan Pengalaman yang Diperoleh 15 4 Peluang dan Tantangan bagi IUWM di Indonesia 19 4.1 Masalah Ketahanan Air sebagai Pendorong Adopsi IUWM 19 4.2 Peraturan perundang-undangan 21 4.2.1 Undang-undang 21 4.2.2 Regulasi 22 4.3 Tata Kelola dan Kelembagaan 23 4.3.1 Fragmentasi dalam tata kelola spasial dan wilayah metropolitan 24 4.3.2 Partisipasi sektor swasta 27 4.4 Perencanaan dan Implementasi 28 4.4.1 Sasaran 28 4.4.2 Proses perencanaan 29 4.4.3 Evaluasi Kinerja 30 4.5 Pengelolaan Informasi 31 4.6 Pembiayaan 32 i Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 5 Pengalaman IUWM di Indonesia 35 5.1 Inisiatif Pemerintah 35 5.1.1 Langkah dan intervensi saat ini 35 5.1.2 Kerja sama lintas daerah di wilayah metropolitan 36 5.1.3 Inisiatif Kerja sama 38 5.2 Kemitraan dengan Sektor Swasta 39 6 Rekomendasi Kerangka Nasional 41 6.1 Rekomendasi 41 6.2 Penutup 56 Referensi 57 Lampiran 65 Lampiran 1: Contoh Kasus 65 Lampiran 1.1: Contoh Internasional 66 Lampiran 1.2: Contoh dalam Negeri 72 Lampiran 2: Contoh Manfaat IUWM dan Relevansi untuk Indonesia 76 Lampiran 3: Sasaran terkait Air Bersih di RPJMN 2020–2024 78 Lampiran 4: Berbagai Rencana terkait IUWM 79 Lampiran 5: Indikator Kinerja Ketersediaan Air 81 Lampiran 6: Referensi IUWM Terkait: Bank Dunia 83 Lampiran 7: Referensi IUWM Terkait: Sumber Eksternal 84 Daftar Tabel Tabel 1 : Rentang Biaya Batas Bawah Indikatif bagi Intervensi IUWM 9 Tabel 2 : Estimasi Biaya-manfaat (Cost-Benefit) Proyek IUWM 14 Tabel 3 : Ringkasan pengalaman IUWM internasional 16 Tabel 4 : Kerangka Rekomendasi Implementasi IUWM 44 Tabel 5: Intervensi IUWM untuk Indonesia 51 Tabel 6: Peta Jalan: Kerangka Implementasi 51 Tabel 7: Peta Jalan: Intervensi 51 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia ii Daftar Gambar Gambar 1: Elemen Sistem Air Perkotaan yang Saling Terkait 5 Gambar 2: Kerangka Nasional IUWM untuk Indonesia 8 Gambar 3: Keterkaitan antara Tantangan Air Perkotaan dan Non Perkotaan dan Intervensi IUWM yang Bermanfaat 10 Gambar 4: Tata Kelola Air Perkotaan di Indonesia 25 Daftar Kotak Kotak 1: Klasifikasi Kota di Indonesia 6 Kotak 2: Kerangka Implementasi: Langkah Prioritas yang Mendesak 49 Kotak 3: Intervensi: Langkah Prioritas yang Mendesak 50 iii Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia DAFTAR SINGKATAN Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional B2B Business to business BPPSPAM Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum BKSP Badan Kerja Sama Pembangunan BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana BOT Build-Operate-Transfer (Bangun-Guna-Serah) BUMD Badan Usaha Milik Daerah CCFI Coca-Cola Foundation Indonesia CEW China Everbright Water CSR Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) DAK Dana Alokasi Khusus DKI Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta GDP Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto, PDB) GIS Geographic Information System (Sistem Informasi Geografis) IIGF Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, PT PII) IUWASH PLUS Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (Penyehatan Lingkungan Untuk Semua proyek USAID) IUWM Integrated Urban Water Management (Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu) IWRM Integrated water resources management (Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu) JICA Japan International Cooperation Agency KEMATR/BPN Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kemendagri Kementerian Dalam Negeri KEMENESDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENKES Kementerian Kesehatan KEMENKEU Kementerian Keuangan KemenPUPR Kementerian Pekerjaan Umum and Perumahan KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MAR Managed aquifer recharge (Pengelolaan Pengisian Sumber Daya Air) MOU Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) MSS Minimum service standard (Standar Pelayanan Minimal, SPM) NGO Non-governmental organization (Lembaga Swadaya Masyarakat, LSM) NRW Non-revenue water (Air Tak beRekening/ATR) NUDP National Urban Development Project (Proyek Pembangunan Perkotaan Nasional) Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia iv NUWAS National Urban Water Supply Framework (Kerangka Nasional Pembangunan Air Minum Perkotaan) O&M Operation and maintenance (Operasional dan Pemeliharaan) PDAM Perusahaan Daerah Air Minum PD PAL Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah PES Payment for ecosystem services (Pembayaran Jasa Lingkungan) PPP Public Private Partnership (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha, KPBU) PSP Private sector participation (Partisipasi Sektor Swasta) RBO River Basin Organization (Organisasi Pengelola Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai) RDTR Rencana Detail Tata Ruang RISPAM Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah SCADA Supervisory Control and Data Acquisition (Pengendalian dan Perolehan Data) SISDA Sistem Informasi Sumber Daya Air SOE State-Owned Enterprise (Badan Usaha Milik Negara, BUMN) SWRO Seawater reverse osmosis (Osmosis Terbalik Air Laut) TKPPN Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan Nasional UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah USAID United States Agency for International Development WIMS Water Information Management System (Sistem Informasi Pengelolaan Air Bersih) WSS Water supply and sanitation (Air Bersih dan Sanitasi) WTP Water treatment plant (Instalasi Pengolahan Air, IPA) WWTP Wastewater treatment plant (Instalasi Pengolahan Air Limbah, IPAL) v Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia RINGKASAN EKSEKUTIF Masalah ketahanan air bersih merupakan ancaman utama yang dihadapi berbagai kota di Indonesia, dan berdampak pada stabilitas ekonomi, kualitas lingkungan hidup, kehidupan sehari- hari dan kesejahteraan masyarakat. Banyak kota kini tengah menghadapi tantangan terkait situasi ketahanan air yang parah dan saling berkaitan. Pada umumnya kota-kota tersebut menghadapi masalah terbatasnya akses terhadap layanan sanitasi dan air bersih, berkurangnya ketersediaan dan turunnya kualitas air tanah dan permukaan, banjir yang kerap terjadi, dan di beberapa daerah, terjadi penurunan muka tanah yang serius. Hal ini menyebabkan tingginya risiko terhadap kesehatan, keamanan, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Sebagai dampak desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia memiliki wewenang untuk memainkan peran utama dalam perencanaan dan pengelolaan air. Namun, fragmentasi dalam tata kelola sumber daya dan proses perencanaan yang kurang terkoordinasi telah menjadi hambatan dalam melakukan identifikasi dan menerapkan solusi terpadu di tingkat daerah. Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (IUWM) merupakan pendekatan kebijakan, perencanaan dan pengelolaan air untuk perkotaan dan daerah sekitarnya. Berdasarkan pendekatan IUWM, semua sumber daya air, tahapan dalam siklus air, dan pemanfaatan air, dan perlindungan lingkungan air perkotaan dapat dikoordinasikan dengan mempertimbangkan kondisi dan prioritas setempat. IUWM merupakan suatu kerangka – yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, tata kelola dan kelembagaan, perencanaan dan pelaksanaan, dan pengelolaan informasi dan pembiayaan – yang mendukung rancangan dan penerapan intervensi dan proyek IUWM tertentu dengan skala yang tepat. Evaluasi terhadap manfaat IUWM merupakan tantangan tersendiri, karena adanya manfaat tambahan non-ekonomi seperti kualitas hidup, kesetaraan dan keanekaragaman hayati yang lebih baik. Meski demikian, sebagian besar kajian terdahulu terkait cost-benefit IUWM menunjukkan adanya dampak sosial dan lingkungan hidup yang positif. Pendekatan IUWM telah berhasil diterapkan berbagai kota di dunia, terutama kota-kota yang menghadapi masalah ketahanan air dan keterbatasan sumber daya. Beberapa contoh telah diuraikan pada Bab 3, termasuk pembersihan sungai (Singapura), upaya pengelolaan permintaan (Zaragoza City), dan mitigasi penurunan muka tanah (Tokyo). Beberapa contoh dilakukan sebelum istilah “IUWM” dikenal namun telah mencerminkan semangat pengelolaan masalah terkait air dan lingkungan hidup di perkotaan melalui satu paket tindakan terpadu. Bagi kota-kota di Indonesia, IUWM merupakan pendekatan yang tepat dan menarik karena beberapa alasan. Pertama, banyak kota di Indonesia menghadapi tantangan air yang sifatnya lintas bidang – akses layanan air bersih dan sanitasi yang terbatas dan tidak merata, banjir, kualitas lingkungan Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia vi air yang buruk, pemukiman kumuh, penurunan tanah – yang diperparah oleh perubahan iklim. Semua ini menjadikan IUWM sebagai pendekatan yang tepat, karena kerangka ini memasukkan elemen air dan non-air di perkotaan ke dalam pengelolaan air perkotaan dan menerjemahkannya menjadi intervensi di lapangan. Kedua, pendekatan tradisional yang berfokus pada infrastruktur belum dapat mengatasi tantangan air perkotaan yang ada saat ini. Berbagai permasalahan tersebut menuntut diterapkannya paket intervensi kebijakan dan pengelolaan data yang lebih komprehensif, dan kemitraan antara pemangku kepentingan pemerintah dan swasta. Ketiga, beberapa undang- undang dan peraturan terkait sumber daya air mengalami perubahan, yang memberikan peluang bagi nilai-nilai IUWM ditanamkan dalam regulasi untuk menciptakan kerangka pengampu bagi intervensi IUWM. Beberapa regulasi yang tengah direvisi di antaranya Undang-undang No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah No. 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Pemerintah No. 18/2018 tentang Kerja Sama Daerah. Terakhir, berdasarkan konsultasi bersama para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan dari pemerintah pusat dan daerah, terdapat minat terhadap IUWM sebagai kerangka pengelolaan air dan intervensi IUWM secara langsung. Meski demikian, kota-kota di Indonesia menghadapi beberapa tantangan dalam menerapkan IUWM. Hal ini dianalisis pada Bagian 4 dari laporan ini, yang terbagi menjadi lima kategori kerangka IUWM: peraturan perundang-undangan, tata kelola dan kelembagaan, perencanaan dan pelaksanaan, dan pengelolaan informasi dan pembiayaan. Dari sisi peraturan perundang-undangan, Undang-undang No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air menyediakan dasar yang kuat bagi pelaksanaan IUWM. Undang-Undang ini mengamanatkan kewajiban instansi pemerintah terkait sumber daya air; meskipun, masih terdapat ambiguitas dalam pelaksanaan peraturan tersebut pada beberapa aspek pengelolaan air, termasuk air tanah, kualitas air permukaan, dan pengelolaan air limpasan hujan. Selain itu, pertimbangan air sering tidak diakomodasi dalam regulasi non-air – terutama regulasi bangunan dan pemukiman serta kawasan industri, yang merupakan komponen penting dalam tata kota dan berdampak pada pengelolaan air. Misalnya, peraturan-peraturan tersebut dapat menentukan standar terkait limpasan permukaan (surface runoff ) dan ketersediaan layanan air bersih dan sanitasi. Tata kelola air di Indonesia masih mengalami fragmentasi. Peta tata kelola air di Indonesia (gambar 4) yang ditampilkan pada Bab 4 laporan ini menunjukkan adanya fragmentasi horizontal lintas sub-sektor air; fragmentasi vertikal antar berbagai tingkatan pemerintah; dan fragmentasi spasial antara berbagai yurisdiksi administratif. Pembagian wewenang perlu diperjelas, disertai dengan peningkatan mekanisme dan insentif untuk koordinasi dan kerja sama, tanpa melalui restrukturisasi radikal. Saat ini, pemerintah pusat berperan sebagai penyedia infrastruktur bagi pemerintah daerah, meniadakan insentif bagi pemerintah daerah untuk melakukan optimasi dan pemeliharaan infrastruktur, maupun bermitra dengan daerah di sekitarnya. Hubungan tersebut dapat ditingkatkan dengan transisi pemerintah pusat agar lebih banyak memainkan peran pembinaan, menyediakan tidak hanya pendanaan namun juga koordinasi, pengawasan, dan penerapan regulasi dalam lingkup vii Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia kebijakan desentralisasi. Di berbagai kota di Indonesia dengan sumber daya yang terbatas, kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) merupakan pilihan yang dapat diambil namun sifatnya masih terbatas pada jenis kontrak tertentu terkait dengan infrastruktur distribusi air bersih. Terdapat peluang untuk mengkaji regulasi dan proses KPBU menggunakan berbagai jenis kontrak, seperti kontrak berbasis kinerja atau kontrak jasa tanpa pengalihan kepemilikan hak atas sumber daya air. Perencanaan dan implementasi proyek air bersih dipengaruhi oleh target, proses perencanaan, dan evaluasi kinerja instansi pemerintah terkait air bersih. Target jangka menengah tingkat pusat merupakan dasar bagi pemerintah daerah dalam menyusun target dan perencanaan. Target ini sering diikuti dengan rencana langkah prioritas untuk rehabilitasi daerah aliran sungai yang rusak dan kawasan perkotaan yang semakin luas. Meski demikian, target-target tersebut sangat ambisius dan jarang tercapai. Dokumen dan proses perencanaan kurang terkoordinasi di antara instansi pemerintah yang mengelola penyediaan air, sanitasi, drainase, tata guna lahan, sampah, dan transportasi, meskipun terdapat keterkaitan dan ketergantungan antar sektor. Dokumen perencanaan terbit dalam waktu dan jadwal yang berbeda, tanpa mekanisme untuk memastikan konsistensi. Sebagian dokumen perencanaan tidak selalu memuat proyeksi jumlah penduduk dan permintaan yang akurat. Terdapat berbagai indikator kinerja ketersediaan air yang dapat mendukung pendekatan IUWM, namun terkendala akibat kurang memadainya protokol pengelolaan data dan informasi. Karena insentif dan standardisasi pengumpulan dan pelaporan data masih kurang, data di lintas sektor air di berbagai kota di Indonesia masih kurang lengkap atau kurang konsisten. Dari sisi sumber daya air, jumlah pos pemantauan masih sedikit, dan frekuensi pengambilan data kualitas air permukaan dan air tanah masih kurang, yang menghambat efektivitas perumusan kebijakan. Jika data tersedia (misalnya, data dampak banjir), keandalan dan akurasi data dapat diragukan karena ada perbedaan dalam metode kalkulasi yang kurang terbuka. Sistem Informasi Sumber Daya Air (SISDA) merupakan upaya pemerintah dalam mengelola data, namun masih belum diperbarui dan dikelola secara aktif. Pembiayaan untuk proyek air bersih dan sanitasi sebagian besar diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sehingga dapat memberi insentif bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi pendekatan dan proyek IUWM. Kerangka pembiayaan berbasis kinerja untuk penyediaan air bersih baru-baru ini telah memberikan insentif bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk meningkatkan kinerja operasionalnya. Pemerintah daerah berpeluang untuk mengakses sumber pembiayaan dari lembaga pendanaan pembangunan, pendapatan daerah, kemitraan dengan daerah sekitarnya, dan dengan melibatkan sektor swasta. Meski dengan tantangan tersebut, beberapa inisiatif cukup selaras dengan prinsip-prinsip IUWM yang ada di Indonesia (baca Bab 5). Sebagian inisiatif merupakan inisiatif di dalam dan antar pemerintah daerah; sebagian yang lain merupakan kerja sama pemerintah dan badan usaha swasta. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia viii Inisiatif intra daerah mencakup proyek biru-hijau berskala kota seperti sumur resapan, hutan kota, dan kebijakan untuk pengelolaan air limpasan. Inisiatif antar daerah mencakup kerja sama antar zona administratif (khususnya di kawasan metropolitan, seperti Jabodetabek dan Kartamantul) dan perjanjian pembayaran jasa lingkungan (PES) antara daerah hulu dan hilir. Perusahaan swasta, terutama yang bergantung pada sumber daya air, telah terlibat melalui proyek tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pengembang properti swasta telah menerapkan proyek biru-hijau yang juga meningkatkan daya tarik properti mereka. Meski inisiatif IUWM tersebut telah berhasil dalam beberapa tingkatan, mereka menawarkan pelajaran dan motivasi penerapan IUWM di seluruh kota di Indonesia. Kerangka Nasional IUWM diperlukan untuk memberikan dasar wewenang, insentif, dan kapasitas bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi IUWM sebagai pendekatan utamanya. Pemerintah pusat sebaiknya memimpin dalam membangun kerangka implementasi untuk IUWM. Tindakan yang sebaiknya menjadi prioritas adalah menanamkan prinsip dan praktik IUWM dalam peraturan pelaksana Undang-undang Sumber Daya Air 2019 dan dalam peraturan baru untuk wilayah metropolitan yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam jangka menengah, pemerintah pusat sebaiknya menyediakan panduan pelaporan, tolok ukur, dan mekanisme dukungan keuangan untuk memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk menerapkan IUWM. Program berjalan yang sudah konsisten dengan pendekatan IUWM, seperti NUWAS dan Sanitasi Perkotaan yang Inklusif, sebaiknya diteruskan dan diperluas. Dengan konteks sistem otonomi daerah Indonesia, pemerintah daerah sebaiknya memimpin perencanaan dan pelaksanaan prinsip-prinsip dan proyek IUWM. Mereka sebaiknya segera memulai dengan mengkoordinasikan perencanaan air minum, tata ruang, dan sektor perkotaan lainnya untuk menghindari penerusan praktik yang kurang efisien, dan sebaiknya memulai langkah kolaboratif dengan daerah di sekitarnya jika memang diperlukan. Bank Dunia dan mitra pembangunan lain berperan dalam menyebarluaskan pengetahuan terkait IUWM di antara pemerintah daerah dan mengidentifikasi peluang untuk menerapkan IUWM dalam proyek perkotaan dan air bersih yang ada. Dalam jangka panjang, struktur keuangan yang sesuai kebutuhan dapat dikembangkan untuk mendukung pemerintah daerah dalam merancang dan melaksanakan IUWM. Dengan meningkatnya ancaman dari perubahan iklim, IUWM sebaiknya mencakup upaya mitigasi dan prinsip pengelolaan lingkungan hidup lainnya, termasuk efisiensi energi dan ekonomi sirkular untuk sistem penyediaan air. ix Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Pendahuluan a na tional frame wo rk f or inte gr ated urban w ater man ag ement in indonesia 1. PENDAHULUAN Masalah ketahanan air di Indonesia memiliki dampak biaya yang besar terhadap masyarakat, perekonomian, dan lingkungan hidup (Bank Dunia, segera terbit). Dampak biaya ini disebabkan oleh kawasan kota besar yang semakin luas, yang menghadapi tantangan yang saling terkait dalam hal sumber daya air, penyediaan layanan air bersih dan sanitasi, pengendalian banjir, dan perlindungan lingkungan air. Saat ini, pengelolaan air di Indonesia masih mengalami fragmentasi lintas batas wilayah administrasi dan antara berbagai elemen di sektor air. Saling keterkaitan antara air dan tata ruang, penanggulangan risiko bencana, dan pengelolaan sampah sering kurang dipertimbangkan, dan berakibat peluang penyelesaian masalah secara efisien dan efektif menjadi berkurang. IUWM merupakan pendekatan terhadap kebijakan, perencanaan, dan pengelolaan air perkotaan yang telah diakui. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan di berbagai kota di seluruh dunia namun belum dikenal luas oleh pemerintah daerah di Indonesia. Pendekatan ini mencakup kerangka peraturan perundang-undangan, tata kelola dan kelembagaan, perencanaan dan pelaksanaan, dan pengelolaan informasi dan pembiayaan. Bersama-sama, semua bidang tersebut mendukung berbagai skala intervensi dan proyek IUWM, yang dapat disesuaikan dengan prioritas dan kapasitas pemerintah setempat. Laporan ini berfokus pada potensi IUWM untuk mengatasi tantangan ketahanan air yang cukup berat dan saling terkait yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia. Laporan ini: • Melakukan asesmen terhadap relevansi IUWM di Indonesia • Melakukan identifikasi peningkatan dan pembaruan pendekatan IUWM dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan saat ini • Mengkaji kelayakan IUWM untuk konteks Indonesia dan menguraikan hambatan dalam penerapannya • Mempertimbangkan minat terhadap IUWM – terkait dengan pengetahuan dan dukungan untuk IUWM di antara para pembuat kebijakan di tingkat pusat dan daerah • Memberikan rekomendasi serangkaian langkah yang dapat diambil di tingkat pusat untuk mendukung diterapkannya pendekatan IUWM di Indonesia Laporan ini tidak menyajikan analisis ekonomi dari intervensi IUWM. IUWM dipandang sebagai suatu pendekatan dan bukannya serangkaian langkah yang sifatnya tetap. Setelah prioritas dan kondisi pemerintah setempat sudah dikaji, langkah IUWM tertentu dapat dipilih dan penilaian biaya- manfaat (cost benefit) dapat dilakukan. Dalam menyajikan IUWM secara menyeluruh dan potensinya untuk Indonesia, laporan ini bertujuan: 1 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia • Memberikan informasi IUWM kepada pembuat kebijakan di tingkat nasional dan daerah di Indonesia • Merumuskan peta jalan reformasi dalam kerangka hukum, peraturan, kebijakan, dan perencanaan untuk mendukung adopsi IUWM • Melalui Panduan Praktis untuk Perkotaan dan materi pelengkap lain, melibatkan pemerintah daerah terkait IUWM dan menyampaikan langkah awal yang dapat ditempuh dalam transisi menuju IUWM • Meletakkan dasar untuk asesmen isu ketahanan air perkotaan yang lebih rinci untuk kota- kota tertentu, dan dasar kajian potensi intervensi IUWM dalam mengatasinya Di luar Indonesia, laporan ini mungkin bermanfaat bagi negara-negara berkembang berpendapatan menengah untuk memperkuat pengelolaan air perkotaan mereka. Data untuk laporan ini diperoleh dari: kajian pustaka akademik dan studi kasus internasional terkait IUWM; analisis undang-undang, regulasi, dokumen perencanaan, dan data primer untuk pengelolaan air perkotaan di Indonesia; dan berbagai lokakarya curah gagasan dan konsultasi bersama pejabat pemerintah dan pemangku kepentingan lain terutama di Jabodetabek pada 2019- 2020. Metode pengumpulan dan analisis data diuraikan secara rinci dalam laporan terpisah, Jalur Menuju Pengelolaan Air Terpadu Perkotaan untuk Jabodetabek. Bagian berikutnya dari laporan ini memperkenalkan IUWM sebagai suatu pendekatan, membedakan antara kerangka yang diperlukan untuk mendukung penerapannya dan proyek dan intervensi yang berada di bawah payung IUWM. Bagian 3 menyajikan contoh kasus IUWM dari berbagai belahan dunia dan mengambil pelajaran yang relevan untuk Indonesia. Bagian 4 mengulas pendorong dan penghambat adopsi IUWM di Indonesia, sementara Bagian 5 menggambarkan pengalaman intervensi skala kecil di Indonesia yang selaras dengan IUWM yang dapat direplikasi atau diperluas. Bagian 6 memberikan serangkaian rekomendasi. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 2 Pengelolaan 2. Air Perkotaan Terpadu (IUWM) 2. PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN TERPADU (IUWM) 2.1 Gambaran Umum IUWM Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (IUWM) merupakan suatu pendekatan di mana pembangunan dan pengelolaan semua sumber air (tanah, permukaan, limpasan hujan, daur ulang, desalinasi, dsb.), semua tahapan siklus air (pengelolaan sumber daya, pengolahan, dan distribusi, dan pengumpulan air limbah, pengolahan, dan pembuangan), semua pemanfaatan air bersih dan sumber permintaan, dan perlindungan lingkungan hidup dan ekologi air yang terpadu, dengan mempertimbangkan karakteristik setempat. Selain itu, pendekatan IUWM menyiratkan perlunya koordinasi horizontal antara sektor air minum dan sektor infrastruktur perkotaan dan bidang kebijakan lainnya, termasuk perumusan tata ruang, pengelolaan sampah, dan penanggulangan bencana, untuk memastikan bahwa kebijakan dan perencanaan di bidang-bidang ini telah seluruhnya mempertimbangkan dampak terhadap air perkotaan. Pendekatan IUWM tidak menggantikan analisis masing-masing bidang kebijakan tersebut, namun ditujukan untuk memanfaatkan dan melengkapi analisis setiap sektor dengan menggabungkan seluruhnya ke dalam perencanaan perkotaan untuk pemanfaatan sumber daya yang lebih efisien dan penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih efektif. Lingkup IUWM digambarkan pada Gambar 1. Lingkaran terdalam menggambarkan koordinasi di dalam siklus air, sementara lingkaran luar menggambarkan hubungan dengan sektor lain yang berinteraksi dengan sistem air perkotaan. IUWM dapat dianggap sebagai penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources management (IWRM)) di tingkat kota, yakni suatu kerangka yang telah diadopsi oleh pemerintah di seluruh kawasan dan semua tingkatan pembangunan ekonomi. IUWM, serupa dengan IWRM, bertujuan memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara seimbang tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem penting (GWP 2000). IUWM dapat diterapkan pada berbagai skala, dari wilayah metropolitan dengan berbagai badan sungai yang berbeda hingga pemukiman atau pembangunan suatu properti. Sebagai pendekatan pengelolaan yang fleksibel, IUWM dapat disesuaikan dengan semua kategori di Indonesia, dari wilayah metropolitan melintasi dua wilayah administratif atau lebih, hingga kota kecil yang tumbuh pesat yang memulai pembangunan infrastruktur perkotaan (baca Kotak 1). Selain koordinasi horizontal lintas sektor dalam satu pemerintahan, IUWM juga memerlukan koordinasi vertikal antara pemerintah pusat, daerah, dan pemerintah setempat, dan antara daerah administratif hulu dan hilir dalam suatu wilayah metropolitan. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 4 Gambar 1: Elemen Sistem Air Perkotaan yang Saling Terkait Sumber: Pengembangan oleh penulis, diadaptasi dari Bank Dunia 2016. 5 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kotak 1: Klasifikasi Kota di Indonesia Peraturan Pemerintah No. 26/2008 membagi kota di Indonesia menjadi empat kategori berdasarkan jumlah penduduk, sesuai uraian berikut. Beberapa kota, termasuk Jakarta, Surabaya dan sekitarnya digolongkan sebagai wilayah metropolitan karena merupakan kota utama yang dikeliling oleh kota-kota satelit. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang maksimal, IUWM menekankan efisiensi, mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan prasarana yang tersedia dan meningkatkan efektivitas intervensi struktural dan non-struktural melalui koordinasi. IUWM bersifat fleksibel, adaptif, dan partisipatif. Salah satu ciri utamanya adalah pelibatan pemangku kepentingan dari masyarakat sipil dan sektor swasta dalam pembuatan keputusan. Pada beberapa contoh, kota-kota mengadopsi IUWM setelah mengalami krisis air yang cukup berat, seperti kemarau panjang atau banjir yang parah, yang mendorong para pemangku kepentingan untuk mengkaji pengaturan tata kelola yang luas dan mempertimbangkan opsi- opsi kebijakan inovatif. Idealnya, IUWM diadopsi sebagai strategi pencegahan untuk mengatasi masalah ketahanan air, mengurangi risiko di masa mendatang. 2.2 Kerangka IUWM Sementara rancangan dan pelaksanaan intervensi atau proyek IUWM pada umumnya dilakukan di tingkat perkotaan, dan suatu kerangka nasional diperlukan untuk mendukung pemerintah kota dalam mengadopsi IUWM. Seperti yang terlihat di Gambar 2, yang menguraikan kerangka intervensi dengan fokus utama mengatasi kelangkaan sumber daya air – yang menjadi prioritas yang semakin penting di wilayah metropolitan. Kerangka ini mencakup lima bidang: (1) peraturan perundang-undangan; (2) tata kelola; (3) perencanaan dan pelaksanaan; (4) pengelolaan informasi; dan (5) pembiayaan. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 6 Peraturan perundang-undangan: Kerangka hukum terkait isu air (norma, standar, prosedur, kriteria) harus sejalan dengan IUWM. Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya meletakkan dasar bagi moda penyelenggaraan layanan air dan sanitasi, alokasi dan pengelolaan sumber daya air, dan perlindungan lingkungan hidup. Mereka juga meletakkan dasar koordinasi antar wilayah dan tingkatan pemerintah, dan mereka menentukan lingkup partisipasi sektor swasta. Undang-undang dan peraturan dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menentukan standar minimum, seperti peningkatan penyediaan air melalui perpipaan, dan membatasi praktik yang kurang ramah lingkungan, seperti pengambilan air tanah. Kerangka hukum yang menerapkan prinsip IWRM biasanya selaras dengan IUWM, namun tidak selamanya memadai untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi IUWM. Tata kelola dan kelembagaan: Peran dan tanggung jawab aktor pemerintah dan non- pemerintah harus dialokasikan dengan jelas, kekosongan diisi, dan tumpang tindih dikurangi. Kerangka tata kelola harus dapat menyediakan mekanisme untuk memberikan insentif dan meningkatkan kerja sama antar sektor dan daerah. Meskipun hukum di Indonesia memberikan 1 kewenangan bagi kerja sama daerah untuk bidang tata kelola dan pengelolaan yang penting (termasuk ketersediaan air, pengelolaan daerah aliran sungai, dan tata ruang), di beberapa wilayah metropolitan wewenang ini kurang dimanfaatkan. Tata aturan dan mekanisme diperlukan untuk mendorong kerja sama dengan sektor swasta dan untuk memungkinkan partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses pembuatan keputusan. Fragmentasi kelembagaan, baik horizontal maupun vertikal, dapat menjadi penghambat implementasi IUWM, karena setiap dinas memiliki kepentingan, atau dapat mempengaruhi pengelolaan air. Dinas-dinas tersebut di antaranya berwenang atas air minum, sanitasi, banjir, sampah, tata ruang, perubahan iklim, lingkungan hidup dan kesehatan. Perencanaan dan pelaksanaan: Proses perencanaan merupakan bagian penting dari IUWM dan lebih dari sekadar proses perencanaan yang biasa selama ini. Dalam koordinasi lintas sektor, wilayah, dan tingkat pemerintah, perencanaan dapat menjaga agar sumber daya dikelola demi efisiensi dan efektivitas investasi yang maksimal. Dengan perubahan iklim yang meningkatkan ancaman terhadap lingkungan hidup, perencanaan adaptasi dan mitigasi jangka panjang juga penting. Prinsip efisiensi energi dan ekonomi sirkular sangat relevan bagi IUWM. Sektor lain juga harus mempertimbangkan air dalam proses perencanaannya – terutama dalam perencanaan tata ruang. Meski manfaat dari perencanaan tata ruang yang sensitif air dapat melampaui biaya-biaya tambahan yang mungkin muncul (baca bagian 3.2), perhatian terhadap masalah air belum dipertimbangkan oleh berbagai daerah. Pengelolaan informasi: Ketersediaan dan kualitas data merupakan faktor penting dalam fasilitasi dan peningkatan perencanaan IUWM. Data statistik dan spasial diperlukan untuk melakukan visualisasi dan analisis tren geografis dan untuk merumuskan solusi IUWM. Dengan 1 Peraturan Pemerintah No. 28/2018 7 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia demikian terdapat kebutuhan dalam mengidentifikasi indikator untuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi berbagai outcome air dan non-air terkait. Indikator-indikator ini dapat mendorong para perencana dan pembuat kebijakan untuk dapat memahami isu air bersih secara lebih menyeluruh. Pembiayaan: Pembiayaan IUWM merupakan pertimbangan yang penting, terutama di kota dan negara dengan sumber daya terbatas. Untuk mendukung IUWM, pemerintah dapat mempertimbangkan diversifikasi sumber pembiayaan, menerapkan mekanisme berbagi biaya, dan pelibatan sektor swasta. Gambar 2: Kerangka Nasional IUWM untuk Indonesia 2.3 Intervensi IUWM Dengan adanya kerangka yang kuat, para pemangku kepentingan setempat dapat merancang dan menerapkan intervensi IUWM. Intervensi yang dapat dilakukan cukup beragam, dan kesesuaiannya akan bergantung pada jenis tantangan penyediaan air yang dihadapi dan ketersediaan sumber daya di lokasi tertentu. Di sini, kami menyediakan contoh untuk menggambarkan tampilan IUWM “di lapangan.” Contoh-contoh ini sebaiknya tidak dianggap sebagai suatu keharusan. Satu kota tidak diharapkan untuk menerapkan semua intervensi tersebut. Namun, daftar ini merupakan menu bagi setiap kota untuk mengidentifikasi paket intervensi yang sesuai. Rentang minimum biaya telah disebutkan untuk masing-masing (baca tabel 1). Biaya investasi akan beragam bergantung skala, teknologi, parameter desain, dan kondisi lokal. Bagian 3.2 menguraikan biaya ekonomi dan manfaat IUWM. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 8 Tabel 1: Rentang Minimum Biaya Indikatif bagi Intervensi IUWM Banyak dari intervensi tersebut dapat membantu mengatasi berbagai tantangan sekaligus dan memberikan hasil yang bermanfaat bagi lingkungan perkotaan – misalnya, dengan meningkatkan ruang hijau yang berpori atau meningkatkan kualitas sungai. Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada contoh berikut, langkah IUWM tidak selamanya dipimpin oleh para pelaku di sektor air. Instansi lain tersebut di antaranya adalah instansi yang bertanggung jawab atas tata ruang, adaptasi perubahan iklim, pengendalian risiko bencana, perhubungan, atau perlindungan lingkungan hidup. Dalam IUWM, para pembuat keputusan di berbagai bidang kebijakan perlu memastikan bahwa tindakan mereka tidak merugikan sektor lain, dan sedapat mungkin mencari solusi bersama terkait masalah dengan kerugian atau manfaat yang beririsan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. 9 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Gambar 3: Keterkaitan Pembangunan Perkotaan dan Intervensi IUWM yang Bermanfaat Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Catatan: Tantangan digambarkan sebagai kotak berwarna. Intervensi IUWM diwakili oleh lingkaran. 10 3. PENGALAMAN INTERNASIONAL TERKAIT IUWM 3.1 Gambaran Umum Berbagai kajian menunjukkan bahwa IUWM memiliki potensi untuk berkontribusi pada berbagai tujuan kebijakan: peningkatan ketahanan air (van Beek dan Arriëns 2013); keberlanjutan sosial, ekologi, dan ekonomi pada berbagai skala (Milly dkk. 2008; Brown, Ashley, dan Farrelly 2011; Kirshen dkk. 2018); sistem yang lebih tangguh (Wong dan Brown 2009); peningkatan kualitas lingkungan hidup (Rygaard, Binning, dan Albrechtsen 2011); efisiensi sumber daya (Burn, Maheepala, dan Sharma 2012); dan pembangunan ekonomi (Pahl-Wostl dkk. 2011). Sementara itu penelitian empiris memberikan bukti manfaat yang dihasilkan IUWM, antara lain di tataran mikro dan di tingkat kabupaten/kota (Furlong, De Silva, dan Guthrie 2015; Mishra dkk. 2020), dan pada skala kota di Australia (Mitchell 2006; Furlong dkk. 2017), China (Wang et al. 2018), Belanda (World Bank 2016), Singapura (Tortajada, Joshi, dan Biswas 2013), dan Amerika Serikat (Kirshen dkk 2018). Terdapat contoh dengan skala yang lebih kecil di wilayah metropolitan, seperti di Seoul (Kim dkk. 2018) dan São Paulo (World Bank 2016; Gómez-Álvarez dkk. 2017). Pendekatan IUWM telah terintegrasi dalam proyek-proyek Bank Dunia di kota-kota Afrika (Jacobsen, Webster, dan Vairavamoorthy 2013 dan di Brasil, dengan hasil yang menjanjikan (Closas, Schuring, dan Rodriguez 2012). Pendorong kebijakan pada contoh-contoh tersebut beragam mulai dari keterbatasan sumber daya air (Singapura) hingga meningkatnya variabilitas iklim (Melbourne), pengelolaan risiko banjir (Rotterdam) (Tortajada, Joshi, dan Biswas 2013; World Bank 2016). IUWM menyediakan manfaat sosial langsung dan tidak langsung, berkontribusi pada pengentasan kawasan kumuh dan peningkatan kualitas lingkungan hidup, resiliensi perkotaan, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Misalnya, di Kawasan Metropolitan São Paulo, masyarakat berpendapatan rendah tanpa fasilitas sanitasi yang layak tinggal di daerah resapan, menyebabkan kontaminasi air sungai. Di bawah proyek Bank Dunia, sistem sanitasi dibangun untuk mengolah dan membuang air limbah dengan aman, dengan pipa dari perkampungan ke jaringan air limbah utama. Tidak hanya kualitas sumber daya air meningkat, namun masyarakat mendapatkan manfaat dari peningkatan akses layanan sanitasi yang aman. Dalam kasus ini, kebutuhan untuk mengatasi masalah kualitas air bersih meletakkan dasar bagi kemitraan dengan masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalahan. Pada beberapa kasus, krisis seperti kemarau berkepanjangan, banjir bandang, atau insiden kontaminasi air minum merupakan pemicu adopsi IUWM. Peristiwa-peristiwa dramatis tersebut mendorong isu air menjadi agenda kebijakan terpenting dan membuka ruang Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 12 kebijakan untuk mempertimbangkan kembali strategi dan mengatur ulang konfigurasi tata kelola untuk melihat keterkaitan antara berbagai bagian dari sektor air. Misalnya, di Cape Town, Melbourne, dan São Paolo, IUWM diterapkan saat kemarau panjang terjadi yang mengancam ketersediaan air perkotaan; di Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat, kota-kota mengadopsi IUWM setelah mengalami banjir yang parah dan berulang. Meski demikian, IUWM juga bisa dihasilkan dari diskusi strategis terkait cara menghadapi berbagai tantangan air bersih yang terjadi bersamaan, seperti halnya di Singapura dan wilayah metropolitan Seoul. Singapura memberikan contoh penerapan IUWM yang berhasil mengatasi masalah kelangkaan sumber daya air. Di bawah strategi “Empat Sumber”, Singapura meningkatkan sumber airnya dengan tangkapan air lokal, air yang diimpor, air limbah yang diolah (dikenal sebagai NEWater), dan desalinasi; menjaga efisiensi jaringan yang tinggi; dan menggunakan berbagai inisiatif untuk mengelola permintaan. Hal ini telah memungkinkan negara kota ini untuk meningkatkan ketahanan airnya secara radikal (Jensen dan Nair 2019). Semula bergantung dari impor air permukaan untuk 50 persen pasokan air bersihnya sebelum 2009, Singapura kini dapat memenuhi 70 persen kebutuhan airnya sendiri. Penyedia air bersih nasional Singapura, PUB, memperkirakan negara ini akan mencapai swasembada air pada 2060 (PUB, n.d.). Pemerintah juga mengambil pendekatan terpadu untuk lingkungan air perkotaan, mengkoordinasikan upaya yang dilakukan di bidang pemukiman, lingkungan hidup, dan air bersih untuk meningkatkan kualitas Sungai Singapura dan membangun waduk air tawar.2 Singapura juga telah menjadi pusat perusahaan teknologi air bersih, dengan sektor air yang menghasilkan US$1.87 milyar per tahun pada 2018 dari sisi nilai tambah terhadap perekonomian (Mahmud 2018). 3.2 Evaluasi Manfaat Proyek IUWM Internasional Evaluasi IUWM membawa tantangan konseptual dan praktis tersendiri. Tantangan ini mencakup kesulitan dalam menilai dampak level sistem terhadap perubahan tingkat tinggi dari sisi regulasi, tata kelola, atau proses perencanaan, dan dalam memperkirakan dampak teknologi dan layanan yang inovatif. Bagi kota yang mengalami kelangkaan air yang tinggi, sifat pendekatan IUWM yang transformatif menyulitkan dilakukannya pembanding yang kontra faktual, seperti di Singapura. Bergantung jenis intervensinya, IUWM juga dapat membawa manfaat tambahan yang non- komersial, misalnya peningkatan kualitas hidup (pemukiman yang “layak huni”), status ekologi yang lebih baik, keanekaragaman hayati yang membaik, nilai estetik, berkurangnya konflik antar pemangku kepentingan dalam satu wilayah tangkapan air (Hien Wong dkk 2003; Molinos- Senante, Hernández-Sancho, dan Sala-Garrido 2011; Heinz, Salgot, dan Mateo-Sagasta Dávila 2011; Fan dan Matsumoto 2019; Smith, McDonald, dan Wilson 2010). Manfaat terukur lain dari 2 Informasi lebih lanjut tentang strategi sungai perkotaan Singapura digambarkan sebagai Lampiran 1. 13 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia strategi IUWM antara lain berkurangnya banjir, peningkatan pendapatan pariwisata, dan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah. Manfaat tidak berwujud tersebut akan sulit untuk menjadi bagian dari analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), dan pertimbangannya dalam tahap perencanaan memerlukan keahlian dan sumber daya tambahan. Sebagai hasilnya, evaluasi ex-post (aktual) IUWM di tingkat kota atau metropolitan yang komprehensif masih terbatas jumlahnya. Meski banyak tantangan, kajian evaluasi IUWM di tingkat lokal atau kabupaten/kota telah menunjukkan berbagai manfaat. Pengelolaan daerah aliran sungai dan proyek pengisian kembali air tanah dapat menawarkan penghematan biaya yang substansial dibanding instalasi pengolahan air konvensional (baca Tabel 2). Abell dkk. (2017) menemukan bahwa program pengelolaan daerah aliran sungai di hulu mendorong sekitar 16 persen kota mengurangi biaya pengolahan airnya sehingga mendapatkan imbal ekonomi yang positif, dan 25 persen kota lain berhasil mendapatkan penghematan yang lebih kecil namun nilainya cukup substansial. Misalnya, di Brasil, São Paulo Water Fund dibentuk untuk merestorasi 14,200 hektar hutan di daerah aliran sungai yang kritis untuk mengurangi sedimentasi dan meningkatkan ketersediaan air untuk pengguna di hilir. Selain meningkatkan ketersediaan air, proyek ini menyerap sekitar 942.500 ton karbon3 (Abell dkk. 2017). Proyek Managed aquifer recharge (MAR) atau pengisian sumber daya air telah membawa manfaat di berbagai belahan dunia (UNESCO 2021; Perrone dan Rohde 2016). Proyek-proyek ini memanfaatkan sistem alam yang ada untuk penyimpanan air, namun dapat mencegah penguapan air dan intrusi air laut (baca studi kasus California, Lampiran 1.1). Tabel 2: Perkiraan Biaya-Manfaat (Cost-Benefit) Proyek IUWM 3 Setara dengan 3,46 juta metrik ton CO2. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 14 Kajian ex-ante di Azerbaijan, Honduras, dan Nairobi menyimpulkan bahwa IUWM efektif dari sisi biaya dibandingkan semua investasi terkait air (Closas, Schuring, dan Rodriguez 2012). Meski demikian, sistem penyediaan off-grid dan drainase biru-hijau menunjukkan hasil yang beragam. Misalnya, kajian perencanaan IUWM di Melbourne, Australia, menemukan bahwa rencana IUWM memerlukan biaya dari masyarakat (untuk mendapatkan manfaat) yang sedikit atau secara signifikan lebih tinggi dibanding rencana konvensional, namun di beberapa contoh dapat mencapai outcome lingkungan hidup yang lebih baik (Furlong dkk 2017). Dengan rentang intervensi IUWM yang luas dan berbagai tantangan yang dihadapi, analisis biaya-manfaat (cost benefit) dari intervensi dan lokasi tertentu diperlukan dan harus mencakup manfaat fisik dan non-fisik di dalam dan di luar sektor penyediaan air. 3.3 Kasus dan Pengalaman yang Diperoleh Tabel 3 memberikan contoh IUWM4 yang dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan ketahanan air (termasuk kelangkaan sumber air, pengelolaan air limpasan, dan kualitas lingkungan air) dan pelajaran utama untuk penerapan IUWM dalam konteks Indonesia. Kami mencakup contoh terkait dengan lima komponen pada kerangka – peraturan perundang- undangan, tata kelola, perencanaan dan pelaksanaan, pengelolaan informasi dan pembiayaan. Contoh kasus yang ada dapat menggambarkan keanekaragaman intervensi IUWM di seluruh dunia. Keragaman merupakan inti dari pendekatan ini, yang mengakui bahwa intervensi seharusnya disesuaikan dengan prioritas dan kemampuan daerah terkait penyediaan air. Meskipun contoh-contoh tersebut tidak dimaksudkan untuk dijadikan contoh replikasi langsung di Indonesia namun berlaku sebagai inspirasi untuk eksplorasi lebih lanjut, mereka menggambarkan langkah IUWM yang relevan dengan isu penting yang dihadapi kota-kota di Indonesia: sungai perkotaan yang mengalami degradasi (Kasus 1), air yang terbuang di jaringan layanan (Kasus 2) dan oleh pelanggan (Kasus 5), penurunan permukaan tanah (Kasus 4), dan banjir permukaan (Kasus 3). Mereka juga memberikan contoh praktik yang baik untuk pengelolaan informasi (Kasus 7), sertifikasi (Kasus 8), dan kemitraan untuk perencanaan dan pembiayaan (Kasus 6, 9, 10, dan 11), yang dapat atau sudah diterapkan di Indonesia. Contoh-contoh tersebut menunjuk beberapa faktor yang menyumbang keberhasilan IUWM. Pertama, mereka menunjukkan pentingnya pelibatan pemangku kepentingan non- pemerintah. Contoh dari Singapura dan Melbourne, Australia, menunjukkan berbagai jalur untuk melibatkan para pengembang properti, sementara contoh kota spons Zhenjiang di China menunjukkan bagaimana sektor swasta dapat menyediakan desain dan keahlian manajemen dan pembiayaan melalui kolaborasi jangka panjang. Contoh pengelolaan permintaan di Zaragoza, Spanyol, menunjukkan nilai pelibatan pelanggan sebagai pemangku kepentingan 4 Para pembuat contoh-contoh IUWM belum tentu menyebut pendekatan mereka “IUWM,” menggunakan istilah seperti “kota sensitif air,” “sistem drainase perkotaan lestari,” dsb., namun semua menunjukkan karakteristik pendekatan IUWM. 15 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Tabel 3: Ringkasan pengalaman IUWM internasional Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 16 dalam upaya kolektif untuk mengatasi kelangkaan air, menggunakan berbagai intervensi yang selaras untuk mencapai sasaran yang ketat. Contoh dari Denmark dan Brasil menunjukkan pentingnya menghubungkan target yang jelas dengan mekanisme efektif untuk mendapatkan dan berbagi informasi kinerja. Mengelola sistem informasi dengan data yang terpercaya, valid, dan terbuka memainkan dua peran: mendukung proses pemantauan dan evaluasi dan memberikan insentif berupa reputasi yang lebih baik bagi pemerintah daerah dan penyedia layanan setempat. Tantangan dalam adopsi IUWM mencakup kemauan para pemangku kepentingan, resistensi politik, kurangnya kapasitas atau sumber daya, dan latar kelembagaan yang lemah. Contohnya, Kasus 9 terkait kerja sama antar daerah di Kartamantul merupakan upaya dari bawah (bottom- up) yang didorong tekad para pemimpin di bawah pemerintah provinsi yang sama untuk bekerja sama, namun koordinasi serupa belum terjadi di wilayah metropolitan lain di Indonesia. Meski demikian, kasus-kasus ini juga menunjukkan kelayakan adopsi langkah IUWM, meski dalam konteks terbatasnya sumber daya (Kasus 1, 5, 7, 9, 10, dan 11) di dalam dan luar Indonesia. Bagian berikut mendiskusikan konteks Indonesia secara rinci. 17 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 4. PELUANG DAN TANTANGAN BAGI IUWM DI INDONESIA Terdapat momentum dan situasi yang mendukung yang dapat menjadi peluang untuk mengadopsi IUWM di Indonesia. Biaya ekonomi dari ancaman terkait air bersih dan masalah ketahanan air yang mendesak merupakan pendorong penting dalam mengupayakan perubahan pendekatan terhadap isu air. Pada saat yang sama, persetujuan politik level atas, peluang legislasi, perkembangan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan struktur tata kelola yang kondusif bagi penerapan IUWM menjadikan Indonesia calon kuat untuk mendapatkan potensi manfaat IUWM sepenuhnya. Pada saat yang sama, masih terdapat tantangan yang signifikan. Ambiguitas hukum dan fragmentasi tata kelola dapat menghambat pengembangan kerangka IUWM, sementara perencanaan yang kurang terkoordinasi dan pengelolaan informasi yang belum sempurna menjadi hambatan implementasi intervensi IUWM. Bagian berikutnya menggali bagaimana isu ketahanan air di Indonesia menjadikannya calon ideal untuk penerapan IUWM; bagian berikutnya mendiskusikan konteks dan mengidentifikasi peluang dan tantangan adopsi IUWM di lima kategori sesuai gambaran Bagian 2: (1) peraturan perundang- undangan; (2) tata kelola; (3) perencanaan; (4) pengelolaan informasi; dan (5) pembiayaan. 4.1 Masalah Ketahanan Air sebagai Pendorong Adopsi IUWM Di Indonesia, perkotaan merupakan titik rawan ketahanan air. Mereka menghadapi masalah jangkauan layanan air bersih dan sanitasi (WSS), pengolahan air limbah yang minim atau belum ada, berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya air, banjir, penurunan permukaan tanah, dan lingkungan air yang mengalami degradasi. Tantangan yang saling terkait ini menyiratkan bahwa pendekatan IUWM dapat menawarkan manfaat yang bernilai bagi Indonesia. Tantangan ketahanan air semakin meningkat. Laju ekspansi kawasan perkotaan di Indonesia telah berlangsung cepat dalam dua dekade terakhir, dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 3,5 persen per tahun dari 2000 ke 2010 (World Bank 2015). Tren ini akan berlanjut, dengan 68 persen penduduk Indonesia diperkirakan akan hidup di kota pada 2025. Jejak spasial perkotaan juga telah mengalami ekspansi yang masif: luas lahan perkotaan tumbuh dengan tingkat 1,1 persen per tahun pada tahun 2000–2010, tingkat pertumbuhan tertinggi setelah China pada kurun waktu yang sama. Di seluruh Indonesia kawasan peri urban dan aglomerasi urban mulai menyatu dengan kota-kota di sekitarnya dalam pola tata ruang perkotaan. Di Jabodetabek dan kota-kota pesisir lain, ekspansi perkotaan merambah ke hulu ke daerah tangkapan air, menyebabkan banjir dan degradasi sumber daya air. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 19 Infrastruktur, di sisi lain, kurang dapat mengikuti laju pertumbuhan perkotaan. Akses terhadap layanan air bersih dan sanitasi perkotaan masih belum memadai. Hanya 5 persen air limbah di Indonesia yang diolah dan dibuang secara aman, menyebabkan tingginya risiko kesehatan dan biaya pengolahan air permukaan bagi pengguna di hilir. Penyediaan air minum melalui perpipaan baru mencapai sepertiga warga kota, sehingga rumah tangga, usaha komersial, dan industri masih bergantung pada air tanah. Hal ini dapat mengakibatkan pengambilan air berlebihan dan mendorong penurunan permukaan tanah, yang menjadi masalah di utara Jawa. Kota-kota di kawasan ini sering terdampak banjir musiman, yang diperparah oleh tersumbatnya sistem drainase akibat pengelolaan sampah yang kurang baik. Terdapat peningkatan risiko banjir bandang, dan banjir pasang karena perubahan pemanfaatan lahan, penurunan permukaan tanah, dan perubahan iklim. Tren tersebut memperparah masalah kelangkaan sumber air setempat dan tingginya persaingan kebutuhan air baku dari sektor lain. Ancaman serius dari isu terkait air yang dihadapi masyarakat dan perekonomian Indonesia telah diuraikan secara rinci dalam laporan diagnostik tentang ketahanan air, Indonesia: The Path to Water Security (World Bank, segera terbit). Kajian diagnostik ini menyimpulkan bahwa, tanpa adopsi langkah yang memadai, ancaman terkait penyediaan air dapat mengakibatkan penurunan PDB hingga 4,9 persen pada 2030 dan hingga 7,3 persen pada 2045, setara US$40 milyar dan US$81 milyar dari PDB Indonesia tahun 2019.5 Dengan demikian, langkah untuk mengatasi ancaman terkait air dapat meningkatkan PDB sebesar 3,2 persen pada tahun 2045. Enam persen dari daerah aliran sungai Indonesia mengalami defisit air tahunan, dan 35 persen mengalami kekeringan (water stress) sepanjang tahun. Sungai dengan tingkat kekeringan menengah hingga sangat kering berkontribusi pada lebih dari dua pertiga (70 persen) PDB tahunan Indonesia. Ini adalah indikasi potensi kerugian ekonomi dari skenario “tidak ada perubahan” dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Untuk menghindari kerugian tersebut, langkah yang diambil Indonesia untuk mengatasi ancaman terkait air harus fokus pada pengelolaan air perkotaan dan daerah sekitarnya. Langkah yang diambil demi ketahanan air akan sangat bermanfaat di daerah rawan perkotaan yang mengalami perebutan penggunaan sumber daya air, dan di mana konsentrasi kerugian terhadap masyarakat dan harta benda akibat kelangkaan air, banjir dan penurunan permukaan tanah cukup tinggi. Ini adalah situasi di mana IUWM – yang berfokus pada pendekatan menyeluruh terhadap isu air lintas sektor perkotaan, pengelolaan DAS terpadu, dan membangun kerangka tata kelola pendukung – terbukti paling efektif. 5 Angka tersebut diperoleh dari analisis Computable General Equilibrium (CGE) terhadap ancaman terkait air. Analisis ini membandingkan dampak ancaman air terhadap PDB dalam skenario di mana langkah mitigasi dan adaptasi dilakukan dan dengan skenario “business as usual” atau tidak ada perubahan. Ancaman yang dianalisis: (1) polusi air dari masalah sanitasi; (2) dampak naiknya permukaan air laut; (3) penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah berlebihan; (4) dampak banjir; dan (5) kekurangan air karena cadangan air yang kurang. 20 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Para pembuat kebijakan di Indonesia telah mengakui potensi IUWM, dan terdapat dukungan politik yang tinggi untuk pendekatan ini. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat dan daerah dan dengan Perusahaan Daerah Air Minum, atau PDAM yang diselenggarakan untuk laporan ini menunjukkan adanya minat yang tinggi terhadap IUWM. Para peserta tertarik dengan beragam intervensi, termasuk penampungan air hujan, pengisian air tanah melalui sumur resapan, regulasi penampungan air setempat, dan daur ulang. Mereka juga menyadari perlunya berkoordinasi terkait isu air dengan pemerintah daerah lain di lintas kawasan perkotaan, dan sebagian telah memiliki pengalaman positif dari kerja sama serupa. Pada saat para pembuat kebijakan Indonesia mulai mengadopsi intervensi dan pendekatan IUWM, mereka menghadapi berbagai situasi yang mendukung maupun tantangan yang menghambat dari sisi hukum dan regulasi, tata kelola, perencanaan, pengelolaan informasi, dan pembiayaan. 4.2 Peraturan dan Perundang-undangan 4.2.1 Undang-Undang Dasar hukum IUWM dapat ditemukan di Undang-Undang No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA 2019). Undang-undang ini mengalokasikan tanggung jawab untuk berbagai aspek sektor ini di antara berbagai kementerian. Bagi IUWM, lingkup undang-undang ini mencakup semua air di permukaan dan di bawah tanah (air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang ada pada satu massa daratan). Pada khususnya, undang-undang ini memberikan tanggung jawab kepada Organisasi Pengelola Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai, River Basin Organizations (RBO), termasuk air tanah, yang sebelumnya bukan menjadi bagian tugasnya. Meski demikian, ada beberapa hal dari undang-undang ini yang perlu diperjelas dalam peraturan pelaksananya. Dalam tiga bidang utama IUWM – pengelolaan air tanah, a national pengelolaan kualitas air permukaan, dan air limpasan – masih framework perlu pengaturan, terutama terkait alokasi hak dan tanggung jawab dan bagaimana kepentingan pengguna hulu dan hilir for integrated urban dapat diseimbangkan dalam kaitannya dengan pengendalian banjir dan pengisian kembali air permukaan dan air tanah. water management in indonesia Undang-undang menentukan preseden hierarki untuk alokasi sumber daya air: pertama untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan memenuhi penyediaan air masyarakat, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, dan lingkungan hidup. Undang-undang ini menetapkan air bersih sebagai barang yang diperjualbelikan (economic good) dan menetapkan prinsip “penerima manfaat membayar” atau “ beneficiary pays”. Izin untuk pengambilan air sumber daya dikenakan biaya pengelolaan sumber daya air dan hanya dapat diberikan jika pemanfaatan sumber dayanya “berkelanjutan dari sisi lingkungan.” Pengambilan air tanah saat ini dikenai pajak, yang dapat diselaraskan dengan izin pengambilan air permukaan menurut undang- undang yang baru. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 21 4.2.2 Peraturan Saat ini Indonesia telah mengembangkan kebijakan yang memberikan peluang bagi adopsi pendekatan IUWM. Pemerintah Indonesia tengah merumuskan peraturan dan regulasi pelaksana bagi Undang-undang SDA 2019 maupun Undang-undang Cipta Kerja 2020, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No, 122/2015, membuka kesempatan untuk menanamkan IUWM. Diskusi dengan para pemangku kepentingan yang saat ini berjalan menunjukkan adanya transisi menuju pendekatan yang lebih terintegrasi. Regulasi yang direvisi tersebut diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah dalam menerapkan IUWM secara lebih efektif. Pada sektor penyediaan air bersih, pembiayaan dan reformasi regulasi yang didukung Bank Dunia di bawah kerangka National Urban Water Supply (NUWAS) mulai berjalan dan menunjukkan hasil positif dalam memperkuat insentif bagi efisiensi bagi perusahaan penyedia air minum. Penerapan IUWM seharusnya melengkapi reformasi tersebut, sejauh mungkin membangun dari kerangka NUWAS. Untuk memberikan insentif penerapan IUWM di pengembangan oleh swasta, regulasi dan izin mendirikan bangunan dapat menjadi instrumen penting. Di Indonesia, para pengembang properti swasta merupakan aktor berpengaruh dalam siklus air perkotaan. Mereka bertanggung jawab atas desain, konstruksi, dan operasionalisasi penyediaan air, sanitasi, dan sistem drainase; jalan; dan layanan keamanan. Mereka juga menyediakan layanan perkotaan berupa kawasan industri dan kepada penduduk dan bisnis melalui “kota-kota baru” dengan adanya “perusahaan pengelola kota.” Di beberapa kasus, kawasan yang dibangun pengembang swasta ini sangat luas – dengan penduduk sebesar 50.000 – 10.000 orang, dan luas tanah 100 hektar atau lebih. Di beberapa pemerintah kota, pengembang swasta menguasai proporsi total luas lahan yang signifikan. Misalnya, di Tangerang Selatan di Jabodetabek, diperkirakan pengembang swasta menguasai 40 persen lahan (baca laporan pendamping, Jalur Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek). Kualitas infrastruktur dan layanan di kawasan tersebut sering melebihi kualitas dari pemerintah kota. Sebagian pengembang berinvestasi pada sistem yang menerapkan prinsip IUWM, misalnya dengan menampung dan memanfaatkan air limpasan, dan mengolah dan menggunakan kembali air limbah untuk tujuan selain air minum. Proyek-proyek ini merupakan contoh bagi pemerintah kota dan pengembang swasta lain yang tertarik menerapkan IUWM. Meski demikian, sementara sebagian kota baru dan kawasan industri memiliki kinerja baik dari sisi pengelolaan air yang lestari dan terpadu, para pengembang yang beroperasi di wilayah lainnya tidak diharuskan memenuhi standar tertentu dan level layanan yang diberikan sangat beragam. Di sebagian kasus, infrastruktur seperti instalasi pengolahan air limbah tidak memenuhi standar dan tidak dikelola dengan baik. Perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap prasarana yang dikelola swasta. Terdapat ruang bagi pemerintah daerah untuk memberikan insentif bagi standar yang lebih baik dengan mempersyaratkan praktik 22 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia pengelolaan air yang baik (seperti penampungan air setempat, panen air hujan, atau daur ulang air) termasuk pengambilan air, pembuangan air dan izin bangunan. Beberapa pemerintah daerah, termasuk Tangerang Selatan, sudah menerapkannya. Selain itu, pemerintah daerah dapat menyediakan insentif keuangan bagi perusahaan swasta dan lembaga masyarakat atas proyek yang memenuhi kriteria pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Insentif dapat berupa potongan atau pembebasan pajak atau retribusi daerah (Peraturan Pemerintah No. 24/2019). Hal ini dapat digunakan secara lebih ekstensif untuk mendorong IUWM. Regulasi yang bersifat sukarela, misalnya program sertifikasi, penghargaan dan kompetisi, dapat digunakan untuk memperkuat instrumen regulasi lain. Green Building Council Indonesia memberikan sertifikasi GREENSHIP untuk pembangunan ramah lingkungan, yang dapat diperluas atau digunakan sebagai model untuk sertifikasi “biru” untuk pengelolaan air yang lestari. 4.3 Tata Kelola dan Kelembagaan Struktur tata kelola Indonesia dalam banyak hal sudah sesuai bagi adopsi IUWM. Indonesia memiliki struktur administrasi yang sangat terdesentralisasi, dengan wewenang pemerintah daerah yang cukup luas. Dalam kaitannya dengan penyediaan air, lingkup wewenang pemerintah daerah cukup luas dan mencakup pasokan air; sanitasi; alokasi izin pengambilan air untuk air permukaan dan tanah dan izin pembuangan air limbah; penataan ruang; pengendalian banjir; dan penanggulangan bencana. Tanggung jawab tersebut ada pada pemerintah daerah, berdasar kerangka yang disusun oleh pemerintah pusat. Sementara desentralisasi dapat menjadi tantangan bagi IUWM, karena memerlukan mekanisme tambahan untuk koordinasi antar daerah, desentralisasi juga berarti bahwa perencanaan spasial dan tata air disiapkan di tingkat daerah. Proses perencanaan ini dapat dikoordinasikan tanpa harus melalui perubahan kelembagaan di tingkat pemerintahan di atasnya. Sudah banyak contoh inisiatif pemerintah daerah di Indonesia yang mencerminkan prinsip IUWM dan yang memiliki potensi peningkatan skala (baca Kasus 5 laporan ini). Selain itu, kerangka regulasi dan kelembagaan untuk tata kelola pemerintah perkotaan dikaji oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan isu air diakui sebagai bidang kerja sama antar daerah yang penting dalam kawasan perkotaan. Koordinasi antar kementerian di tingkat pusat juga diperkuat melalui National Urban Development Project (NUDP) yang didukung World Bank. Dalam kerangka NUDP, Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan Nasional, TKPPN akan mengalami restrukturisasi dan penguatan. Proyek ini bertujuan untuk membangun kapasitas kelembagaan untuk koordinasi, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan prasarana di tingkat perkotaan dan nasional, untuk mendorong transisi menuju perencanaan infrastruktur berbasis informasi tata ruang Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 23 yang memungkinkan pemerintah daerah menentukan prioritas belanja investasi utamanya. Berdasar UU SDA 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (KemenPUPR) memainkan peran utama dalam kebijakan, perencanaan, dan regulasi pengelolaan sumber daya air, penyediaan air minum, dan air limbah domestik. Seperti yang disampaikan di atas, terdapat kesenjangan dalam kerangka tata kelola saat ini terkait tanggung jawab pengelolaan air tanah. Untuk mendukung pendekatan IUWM, harus ada koordinasi erat antara pengelolaan air permukaan dan air tanah, yang dapat dicapai dengan memberikan wewenang kedua ke kementerian yang sama. Tanggung jawab atas kualitas pengelolaan air permukaan terbagi antara KemenPUPR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kedua kementerian ini perlu bekerja sama dalam merevisi Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Air, dan jika diperlukan, merumuskan peraturan pelaksana tambahan terkait bagaimana standar ditentukan, dimonitor, dan ditegakkan. Meski demikian, tantangan koordinasi dan tata kelola tetap ada – tidak hanya horizontal, namun antar pemerintah daerah dan antara berbagai instansi pemerintah pusat, namun juga vertikal, di antara berbagai tingkatan pemerintah. Pemerintah daerah sangat bergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat untuk biaya investasi. Dengan keterbatasan sumber daya, pemerintah daerah di Indonesia juga cenderung menunggu tingkat pemerintahan di atasnya untuk mengembangkan sumber air tambahan, yang sering ada di daerah lain, yang meningkatkan kemungkinan persaingan atas sumber daya air, degradasi lingkungan hidup, dan biaya operasional dan pemeliharaan aset yang tinggi. Proyek infrastruktur besar dapat didanai oleh pemerintah pusat tanpa kesepakatan bagaimana biaya operasional proyek tersebut akan ditanggung. Meski terdapat perubahan positif dalam tata kelola sektor air berdasar UU SDA 2019, tata kelola sektor air yang mengalami fragmentasi dapat menjadi tantangan bagi adopsi dan implementasi IUWM. Gambar 1, yang menunjukkan peta tata kelola air perkotaan di Indonesia, menggambarkan bagaimana tata kelola diwarnai fragmentasi horizontal antar sub-sektor air, dan vertikal antar tingkatan pemerintah, dan spasial di antara wilayah administratif. 4.3.1 Fragmentasi dalam tata kelola spasial dan wilayah metropolitan Fragmentasi spasial mengakibatkan masalah bagi berbagai kota yang mengandalkan pasokan air baku di luar wilayah mereka sehingga menemui risiko terkait kuantitas dan kualitas sumber dayanya, dan bagi kota-kota yang risiko banjirnya meningkat akibat perubahan pemanfaatan lahan hingga ke daerah tangkapan air. Fragmentasi spasial menjadi lebih rumit dengan berbagai batasan: administratif, daerah tangkapan air, daerah aliran sungai, dan daerah resapan air tanah. Masing-masing memiliki hierarki pelaporan yang berbeda.6 6 Laporan pendamping untuk Jabodetabek menggambarkan batas yang tumpang tindih untuk wilayah metro Jakarta dan membahas konsekuensinya bagi pengelolaan air.consequences for water management. 24 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Gambar 4: Tata kelola air perkotaan di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 25 Fragmentasi merupakan tantangan tersendiri di kawasan perkotaan besar, di mana beberapa pemerintah daerah saling berdekatan membentuk satu kawasan pembangunan terpadu. Contoh utamanya adalah Jabodetabek, di mana sembilan pemerintah daerah di tiga provinsi bertanggung jawab atas berbagai bagian di wilayah metropolitan. Agar IUWM sepenuhnya bermanfaat bagi Indonesia, koordinasi yang lebih erat diperlukan antar pemerintah daerah di wilayah metropolitan yang saling terhubung, terutama di mana beberapa daerah memiliki wewenang atas sistem air perkotaan yang saling terkait. Sementara isu ini paling mendesak untuk wilayah Jabodetabek, (didiskusikan secara rinci di laporan pendukung), masalah ini muncul di wilayah metropolitan lain namun kurang mendapat perhatian. Seperti Jakarta, wilayah metropolitan lain juga rentan terdampak banjir, longsor, polusi air, dan kelangkaan air karena pembangunan yang kurang terkendali dan terkoordinasi. Meski Organisasi Pengelola Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai (RBO) ada di wilayah tersebut, mereka tidak memiliki wewenang atas pemerintah daerah untuk menegakkan keputusan. Menyusun kerangka untuk kerja sama lintas wilayah yang berfokus pada risiko air dapat membantu wilayah metro lainnya menghindari masalah yang ada di Jabodetabek. Kerja sama antar pemerintah daerah didukung oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berdasar Peraturan Pemerintah No. 28/2018. Peraturan membedakan bidang kerja sama wajib dan non-wajib. Kerja sama diwajibkan antara dan antar provinsi dan pemerintah daerah pada urusan tertentu, baik jika terdapat eksternalitas lintas daerah atau untuk penyelenggaraan layanan masyarakat yang lebih efisien. Penyediaan air termasuk lingkup di mana kerja sama diwajibkan, selain tata ruang, pekerjaan umum, pengelolaan daerah tangkapan air, transportasi dan pariwisata. Meski demikian, lembaga dan insentif untuk mendukung koordinasi antar daerah masih belum memadai. Pemahaman gubernur dan bupati/walikota memiliki tentang manfaat kerja sama dan pengalaman kerja sama untuk isu kebijakan tertentu masih kurang. Para ilmuwan berargumen bahwa desentralisasi menjadikan pemerintah daerah lebih “melihat ke dalam/inward-looking,” fokus pada pembangunan daerahnya dan persaingan antar daerah, alih-alih pada kerja sama (Firman 2014). Kajian terkait dokumen perencanaan di Jabodetabek menemukan bahwa dua kabupaten/kota yang menyadari pentingnya pengelolaan air dan koordinasi antar instansi lintas daerah dalam dokumen perencanaannya seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun koordinasi masih belum disebutkan dalam dokumen perencanaan lainnya. Selain itu, terdapat beberapa inisiatif koordinasi pengelolaan daerah tangkapan air. Misalnya, skema pembayaran jasa lingkungan (PES) (baca bagian 5.1.3) belum dilaksanakan secara luas di Indonesia meski memiliki potensi sebagai mekanisme efektif dalam koordinasi wilayah hulu dan hilir di seluruh negeri. Absennya pengaturan PES dan pendekatan koordinasi lainnya menyoroti adanya tantangan fragmentasi spasial. Selain kurangnya dukungan dari gubernur dan bupati dan walikota, hambatan kerja sama daerah mencakup kurangnya kesadaran pemerintah daerah terkait 26 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia pentingnya kerja sama, terbatasnya lingkup dan ketentuan regulasi, dan bentuk kerja sama yang terbatas (misalnya, perjanjian kerja sama dan Nota Kesepakatan tidak memberikan dasar kuat kepada kerja sama yang ada). Kemendagri menyadari bahwa pengaturan kelembagaan yang ada kurang memberikan insentif dan dukungan bagi kerja sama antar daerah, dan kini berupaya membangun platform dan mekanisme yang efektif bagi kerja sama antar daerah, dengan perhatian utama pada kawasan perkotaan. Isu pengelolaan air berfokus pada kerja sama antar daerah, karena manfaat kerja sama ini cukup jelas dan terukur. Manfaat ini mencakup berkurangnya risiko banjir dari pengelolaan hulu sungai; perluasan jejaring pasokan air bersih lintas pemerintah daerah jika lebih efisien; optimisasi efisiensi instalasi pengolahan air atau air limbah, terutama lokasi di sekitar batas wilayah administrasi, untuk meningkatkan jangkauan layanan di luar batas ini; dan berkolaborasi dalam pembersihan sungai. Sementara fragmentasi kelembagaan merupakan tantangan yang berat, potensi dampak negatifnya dapat diatasi tanpa restrukturisasi kelembagaan yang radikal jika dialokasikan dengan jelas dan jika terdapat mekanisme dan insentif untuk koordinasi. Upaya ini dapat diselaraskan dengan pergeseran peran pemerintah pusat yang mulai mengurangi peran penyediaan prasarana dan meningkatkan misi strategisnya melalui penyediaan insentif dan pengawasan. Hubungan antara berbagai tingkatan pemerintah saat ini, di mana pembiayaan infrastruktur disediakan oleh pemerintah pusat, telah menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan dan pemeliharaan, yang muncul pada infrastruktur sanitasi. Pemerintah daerah mungkin kurang merasa memiliki prasarana yang dibiayai oleh pemerintah pusat, sehingga insentif untuk melakukan optimalisasi dan pemeliharaan kurang begitu besar (Alm 2015). Peran pemerintah pusat diperlukan untuk melakukan koordinasi, pengawasan, dan menerapkan intervensi sanitasi. 4.3.2 Partisipasi sektor swasta Regulasi nasional memungkinkan Partisipasi Sektor Swasta (PSP) dalam pengolahan dan distribusi air curah (bulk water) dan pengolahan dan penggunaan kembali air limbah. Meski demikian, berdasar regulasi saat ini, PSP tidak diperbolehkan dalam pengembangan sumber daya air atau dalam penyediaan layanan pelanggan. PDAM dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk konstruksi dan operasionalisasi instalasi pengolahan dan sarana distribusi di bawah struktur “Business-to-Business” (B2B), dan pemerintah dapat menyediakan jaminan dan dukungan kelayakan (viability gap financing) untuk proyek di bawah program kerja sama pemerintah dan badan usaha swasta. Jenis kontrak yang saat ini digunakan termasuk Bangun- Guna-Serah atau Build-Operate-Transfer (BOT) dan model BOT+ (konstruksi dan operasional instalasi pengolahan digabung dengan konstruksi jaringan distribusi air). Kontrak kerja sama untuk penyediaan air di Jakarta kemungkinan tidak akan diperbarui hingga kontrak berakhir pada 2023. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 27 Kontrak pengelolaan dan layanan berbasis kinerja dimungkinkan berdasar regulasi yang ada namun belum digunakan. Kontrak jenis ini dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi, misalnya melalui pengurangan air tak berekening (NRW), atau mencakup kontrak gabungan pengelolaan air limpasan dan air limbah berbasis output, yang memungkinkan mobilisasi pengelolaan oleh swasta dan keahlian teknis mereka. Buku daftar proyek KPBU untuk tender yang diterbitkan Bappenas sebagian besar fokus pada pembangunan prasarana, namun lingkup proyek dapat diperluas untuk mencakup pelibatan sektor swasta untuk mendukung kota dalam merancang dan melaksanakan IUWM dan membuka ruang untuk inovasi. Pengembang swasta saat ini tidak memiliki wewenang untuk bermitra dengan pemerintah daerah atau PDAM untuk mengembangkan proyek IUWM atau menyediakan layanan kepada penduduk yang tinggal di sekitar, meskipun tidak di dalam zona pembangunannya. Untuk memfasilitasi pengembangan proyek semacam ini, regulasi terkait KPBU harus diperluas untuk mencakup perjanjian kerja sama pengelolaan dan layanan. 4.4 Perencanaan dan Implementasi 4.4.1 Sasaran Indonesia telah mengalokasikan pendanaan yang substansial untuk dapat mencapai sasaran terkait air bersih di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, dengan indikasi komitmen dari pemerintah pusat mengingat pentingnya isu ini. Penyediaan air dan sanitasi merupakan bagian penting dari RPJMN 2020–2024, yang mencakup sasaran tingkat nasional untuk peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi, dan sasaran spesifik untuk meningkatkan jumlah sambungan rumah tangga melalui perpipaan. Indonesia memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk mengeksplorasi pendekatan pengelolaan air dengan memperluas sasaran kebijakan, di antaranya untuk penyediaan layanan air, akses sanitasi, pengurangan risiko banjir, dan bidang lain. Sasaran kebijakan utama telah dijabarkan dalam RPJMN. RPJMN 2015-2019 mencakup tujuan air bersih dan sanitasi “100-0-100” yang ambisius: 100 persen akses air bersih, nol persen kawasan kumuh, dan 100 persen akses sanitasi seluruh negeri. Sasaran ini tidak tercapai,7 yang diakui di RPJMN 2020–2024, dan sasaran direvisi menjadi 100 persen akses ke air layak minum, 30 persen akses ke air perpipaan, dan 90 persen akses ke sanitasi yang lebih baik. Selain itu, sasaran berikut disebutkan sebagai sasaran tahun 2024: • 10 juta sambungan air bersih untuk rumah tangga • Status bebas BAB sembarangan (Open Defecation Free) nasional; 15 persen memiliki akses ke sanitasi yang dikelola dengan aman • Rerata Air Tak Berekening (NRW) nasional sebesar 25 persen 7 Persentase yang dicapai untuk periode perencanaan 2015–2019 untuk peningkatan akses ke air bersih, perumahan dan sanitasi masing masing adalah 61,3 persen, 54,1 persen dan 74,6 persen (RPJMN 2020–2024). 28 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Dokumen perencanaan saat ini juga mengidentifikasi beberapa “langkah prioritas” terkait sektor air perkotaan. Dokumen ini memprioritaskan pembangunan pesisir utara Jawa secara terpadu, yang menyediakan pendukung kebijakan nasional untuk meningkatkan koordinasi sektoral terkait isu lingkungan hidup dan perkotaan di kawasan ini. Selain itu inisiatif yang ditetapkan menjadi prioritas mencakup pembangunan dan restorasi 15 daerah aliran sungai – termasuk Citarum, Ciliwung, dan DAS Cisadane, yang mengalir di wilayah metropolitan Jakarta – dan pengembangan 18 reservoir multiguna untuk penyimpanan air, rekreasi dan pengendalian banjir. Sasaran ini mencakup langkah yang terkoordinasi dari berbagai kementerian, termasuk KemenPUPR, Kemendagri, dan KLHK. Misalnya, KLHK dan KemenPUPR bekerja sama dalam satu strategi untuk rehabilitasi daerah aliran sungai yang kritis, termasuk penghijauan 150.000 hektar lahan kritis. RPJMN juga memperinci kebutuhan pengelolaan air yang lebih terintegrasi di wilayah-wilayah utama, termasuk Jabodetabek. Terdapat rencana untuk memperluas wilayah metropolitan di Palembang, Banjarmasin, Makassar, dan Denpasar. Rincian lebih lanjut terkait rencana RPJMN dibahas di Lampiran 3, beserta alokasi anggaran masing-masing. 4.4.2 Proses perencanaan Pemerintah daerah memiliki wewenang yang cukup besar dalam menyusun perencanaan untuk penyediaan air, sanitasi, drainase, tata guna lahan, pengelolaan sampah, dan transportasi. Rencana terkait tata air disusun oleh pemerintah daerah sesuai daftar di Lampiran 4. Penyerahan wewenang perencanaan ke daerah seharusnya memberi dasar yang kuat bagi koordinasi horizontal di lintas bidang kebijakan. Meski demikian, saat ini tidak ada proses standar untuk koordinasi antar dinas di tingkat daerah. Misalnya, dalam kaitannya dengan pengendalian banjir, dinas yang mengelola air juga bertanggung jawab atas prasarana drainase; dinas yang membawahi tata ruang menyetujui dan menerapkan ketentuan perizinan untuk pembangunan baru dan pemanfaatan lahan di daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai; dinas yang membawahi pengelolaan sampah bertanggung jawab untuk memastikan sampah tidak menyumbat jalur air; dan dinas yang membawahi penanggulangan bencana memiliki wewenang atas sistem peringatan dan langkah tanggap bencana. Di pusat Jakarta, situasi ini diperumit oleh yurisdiksi ganda atas prasarana drainase, dengan setengah kanal di bawah Balai Wilayah Sungai (RBO) dan setengahnya dikelola pemerintah provinsi. Berkonsultasi satu sama lain belum menjadi standar kerja yang berlaku. Berbagai proses perencanaan untuk sumber daya air, pengendalian banjir, penyediaan air, dan sanitasi berjalan paralel di bawah pembinaan kementerian/lembaga teknis di pemerintah pusat. Rencana-rencana ini memiliki jangka waktu dan siklus perencanaan yang berbeda, dan tidak ada keharusan atau proses untuk memastikan bahwa terdapat konsistensi antara mereka. Instansi-instansi ini mempekerjakan konsultan untuk menyusun perencanaan rinci, yang menyiapkan perencanaan secara independen, seringkali tanpa pemahaman kondisi setempat yang memadai. Evaluasi pra-proyek belum secara sistematik menyertakan manfaat pelengkap, seperti berkurangnya pengambilan air tanah dengan adanya peningkatan Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 29 sambungan melalui perpipaan, sehingga manfaat dari intervensi-intervensi seperti ini kurang mendapatkan perhatian. Pemerintah pusat menyadari kebutuhan adanya insentif dan mekanisme yang lebih kuat untuk memperkuat koordinasi di tingkat daerah, kebutuhan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat diskusi kelompok fokus diselenggarakan untuk kajian ini. Perencanaan air minum di Indonesia cenderung mengisi kekosongan di bidang lain sekaligus. Pertama, terdapat penekanan terhadap pengelolaan pasokan air melalui prasarana di atas pengelolaan permintaan melalui inisiatif masyarakat. Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum, atau RISPAM, disusun oleh pemerintah daerah, dan Rencana Bisnis Penyediaan Air, disusun oleh PDAM, di Jabodetabek telah dikaji secara rinci. Baik RISPAM maupun Rencana Bisnis disimpulkan fokus pada investasi untuk membangun atau memperluas infrastruktur untuk memenuhi proyeksi permintaan di masa mendatang berdasar ekstrapolasi tren permintaan saat ini. Beberapa dokumen menyebutkan pengurangan air tak berekening (NRW),8 namun konservasi air dan pengelolaan permintaan jarang disebut dan bukan merupakan bagian penting dari strategi penyediaan air. Rencana untuk Kota Bogor dan Kota Tangerang Selatan mengakui peran masyarakat dalam konservasi air namun tidak menyebutkan strategi spesifik untuk memberikan insentif bagi konservasi air. Analisis rinci terhadap Rencana Detail Tata Ruang, atau RDTR Jakarta 2030 juga menyimpulkan bahwa strategi mengelola pasokan air sudah disebutkan namun diskusi dari sisi permintaan belum disebutkan (Drestalita dan Saputra 2019). Kedua, ketersediaan pasokan air dan prasarana distribusi tidak dipertimbangkan dalam rencana tata ruang. Akibatnya, pengelola penyediaan air mengalami kesulitan dalam menyusun perencanaan untuk mengantisipasi dan memenuhi permintaan dari pembangunan baru dan mengatasi tantangan penyediaan drainase yang memadai. 4.4.3 Evaluasi Kinerja Pemerintah pusat menggunakan indikator kinerja untuk memberikan sinyal dan insentif bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan target kebijakan air bersih. Saat ini, pemerintah daerah dan PDAM melaporkan berbagai indikator kinerja. PDAM melaporkan kinerja keuangan dan operasional kepada pemerintah daerah dan KemenPUPR. Indikator kinerja kini ditentukan oleh KemenPUPR, namun sebelumnya ditentukan oleh lembaga pendukung, yakni Badan Peningkatan Penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM), yang kini telah dibubarkan. BPPSPAM memberikan kategori “sehat”, “kurang sehat”, atau “sakit” bagi PDAM. Sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), PDAM 8 Strategi pengelolaan air tak berekening (NRW) yang disebutkan dalam RISPAM mencakup menemukan dan mengukur kebocoran dengan menggunakan meteran air per area, monitoring dan perbaikan pipa, inspeksi dan penggantian meteran air, dan mengatasi sambungan ilegal. 30 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia diawasi oleh Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, dan melaporkan serangkaian indikator kepada Kemendagri yang terkadang sama dengan indikator KemenPUPR. Jika digabungkan, PDAM melaporkan hampir 60 indikator kepada Kemendagri dan KemenPUPR (baca Lampiran 5 untuk daftar rinci). Menambah indikator dari daftar ini dapat menambah beban kepatuhan regulasi bagi PDAM. Meskipun indikator saat ini tidak mencakup indikator spesifik pengelolaan terpadu, beberapa indikator yang sudah ada dapat digunakan untuk mengidentifikasi kota-kota yang menghadapi tantangan yang saling terkait di mana pendekatan IUWM pada khususnya dapat bermanfaat ketika dipadukan dengan data sanitasi dan banjir. Misalnya, daerah dengan kapasitas reservoir yang rendah namun mengalami banjir tinggi dapat mempertimbangkan pengisian akuifer atau jenis infrastruktur penampungan air terpadu lain; daerah dengan pemanfaatan instalasi pengolahan air yang tinggi dapat fokus pada peningkatan investasi untuk mengurangi air tak berekening (NRW) dibanding investasi peningkatan kapasitas produksi penyediaan air. Indikator saat ini yang dapat digunakan antara lain: • Air tak berekening (NRW) (target sebesar 25 persen pada tahun 2024) • Kualitas air yang dialirkan melalui perpipaan • Konsumsi domestik • Pertumbuhan jumlah pelanggan • Jangkauan layanan • Kapasitas instalasi pengolahan air • Kapasitas reservoir • Penggantian meteran (target 20 persen meteran diganti setiap tahunnya) Meski demikian, pengelolaan data yang kurang baik masih merupakan tantangan – khususnya tidak memadainya protokol pelaporan dan pengelolaan data, dan kualitas data. 4.5 Pengelolaan Informasi Pada saat ini, pengumpulan data di tingkat pusat dan daerah masih terbatas, protokol pengelolaan data kurang konsisten, dan proses perencanaan kurang memanfaatkan data. Tanggung jawab pengumpulan data untuk kualitas dan kuantitas air permukaan dan air tanah ada pada KLHK dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KEMENESDM), namun pos pemantauan masih sedikit dan terdapat keterlambatan transmisi data. Peta konservasi air tanah kurang lengkap dan tidak selalu tersedia. Karena itu, pemerintah daerah belum dapat mengacu pada data yang akurat dan andal untuk melakukan kalibrasi intake (pengambilan) air permukaan, menerbitkan izin pembuangan limbah, dan izin pengambilan air tanah. Kebutuhan atas peningkatan pengelolaan informasi di tingkat nasional telah diakui oleh pemerintah pusat dan disorot sebagai salah satu rekomendasi dalam Diagnostik Ketahanan Air. KemenPUPR telah mengembangkan proposal untuk Sistem Informasi Sumber Daya Air, Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 31 atau SISDA yang mencakup pengembangan sistem pemantauan yang modern dan peningkatan alat analisis. Sistem tersebut dapat membantu pemerintah daerah dalam membuat keputusan berdasar bukti untuk lisensi dan izin. Data tentang infrastruktur air bersih dan sanitasi, penyelenggaraan layanan, dan banjir dikumpulkan oleh pemerintah daerah untuk dapat disampaikan kepada instansi pemerintah pusat untuk kemudian digabung. Diskusi kelompok fokus (focus group discussions) yang dilaksanakan untuk kajian ini menunjukkan bahwa arus informasi adalah satu arah – pemerintah daerah tidak menggunakan data yang terkonsolidasi untuk membandingkan kinerja atau sebagai dasar perencanaan dengan pemerintah daerah di sekitarnya. Terdapat beberapa kemungkinan faktor: data tidak mudah diakses atau belum dalam format yang memungkinkan dilakukannya perbandingan, dan Kemendagri tidak memberikan arahan spesifik tentang format, penyimpanan, atau pemanfaatan. Keandalan dan akurasi data yang dilaporkan oleh pemerintah daerah juga menjadi permasalahan. Sebagai bagian dari kajian ini, data terkait layanan air bersih dan sanitasi, banjir, dan infrastruktur dikumpulkan dari pemerintah daerah di Jabodetabek, kemudian digabung, dianalisis, dan dibuat visualisasinya dalam rangkaian peta (baca laporan pendamping Jabodetabek). Upaya ini menunjukkan tantangan dan potensi pengumpulan dan pengelolaan data yang lebih baik. Basis data percontohan yang dihasilkan dapat menjadi dasar sistem informasi air daerah, yang dapat menjadi modal sistem informasi air nasional. 4.6 Pembiayaan Struktur pembiayaan untuk penyediaan air perkotaan dan sanitasi di Indonesia yang ada saat ini memberi ruang untuk memadukan insentif bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi IUWM. Saat ini, sebagian besar pembiayaan untuk investasi penyediaan air disediakan oleh pemerintah pusat: hanya 0,3 persen disediakan oleh pemerintah daerah (Setiono 2015). Pemerintah pusat bermaksud meningkatkan daya ungkit (leverage) pembiayaan untuk mencapai tujuan kebijakan dan mendistribusikan dana secara lebih merata. Pemerintah pusat menyediakan dana melalui beberapa saluran: • Pembiayaan langsung untuk proyek prasarana air minum dan sanitasi (misalnya instalasi pengambilan air baku dan pipa transmisi, instalasi pengolahan air, air limbah, dan instalasi pengolahan limbah septik dan sistem air limbah berbagai skala). KemenPUPR membangun infrastruktur dan menyerahkan aset ke pemerintah daerah untuk operasionalisasi dan pemeliharaan • Program restrukturisasi utang untuk PDAM • Penjaminan oleh pemerintah pusat dan subsidi bunga untuk pinjaman komersial (Peraturan Presiden No. 46/2019) 32 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia • Hibah berbasis output atas sambungan warga miskin perkotaan (Hibah air bersih) • Dana Alokasi Khusus (DAK) dan hibah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk air bersih dan sanitasi Pendanaan DAK didasarkan atas formula yang mempertimbangkan jangkauan layanan, tingkat kekeringan lahan, dan kapasitas fiskal. Akses terhadap sebagian jalur pembiayaan dikaitkan dengan kinerja operasional dan keuangan. Di sektor penyediaan air, saluran pendanaan tersebut dikoordinasikan di bawah kerangka National Urban Water Supply (NUWAS), yang didukung oleh Bank Dunia. Kerangka ini menyediakan berbagai bantuan teknis, penguatan kapasitas dan pembiayaan untuk pembangunan penyediaan air. Pendanaan ini menawarkan berbagai paket dukungan bagi penyedia air minum di berbagai tingkatan kinerja dalam struktur bertahap yang bertujuan mendorong penerima dana mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi sehingga layak menerima paket dukungan berikutnya. Di bawah kerangka NUWAS, Pemerintah Pusat menyediakan pembiayaan untuk investasi peningkatan jangkauan dan efisiensi operasional (penurunan air tak berekening (NRW) pemanfaatan kapasitas menganggur (idle) untuk memperluas jangkauan, rehabilitasi atau peningkatan instalasi pengolahan air yang ada). Prinsip dan struktur NUWAS terkait langsung dengan pendekatan IUWM dan memberikan dasar untuk jalur pembiayaan berbasis kinerja lainnya. Sementara pemerintah daerah melakukan eksplorasi terhadap pendekatan IUWM untuk merancang intervensi tertentu, dukungan pembiayaan tambahan mungkin diperlukan untuk mendanai kajian evaluasi ex ante (bersifat prakiraan) untuk infrastruktur biru-hijau, pembangunan sumber air non-konvensional, dan proyek pengelolaan permintaan. Dukungan keuangan juga mungkin diperlukan untuk pelatihan dan penguatan kapasitas untuk PDAM dan konsultan teknik yang belum mengenal jenis-jenis proyek seperti ini. Untuk mendorong minat terhadap IUWM, pembiayaan tambahan dari pemerintah pusat dapat dipertimbangkan untuk proyek percontohan atau model dan untuk meminta pendanaan untuk mendukung proyek inovatif berskala kecil. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 33 Pengalaman 5. IUWM di Indonesia 5. PENGALAMAN IUWM DI INDONESIA Pendekatan IUWM telah diterapkan di beberapa proyek di Indonesia, meskipun belum diakui atau disebut sebagai IUWM.9 Proyek-proyek ini berkisar dari langkah IUWM skala mikro di kelurahan hingga kerja sama antara pemerintah kota dan provinsi untuk isu air, misalnya pada Sekretariat Bersama Kartamantul dan Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabekjur (BKSP). Meskipun upaya-upaya IUWM di Indonesia memiliki efektivitas capaian yang bervariasi, upaya-upaya tersebut mengindikasikan berbagai langkah yang memungkinkan untuk konteks saat ini dan dapat ditingkatkan skalanya, direplikasi, atau disesuaikan dengan pemerintah daerah. Langkah-langkah IUWM di Indonesia mencakup inisiatif pemerintah, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, dan langkah yang diprakarsai oleh swasta. 5.1 Inisiatif Pemerintah 5.1.1 Langkah dan intervensi saat ini Pemerintah daerah terlibat aktif dalam proyek pengelolaan drainase vertikal, sebagai bagian dari upaya pengendalian banjir dan pengisian kembali air bawah permukaan. Sumur resapan, kolam resapan, kolam retensi, dan penghijauan di bantaran sungai cukup populer di kalangan kabupaten dan kota Indonesia. Langkah ini tercermin dalam proyek yang ada dan yang direncanakan dalam RISPAM. Beberapa contoh di antaranya adalah sumur resapan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Kota Depok, dan Kabupaten Bogor; kolam resapan di Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi; kolam retensi dan penampungan/detensi di Kota Bogor; penghijauan di bantaran sungai atau sabuk hijau sepanjang sungai di Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang; dan upaya untuk membatasi pembangunan di sekitar sungai di Kota Bekasi dan Kota Tangerang. Kabupaten Bogor tengah mempertimbangkan untuk menempatkan sumur resapan secara strategis sehingga air hujan dapat mengisi kembali mata air di bawah permukaan. Kota Bogor juga mempertimbangkan reforestasi dan membatasi pembangunan yang dapat mempengaruhi resapan atau menyebabkan polusi air tanah. Upaya- upaya memperluas cakupan drainase vertikal merupakan kegiatan-kegiatan yang masih terbatas saat ini, dan dampak positifnya belum dapat diukur, selain pengamatan umum bahwa banjir lokal dapat dibatasi dan air bawah permukaan terisi kembali. Meningkatkan jumlah ruang resapan air dalam bentuk ruang terbuka hijau juga merupakan upaya yang dilakukan. Berdasar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, terdapat ketentuan ruang terbuka sebesar 30 persen luas lahan di kabupaten/kota. DKI Jakarta 9 Untuk mengumpulkan informasi terkait upaya di lapangan, kami berdiskusi dengan pemerintah daerah, melakukan pencarian secara daring, meneliti dokumen perencanaan terkait RISPAM. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 35 bermaksud mencapai target ini pada 2030, dan mengatur bahwa 23 persen di antaranya adalah hutan kota (Sundara dkk 2017). Sasaran ini menantang karena penduduknya yang besar dan padat dan mungkin perlu dikaji. Pada 2015, 646 hektar dari target 4.631 hektar hutan kota sudah terwujud (Sundara dkk 2017). Inisiatif lain adalah Adipura, kompetisi nasional yang diselenggarakan KLHK untuk menghargai dan memberi insentif proyek keindahan dan peningkatan mutu dan pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun sebagian upaya dan rencana untuk meningkatkan kualitas air baku sudah ada, upaya ini masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan skala masalahnya. Kabupaten Tangerang telah mengembangkan pendekatan tiga jalur untuk meningkatkan kualitas air: mencegah polusi di sumber air, menjamin kualitas air saat pengolahan dan distribusi oleh operator, dan mencegah kontaminasi atau rekontaminasi air minum oleh pelanggan. Selain itu Kota Tangerang tengah melakukan penjajakan taman eko-teknologi, menggunakan tanaman hias untuk mengolah limbah domestik sebelum masuk ke badan air. Di antara upaya-upaya tersebut, DKI Jakarta telah memasukkan pengolahan air limbah domestik dan sampah di badan air, bersamaan dengan pembangunan kawasan tepian air (waterfront) di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2030nya. Terdapat beberapa upaya untuk mengadopsi dan menerapkan teknologi baru untuk diversifikasi sumber air baku. Kepulauan Seribu, yang berada di bawah wewenang DKI Jakarta, memiliki beberapa instalasi seawater reverse osmosis (SWRO) atau osmosis terbalik air laut yang mengkonversi air laut menjadi air tawar bagi warga. Instalasi SWRO skalanya kecil, namun ada rencana membangun SWRO skala besar untuk membawa air yang diolah ke pulau lain. Terdapat juga upaya untuk memanfaatkan teknologi baru pengolahan air limbah untuk digunakan kembali. Teknologi Moving Bed Biofilm Reactor pertama di DKI Jakarta dijadwalkan beroperasi pada 2021 (BizIndo 2019). Berlokasi di Krukut, instalasi ini dikelola oleh PD PAL Jaya, penyelenggara layanan sanitasi DKI Jakarta, dan memiliki kapasitas untuk mengolah dan mendaur ulang 100 liter air per detik. Air daur ulang akan digunakan oleh bangunan di sekitarnya untuk pengguyuran (flushing) jamban, oleh Dinas Pertamanan untuk menyiram tanaman, dan oleh Dinas Pemadam Kebakaran untuk memadamkan api. Inisiatif serupa juga dilakukan di daerah Daan Mogot, Jakarta. Proyek yang didanai donor telah mendukung sasaran dan kebutuhan terkait air bersih, termasuk melalui pembiayaan dan transfer teknologi dan ketrampilan. Japan International Cooperation Agency (JICA) cukup aktif bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk proyek seperti pemantauan air tanah di DKI Jakarta, pengendalian banjir di Bekasi, dan pelatihan tentang air tak berekening (NRW) dan efisiensi energi untuk staf PDAM di Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, dan Kota Makassar (Ahyar dan Makita 2018). Kedutaan Belanda telah mendukung kajian terkait pengendalian banjir dan sumber daya air di Jakarta (Kedutaan Belanda di Indonesia 2019). 5.1.2 Kerja sama lintas daerah di wilayah metropolitan Kerja sama lintas daerah dilakukan di kawasan perkotaan Jabodetabek dan Kartamantul, dengan keberhasilan yang beragam. Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabekjur (BKSP) merupakan 36 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia lembaga kolaborasi yang terdiri dari pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah di sekitarnya (Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Cianjur). Badan ini merupakan satu-satunya di tingkat metropolitan di Indonesia yang didirikan oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan koordinasi terkait masalah banjir, ketersediaan air, transportasi jalan, dan pengelolaan sampah. Meskipun BKSP diakui oleh pemerintah daerah dan provinsi di Jabodetabekjur sebagai platform resmi untuk meningkatkan kolaborasi antar wilayah, fungsinya hanya terbatas sebagai platform dan tidak memiliki wewenang atau anggaran untuk melaksanakan proyek (Firman 2014). Kerja sama di bawah BKSP sejauh ini masih terbatas (Silfiana 2018). Meski demikian, status administratif BKSP diperkuat oleh Kemendagri sesuai Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah, dan air tampaknya akan menjadi fokus bidang kerja sama. Sekretariat Bersama Kartamantul di Yogyakarta merupakan contoh kerja sama lintas daerah lainnya terkait air bersih. Wilayah Metropolitan Kartamantul terdiri dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, tiga pemerintah daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada 2001, Sekretariat Bersama Kartamantul dibentuk sebagai inisiatif dari bawah (bottom-up) untuk mengelola dan mengkoordinasikan pembangunan lintas daerah di tiga kabupaten/kota (Firman 2014). Para pemimpin Kartamantul setuju berkoordinasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur perkotaan, termasuk untuk penyediaan air dan transportasi, dan telah mengembangkan pengaturan antar daerah untuk pengelolaan sampah (landfill Piyungan), pengolahan air limbah dan limbah domestik (IPAL Sewon di Bantul). Ketiga kawasan perkotaan di Kartamantul menghadapi masalah serupa – di antaranya, pertumbuhan penduduk perkotaan, meningkatnya permintaan terhadap air bersih dan kesulitan dalam mendapatkan sumber air baku baru, degradasi lingkungan hidup, dan permintaan terhadap layanan dasar yang cukup tinggi. Para pemimpin juga menyadari bahwa pemukiman di perbatasan adalah “daerah abu-abu” yang kurang mendapat perhatian, karena tidak jelas berada di bawah tanggung jawab pemerintah daerah yang mana. Sekretariat Bersama menciptakan peluang pelaksanaan IUWM melalui pengelolaan layanan air lintas daerah. Pendekatan terpadu didorong oleh Sekretariat yang melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai kabupaten/kota dan tingkat pemerintahan (daerah dan provinsi) dan mengelola berbagai bagian layanan air dan mungkin membagi tanggung jawab keuangan melalui mekanisme pembagian biaya. Rincian lebih lanjut tentang studi kasus Kartamantul ada pada Lampiran 1. Contoh wilayah metropolitan lain adalah Sarbagita di Provinsi Bali, dengan Kota Denpasar sebagai pusatnya, dikelilingi Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan. Sarbagita adalah wilayah strategis nasional utama pada RPJMN 2015–2019, dan kolaborasi wilayah metro ini didorong kepemimpinan dan minat kerja sama yang kuat dari pemerintah provinsi, yang membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) untuk mengelola sarana dan prasarana Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 37 wilayah. Sarbagita telah mengembangkan mekanisme kerja sama penyediaan air, air limbah, transportasi dan pengelolaan sampah. Wilayah mega-urban lintas daerah lain di Indonesia adalah Gerbangkertosusila (Surabaya dan sekitarnya), Bandung Raya, Kedungsapur (Semarang dan sekitarnya), Mebidangro (Medan dan sekitarnya), dan Mamminasata (Makassar dan sekitarnya); yang belum memiliki mekanisme koordinasi. 5.1.3 Inisiatif kerja sama Meski dengan hambatan koordinasi perencanaan, konsultasi pemangku kepentingan untuk studi ini menunjukkan bahwa sebagian inisiatif skala kecil yang mencakup koordinasi horizontal, ternyata memungkinkan, bahkan cukup sering ditemui, di bawah kerangka regulasi yang ada. Koordinasi antar pemerintah daerah dilakukan dalam Kelompok Kerja (Pokja), yang biasanya dibentuk untuk inisiatif atau proyek tertentu. Tim ad hoc ini terdiri dari wakil instansi pemerintah yang bekerja sama terkait proyek atau target tertentu. Misalnya, sumur resapan dibangun di wilayah hulu Jabodetabek untuk mengurangi dampak banjir dan mengisi air tanah; proyek ini dibiayai oleh dua pemerintah daerah (Kota dan Kabupaten Bogor), didukung donor program (USAID IUWASH PLUS) dan pemerintah pusat. Contoh inisiatif yang ada ini diuraikan lebih lanjut di Bagian 5. Inisiatif pembersihan sungai, seperti Gerakan Ciliwung Bersih dan Citarum Harum, merupakan upaya multi-pemangku kepentingan yang sudah lama berlangsung melibatkan pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, dan badan usaha. Citarum Harum, misalnya, adalah upaya kolaboratif antar kota, yang dipimpin oleh gubernur Jawa Barat, dengan partisipasi tentara. Meskipun kualitas air belum meningkat secara substansial, inisiatif IUWM seperti ini cukup positif untuk diperluas dan direplikasi di sungai lain. Peluang lain untuk inisiatif koordinasi adalah skema pembayaran jasa lingkungan (Payment for Ecosystem Services, PES), yang dapat digunakan sebagai mekanisme pembiayaan dalam skema pengelolaan daerah tangkapan air. Dalam sistem PES, pengguna air di hilir membayar masyarakat di hulu untuk melakukan konservasi lahan atau membangun dengan lestari. Skema PES masih belum meluas. Meski demikian, contoh PES yang berhasil dan berkelanjutan adalah DAS Cidanau, di mana PDAM hilir membayar petani untuk menjaga tutupan tanaman (baca Lampiran 1.2). Para pemangku kepentingan yang terlibat dalam PES biasanya adalah pemerintah (daerah, provinsi dan/atau nasional), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Balai Wilayah Sungai/RBO, dan masyarakat setempat seperti kelompok petani, badan usaha swasta yang diuntungkan dari jasa lingkungan, dan lembaga donor. Mekanisme PES melibatkan pembeli, penjual, dan organisasi perantara yang menegosiasikan perjanjian antara pembeli dan penjual dan melaksanakan mekanisme PES, di antara tugas mereka yang lain. 38 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 5.2 Kemitraan dengan Sektor Swasta Pelibatan sektor swasta dalam proyek IUWM biasanya melibatkan perusahaan besar yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan inisiatif pengembang properti. Kontrak KPBU formal berpotensi menerapkan IUWM namun belum dicoba di Indonesia. Inisiatif IUWM oleh swasta di Indonesia mungkin berskala kecil, namun menunjukkan bahwa kerja sama dan koordinasi dimungkinkan berdasar kerangka hukum dan regulasi yang ada, dan memberikan contoh bagi pemerintah daerah yang tertarik dengan IUWM. Reformasi regulasi dan skema insentif pendukung dapat membantu memperluas skala dan jumlah proyek ini. Di Jepang, misalnya, pengembang properti swasta diharuskan membangun kolam retensi untuk mitigasi banjir pada pengembangan skala besar. Saat ini, dalam kategori CSR, Yayasan Coca Cola Indonesia (CCFI) aktif menyelenggarakan proyek terkait air di seluruh Indonesia (Coca-Cola 2017). Pada khususnya, di bawah program Sumur Resapan “Lumbung Air” CCFI, yang didukung oleh US Agency for International Development (USAID), lebih dari 4.000 sumur resapan dibangun untuk mengisi kembali akuifer di seluruh Indonesia. Sebagian pengembang properti swasta telah mengadopsi pendekatan IUWM secara sukarela, sementara yang lainnya melakukannya untuk mematuhi ketentuan izin usaha. Misalnya, salah satu pengembang besar Indonesia, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), telah menerapkan skema IUWM skala kecil seperti kolam retensi dalam wilayahnya. Di Kemang Village, yang juga dikembangkan LPKR, kolam retensi menampung dan mengolah air hujan, yang didaur ulang untuk non-air minum. Perjanjian kemitraan antara pemerintah daerah dan pengembang swasta dapat digali lebih lanjut, karena kami belum dapat mengidentifikasi contoh yang ada. Dalam kaitannya dengan pengaturan KPBU, instalasi pengolahan air (IPA), instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan proyek air baku dan transmisi berdasar model BOT dan BOT+ disertakan dalam buku KPBU secara berkala, namun sebagian kecil yang mencapai penetapan pemenang dan pelaksanaan kontrak. Kontrak jenis konsesi diberikan sebelum perubahan regulasi, termasuk dua konsesi besar di Jakarta, yang terus beroperasi, namun perlu direstrukturisasi agar layanan pelanggan dikecualikan. Beberapa proyek ada di fase konstruksi, termasuk Mata Air Umbulan, dan proyek penyediaan air Bandar Lampung, yang menggabungkan pembiayaan kelayakan (viability gap funding) dari pemerintah pusat dan penjaminan dari Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII). KPBU juga telah diterapkan untuk sanitasi, termasuk proyek IPAL skema BOT untuk Kota Makassar pada 2020. Terdapat potensi perumusan kontrak pengelolaan dan layanan pengendalian akses dan kualitas layanan air dan sanitasi, daur ulang air skala kecil, instalasi dan pemeliharaan tangki septik, pengolahan dan pembuangan kotoran manusia, dan pengelolaan air limpasan. Namun potensi ini belum terealisasi. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 39 National 6. Framework Recommendations 6. REKOMENDASI KERANGKA NASIONAL 6.1 Rekomendasi Bagian ini merupakan serangkaian rekomendasi kebijakan berdasar kajian tata kelola dan kebijakan air bersih di Indonesia dan pengalaman internasional terkait IUWM. Pada beberapa tahun terakhir, banyak kebijakan dan proses baru yang terkait dengan berbagai aspek pengelolaan air telah diterapkan di Indonesia. Upaya-upaya ini mulai menunjukkan hasil yang positif dan sebaiknya terus didukung. Pada saat yang sama, proses perumusan peraturan pelaksana undang-undang baru memberi peluang untuk mendorong dan memfasilitasi adopsi IUWM. Berbagai rekomendasi yang diusulkan di antaranya adalah langkah yang dapat langsung diambil oleh pemangku kepentingan sektor, selain langkah yang memerlukan perubahan regulasi atau sumber daya tambahan dan dengan demikian sebaiknya diadopsi pada jangka menengah atau panjang. Langkah rekomendasi terbagi menjadi lima pilar IUWM, digambarkan pada Tabel 4, dan menjadi dua jenis langkah: kerangka pemampu yang sebaiknya dipimpin oleh pemerintah pusat dan langkah intervensi praktis yang sebaiknya dipimpin oleh pemerintah daerah. Peran utama pemerintah pusat adalah merumuskan kerangka hukum dan regulasi yang konsisten dengan IUWM, menerapkan regulasi, mekanisme dan insentif pendukung, dan memberikan insentif koordinasi lintas bidang kebijakan dan kerja sama antar wilayah administrasi. Hal ini perlu melibatkan beberapa kementerian – terutama KemenPUPR, yang sudah lama menjadi instansi utama untuk pengelolaan air perkotaan, dan Kemendagri, yang berperan penting dalam menentukan dan mengawasi standar dan kode untuk pemerintah daerah, serta mengawasi kerja sama antar pemerintahan pada tingkatan lebih rendah. Sebagai aktor utama dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan di Indonesia, pemerintah daerah perlu menjadi pelaku utama dalam mengarusutamakan IUWM melalui perencanaan investasi, penyelenggaraan layanan, dan fungsi perizinan mereka. Mereka juga memimpin dalam berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain, berkomunikasi dengan masyarakat, dan membangun kemitraan dengan pelaku swasta setempat, lembaga pendidikan dan pelatihan, dan organisasi masyarakat sipil. Mitra pembangunan juga memainkan peran penting. Mereka dapat memberikan panduan kepada pemerintah terkait kerangka hukum dan regulasi untuk tata kelola perkotaan dan IUWM; Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 41 penyusunan indikator dan prosedur yang tepat untuk pemantauan dan evaluasi kemajuan IUWM di seluruh negeri; membangun dan menyediakan akses pengetahuan tentang IUWM sesuai kondisi setempat melalui panduan praktis, studi kasus, dan pelibatan pemangku kepentingan di semua level, penyediaan dukungan teknis dan keuangan untuk proyek percontohan dengan pemimpin setempat; dan mengembangkan mekanisme pembiayaan pendukung proyek IUWM pemerintah daerah. Beberapa rekomendasi yang ada terkait implementasi dan pelaksanaan rencana, kebijakan, dan regulasi yang berlaku, seperti standar pelayanan minimum untuk penyediaan air dan sanitasi, sanitasi inklusif perkotaan, dan Peraturan Mendagri tentang tarif dan subsidi yang diperkuat. Seperti pada bab sebelumnya, konteks kelembagaan dan regulasi di Indonesia cukup dinamis, dan perubahan dari reformasi sebelumnya diubah sebelum mulai berdampak. Dengan demikian rekomendasi menekankan kebutuhan akan keberlanjutan dalam bidang kebijakan air yang baru-baru ini diperbarui sesuai prinsip-prinsip IUWM. Dalam jangka pendek, prioritas sebaiknya diberikan pada upaya integrasi prinsip IUWM dalam peraturan pelaksana dan panduan yang sedang dikembangkan dan dikaji. Pada khususnya, rancangan peraturan tentang tata kelola perkotaan, panduan tentang kerja sama antar daerah, dan peraturan pelaksana Undang-Undang SDA terkait air tanah dipastikan konsisten dengan pendekatan IUWM. Langkah penerapan IUWM dapat segera diambil dalam konteks kebijakan dan program yang ada. Untuk penyediaan air, IUWM dapat didorong melalui Kerangka NUWAS, yang menghubungkan akses keuangan dengan indikator kinerja, melalui inisiatif sanitasi inklusif perkotaan. Pertukaran data oleh pemerintah daerah dapat menjadi mekanisme efektif pengukuran kinerja dan menentukan insentif melalui adopsi protokol pelaporan yang jelas dan konsisten dan pengelolaan data yang transparan. Dalam jangka menengah, replikasi dan perluasan skala proyek siklus air terpadu yang serupa dengan studi kasus dalam kajian ini dapat dilakukan. Di antaranya adalah proyek infrastruktur biru-hijau untuk pengelolaan air limpasan sekaligus peningkatan kualitas lingkungan perkotaan dan pengisian air tanah; kombinasi air limpasan, air limbah, dan proyek penggunaan kembali air untuk mengatasi masalah polusi dan pasokan air lokal; dan proyek pengelolaan DAS yang mencakup mekanisme PES untuk mengatasi tantangan perkotaan terkait air di hulu dan hilir. Pada skala waktu yang sama, prinsip-prinsip IUWM perlu diintegrasikan ke dalam proses perencanaan untuk tata ruang dan urusan perkotaan lainnya. Saat rencana untuk urusan ini akan direvisi seperti pembangunan perkotaan, sampah, penangggulangan bencana, atau adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dampak terhadap penyediaan air sebaiknya dimasukkan ke dalam proses perencanaan. 42 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Dalam jangka panjang, proyek infrastruktur biru-hijau dapat dirancang dan dijadikan percontohan, dan mekanisme pembiayaan khusus dapat dikembangkan untuk intervensi pengelolaan siklus air terpadu. Berbagai kementerian dan instansi di tingkat pusat dan daerah dapat memimpin dalam aspek program IUWM tertentu, memungkinkan berbagai rekomendasi ini diterapkan secara bersamaan dan secara kolaboratif. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 43 Tabel 4: Rekomendasi IUWM 44 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 45 46 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 47 48 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Tabel 5 menggambarkan kerangka waktu untuk pelaksanaan rekomendasi. Langkah prioritas mendesak (disebutkan pada Tabel 2 dan 3 berikut) dapat diterapkan dalam jangka pendek dalam konteks kebijakan dan regulasi yang ada, sementara tahapan pelaksanaannya kemungkinan memerlukan langkah persiapan yang cukup panjang (seperti pengumpulan data, konsultasi, dan perumusan regulasi baru) dan dapat diterapkan dalam jangka pendek, menengah atau panjang. Tahapan implementasi yang disarankan adalah sebagai berikut: • Mendesak: dalam satu tahun • Jangka pendek: satu hingga tahun • Jangka menengah: lima hingga 10 tahun • Jangka panjang: lebih dari 10 tahun Sebagian rekomendasi bergantung pada kondisi prasyarat tertentu, dan tersirat dalam usulan tahapan rekomendasi. Misalnya, klarifikasi kerangka hukum terkait pengelolaan air tanah, peningkatan efisiensi air, dan pelaksanaan pemanfaatan air sesuai peruntukan untuk non air minum merupakan langkah mendesak, sementara penghentian pengambilan air tanah secara realistis dan efektif dapat dilakukan dalam jangka menengah. Dengan demikian baik langkah mendesak dan jangka menengah – panjang perlu dilakukan. Sebagian rekomendasi – seperti pengelolaan prasarana dan Sistem Pengelolaan Informasi Air Bersih (Water Information Management Systems (WIMS)) – memerlukan upaya yang berkelanjutan, adaptif dan dilakukan terus menerus; sesuai gambaran pada peta jalan (roadmap). Kotak 2: Kerangka Implementasi: Langkah Prioritas Mendesak 1. Menanamkan hal berikut ke dalam perumusan peraturan pelaksana: a) Kerja sama antar pemerintah daerah b) Pengelolaan air tanah c) Tata kelola perkotaan 2. Membangun dari kerangka yang sudah ada: a) Memberikan insentif penegakan ketaatan terhadap izin pembuangan b) Mengembangkan protokol berbagi informasi terkait penyediaan air c) Menyertakan indikator IUWM dalam pengukuran kinerja untuk akses pembiayaan di bawah NUWAS Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 49 Kotak 3: Intervensi: Langkah Prioritas Mendesak 1. Mendorong kemajuan pencapaian IUWM di tingkat daerah: a) Menerapkan standar pelayanan minimum untuk layanan air bersih dan sanitasi b) Mendukung pelaksanaan Sanitasi Kota yang Inklusif c) Menyelaraskan insentif melalui kalibrasi tarif dan subsidi air 2. Berbagi informasi dan membangun kapasitas: a) Membagikan Panduan Praktis IUWM untuk Pemerintah Kota b) Menyusun katalog inisiatif IUWM setempat c) Mengembangkan sistem pengelolaan informasi terkait air bersih 3. Melacak perkembangan: a) Mengembangkan indikator ketahanan air perkotaan dan melakukan penilaian tingkat kota b) Menyertakan indikator IUWM dalam pengukuran kinerja di bawah NUWAS 50 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Tabel 5: Peta Jalan Rekomendasi Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 51 52 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 53 54 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 55 6.2 Penutup IUWM memiliki potensi yang besar untuk mengatasi berbagai risiko terkait air bersih yang saling terkait dan membangun ketahanan di kawasan perkotaan di Indonesia, mulai dari wilayah metropolitan yang melintasi berbagai wilayah administrasi, hingga kota-kota kecil yang berkembang pesat di seluruh nusantara. Sementara IUWM belum dikenal luas oleh pemerintah daerah di Indonesia, terdapat contoh-contoh kota yang telah memadukan elemen kebijakan air bersih dengan sektor perkotaan lainnya dengan baik, adanya rekam jejak kerja sama antar daerah terkait penyediaan air, dan contoh kemitraan dengan aktor non pemerintah. Inisiatif-inisiatif ini mencerminkan prinsip-prinsip IUWM, dan banyak yang dapat diperluas skalanya atau direplikasi dengan kerangka pendukung yang diselenggarakan. Pendekatan IUWM juga mendapatkan perhatian di tingkat pemerintah pusat, di mana, dengan dukungan Bank Dunia dan mitra pembangunan lain, para pembuat kebijakan berupaya mendorong kerja sama antar daerah yang bertetangga, mengintegrasikan tata ruang, dan memberikan insentif bagi investasi dan efisiensi operasional di sektor air bersih. Pemerintah Indonesia tengah menyusun peraturan pelaksana Undang-undang Sumber Daya Air tahun 2019, dan regulasi terkait wilayah metropolitan tengah dikaji oleh Kemendagri, sehingga terbuka peluang untuk menanamkan IUWM ke dalam kerangka kelembagaan dan regulasi yang ada. Memajukan agenda IUWM akan memerlukan kerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk menjaga momentum yang dibangun dari lokakarya yang diselenggarakan dalam proyek ini. Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan perkotaan yang paling menantang di Indonesia untuk merancang dan melaksanakan kebijakan terkait penyediaan air, namun juga merupakan wilayah yang mengalami tantangan terkait ketahanan air yang paling berat dan mendesak, sehingga IUWM akan membawa banyak manfaat. Pengumpulan, analisis data, visualisasi dan pelibatan pemangku kepentingan yang terus dilakukan di Jakarta kajian ini perlu diteruskan ke kawasan perkotaan dan kota-kota prioritas lainnya. Panduan Praktis IUWM untuk Perkotaan merupakan langkah pertama dalam proses tersebut. Pendekatan IUWM telah mengalami perubahan sejak pertama dikembangkan untuk menanamkan unsur kelestarian lingkungan hidup, ekonomi sirkular, dan resiliensi. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini akan berkembang lebih lanjut dalam menghadapi tantangan yang saling terhubung yang dihadapi oleh kawasan-kawasan perkotaan negara ini, dan untuk memasukkan inovasi yang dibangun dari budaya setempat, kearifan lokal, dan sumber daya dan keahlian khas yang ada di seluruh negeri. Upaya lebih lanjut kini diperlukan untuk merancang insentif bagi para pembuat kebijakan untuk mengadopsi IUWM di Indonesia. Pengetahuan dan komitmen para mitra pembangunan memiliki peran penting dalam mewujudkan visi tersebut. 56 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia REFERENSI Abell, Robin, Nigel Asquith, Giulio Boccaletti, Leah Brenner, Emily Chapin, Andrea Erickson-Quiroz, Jonathan Higgins, Justin Johnson, Shiteng Kang, Nathan Karres, Bernhard Lehner, Rob McDonald, Justus Raepple, Daniel Shemie, Emily Simmons, Aparna Sridhar, Kari Vigerstøl, Adrian Vogl, dan Sylvia Wood. 2017. Beyond the Source: The Environmental, Economic and Community Benefits of Source Water Protection. Arlington, VA: The Nature Conservancy. Ahyar, Agus, dan Yusaku Makita. 2018. “The Project on Strengthening COE (Center of Excellence) Program for PDAMs in the Republic of Indonesia: Project Completion Report.” N.p.: Japan International Cooperation Agency (JICA). https://openjicareport.jica.go.jp/pdf/12322392_01. pdf. Aihara, Shigeru, Hirosbi Ugata, Kanji Miyazawa, dan Yutaka Tanaka. 1969. “Problems on Groundwater Control in Tokyo.” Proceedings of the Tokyo Symposium on Land Subsidence, in Land Subsidence, vol. 2, 635–644. Cambridge, Inggris: IASH-UNESCO. Amaruzaman, Sacha, N.P. Rahadian, dan Beria Leimona. 2017. “Role of Intermediaries in the Payment for Environmental Services Scheme: Lessons Learnt in the Cidanau Watershed, Indonesia.” Dalam Co-Investment in Ecosystem Services: Global Lessons from Payment and Incentive Schemes, yang disunting oleh S. Namirembe, B. Leimona, M. van Noordwijk, dan P. Minang. Nairobi: World Agroforestry Centre (ICRAF). Beek, Eelco van, dan Wouter Lincklaen Arriëns. 2013. Water Security: Putting the Concept into Practice. Stockholm: Global Water Partnership. a national framework for integrated urban BizIndo. 2019. “Jakarta Governor Commences Ground Breaking for Wastewater Treatment Plant water 雅加达州长开始为污水处理厂动土.” Indonesia Construction News, BizIndo.com, management 9 Desember 2019. https:// in indonesia bizindo.com/jakarta-governor-commences-ground-breaking-for-wastewater-treatment- plant/. Brown, Rebekah, Richard Ashley, dan Megan Farrelly. 2011. “Political and Professional Agency Entrapment: An Agenda for Urban Water Research.” Water Resources Management 25. no. 15 (December): 4037–4050. doi:10.1007/s11269-011-9886-y. Burn, Stewart, Shiroma Maheepala, dan Ashok Sharma. 2012. “Utilising Integrated Urban Water Management to Assess the Viability of Decentralised Water Solutions.” Water Science and Technology 66, no. 1 (Juli): 113–121. doi:10.2166/wst.2012.071. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 57 California State Environmental Protection Agency State Water Resources Control Board. 2019. “Groundwater Replenishment and Seawater Intrusion Prevention Project at Santa Cruz Groundwater Basin.” FAAST – Financial Assistance Application Submittal Tool. https://faast. waterboards.ca.gov/Public_Interface/PublicProposalDetails.aspx?Pin=42545&PropId= 43570. China Everbright. “Everbright Water Obtains Public-private Partnership Project For Construction of ‘Sponge City’ Of Zhenjiang.” Keluaran pers, 18 April 2016. https://m.marketscreener.com/ quote/stock/CHINA-EVERBRIGHT-ENVIRONM-6165764/news/China-Everbright-Everbright- Water-Obtains-Public-private-Partnership-Project-For-Construction-of--22193521/. Climate-ADAPT (European Climate Adaptation Platform). 2021. “Zaragoza: Combining Awareness Raising and Financial Measures to Enhance Water Efficiency.” Studi Kasus, Database, ADAPT - Iklim. European Commission and the European Environment Agency. Modifikasi terakhir 11 Maret 2021. https://climate-adapt.eea.europa.eu/metadata/case-studies/zaragoza- combining-awareness-raising-and-financial-measures-to-enhance-water-efficiency. Closas, Alvar, Matthijs Schuring, dan Diego Rodriguez. 2012. “Integrated Urban Water Management - Lessons and Recommendations from Regional Experiences in Latin America, Central Asia, and Africa.” Water Partnership Program (WPP) Case File No. 1. Washington, DC: World Bank. Coca-Cola. “17 Years of Coca-Cola Foundation Indonesia.” Keluaran pers, 22 Agustus, 2017. https://en.cocacola.co.id/press-center/press-releases/17-years-of-coca-cola-foundation- indonesia. Danish EPA (Environmental Protection Agency). n.d. “Identify sources of water loss.” Water loss, Water at home, Nature & Water. Danish EPA, Ministry of Environment of Denmark. https:// eng.mst.dk/nature-water/water-at-home/water-loss/. DELWP (State of Victoria Department of Environment, Land, Water and Planning). 2017a. “Planning a Green-Blue City: A How-to Guide for Planning Urban Greening and Enhanced Stormwater Management in Victoria.” Melbourne: State of Victoria Department of Environment, Land, Water and Planning. https://www.water.vic.gov.au/__data/assets/pdf_file/0029/89606/ Green-blue-Infrastructure-Guidelines-Feb17.pdf. DELWP (State of Victoria Department of Environment, Land, Water and Planning). 2017b. Cost Allocation Framework for IWM Projects. Melbourne: State of Victoria Department of Environment, Land, Water and Planning. https://www.water.vic.gov.au/__data/assets/pdf_ file/0027/89604/DELWP-Cost-Allocation-Framework-Final-Jun17.pdf. 58 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Drestalita, N.C., dan R.T. Saputra. 2019. “The Jakarta Detailed Spatial Plan Evaluation Based on Sustainable Development Principles.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 340 (October): 012032. doi:10.1088/1755-1315/340/1/012032. Dutch Embassy Indonesia (Kedutaan Besar Kerajaan Belanda in Indonesia). “The Netherlands, Indonesia and South Korea have renewed their commitment to work together on development of Jakarta’s coastal flood protection plans…” Facebook, 27 Juni 2019. https://www.facebook. com/DutchEmbassyIndonesia/photos/a.625312457533516/2520854114645998/?type=3. European Commission. n.d. “Zaragoza: Water Saving City. Small Steps, Big Solutions.” European Commission LIFE Public Database, Ref. LIFE96 ENV/E/000509. Diakses pada 10 Mei, 2021. https://webgate.ec.europa.eu/life/publicWebsite/project/details/1042. Fan and Matsumoto. 2019. “GIS-Based Social Cost–Benefit Analysis on Integrated Urban Water Management in China: A Case Study of Sponge City in Harbin.” Sustainability 11, no. 19 (October): 5527. doi:10.3390/su11195527. Firman, Tommy. 2014. “Inter-Local-Government Partnership for Urban Management in Decentralizing Indonesia: From below or above? Kartamantul (Greater Yogyakarta) and Jabodetabek (Greater Jakarta) Compared.” Space and Polity 18, no. 3: 215–232. doi:10.1080/13562576.2014.959252. Furlong, Casey, Ryan Brotchie, Robert Considine, Greg Finlayson, dan Lachlan Guthrie. 2017. “Key Concepts for Integrated Urban Water Management Infrastructure Planning: Lessons from Melbourne.” Utilities Policy 45 (April): 84–96. doi:10.1016/j.jup.2017.02.004. Furlong, Casey, Saman De Silva, dan Lachlan Guthrie. 2015. “Planning Scales and Approval Processes for IUWM Projects; Lessons from Melbourne, Australia.” Water Policy 18, no. 3: 783–802. doi:10.2166/wp.2015.118. Gómez-Álvarez, David, Robin Rajack, Eduardo López-Moreno, dan Gabriel Lanfranchi, eds. 2017. Steering the Metropolis: Metropolitan Governance for Sustainable Urban Development | Publications. Washington, DC: Inter-American Development Bank (IADB). www.iadb.org/ metrogov. GWP (Global Water Partnership). 2000. Towards Water Security: A Framework for Action. Stockholm dan London: GWP. Heinz, Ingo, Miquel Salgot, dan Javier Mateo-Sagasta Dávila. 2011. “Evaluating the Costs and Benefits of Water Reuse and Exchange Projects Involving Cities and Farmers.” Water International 36, no. 4: 455–466. doi:10.1080/02508060.2011.594984. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 59 Hien Wong, Nyuk, Su Fen Tay, Raymond Wong, Chui Leng Ong, dan Angelia Sia. 2003. “Life Cycle Cost Analysis of Rooftop Gardens in Singapore.” Building and Environment 38, no. 3: 499–509. doi:10.1016/S0360-1323(02)00131-2. InfraPPP. 2016. “China Everbright signs PPP project for construction of ‘Sponge City’ of Zhenjiang.” InfraPPP News, 20 April 2016. InfraPPP oleh IMC Worldwide, IMCW Europe S.L. https://www. infrapppworld.com/news/china-everbright-signs-ppp-project-for-construction-of-sponge- city-of-zhenjiang. Jacobsen, Michael, Michael Webster, dan Kalanithy Vairavamoorthy. 2013. The Future of Water in African Cities: Why Waste Water? Directions in Development series. Washington, DC: World Bank. Jensen, Olivia, dan Sreeja Nair. 2019. “Integrated Urban Water Management and Water Security: A Comparison of Singapore and Hong Kong.” Water 11, no. 4: 785. Joshi, Yugal Kishore, Cecilia Tortajada, dan Asit K. Biswas. 2012. “Cleaning of the Singapore River and Kallang Basin in Singapore: Economic, Social, and Environmental Dimensions.” International Journal of Water Resources Development 28, no. 4: 647–658. doi:10.1080/07900627.2012.669 034. Kayaga, Sam, Ian Smout, dan Victor Bueno. 2007. “Demand Management in Zaragoza: Past Achievements & Way Forward.” Makalah yang dipresentasikan pada Temu Ilmiah 2nd SWITCH Scientific Meeting, Hotel Metropolitan, Tel Aviv, Israel, 25–29 November, 2007. Kim, Hyowon, Jaewoo Son, Seockheon Lee, Stef Koop, Kees Van Leeuwen, Young June Choi, dan Jeryang Park. 2018. “Assessing Urban Water Management Sustainability of a Megacity: Case Study of Seoul, South Korea.” Water 10, no. 6 (Juni): 682. doi:10.3390/w10060682. Kirshen, Paul, Semra Aytur, Jory Hecht, Andrew Walker, David Burdick, Stephen Jones, Neil Fennessey, Renee Bourdeau, dan Lorilee Mather. 2018. “Integrated Urban Water Management Applied to Adaptation to Climate Change.” Urban Climate 24 (Juni): 247–263. doi:10.1016/j. uclim.2018.03.005. Mahmud, Aqil Haziq. 2018. “Singapore water industry contributes S$2.5b in value added to economy annually, creates 14,400 jobs to date.” Channel News Asia, 9 Juli 2018, https://web.archive. org/web/20180709045157/https://www.channelnewsasia.com/news/singapore/singapore- water-industry-contributes-s-2-5b-in-value-added-to-10511576. McDonald, Robert, dan Daniel Shemie. 2014. Urban Water Blueprint: Mapping Conservation Solutions to the Global Water Challenge. Washington, DC: The Nature Conservancy. 60 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Milly, P. C. D., J. Betancourt, M. Falkenmark, R. M. Hirsch, Z. W. Kundzewicz, D. P. Lettenmaier, dan R. J. Stouffer. 2008. “Stationarity Is Dead: Whither Water Management?” Science 319, no. 5863 (Februari): 573–74. doi:10.1126/science.1151915. Mishra, G., G. Acharya, M. Iyer, dan S. Doshi. 2020. “Deconstructing Water Sensitivity: Experiences from Global Cities.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 592 (November): 012012. doi:10.1088/1755-1315/592/1/012012. Mitchell, V. Grace. 2006. “Applying Integrated Urban Water Management Concepts: A Review of Australian Experience.” Environmental Management 37, no. 5: 589–605. doi:10.1007/s00267- 004-0252-1. Molinos-Senante, M., F. Hernández-Sancho, dan R. Sala-Garrido. 2011. “Cost–Benefit Analysis of Water-Reuse Projects for Environmental Purposes: A Case Study for Spanish Wastewater Treatment Plants.” Journal of Environmental Management 92, no. 12: 3091–3097. doi:10.1016/j. jenvman.2011.07.023. Pahl-Wostl, Claudia, Paul Jeffrey, Nicola Isendahl, dan Marcela Brugnach. 2011. “Maturing the New Water Management Paradigm: Progressing from Aspiration to Practice.” Water Resources Management 25, no. 3: 837–856. doi:10.1007/s11269-010-9729-2. Perrone, Debra, dan Melissa Merri Rohde. 2016. “Benefits and Economic Costs of Managed Aquifer Recharge in California.” San Francisco Estuary and Watershed Science 14, no. 2. doi:10.15447/ sfews.2016v14iss2art4. PUB (Public Utilities Board) Singapore. n.d. “Singapore Water Story.” Water Supply. PUB – Singapore’s National Water Agency. Diakses pada bulan Agustus 2021. https://www.pub.gov. sg/watersupply/singaporewaterstory. PUB (Public Utilities Board) Singapore. 2018. Active, Beautiful, Clean Waters Design Guidelines. Edisi ke-4 Singapura: PUB. https://www.pub.gov.sg/Documents/ABC_Waters_Design_Guidelines. pdf. Rygaard, Martin, Philip J. Binning, dan Hans-Jørgen Albrechtsen. 2011. “Increasing Urban Water Self-Sufficiency: New Era, New Challenges.” Journal of Environmental Management 92, no. 1: 185–194. doi:10.1016/j.jenvman.2010.09.009. Setiono, Irma Magdelena. 2015. “Concept Project Information Document-Integrated Safeguards Document – National Urban Water Supply Program – P156125 (English).” Washington, DC: World Bank. http://documents.worldbank.org/curated/en/432091468235732903/Concept- Project-Information-Document-Integrated-Safeguards-Document-National-Urban-Water- Supply-Program-P156125. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 61 Silfiana. 2018. “Optimalisasi Fungsi Badan Kerja sama Pembangunan (BKSP) Dalam Rangka Pembangunan Daerah Kawasan Jabodetabekjur.” Jurnal Ilmu Ekonomi 8, no. 2. http://jurnal. untirta.ac.id/index.php/Ekonomi-Qu. SNIS (Sistema Nacional De Informações Sobre Saneamento). n.d. “SNIS - Página Inicial.” Ministério do Desenvolvimento Regional. Diakses pada 23 April 2021. http://www.snis.gov.br. Smith, Nicole, Gary McDonald, dan Dorothy Wilson. 2010. “Water Demand Management: An Economic Framework to Value with Case Study Application.” WA7090/7. Auckland, Selandia Baru: Beacon Pathway Limited. State of Green. 2020. “Reducing Urban Water Losses: How Water Utilities Can Improve Efficiency and Meet Future Demand for Water.” White Papers for a Green Transition. Copenhagen: State of Green. https://stateofgreen.com/en/uploads/2021/03/SoG_WhitePaper_ NonRevenueWater_210x297_V11_WEB.pdf. State of Green. n.d. “Ensuring Water Security for a Growing World.” Explore global challenges and sustainable solutions, State of Green (laman web). Diakses pada 23 April 2021. https:// stateofgreen.com/en/ensuring-water-security-for-growing-world/. Suich, Helen, Mega Lugina, Muhammad Zahrul Muttaqin, Iis Alviya, dan Galih Kartika Sari. 2017. “Payments for Ecosystem Services in Indonesia.” Oryx 51, no. 3 (Juli): 489–497. doi:10.1017/ S0030605316000259. Sundara, Denny M., Djoko M. Hartono, Emirhadi Suganda, dan Herman Haeruman J. S. 2017. “Urban Forests for Sustainable Urban Development.” AIP Conference Proceedings 1903: 040002. doi:10.1063/1.5011521. Tortajada, Cecilia, Yugal Kishore Joshi, dan Asit K. Biswas. 2013. The Singapore Water Story: Sustainable Development in an Urban City State. London dan New York: Routledge. Trémolet, Sophie, dan Nathan Karres. 2020. “Resilient European Cities: Nature-Based Solutions for Clean Water.” London: The Nature Conservancy. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). 2021. Valuing Water: The United Nations World Water Development Report 2021. World Water Assessment Programme. Paris: UNESCO. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000375724_eng. Wang, Hao, Chao Mei, JiaHong Liu, dan WeiWei Shao. 2018. “A New Strategy for Integrated Urban Water Management in China: Sponge City.” Science China Technological Sciences 61, no. 3: 317–329. doi:10.1007/s11431-017-9170-5. 62 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Wishart, Marcus, Tony Wong, Ben Furmage, Xiawei Liao, David Pannell, dan Jianbin Wang. 2021a. “The Gray, Green, Blue Continuum: Valuing the Benefits of Nature-Based Solutions for Integrated Urban Flood Management in China.” World Bank, Washington, DC. Wishart, Marcus, Tony Wong, Ben Furmage, Xiawei Liao, David Pannell, dan Jianbin Wang. 2021b. “Valuing the Benefits of Nature-Based Solutions: A Manual for Integrated Urban Flood Management in China.” World Bank, Washington, DC. Wong, T. H. F., dan R. R. Brown. 2009. “The Water Sensitive City: Principles for Practice.” Water Science and Technology 60, no. 3: 673–682. doi:10.2166/wst.2009.436. World Bank. 2015. East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a Decade of Spatial Growth. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0363-5. World Bank. 2016. Mainstreaming Water Resources Management in Urban Projects: Taking an Integrated Urban Water Management Approach. Washington, DC: World Bank. https:// openknowledge.worldbank.org/handle/10986/29613. World Bank. 2020. “Brazil - Sergipe Water Project: Implementation Completion and Results Report.” Washington, DC: World Bank. http://documents1.worldbank.org/curated/ en/888091610768203010/pdf/Brazil-Sergipe-Water-Project.pdf. World Bank. Segera Terbit. Indonesia: The Path to Water Security. Washington, DC: World Bank. Zhang, Rui. 2016. “Zhenjiang Enterprise Training Sponge City Construction.” H20-china.com, 14 Juni 2016. https://www.h2o-china.com/news/241615.html. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 63 7. Lampiran LAMPIRAN 1: CONTOH KASUS Lampiran ini menyajikan studi kasus dari seluruh dunia (tiga dari Indonesia) yang dipilih dan diringkas sebagai sumber inspirasi dan pelajaran yang dapat diterapkan untuk IUWM di Indonesia (Tabel 3 pada laporan ini). Lampiran ini menyediakan informasi tambahan terkait implementasi dan biaya (jika tersedia) terkait contoh penerapan IUWM. Referensi terkait sumber informasi juga diberikan untuk tujuan informasi dan eksplorasi lebih lanjut. Sebagian upaya di bawah ini telah diluncurkan di Indonesia dalam berbagai tingkatan dan kadar keberhasilan. Beberapa studi kasus berikut muncul dari berbagai konteks kelembagaan, politik dan ekonomi – sebagian serupa dengan Indonesia, lainnya berbeda. Langkah yang diadaptasi dari negara lain mungkin dapat diterapkan dengan berbeda di Indonesia dengan pendanaan yang berbeda. Di beberapa kasus, hambatan kelembaagaan perlu diatasi sebelum langkah dapat diambil (misalnya KPBU untuk proyek kota serapan air (sponge city)). Dengan demikian, para pembuat kebijakan dapat mengkaji perubahan kelembagaan yang diperlukan dan mengubahnya, terutama melalui rekomendasi yang diuraikan pada Bab 6, sembari menyiapkan langkah yang diambil dari contoh negara lain, yang dapat dijadikan sebagai motivasi untuk mendorong perubahan kelembagaan. Contoh-contoh kasus berikut menunjukkan bahwa konseptualisasi, pelaksanaan, dan hasil dari IUWM memerlukan waktu. Banyak contoh, seperti pengelolaan penurunan permukaan tanah di Tokyo, yang tidak menunjukkan hasil langsung namun baru setelah beberapa bulan dan tahun diskusi dan implementasi berbagai langkah yang direncanakan sebelumnya, dan pemantauan dan penguatan masih dilakukan hingga kini. Rentang waktu ini juga memberikan peluang, dan menggambarkan bahwa perencanaan untuk IUWM dapat segera dimulai. a national framework Lampiran 1.1: Contoh Internasional for integrated urban 1) Pembersihan sungai kota multipihak: Singapura10 water management Strategi Singapura, yang menggabungkan perencanaan perkotaan, pengendalian polusi, in indonesia pengelolaan air bersih dan sampah sekitar Singapore River, merupakan contoh terkemuka pendekatan terpadu sebelum label “IUWM” dikenal. Pembersihan berlangsung hampir satu dekade, dari 1977 hingga 1986. Sebelum pembersihan, Singapore River adalah pusat kegiatan komersial, berbatasan dengan peternakan babi dan bebek, pedagang makanan dan sayur, dan jasa pembangunan dan restorasi kapal. Lalu lintas kapal dan orang di sepanjang sungai berhadapan dengan rumah-rumah kumuh (pemukiman informal), pembuangan sampah dan limbah ke sungai, dan kebocoran minyak. Pemerintah Singapura menyadari biaya sosial, 10 Sumber: Tortajada, Joshi, dan Biswas 2013. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 65 ekonomi, dan lingkungan hidup, dan potensi sungai berkontribusi pada tujuan pembangunan perkotaan yang lebih luas. Rencana disusun untuk relokasi penduduk ke perumahan pemerintah di daerah lain, mengurangi kegiatan yang menimbulkan polusi, dan membangun kembali kawasan sungai untuk tujuan rekreasi dan perkantoran. Ketika kualitas sungai meningkat, muara sungai kemudian dibendung, dan Marina Bay dikembangkan sebagai daerah rekreasi dan reservoir air tawar (freshwater reservoir). Selain kemauan politik, pengumpulan dan analisis data sama pentingnya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembersihan. Langkah pertama pemerintah adalah mengumpulkan data sumber polusi di dan sekitar sungai. Data ini menunjukkan bahwa penyebab polusi utama adalah penduduk sepanjang DAS yang membuang limbah padat dan cair ke sungai dan ke lingkungan tanpa diolah. Dengan melibatkan berbagai instansi dan pemangku kepentingan pemerintah, lima prioritas telah diidentifikasi: i) relokasi warga dan penutupan atau relokasi industri penyebab polusi; ii) pembangunan rumah dan kawasan komersial dengan sarana air bersih dan sanitasi yang memadai untuk relokasi; iii) pelibatan masyarakat dalam proyek; iv) penegakan hukum terhadap pelanggaran pembuangan limbah; dan v) pembersihan dan pengerukan dasar dan bantaran sungai dan relokasi pelabuhan dalam rencana tata ruang nasional. Relokasi bisnis, industri, dan perumahan dilakukan bertahap, dengan kompensasi, untuk memberi waktu menangani keberatan dan membangun perumahan alternatif. Kementerian Lingkungan ditugaskan memimpin pembersihan, namun instansi pemerintah lain juga terlibat seperti Departemen Drainase, Dewan Pembangunan Perumahan, Otorita Pelabuhan Singapura, Kementerian Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan. Reformasi hukum dan regulasi telah mendukung pembersihan sungai dan pengelolaan air secara umum. Undang-undang Perumahan dan Pembangunan 1960 memungkinkan relokasi pemukiman informal dan penyediaan perumahan yang terjangkau. Pada 1968, Singapura menerbitkan Undang-undang Kesehatan Lingkungan, yang memungkinkan penegakan hukum terhadap orang yang mencemari sungai dan badan air. Estimasi pengeluaran: S$200–300 juta (Joshi, Tortajada, dan Biswas 2012). 2) Meningkatkan efisiensi dari target penurunan air tak berekening: Denmark11 Pendekatan Denmark terhadap penurunan air tak berekening (NRW) menggambarkan bagaimana pemerintah pusat dapat menggunakan instrumen keuangan dan regulasi untuk memberikan insentif bagi aktor lokal. Selama periode inisiatif ini, perusahaan penyedia air di Denmark telah mencapai NRW kurang dari 10 persen di sebagian kota-kotanya. 11 Sumber: State of Green, n.d. 66 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Pada 1994, pemerintah menetapkan target NRW maksimal 10 persen (Danish EPA, n.d.). Penyedia air yang melampaui target ini dikenakan pajak tambahan berdasar konsumsi air dan air yang hilang. Regulasi nasional juga mengharuskan meteran dipasang untuk semua konsumen. Insentif ini mendorong penyedia air berinovasi dalam menyusun strategi peningkatan efisiensi distribusi. Indikator kinerja yang jelas dan akurat diperlukan agar MAINTENANCE skema insentif efektif. Pemerintah mempertimbangkan cara OPERATIONAL COST COST meningkatkan standar kalkulasi NRW, yaitu volume air yang tidak ditagihkan sebagai persentase dari air yang mengalir ke PURCHASE COST jejaring. Pengukuran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal dan mungkin kurang mencerminkan kebocoran air dalam distribusi secara akurat. Indikator yang direkomendasikan untuk NRW di Denmark adalah meter kubik per kilometer Total Cost of Ownership pipa per hari, yang dapat dilengkapi dengan kebocoran per sambungan dalam liter per hari. Pada tingkat lokal, penyedia air mengadopsi program atau rencana induk NRW untuk mendapatkan pemahaman dan pentingnya penurunan NRW di setiap level organisasi, dari manajemen inti hingga tim pengadaan dan teknisi. Para teknisi dilatih dengan alat seperti Geographic Information Systems (GIS), Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA), pemodelan hidrolik, meteran cerdas, dan platform pemantauan kebocoran secara daring. Komponen berkualitas tinggi ternyata berpengaruh terhadap efektivitas biaya, karena perbaikan dan pergantian suku cadang cenderung lebih mahal dibanding harga komponen pada saat instalasi di awal, terutama untuk pipa bawah tanah. Penyedia air di Denmark diharuskan menggunakan “total biaya kepemilikan” dan “biaya seumur hidup” sebagai dasar pengadaan dan pemilihan produk, persyaratan yang dirancang untuk meningkatkan keberlanjutan dan keandalan investasi peralatan seperti pipa, sambungan, dan katup. 3) Perencanaan untuk infrastruktur biru-hijau: Australia12 Kota-kota Australia adalah yang terdepan dalam pembangunan infrastruktur biru-hijau, didukung proses perencanaan tata ruang yang jelas yang memungkinkan kajian tuntas atas biaya dan manfaat proyek inovatif dengan partisipasi anggota masyarakat. Kondisi cuaca ekstrem, seperti Kemarau Millennium yang berkepanjangan dan banjir dan kebakaran lahan yang berulang, telah memberi perhatian pada isu air di Australia. Selain penyebab iklim, tuntutan warga kota terhadap ruang hijau dan fitur kota layak huni semakin meningkat. Faktor-faktor ini telah mendorong adopsi infrastruktur biru-hijau dalam 12 Sumber: DELWP 2017a. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 67 berbagai skala, tidak hanya untuk nilai estetikanya, namun menjadi tidak terpisahkan dalam pengelolaan perkotaan. Oleh karena itu, dalam konteks visi nasional untuk kota yang sensitif air, pemerintah-pemerintah lokal Australia telah mengembangkan proyek untuk mengatasi tantangan air setempat seperti banjir permukaan, ketersediaan sumber daya air, dan degradasi lingkungan di badan air perkotaan. Pemerintah kota di Australia menjalankan proses perencanaan yang rinci untuk infrastruktur biru hijau yang menghubungkan rencana investasi air bersih dengan proses perencanaan tata ruang. Hal ini memerlukan masukan dari berbagai dinas pemerintah daerah, seperti tata ruang, air, dan taman dan rekreasi yang berbagi data, menyiapkan laporan, dan melibatkan pemangku kepentingan. Contoh hasil dari proses ini adalah peta peluang distrik Maroondah, kota Melbourne, yang digunakan sebagai referensi untuk proyek biru-hijau. Peta peluang menunjukkan lokasi di seluruh distrik yang memiliki berbagai potensi proyek jenis IUWM, seperti infrastruktur biru hijau dan alternatif sumber air. Pendekatan berbasis spasial lain adalah strategi hutan kota untuk Kota Melbourne. Kota ini mengadakan audit pohon yang komprehensif untuk mendapatkan informasi tentang usia, lokasi, dan kondisi hutan. Dataset ini dipetakan, diunggah secara daring, dan dibuat menjadi informasi terbuka (open source). Peta audit pohon menjadi dasar peta suhu tinggi yang menggambarkan kerentanan masyarakat terhadap suhu tinggi ekstrem. Analisis ini kemudian memberi bukti yang dapat digunakan untuk memprioritaskan investasi hutan kota. 4) Menghentikan penurunan permukaan tanah di mega-kota pesisir: Tokyo Sejak awal 1900-an, Tokyo mulai mengalami penurunan permukaan tanah yang serius akibat industrialisasi dan pembangunan perkotaan, yang mengandalkan pengambilan air tanah yang tidak dibatasi untuk memenuhi permintaan. Penurunan permukaan tanah menambah risiko banjir, terutama di dataran rendah “Kawasan Tokyo Nol Meter,” di mana permukaan tanah berada di bawah tinggi air pasang tertinggi. Gempa bumi merupakan ancaman tambahan yang berpotensi merusak infrastruktur pengendalian banjir seperti tanggul pantai dan memperparah banjir di daerah pesisir. Untuk mengatasi risiko yang serius ini, pendekatan dua sisi diterapkan: Undang-Undang Air Industri (1956) diberlakukan untuk membatasi dan menghentikan pengambilan air tanah, dan sumber air permukaan di luar wilayah metropolitan dibangun untuk menjamin ketersediaan air. Dalam lingkup Undang-Undang Air Industri, pemerintah pusat melakukan demarkasi zona untuk pembatasan pengambilan air tanah, dan sebagian industri diwajibkan pindah ke lokasi lain. Di tingkat pemerintah, penegakan hukum dilakukan untuk melarang sumur pompa baru dan menutup sumur yang tidak memenuhi ketentuan atau batasan undang-undang yang baru. Mulai tahun 1970an, level air tanah mulai meningkat dan subsidensi mulai stabil. 68 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Estimasi pengeluaran: sekitar ¥30 milyar (sekitar ¥7,7 milyar nilai tukar 1960 dan ¥22 milyar nilai tukar 1963) untuk penggunaan air dari instalasi pengolahan air limbah oleh industri (Aihara dkk. 1969). 5) Kebijakan terintegrasi untuk mengurangi konsumsi air: Zaragoza, Spanyol13 Kota Zaragoza, Spanyol, dengan jumlah penduduk 700.000, menggambarkan pendekatan multi sisi untuk penurunan permintaan air dalam menangani kelangkaan air. Pada 1997, pemerintah daerah meluncurkan kampanye Kota Hemat Air bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat setempat, Fundación Ecologica y Desarollo (FED). Inisiatif ini bertujuan mengurangi konsumsi air hingga 1 milyar14 liter dalam satu tahun untuk memulai kebiasaan dan teknologi penghematan air di masyarakat. Proyek ini menerapkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan: masyarakat umum, media massa, dan produsen produk penghematan air. Komisi Air Zaragoza dibentuk untuk mengkoordinasi upaya ini dan memberikan panduan. Kampanye awal cukup berhasil: 1,176 milyar liter dihemat tahun 1998, fase berikutnya diluncurkan dan dilanjutkan dekade berikutnya. Pada 2010, konsumsi air per kapita turun menjadi 100 liter per hari, dari 136 liter per hari pada 2000. Kampanye ini mencakup komponen peningkatan kesadaran masyarakat untuk mendorong warga menerapkan kebiasaan dan teknologi hemat air. Konten promosi disebarluaskan melalui media cetak dan televisi, dan melalui poster di transportasi umum, pada stiker, dan media lain. Konten ini disesuaikan dengan kelompok konsumen tertentu. Untuk rumah tangga, pesan yang disampaikan mendorong orang beralih ke alat rumah tangga yang hemat air seperti keran dan mesin cuci. Hotline daring dan telefon dibentuk untuk menjawab pertanyaan masyarakat tentang teknologi hemat air dan cara pembelian. Konsumen besar seperti hotel dan industri diberikan edukasi tentang manfaat lingkungan dankeuangan dari konservasi air. Kemudian, ada inisiatif untuk pelajar yang disebut “Buku Hemat Air” agar mereka dapat mencatat, melacak, dan membandingkan tagihan air bulanan. Pasar untuk teknologi penghematan air, alat kebersihan, dan alat rumah tangga juga dikembangkan di kota. Bekerja sama dengan para produsen, kota ini mempromosikan alat rumah tangga yang efisien air dengan harga bersubsidi, dan diskon tambahan untuk harga pemasangan. Upaya ini, antara lain, mendorong peningkatan penjualan sebesar 15 persen alat rumah tangga dengan fitur penghematan air. Dua pertiga dari rumah tangga di kota Zaragoza mengadopsi langkah penghematan air setelah kampanye ini, dibandingkan sepertiga sebelum kampanye. Insentif ekonomi lain diberikan melalui struktur tarif. Pemerintah kota memperkenalkan tarif berdasar volume, dengan subsidi rumah tangga kelas pendapatan rendah. Konsumen rumah tangga yang menurunkan konsumsi air tahunan setidaknya 10 persen dapat memperoleh 13 Sumber: Kayaga, Smout, dan Bueno 2007; Climate-ADAPT 2021. 14 Catatan: milyar Amerika, yaitu 1.000 juta Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 69 diskon tagihan air, dan denda dikenakan untuk penggunaan air berlebihan. Meskipun setelah evaluasi ditemukan bahwa konsumsi air tidak berkurang signifikan, mereka meningkatkan pendapatan penyedia air, yang memungkinkan peningkatan prasarana air di masa mendatang. Peningkatan prasarana juga dibuat dalam bentuk rehabilitasi pipa dan pengendalian tekanan, dan perusahaan penyedia air memperbaiki kebocoran tangki penyimpanan di bangunan apartemen. Hal ini memerlukan investasi dan upaya berkelanjutan bertahun-tahun, dan dilakukan tidak hanya untuk mengurangi kerugian air dan keuangan, namun untuk mendapatkan dukungan dan keyakinan dengan membuktikan bahwa penyedia layanan berkomitmen pada upaya peningkatan yang berkelanjutan. Dukungan dari pemimpin kota dan mekanisme regulasi adalah faktor utama upaya konservasi air yang berkelanjutan. Kebijakan dan rencana penghematan air masuk ke rencana strategis pemerintah kota dan arahan Agenda 21, yang mendorong komitmen regulasi dan akses pembiayaan, dan memperkuat identitas dan rasa bangga warga. Untuk memicu dan menjaga komitmen politik konservasi air, pada 2011, Peraturan Daerah Penghematan dan Efisiensi Air disahkan. Komitmen peraturan daerah ini mencakup target spesifik total konsumsi air dalam kota, total konsumsi per kapita, dan konsumsi domestik, dan mencakup upaya meningkatkan efisiensi pemanfaatan air di tingkat kota. Estimasi pengeluaran: 483,000 pada nilai tukar 1997 (European Commission, n.d.) 6) Kerja Sama Pemerintah – Badan Usaha untuk drainase berkelanjutan: Kota Sons (Sponge City) Zhenjiang, China15 Proyek Zhenjiang merupakan salah satu dari 16 proyek percontohan “sponge city” di China yang terpilih untuk mendapatkan dukungan keuangan dari pemerintah pusat dan ditetapkan sebagai proyek percontohan KPBU oleh Kementerian Keuangan. Proyek ini mencakup konstruksi, renovasi, operasionalisasi infrastruktur pengelolaan air di kawasan yang terdiri dari 22 kilometer persegi darat dan 11,5 kilometer persegi badan air di kota Zhenjiang, provinsi Jiangsu di timur China. Berdasar kontrak sepanjang 23 tahun, pihak swasta bertanggung jawab atas investasi dan pembiayaan, konstruksi, dan operasional infrastruktur baru berikut: • proyek IPAL 200.000 m3/hari reuse-grade (dapat digunakan kembali) dan ekspansi pengolahan air limbah 75,000 m3/hari (standar pembuangan 1B) dan jejaring pipa • penampungan, pengalihan, dan pemanfaatan kembali air limpasan yang ramah lingkungan Setelah proses negosiasi yang kompetitif antara perusahaan lokal dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pada 2016 kontrak diberikan kepada China Everbright Water (CEW). CEW 15 Sumber: InfraPPP 2016; China Everbright 2016; Zhang 2016. 70 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia adalah perusahaan jasa lingkungan yang dimiliki oleh Everbright Group, suatu BUMN besar milik pemerintah. Perusahaan yang menjalankan proyek gabungan (joint venture) dengan 70 persen saham dikuasai CEW dan 30 persen oleh Zhenjiang City Water Industry Corporation, sebuah badan usaha milik daerah. Total nilai investasi yang diharapkan adalah ¥2,585 milyar (US$405 juta), di mana ¥1,2 milyar didanai dari hibah pemerintah pusat ¥1,385 milyar oleh perusahaan proyek. Hibah pemerintah pusat secara spesifik mencakup elemen ekologis dan yang tidak menghasilkan pendapatan: pembangunan dan transformasi berdampak rendah, restorasi ekologi, rekayasa jejaring pipa dan pengelolaan drainase (pembalakan air atau “waterlogging”). Perusahaan proyek mendapatkan penghasilan dari biaya pengolahan air limbah dari pemerintah. Biaya ini berdasar pengolahan 75.000 meter kubik air limbah per hari dengan standar 1B dan 150.000 meter kubik per hari dengan standar 1A. Selain pipa pengolahan air limbah, investasi perusahaan proyek juga mencakup pipa drainase, tangki penampungan air hujan, dan renovasi sungai. CEW memperkirakan proyek ini akan menampung lebih dari 16 juta meter kubik per tahun air hujan untuk didaur ulang, sehingga hanya 30 persen yang masuk ke sungai. Tujuan ini sesuai dengan sasaran nasional yang dijabarkan dalam panduan kota spons dari Dewan Negara pada Oktober 2015, yaitu 20 persen perkotaan di China akan menampung dan menggunakan kembali 70 persen air hujan pada 2020, dan 80 persen untuk kota-kota pada 2030. Sebagai proyek percontohan kota spons, KPBU Zhenjiang telah menghadapi berbagai tantangan, baik saat konstruksi maupun ketika mulai beroperasi. Pertama, karena lokasinya adalah daerah dengan polusi tinggi (brownsite), proyek berpotensi menyebabkan gangguan selama periode konstruksi bagi penduduknya. Jalur untuk berkoordinasi dengan penduduk dibentuk, dan komunikasi yang jelas dianggap sebagai aspek pelaksanaan yang penting dalam keberhasilannya. Kedua, konstruksi menggunakan material dan alat (seperti permukaan berpori, material pipa, dan material permukaan padat (backfill) yang belum pernah digunakan di kota-kota di China, menimbulkan risiko teknis. Terakhir, proyek ini mencakup berbagai komponen berbeda, banyak di antaranya yang tidak menghasilkan pendapatan. Kerumitan ini menuntut adanya struktur keuangan yang mencakup biaya layanan dan subsidi pemerintah. Sejak penunjukannya, KPBU kota spons Zhenjiang telah menghasilkan manfaat tambahan. Selain mengurangi gangguan dan kerusakan dari banjir, proyek ini akan membantu kota mencapai tujuan untuk sepenuhnya patuh pada Standar Kota Spons pada 2025. 7) Sistem Informasi Sanitasi Nasional: Brasil 16 Di Brasil, Kementerian Pembangunan Daerah, melalui Sekretariat Nasional Sanitasi (SNS), mengelola Sistem Nasional Informasi Sanitasi (SNIS) berdasarkan Undang-undang No. 16 Sumber: SNIS, n.d. . 17 Sumber: PUB 2018. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 71 11.445/2007. Setiap tahun, pemerintah kota dan lembaga penyedia air mengumpulkan data terkait: i) layanan air dan air limbah; ii) pengelolaan sampah; dan iii) pengelolaan drainase dan air limpasan. Data ini diteruskan ke SNIS, yang mengelompokkan, menganalisis, dan mempublikasikan data dan diagnostik pada laman webnya. SNIS menentukan standar data yang akan dikumpulkan (indikator), terminologi, definisi, kalkulasi, dan unit pengukuran. Selain itu, berdasarkan asesmen terhadap data, SNIS memberikan saran untuk pembuatan kebijakan publik dan konsultasi dengan sektor air dan sanitasi. Meski partisipasi pemerintah daerah dan penyedia layanan air dan sanitasi sifatnya sukarela, insentif diberikan melalui tersedianya akses terhadap rencana investasi Kementerian Pembangunan Daerah. Data harus diberikan ke SNIS secara berkala sebagai syarat seleksi, penentuan rating, dan pembiayaan. 8) Sertifikasi bangunan di Singapura 17 Pada 2010, instansi pengelola air nasional Singapura, PUB, telah meluncurkan program sertifikasi Active, Beautiful, Clean (ABC) Waters Programme. Pengembang swasta dan instansi pemerintah dapat mengajukan permohonan sertifikasi untuk pembangunan yang menerapkan fitur desain ABC Waters. Skema ini memberikan penghargaan kepada pengembang yang menerapkan pengelolaan air bersih yang lestari dan memastikan fitur desain yang digunakan dalam pembangunan memenuhi standar minimum. Fitur desain ini ditujukan untuk meningkatkan penyimpanan dan penampungan air limpasan on-site dan mencakup fitur seperti taman hujan (rain gardens), bentuk tanah (swale), penampungan sedimentasi (sedimentation basins), lahan basah buatan (constructed wetlands), dan biotop penyaring (cleansing biotopes). Agar dapat memberikan insentif tambahan untuk penerapan IUWM, pengembang proyek atau bangunan yang “bersertifikasi ABC” dapat memperoleh akses bersubsidi untuk hadir di ekspo, konferensi, dan seminar internasional untuk memperdalam keahlian mereka. Lembaga Konstruksi Bangunan Singapura, Building Construction Agency (BCA), juga menyelenggarakan skema sertifikasi Green Mark untuk menghargai proyek dan bangunan dengan fitur yang berkelanjutan dari sisi lingkungan. Lampiran 1.2: Contoh dalam Negeri 1) Kerja sama antar daerah di Kartamantul, Indonesia18 Sekretariat Bersama Kartamantul di Yogyakarta merupakan contoh kerja sama lintas batas terkait isu air. Wilayah Metropolitan Kartamantul terdiri dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, tiga kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di mana Kota Yogyakarta menjadi pusat perekonomian. Pada 2001, Sekretariat Bersama Kartamantul dibentuk untuk mengelola dan mengkoordinasikan pembangunan lintas batas 18 Sumber: Presentasi pemangku kepentingan 72 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia di ketiga pemerintah daerah. Ini adalah inisiatif dari bawah (bottom-up) yang datang dari pemerintah daerah (Firman 2014). Para tokoh di Kartamantul menyadari bahwa ekspansi perkotaan di wilayah tersebut telah melintasi batasan administrasi, dan karena itu, prasarana perkotaan, seperti air minum dan transportasi, sebaiknya dikoordinasikan. Wilayah perkotaan Kartamantul merupakan bagian dari satu sistem hidrologi dan menghadapi permasalahan serupa – di antaranya penyediaan perumahan bagi penduduk kota yang meningkat, peningkatan kebutuhan air bersih dan kesulitan mendapatkan sumber air baku baru, degradasi lingkungan, meningkatnya beban perkotaan, dan permintaan terhadap layanan dasar yang semakin meningkat. Para tokoh juga menyadari bahwa daerah di sekitar batas administrasi adalah “wilayah abu-abu” yang kurang mendapatkan perhatian dari para pembuat kebijakan, dan tidak jelas berada di bawah kabupaten/kota mana. Beberapa permasalahan tersebut mendorong dibentuknya lembaga lintas daerah agar dapat secara kolektif mengatasi masalah bersama dan membangun infrastruktur perkotaan untuk wilayah metropolitan Kartamantul dalam cara yang terpadu dan selaras. Dengan adanya sekretariat bersama dan sistem pengelolaan perkotaan terpadu, sumber daya setiap pemerintah daerah dapat dioptimalkan dan keterbatasannya ditekan, sehingga wilayah ini dapat melaksanakan pengelolaan pemanfaatan lahan yang tepat guna dan terkoordinasi dengan baik. Sekretariat Bersama Kartamantul membuka peluang penerapan IUWM dengan memungkinkan pengelolaan layanan air bersih lintas batas administrasi. Pendekatan terpadu melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai kabupaten/kota dan tingkat pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota) yang mengelola berbagai bagian layanan penyediaan air. Hal ini ditunjukkan dengan proyek instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Sewon. Proyek ini timbul akibat kegusaran akan polusi badan air dari limbah rumah tangga dan industri, jangkauan instalasi pengolahan air (IPA) terpusat yang terbatas, layanan IPA yang kurang optimal, dan rendahnya kesadaran masyarakat terkait praktik sanitasi dasar. IPAL Sewon telah meningkatkan sambungan air rumah tangga, dari 10.800 menjadi 24.171 sambungan, dengan jejaring pipa yang semakin luas. Terdapat rencana perluasan lebih lanjut untuk mencapai target 25.000 sambungan. Ketiga pemerintah daerah juga berkolaborasi dalam pengelolaan sampah, dengan adanya fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Piyungan. Inisiatif ini didukung oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (PEMDA DIY) yang mengelola instalasi pengolahan air, pipa primer dan sekunder, dan pengelolaan sampah, sementara pemerintah kabupaten/kota mengawasi layanan ekspansi jaringan, sambungan, dan pemantauan lingkungan. Terdapat pembagian biaya: PEMDA DIY menanggung 70 persen Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 73 biaya, sementara pemerintah kabupaten/kota Kartamantul menanggung 30 persen sisanya, berdasar jumlah sambungan rumah tangga. 2) Praktik pengelolaan air oleh pengembang swasta yang ramah lingkungan: Jabodetabek Pengembang swasta mulai memimpin penerapan pendekatan pengelolaan air yang lestari di beberapa pembangunan properti terintegrasi di Jabodetabek. Pembangunan ini mencakup properti residensial dan non-residensial, dan sarana dan pengoperasian air, air limbah, dan sampah, serta transportasi. Perusahaan pengelolaan kota memainkan peran pengelolaan dan operasional dari sisi layanan air bersih dan air limbah, penagihan, penarikan pembayaran, infrastruktur, dan sarana prasarana. PT Lippo Karawaci (LPKR) merupakan salah satu pengembang yang terkemuka di kawasan ini. Perusahaan ini memiliki dan mengelola Lippo Village di Kabupaten Tangerang (60.000 penghuni) dan Lippo Cikarang di Kabupaten Bekasi (55.000 penghuni). LPKR membeli air bersih curah dari instansi pemerintah, mengolahnya, mendistribusikannya, dan mengumpulkan dan mengolah air limbah. Di Lippo Village, sumber daya air diperoleh dari Sungai Cisadane; di Lippo Cikarang, air diperoleh dari Sungai Citarum dan dialokasikan oleh instansi yang mengelola irigasi. Keberlanjutan lingkungan hidup merupakan tonggak utama pembangunan LPKR, dan perusahaan bertujuan untuk mengintegrasikan pembangunan dengan lingkungan di sekitarnya, menerapkan praktik ramah lingkungan, dan melibatkan masyarakat. Pembangunannya mencakup penampungan air hujan untuk penggunaan non-air minum dan kampanye informasi publik untuk mendorong penghematan air. Pada 2019, LPKR menerima sembilan penghargaan untuk kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Penghargaan tersebut antara lain Indonesia Green Award 2019, diberikan ke Lippo Cikarang atas upaya konservasi airnya melalui IPAL, IPA dan kolam retensi airnya. 3) Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau 19 Daerah Aliran Sungai (watershed) Cidanau di Jawa Barat memiliki skema pengelolaan DAS yang mencakup pembayaran jasa lingkungan. Daerah hulu di DAS Cidanau dikuasai oleh kelompok petani rakyat, yang melakukan konversi lahan dari hutan menjadi sawah dan kawasan pemukiman. Konversi lahan ini mengakibatkan erosi bantaran sungai dan sedimentasi di hilir, meningkatkan variabilitas arus dan menyumbat dan merusak prasarana penyediaan air. Inisiatif skema pengelolaan DAS dikemukakan pertama kali oleh Forum Koordinasi DAS Cidanau (FKDC), lembaga multi pihak yang dipimpin oleh LSM. FKDC bertindak sebagai perantara kelompok petani dan BUMN penyedia air bersih Krakatau Tirta Industri (KTI). 19 Amaruzaman, Rahadian, dan Leimona 2017; Suich dkk. 2017. 74 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Perjanjian PES kemudian dinegosiasikan, di mana KTI membayar petani sejumlah uang per hektar per tahun untuk pengelolaan lahan yang lestari, untuk menjaga sejumlah pohon pada lahan yang disepakati dan menanam kembali pohon yang ditebang. Perjanjian awal PES ini berlaku lima tahun, dari 2005 hingga 2010, dan telah diperbarui dan diperluas untuk mencakup pencegahan erosi dan pengelolaan peternakan. Skema DAS Cidanau adalah pengaturan PES formal pertama di Indonesia. Pada saat itu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur PES. Setelahnya, beberapa undang- undang mulai mengatur PES – di antaranya Undang-undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Sementara contoh DAS Cidanau menunjukkan bahwa pembayaran jasa lingkungan dapat diterapkan pada pengelolaan DAS di Indonesia, skema ini tetap merupakan skema yang paling lama bertahan (Amaruzaman, Rahadian, dan Leimona 2017; Suich dkk. 2016). Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 75 76 LAMPIRAN 2: CONTOH MANFAAT IUWM DAN RELEVANSI UNTUK INDONESIA Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 20 Sumber: Wishart dkk. 2021a; Wishart dkk. 2021b. 21 DELWP 2017b. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 22 World Bank 2020. 23 77 Dewan Pengelola Sumber Daya Air, Environmental Protection Agency, Negara Bagian California, 2019. LAMPIRAN 3: SASARAN TERKAIT AIR BERSIH DI RPJMN 2020–2024 78 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia LAMPIRAN 4: BERBAGAI RENCANA TERKAIT IUWM Rencana berikut, pada berbagai tingkatan pemerintah, memiliki pengaruh terhadap adopsi IUWM di Indonesia: • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional: RPJMN (5 tahun) • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah: RPJMD (5 tahun) • Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional: RPJPN (20 tahun) • Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah: RPJPD (20 tahun) • Tata Ruang: RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) (lokal, daerah, nasional) • Rencana Detil Tata Ruang: RDTR • Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan: Renstra PUPR • Rencana Induk Air Minum Sistem Penyediaan Air Minum: RISPAM (5 tahun) • Strategi Sanitasi Kota (lokal): SSK yang mencakup air limbah, drainase mikro, dan pengelolaan sampah (5 tahun) • Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan): Renstra KLHK yang mencakup hutan, daerah aliran sungai dan keanekaragaman hayati • Rencana Strategis Kementerian Kesehatan: Renstra Kemenkes (5 tahun) • Rencana Strategis Badan Nasional Penanggulangan Bencana: Renstra BNPB • Rencana Strategis Kementerian Perhubungan: Renstra Kemenhub Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, RPJMN, diterjemahkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di tingkat provinsi dan kota, yang kemudian dijabarkan menjadi rencana kerja dan anggaran. RPJMD disusun oleh pemerintah daerah berkonsultasi dengan Kemendagri. Rencana strategis sektoral disusun oleh masing-masing kementerian. Setiap kementerian menyusun Rencana Strategis – Renstra untuk menjelaskan bagaimana sasaran RPJMN dapat dicapai. Rencana lima tahunan ini juga dijabarkan menjadi rencana kerja tahunan. Di tingkat pemerintah daerah, selain RPJMD, RISPAM, dan RTRW, pemerintah kota atau kabupaten biasanya juga merumuskan Strategi Sanitasi Kota atau SSK. SSK mencakup air limbah, drainase mikro, dan pengelolaan sampah. Secara umum, sebagian besar kota memiliki SSK, meski dengan kualitas yang beragam. Banyak yang mengandung informasi terkait situasi saat ini, identifikasi daerah rawan (hotspot), dan “daftar-harapan” program atau kegiatan yang akan digunakan kota untuk mencapai sasaran akses sanitasi yang universal, namun tidak memberikan target spesifik dan rencana implementasi. Di sebagian besar kota, rencana untuk penyediaan air, sanitasi dan pengelolaan air limpasan dan banjir disiapkan oleh dinas pemerintah yang berbeda. Pada pendekatan yang standar, rencana disusun atas proyeksi pertumbuhan penduduk dan ekonomi, yang digunakan untuk memperkirakan permintaan atau paparan berdasarkan estimasi konsumsi per kapita sebesar 60 liter per hari. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 79 Rencana disusun untuk memenuhi permintaan, berfokus pada pasokan air saat ini yang diperluas (misalnya melalui pembangunan instalasi pengolahan air baru atau peningkatan atau rehabilitasi instalasi pengolahan yang ada), dengan sebagian perhatian ditujukan ke penurunan Air Tak Berekening. Hampir tidak ada pemerintah daerah atau PDAM yang memasukkan pengelolaan permintaan dalam rencana mereka atau mempertimbangkan pemanfaatan moda pelayanan yang berbeda, seperti paket layanan kepada pengembang kawasan komersial, industri, atau pemukiman, atau bekerja sama dengan penyedia layanan berbasis masyarakat atau skala kecil untuk layanan off grid. Sedikit yang mempertimbangkan sumber air alternatif di batas kota mereka, seperti daur ulang air atau pemanfaatan kembali air limbah atau air limpasan, atau pemanenan air hujan skala besar. Selain itu, kesadaran terhadap pentingnya dan manfaat pengelolaan aset infrastruktur yang baik masih kurang. 80 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia LAMPIRAN 5: INDIKATOR KINERJA KETERSEDIAAN AIR Kolom IUMW mengindikasikan parameter yang relevan terkait IUWM dan dapat disertakan dalam indeks kinerja IUWM di masa mendatang. Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 81 82 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia LAMPIRAN 6: REFERENSI IUWM TERKAIT: BANK DUNIA Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 83 LAMPIRAN 7: REFERENSI IUWM TERKAIT: SUMBER EKSTERNAL 84 Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia Kerangka Nasional Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia 85