MENUJU PENGELOLAAN AIR PERKOTAAN TERPADU UNTUK JABODETABEK PENAFIAN (DISCLAIMER) Publikasi ini telah memperoleh dukungan dari Global Water Security & Sanitation Partnership (GWSP). GWSP adalah multidonor trust fund yang dikelola oleh Water Global Practice Bank Dunia dan didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Kementerian Keuangan Federal Austria, Bill & Melinda Gates Foundation, Kementerian Luar Negeri Denmark, Kementerian Luar Negeri Belanda, Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia, Sekretariat Negara untuk Urusan Perekonomian Swiss, Badan Pembangunan dan Kerjasama Swiss, dan Badan Kerjasama Internasional Amerika Serikat. Laporan ini merupakan tulisan staf Bank Dunia. Semua temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang diungkapkan dalam volume ini belum tentu mencerminkan pandangan dari Bank Dunia, Dewan Direktur Eksekutifnya, maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak memberikan jaminan atas akurasi data yang dicantumkan dalam karya ini. Batas, warna, denominasi, dan informasi yang ditunjukkan pada peta yang ada dalam karya ini tidak menyiratkan pandangan dari Bank Dunia terkait status hukum dari teritori manapun maupun persetujuan atau penerimaan terhadap batas-batas tersebut. HAK DAN IZIN Materi dalam karya ini dilindungi hak cipta. Karena Bank Dunia mendorong terjadinya penyebarluasan pengetahuannya, hasil karya ini dapat diperbanyak, baik seluruhnya maupun sebagian, untuk tujuan non komersial sepanjang atribusi penuh karya ini diberikan. Pertanyaan lebih lanjut mengenai hak cipta maupun lisensi, termasuk hak turunannya, dapat ditujukan kepada Office of the Publisher, The World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; dengan nomor faksimili: 202-522-2422; dan alamat surat elektronik: pubrights@worldbank.org. Semua foto oleh Irma Setiono UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini dibuat sebagai bagian dari Studi Indonesia Menuju Ketahanan Air dan Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (Indonesia Towards Water Security and Integrated Urban Water Management Study), yang dihasilkan dari minat dan kemitraan yang telah berlangsung lama antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia untuk mengatasi kompleksitas masalah air di Indonesia, khususnya di Jabodetabek dan wilayah metropolitan lainnya. Laporan ini telah memperoleh manfaat dari berbagai masukan pada tahap desain, pengumpulan data, dan analisis, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di pemerintah pusat dan daerah. Pendekatan iteratif dan kolaboratif dalam penyusunan laporan ini bertujuan untuk mengatasi masalah keamanan air jangka pendek dan jangka panjang yang ada pada berbagai lembaga yang mengemban peran dan tanggung jawab tata kelola yang kompleks pada skala yang berbeda. Studi ini diselenggarakan dan difasilitasi oleh Kantor Perwakilan Indonesia Bank Dunia dan Water Global Practice. Tim mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan dukungan dari Satu Kristiina Kahkonen (Country Director Indonesia), Jennifer Sara (Global Practice Director), Benoit Bosquet (Sustainable Development Director for East Asia Pacific), dan Sudipto Sarkar (Water Practice Manager for East Asia Pacific). Studi ini telah melalui proses peer review oleh Diego Rodriguez, Fook Chuan Eng, Marcus Wishart, dan Marcus Lee. Masukan dan panduan utama telah diberikan selama implementasi oleh Gustavo Saltiel, Eileen Burke, Martin Gambrill, dan Lizmara Kirchner. Studi ini juga memanfaatkan masukan dari tim Diagnostik Keamanan Air (Water Security Diagnostic), termasuk Abedalrazq Khalil, Jennifer M. Gulland, Tarasinta Perwitasari, Jun Matsumoto, dan Ilham Abla. Tim studi dipimpin oleh Task Team Leader Irma Magdalena Setiono (Senior Water Supply and Sanitation Specialist). Laporan ini diteliti dan ditulis oleh Micah Fisher (Planning and Policy Consultant), Olivia Jensen (Lead Scientist, Institute for the Public Understanding of Risk – IPUR, National University of Singapore), Adilah Khalis (Research Associate, IPUR, National University of Singapore), Urban El- Fatih Bani Adam (Spatial Analysis Consultant), Arief Mulya Ramadhian (Institutional and Governance Consultant), dan Achmad Firas Khudi (Consultant). Studi ini dimungkinkan berkat kontribusi dari Global Water Security and Sanitation Partnership (GWSP), Local Services Delivery Trust Fund yang didukung oleh United States Agency for International Development (USAID), dan Indonesia Sustainable Urbanization (ID-SUN) Trust Fund yang didukung oleh Switzerland State Secretariat for Economic Affairs (SECO). Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 1 TABLE OF CONTENTS Ucapan terima kasih 1 Daftar Tabel 4 Daftar Gambar 4 Daftar Kotak 5 Daftar Singkatan 6 Ringkasan Eksekutif 8 1. Pendahuluan 14 1.1. Air dan pembangunan di Jabodetabek 14 1.2. Tinjauan risiko air dan pembangunan perkotaan di Jabodetabek 20 1.2.1. Pengelolaan banjir dan air hujan 20 1.2.2. Sumber daya air 23 1.2.3. Persediaan air 25 1.2.4. Sanitasi dan pengelolaan air limbah 26 1.2.5. Kualitas lingkungan air 27 1.2.6. Perubahan Iklim dan Ketahanan 28 1.2.7. Pengelolaan Limbah Padat 28 1.2.8. Kesehatan 30 1.3. Tata Kelola 32 2. Pendekatan metodologis 37 2.1. Pengumpulan data kolaboratif: Sumber, validasi, dan pendekatan terhadap data yang hilang 37 2.2. Analisis dan visualisasi data 38 2.3. Lokakarya pemangku kepentingan: Verifikasi dan pelibatan 39 3. Memvisualisasikan ketahanan air di Jabodetabek 42 3.1. Banjir 43 3.1.1. Frekuensi banjir di Jabodetabek 43 3.1.2. Penyebab banjir 45 3.1.3. Dampak banjir pada rumah tangga 47 3.2. Persediaan air 50 3.3. Sanitasi 62 2 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 3.4. Analisis antar sektor 68 3.4.1. Penurunan permukaan tanah, pengambilan air tanah, dan intrusi air asin 68 3.4.2. Pengelolaan banjir dan pengisian akuifer 69 3.4.3. Kualitas sumber daya air, sanitasi, dan kesehatan 71 4. Hambatan dan peluang IUWM di Jabodetabek 74 4.1. Peraturan perundang-undangan 76 4.2. Tata kelola 77 4.3. Perencanaan dan implementasi 78 4.4. Manajemen informasi 80 4.5. Pembiayaan 81 4.6. Inisiatif yang ada yang selaras dengan IUWM 82 4.6.1. Pengelolaan banjir: Melengkapi pembangunan infrastruktur 82 4.6.2. Pasokan air: Hal-hal yang terlupakan dan harapan untuk pengembangan 83 4.6.3. Sanitasi: Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (Citywide Inclusive Sanitation, CWIS) 84 5. Rekomendasi dan kata penutup 87 6. Referensi 102 7. Lampiran 110 Lampiran 1: Daftar Rekanan Studi IUWM Jabodetabek 111 Lampiran 2: Pengumpulan Data Untuk Banjir 115 Lampiran 3: Masalah Pengelolaan Sampah di Jabodetabek 116 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 3 Daftar Tabel Tabel 1 : Pertumbuhan Perkotaan di Asia Timur 16 Tabel 2 : Luas Tutupan Lahan Nominal di Jabodetabek, 1992–2018 17 Tabel 3 : Sampah yang Dihasilkan, Dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan yang Bermuara di Sungai-Sungai di Jabodetabek 29 Tabel 4 : Diare dan Demam Berdarah Dengue 2019 di Jabodetabek 31 Tabel 5 : Jumlah Kejadian Banjir per Tahun di Jabodetabek 45 Tabel 6 : Jumlah Rumah Tangga Terkena Bajir di Jabodetabek, 2013–2020 49 Tabel 7 : Tingkat Cakupan Layanan PDAM di Jabodetabek 53 Tabel 8 : Kapasitas, Pemanfaatan, dan Air Tak Berekening di Jabodetabek 54 Tabel 9 : Proyeksi Neraca Pasokan-Permintaan Air untuk 2030 di Jabodetabek 55 Tabel 10 : Sumber Pasokan Air Rumah Tangga di Jabodetabek 58 Tabel 11 : Persentase Penduduk Perkotaan dengan Akses ke Jaringan Pembuangan Limbah 65 Tabel 12 : Persentase Rumah Tangga dengan Akses ke Jamban, 2019 67 Tabel 13 : Peta Jalan Pengembangan Kerangka Pengampu untuk IUWM di Jabodetabek 90 Tabel 14 : Peta Jalan untuk Intervensi IUWM di Jabodetabek 94 Daftar Gambar Gambar 1 : PDB Relatif terhadap Tegangan Air di DAS di Pulau Jawa 15 Gambar 2 : Perubahan Tutupan Lahan di Jabodetabek, 1992–2018 16 Gambar 3 : Elemen Solusi-Masalah Sistem Air Minum Perkotaan Jabodetabek 19 Gambar 4 : Genangan Banjir Pada Awal 2020 21 Gambar 5 : Peta Kelembagaan Tata Kelola Air di Jabodetabek 33 Gambar 6 : Air dan Wewenang Tata Ruang di Jabodetabek 35 Gambar 7 : Desain Studi: Metode dan Keluaran 37 Gambar 8 : Kejadian Banjir di Jabodetabek, 2013–2020 44 Gambar 9 : Penyebab Banjir di Jabodetabek per Desa/Kelurahan, 2013–2020 46 Gambar 10 : Distribusi Banjir Menurut Distrik Air Peristiwa di Desa/Kelurahan, 2013–2020 47 Gambar 11 : Dampak Banjir per Rumah Tangga, Jabodetabek, 2013–2020 48 Gambar 12 : Infrastruktur Air Minum di Jabodetabek 51 Gambar 13 : Jaringan Air Perpipaan PDAM dan Rumah Tangga yang Menggunakan Air Perpipaan Bermeteran sebagai Sumber Air Minum Utama, per Kecamatan 57 Gambar 14 : Sumber Air Minum dan Cuci Jabodetabek 59 Gambar 15 : Wilayah Layanan Penyedia Air Minum Swasta di Jabodetabek 61 Gambar 16 : Diagram Aliran Feses Provinsi DKI Jakarta, 2016 64 Gambar 17 : Infrastruktur Air Limbah dan Buang Air Besar Sembarangan di Jabodetabek 66 Gambar 18 : Wilayah Cekungan Air Tanah Jabodetabek dan Penururnan Tanah 70 Gambar 19 : Kualitas Air Sungai dan Kasus Diare 72 4 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Daftar Kotak Kotak 1 : Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (Integrated Urban Water Management) 18 Kotak 2 : Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (Citywide Inclusive Sanitation) 63 Kotak 3 : Koordinasi Kelembagaan di Jabodetabek: Sejarah dan Persoalan 74 Kotak 4 : Kerangka Pelaksanaan 88 Kotak 5 : Intervensi 88 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 5 DAFTAR SINGKATAN APEKSI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BKAT Balai Konservasi Air Tanah BKSP Badan Kerja Sama Pembangunan BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana BOD Biological Oxygen Demand BOT Build-Operate-Transfer BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPS Badan Pusat Statistik CFR Case Fatality Rate CGE Computational General Equilibrium COVID-19 Coronavirus disease CWIS Citywide Inclusive Sanitation (Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan) DAS Daerah Aliran Sungai DKI Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta DLHD Dinas Lingkungan Hidup Daerah ENSO El Niño / La Niña Southern Oscillation EWS Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) FFD Fecal Flow Diagram (Diagram Aliran Feses) FSM Fecal Sludge Management (Pengelolaan Lumpur Tinja) GCB Gerakan Ciliwung Bersih GDP Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) GPS Global Positioning System IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah IPLT Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IUWASH PLUS Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (sebuah proyek USAID) IUWM Integrated Urban Water Management (Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu) JICA Japan International Cooperation Agency Kemendagri Kementerian Dalam Negeri KemenESDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenkes Kementerian Kesehatan Kemenkeu Kementerian Keuangan 6 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Kemenkomarinves Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi KemenPUPR Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KOTAKU Kota Tanpa Kumuh KPPIP Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas KSN Kawasan Strategis Nasional MSS Minimum Service Standard NCICD National Capital Integrated Coastal Development NRW Non-revenue water (Air Tak Berekening) NUWAS National Urban Water Supply Framework PDAM Perusahaan Daerah Air Minum PD PAL Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah RBO River Basin Organization RISPAM Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah SANIMAS Sanitasi Berbasis Masyarakat TPA Tempat Pembuangan Akhir UNFPA United Nations Population Fund USAID United States Agency for International Development WICER Water in Circular Economy and Resilience WTP Water Treatment Plant (Instalasi Pengolahan Air) Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 7 RINGKASAN EKSEKUTIF Tantangan kerawanan air di Indonesia menjadi perhatian yang signifikan, terutama di daerah- daerah yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sepertiga wilayah sungai di Indonesia (36 persen) mengalami tekanan sepanjang tahun, dan hampir setengahnya (46 persen) mengalami tekanan selama musim kemarau. Kerawanan air sangat mengkhawatirkan di daerah-daerah yang menjadi penggerak pembangunan di Pulau Jawa, yang jika dibiarkan tidak tertangani, diperkirakan akan menurunkan pencapaian pembangunan Indonesia. Di sisi lain, proyeksi pembangunan menunjukkan bahwa mengatasi kerawanan air secara saksama dan terpadu dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan hasil pembangunan yang positif. Penanganan kerawanan air di Jabodetabek sangat mendesak mengingat wilayah ini menghasilkan 22 persen dari total PDB Indonesia dan menjadi tempat tinggal bagi 12 persen dari total populasi negara. Jabodetabek, yang mencakup 14 pemerintah kabupaten dan kota di bawah tiga provinsi, telah mengalami defisit neraca air yang ekstrem, yang diperparah oleh peristiwa banjir yang semakin meluas dan berkala serta kualitas air yang menurun akibat sanitasi yang buruk. Proyeksi iklim juga mengarah pada peningkatan kerentanan akibat anomali hidrometeorologi dan proses yang terjadi di wilayah pesisir, yang diperkirakan akan menyebabkan lebih banyak kekeringan dan kenaikan curah hujan, serta paparan yang lebih besar pada fenomena kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan terpaan gelombang badai yang hebat, sehingga membuat daerah pesisir dengan kepadatan tinggi tidak lagi layak ditinggali. Jabodetabek merupakan salah satu kawasan metropolitan di Asia Timur dengan pertumbuhan penduduk paling cepat, dengan peningkatan kepadatan penduduk dan pembangunan yang merambah lebih jauh ke daerah kritis DAS. Penduduk Jabodetabek tumbuh sebesar 7 juta orang antara tahun 2000 dan 2010 dan meningkat dua kali lipat secara absolut antara tahun 2000 dan 2020, mencapai 33,5 juta orang pada 2018. Sepanjang waktu itu, wilayah metropolitan juga mengalami peningkatan kepadatan dan persebaran penduduk. Antara tahun 1992 dan 2018, kawasan terbangun bertambah lebih dari 28 persen, dengan konversi lahan yang nyata di daerah hulu, menimbulkan tantangan baru yang signifikan terhadap pasokan air, pengelolaan banjir, dan kualitas lingkungan. Skala pertumbuhan wilayah metropolitan yang cepat, ditambah dengan struktur tata kelola yang ada tidak memadai dari sisi layanan air publik dan kualitas lingkungan yang layak kepada warga, dan penduduk yang terus bertambah, dapat melemahkan upaya untuk mengurangi risiko banjir. Bencana banjir di Jabodetabek semakin sering terjadi dan semakin parah, namun data pemantauan banjir tidak memadai untuk melacak skala masalah, mengidentifikasi solusi, dan menunjukkan keberhasilan inisiatif yang ada. Data yang dikumpulkan oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) tentang jumlah kejadian banjir dan penduduk yang terkena dampak diambil 8 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek dari basis data pemerintah yang ada dan laporan media—sumber data yang memiliki banyak kekurangan. Akibatnya, angka BPBD kemungkinan jauh mengecilkan kondisi banjir yang ada. Sebagian dari hal ini disebabkan oleh masalah pengarusutamaan lintas lembaga yang baru dibentuk dan kurangnya mekanisme pelaporan dan pencatatan data, khususnya lintas daerah. Laporan ini membantu mengidentifikasi dinamika spasial dan luasnya banjir dengan cara yang dapat membantu lembaga pemerintah memahami masalah dengan lebih baik dan menargetkan solusi secara lebih efektif. Langkah ini akan menjadi krusial, karena bahkan data saat ini sudah menunjukkan tingkat keparahan banjir di Jabodetabek. Angka BPBD menunjukan bahwa selama periode 2013-2020 terjadi 1.741 peristiwa banjir yang berdampak pada antara 28.000 hingga 377.000 orang setiap tahunnya. Lebih lanjut, data banjir yang dikumpulkan untuk tahun 2020 yang mencakup Januari dan Februari saja sudah menunjukkan peningkatan kejadian dan dampak banjir yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat mencerminkan tahun 2020 sebagai tahun dengan curah hujan yang luar biasa tinggi di wilayah tersebut, tetapi hal ini juga menggambarkan risiko yang meningkat akibat urbanisasi yang meluas dan paparan terhadap efek iklim. Di masa depan, Jabodetabek kemungkinan akan mengalami peningkatan besaran dan intensitas banjir yang lebih parah akibat kondisi curah hujan setempat dan di daerah hulu, disertai dengan lebih tingginya kemungkinan banjir rob akibat gelombang pasang. Sebagai contoh, peristiwa banjir tahun 2007 di DKI Jakarta diperkirakan telah menimbulkan kerugian finansial sebesar US$900 juta dengan estimasi periode pengulangan setiap dua tahun, ini menunjukkan betapa banjir memiliki dampak yang kronis dan kompleks. Dengan meningkatnya kejadian banjir di Jabodetabek, paparan yang meluas dan genangan yang lebih merusak akan menimbulkan kerugian ekonomi yang substansial di wilayah tersebut. Jabodetabek juga menghadapi kendala yang berat pada sumber daya air, dan selama diskusi antar pemangku kepentingan untuk studi ini, pemerintah daerah se-Jabodetabek menyatakan keprihatinan berkenaan dengan pencapaian target yang tercantum dalam rencana pembangunan, terutama mengingat proyeksi pertumbuhan di masa depan. Studi ini memetakan cakupan layanan teknis dan administratif untuk PDAM Jabodetabek, dan jaringan distribusi air yang diletakkan secara spasial untuk menyoroti potensi koordinasi yang lebih baik. Temuan-temuan studi ini menengarai suatu praktik investasi yang tidak efisien jika dibandingkan dengan kepadatan dan distribusi penduduk. Beberapa infrastruktur pengolahan air kurang dimanfaatkan sementara pasokan perpipaan hanya tersedia untuk sebagian kecil Jabodetabek, dan terdapat tumpang tindih area cakupan wilayah layanan air minum. Perusahaan penyedia layanan telah memulai rencana untuk meningkatkan alokasi air permukaan dan kapasitas pengolahan, tetapi masih tingginya kebocoran dan angka air tak berekening terus menghambat operasional. Selain itu, insentif dan langkah- langkah pengelolaan konsumsi air lainnya tidak ada, pun upaya berkelanjutan untuk mendorong konservasi air. Sayangnya, data tentang titik dan volume pengambilan air untuk pengembangan properti pribadi dan lokasi komersial dan industri masih belum tersedia. Walaupun ada sebagian data spasial sumur air tanah dalam yang dapat diperoleh (untuk Kota Tangerang Selatan), masih ada persoalan regulasi dan penegakan hukum dalam perizinan pengambilan air di zona air tanah yang belum terlaksana, baik dari segi pengawasan izin maupun volume yang ditarik. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 9 Cakupan sanitasi di seluruh Jabodetabek masih sangat rendah, yang menyiratkan adanya kontaminasi dan penurunan kualitas air tanah dan permukaan yang signifikan. Walaupun akses sanitasi masih rendah di seluruh Jabodetabek, terdapat peningkatan komitmen peningkatan penyediaan layanan. Komitmen ini menggembirakan dan dapat menjadi contoh keberhasilan inisiatif yang dapat direplikasi dan diperluas. Akan tetapi, layanan infrastruktur sanitasi off-site masih sangat minim, dan layanan sanitasi melalui sistem on-site yang ada saat ini juga belum dikelola dengan baik dari aspek operasional, pemeliharaan, regulasi maupun koordinasi. Tanggung jawab penyediaan layanan sanitasi terdesentralisasi dan mengalami fragmentasi secara spasial. Selain itu, masing-masing pemerintah daerah mengelola layanan sanitasinya sendiri, dengan koordinasi yang minim. Kurangnya perhatian terhadap sanitasi ini telah mengakibatkan ekosistem yang terdegradasi, krisis kesehatan masyarakat, dan penurunan kelayakan huni secara keseluruhan, terutama di daerah perkotaan yang padat. Selain tantangan tata kelola yang ada, tren pertumbuhan Jabodetabek, banjir berulang, dan kendala air semakin membebani kapasitas kelembagaan untuk menyediakan pasokan air dan layanan sanitasi yang memadai. Instansi-instansi pemerintah tampak paling kewalahan selama peristiwa banjir menahun dan meluas yang secara berkala melumpuhkan Jabodetabek. Pada tahun 2020, pertumbuhan Jabodetabek yang pesat dan gencar turut mendorong keputusan penting untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Meski dengan keputusan pemindahan tersebut, kerawanan air masih akan menjadi tantangan besar bagi wilayah Jabodetabek, yang akan terus menjadi pusat ekonomi utama Indonesia. Tanpa kemampuan untuk menyediakan pasokan air yang konsisten, bisnis besar dan kecil dan masyarakat kaya dan miskin di seluruh wilayah akan terpaksa mencari sumber air mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, ini menimbulkan tekanan ekstrem pada air tanah, yang telah menyebabkan penurunan tanah permanen, dan khususnya membebani penduduk yang paling rentan di kawasan itu. Penurunan tanah juga merusak fungsi keseluruhan sistem pengelolaan banjir, yang menyebabkan kejadian banjir yang lebih luas dan lebih lama. Untuk mengatasi masalah air yang kompleks dan saling berkait ini, Jabodetabek perlu mengembangkan inisiatif yang sudah dibangun untuk berkoordinasi pada seluruh aspek yang terkait dengan siklus air. Ini merupakan sebuah pendekatan yang dapat dimaksimalkan dan ditingkatkan melalui kerangka Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (Integrated Urban Water Management, IUWM). Sebagai kerangka yang menyeluruh, IUWM menggabungkan serangkaian prinsip dalam rencana tata ruang kota dan pengelolaan daerah aliran sungai, dan memiliki potensi strategis untuk diterapkan di Jabodetabek. Prinsip-prinsip utama kerangka ini mencakup berbagai elemen siklus air perkotaan – pasokan air, sanitasi, air hujan, dan air limbah – untuk menciptakan suatu pendekatan terkoordinasi terhadap masalah air. Inisiatif di Amerika Latin dan Asia Timur, yang telah lama didukung oleh Bank Dunia, menggambarkan manfaat yang berbeda dari pendekatan IUWM. Misalnya, IUWM dapat membantu mengidentifikasi nilai tambah untuk efisiensi air, melengkapi proyek infrastruktur besar, mengintegrasikan risiko banjir dengan berbagai pertimbangan desain perkotaan, dan berinovasi untuk peningkatan kualitas air pada berbagai skala. Studi-studi kasus yang diambil dari kota-kota di seluruh dunia juga menyoroti bagaimana solusi yang diterapkan 10 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek untuk mengatasi masalah air yang mendesak dapat ditingkatkan untuk memprakarsai IUWM, memposisikan struktur kelembagaan untuk mengintegrasikan rencana pembangunan yang lebih baik di seluruh bagian siklus air, alih-alih merespons secara reaktif pada saat-saat krisis. Di Jabodetabek, IUWM juga memberikan kesempatan strategis untuk membangun model berdasarkan prinsip-prinsip ini bagi daerah lain di Indonesia yang juga menghadapi kerawanan air. Untuk mengkaji tantangan air di Jabodetabek dan peluang bagi IUWM, studi ini menggabungkan analisis data dan diskusi dengan para pemangku kepentingan. Dengan menggunakan data pemerintah, tim kajian menetapkan sederet indikator kunci untuk memvisualisasikan tiga sektor air – pengelolaan banjir, pasokan air, dan sanitasi – dan mengumpulkan instansi-instansi kunci dari pemerintah pusat dan daerah, membangun proses yang secara iteratif (berulang) menampilkan sederet pedoman untuk mengkatalisasi IUWM. Data resmi di tiga sektor air divisualisasikan dalam sejumlah peta untuk memfasilitasi diskusi seputar hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama, menjembatani prioritas nasional dengan kepentingan daerah yang diartikulasikan dalam rencana pembangunan. Mitra-mitra pemerintah pusat, antara lain, di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) mengikuti serangkaian lokakarya dengan masing-masing kabupaten/kota dari wilayah Jabodetabek, melibatkan badan perencanaan, dinas, perusahaan penyedia layanan masing-masing, dan pemangku kepentingan lainnya. Lokakarya awal membahas hambatan dan peluang konseptual yang luas untuk IUWM, sementara lokakarya klaster regional yang lebih kecil menggunakan visualisasi data untuk mendorong peserta mendiskusikan tantangan koordinasi yang ada, dan mengusulkan solusi. Temuan laporan ini didasarkan pada proses penelitian kolaboratif yang melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam pengumpulan, analisis, dan interpretasi data, dan dalam mengidentifikasi tindakan. Masukan dari pemangku kepentingan dikumpulkan dalam serangkaian lokakarya fisik dan online, konsultasi berbasis klaster, dan wawancara mendalam dengan 71 pejabat pemerintah, manajer PDAM, dan sektor swasta dan mitra pembangunan yang dilakukan pada 2019–2021. Laporan ini disertai dengan Laporan Kerangka IUWM Nasional, yang menyajikan temuan dan rekomendasi implementasi IUWM di tingkat nasional. Upaya-upaya semacam ini memerlukan lingkungan yang dapat mendukung kolaborasi antar dan intra-daerah, pengelolaan data dan informasi yang lebih baik, dan perubahan paradigma menuju solusi berbasis alam dan jasa ekosistem, yang ditopang oleh pembiayaan dan otoritas yang memadai. Rekomendasi yang dihasilkan mengarah pada jalur di mana kementerian di tingkat pusat dan pemerintah daerah dari seluruh Jabodetabek untuk mulai menerapkan intervensi segera yang akan membantu melakukan transisi pengetahuan dasar dan kemampuan untuk perencanaan jangka panjang seputar IUWM. Laporan ini menawarkan sejumlah rekomendasi untuk mendukung penerapan IUWM di Jabodetabek. Rekomendasi-rekomendasi tersebut mengakui perlunya koordinasi pada tiga skala pemerintahan: i) kerja sama antar daerah; ii) koordinasi vertikal antara pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat; dan iii) koordinasi horizontal lintas sektor dan lembaga Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 11 dalam pemerintah daerah, serta menjembatani dengan kelompok pemangku kepentingan lainnya. Studi ini mengungkapkan kesenjangan dan peluang yang membutuhkan tindakan segera, jangka pendek, dan jangka menengah. Hal ini harus ditangani melalui kerangka implementasi dan melalui intervensi IUWM langsung, yang keduanya mendukung reformasi kelembagaan jangka panjang. Rekomendasi peta jalan berkenaan dengan ancaman air yang dihadapi Jabodetabek di lima kategori kerangka IUWM (peraturan perundang-undangan, tata kelola, perencanaan dan implementasi, manajemen informasi, dan pembiayaan). Tindakan-tindakan yang direkomendasikan fokus pada langkah-langkah untuk segera dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber daya independen yang tidak memerlukan investasi besar. Peta jalan rekomendasi juga melacak langkah-langkah yang akan membutuhkan investasi lebih besar, seperti program pembangunan infrastruktur skala besar yang sedang berjalan. Ini termasuk Bendungan Jatiluhur dan Karian untuk pasokan air, berbagai inisiatif saluran air limbah Jakarta untuk memperluas dan meningkatkan cakupan layanan sanitasi, rencana Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Nasional (National Capital Integrated Coastal Development, NCICD), dan bendungan hulu yang sedang dipersiapkan untuk pengendalian dan perlindungan terhadap banjir. Laporan ini ditutup dengan pemaparan mengenai tindakan prioritas segera bagi IUWM untuk mengatasi kerawanan air di Jabodetabek. Tindakan-tindakan termasuk intervensi untuk mempercepat perluasan akses sanitasi dan pasokan air – hal kunci untuk menghentikan atau mengurangi pengambilan air tanah yang berlebihan – dan rekomendasi mengenai kerangka pelaksanaan untuk meningkatkan pengelolaan dan perencanaan air. Kerangka implementasi spesifik tindakan prioritas mencakup berbagai kegiatan yang sedang berlangsung dan inisiatif utama, seperti meningkatkan koordinasi antar daerah, mengembangkan pedoman dan protokol untuk perencanaan dan berbagi data lintas sektor, menegakkan peraturan yang ada terkait perizinan pembuangan dan standar pasokan air dan sanitasi, dan memperbaiki pengelolaan air tanah. Intervensi prioritas mencakup mempercepat inisiatif sumber daya air dalam skala besar, meningkatkan efisiensi sistem pasokan air, menerapkan manajemen permintaan dan penggunaan kembali air, dan memperbaiki sistem drainase, serta memperluas layanan pasokan air dan sanitasi melalui sumber pembiayaan dan peraturan tarif yang terpadu. 12 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 1. Pendahuluan 1 PENDAHULUAN 1.1. Air dan pembangunan di Jabodetabek 1. Risiko air di Indonesia sangat akut, terutama di wilayah Jabodetabek, yang merupakan pusat ekonomi dan politik Indonesia. Kegagalan untuk mengatasi ancaman terhadap ketahanan air di Jabodetabek akan secara signifikan menghambat pencapaian target pembangunan nasional jangka menengah dan panjang. Diagnostik Keamanan Air Indonesia (Bank Dunia, “Indonesia Vision,” akan terbit) memproyeksikan terjadinya peningkatan kerawanan air di Indonesia karena meningkatnya permintaan air, perencanaan dan pengelolaan yang tidak memadai, dan variabilitas iklim. Dengan menggunakan model Computational General Equilibrium (CGE), Diagnostik ini memproyeksikan kerugian hingga 4,9 persen dari PDB pada 2030 dan hingga 7,3 persen pada 2045 jika masalah ketahanan air tidak ditangani.1 Sebaliknya, studi tersebut menemukan bahwa mengambil tindakan untuk menangani masalah ketahanan air dapat secara signifikan mempercepat pertumbuhan PDB. Dampak sosial dan ekonomi kerawanan air akan sangat terasa di Jabodetabek,2 yang terus mengalami pertumbuhan penduduk secara pesat, dan kini ditinggali oleh 33,5 juta orang, setara dengan sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia. Seperti yang akan ditunjukkan oleh studi ini, wujud paling nyata dari kerawanan air di Jabodetabek adalah banjir yang parah dan berulang, kelangkaan air bersih yang semakin parah, dan kualitas air permukaan dan air tanah yang sudah mencapai tingkat yang berbahaya. 2. Gambar 1 menyoroti dua wilayah sungai yang berhimpit, melintasi dan terhubung dengan Jabodetabek, dan yang mengalami kerawanan air paling parah di Indonesia. Jabodetabek sebagian besar bergantung pada pasokan air dari wilayah Sungai Citarum, yang dinyatakan sebagai wilayah sungai yang paling tercemar di Indonesia. Kenyataan ini mendorong terbitnya peraturan presiden pada 2018 untuk membentuk satuan tugas pembersihan darurat di bawah program Citarum Harum.3 Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang bersebelahan mengalami kerawanan air yang parah, secara spasial melingkupi wilayah Jabodetabek, dan berkontribusi terhadap 22 persen dari PDB nasional. Oleh karena itu, risiko pembangunan ekonomi akibat keterlambatan tindakan terhadap masalah air dapat melemahkan potensi pertumbuhan yang signifikan, baik untuk kawasan dimaksud maupun secara nasional. 1 Angka yang dihasilkan menggunakan perkiraan pra-COVID-19. 2 Wilayah Jabodetabek mencakup 14 pemerintah daerah (kota dan kabupaten) (lihat gambar 2), yang tersebar di tiga provinsi: Banten, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). 3 Program Citarum Harum dijalankan di bawah Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. 14 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 1: GDP Relatif terhadap Tingkat Stress Air di Wilayah Sungai di Pulau Jawa Tingkat stress air dan daerah aliran sungai Peta Indonesia Menghasilkan 44% dari PDB Indonesia pada tahun 2018 " Kota Metro Kota Bandar Lampung 22% 3% " Total PDB Indonesia pada dari AND RIVER BASINS THAT GENERATED 44 % of INDONESIA'S GDP in 2018 2018 STRESS INDONESIAN WATER Map of Indonesia WS. Ciliwung-Cisadane Total PDB Indonesia pada 2018 dari Kota Tangerang WS. Jratunseluna "" " " Kota Jakarta Timur" " "Kota Depok Kota Tangerang Selatan " " Kota Bogor " Kota Cimahi " Kota Bandung " Kota Surabaya Kota Mojokerto Kota Surakarta " Kota Madiun 6% " " Kota Kediri Kota Batu " " Total PDB Indonesia pada Kota Blitar " " 2018 dari WS. Citarum 5% Total PDB Indonesia pada 2018 dari 8% Total PDB Indonesia pada WS. Bengawan Solo 2018 dari Legend WS. Brantas Kota " (%) Tingkat Stres Air ´ Garis pantai (< 25 % ) Tidak ada stres Batas Provinsi (25-75 %) Stres medium Batas Wilayah Sungai (> 75 % ) Stres tinggi (>100 %) Stres sangat tinggi KM 0 70 140 280 Date: 4/12/2022 Time: 1:58:35 PM Document Path: D:\Dropbox\WB_GeoIDN\Layout\wb_mxd\IDN_Waters Security\Bahasa_version\Ina_2022\Gambar1_Tingkat stress air pada WS_GDP 2018.mxd 3. Jabodetabek adalah salah satu wilayah metropolitan dengan pertumbuhan tercepat di Asia Timur. Studi East Asia Changing Urban Landscape menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2010, Populasi Jabodetabek mengalami peningkatan laju pertumbuhan tahunan sebesar 3,7 persen, menambahkan total 7 juta orang selama periode tersebut (Bank Dunia 2015; Bank Dunia 2016a). Kepadatan penduduk DKI Jakarta juga terus meningkat, mencapai 16.260 orang per kilometer persegi pada tahun 2018 (naik dari 12.200 orang per kilometer persegi pada tahun 2000, dan menempati posisi kedua di Asia Timur setelah Hong Kong), dan pertumbuhan pesat juga terjadi di daerah tetangga Jakarta, yakni Bekasi dan Tangerang (lihat tabel 1). Pentingnya Jabodetabek di Indonesia terlihat dari ukuran dan skalanya dibandingkan wilayah metropolitan lainnya. Luas wilayah Jabodetabek hampir 6.500 kilometer persegi, lebih dari dua kali luas kawasan regional metropolitan terbesar kedua di Indonesia (Surabaya). Jabodetabek juga tumbuh lebih cepat secara merata di seluruh wilayah, dengan laju 1,8 persen per tahun, dibandingkan dengan 1,5 persen di kota- kota lain di Indonesia. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 15 Tabel 1: Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Asia Timur Sumber: UN-Habitat 2020. 4. Pertumbuhan kawasan perkotaan sangat menonjol di bagian hulu wilayah sungai, yang mengubah daerah tangkapan air dan pertanian menjadi daerah terbangun. Gambar 2 menunjukkan perubahan drastis ini, dan menyoroti bagaimana kawasan terbangun meningkat lebih dari 28 persen antara tahun 1992 dan 2018. Tabel 2 menunjukkan perubahan tata guna lahan terkait, yang telah menyebabkan terjadinya perluasan permukaan kedap air dan penurunan jumlah dan ukuran resapan air. Sementara hilangnya lahan pertanian berkorelasi dengan perluasan pemukiman, luas sungai, danau, dan embung juga menurun, dari 180 kilometer persegi pada 1992 menjadi 150 kilometer persegi pada 2018. Gambar 2: Perubahan Tutupan Lahan di Jabodetabek, 1992–2018 16 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Tabel 2: Luas Tutupan Lahan Nominal di Jabodetabek, 1992–2018 5. Seiring bertambahnya area terbangun di Jabodetabek telah mengubah kawasan tersebut, permintaan akan sumber daya dan layanan dasar telah menciptakan tantangan pembangunan yang sangat besar, dan berbagai solusi tidak terkoordinasi dengan baik antar daerah. Keamanan air dan perencanaan pembangunan saling terkait erat di banyak sektor. Misalnya, masalah kronis yang saling terkait, termasuk perencanaan tata ruang yang buruk dan pembangunan tidak terkendali tanpa perencanaan, peraturan, dan penyelenggaraan layanan dasar yang mendukung kelayakan dan pertumbuhan. Pendekatan kebijakan terkait urusan air tetap bersifat sektoral dan berjalan sendiri-sendiri dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan sebagian besar inisiatif berada di dalam wilayah DKI Jakarta. Kebiasaan ini tetap ada meskipun pembuat kebijakan dan perencana telah lama mengusulkan pembentukan wilayah metropolitan yang lebih luas di bawah otoritas yang terkoordinasi (Firman 2004; Silver 2008).4 Mengingat skala kepadatan dan ekspansi perkotaan, solusi untuk tantangan pembangunan yang kompleks akan membutuhkan sinergi yang lebih besar antara berbagai tingkat pemerintahan 6. Satu keputusan besar baru-baru ini diharapkan dapat mengubah karakter Jakarta. Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk memindahkan ibu kota pemerintahan dan administratif ke Kalimantan Timur karena besarnya risiko dan terbatasnya sumber daya di Jabodetabek dan sekitarnya. Pergeseran ini akan membutuhkan perencanaan jangka panjang, dan bahkan dengan pemindahan ibu kota negara, Jakarta akan tetap menjadi pusat populasi utama negara dan berfungsi sebagai pusat komersial dan keuangannya. Oleh karena itu, kapasitas untuk mengelola risiko air di Jabodetabek akan sangat penting bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. 7. Dampak risiko air paling dirasakan oleh komunitas paling rentan di Jabodetabek. Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki akses yang lebih terbatas ke sistem pasokan air perpipaan dan lebih cenderung bergantung pada air tanah berkualitas buruk untuk minum dan keperluan rumah tangga. Mereka juga terpapar risiko kesehatan yang lebih tinggi karena kurangnya sanitasi yang aman, pengumpulan air limbah, dan pengolahan air limbah. Sungai-sungai perkotaan, Teluk Jakarta, dan badan air lainnya juga sangat 4 Lihat bagian 4 untuk rincian lebih lanjut tentang konteks kelembagaan. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 17 terkontaminasi. Mereka juga lebih berisiko terkena banjir. Dampak pada komunitas rentan dibahas lebih rinci sepanjang bagian desain, analisis, dan rekomendasi dari laporan ini. 8. Pendekatan Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (Integrated Urban Water Management, IUWM) dapat digunakan untuk mengatasi risiko air yang saling terkait di Jabodetabek sambil mengatasi hambatan penerapan dan mendorong kerja sama antara unsur pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Kotak 1 memberikan pengantar singkat tentang IUWM. Untuk mengatasi risiko air di Jabodetabek, investasi skala besar dalam pengembangan sumber daya air, penyimpanan, pengolahan, dan infrastruktur perlindungan banjir akan diperlukan. Namun IUWM menyediakan sejumlah tindakan untuk menjembatani dan melengkapi pengembangan proyek infrastruktur besar, menekankan perencanaan terpadu, desain dan pemanfaatan yang efisien, manajemen permintaan, dan konservasi. Kotak 1: Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu (Integrated Urban Water Management, IUWM) IUWM merupakan pendekatan perencanaan dan pengelolaan semua sumber air (air tanah, permukaan, air hujan, air daur ulang, desalinasi, dll.), tahapan dalam siklus air (pengelolaan sumber daya air, pengolahan dan distribusi air bersih, serta pengumpulan, pengolahan dan pembuangan air limbah), pemanfaatan dan permintaan air, dan perlindungan lingkungan air dan lingkungan perkotaan melalui koordinasi dengan mempertimbangkan kondisi dan prioritas setempat. Ini menyiratkan koordinasi horizontal dengan sektor infrastruktur perkotaan lainnya dan bidang kebijakan – termasuk di antaranya pengembangan tata ruang, pengelolaan limbah padat, dan pengelolaan bencana – untuk memastikan bahwa kebijakan dan rencana di bidang ini memperhitungkan sepenuhnya dampaknya terhadap air perkotaan. Gambar 3 menggambarkan elemen yang saling terkait dari sistem air perkotaan dan konteks solusi masalah untuk Jabodetabek yang ingin ditangani oleh IUWM. Selama dua dekade terakhir, IUWM telah berevolusi untuk menggabungkan tantangan dan konsep perkotaan kontemporer. Ini termasuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, efisiensi sumber daya dan energi, ekonomi sirkular dan sistem loop tertutup untuk air, dan membangun ketahanan untuk risiko saat ini dan masa depan. Konsep- konsep ini tertanam dalam konseptualisasi IUWM untuk Jabodetabek. 18 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 3 : Elemen Solusi-Masalah Sistem Air Minum Perkotaan Jabodetabek Perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, konversi dan pemadatan Membangun bersama lingkungan stres iklim Peningkatan tekanan iklim Pembayaran jasa lingkungan Peningkatan laju/volume limpasan air Retensi dan pengisian air Memanen air hujan Air limbah yang dak terolah Pencemaran air Pengolahan limbah tanah/permukaan cair Pengendalian Pengambilan Pencemaran air tanah dalam Penurunan muka tanah Pembatasan pengambilan air tanah Material yang dak berpori Material yang berpori Risiko banjir semakin kompleks Sistem drainase Tanpa limpasan (zero runoff) kurang terjaga Sistem peringatan dini Menjaga kerbesihan drainase Sumber: Diadaptasi dari Water Partnership Program 2016. 9. Laporan ini bertujuan untuk mengembangkan inisiatif sektor air yang sudah ada, mengidentifikasi kebijakan, perencanaan, dan praktik yang dapat menghasilkan pendekatan-pendekatan yang lebih terintegrasi, tindakan tambahan/pelengkap, dan kerangka kelembagaan untuk jangka waktu yang lebih panjang. Studi ini tidak dirancang untuk untuk membahas semua sektor air secara menyeluruh, karena sudah sangat banyak studi terperinci yang dilakukan di wilayah dan kota di Jabodetabek. Sebaliknya, studi ini menggunakan kerangka IUWM untuk memanfaatkan berbagai kegiatan sektoral yang sedang berjalan sebagai pemicu. Dari segi tersebut, studi ini menghubungkan berbagai risiko kerawanan air dengan perencanaan umum serta inisiatif pembangunan di seluruh wilayah Jabodetabek, dan dengan itu mengidentifikasi bidang-bidang yang dapat dipadukan untuk mencapai hasil yang optimal. 10. Oleh karena itu, studi ini fokus pada konteks kelembagaan, mengkaji hal-hal yang saling melengkapi, kontinjensi, dan sinergi menuju IUWM. Laporan ini menjembatani perspektif tingkat nasional dan daerah tentang kompleksitas IUWM dengan menerapkan suatu kerangka (dapat merujuk pada laporan Kerangka Nasional IUWM), dan memosisikan peran kementerian/lembaga utama – seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) – berdampingan dengan proses perencanaan dan pembangunan serta perspektif pemerintah kabupaten/kota di Jabodetabek. Rekomendasi laporan ini dimaksudkan untuk mendorong dilakukannya intervensi langsung yang Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 19 dapat dijalankan dalam jangka pendek. Laporan ini juga diharapkan dapat memperkuat basis pengetahuan dan keahlian untuk menghasilkan pendekatan perencanaan dan pengembangan kelembagaan yang lebih strategis dalam jangka panjang. Hal ini akan membutuhkan proses pelibatan yang berkelanjutan dan berulang. 11. Laporan ini disusun sebagai berikut. Bagian 1.2 menguraikan risiko-risiko utama terkait air di Jabodetabek. Bagian 1.3 menjelaskan kompleksitas struktur tata kelola yang membentuk sistem air perkotaan di wilayah ini. Bagian 2 menjelaskan metodologi kolaboratif yang digunakan untuk penelitian ini. Bagian 3 menyajikan analisis dan visualisasi data kuantitatif, sedangkan bagian 4 menyajikan temuan tentang upaya IUWM yang dilaksanakan saat ini di Jabodetabek, yang diperoleh dari data kualitatif pelengkap yang dikumpulkan secara periodik. Selanjutnya, bagian 5 menyajikan rekomendasi. Laporan ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai titik masuk memahami risiko air yang paling mendesak di Jabodetabek dan disandingkan dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang lebih luas. Studi ini juga berfungsi sebagai landasan bagi sejumlah pedoman awal reformasi kelembagaan dan langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk mengatasi masalah lintas sektor terkait dengan ketahanan air. 1.2. Tinjauan risiko air dan pembangunan perkotaan di Jabodetabek Jabodetabek menghadapi tantangan berat di seluruh unsur sistem air perkotaan. Di 12. seluruh wilayah, akses ke air rendah dan permintaan air meningkat, sehingga mendorong masyarakat untuk mencari sumber air alternatif, yang mengakibatkan pengambilan air tanah yang berlebihan dan penurunan tanah permanen. Penurunan tanah merusak sistem pengelolaan banjir yang sudah tidak lagi mampu mengatasi banjir parah yang menahun. Sementara itu, rendahnya tingkat pengolahan air limbah dan pengelolaan limbah yang aman memperburuk kualitas air, dan mempengaruhi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Bagian ini menjelaskan gambaran umum dari masing-masing subsektor air yang saling terkait dan masalah yang dihadapi. 1.2.1. Pengelolaan banjir dan air hujan 13. Banjir berulang di Jabodetabek berdampak besar pada kehidupan dan harta benda diakibatkan oleh tiga jenis bahaya banjir – hujan di hulu, peristiwa hujan lokal, dan fluktuasi pasang surut. Peristiwa paling parah dalam dua dekade terakhir terjadi pada Februari 2007, ketika banjir mengakibatkan 57 kematian dan lebih dari 400.000 orang terdampak, serta menyebabkan kerugian sekitar US$900 juta (Bank Dunia 2019b). Pada awal 2020, banjir di Jabodetabek menyebabkan 66 korban jiwa dan menelan biaya sekitar Rp 5,2 triliun atau US$370 juta (Bappenas 2020). Gambar 4 menunjukkan luasan banjir yang oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) digambarkan sebagai banjir terparah sejak bencana 2007. Meskipun data dalam gambar 4 tidak lengkap untuk 20 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek seluruh Jabodetabek, namun skala dampaknya jelas. Warna merah pada gambar ini mewakili wilayah kelurahan yang tergenang berulang kali, dan titik-titik pada gambar memperlihatkan kedalaman banjir, yang dapat memberikan gambaran tentang besar dan luasnya banjir. Kondisi banjir puncak cenderung terjadi pada awal setiap tahun, tetapi tidak jarang juga terjadi sepanjang perubahan musiman. Awal 2021 juga serupa tingkat keparahannya. Gambar 4 : Genangan banjir pada awal 2020 Peta Area Kejadian Banjir, 2020: Jumlah kejadian banjir JABODETABEK Deskripsi Peristiwa Banjir di DKI Jakarta Kawasan rentan banjir Peristiwa Banjir Tinggi banjir (m) Januari-Februari 2020 Januari, 2020 <0.125 Data tidak tersedia 390 RW dan 151 kelurahan, 0.126-0.50 <3 35 Kecamatan mengalami bajir selama 4 hari, dengan 0.51-2 3-5 19 korban jiwa, 36,445 orang mengungsi dan 83,496 orang terdampak. Februari, 2020 581 RW dan 1.167 Kelurahan, 42 Kecamatan mengalami banjir selama 2 hari. 13,808 orang menungsi dan 43,464 orang terdampak. sumber : cnnindonesia.com Bekasi Peristiwa Banjir di Peristiwa Banjir di Kabupaten Tangerang Kota Jakarta Kota Jakarta Kabupaten Bekasi Barat Utara Januari (1-4, 6-10, Kota Tangerang Kota 15-17, dan 20-27) 2020 Kota Januari 1-3, 2020 Terdapat 4 peristiwa Jakarta Jakarta 18 Kecamatan, 42 Desa banjir besar dan 21,477 Timur Pusat and 1,518 rumah tangga rumah tangga Tangerang Kota Kota terdampak. terdapampak Tangerang Selatan Jakarta Kota Bekasi Februari 2020 Februari-Maret 2020 Selatan 22 Kecamatan, 126 Desa Terdapat 18,790 dan 43,138 rumah tangga, Kota Depok dan 127,884 orang terdampak rumah tangga, dan 36,899 orang terdampak dengan 850 rumah dan 40 ha sawah tergenang. Sumber : BPBD Bekasi District Bogor Peristiwa Banjir di Kota Bogor Kota Bogor Peristiwa Banjir di Kota Tangerang Januari - April 2020 195 rumah tangga, 501 orang Januari 1 s/d 7, 2020 terdampak dengan 213 rumah 59 Kelurahan and 13 Kecamatan, rusak ringan akibat banjir 41,079 rumah tangga mengungsi, Peristiwa Banjir di sources : BPBD Bogor city dengan total sekitar 88,740 Kota Tangerang Selatan orang yang terdampak, serta 6 korban jiwa ´ Januari 1, 2020 1- 8 Februari, 2020 50 Kelurahan, 7 Kecamatan, 13 desa/kelurahan, dan 8 18,408 rumah tangga, 66,388 Kecamatan, 2,599 rumah tangga, orang terdampak dan 4 orang 5,578. orang mengungsi. dan total korban jiwa. 9,528 orang yang terdampak. 0 5 10 20 Kilometers Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 21 14. Jabodetabek rawan banjir akibat hujan lokal karena sistem dan pengelolaan drainase yang buruk, sementara wilayah hilir juga terkena banjir akibat curah hujan tinggi di DAS bagian hulu yang mengirimkan air dalam jumlah besar. Bagian terpadat dari wilayah metropolitan terletak di dataran aluvial datar yang dibatasi oleh perbukitan di selatan. Kondisi hujan orografis – meningkatnya curah hujan yang disebabkan oleh ketinggian – menghasilkan risiko banjir yang signifikan. Kejadian hujan dengan intensitas tinggi di daerah hulu, terutama pada puncak musim hujan, memindahkan volume air yang besar ke dataran hilir yang padat penduduk. Selama tiga dekade terakhir, risiko banjir musiman telah diperburuk oleh pembangunan di hulu dan alih guna lahan, sehingga mengurangi kapasitas retensi DAS bagian hulu dan mempercepat laju dan volume pengiriman ke hilir. Manajemen risiko banjir di Jabodetabek tidak memadai dan sebagian besar tidak terkoordinasi di seluruh daerah, dan kejadian curah hujan di seluruh wilayah dapat memicu banjir (Hahm dan Fisher 2011; Bank Dunia 2019b). Pengelolaan limbah padat serta pengendalian dan pemeliharaan sedimentasi yang tidak memadai dan tidak efektif juga menciptakan penyumbatan tambahan dalam sistem drainase. 15. Banjir diperkirakan akan menjadi lebih sering dan parah karena penurunan tanah, perubahan penggunaan lahan, pertumbuhan kota, peningkatan kepadatan, dan perubahan iklim. Beberapa studi telah memodelkan genangan banjir di masa depan untuk Jakarta hingga tahun 2050. Takagi et al. (2016) memproyeksikan kenaikan 86 persen luasan zona risiko banjir. Sebagian besar disebabkan oleh faktor penurunan tanah yang diperkirakan akan meningkat tajam setelah tahun 2025. Risiko banjir pesisir dan sungai juga meningkat karena penurunan tanah. Penurunan permukaan tanah membahayakan struktur hidrogeologi dasar Jabodetabek sepanjang garis pantai utaranya, merusak strategi pengelolaan banjir yang ada yang dirancang untuk mengalirkan air banjir ke laut (Budiyono et al. 2015). Penurunan permukaan tanah yang diamati berhubungan dengan pengambilan air tanah yang berlebihan, proses pengendapan alami, dan faktor pemuatan, yang jika ditambah dengan fluktuasi pasang surut dan naiknya permukaan laut, dapat menimbulkan ancaman signifikan terhadap sistem pengelolaan banjir yang tidak diantisipasi pada saat dibangun (Abidin et al. 2011). 16. Rencana pengelolaan banjir di Jabodetabek selama ini diprakarsai dan dilaksanakan oleh Kementerian PUPR. Sungai, kanal, saluran pembuangan, dan saluran air dikendalikan dan dipelihara di bawah koordinasi yang kompleks antara Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) KemenPUPR, dan pemerintah daerah (Bank Dunia 2011). Anggaran untuk pemeliharaan saluran sering tidak dapat diserap karena belum adanya persiapan kegiatan terkait oleh lembaga pemerintah lainnya. 17. Rencana induk banjir untuk Jabodetabek bergantung pada sistem polder yang diperkenalkan pada abad ketujuh belas dan terakhir diperbarui pada tahun 1975, yang masih tidak memadai untuk skala pertumbuhan kawasan. Orientasi ruang kota dan 22 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek pengembangan layanan publik sangat terkait dengan masa lalu kolonialnya: sistem banjir didasarkan pada prinsip-prinsip Belanda, mengarahkan air ke titik terendah di kawasan dan memompanya ke dalam sistem kanal yang mengalir ke laut (Silver 2008; Kooy dan Bakker 2008). Sistem drainase lingkar skala besar yang diajukan dalam rencana induk tahun 1975 akhirnya menghubungkan Kanal Banjir Timur dan Barat untuk melindungi daerah dataran rendah. Namun, skala pembangunan yang tidak terduga di Jabodetabek belum tercermin dalam rencana induk banjir terkini. Selanjutnya, penurunan tanah yang ekstrem sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan rusaknya infrastruktur pengendali banjir, memperlambat pengaliran air, dan menyebabkan berulangnya masalah yang membutuhkan peningkatan kapasitas pemompaan. Proyek Penanggulangan Banjir Darurat Jakarta (Jakarta Urgent Flood Management Project) yang didukung Bank Dunia membantu upaya rehabilitasi sistem pengelolaan banjir DKI Jakarta yang ada dan memulihkannya ke kapasitas desain awal. Upaya ini dilakukan melalui pengerukan dan perbaikan tanggul, serta mendukung pembentukan program pemeliharaan untuk menjaga sistem bekerja pada kapasitas yang dimaksudkan. Sementara itu, perencanaan induk skala besar telah dilakukan untuk mengatasi urbanisasi yang tidak terduga dan mengevaluasi kembali kondisi yang muncul dari terganggunya dasar-dasar pengelolaan banjir akibat penurunan tanah. Proses ini menghasilkan terbentuknya suatu komisi nasional, yang diformalkan sebagai program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Karena dimensinya yang lintas sektoral, program ini diawasi oleh kementerian koordinator (Bappenas 2016). NCICD berencana untuk membangun tanggul sepanjang 33 kilometer yang mengelilingi Teluk Jakarta di 12 lokasi berbeda, menambah tujuh stasiun pompa baru dan memutakhirkan empat stasiun pompa yang ada (lihat KPPIP, n.d.). 18. Banyak permukiman berpenghasilan rendah terletak di daerah yang berisiko tinggi banjir. KemenPUPR memperkirakan bahwa 71.000 rumah tangga berpenghasilan rendah (angka yang dikutip dalam Rukmana dan Indraprahasta 2020) tinggal di permukiman informal sepanjang sungai dan tanggul DKI Jakarta sehingga rentan mengalami banjir paling parah. Studi ini juga akan menunjukkan dampak geografis luas dari banjir di seluruh Jabodetabek, menyoroti bagaimana masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi hambatan adaptasi tambahan untuk dapat menghadapi banjir di seluruh wilayah. Kondisi ini menimbulkan risiko bagi manusia dan harta benda, dan meningkatkan risiko penyakit bawaan air akibat kondisi lingkungan air yang terdegradasi. Untuk DKI Jakarta, Peraturan Gubernur No. 90/2018 mengamanatkan peningkatan kualitas permukiman, dengan fokus pada perbaikan drainase dan perluasan layanan air limbah. Program KOTAKU yang dilaksanakan KemenPUPR bekerja untuk mengatasi elemen-elemen yang peka air dalam program perbaikan kawasan kumuh dan perumahan (lihat KOTAKU 2017). Namun demikian, inisiatif spesifik lokasi dan regional seperti ini perlu lebih diintegrasikan ke dalam inisiatif perencanaan dan pembangunan dalam skala besar untuk mengatasi risiko yang lebih luas seputar banjir, drainase, dan kualitas air. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 23 1.2.2. Sumber daya air 19. Jabodetabek bergantung pada sumber air yang terletak di luar wilayah metropolitan, dan beberapa daerah sudah menghadapi kendala sumber daya. Infrastruktur air utama yang memasok Jabodetabek, contohnya Waduk Jatiluhur yang memasok 345.600 meter kubik air per hari, dibagi antara DKI Jakarta, Kabupaten dan Kota Bekasi, dan Karawang. Bendungan Karian yang saat ini sedang dibangun (dengan kapasitas 315 juta meter kubik dan perkiraan pasokan 276.500 meter kubik per hari) diperkirakan akan selesai pada 2021. Tambahan pasokan air dari bendungan ini akan didistribusikan ke Kabupaten Lebak, Kabupaten dan Kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan DKI Jakarta melalui SPAM Karian-Serpong yang diperkirakan selesai pada 2023. Kendala sumber daya sudah dialami di beberapa lokasi di wilayah tersebut. Hal ini paling nyata terlihat di DKI Jakarta, yang 94 persen pasokan air curahnya bergantung pada sumber di luar wilayah administrasinya. PDAM kabupaten dan kota lainnya di Jabodetabek mengandalkan air permukaan dan instalasi pengolahan air melalui layanan umum yang terkadang didukung oleh operator swasta, dilengkapi dengan proyek pasokan air pendukung yang lebih kecil untuk masyarakat perdesaan, dan melalui inisiatif-inisiatif berbasis masyarakat lainnya. 20. Pasokan air baku tidak mencukupi untuk memenuhi cakupan air perpipaan 100 persen di Jabodetabek, dengan kekurangan sebesar 52 meter kubik per detik (atau 51.940 liter per detik), berdasarkan perkiraan data pasokan dan permintaan air tahun 2019. Untuk air perpipaan di antara penduduk di wilayah layanan PDAM, infrastruktur saat ini beroperasi dengan perkiraan defisit 18,5 meter kubik per detik di Jabodetabek. Pada tahun 2020, Bappenas memperkirakan defisit pasokan air baku di Jabodetabek sebesar 22 meter kubik per detik karena keterbatasan kapasitas kelembagaan. Estimasi-estimasi yang ada bervariasi karena perbedaan asumsi dan proyeksi, namun jelas bahwa pasokan air baku tidak dapat memenuhi bahkan kebutuhan air perpipaan saat ini di Jabodetabek. Karena permintaan terus meningkat, perkiraan menunjukkan bahwa pasokan tambahan dari Bendungan Karian sekali pun tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan air perpipaan di masa depan dalam skenario business as usual (tidak ada perubahan dari yang biasa dilakukan). Rencana untuk meningkatkan penyediaan layanan dan menghubungkan pelanggan dengan jaringan distribusi tentunya akan meningkatkan permintaan air dalam jumlah besar. Beralih dari ketergantungan berlebihan pada air tanah adalah hal yang sangat penting, tetapi ini akan membutuhkan investasi dalam infrastruktur air perpipaan, manajemen permintaan, dan sistem sumber air alternatif untuk memenuhi defisit pasokan air perpipaan. 21. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan sumber daya air yang tersedia melalui peningkatan efisiensi, manajemen permintaan, dan kampanye penggunaan kembali dan daur ulang air, terutama untuk penggunaan selain air minum. Tingkat kehilangan air saat ini dalam sistem transfer dan distribusi air cukup tinggi (lihat bagian 3.2). Namun, 24 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek sejauh ini, pemerintah daerah lebih memprioritaskan infrastruktur sumber daya air baru daripada langkah efisiensi. Rata-rata konsumsi air rumah tangga di Jabodetabek sekitar 150 liter per kapita per hari (lpcd), sedangkan standar pelayanan minimum adalah 100 lpcd. Meskipun beberapa bangunan komersial dan pengembang swasta menerapkan penggunaan kembali atau daur ulang air di dalam properti mereka, insentif keseluruhan dan langkah-langkah lain untuk mendukung konservasi air masih terbatas. Sementara itu, jumlah orang yang terlayani oleh infrastruktur air di Jabodetabek pada 2019 adalah 12,1 juta, dan proyeksi mengarah pada 22,5 juta orang yang akan dilayani pada 2025. Dengan rencana ekspansi yang ambisius tersebut, upaya untuk meningkatkan efisiensi, manajemen permintaan, penggunaan kembali dan daur ulang air harus memainkan peran penting dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air di masa depan. 1.2.3. Persediaan air 22. Cakupan dan keandalan pasokan air perpipaan di Jabodetabek cukup rendah dan kurang merata, sehingga banyak konsumen bergantung pada moda akses alternatif yang memperburuk penurunan tanah. Daerah berpenghasilan menengah dan tinggi serta pengguna komersial dan industri sering mengandalkan pengambilan air tanah menggunakan sumur dalam, sedangkan daerah berpenghasilan rendah mengandalkan sumur dangkal. Pengambilan dari akuifer dalam yang berlebihan dan meluas menyebabkan kekhawatiran tersendiri karena penurunan tanah menjadi semakin intensif. Studi gabungan berbasis geodesi dan GPS menunjukkan penurunan muka tanah sebesar 15 hingga 25 sentimeter per tahun sepanjang pesisir utara Jabodetabek, dan analisis penginderaan jauh menunjukkan tingkat penurunan tanah antara 9,5 dan 21,5 sentimeter per tahun, yang menegaskan bahwa laju penurunan tanah yang cepat disebabkan oleh pengambilan air tanah baik di kawasan industri dan kawasan penggunaan campuran (Chaussard et al. 2013). Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk menyediakan pasokan air yang memadai melalui layanan air perpipaan untuk menghentikan penggunaan air tanah. Mengingat tingkat penggunaan air tanah yang ada, perluasan pasokan air perpipaan yang memadai menyiratkan perlunya mengamankan sumber daya air tambahan. Upaya ini harus dilengkapi peningkatan efisiensi melalui manajemen permintaan dan memperkenalkan sumber-sumber alternatif untuk non air minum. 23. Sebagian besar sambungan air perpipaan Jabodetabek dilayani oleh PDAM milik pemerintah kota atau kabupaten (PDAM), kecuali di DKI Jakarta. Di DKI Jakarta, PDAM dimiliki oleh pemerintah provinsi dan layanan disediakan oleh dua perusahaan konsesi swasta. Pihak swasta juga terlibat dalam pembangunan dan pengoperasian instalasi pengolahan air di Tangerang dan Bekasi. Karena tanggung jawab pasokan air diserahkan kepada pemerintah daerah di bawah sistem pemerintahan desentralisasi Indonesia, koordinasi dan kolaborasi dalam penyediaan layanan di seluruh kawasan metropolitan menjadi tantangan, terutama bagi masyarakat yang tinggal sepanjang perbatasan. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 25 Tantangan koordinasi ini dan keengganan pemerintah daerah untuk berkolaborasi mengakibatkan banyak rumah tangga tidak terlayani, atau dalam beberapa kasus, lingkungan yang dilayani oleh penyedia layanan yang tumpang tindih (misalnya, Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota dan Kabupaten Bekasi). 24. Semua PDAM di Jabodetabek diklasifikasikan sebagai “sehat” berdasarkan hasil audit kinerja yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, tetapi masih memiliki cakupan pelayanan yang rendah. Kinerja PDAM dievaluasi berdasarkan sejumlah indikator kinerja keuangan, penyelenggaraan layanan, kinerja operasional, dan sumber daya manusia (lihat laporan Kerangka Nasional IUWM). Umumnya, PDAM di Jabodetabek memiliki profitabilitas yang buruk, cakupan jaringan distribusi yang rendah, pelayanan belum tersedia secara kontinu, dengan tekanan air rendah, memiliki tingkat air tak berekening yang tinggi dan inefisiensi operasional lainnya. 25. Air minum dalam kemasan menyebar di semua rumah tangga. Pada 2010, ketika sensus terakhir dilakukan, dari semua daerah di Jabodetabek, hanya 12 persen penduduk yang menggunakan air perpipaan sebagai sumber air minum utama mereka. Pada tahun 2020, tingkat akses yang sama ini menyiratkan bahwa lebih dari 29 juta orang bergantung pada sumber air non-perpipaan. Rumah tangga di semua tingkat pendapatan hampir secara eksklusif membeli air minum dari perusahaan air kemasan atau tempat air isi ulang, sebuah fenomena yang semakin besar implikasinya di seluruh Indonesia (Bank Dunia 2020). Kerentanan penduduk termiskin meningkat secara tidak proporsional akibat kurangnya akses ke air bersih dan terjangkau. Ini dibahas lebih lanjut di bagian 3 dari laporan ini. 26. Selain PDAM, pengembang properti swasta juga membangun dan mengoperasikan jaringan distribusi air di proyek-proyek mereka yang lebih besar. Pengembang tersebut, antara lain, Pantai Indah Kapuk, Lippo Karawaci, Summarecon (di Bekasi dan Serpong), BSD City, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera. Kawasan industri juga mencari akses air sendiri. Sebagian perusahaan swasta ini memperoleh sumber daya langsung dari air permukaan dan/atau air tanah, dan yang lainnya membeli pasokan air curah dari PDAM setempat. 1.2.4. Sanitasi dan pengelolaan air limbah 27. Wilayah Jabodetabek adalah salah satu wilayah dengan jangkauan saluran air limbah yang terendah di dunia. Sekitar 90 persen DKI Jakarta menggunakan sistem pengolahan air limbah onsite (jamban atau septic tank). Beberapa pengembang swasta mengoperasikan fasilitas pengumpulan dan pengolahan skala kecil di pengembangan real estat kelas atas, tetapi semua air limbah lainnya di Jabodetabek dikelola di tingkat rumah tangga melalui sistem di tempat tersebut. Sistem-sistem ini bervariasi kualitas dan pemeliharaannya; kebanyakan di bawah standar dan tidak dipelihara secara teratur, yang mengakibatkan tingginya pencemaran air tanah di sekitar mereka (DLH DKI Jakarta 2020). 26 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 28. Aturan mengenai pengelolaan limbah cair masih belum memadai dan sebagian besar limbah dibuang secara ilegal ke badan air, dan bukan disalurkan ke instalasi pengolahan. Operator truk swasta dan pemerintah daerah mengumpulkan limbah sesuai permintaan, meskipun metode penyedotan terjadwal sedang dikembangkan di beberapa kota. Instalasi pengolahan limbah, yang dikelola oleh pemerintah daerah, biasanya dibangun di pinggiran wilayah mereka. Aksesnya sulit dan mahal, dan fasilitasnya mengalami kekurangan kapasitas, sumber daya manusia yang tidak terlatih, dan pemeliharaan yang tidak teratur. 29. Rencana untuk memperluas cakupan sanitasi di DKI Jakarta sedang berlangsung. Lima belas zona layanan telah ditetapkan, salah satunya saat ini dilayani oleh instalasi pengolahan air limbah (IPAL) Setiabudi. Di empat zona tambahan, pembangunan jaringan saluran air limbah dan peningkatan layanan di lokasi sedang berlangsung; pada tahun 2022, cakupan 26 persen baik untuk layanan on-site dan off-site diharapkan akan dicapai di DKI Jakarta. Kota Bogor, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan sudah mulai membangun jaringan saluran air limbah skala kecil dengan sistem pengolahan off-site, meskipun sistem ini beroperasi pada skala yang sangat terbatas dibandingkan dengan seluruh jumlah penduduk. 1.2.5. Kualitas lingkungan air 30. Kualitas lingkungan sumber air baku yang buruk di Jabodetabek. Pada tahun 2016, semua sungai besar di Jabodetabek (Cidurian, Cisadane, Ciliwung, Citarum, dan Bekasi) tercemar pada tingkat sedang hingga berat menurut indeks pencemaran Indonesia, yang memperhitungkan indikator fisik, kimia, dan biologis (KLHK 2016). Tingkat nitrat, fosfat, dan amonia semuanya melebihi ambang batas, menunjukkan tingginya kadar efluen dan limbah organik, pertanian, dan domestik yang mengalir tanpa diolah ke perairan Jabodetabek. Logam berat (timbal, merkuri, dan lain-lain) yang berasal dari limbah industri dan perkotaan juga melebihi ambang batas standar, mencerminkan tingkat akumulasi yang diamati pada kerang hijau dan ikan di Teluk Jakarta (Riani et al. 2018). Studi tentang kualitas air berulang kali menunjukkan buruknya kualitas air yang mengalir ke Teluk Jakarta, di mana air limbah kota menyumbang 70–80 persen polutan (Dsikowitsky et al. 2018). Kualitas air baku yang buruk memiliki implikasi negatif bagi lingkungan, kesehatan, dan pasokan air minum. 31. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015–2019), pemerintah pusat mengidentifikasi 15 Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas untuk direhabilitasi, tiga di antaranya melintasi kawasan Jabodetabek: DAS Cisadane, Ciliwung, dan Citarum. Namun, inisiatif untuk bertindak berdasarkan prioritas ini masih terbatas. Selain program Citarum Harum yang disebutkan sebelumnya, ada juga inisiatif Gerakan Ciliwung Bersih (GCB). GCB dibentuk pada tahun 1989 oleh Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan berbagai instansi pemerintah daerah DKI Jakarta – Gubernur DKI, Dinas Lingkungan Hidup Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 27 Daerah (DLHD), Bappeda, dan PAM Jaya. Ini diikuti dengan membangun kerangka multi- pemangku kepentingan yang melibatkan Universitas Indonesia, kelompok masyarakat setempat, dan pemangku kepentingan swasta. GCB menyelenggarakan acara, seminar, peningkatan kapasitas, dan kegiatan sosialisasi masyarakat, yang bertujuan untuk membangun persatuan dan memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan untuk perlindungan dan konservasi DAS Ciliwung, terutama di sepanjang bantaran Kali Ciliwung. Namun demikian, di seluruh daerah tangkapan hujan dan daerah aliran sungai, belum ada rencana yang memadai dari pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas air baku. 32. Pada 2019, 50 persen akuifer air tanah di DKI Jakarta ditemukan tercemar ringan dan 20 persen tercemar sedang hingga berat. Fecal coliform dan total coliform dalam jumlah yang signifikan ditemukan di akuifer yang tercemar berat akibat buruknya pemeliharaan fasilitas sanitasi dan septic tank (DLH DKI Jakarta 2020). Selain itu, akuifer di Jakarta Utara, Barat dan Timur ditemukan mengandung konsentrasi garam (natrium klorida) yang sangat tinggi, yang berhubungan dengan intrusi air asin (BKAT 2016). 1.2.6. Perubahan Iklim dan Ketahanan 33. Perubahan iklim meningkatkan risiko banjir di Jabodetabek dengan menghasilkan intensitas curah hujan yang lebih tinggi di daerah hulu dan menyebabkan kenaikan permukaan laut. Meski efek penurunan tanah menimbulkan ancaman yang semakin mendesak dan semakin cepat terhadap pesisir Jabodetabek dan sistem pengelolaan banjir, peningkatan paparan banjir akibat perubahan iklim menengarai adanya peningkatan risiko banjir (Fuchs 2010; Firman et al. 2011). Wilayah khatulistiwa Pasifik diperkirakan mengalami kenaikan permukaan laut 30 persen lebih tinggi dari rata-rata global, yakni rata-rata kenaikan permukaan laut (SLR) hingga 1 meter pada tahun 2100 di bawah skenario emisi menengah, dan kemungkinan beberapa meter di bawah skenario emisi business-as- usual. Sementara itu, curah hujan dengan intensitas yang lebih besar di elevasi atas, yang disebabkan oleh pergeseran proses iklim, menimbulkan risiko banjir karena volume air yang lebih besar dan penyaluran yang lebih cepat ke daerah hilir yang sudah jenuh. 34. Akibat ancaman perubahan iklim ini, sangat mendesak bagi Jabodetabek untuk menerapkan langkah-langkah adaptasi untuk membangun ketahanan. NCICD mencakup langkah-langkah adaptasi pengendalian banjir skala besar. Yang paling menonjol di antaranya adalah tanggul laut di Jakarta Utara. Selain itu, ada sejumlah tindakan mitigasi yang sedang berjalan, seperti hutan kota dan sistem waste-to-energy yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya. Langkah-langkah mitigasi ini belum menghasilkan dampak yang signifikan untuk mengurangi jejak karbon DKI Jakarta, terutama karena pertumbuhan perkotaan yang tidak terkendali terus berlanjut di seluruh wilayah. 28 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 1.2.7. Pengelolaan Limbah Padat 35. Pengelolaan limbah padat terkait erat dengan air limbah dan sanitasi. Kondisi di Jabodetabek menghadirkan tantangan tambahan bagi kesehatan masyarakat dan memengaruhi kelayakan huni secara keseluruhan, serta menghadirkan hambatan yang signifikan bagi upaya pengelolaan banjir. Tabel 3 menunjukkan jumlah sampah yang dihasilkan oleh masing-masing kabupaten atau kota, dan jumlah yang berakhir di TPA pada tahun 2019 dan di sungai pada tahun 2015. Meskipun berasal dari tahun yang berbeda, angka-angka tersebut dapat menggambarkan seberapa besar jumlah sampah yang masuk ke sungai-sungai di Jabodetabek. Pada 2020, sampah padat yang dihasilkan dilaporkan lebih tinggi dari tahun sebelumnya karena COVID-19; karena orang-orang bekerja dari rumah, lebih banyak sampah plastik dihasilkan di sebagian besar daerah (Fauzan 2020). Tabel 3: Sampah Yang Dihasilkan, Dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan yang Bermuara di Sungai-sungai di Jabodetabek Sampah padat Sampah padat Jumlah yang Jumlah yang yang dihasilkan yang dihasilkan dikirim ke TPA masuk ke TPA pada 2019 pada 2020 (ton/hari) sungai pada (ton/hari) (ton/hari) 20155 (ton/hari) 5 12 19 Mantalean 2019. Ikhsan dan Assifa 2020. Septalisma 2019. 6 13 20 Nursastri 2019. Saudale 2020. Masqudi dan Jarkasih 2020. 7 14 Faisol 2020. Rajaguguk 2019. 8 15 “Setiap Hari” 2021. Nurdiansyah dan Yolandha 2020. 9 16 Ikbal dan Ismail 2020. Mantalean dan Parnistik 2019. 10 17 Mantalean 2019. Panduwinata 2020. 11 18 Fatubun 2019. Fauzan 2020. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 29 36. Ada banyak sekali tantangan di sepanjang rantai layanan limbah padat. Rantai ini dimulai dengan pengumpulan menggunakan truk dan transportasi ke instalasi transfer. Tergantung jenisnya, sampah kemudian dipindahkan ke berbagai instalasi pengolahan, dan akhirnya berakhir di salah satu dari 11 TPA dengan berbagai ukuran yang tersebar di seluruh Jabodetabek. Di antara tantangan selama proses tersebut adalah tidak memadainya sistem pengumpulan lokal, kekurangan truk sampah, masalah manajemen di stasiun transfer, dan masalah signifikan di tempat pembuangan sampah. Semua TPA telah melebihi kapasitasnya, sehingga terjadi penumpukan sampah yang sangat besar di lokasi- lokasi tersebut. Kondisi tersebut juga mengakibatkan kejadian pembuangan terbuka dan pencemaran badan air yang signifikan, terutama di dalam dan sekitar lokasi TPA. Tingginya limbah padat, terutama sampah plastik di saluran air, juga secara signifikan menghambat efektivitas sistem pengendalian banjir. 37. Manajemen yang buruk di tempat pembuangan sampah diketahui menghasilkan ledakan metana dan “longsoran” berbahaya yang mengungkap kondisi kelebihan beban dan degradasi dari tempat-tempat ini. Kondisi ini khususnya mempengaruhi banyak sekali pemulung yang mencari peluang mata pencaharian di lokasi tersebut. Tempat pembuangan sampah baru direncanakan akan mulai beroperasi dalam waktu dekat – misalnya, TPA Regional Lulut-Nambo di Kabupaten Bogor yang akan mulai beroperasi pada 2022, yang akan melayani beberapa pemerintah daerah serta insinerator waste-to-energy yang akan dibangun di DKI Jakarta. Informasi tambahan tentang pengelolaan limbah padat tersedia pada Lampiran 4. 1.2.8. Kesehatan 38. Risiko kesehatan akibat penyakit yang ditularkan melalui air banyak terjadi di Jabodetabek. Di seluruh wilayah, pada 2019, lebih dari 900.000 kasus diare dilaporkan (tabel 4). Di DKI Jakarta, 10 persen kematian pasca kelahiran (1–11 bulan) dan 10,4 persen kematian balita (1-4 tahun) pada 2019 disebabkan oleh diare, yang merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok usia tersebut setelah pneumonia (Kemenkes 2020). Angka- angka tersebut menjadi alasan kuat bagi upaya yang lebih terpadu untuk meningkatkan kualitas air lingkungan, akses ke infrastruktur sanitasi, dan sosialisasi ke masyarakat tentang praktik kebersihan yang lebih baik. 39. Demam berdarah adalah risiko kesehatan terkait air lainnya yang signifikan di Jabodetabek. Khususnya pada musim hujan, banjir dan retensi air menyebabkan peningkatan populasi nyamuk Aedes, vektor virus dengue (Kemenkes 2020). Pada 2019, di DKI Jakarta, angka kejadian demam berdarah per 100.000 penduduk adalah 82,5, jauh di atas angka kejadian nasional sebesar 51,5 (Kemenkes 2020). Angka kejadian dan Case Fatality Rate (CFR) penyakit demam berdarah pada 2019 di Jabodetabek dapat dilihat pada 30 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek tabel 4. Karena genangan air selama banjir menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes, pengelolaan banjir yang lebih baik berpotensi mengurangi risiko demam berdarah di Jabodetabek. Tabel 4: Diare dan Demam Berdarah Dengue 2019 di Jabodetabek Diare Demam Berdarah Dengue Populasi 2019 Jumlah Tingkat Jumlah Tingkat Tingkat Kasus kasus Kejadian (%) kasus Kejadian (%) Kematian (%) 40. Bagian dari laporan ini telah menunjukkan risiko air yang saling terkait dan beragam yang dihadapi Jabodetabek. Sementara risiko-risiko ini sangat penting bagi masa depan Jabodetabek, studi ini selebihnya berfokus pada manajemen risiko banjir, pasokan air, dan layanan sanitasi. Fokus ini dilatarbelakangi oleh tiga pertimbangan. Pertama, ketiga subsektor air ini adalah subsektor di mana pemerintah daerah dapat dan memang memainkan peran utama dalam desain dan tindakan kebijakan, mengampu inovasi dan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal, sejalan dengan pendekatan IUWM. Di sisi lain, pengembangan sumber daya air lintas-daerah skala besar dan upaya perlindungan pesisir dipimpin oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah tidak memiliki wewenang atau kapasitas untuk berkontribusi secara signifikan terhadap rancangan kebijakan di bidang-bidang ini. Kedua, struktur kelembagaan dan peraturan untuk subsektor yang kami pilih sudah mapan dan memberikan landasan yang kuat untuk mengadopsi IUWM. Di subsektor lain, terutama pengelolaan air tanah dan penurunan muka tanah, dibutuhkan kejelasan yang lebih besar tentang kerangka kelembagaan sebelum IUWM dapat diadopsi dan berguna. Ketiga, target kebijakan yang jelas dan ambisius telah ditetapkan untuk akses ke pasokan air dan sanitasi dan untuk pengelolaan banjir, dan tanggung jawab untuk memenuhi target ini berada di pemerintah daerah. Hal ini menjadi pendorong yang kuat bagi pemerintah daerah untuk mencari, dan terlibat dalam pendekatan baru seperti IUWM. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 31 1.3. Tata Kelola 41. Terlepas dari perubahan-perubahan positif yang dilembagakan oleh UU Sumber Daya Air tahun 2019, lembaga yang mengatur siklus air di Jabodetabek sangat banyak dan terfragmentasi. Salah satu perubahan utama yang tercantum dalam Undang-Undang Sumber Daya Air membahas masalah permintaan yang saling bersaing, khususnya pertanyaan yang pernah menjadi kontroversi tentang pengelolaan air sebagai sumber daya publik (Maskur 2019). Namun demikian, berbagai ketentuan ini tidak sampai mengatur layanan air dan struktur PDAM (Bank Dunia 2021). Undang-Undang Sumber Daya Air secara spesifik memprioritaskan air permukaan di atas air tanah dan memberi ketentuan tambahan untuk zonasi yang lebih baik di sekitar badan air, terutama di danau prioritas. Undang-undang tersebut juga mendorong perbaikan penting dalam pengelolaan data, pengumpulan data, dan transparansi, yang terintegrasi dalam kebijakan Satu Peta21 dan Satu Data nasional. 42. Struktur kelembagaan yang akan melaksanakan ketentuan hukum tersebut tercantum pada gambar 5. Pemetaan kelembagaan menyajikan keseluruhan struktur tata kelola air di Jabodetabek, menjelaskan berbagai skala dan mandat lembaga, serta alur-alur kerja sama mereka. Bagan ini menyoroti fragmentasi horizontal, vertikal, dan administratif, terutama dalam hal peran dan tanggung jawab terkait pengaturan dan pengelolaan sumber daya air. Beberapa kementerian memainkan peran kunci dalam menetapkan norma dan standar; namun, pemerintah daerah memiliki mandat utama untuk merencanakan, menganggarkan, melaksanakan, dan mengoordinasikan berbagai elemen penerapannya di daerah. Dengan menyoroti kelembagaan tata air DKI Jakarta dibandingkan dengan pemerintah daerah tetangga, pemetaan kelembagaan di gambar 5 secara khusus menggambarkan keterputusan antar daerah dari sisi tata kelola air, serta berbagai persoalan koordinasi intra-lembaga dalam pemerintah daerah atas urusan air (dibahas lebih lanjut di bagian 4). 43. Pengelolaan air di Jabodetabek semakin rumit akibat tata ruang yang tumpang tindih Kementerian PUPR menggunakan terminologi “Wilayah Sungai”, yang dibagi menjadi distrik air (lihat gambar 6, masing-masing citra A1 dan A2), untuk merencanakan dan membiayai pembangunan infrastruktur sumber daya air. Kementerian PUPR bekerja melalui balai yang berada di level provinsi dan bermitra dengan pemerintah daerah dalam pengaturan untuk membangun dan mengoordinasikan pemeliharaan. Secara paralel, KLHK memiliki kewenangan untuk mengelola lahan di dalam kawasan hutan, yang biasanya terletak di daerah hulu. Sebagian besar tugas pokok KLHK adalah untuk merencanakan pengelolaan hutan untuk produksi, rehabilitasi, perlindungan, atau konservasi, tetapi juga memiliki kewenangan atas pemantauan kualitas air, yang dijalankan pada tingkat DAS (Daerah Aliran Sungai atau DAS, gambar 6, citra A3, warna hijau). 21 Peraturan tentang Satu Peta dirinci dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016. 32 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 6: Air dan Wewenang Tata Ruang di Jabodetabek KEMENPUPR KLHK KEMENESDM BAPPENAS Perumusan rencana Ditjen Ditjen Pengelolaan Badan Geologi pembangunan nasional Konservasi Air Sumber Daya Air Cipta Karya Lingkungan Hidup Kebijakan & perencanaan air Penentuan Sungai & Pantai Air & Sanitasi Kebijakan mutu lingkungan air, regulasi tanah, izin dan biaya abstraksi Target-target Koordinasi &penegakan pencemaran air, Kebijakan pengelolaan DAS Pengelolaan air Balai Wilayah BPPSPAM Dewan Air dialihkan ke DAS Sungai berdasar UU SDA Pemerintah Pusat Nasional 2019 KEMENKES KEMENDAGRI KEMENATR/BPN Kebijakan ketersediaan air dan Kebijakan & perencanaan sanitasi & air permukaan, bangun & perencanaan, Ditjen Bina Ditjen Tata Ditjen Pelayanan pembangunan Ditjen Bina kelola prasarana air, biaya KEMENBUMN Admin Ditjen Otda Ruang Kesehatan prasarana Keu Daerah & retribusi, drainase & Wilayah kendali banjir Monitor Standar Pelayanan Minimum Baku mutu air Badan Koordinasi Pengawasan Pengawasan Metro (BKSP) Bupati/ Walikota Alokasi izin air tanah Pengawasan Alokasi izin Operasional & Pengawasan Pengawasan Pengawasan Koordinasi DKI Jakarta pembuangan pengelolaan sarpras sumber daya air limbah Jatiluhur Persetujuan tarif Pemkot Tangerang, Tang Selatan, Pemkab Depok, Bogor, Tangerang, Bogor, Pemerintah Daerah Bekasi Bekasi Pekerjaan Umum Lingkungan Hidup Tata Ruang Kesehatan Operasional & pengelolaan sanitasi Operasional, Developer swasta Operasional, pemeliharaan, pemeliharaan, pengelolaan jasa air/sanitasi pengelolaan jasa air Swasta Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 33 44. UU 23/2014 telah memulai beberapa perubahan penting dalam desentralisasi, khususnya dalam hal pengaturan sumber daya alam. Pemerintah daerah diberi wewenang melalui kepemimpinan terpilih untuk menjalankan beberapa fungsi pengelolaan air dalam batas- batas administratif mereka (gambar 6, citra A4). Gambar 6 menunjukkan bagaimana batas-batas ini bersinggungan secara spasial dengan tumpang tindih kewenangan BBWS KemenPUPR, mandat DAS KLHK, dan wilayah administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. Setiap kegiatan kementerian-kementerian ini membutuhkan koordinasi dan keterlibatan yang erat dari organisasi-organisasi perangkat pemerintah daerah, yang menunjukkan tidak hanya pentingnya pengembangan kapasitas tetapi juga fungsi strategis utama untuk mendorong koordinasi antar daerah, khususnya seputar masalah keamanan air hulu-hilir. 45. Pemerintah daerah di Jabodetabek harus memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) dalam penyediaan layanan dasar, termasuk air minum dan sanitasi, sesuai dengan Peraturan Pemerintah 2/2018. Sebagaimana secara tegas diatur dalam UU 23/2014, penyediaan air dan sanitasi berada di bawah kewenangan pemerintah daerah. Undang- undang tersebut membuka peluang untuk mengembangkan kerja sama untuk memenuhi target melalui sekretariat bersama lintas daerah pemerintah daerah. Hingga saat ini, BKSP (Badan Kerja Sama Pembangunan) yang dibentuk sebelum UU 23/2014 disahkan, merupakan satu-satunya badan koordinasi kerja sama antar daerah di Jabodetabek. Oleh karena itu, studi ini juga secara eksplisit membahas berbagai mekanisme untuk memperbarui perjanjian kerja sama di bawah perubahan peraturan dan hukum yang dinamis. 34 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 6: Air dan Wewenang Tata Ruang di Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 35 2. Pendekatan metodologis 2 PENDEKATAN METODOLOGIS 46. Pendekatan studi ini melibatkan kerja sama dengan mitra pemerintah pusat dan daerah untuk mengidentifikasi berbagai tindakan prioritas yang sejalan dengan IUWM yang dapat diterapkan di Jabodetabek untuk menjawab persoalan ketahanan air. Pendekatan dimulai dengan membangun basis bukti untuk pemilihan dan koordinasi tindakan oleh pemangku kepentingan, diikuti dengan identifikasi hambatan terhadap adopsi IUWM di tingkat lokal, regional, dan nasional. Setelah itu, upaya ini secara strategis dimulai untuk memicu minat pemangku kepentingan untuk mengambil langkah kebijakan dan pendekatan yang inovatif untuk menjawab persoalan ketahanan air. Sesuai praktik terbaik IUWM, studi ini mengadopsi pendekatan kolaboratif dengan melibatkan pembuat kebijakan sejak awal dalam proses pengumpulan dan analisis data serta dalam pengembangan rekomendasi. Gambar 7 menyajikan metodologi keseluruhan. Studi ini melibatkan tiga tahap, yang dijelaskan pada bagian-bagian berikut: i) pengumpulan data; ii) analisis dan visualisasi data; dan iii) pengembangan rekomendasi. Gambar 7: Desain Studi: Metode dan Keluaran 2.1. Pengumpulan data kolaboratif: Sumber, validasi, dan pendekatan terhadap data yang hilang 47. Data dikumpulkan sesuai indikator kunci yang berkaitan dengan banjir, pasokan air, dan sanitasi, dengan penekanan kuat pada data geo-lokal; temuan ini dilengkapi dengan informasi tentang tata kelola dan kerangka perencanaan. Data dikumpulkan dari basis data, laporan, dan rencana pemerintah di tingkat nasional dan daerah; artikel yang diterbitkan dalam jurnal akademik; dan kumpulan data dan laporan yang disiapkan oleh mitra pembangunan. Sumber utama data resmi (tercantum dalam Lampiran 1) mencakup Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM), serta berbagai basis data lainnya yang dikelola oleh instansi terkait. Awalnya, tim studi menghubungi masing- Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 37 masing unit terkait di tingkat nasional dan daerah dengan permintaan data yang formal dan terperinci. Ini disusul oleh komunikasi langsung dengan staf instansi dimaksud. Sejak awal pengumpulan data, inti dari kegiatan memang berfokus pada kerja sama dengan pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek. Pendekatan ini memang sengaja memiliki dimensi pengembangan kapasitas dan tim studi berusaha mengidentifikasi cara-cara di mana pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaan data di lembaga-lembaga ini dapat ditingkatkan. Seperti yang diduga, tim studi menghadapi tantangan yang cukup besar dalam 48. menemukan data yang terkini, valid, andal, dan dapat dibandingkan, pada indikator- indikator utama. Tantangan-tantangan ini sebagian terkait dengan struktur pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia, yang menyebabkan variasi dalam pengumpulan data antar aktor tingkat daerah, meskipun sudah ada pedoman nasional untuk memastikan agar pelaporan dapat seragam antar daerah. Selain itu, tidak ada insentif yang kuat dan hanya sedikit preseden di antara pejabat lokal terkait pembagian data dalam format yang sesuai untuk memungkinkan analisis komparatif dan perencanaan terkoordinasi yang sejalan dengan pendekatan IUWM. Selain itu, kemunculan pandemi COVID-19 tepat di tengah- tengah periode pendataan, sehingga menghambat interaksi langsung dengan pejabat setempat dan membuat kunjungan lapangan tidak mungkin dilakukan. 49. Proses pengumpulan data mengungkapkan banyak kesenjangan dan inkonsistensi dalam data antar daerah. Misalnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) diwajibkan untuk mengumpulkan data kejadian banjir setiap tahun. Namun, data tersebut tidak dikelola dengan baik, terbukti dengan sulitnya mengumpulkan data lengkap tentang banjir untuk periode 2013–2020 dari kesembilan wilayah administrasi tersebut. Sebaliknya, program-program donor sangat mudah membagi data mereka, khususnya UNFPA, dan kerja sama erat yang telah berlangsung lama antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil melalui proyek USAID IUWASH-PLUS juga terbukti membantu. 2.2. Analisis dan visualisasi data 50. Agar dapat memicu perubahan, data perlu disampaikan kepada pengambil keputusan dengan cara yang mudah dipahami. Studi ini terutama menggunakan peta untuk menerjemahkan data menjadi pesan. Peta dapat sangat baik menjelaskan sifat antar daerah dari banyak persoalan keamanan air serta potensi langkah terkoordinasi lintas batas administratif untuk mengatasi risiko-risiko tersebut. Peta membantu menjelaskan konteks dan mempermudah menjelaskan masalah dengan cara yang dapat mengkatalisasi dan mempertahankan inisiatif IUWM. Peta juga menyoroti di mana data masih kurang. Premis politik yang lebih luas adalah bahwa pengambilan keputusan terkait kebijakan dan perencanaan akan diarahkan untuk menangani bidang-bidang yang menjadi perhatian bersama. 38 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 51. Data dikumpulkan pada sub-sektor tertentu: i) pengelolaan banjir dan air hujan; ii) pasokan air; dan iii) sanitasi dan air limbah. Untuk banjir, tim mencari data untuk menjawab beberapa pertanyaan sederhana: seberapa sering banjir terjadi, apa penyebab banjir, dan apa dampak langsungnya (yaitu, seberapa banyak rumah tangga yang terkena dampak banjir). Untuk penyediaan air, pendekatannya adalah untuk mengidentifikasi cara- cara yang lebih luas untuk menjamin akses ke air, dilengkapi dengan penjelasan tentang siapa yang mendapatkan akses ke air. Terakhir, pertanyaan tentang air limbah dan sanitasi berkisar pada jenis infrastruktur sanitasi, penyedia layanan dan fasilitas pengolahan yang berbeda, dan pertimbangan tentang kualitas air secara keseluruhan. Tim studi sudah memperkirakan bahwa mengembangkan kumpulan data yang lengkap tidak akan mungkin. Kendatipun demikian, tujuan studi adalah untuk menyajikan metode pengumpulan dan pengelolaan data yang dapat membangun kepemilikan di lembaga lokal dan berfungsi sebagai dasar untuk koordinasi, perencanaan, dan intervensi ke depan. 52. Data divisualisasikan dalam serangkaian peta tematik, yang digunakan untuk melibatkan pemangku kepentingan antar daerah dan lintas sektoral dalam mengidentifikasi bidang- bidang potensial untuk kolaborasi. Isu-isu utama dapat disorot dengan menggunakan data terbaru yang tersedia untuk pemerintah daerah, yang disajikan dalam visualisasi yang jelas kepada mitra pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Ini memberikan landasan untuk mengampu kolaborasi dan memfasilitasi diskusi secara efektif, ringkas, dan akurat di antara pemangku kepentingan yang disasar. 2.3. Lokakarya pemangku kepentingan: Verifikasi dan pelibatan 53. Studi ini dilakukan dengan keterlibatan erat pemerintah pusat (Bappenas, KemenPUPR, Kemendagri) dan pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan delapan pemerintah kabupaten dan kota di sekitarnya. Mengingat pentingnya peran Bappenas dan Kementerian PUPR dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan infrastruktur terkait IUWM, lembaga-lembaga ini merupakan mitra utama di pemerintah pusat. Bappenas, melalui Direktorat Tata Ruang dan Penanganan Bencana, menjabarkan pendekatan regulasi dan strategis untuk perencanaan tata ruang berbasis air di seluruh daerah. Sementara itu, Direktorat Perumahan dan Permukiman menyoroti target ambisius yang diamanatkan secara nasional untuk meningkatkan dan memperbaiki akses ke air dan sanitasi, dan memaparkan kepada pemerintah daerah di Jabodetabek dukungan program nasional yang ditawarkan untuk membantu memenuhi target tersebut. Kementerian Dalam Negeri, melalui Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, memainkan peran penting dalam memberikan arahan kebijakan dan membangun mekanisme koordinasi di tingkat daerah – sebuah komponen penting, karena studi ini bertujuan untuk mendukung koordinasi antar daerah dan keterlibatan lintas sektoral. Kemendagri memberikan masukan tentang kedudukan regulasi secara keseluruhan dari otoritas daerah yang dapat mendukung IUWM di Jabodetabek dan menjelaskan mekanisme untuk membangun Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 39 hubungan yang memaksimalkan manfaat bersama antara pemerintah daerah. Data juga dikumpulkan dari sumber resmi, misalnya, data sensus nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi pemerintah pusat (lihat Lampiran 1). Koordinasi melibatkan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) untuk memfasilitasi lokakarya, dan koordinasi rutin dilakukan dengan lembaga donor lainnya. 54. Tiga rangkaian lokakarya pemangku kepentingan membantu memandu studi secara keseluruhan. Proses lokakarya dimulai dengan identifikasi masalah secara luas, berlanjut ke pertemuan seputar masalah kebijakan tertentu, dan akhirnya diturunkan ke lokakarya klaster di antara sub-wilayah. Lokakarya awal (pada 2019) membantu membentuk kerangka umum IUWM, memperkenalkan pendekatan studi, dan melibatkan pemerintah pusat dan daerah dalam isu-isu yang lebih luas terkait koordinasi dengan daerah dan lintas daerah. Beberapa bulan kemudian, pada November 2019, lokakarya kedua diadakan seputar masalah pengumpulan data sambil memperdalam pertanyaan tentang peluang dalam sistem otoritas daerah, mengeksplorasi kemungkinan opsi dukungan kebijakan nasional, dan mengambil inisiatif sektoral. Karena kekhawatiran pandemi COVID-19, lokakarya ketiga yang sudah direncanakan dipindahkan ke format daring. Pada Agustus dan September 2020 telah dilaksanakan empat kali diskusi kelompok klaster.22 Dalam lokakarya akhir ini, keseluruhan temuan dari fase pengumpulan data dan visualisasi dipresentasikan oleh tim studi, diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memfasilitasi bidang-bidang kerja sama IUWM. Kemendagri dan Bappenas secara aktif berpartisipasi memberikan umpan balik tentang kemungkinan peraturan yang dapat membantu mengatasi hambatan potensial untuk kolaborasi, sementara pemerintah daerah mencatat peluang untuk IUWM di Jabodetabek ke depan. Draf laporan juga didistribusikan ke semua mitra, dan semua masukan dipertimbangkan dalam laporan, termasuk masukan yang dikumpulkan melalui proses konsultasi tambahan secara langsung. 55. Pengembangan rekomendasi. Melalui serangkaian lokakarya terkait tata kelola, para pemangku kepentingan dari pemerintah pusat dan daerah yang relevan dipertemukan untuk membahas isu-isu sektoral yang sama. Karena data dan peta menjadi lebih spesifik untuk isu-isu utama, para pemangku kepentingan utama dikumpulkan dalam kelompok- kelompok klaster melalui identifikasi area-area potensial untuk mengembangkan kolaborasi jangka panjang dengan membentuk kelompok-kelompok kerja potensial untuk menangani masalah-masalah tersebut. Pendekatan ini memberikan jalan bagi tim studi dan pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi langkah-langkah awal untuk mendorong 22 Klaster pertama meliputi Wilayah Bogor Raya dan meliputi Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok; klaster kedua terdiri dari Wilayah Bekasi Raya, terdiri dari Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi; klaster ketiga mewakili DKI Jakarta; dan klaster terakhir mewakili Wilayah Tangerang Raya, termasuk Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang. 40 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek IUWM dan mengidentifikasi elemen-elemen kerangka nasional untuk mendukung IUWM. Rekomendasi untuk kerangka nasional disajikan dalam laporan terlampir. Kedua laporan tersebut ditulis secara paralel sehingga keseluruhan temuan pada dimensi regulasi, kebijakan, dan tata kelola memberi masukan bagi studi Jabodetabek, dan sebaliknya. 56. Konsultasi. Rekomendasi dalam laporan ini dikembangkan secara iteratif dengan pembuat kebijakan nasional dan daerah selama studi berlangsung. Studi kasus tentang berbagai inisiatif yang diambil oleh pemerintah daerah di Jabodetabek membantu menentukan upaya untuk mengembangkan kerangka IUWM nasional. Konsultasi diharapkan berlanjut di antara kelompok kerja yang menangani isu-isu tematik yang diidentifikasi dalam penelitian ini. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 41 3. Memvisualisasikan ketahanan air di Jabodetabek 3 MEMVISUALISASIKAN KETAHANAN AIR DI JABODETABEK 3.1. Banjir 57. Data dikumpulkan untuk menjawab tiga pertanyaan menyeluruh: Di mana banjir terjadi dan seberapa sering? Apa penyebab banjir? Berapa rumah tangga yang terkena banjir? Data dikumpulkan dari BPBD, tetapi data yang dapat dikumpulkan kurang dari setengah target capaian untuk periode 2013–2020 (lihat Lampiran 2). Data tersebut tidak selalu tersedia di tingkat desa/kelurahan dan beberapa kumpulan data hanya memuat deskripsi suatu kejadian tanpa penjelasan lebih lanjut tentang penyebab banjir atau jumlah rumah tangga yang terkena dampak. Meskipun representasi spasial dari data yang ada mengungkapkan temuan unik, studi ini juga berupaya melakukan pengembangkan model estimasi untuk mencoba menyajikan visualisasi dinamika banjir yang lebih akurat untuk periode 2013–2020. 3.1.1. Frekuensi banjir di Jabodetabek 58. Gambar 8 menunjukkan frekuensi banjir di Jabodetabek dari 2013 hingga 2020 menggunakan data mentah yang dikumpulkan dari BPBD. Gambar ini menunjukkan peristiwa banjir selama periode delapan tahun, dikumpulkan dari data pemantauan yang dicatat oleh BPBD. Metode ini menghasilkan perkiraan total 1.741 kejadian banjir tingkat desa/kelurahan untuk Jabodetabek (tabel 5). Kejadian banjir tertinggi terjadi di Kabupaten Tangerang – total 460 kejadian banjir selama delapan tahun – tetapi angka yang tinggi itu juga mencerminkan catatan pemerintah daerah yang paling lengkap. Namun demikian, pengecekan silang data BPBD Kabupaten Tangerang dengan berbagai sumber media tentang banjir menunjukkan bahwa angka resmi kemungkinan besar kurang mewakili kejadian banjir yang sebenarnya selama periode tersebut. Ini menyoroti perlunya pendekatan pengumpulan data yang lebih kuat. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 43 Gambar 8: Kejadian Banjir di Jabodetabek, 2013–2020 Peta Area Kejadian Banjir, 2013-2020: Jumlah kejadian banjir JABODETABEK Keterangan 0 4.5 ´9 18 Jumlah persitiwa banjir 2013-2020 Kilometer Data tidak tersedia <= 5 6-10 11-15 16-25 25-40 TANJUNG Bekasi BURUNG KOSAMBI TIMUR Kota Jakarta Barat Kota Kota Jakarta Tangerang Utara SUKAMEKAR GELAM JAYA Kota Kota Jakarta Jakarta BITUNG JAYA Pusat Timur KARANGSETIA Tangerang PONDOK AREN LENGKONG WETAN Kota Kota Bekasi Tangerang Kota Jakarta Selatan Selatan Kota Depok PABUARAN Bogor Kota Bogor Date: 4/16/2022 Time: 9:48:27 AM Document Path: D:\Dropbox\WB_GeoIDN\Layout\wb_mxd\FinalReport_layout\Gambar8_PeristiwaBanjir2013-2020_noheader.mxd 44 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Tabel 5: Jumlah Kejadian Banjir per Tahun di Jabodetabek 3.1.2. Penyebab banjir 59. Gambar 9 melengkapi data frekuensi banjir dengan memetakan penyebab genangan di Jabodetabek yang tercatat oleh BPBD. Peta tersebut mengkategorikan penyebab banjir di setiap desa/kelurahan yang melaporkan kejadian banjir. Kejadian banjir dikelompokkan dalam beberapa kategori penyebab luapan sungai/danau/badan air, hujan lokal lebat, drainase tersumbat, sedimentasi, banjir bandang, banjir rob, dan kombinasi beberapa penyebab. Kejadian banjir paling sering terjadi karena kejadian hujan deras di daerah dengan drainase lokal yang tidak memadai, penyebab yang menyumbang 227 laporan desa/kelurahan. Meskipun beberapa penyebab banjir dapat diatasi secara lokal (misalnya, drainase atau infrastruktur yang rusak atau tersumbat), beberapa memerlukan lebih banyak kolaborasi hulu-hilir. Selama konsultasi dengan pemerintah daerah, visualisasi seperti gambar 9 membantu memfasilitasi diskusi tentang kemungkinan intervensi terhadap masalah banjir tertentu, di mana berbagai lembaga dan entitas antar daerah dapat bekerja sama untuk mengatasinya bersama. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 45 Gambar 9: Penyebab Banjir di Jabodetabek per Desa/Kelurahan, 2013–2020 Peta Area Peristiwa banjir 2013-2020: jumlah banjir JABODETABEK Keterangan ´ Sungai/danau utama Penyebab Banjir Data tidak tersedia 0 4.5 9 18 Jumlah desa/kelurahan yang terdampak oleh banjir berdasarkan laporan penyebabnya dari 2013-2020 Peyumbatan/penyempitan drainase Kilometer Pendangkalan/sedimentasi sungai Jumlah Desa/Kelurahan Penyebab Banjir yang terdampak Banjir bandang Luapan sungai/danau 182 Hujan deras/terus-menerus Hujan deras/terus-menerus 227 Penyumbatan/penyempitan drainase 1 Luapan sungai/danau Pendangkalan sungai/sedimentasi 4 Kombinasi penyebab (dua atau lebih) Banjir bandang 1 Banjir pasang/ROB 15 Banjir pasang/ROB Kombinasi penyebab (dua atau lebih) 128 Kebanyakan kejadian banjir pasang/ROB merupakan * Jumlah penyebab tunggal lebih rendah, karena sebagian besar dihitung dalam kombinasi penyebab (dua atau lebih) kombinasi dengan penyebab lain yang tercantum di atas. Bekasi Kota Jakarta Kota Kota Barat Jakarta Tangerang Utara Kota Kota Jakarta Jakarta Timur Pusat Tangerang Kota Kota Tangerang Bekasi Selatan Kota Jakarta Selatan Kota Depok Bogor Kota Bogor Date: 4/14/2022 Time: 4:53:44 PM Document Path: D:\Dropbox\WB_GeoIDN\Layout\wb_mxd\FinalReport_layout\Gambar9_Penyebab Banjir.mxd 46 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 60. Banjir bukan hanya fenomena di wilayah hilir, karena seluruh wilayah yang ada di dalam DAS juga dipengaruhi oleh genangan tersebut. Peta relief yang disajikan dalam gambar 10 menunjukkan cakupan geografis desa/kelurahan yang terdampak banjir. Meskipun kumpulan data dari seluruh BPBD Jabodetabek belum lengkap, data yang tersedia menunjukkan bahwa lebih dari separuh total desa/kelurahan (768 dari 1.504) yang ada di Jabodetabek pernah mengalami banjir dalam delapan tahun terakhir. Peta tersebut membedakan kejadian banjir menurut distrik air (ditunjukkan dengan warna) sebagai cara untuk menggambarkan keterkaitan dimensi topografi dalam batas cekungan. Diskusi dalam lokakarya mencatat bahwa melihat keterhubungan air dengan cara ini dapat membantu untuk memulai diskusi antara daerah hulu dan hilir dan mendorong keterlibatan lembaga pemerintah pusat yang diberi mandat untuk mengelola daerah aliran sungai (KLHK) dan daerah aliran sungai (KemenPUPR). Gambar 10: Distribusi Banjir Menurut Distrik Air Peristiwa di Desa/Kelurahan, 2013–2020 3.1.3. Dampak banjir pada rumah tangga 61. Gambar 11 dan tabel 6 menyoroti skala dampak banjir pada rumah tangga di Jabodetabek. Data tidak merinci apakah beberapa rumah tangga mengalami dampak berulang dari tahun ke tahun. Definisi dan interpretasi dampak banjir di antara BPBD juga masih sangat luas. Berdasarkan data dan definisi BPBD, tabel 6 menunjukkan jumlah rumah tangga yang terkena dampak banjir dari tahun 2013 hingga 2020. Terdapat variasi yang besar dalam jumlah rumah tangga yang terkena dampak setiap tahun, dari 5.627 rumah tangga (lebih dari 28.000 jiwa) pada 2018 menjadi 75.565 rumah tangga (377.000 jiwa ) pada 2020; gambar terakhir belum memasukkan dampak banjir di DKI Jakarta pada 2020 yang belum dipublikasikan pada saat penulisan. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 47 Gambar 11: Dampak Banjir per Rumah Tangga, Jabodetabek, 2013–2020 Peta Area Peristiwa banjir 2013-2020: rumah tangga terdampak JABODETABEK 0 4.5 ´ 9 18 Kilometer Bekasi TANJUNG BURUNG KOSAMBI TIMUR Kota KEDAUNG BARAT Jakarta Kota Kota Jakarta Barat Tangerang Utara SUKAMEKAR GELAM JAYA Kota Kota Jakarta Jakarta Timur Pusat KARANGSETIA BITUNG JAYA Tangerang PONDOK PONDOK AREN BETUNG LENGKONG WETAN Kota Kota Tangerang Bekasi Selatan Kota Jakarta Selatan Kota Depok PABUARAN Bogor Kota Bogor Deskripsi Jumlah Peristiwa Rumah tangga Banjir (2013-2020) terdampak Data tidak tersedia Data tidak tersedia <= 5 < 50 6 - 10 51 - 500 11 - 15 501 - 1,000 16 - 25 1,001 - 10,000 25 - 40 10,001 - 20,000 Date: 4/16/2022 Time: 9:54:34 AM Document Path: D:\Dropbox\WB_GeoIDN\Layout\wb_mxd\FinalReport_layout\Gambar11_Dampak banjir berdasarkan rumahtangga_noheader.mxd 48 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Tabel 6: Jumlah Rumah Tangga Terkena Banjir di Jabodetabek, 2013–2020 *Untuk sel berwarna abu-abu, tidak ada data yang tersedia. 62. Banjir memiliki dampak yang signifikan terhadap rumah tangga dalam hal kehidupan, mata pencaharian, dan harta benda. Sebagian besar dampak langsung berkaitan dengan kesehatan. Banjir secara rutin menjadi penyebab wabah diare, penyakit kulit, infeksi mata, gastritis, pneumonia, dan penyakit pernapasan akut, serta berkorelasi dengan lonjakan demam berdarah dan leptospirosis (Bappenas 2016, 81). Anak-anak dan bayi sangat berisiko selama kondisi banjir. Kejadian yang berulang-ulang ini menyebabkan lembaga pemerintah harus mempersiapkan diri untuk pengelolaan dan tanggap bencana juga menimbulkan beban yang signifikan, membutuhkan koordinasi dan alokasi sumber daya, termasuk untuk evakuasi, tempat berlindung, bantuan darurat, kesehatan, dan layanan darurat. Hilangnya harta benda dan kerusakan fasilitas umum juga menambah beban investasi pada rumah tangga dan lembaga publik, dan dampak lainnya dapat diukur dari segi gangguan pada sistem transportasi dan ekonomi secara lebih luas (Bank Dunia 2018; Bank Dunia 2019a). Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 49 63. Salah satu tren mencolok dalam data banjir menunjukkan tingkat keparahan banjir pada 2020 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Data tahun 2020 hanya memperhitungkan kejadian banjir hingga bulan Maret, namun dampaknya sudah dirasakan 75.565 rumah tangga. Menurut BNPB, diperkirakan 397.000 orang di Jabodetabek harus mencari perlindungan sementara di sekolah dan gedung pemerintah, dengan genangan hingga 6 meter di daerah tertentu (Karmini 2020). Ini dua kali lipat dari rata-rata dampak banjir tahun-tahun sebelumnya di tingkat rumah tangga. Tingkat keparahan dampak ini dapat terkait dengan pola variabilitas iklim dan anomali terkait El Niño/La Niña Southern Oscillation (ENSO), atau bisa juga mencerminkan pengumpulan data yang lebih andal dan kuat dari pihak BPBD. Namun demikian, kembalinya hujan pada paruh kedua tahun 2020 kemungkinan akan menghasilkan angka yang lebih tinggi. 64. Dampak ekonomi dari banjir di Jabodetabek menunjukkan hambatan yang signifikan terhadap pembangunan. Bencana banjir tahun 2007 menimbulkan kerugian finansial sebesar US$900 juta, ditambah sekitar US$140 juta dalam klaim asuransi terkait banjir (Bank Dunia 2019b). Bappenas telah memperkirakan kerugian sebesar US$370 juta akibat banjir pada tahun 2020 (IDN Financials 2020). Setiap intervensi untuk meningkatkan pengelolaan banjir akan secara signifikan berkontribusi untuk mengurangi dampak ekonomi dan melindungi nyawa dan harta benda. Misalnya, Jakarta Urgent Flood Mitigation Project yang didanai Bank Dunia, yang selesai pada 2019, membukukan tingkat pengembalian investasi internal ekonomi (Economic Internal Rate of Return, EIRR) sebesar 413 persen, dengan nilai bersih sekarang sebesar US$2,79 miliar (Bank Dunia 2019b). 3.2. Persediaan air 65. Data dikumpulkan pada dua aspek penyediaan air: i) sumber air baku, infrastruktur penyaluran, dan pengolahan, serta ii) akses ke layanan. Dalam hal pasokan curah, data dikumpulkan pada sumber air baku dan titik pengambilan, dan tim mengidentifikasi lokasi, kapasitas, dan pemanfaatan fasilitas pengolahan air. Gambar 12 menunjukkan instalasi pengolahan air (IPA) utama, intake mata air, dan lubang bor di seluruh Jabodetabek. Sumber air baku untuk IPA adalah air sungai permukaan. Informasi rinci tentang titik dan volume pengambilan air baku tidak tersedia, dan tidak ada data yang tersedia mengenai titik dan volume pengambilan air tanah untuk pengembangan properti pribadi atau untuk lokasi komersial dan industri. Ini adalah celah kritis karena banyak dari fasilitas ini mengambil air langsung dari akuifer air tanah dalam. Pengambilan yang berlebihan ini terkait langsung dengan tingkat penurunan tanah yang tinggi. Di DKI Jakarta, pengguna komersial dan industri harus mendapatkan izin pengambilan air tanah dan memasang meteran untuk memungkinkan pemantauan dan pengisian. Secara teori, tidak ada izin baru untuk pengambilan air tanah di zona rentan. Terlepas dari itu, beberapa lokasi komersial dan industri kemungkinan masih bisa mengambil air tanah tanpa izin atau melebihi volume pengambilan yang diizinkan. 50 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 12: Infrastruktur Air Minum di Jabodetabek Peta Area Infrastruktur Air Minum JABODETABEK Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 51 66. Di tingkat kabupaten dan kota, pasokan air baku tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air perpipaan. Sebagaimana dibahas pada bagian 1, diperkirakan terdapat defisit pasokan air sebesar 18,5 meter kubik per detik untuk memenuhi kebutuhan air perpipaan untuk penduduk di wilayah layanan PDAM; dan untuk seluruh penduduk administratif Jabodetabek, defisit pasokan air perpipaan adalah 51,9 meter kubik per detik. Rincian lebih lanjut tentang proyeksi kebutuhan air dapat dilihat pada Lampiran 3. Defisit pasokan air yang besar ini memaksa rumah tangga bergantung pada sumber air lain, termasuk air tanah. Selain itu, perusahaan air minum bersaing untuk mendapatkan sumber daya air ini dan alokasi antar pemasok jarang disesuaikan, sehingga beberapa perusahaan air minum perpipaan di wilayah tersebut kekurangan pasokan air baku. Misalnya, alokasi air untuk PAM Jaya (PDAM DKI Jakarta) tidak meningkat dalam 10 tahun terakhir. Selain itu, infrastruktur penyaluran air tidak memadai – berupa kanal terbuka, bukan pipa tertutup – dan tidak terpelihara dengan baik, menyebabkan kontaminasi parah dari polutan domestik dan industri, kehilangan air, dan gangguan pasokan yang berulang. 67. Cakupan layanan air perpipaan masih rendah. Terdapat sembilan sistem jaringan perpipaan terpisah yang dioperasikan oleh BUMD air minum di Jabodetabek, yang bersama-sama melayani 1,7 juta sambungan rumah tangga, atau tingkat cakupan sekitar 43 persen (lihat tabel 7). Namun perlu diperhatikan bahwa angka ini mencakup sambungan dengan tekanan rendah, pasokan terputus-putus, bahkan di beberapa daerah bahkan tidak ada pasokan sama sekali, serta rumah tangga yang memiliki sambungan perpipaan tetapi menggunakan sumber air lain untuk sebagian atau seluruh kebutuhan sehari-harinya. Di sisi lain, angka ini belum termasuk rumah tangga di lokasi pengembang swasta yang dilayani oleh jaringan yang dikembangkan dan dikelola swasta. Jaringan swasta ini tidak diregulasi, dan tidak ada data resmi yang dikumpulkan mengenai cakupan atau kualitas layanannya. Permintaan pasokan air untuk entitas industri dan komersial juga menjadi tantangan, karena permintaan yang tidak terpenuhi berhubungan dengan penyebab penurunan tanah. Untuk mengurangi ketergantungan operasi industri dan komersial skala besar pada air tanah, salah satu pilihan adalah memastikan pasokan air perpipaan yang memadai, konsisten, dan terjangkau dari PDAM; alternatif lainnya yang sejalan dengan IUWM adalah mewajibkan operasi-operasi semacam itu untuk mengelola daur ulang atau penggunaan kembali air mereka sendiri. 68. Permintaan diperkirakan akan meningkat, dan beberapa PDAM memiliki rencana untuk memperluas jaringan. Dari berbagai dokumen perencanaan BUMD air minum diketahui bahwa mereka bermaksud untuk memperluas intake air permukaan dan kapasitas pengolahan untuk memenuhi permintaan. Namun, dalam penyelenggaraan urusan air dan dalam rencana bisnisnya tidak ada intervensi berupa penambahan modal untuk meningkatkan efisiensi operasi, melakukan manajemen permintaan dan konservasi air, atau mengembangkan sumber pasokan alternatif. Dalam diskusi lokakarya, pemerintah daerah menunjukkan bahwa mereka memiliki kekhawatiran tentang ketersediaan air 52 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek curah di masa depan dan diperkirakan akan menghadapi kendala dalam memperluas cakupan layanan air. Tabel 7: Tingkat Cakupan Layanan PDAM di Jabodetabek Sumber: BPPSPAM 2019. 69. Beberapa pemerintah daerah di Jabodetabek melakukan kerja sama lintas batas dalam infrastruktur air untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Misalnya, IPA Serpong memasok air ke Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, dan IPA Legong dan IPA Citayam, yang terletak antara Kota Depok dan Kabupaten Bogor, memasok air ke kedua daerah tersebut. Namun demikian, ada beberapa kawasan yang cenderung luput dari perhatian atau kurang terlayani karena letaknya yang berdekatan dengan batas administrasi atau di permukiman dalam kawasan milik pengembang swasta. Di bidang lain, kurangnya kerja sama dan kolaborasi lintas batas mengakibatkan tumpang tindih layanan dan investasi yang tidak efisien. Isu-isu ini membutuhkan perhatian yang lebih besar dan kerja sama yang lebih baik antara PDAM dan pemerintah daerah, dan juga dengan sektor swasta. Kerja sama tersebut akan memungkinkan optimalisasi infrastruktur dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan air perpipaan. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 53 70. Tingkat pemanfaatan kapasitas menunjukkan adanya potensi yang signifikan untuk meningkatkan pasokan. Tabel 8 menunjukkan tiga dari delapan PDAM di Jabodetabek memiliki tingkat pemanfaatan kapasitas di bawah 80 persen. Mengoptimalkan kapasitas terpasang infrastruktur pasokan air yang ada dapat menciptakan peluang untuk memperluas cakupan layanan dan memulihkan biaya. Selain itu, mengurangi kapasitas tak terpakai akan lebih cepat dan lebih terjangkau daripada membangun infrastruktur baru atau titik pengambilan air (intake). Peningkatan efisiensi operasi sangat penting mengingat terbatasnya sumber dan ketergantungan Jabodetabek yang tinggi pada sumber air yang diambil dari luar wilayah. 71. Tingkat air tak berekening (non-revenue water, NRW) masih tinggi. Tingkat NRW PDAM di Jabodetabek yang dilaporkan pada 2018 ditunjukkan pada tabel 8. Di enam dari delapan PDAM di wilayah tersebut, tingkat NRW jauh di atas standar nasional sebesar 20 persen. Seperti yang terjadi pada banyak PDAM di Indonesia, kemungkinan besar tingkat NRW sebenarnya jauh lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan, karena meteran air di dalam jaringan distribusi dan di lokasi pelanggan yang tidak terpelihara dengan baik menyebabkan pengukuran yang tidak akurat. Ini menengarai adanya peluang yang cukup besar untuk meningkatkan efisiensi, meskipun penting untuk menyadari bahwa pengurangan NRW membutuhkan investasi yang signifikan dan dukungan yang kuat dari pembuat kebijakan. Tabel 8: Kapasitas, Pemanfaatan, dan Air Non-Pendapatan PDAM di Jabodetabek 72. Pengurangan NRW dan manajemen permintaan berpotensi mengurangi defisit pasokan air. Tabel 9 menunjukkan proyeksi neraca pasokan air pada 2030 untuk setiap daerah di bawah dua skenario: skenario business-as-usual dan skenario gabungan pengurangan NRW dan pengurangan permintaan. Meski ada rencana penambahan kapasitas pengambilan 54 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek air – yakni dari sistem pasokan air Karian, Jatiluhur, dan Juanda – belum ada kejelasan mengenai waktu kesiapan operasi instalasi tersebut. Maka untuk dapat melakukan perkiraan proyeksi, kapasitas pengambilan air terpasang diasumsikan konstan hingga tahun 2030. Dengan memperhitungkan peningkatan populasi, pengurangan NRW sebesar 2 persen per tahun hingga mencapai tingkat 5 persen atau lebih rendah, dan pengurangan permintaan hingga 100 liter per kapita per hari (lpcd)23 dapat memangkas defisit pasokan air hampir setengah pada 2030. Tabel 9: Proyeksi Neraca Pasokan-Permintaan Air untuk 2030 di Jabodetabek Keterangan: Angka dalam kurung mengindikasikan defisit pasokan air. 23 100 lpcd adalah standar layanan minimum untuk PDAM. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 55 Bahkan dengan pengurangan NRW dan manajemen permintaan, Jabodetabek 73. membutuhkan tambahan sumber air, terutama untuk mencapai target cakupan layanan air perpipaan 100 persen. Sistem penyediaan air minum Karian, Jatiluhur 1, dan Juanda akan menambah kapasitas produksi (4.600 liter per detik dari Bendungan Karian, 4.750 liter per detik dari Jatiluhur 1, dan 8.500 liter per detik dari Bendungan Juanda). Namun, penambahan ini pun kemungkinan belum cukup untuk memenuhi permintaan di masa mendatang. Selain itu, kapan instalasi baru ini mulai beroperasi masih belum jelas. Sumber air alternatif, seperti penggunaan kembali air limbah, harus dieksplorasi dan diterapkan untuk mengatasi defisit pasokan air. Pengembang perumahan dan bangunan swasta serta industri harus dilibatkan dan didorong menerapkan pemanfaatan ulang air (water reuse) untuk keperluan selain air minum. 74. Defisit pasokan air juga menekankan pentingnya melindungi dan merehabilitasi daerah tangkapan air dan sumber daya air untuk mempertahankan dan memulihkan kapasitas penyimpanan air alami dan kualitas air. Upaya rehabilitasi sungai dan daerah tangkapan air, seperti inisiatif Citarum Harum dan Gerakan Ciliwung Bersih, perlu ditingkatkan. Kelangkaan pasokan air juga mendukung elemen kunci dari proyek NCICD yang dipimpin pemerintah pusat. Berbagai upaya tersebut dapat membantu meningkatkan pasokan air baku untuk membantu memenuhi permintaan yang meningkat. 75. Meningkatkan pasokan air baku juga membuka jalan bagi perluasan jaringan air perpipaan yang saat ini masih terbatas. Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa tingkat cakupan dalam wilayah layanan PDAM berada di bawah 50 persen untuk enam dari delapan PDAM di wilayah tersebut. Penting untuk dicatat bahwa tingkat cakupan ini akan lebih rendah lagi jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk di wilayah administrasi daripada wilayah layanan. PDAM dapat melaporkan salah satu dari dua indikator cakupan: tingkat pelayanan teknis atau pelayanan administratif. Cakupan pelayanan teknis didasarkan pada jumlah penduduk di wilayah yang dilayani oleh jaringan distribusi PDAM. Cakupan pelayanan administratif didasarkan pada jumlah penduduk dalam batas administratif, termasuk daerah yang tidak dilayani oleh PDAM. Banyak daerah padat penduduk yang tidak terlayani jaringan perpipaan, sementara itu ada pula daerah terlayani oleh dua jaringan PDAM. Yang terakhir ini menyiratkan bahwa daerah padat penduduk lainnya yang dekat dengan jaringan yang ada tidak terlayani, dan ini menunjukkan investasi yang tidak efisien. Kondisi ini juga menyoroti peluang untuk meningkatkan cakupan melalui koordinasi yang lebih baik antara PDAM. 76. Beberapa PDAM tidak memiliki geodata untuk jaringan distribusi airnya.24 Yang memiliki geodata tersebut ditunjukkan pada gambar 13. Jaringan pipa untuk Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang tidak tersedia, dan perbedaan antara pipa primer, sekunder, dan 24 Geodata dikumpulkan terkait PDAM dan jejaring perpipaan skala kecil, cakupan, dan data sensus digunakan untuk menggambarkan sumber air yang digunakan oleh rumah tangga untuk minum dan mandi. 56 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek tersier untuk daerah lain tidak terlihat pada peta. Tersedianya basis data yang terkoordinasi dengan informasi ini, dan diawasi oleh otoritas kelembagaan di tingkat yang lebih tinggi, dapat membantu memfasilitasi peluang IUWM (lihat rekomendasi di bagian 5). Gambar 13: Jaringan Air Perpipaan PDAM dan Rumah Tangga yang Menggunakan Air Perpipaan Bermeteran sebagai Sumber Air Minum Utama, per Kecamatan Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 57 77. Rumah tangga yang sudah terhubung dengan jaringan perpipaan kemungkinan masih juga mengandalkan sumber pasokan air alternatif karena buruknya kualitas layanan serta faktor biaya. Fenomena ini dapat menjelaskan rendahnya pemanfaatan air perpipaan bahkan di wilayah yang sudah dilayani oleh jaringan perpipaan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 13 di atas. Pasokan air perpipaan di wilayah tersebut adalah non-air minum (non-potable), sehingga rumah tangga harus membeli alat pengolah air minum tambahan, atau menggunakan air kemasan atau air sumur dalam untuk minum. Tabel 10 dan gambar 14 menunjukkan bahwa ketergantungan pada air minum dalam kemasan sangat tinggi dan, berdasarkan data sensus nasional 2010, fenomena ini terjadi di lebih dari 50 persen dari empat daerah di Jabodetabek. Proporsi rumah tangga yang lebih besar menggunakan air perpipaan untuk mandi, tetapi mayoritas masih mengandalkan air tanah yang dipompa (RISKESDAS 2013). Ini termasuk rumah tangga yang tidak memiliki sambungan rumah maupun yang sudah memiliki sambungan rumah tetapi lebih memilih menggunakan air pompa karena kualitas layanan perpipaan yang buruk (tekanan rendah, pasokan terputus- putus), atau karena biaya penggunaan air perpipaan lebih tinggi. Ini menyiratkan bahwa kualitas layanan serta akses perlu ditingkatkan untuk mendorong rumah tangga agar mengurangi penggunaan air tanah. Di daerah hulu, yaitu Kabupaten Bogor, 68 persen rumah tangga mengandalkan air dari sumur dan mata air. Untuk itu, perlu didorong upaya peningkatan dan perbaikan akuifer melalui pembangunan sumur-sumur resapan. Tabel 10: Sumber Pasokan Air Rumah Tangga di Jabodetabek Sumber: Sumber air minum utama dari Sensus Indonesia 2010 (BPS 2010). Sumber air mandi utama dari Julianti et al. 2013; MOH 2013a; MOH 2013b. 58 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 14: Sumber Air Minum dan Cuci Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 59 78. Perusahaan swasta berperan penting dalam penyediaan air minum di Jabodetabek. Untuk DKI Jakarta, pemegang konsesi swasta menyediakan layanan air di bawah kontrak 25 tahun. Kontrak-kontrak ini akan berakhir pada 2023 dan dalam peraturan pemerintah saat ini peran sektor swasta di masa depan belum jelas. Di Kota Tangerang, operator swasta menyediakan instalasi pengolahan air dan pengembangan jaringan melalui model BOT+. Di bagian lain wilayah metropolitan, pengembang real estat swasta membangun dan mengoperasikan jaringan di dalam zona pengembangan mereka. Beberapa di antaranya membeli air curah dari PDAM, yang lain memperoleh izin untuk membangun IPA mereka sendiri dari sumber air permukaan (sungai) dan/atau air tanah. Misalnya, Lippo Karawaci dan Bogor Nirvana membeli air langsung dari PDAM; Jaya Property (Bintaro Jaya dan Graha Raya) bergantung pada sumber air tanah; dan pengembang yang membangun IPA yang menggunakan sungai sebagai sumbernya antara lain Pantai Indah Kapuk dan Summarecon (Gading Serpong dan Bekasi). Gambar 15 menggambarkan keterlibatan pihak swasta dan wilayah cakupan pelayanan mereka. 79. Bagi rumah tangga miskin, akses yang buruk terhadap layanan dan cakupan air perpipaan yang memadai memiliki dampak ekonomi signifikan. Sudah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa rumah tangga miskin tanpa sambungan air perpipaan menghabiskan lebih banyak air daripada rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas yang memiliki sambungan (Bank Dunia 2006). Hal ini terutama terjadi di kawasan permukiman informal di Jakarta Utara, dan di lokasi lain yang tersebar di seluruh DKI, di mana rumah tangga membeli air dari pedagang kaki lima dan truk. Secara nominal, harga sumber air ini jauh lebih mahal daripada tarif PDAM yang dibayarkan warga yang lebih mampu (sekitar Rp 5.000 per meter kubik). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa warga miskin yang mengakses air dari pedagang kaki lima rata-rata membayar Rp 5.000–7.500 per wadah 25 liter, atau Rp 200.000–300.000 per meter kubik; dari truk air, pelanggan dapat membayar hingga Rp 75.000 untuk satu tangki dengan kapasitas 3 meter kubik. Ini berarti harga sumber air ini sekitar empat hingga enam kali lipat dari tarif PDAM. 80. Walaupun investasi yang berasal dari pemerintah pusat mungkin masih diperlukan untuk proyek-proyek penyediaan sumber daya air skala besar di masa depan, terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam kerangka tata kelola yang ada. Tindakan-tindakan tersebut mencakup membangun jaringan distribusi, mengkoordinasikan program investasi untuk melayani masyarakat secara efisien di sepanjang batas administratif kota/kabupaten, meningkatkan efisiensi operasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas pengolahan yang ada, dan mengelola permintaan/ konsumsi air. 60 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar 15: Area Layanan Penyedia Air Minum Swasta di Jabodetabek Peta Area Wilayah Layanan Penyedia Jasa Air Minum Swasta JABODETABEK 0 5 ´10 20 Legenda Batas Provinsi Batas Kabupaten Penyedia layanan air swasta PT. Aetra Kilometers Sungai/danau utama sumber air baku PT. Aetra Air Danau/DAM/situ PT. Palyja Kawasan Jabodetabek Lainnya Bekasi Kota DKI Jakarta Tangerang Tangerang Kota Tangerang Kota Selatan Bekasi Kota Depok Bogor Kota Bogor Date: 4/15/2022 Time: 11:04:09 PM Document Path: D:\Dropbox\WB_GeoIDN\Layout\wb_mxd\FinalReport_layout\Gambar15_Dearah layanan penyedia air swasta.mxd Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 61 3.3. Sanitasi 81. Pengumpulan data sanitasi difokuskan pada cakupan akses, termasuk infrastruktur setempat (on site) dan terpusat (off site), mengidentifikasi fasilitas Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), dan lokasi dengan infrastruktur pengumpulan dan pengolahan limbah rumah tangga (greywater). Bagian ini memulai dengan indikator umum sanitasi dari segi akses ke fasilitas, diikuti dengan implikasi dan proses yang mengatur sistem sanitasi on-site, pertimbangan untuk rencana pengembangan sanitasi off-site, dan potensi untuk memperkenalkan kerangka Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (Citywide Inclusive Sanitation, CWIS). 82. Pelayanan sanitasi di Jabodetabek hampir seluruhnya berupa fasilitas on-site yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Kualitas infrastruktur yang buruk dan pemeliharaan fasilitas on-site yang tidak memadai menyebabkan kontaminasi air tanah dan air permukaan secara luas. Diagram aliran tinja (fecal flow diagram, FFD) DKI Jakarta menyoroti luasnya masalah (Rodriguez et al. 2016; gambar 16 di bawah). Secara kumulatif, 86 persen air limbah dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan yang memadai. Analisis serupa belum dilakukan untuk daerah lain di wilayah Jabodetabek, tetapi kemungkinan akan menghasilkan tren yang sama (meskipun konsentrasinya lebih rendah karena faktor kepadatan) dan menunjukkan produksi air yang tidak aman di seluruh rantai layanan sanitasi. Penerapan FFD, bersama analisis pelengkap yang menunjukkan tingkat masalah dan implikasinya, dapat membantu mengidentifikasi peluang untuk membangun kemitraan IUWM. Hasil analisis FFD dapat mendorong solusi bertahap yang terukur di bawah pendekatan CWIS yang terus mengurangi kontaminasi dan mendorong inovasi untuk meningkatkan layanan. Namun, FFD hanya menyajikan evaluasi kontaminasi tinja (blackwater). Kontaminasi dari limbah rumah tangga (atau greywater), merupakan sumber polusi yang lebih besar di saluran air. Greywater sebagian besar tidak diolah dan biasanya bermuara langsung ke sistem drainase lokal. Kualitas air yang buruk di seluruh saluran air Jabodetabek secara signifikan mempengaruhi ekosistem lokal, sangat merugikan kesehatan masyarakat, dan mengurangi standar kelayakan huni secara umum. 62 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Kotak 2: Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (Citywide Inclusive Sanitation, CWIS) merupakan perubahan paradigma dalam sanitasi perkotaan. Kerangka ini menyatukan konsep kesetaraan dan kesehatan lingkungan yang berkelanjutan untuk penyediaan layanan sanitasi dan pengelolaan air limbah yang dilakukan melalui sistem gabungan off-site dan on-site dengan cara yang terintegrasi dan saling melengkapi. Empat prinsip utama CWIS adalah: i) sanitasi adalah hak asasi manusia dan setiap orang harus memiliki akses terhadapnya; ii) sanitasi yang dikelola dengan aman harus direncanakan di seluruh rantai layanan sanitasi yang lengkap (dari penampungan hingga pembuangan); iii) sanitasi penting untuk kemakmuran ekonomi; dan iv) diperlukan koordinasi dengan sektor dan pemangku kepentingan lain untuk mencapai manfaat positif bagi masyarakat (lihat gambar di bawah). Kerangka CWIS melengkapi dan mendukung IUWM untuk memastikan bahwa air dan sanitasi dikoordinasikan tanpa eksternalitas negatif dan cakupan layanan universal tercapai. Sumber: Bill & Melinda Gates Foundation et al. 2016. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 63 Gambar 16: Diagram Aliran Tinja Provinsi DKI Jakarta, 2016 Sumber: Rodriguez et al. 2016. 83. Untuk wilayah metropolitan sebesar Jabodetabek, tingkat cakupan saluran air limbah wilayah ini adalah salah satu yang terendah di dunia (table 11). Hanya ada dua jaringan pembuangan air limbah: satu di pusat DKI Jakarta, dan satu sistem yang lebih kecil di Bogor (gambar 17). Ada beberapa sistem yang dioperasikan swasta, seperti Summarecon di Bekasi, yang mengelola jaringan saluran pembuangan swasta untuk kawasan real estat. Jaringan pembuangan air limbah utama DKI Jakarta melayani sekitar 2 persen dari total populasi, namun sudah ada rencana untuk memperluas layanan secara signifikan dalam jangka pendek dan menengah. DKI Jakarta dibagi menjadi 15 zona sanitasi, dua di antaranya direncanakan akan memulai pembangunan saluran air limbah dalam waktu dekat dengan dukungan Japan International Cooperation Agency (JICA). Meskipun data untuk Jabodetabek pada tabel 11 sudah lama, berdasarkan literatur saat ini dan diskusi dengan pemangku kepentingan, perluasan cakupan jaringan pembuangan air limbah di Jabodetabek tidak meningkat secara signifikan sejak 2010. Hal ini menunjukan masih sangat rendahnya cakupan jaringan pembuangan air limbah di wilayah metropolitan ini. Berkat pendekatan layanan sanitasi yang terdesentralisasi, setiap pemerintah 84. kabupaten atau kota mengembangkan rencananya sendiri untuk menyediakan layanan sanitasi. Sementara DKI Jakarta adalah satu-satunya yang memiliki infrastruktur saluran air limbah dan rencana untuk memperluasnya, semua pemerintah daerah lainnya di 64 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Tabel 11: Persentase Penduduk Perkotaan dengan Akses ke Jaringan Pembuangan Limbah Sumber: Data for Greater Jakarta from the 2010 Indonesia Census (BPS 2010); for Metropolitan Manila, UNESCO 2019; for GVMR, Kennedy-Walker et al. 2020 (GVMR); for Bangkok, Beijing, and Chennai, IWA 2018. Jabodetabek bergantung pada instalasi pengolahan air limbah tunggal mereka (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja, atau IPLT) untuk masing-masing daerah (gambar 17). Masing- masing pemerintah daerah ini menempatkan IPLT-nya di wilayah perbatasan. Lokasi geografis instalasi tersebut dan layanan transportasi yang diperlukan untuk mengirimkan air limbah ke IPLT dapat memberi peluang untuk koordinasi antar daerah. Namun demikian, terbatasnya kapasitas instansi pemerintah daerah, layanan transportasi air limbah, dan IPLT sendiri masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk memproses volume yang cukup dan memastikan sanitasi yang aman di seluruh sistem. Sebagian besar rumah tangga memiliki tangki septik sendiri yang perlu dikosongkan secara berkala dengan truk septik, sehingga memerlukan pengangkutan limbah ke IPLT. Namun, tangki-tangki septik rumah tangga ini biasanya tidak cukup sering dikosongkan dan dirawat, sehingga menyebabkan kebocoran dan pencemaran tanah dan sumber daya air. 85. Ada upaya yang dilakukan di DKI Jakarta untuk meningkatkan layanan sanitasi. Selain rencana perluasan infrastruktur saluran air limbah, PD PAL sedang meningkatkan layanan sistem on site melalui program dukungan tangki septik dan melakukan uji coba Layanan Lumpur Tinja Terjadwal untuk meningkatkan pengelolaan lumpur tinja. Salah satu program, SANIMAS, telah berhasil dan disambut baik di Kota Bogor dan Kota Bekasi. SANIMAS memberikan dukungan untuk lembaga berbasis masyarakat, yang masing- masingnya mencakup mulai 20 hingga 100 rumah tangga, untuk menghubungkan jamban mereka ke satu sistem. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 65 Gambar 17: Infrastruktur Air Limbah dan Buang Air Besar Sembarangan di Jabodetabek Peta Area Infrastruktur Sanitasi dan BAB sembarangan JABODETABEK dŽƚĂůĂīĞĐƚĞĚ %DWDV3URYLQVL &ůŽŽĚĐĂƵƐĞƐ ,QVWDODVL3HQJRODKDQ/XPSXU ǀŝůůĂŐĞƐ %DWDV.DEXSDWHQ.RWD 7LQMD ,3/7 ZŝǀĞƌͬůĂŬĞŽǀĞƌŇŽǁĞĚ ϭϴϮ 6XQJDL'DQDXVXPEHUDLUEDNX .DSDVLWDVWHUSDVDQJ PHWHUNXELNKDUL ,ĞĂǀLJͬĐŽŶƟŶŽƵƐƌĂŝŶĨĂůů ϮϮϳ 'DQDXEHQGXQJDQVLWX ƌĂŝŶĂŐĞĐůŽŐŐĞĚͬŶĂƌƌŽǁĞĚ ” ϭ -DULQJDQSLSDOLPEDKFDLU ZŝǀĞƌƐŝůƚĂƟŽŶͬƐĞĚŝŵĞŶƚĂƟŽŶ  ϰ     ,QVWDODVL3HQJRODKDQ$LU/LPEDK &ůĂƐŚŇŽŽĚ  ϭ .LORPHWHUV 7HUSXVDW ,3$/WHUSXVDW dŝĚĂůŇŽŽĚͬZK ϭϱ ! DƵůƟƉůĞͬĐŽŵďŝŶĞĚĐĂƵƐĞƐ .DSDVLWDVWHUSDVDQJ PHWHUNXELNKDUL ϭϮϴ UXPDKWDQJJD\DQJPDVLK%$%VHPEDUDQJDQ ”      !     ! .RWD '.,-DNDUWD 7DQJHUDQJ %HNDVL 7DQJHUDQJ .RWD 7DQJHUDQJ 6HODWDQ .RWD%HNDVL .RWD'HSRN %RJRU .RWD%RJRU 66 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 86. Angka akses sarana sanitasi dan indikator buang air besar sembarangan memberikan gambaran sanitasi yang lebih luas di Jabodetabek dan menunjukkan cakupan pelayanan yang rendah, yang mempengaruhi kualitas air di seluruh sistem air. Gambar 17 menunjukkan pola spasial buang air besar sembarangan di Jabodetabek; tabel 12 memperluas analisis dengan menyajikan data persentase rumah tangga di setiap kabupaten dan kota di mana terjadi praktik buang air besar sembarangan. Secara keseluruhan, 89,2 persen penduduk Jabodetabek memiliki akses ke jamban dan tidak melakukan buang air besar sembarangan, namun ada variasi antara kabupaten dan kota, serta perbedaan mencolok di setiap daerah. Meskipun ada daerah – khususnya di pinggiran Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi – di mana lebih dari 30 persen rumah tangga melakukan buang air besar sembarangan, beberapa kota (misalnya, Kota Tangerang) telah berupaya keras untuk memberantas buang air besar sembarangan, yang seharusnya menjadi target prioritas bagi pemerintah daerah. Data tentang akses jamban dan buang air besar sembarangan membantu menyoroti masalah kesehatan masyarakat, terutama di tingkat rumah tangga. Data tersebut dapat dihubungkan dengan indikator kesehatan masyarakat yang sesuai dari fasilitas kesehatan tingkat kecamatan (Puskesmas). Berbagai studi juga menemukan hubungan yang semakin kuat antara sanitasi yang buruk dengan kejadian stunting, yang telah menjadi bidang perhatian publik yang penting di Indonesia (Rah et al. 2020; Cameron et al. 2021).25 Data tersebut juga menegaskan masalah kualitas air: jika dilihat dari tingkat sistem, penelitian berulang kali menunjukkan bahwa sungai-sungai di Jabodetabek tercemar parah, terutama karena buangan air limbah domestik yang mengalir langsung ke sungai (Riani et al. 2018; Dsikowitsky et al. 2018) . Tabel 12: Persentase Rumah Tangga dengan Akses ke Jamban, 2019 Sumber: Kemenkes 2011. 25 RPJMN 2020–2024 menetapkan target pengurangan stunting menjadi 14% dari 27,7% pada 2019. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 67 87. Dampak ekonomi dari sanitasi menghadirkan hambatan pembangunan yang sangat mencolok, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan permukiman informal. Sebuah studi oleh Water and Sanitation Program (WSP) untuk DKI Jakarta menunjukkan bahwa sanitasi yang buruk menimbulkan kerugian US$1,4 miliar per tahun, 1 miliar (atau 80 persen) di antaranya terkait kerugian kesehatan akibat sanitasi yang tidak dikelola dengan aman (Rodriguez et al. 2016). Kerugian ini tiga kali lebih tinggi di Jabodetabek daripada di tempat lain di Indonesia, dengan perkiraan kerugian per kapita sebesar US$139 per orang per tahun. Masyarakat miskin mengalami dampak yang secara signifikan lebih tinggi akibat kerentanan mereka, peluang kontak yang lebih besar dengan air yang tidak bersih, serta biaya terkait yang lebih tinggi ketika mencari pengobatan untuk penyakit yang mereka derita. 88. Tiga sektor yang dibahas dalam bagian ini – banjir, pasokan air, dan sanitasi – saling terkait. Banjir diperparah oleh penurunan muka tanah, yang sebagian disebabkan oleh pengambilan air tanah yang dalam. Air tanah masih banyak digunakan untuk pasokan air karena tidak adanya layanan dan sumber yang lebih andal. Sumber daya air untuk minum dan konsumsi rumah tangga dibatasi oleh kualitas air permukaan dan air tanah yang buruk, yang sangat terkontaminasi oleh tinja dan polutan lainnya, diperparah oleh layanan dan praktik sanitasi yang buruk. Masalah-masalah yang berkaitan erat dengan limbah padat: volume limbah padat yang besar melampaui sistem dan kapasitas pengelolaan, sehingga limbah berakhir di sungai dan kanal dalam jumlah besar yang menurunkan fungsi sistem drainase, mengintensifkan banjir, dan memperburuk kualitas air secara umum (lihat Lampiran 3). Isu-isu yang saling terkait di tiga sektor yang terhubung ini menyoroti perlunya pendekatan terpadu untuk memecahkan masalah air perkotaan. Bagian selanjutnya menganalisis lebih lanjut keterkaitan lintas sektor ini. 3.4. Analisis antar sektor Bagian ini menyajikan data dan visualisasi dari beberapa masalah air lintas sektor yang paling penting. 3.4.1. Penurunan permukaan tanah, pengambilan air tanah, dan intrusi air asin 89. Gambar 18 memperlihatkan kaitan penggunaan air tanah terhadap penurunan permukaan tanah dan intrusi air laut, fenomena air laut yang mengintrusi akuifer air tawar. Gambar ini menunjukkan tingkat penurunan permukaan tanah yang tinggi di wilayah pesisir di bagian utara Jabodetabek, di mana banyak masyarakat berpenghasilan rendah berada, dan di mana penurunan permukaan tanah sangat meningkatkan risiko banjir pesisir di bagian utara kota. Peta tersebut juga menunjukkan tingkat penurunan tanah yang tinggi di daerah padat penduduk dan komersial di Jakarta Pusat dan di daerah pemukiman kelas atas di barat daya dan tenggara DKI Jakarta. 68 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 90. Tingginya laju penurunan permukaan tanah berkorelasi dengan daerah di mana akses ke pasokan air perpipaan terbatas: antara tidak ada jaringan perpipaan yang dibangun (seperti di daerah barat daya) atau jaringan perpipaan yang ada belum menyediakan layanan yang dapat diandalkan (sering terganggu dan bertekanan rendah). Dengan tidak adanya layanan jaringan, rumah tangga berpenghasilan tinggi menggunakan air yang dipompa dari akuifer terbatas sementara rumah tangga miskin bergantung pada air tanah dangkal. Dengan demikian, rumah tangga berpenghasilan rendah menghadapi risiko yang lebih besar akibat akses terbatas ke air perpipaan; air tanah asin yang terkontaminasi; dan risiko banjir pesisir. Pengambilan air tanah yang berlebihan merupakan konsekuensi dari buruknya pasokan perpipaan dan penyebab penurunan permukaan tanah dan intrusi air asin, dan karenanya pengelolaannya memerlukan sejumlah solusi terintegrasi: tata kelola air tanah yang lebih kuat dan pemantauan serta penegakan izin pengambilan air tanah yang efektif, bersama perluasan jaringan perpipaan untuk mengurangi permintaan akan air tanah. 3.4.2. Pengelolaan banjir dan pengisian akuifer 91. Pengelolaan banjir yang efektif memerlukan tindakan terkoordinasi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, yang menyiratkan kebutuhan mendesak akan kolaborasi antar tingkat dan lembaga pemerintah. Tingginya frekuensi kejadian banjir di Jabodetabek menimbulkan sejumlah dampak negatif. Banjir jelas bukan hanya masalah hilir. Sementara bagian utara wilayah metropolitan lebih rentan terhadap banjir rob dan luapan waduk, wilayah hulu menghadapi risiko dari sistem drainase lokal yang buruk dan banjir bandang, serta ancaman tanah longsor yang berbahaya. Tidak banyak upaya yang dapat dilakukan oleh individu atau komunitas lokal untuk melindungi diri mereka dari risiko banjir rob. Beberapa daerah di wilayah hilir, seperti Kota Tangerang Selatan, telah menerapkan kebijakan zero runoff untuk properti baru, yang telah memberikan hasil mitigasi banjir yang signifikan. Namun, tindakan di wilayah hulu juga harus lebih melindungi bantaran sungai dari perusakan, mencegah perubahan penggunaan lahan di bagian-bagian penting dari daerah tangkapan, dan memperlambat aliran sungai dengan rancangan retensi (misalnya, sumur resapan, drainase vertikal), yang semuanya akan memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat sekitar, baik di hulu maupun hilir. 92. Untuk daerah di wilayah hulu, manfaat lebih lanjut dari pembangunan sumur resapan adalah sumber daya air tambahan yang dapat disediakan oleh intervensi tersebut. Hal ini telah ditunjukkan di Kabupaten Bogor yang menjalankan inisiatif untuk menahan air banjir dan menggunakannya untuk memulihkan sumber mata air yang semakin menipis. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 69 Gambar 18: Wilayah Cekungan Air Tanah Jabodetabek dan Penurunan Tanah Peta Area Wilayah Cekungan Air Tanah dan Subsidensi Jabodetabek JABODETABEK 803 Juta m3/tahun CAT Jakarta Air tanah bebas 0 4.5 ´ 9 18 40 Juta m3/tahun Air tanah tertekan Kilometer CAT Serang - Tangerang 1,075 Air tanah bebas Juta m3/tahun 18 Juta m3/tahun Air tanah tertekan CAT Bekasi - Karawang 1,483 Air tanah bebas 1,019 CAT Bogor Juta m3/tahun Juta m3/tahun Air tanah bebas 6 Juta m3/tahun Air tanah tertekan 37 Juta m3/tahun Air tanah tertekan Deskripsi Penurunan muka Wilayah Sungai (WS) Batas Administratif tanah 2015 - 2018 Ciliwung - Cisadane Batas Provinsi (cm/tahun) Intrusi air laut Batas Kabupaten/Kota -12.32 to -10.65 Penggunaan air Batas Kecamatan tanah 2019 (m3) Sumber Peta: -10.65 to -4.20 Jenis Cekungan Air 1. Batas adminstratif dari BIG, < 43,857 Tanah(CAT) - 4.20 to -0.89 43,857 - 117,506 RBI skala 1:25.000 - 0.89 to - 2.63 Lintas kabupaten/Kota 2. Cekungan air tanah dan penurunan air tanah 117,506 - 412,790 2.63 to 17.50 Lintas Provinsi dari ESDM 412,790 - 738,267 3. Peta hidrogeologi Indonesia 738,267 - 1,456,582 skala 1:100,000, Lembar Jakarta 70 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 3.4.3. Kualitas sumber daya air, sanitasi, dan kesehatan 93. Gambar 19 menunjukkan kualitas air permukaan disandingkan dengan hasil kesehatan, dengan fokus pada risiko diare yang sangat luas. Meskipun analisis tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara buang air besar sembarangan dan kualitas air permukaan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kepadatan penduduk yang lebih rendah di wilayah terluar Jabodetabek yang membuat muatan pencemar di badan air relatif lebih sedikit. Namun, tingginya tingkat kontaminasi coliform yang ditemukan di seluruh daerah perkotaan padat penduduk memberikan bukti bahwa standar saat ini untuk peralatan, instalasi, dan pemeliharaan tangki septik on-site tidak memadai untuk mencegah kontaminasi lingkungan dan risiko kesehatan terkait. Limbah padat juga berperan sebagai vektor penyakit, menciptakan kondisi kesehatan lingkungan yang tidak layak. 94. Semua sungai besar di Jabodetabek tercemar sedang hingga berat (KLHK 2016). Kualitas air sungai yang buruk menyebabkan biaya pengolahan air yang lebih tinggi untuk daerah di wilayah hilir. Jika IPA tidak dapat mengolah air influen (air masukan) secara memadai, kualitas air sungai yang buruk juga mengurangi pasokan air baku, yang menyebabkan gangguan pada titik pengambilan air. Hal ini menciptakan tantangan dalam penyediaan air perpipaan untuk rumah tangga. Pemerintah daerah seringkali menggunakan kondisi kekurangan air baku sebagai penyebab ketidakmampuan mereka untuk memperluas jaringan pipa pelayanan. Akan tetapi, ada peluang untuk meningkatkan pasokan air jika kualitas air baku ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin akan sangat baik untuk menetapkan suatu mekanisme kerjasama pembiayaan pengelolaan lingkungan (Payment for Environmental Sustainability) di mana pengguna hilir dapat membiayai pengurangan kontaminasi di daerah di wilayah hulu. 95. Upaya-upaya pembersihan seperti program Ciliwung Bersih dan Citarum Harum belum memberikan dampak positif yang signifikan, namun menawarkan peluang yang menjanjikan untuk memulai kegiatan IUWM yang dapat menangani berbagai masalah terkait air sekaligus. Keberhasilan dapat membuka jalur untuk memperluas skalanya ke sungai-sungai lain yang melintasi berbagai daerah, termasuk Cisadane, Cidurian, dan sungai besar lainnya. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 71 Gambar 19: Kualitas Air Sungai dan Kasus Diare 72 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 4. Hambatan dan peluang IUWM di Jabodetabek 4 HAMBATAN DAN PELUANG IUWM DI JABODETABEK 96. Pemangku kepentingan di Jabodetabek menyatakan tingkat dukungan yang tinggi bagi inisiatif implementasi IUWM untuk wilayah tersebut. Keinginan ini didorong oleh meningkatnya pemahaman tentang risiko akut yang ditimbulkan oleh masalah keamanan air. Pemangku kepentingan tingkat nasional di Bappenas, Kemendagri, dan Kemenkes sudah mengenal konsep IUWM dan mendukung penerapannya oleh pemerintah daerah. Pejabat pemerintah daerah seringkali belum kenal dengan istilah IUWM, tetapi di banyak daerah mereka dapat mengidentifikasi tindakan-tindakan yang sedang berlangsung yang konsisten dengan IUWM. 97. Dalam hal tertentu, kerangka tata kelola dan peraturan yang ada konsisten dengan prinsip-prinsip IUWM, tetapi para pemangku kepentingan telah mengidentifikasi berbagai tantangan dalam mengadopsi IUWM selama proses pembuatan kebijakan untuk isu-isu terkait air. Secara khusus, tata kelola yang terputus lintas batas administratif di Jabodetabek dan proses perencanaan yang tidak terkoordinasi lintas sektor perlu ditangani untuk mendukung penerapan IUWM (lihat Kotak 3). Bagian laporan ini merangkum isu-isu utama khusus untuk Jabodetabek yang diangkat oleh para pemangku kepentingan selama lokakarya proyek dan diskusi klaster yang diadakan pada 2019–20. Sebuah laporan paralel, “Kerangka Nasional untuk Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu di Indonesia” (“National Framework for Integrated Urban Water Management in Indonesia”), menyajikan temuan tingkat nasional yang diangkat dalam diskusi ini. Kotak 3: Koordinasi Kelembagaan di Jabodetabek: Sejarah dan Persoalan Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta 1966-1977) adalah salah satu pemimpin Jakarta yang paling menonjol dan telah meninggalkan warisan kuat yang membentuk pembangunan daerah. Setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Gubernur, Ali Sadikin berbicara terbuka tentang pentingnya sebuah otoritas pemerintah daerah. Dalam beberapa kesempatan, ia berbicara secara terbuka mengenai pentingnya pembentukan kementerian koordinasi yang hanya berfokus pada Jakarta dan wilayah sekitarnya. Hampir setengah abad kemudian, Jabodetabek adalah salah satu wilayah metropolitan terbesar di Asia Timur, tetapi belum memiliki badan koordinasi dengan kewenangan yang jelas. Pembangunan Jabodetabek telah menyatukan kawasan perkotaan melintasi batas-batas daerah. Kebijakan desentralisasi demokratis pasca-reformasi 1998 mengakibatkan banyaknya pemekaran daerah di Indonesia, dan semakin menambah kompleksitas 74 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek dalam mengatur Jabodetabek. Selain itu, undang-undang otonomi daerah pada awalnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang tidak memiliki kapasitas maupun sumber daya untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Kecuali DKI Jakarta, yang mempertahankan kewenangan provinsi, perencanaan pembangunan pemerintah daerah dilimpahkan kepada walikota/bupati dan DPRD kota/ kabupaten, yang semakin memperdalam tantangan koordinasi. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri turun tangan untuk memfasilitasi koordinasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur, yang merupakan perwakilan dari berbagai pemerintah daerah di wilayah dimaksud. Kemendagri mengarahkan BKSP untuk fokus pada isu-isu seperti banjir, kemacetan lalu lintas, sanitasi, pasokan air, dan ketahanan pangan. Peraturan Mendagri juga memberikan dasar untuk penataan badan tersebut, di mana kepemimpinan digilir setiap tiga tahun sekali antar gubernur. Jakarta menjadi tuan rumah kantor sekretariat BKSP, sementara semua provinsi memberikan dukungan anggaran untuk operasinya, di mana Jakarta memikul tanggung jawab terbesar. Meskipun sebagian besar berfungsi sebagai koordinator, BKSP telah memfasilitasi beberapa kesepakatan kunci tentang masalah lintas batas antar provinsi. Ini termasuk kesepakatan tentang infrastruktur, seperti transportasi dan limbah padat. Meskipun masing-masing signifikan, keberhasilan kesepakatan ini juga membutuhkan pemecahan tantangan tata kelola berikut: 1. Adanya otonomi asimetris antara pemerintah daerah di Jabodetabek, dan antara DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, semakin diperrumit oleh perbedaan pemerintah daerah di setiap provinsi. Hal ini memperberat tantangan koordinasi, karena setiap daerah mengikuti jadwal pemerintahan yang berbeda, yang dibentuk oleh partai politik yang memperebutkan kekuasaan di parlemen lokal dan eksekutif. 2. Tidak ada mekanisme untuk menegakkan kepatuhan pada perjanjian BKSP. Inisiatif hanya mengikat secara hukum sejauh rencana pemerintah daerah menginternalisasinya. Persetujuan anggaran juga bergantung pada DPRD masing- masing dan tidak ada sistem pemantauan untuk memastikan kepatuhan mereka terhadap kesepakatan. 3. BKSP masih belum mampu menetapkan visi perencanaan jangka panjang untuk wilayah metropolitan. Sebagian besar kesepakatan dan kegiatan bersifat ad hoc dan berjangka pendek. Pemerintah daerah memandang pertemuan BKSP sebagai negosiasi transaksional antara Jakarta dan pemerintah daerah sekitarnya. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 75 Sangat menyadari masalah ini, Kemendagri sedang mengkaji cara koordinasi BKSP, dan berusaha menerapkan langkah-langkah serupa untuk wilayah metropolitan lainnya yang berkembang pesat. UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 telah dilengkapi peraturan turunan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 Tahun 2020 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah, memberikan opsi kerja sama yang lebih kuat. Peraturan-peraturan tersebut tidak secara spesifik menyebutkan BKSP. Kemendagri masih mencari cara kerja sama yang tepat dan secara eksplisit mengusulkan sektor air minum sebagai percontohan yang ideal. 4.1. Peraturan perundang-undangan 98. UU Air dan peraturan pelaksanaannya memberikan dasar strategis untuk mengatasi masalah air tanah dan meningkatkan pengendalian polusi. Undang-Undang Sumber Daya Air, yang disahkan pada 2019, mengamanatkan pembatasan yang lebih kuat pada penggunaan air tanah, yang dapat membantu mengatasi laju penurunan tanah yang mengkhawatirkan di Jabodetabek. Selain itu, rancangan peraturan pemerintah tentang air minum mengakui pentingnya mengintegrasikan ketentuan tentang pengelolaan air limbah dan limbah padat, dan mengharuskan penyedia layanan untuk mengembangkan rencana keamanan air untuk mengatasi polusi. 99. Peraturan dan standar teknis bangunan gedung dapat dan sudah digunakan untuk mendorong pelaku sektor swasta mengadopsi dan meningkatkan daur ulang air dan retensi air secara on-site. Contoh utama adalah kebijakan zero runoff di Tangerang Selatan, yang dipantau secara ketat dengan citra satelit Sentinel dan ground truthing. Kebijakan ini mencakup kemitraan terkoordinasi antara organisasi perangkat daerah di bidang perencanaan, pekerjaan umum, dan perizinan untuk mewajibkan offset sebagai prasyarat untuk mengeluarkan rekomendasi izin. Pemerintah setempat percaya sistem ini telah sangat mengurangi banjir. Namun, di daerah lain, standar teknis bangunan terkadang menyertakan persyaratan ketat yang tidak disertai dengan langkah-langkah untuk mendorong implementasi atau pemantauan dan penegakan aturan yang diperlukan. 100. Pemerintah daerah menyadari manfaat ruang terbuka berdaya serap (permeabel) dan badan air alami dalam mengelola banjir, dan payung hukum untuk melindungi dan memperluas ruang permeabel, terbuka, dan hijau didukung oleh undang-undang tata ruang yang ada. Secara khusus, UU 26/2007 tentang Tata Ruang mengamanatkan setiap pemerintah daerah untuk menetapkan minimal 30 persen dari total luas lahan sebagai ruang terbuka hijau pada 2030, 20 persen di antaranya harus berada di lahan publik. DKI 76 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Jakarta kesulitan untuk mencapai tujuan ini dan, dalam berbagai konsultasi, para pejabat menengarai bahwa hal itu akan sulit dicapai pada tahun 2030. Rencana untuk memperluas ruang terbuka hijau diperkirakan hanya akan menghasilkan sedikit keuntungan dengan biaya tinggi karena harga tanah yang tinggi di pusat kota yang padat. Berdasarkan interpretasi peraturan saat ini, setiap daerah di wilayah Jabodetabek harus memenuhi persyaratan 30 persen di dalam wilayah kelolanya sendiri. Namun, jika persyaratan diterapkan di tingkat regional, akan ada insentif yang kuat bagi pemerintah kota yang lebih padat untuk bekerja sama dengan daerah di bagian luar wilayah metropolitan untuk mendukung dan membiayai konversi dan perlindungan lahan untuk ruang terbuka hijau. Melakukan hal itu juga akan mendorong langkah-langkah perlindungan jangka panjang di area-area penting yang mungkin menghadapi tekanan terkait urbanisasi. 101. Beberapa pengembang swasta di Jabodetabek berada di garis depan desain hijau. Mereka telah menerapkan pemanfaatan air daur ulang, dan mengendalikan kualitas air melalui ruang terbuka hijau serta penggunaan bahan-bahan yang permeabel. Misalnya, PT Lippo Karawaci dan PT Summarecon telah mengadopsi pendekatan desain hijau yang inovatif, menerapkan IUWM dalam pengembangan real estat dan komersial swasta terpadu mereka. Mereka menyediakan layanan air perpipaan berkelanjutan, pengumpulan air limbah dan pengolahan off-site, manajemen permintaan, retensi dan daur ulang air untuk penggunaan non-air minum, dan sebagian ada yang menawarkan rekreasi berbasis air. Lippo Karawaci khususnya telah diakui sebagai pelopor Edge Cities di Indonesia. Pemangku kepentingan mengakui peluang untuk replikasi dan perluasan inisiatif ini, dan mencatat bahwa ada ruang untuk memberi insentif pada pengembangan yang ada untuk meningkatkan standar pengelolaan air yang memenuhi praktik terbaik ini. Selain itu, insentif juga dapat digunakan untuk mewajibkan pengembangan di masa depan memasukkan retensi air banjir, manajemen permintaan air, pengolahan air limbah, dan daur ulang on-site. 4.2. Tata kelola Pemangku kepentingan di Jabodetabek menyadari pentingnya koordinasi antar daerah 102. dan lintas sektor, namun upaya-upaya tersebut terkendala oleh kewenangan yang terbatas dan insentif yang lemah. Akan tetapi, peraturan terkait pemerintahan daerah saat ini sedang ditinjau, dan ini memberikan peluang untuk reformasi. Selain itu, PP 28/2018 mendukung kerja sama antar daerah dan menyoroti mekanisme kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah dan lintas pemerintah daerah, yang memperkuat dasar bagi inisiatif yang dipimpin pemerintah daerah di Jabodetabek dan daerah lainnya. Permendagri 22/2020 memberikan rincian lebih lanjut tentang kerja sama antar daerah. Di bawah kerangka peraturan baru ini, tim yang didedikasikan untuk kerja sama antar daerah dapat mengoordinasikan inisiatif perencanaan pembangunan antar daerah melalui rapat pleno dan teknis; inisiatif tersebut kemudian disetujui oleh pimpinan masing-masing wilayah. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 77 Otoritas pembangunan daerah untuk Jabodetabek, Badan Kerja Sama Pembangunan 103. (BKSP), memiliki mandat untuk berkoordinasi lintas daerah. BKSP dibentuk pada tahun 1976 untuk mengkoordinasikan wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (lihat Kotak 3). Lingkupnya diperluas pada 2010 untuk mencakup Depok dan Cianjur. BKSP diberi mandat koordinasi berdasarkan Keputusan Presiden 54/2008 dan Jabodetabek terdaftar sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) berdasarkan Peraturan Pemerintah 28/2008.26 Struktur dan tanggung jawabnya diatur dalam Permendagri 6/2006, yang menetapkan kewenangannya untuk membangun kemitraan pembangunan seputar tema tata ruang, infrastruktur, sumber daya air, lingkungan, dan transportasi. Namun, perubahan pada kerangka pemerintahan desentralisasi pada 2014 (UU 23/2014) membuat beberapa elemen kunci dari Permendagri 6/2006 menjadi usang, sehingga status dan peran BKSP perlu ditinjau ulang. 104. Kemendagri sedang merencanakan mekanisme kelembagaan baru berupa sekretariat khusus sektor yang diberi wewenang untuk menegakkan kolaborasi antara pemerintah daerah. Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, dan Kerja Sama Kementerian Dalam Negeri – salah satu peserta dalam keempat lokakarya klaster Jabodetabek untuk penelitian ini – menjelaskan rencana untuk membentuk struktur baru untuk kerja sama yang dipimpin pemerintah daerah di bawah sekretariat tematik. Pada saat laporan ini dibuat, peraturan tersebut masih dalam pembahasan antara Kemendagri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Kemen ATR). Pemangku kepentingan pemerintah daerah dan pusat melihat sektor air sebagai area fokus yang cocok untuk sekretariat awal Jabodetabek. Sekretariat ini akan berfungsi sebagai payung strategis, menangani risiko air melalui IUWM sebagai persiapan untuk masa depan, pada saat yang sama mencapai hasil nyata dalam jangka pendek. IUWM di Jabodetabek kemudian dapat diperluas melalui beberapa klaster utama yang dibentuk sebagai kelompok kerja untuk otoritas pembangunan Jabodetabek ke depannya, khususnya seputar kepentingan bersama untuk mengatasi banjir, ketergantungan timbal balik pada pasokan air, dan keharusan untuk meningkatkan kualitas air secara umum. Sekretariat bidang air juga dapat menunjukkan kepada sektor kebijakan lain pengaturan kelembagaan baru untuk Jabodetabek ini. Kerja sama antar daerah masih terbatas, namun ada upaya yang berhasil untuk 105. mengoordinasikan sistem peringatan dini banjir. Kolaborasi pengelolaan banjir antar daerah biasanya masuk dalam kategori sistem peringatan dini (early warning system, EWS). Beberapa aspek EWS dikoordinasikan di hilir dalam suatu lingkungan, tetapi sistemnya juga dapat menghubungkan pintu air hulu dan pengawas di hilir. Ada banyak contoh kolaborasi EWS dari Bogor sampai Jakarta, tetapi ada juga cara untuk memperluas koordinasi di luar peringatan dini menjadi kerja sama yang lebih komprehensif. 26 Mengingat fokus studi ini terkait air, Cianjur, meskipun secara resmi merupakan bagian dari BKSP, tidak dimasukkan dalam analisis karena terletak di luar DAS utama yang meliputi Jabodetabek. 78 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 4.3. Perencanaan dan implementasi Kementerian yang mengawasi perencanaan tata ruang, terutama Bappenas dan 106. Kementerian Agraria dan Tata Ruang, telah menyetujui transisi dari perencanaan administrasi dan penggunaan lahan ke kerangka yang berfokus pada sungai, air, dan daerah aliran sungai. Namun demikian, penerapan mekanisme fungsional di Jabodetabek akan menjadi tantangan karena tidak adanya mandat atau insentif. Saat ini, sesuai UU 26/2007, penataan ruang dilakukan dengan pendekatan fungsional atau administratif, di mana yang terakhir ini memiliki mandat dan prosedur yang lebih jelas. Bappenas telah bekerja untuk mendukung perencanaan fungsional yang berfokus pada isu-isu strategis sumber daya air dengan mengusulkan kerangka baru yang mewajibkan dan memberi insentif kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan target pasokan air, sanitasi, banjir, drainase, dan pengelolaan limbah padat. Misalnya, Kebijakan Satu Peta berlaku lintas kementerian untuk menurunkan skala produk pemetaan dan mengembangkan peta tematik sebagai cara untuk mendukung perencanaan sumber daya air. UU 23/2014 menjabarkan mandat pengelolaan sumber daya alam – termasuk sumber daya air – yang menetapkan tanggung jawab untuk setiap tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota) berdasarkan skala kegiatan. Undang-undang tersebut juga mengatur bahwa pemerintah provinsilah yang berperan untuk meningkatkan koordinasi antara dan di setiap kabupaten/kota. 107. Proses perencanaan yang terdesentralisasi menyebabkan ketegangan antara pemerintah daerah yang berusaha melindungi otonomi daerah dan memenuhi tujuan pembangunan ekonomi dan fiskalnya. Walikota dan bupati terpilih (atau gubernur dalam hal DKI Jakarta) dan DPRD terpilih mempengaruhi perencanaan pembangunan. Akibatnya, sebagaimana dicatat berbagai pemerintah daerah, hanya ada sedikit insentif untuk memperhitungkan dampak kebijakan yang berada di luar daerah mereka. Khusus untuk sumber daya air, pemerintah daerah di wilayah hulu Jabodetabek menyatakan pandangan bahwa mereka tidak diberi kompensasi yang memadai atas nilai sumber daya air mereka ke wilayah hilir; sebaliknya, pemerintah daerah di kawasan hilir menggambarkan beban dari polutan dan air banjir sebagai akibat dari keputusan pembangunan di hulu. Di Jabodetabek, satu kendala perencanaan khusus berhubungan dengan hierarki penempatan pemerintah DKI Jakarta yang berstatus provinsi, kontras dengan pemerintah daerah sekitarnya, yang semuanya setingkat kabupaten atau kota. Hal ini memperparah masalah koordinasi, karena masing- masing pemerintah daerah melapor ke ibu kota provinsi mereka di Bandung (Jawa Barat) dan Serang (Banten), yang secara geografis jauh dari DKI Jakarta. 108. Di seluruh lanskap tata kelola yang kompleks ini, rencana pembangunan jangka menengah (RPJMD) adalah dokumen paling signifikan dalam memandu proses penganggaran dan implementasi. RPJMD disusun oleh bupati atau walikota (atau gubernur untuk DKI Jakarta) dan membentuk kerangka umum untuk memenuhi janji kampanye mereka. Maka tidak Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 79 mengherankan bila proses perencanaan pembangunan tersebut saling bertentangan. Meskipun rencana tata ruang wilayah (RTRW) mungkin memerlukan koordinasi dan kerja sama, pemimpin daerah yang baru pasti akan merevisi rencana mereka melalui proses RPJMD, dan waktu pemilihan kepala daerah juga mengakibatkan proses perencanaan berlangsung pada periode yang berbeda, sehingga semakin menyulitkan sinkronisasi inisiatif antar daerah. 109. Di antara pemerintah daerah, proses perencanaan yang terfragmentasi untuk elemen- elemen yang berbeda dari siklus air perkotaan juga menjadi tantangan bagi adopsi IUWM. Meskipun lokakarya yang diselenggarakan studi ini memperlihatkan adanya dukungan luas untuk IUWM, tantangan untuk mengoordinasikan perencanaan tata ruang dengan rencana sektoral terhambat oleh masalah pengumpulan dan pembagian data, disinsentif dari proses alokasi anggaran, dan hambatan kelembagaan lainnya. Misalnya, RISPAM, rencana bisnis PDAM, dan strategi sanitasi kota hanya menyebut sepintas tentang rencana tata ruang. Kurangnya perencanaan lintas sektoral juga menimbulkan tantangan dalam mengembangkan proposal untuk mendapatkan manfaat dari program dukungan tambahan yang ditawarkan pemerintah pusat. 110. Beberapa pemerintah daerah di Jabodetabek sudah mulai mengadopsi percontohan untuk penggunaan kembali air dan pengelolaan banjir terpadu, yang dapat direplikasi atau ditingkatkan. Sebagai contoh, pembangunan IPAL Moving Biofilm Bed Reactor yang akan mengolah air limbah untuk digunakan kembali, dimulai pada 2021. Instalasi pengolahan yang berlokasi di sepanjang Kali Krukut, direncanakan memiliki kapasitas daur ulang air limbah yang mencapai 100 liter/detik untuk dimanfaatkan sebagai sumber air bagi bangunan-bangunan di sekitarnya untuk, misalnya, menyiram toilet, menyiram tanaman oleh Dinas Pertamanan, dan pemadaman kebakaran oleh Dinas Pemadam Kebakaran. Serupa dengan itu, Kota Bekasi telah mengimplementasikan proyek percontohan yang menjanjikan yang disebut fasilitas Instalasi Pengolahan Air Limbah Biocord Galaxy, yang mengolah greywater dari beberapa ribu rumah tangga di sekitarnya. Kota Bekasi sekarang berencana untuk memperluas skema ini dalam beberapa tahap, dengan replikasi yang direncanakan untuk sembilan lokasi lain di seluruh kota. Sementara itu, rencana tata ruang dan pembangunan sudah mulai memasukkan inisiatif retensi air dan ini disorot dalam RISPAM. RISPAM memiliki daftar sumur resapan di DKI Jakarta, Depok, dan Bogor; kolam resapan di Tangerang Selatan dan Kota Bekasi; kolam retensi dan kolam detensi di Kota Bogor; tepian bervegetasi dan jalur hijau di sepanjang sungai di Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang; dan pengendalian pembangunan sungai di Kota Bekasi dan Kota Tangerang. Kabupaten Bogor juga berencana menempatkan sumur resapan secara strategis untuk mengisi kembali sumber mata air dan akuifer sungai Cisadane dan Ciliwung. Kota Bogor memiliki rencana untuk menghutankan kembali dan membatasi pembangunan di lokasi-lokasi resapan utama untuk mengurangi polusi air tanah. Kota 80 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Tangerang merencanakan taman eco-tech dengan mengintegrasikan tanaman hias untuk mengolah air limbah domestik yang dibuang ke badan air. 4.4. Manajemen informasi Data tidak dikumpulkan secara transparan, andal, atau dengan cara yang terukur dan 111. terkoordinasi, yang menjadi hambatan signifikan bagi IUWM di Jabodetabek. Pada Lokakarya 2, perwakilan Bappenas menyoroti bahwa kurangnya data akan mempersulit penetapan benchmarking, memantau target, atau mengidentifikasi dasar untuk memberikan dukungan tambahan, sekalipun ada lebih banyak insentif untuk mendukung IUWM. Memang, pengumpulan data sederhana dari indikator-indikator dasar sektor air menjadi upaya yang besar selama studi ini, seperti yang dibahas di atas untuk banjir. Karena wilayah Jabodetabek sangat sering terkena banjir, basis data publik tentang peristiwa banjir historis – termasuk penyebab banjir, populasi yang terkena dampak, dan dampak ekonomi – dapat dengan mudah tersedia, terus diperbarui, dan digunakan untuk melacak kemajuan menuju tujuan kebijakan dan menetapkan benchmark bersama. Selain itu, indikator data dasar air dan sanitasi juga tidak memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan sektoral, karena biasanya disajikan sebagai data yang diawasi oleh mandat lembaga tertentu. Di masa lalu, BKSP berperan dalam sentralisasi data lintas daerah. Namun pemerintah daerah menyatakan pandangan bahwa meskipun mereka secara terbuka akan berbagi data ketika diminta, jarang ada tindak lanjut. 112. Untuk data yang tersedia, angka-angka tidak disimpan dalam format yang mudah dianalisis atau dibandingkan. Studi ini harus mengandalkan koordinasi berulang dengan personel lembaga dari seluruh Jabodetabek untuk memastikan komparabilitas data. Selain tidak adanya data banjir yang disebutkan di atas, kumpulan data pada titik-titik pengambilan air tanah dalam tidak dikumpulkan atau tidak tersedia untuk dibagikan. Kota Tangerang Selatan adalah satu-satunya pemerintah daerah yang membagikan data ini. Data yang jelas tentang titik pengambilan dapat membantu menghasilkan solusi kebijakan untuk mengatasi masalah mendasar ini. Di mana ada data yang dikumpulkan, data tersebut cenderung tidak dapat diakses karena format penyimpanan yang berbeda. Data banjir dikumpulkan dalam berbagai jenis perangkat lunak, bukan dalam spreadsheet, yang mengakibatkan jeda waktu yang signifikan untuk melakukan analisis komparatif dasar. Tim studi mencoba melibatkan beberapa kantor instansi pemerintah pusat dan daerah untuk mendapatkan data dan menghadapi berbagai keterbatasan. 113. Mandat kelembagaan yang berbeda untuk pengumpulan data dan indikator, definisi, dan rumus perhitungan yang berbeda-beda mempersulit pengukuran dan perbandingan kinerja. Misalnya, KLHK dan KemenPUPR menggunakan batas spasial yang berbeda untuk perencanaan dan pemantauan (masing-masing daerah aliran sungai dan wilayah sungai). Sementara itu, sensus nasional mengumpulkan indikator yang berbeda tentang Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 81 penyediaan air minum dari yang dikumpulkan oleh instansi pemerintah daerah dan PDAM. Hal ini menimbulkan tantangan dalam membentuk gambaran tingkat metropolitan tentang akses ke layanan, yang dapat digunakan untuk memprioritaskan tindakan dan pendanaan. Perbedaan ini menimbulkan hambatan analitis untuk menerjemahkan pengetahuan ke dalam tindakan, yang merupakan dasar untuk perencanaan tata ruang yang sukses. Meningkatkan keandalan dan akurasi data, dan mempromosikan transparansi dan 114. aksesibilitas memberikan peluang untuk mendorong IUWM. Terlepas dari kesulitan mengakses data, pengumpulan dan penyajiannya dalam format yang sederhana secara visual akan membuat mitra pemerintah pusat dan daerah lebih antusias dan mendorong kesepakatan mengenai potensi manfaat pengumpulan dan visualisasi data yang lebih terarah dan terkoordinasi. Data akan membantu menyusun dan memilah tantangan, penyebab, besaran, intensitas, geografi, dan dampak masalah air dalam cara yang dapat membantu meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah dan solusi serta penelusuran yang lebih baik. Data dan visualisasi yang jelas juga meningkatkan peluang untuk membangun kepercayaan, membangun kampanye publik seputar tantangan air, dan menyoroti keberhasilan intervensi. 4.5. Pembiayaan Belum ada mekanisme pembiayaan yang secara khusus mendorong pendekatan IUWM. 115. Mekanisme pembiayaan yang ada saat ini sebagian besar menargetkan elemen-elemen sektoral yang terpisah dari siklus air. Dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah umumnya ditujukan untuk investasi infrastruktur atau pembiayaan langsung, atau berupa pengadaan proyek infrastruktur besar oleh pemerintah pusat. Dana untuk pemeliharaan dan pengoperasian proyek-proyek ini diambil dari anggaran operasional pemerintah daerah dan dalam banyak kasus tidak mencukupi. Dana pemerintah pusat semakin dikaitkan dengan keluaran tertentu. Terkait penyediaan air minum, misalnya, pembiayaan dikaitkan dengan tingkat kinerja operasional PDAM, yang diukur melalui serangkaian indikator yang luas termasuk cakupan, NRW, dan keberlanjutan pembiayaan. Pendekatan pendanaan berbasis keluaran ini dapat menjadi dasar skema pendanaan untuk IUWM. 116. Meskipun pengukuran dampak ekonomi dari IUWM di Jabodetabek membutuhkan kajian yang lebih rinci, namun kajian dan percontohan yang sudah ada di beberapa kota di dunia menunjukkan potensi manfaat ekonomi dari implementasi IUWM. Pengelolaan daerah tangkapan air di wilayah hulu dan sanitasi yang lebih baik akan meningkatkan kualitas air permukaan dan mengurangi biaya pengolahan. Investasi untuk meningkatkan efisiensi operasional dan pengelolaan permintaan air akan mengurangi kebutuhan pembiayaan yang besar untuk membangun sumber air baru dan fasilitas produksi. Pemulihan cadangan air tanah yang dikelola dapat memulihkan kapasitas mata air, menghentikan 82 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek atau memperlambat penurunan tanah, dan mencegah intrusi air asin. Implementasi IUWM di Jabodetabek juga dapat menghasilkan manfaat tambahan yang dapat diukur dari waktu ke waktu, seperti pengurangan banjir, peningkatan kesehatan dan lingkungan, peningkatan pariwisata, dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Sebagai contoh, perkiraan global menunjukkan bahwa polusi di wilayah hulu, yang diukur dengan peningkatan konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD), mengurangi pertumbuhan PDB di daerah hilir hingga sepertiga (Damania et al. 2019). Di Kota Malang dan Batam, ketika PDAM dan pemegang konsesi swasta berinvestasi untuk mengurangi NRW dan menerapkan langkah-langkah efisiensi energi, masing-masing berhasil menghemat lebih dari US$5 juta dengan mengurangi biaya perbaikan kebocoran, dan melakukan investasi infrastruktur pasokan air tambahan (Bank Dunia , “WICER,” akan datang). 4.6. Inisiatif yang ada yang selaras dengan IUWM 4.6.1. Pengelolaan banjir: Melengkapi pembangunan infrastruktur Sementara perencanaan transformasi sebagian besar infrastruktur banjir DKI 117. Jakarta melalui investasi skala besar sedang berjalan (dalam bentuk tanggul laut dan peningkatan kapasitas transfer dan pemompaan), terdapat juga banyak peluang inisiatif tambahan terkait IUWM dan bidang-bidang yang berpotensi untuk dikerjasamakan. Banyak di antaranya telah disebutkan di atas: mendorong perluasan ruang terbuka hijau, pengisian ulang air, dan kebijakan zonasi untuk zero runoff, yang semuanya dapat meningkatkan kapasitas retensi air di seluruh DAS. Melalui tindakan terkoordinasi antara dan di dalam wilayah administratif, inisiatif-inisiatif semacam ini sudah diterapkan dalam bentuk retrofit permukiman dan properti individu untuk mendukung retensi dan infiltrasi. 118. Praktik terbaik dari seluruh dunia menawarkan contoh inisiatif pengelolaan banjir IUWM. Misalnya, beberapa dekade yang lalu, wilayah metropolitan Tokyo-Yokohama melakukan upaya besar bersama untuk mengatasi penurunan tanah dan banjir yang signifikan. Meski mewakili konteks politik dan kelembagaan yang sangat berbeda, pengalaman ini bisa menjadi salah satu model tindakan segera untuk Jabodetabek. Melalui pendekatan terpadu yang melibatkan pengesahan peraturan, langkah-langkah perencanaan kota, penerapan sistem penggunaan air sesuai tujuan, dan keterlibatan dengan pengembang swasta, otoritas regional di Jepang tersebut berhasil mengatasi dampak drastis penurunan tanah. Undang-undang membatasi pengambilan air tanah, terutama untuk industri, sementara penggunaan kembali air limbah ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan air industri. Daerah rawan banjir ditandai sebagai zona larangan pembangunan perkotaan, dan pengembang swasta diwajibkan untuk membangun kolam retensi untuk pengelolaan air hujan. Upaya-upaya tersebut mengubah arah pengembangan spasial kawasan dan memastikan kelayakan huni yang lebih baik untuk generasi mendatang. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 83 4.6.2. Pasokan air: Hal-hal yang terlupakan dan harapan untuk pengembangan 119. Kurangnya akses terhadap air sangat terasa di kalangan masyarakat tertentu yang cenderung terabaikan dalam penyediaan layanan. Kerentanan mereka lebih tinggi karena lokasi geografis atau jarak mereka dari area layanan – misalnya, lokasi di wilayah pinggiran atau sepanjang perbatasan. Meskipun wilayah perbatasan tersebut mungkin memiliki populasi padat, karena profil geografis pemerintah daerah dan proses perencanaannya wilayah tersebut belum tentu terjangkau oleh jaringan layanan. Kurangnya akses air juga dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah pesisir yang mengalami penurunan muka tanah atau intrusi air asin dan berada di luar jangkauan PDAM. Selain itu, PDAM juga tidak memprioritaskan pelayanan wilayah geografis luas yang dikelola oleh pihak swasta. Akibatnya, kantong-kantong masyarakat yang berdekatan atau terkurung di dalam area pengembang swasta tidak mendapat perhatian dalam pengembangan jangkauan jaringan pelayanan. Dalam berbagai kombinasi, kondisi semacam ini berlaku untuk banyak rumah tangga yang tidak memiliki layanan air minum. Selama lokakarya klaster studi ini, perwakilan pemerintah mencari cara untuk 120. mengkoordinasikan peluang peningkatan akses air, seperti melalui peningkatan efisiensi pemberian layanan dan bekerja sama dengan sektor swasta. Misalnya, penempatan jaringan di daerah tetangga dapat memberikan peluang untuk melayani komunitas di zona perbatasan lebih baik, sekalipun mereka berada di wilayah cakupan layanan tetangga. Tindakan-tindakan kerja sama skala kecil juga dapat membantu melayani komunitas lain yang tidak memiliki banyak pilihan. Contoh lain peningkatan akses air adalah di Kabupaten Kepulauan Seribu DKI Jakarta, di mana pemerintah daerah melakukan upaya terukur untuk menjangkau masyarakat pulau terpencil di Teluk Jakarta dengan membangun beberapa instalasi pengolahan air laut reverse osmosis (SWRO). 4.6.3. Sanitasi: Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (Citywide Inclusive Sanitation, CWIS) 121. Dengan rendahnya cakupan layanan sanitasi yang dapat diandalkan di seluruh Jabodetabek, kualitas air permukaan dan air tanah sangat buruk, sehingga upaya apa pun untuk meningkatkan pengolahan di semua tingkat akan memiliki manfaat yang besar. Jabodetabek mengalami dampak pengabaian infrastruktur sanitasi sistemik yang luas. Pemerintah pusat dan daerah sering menyatakan bahwa sanitasi itu mahal dan prioritasnya lebih rendah daripada pasokan air. Namun, berbagai instansi yang mengawasi daerah perkotaan dengan kepadatan yang lebih tinggi menyadari betapa biaya pengolahan air meningkat sebagai akibat dari limbah yang mencemari sumber air. Upaya PD PAL Jaya untuk memperluas cakupan saluran air limbah ke zona-zona baru di DKI Jakarta menunjukkan tingginya biaya dan rumitnya pelaksanaan untuk pembebasan lahan, sambungan, perpipaan, pemompaan, dan transfer. Dengan lambatnya perluasan 84 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek sistem pembuangan limbah terpusat di Jabodetabek, pemerintah daerah mengandalkan tangki septik tingkat rumah tangga yang dikombinasikan dengan layanan Pengelolaan Lumpur Tinja (Fecal Sludge Management, FSM) yang ditingkatkan skalanya. Inisiatif-inisiatif semacam ini, walau menjanjikan, tetap tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang lebih luas dari air limbah perkotaan. 122. Sanitasi Inklusif Seluruh Kawasan Perkotaan (CWIS) menawarkan pendekatan untuk membangun dan memaksimalkan kekuatan yang ada, serta mengidentifikasi peluang untuk berkolaborasi dan mendaur ulang air. CWIS adalah pendekatan yang sedang berkembang di Indonesia di antara lembaga-lembaga nasional. Beberapa pemerintah daerah di Jabodetabek, khususnya Kota Bekasi dan Kota Bogor, telah menunjukkan minat yang serius untuk mulai menerapkan prinsip-prinsipnya. CWIS melibatkan pembangunan sistem on-site dan off-site yang ada untuk meningkatkan kapasitas secara keseluruhan, meningkatkan efisiensi, dan secara bertahap mulai memperluas cakupan. Pendekatan ini juga mendorong kolaborasi dan penggunaan kembali air untuk menghasilkan nilai tambah atau pendapatan. Salah satu contoh nyata potensi kolaborasi antar pemerintah adalah memperbesar dan meningkatkan instalasi pengolahan air limbah untuk memaksimalkan efisiensi. Berbagai instansi menyoroti pembebasan lahan sebagai hambatan paling signifikan untuk membangun instalasi pengolahan air limbah atau limbah. Instalasi yang ada sudah berlokasi di perbatasan daerah; dengan pengaturan kerja sama antar daerah untuk meningkatkan fasilitas ini agar mencakup area layanan yang lebih luas, pemerintah daerah dapat menghindari biaya tinggi untuk pengadaan tanah lebih lanjut atau pengaturan pengelolaan yang tumpang tindih. Selanjutnya, bukan hanya instansi pemerintah dan unit teknisnya mulai bereksperimen melakukan penggunaan kembali dan daur ulang air limbah, ada juga peluang untuk bekerja sama dengan kawasan industri untuk melakukan hal yang sama dan membantu mengimbangi biaya pengolahan. 123. Di Manila, sistem gabungan saluran pembuangan-drainase digunakan untuk mengolah limbah dari saluran air sebelum dilepas ke sungai. Hal itu merupakan suatu tindakan sementara yang dapat memberikan manfaat signifikan bagi kualitas air di Jabodetabek. Saluran air sering terkontaminasi tinja dan polutan perkotaan dari pembuangan langsung ke saluran air dan kanal, kebocoran dari tangki septik dan limpasan. Karenanya, saluran seperti ini menjadi vektor penyakit selama periode banjir. Di Manila, kotak pencegat dipasang di sepanjang saluran utama untuk mengarahkan air menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke sungai. Perawatan dilakukan di Olandes Sewage Treatment Plant by Manila Water, yang memiliki IPAL bawah tanah yang dikelilingi oleh ruang rekreasi hijau untuk memaksimalkan penggunaan lahan.27 Inisiatif semacam itu tidak hanya meningkatkan kualitas air tetapi juga memberikan peluang pelengkap untuk memperkenalkan fitur desain perkotaan yang meningkatkan kelayakan huni sepanjang saluran-saluran air. 27 World Bank Water, 2017 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 85 5. Rekomendasi dan kata penutup 86 pathways to integrated urban water management for greater jakarta 5 REKOMENDASI DAN KATA PENUTUP 124. IUWM dapat melengkapi banyak studi, inisiatif, rencana, dan proyek yang sudah ada di berbagai sektor terkait air. Upaya-upaya tersebut akan tetap berperan penting untuk mengatasi masalah multi-dimensi terkait air di Indonesia. Akan tetapi IUWM dapat menawarkan penyempurnaan terhadap program-program yang sudah ada. Selain itu, IUWM juga dapat membantu memicu perubahan sistematis yang akan menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih kuat dan dalam posisi lebih baik untuk mengatasi kerawanan air. 125. Sebagian besar penelitian ini fokus pada pemeriksaan IUWM pada tiga skala yang berbeda. Pertama, mencakup banyak peluang kerja sama antar daerah, yang dapat ditempuh dengan membangun kembali dan menghidupkan kembali otorita daerah Jabodetabek. Dengan mandat, sumber daya, dan legitimasi yang memadai, otorita daerah Jabodetabek dapat membantu memfasilitasi koordinasi vertikal dan horizontal, menetapkan indikator dan sistem benchmark, mengumpulkan dan menganalisis data, meningkatkan dan memaksimalkan pembiayaan, dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan untuk mengembangkan dan mengarusutamakan inovasi. Kedua, melibatkan koordinasi vertikal antara pemerintah daerah, otoritas regional, dan pemerintah pusat. Kemendagri dan lembaga pemerintah pusat lainnya sedang mencari cara untuk mengkatalisasi, memformalkan, dan memudahkan mekanisme koordinasi potensial seputar tema IUWM yang tercantum dalam laporan ini. Ketiga, membahas koordinasi horizontal dalam pemerintah daerah, dan mencari peluang untuk memperkenalkan kolaborasi IUWM lintas sektor, lembaga, dan kelompok pemangku kepentingan. Rekomendasi-rekomendasi berikut mengakui perlunya koordinasi pada ketiga skala ini. 126. Analisis dan temuan di atas mengungkapkan peluang bagi IUWM yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: kerangka pelaksanaan dan intervensi. Tindakan yang berkaitan dengan kerangka pelaksanaan, misalnya, berupa pengembangan peraturan yang diampu oleh pemerintah daerah. Ini memungkinkan pelaksanaan IUWM yang lebih efektif. Sementara tindakan intervensi adalah proyek IUWM itu sendiri. Upaya-upaya yang tidak memerlukan investasi besar dapat dilakukan oleh instansi pemerintah daerah. Rekomendasi-rekomendasi di bawah ini digolongkan ke dalam dua kategori tersebut, dan untuk masing-masing tindakan ditentukan lembaga penanggung jawabnya. 127. Rekomendasi-rekomendasi tersebut juga disusun dalam tahapan dengan kerangka waktu yang berbeda, sesuai tingkat kesiapan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu tindakan, serta syarat-syarat atau komplementaritas antara berbagai tindakan. Intervensi segera dan jangka pendek – seperti peningkatan efisiensi operasional, pengelolaan permintaan, pengelolaan air hujan, serta beberapa perluasan pasokan air Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 87 dan layanan sanitasi – tidak memerlukan investasi besar. Pemerintah daerah dapat mulai menerapkannya dengan sumber daya mereka sendiri, atau menggunakan pembiayaan campuran dalam skema kerja sama dengan sektor swasta. Tindakan-tindakan ini dapat diimplementasikan dalam mandat dan kewenangan yang ada di pemerintah daerah, yang menjadi landasan bagi tindakan di masa depan. Di sisi lain, infrastruktur besar yang membutuhkan belanja modal tinggi – seperti pengembangan sumber air baru atau pasokan air baku, sistem pembuangan limbah skala kota dan instalasi pengolahan air limbah, serta pembangunan tanggul laut dan infrastruktur pengendalian banjir lainnya – mungkin memerlukan dukungan investasi dari pemerintah pusat dan provinsi. Tindakan jangka pendek hingga jangka panjang ini mungkin juga bergantung pada tindakan awal di fase sebelumnya, yang menekankan urgensi tindakan di semua fase. Misalnya, penghentian pengambilan air tanah memerlukan penyediaan sumber air alternatif. Selain itu, beberapa tindakan yang disarankan, seperti Sistem Manajemen Informasi Air (Water Information Management System, WIMS), memerlukan upaya yang terus menerus dipertahankan dan dikembangkan. Linimasa tindakan dan pentahapan yang disarankan untuk implementasi adalah sebagai berikut: • Segera: Dalam satu tahun • Jangka pendek: satu sampai lima tahun • Jangka menengah: lima sampai 10 tahun • Jangka panjang: 10 tahun dan seterusnya 128. Kotak 4 dan 5 menyoroti tindakan prioritas segera untuk masing-masing kerangka pelaksanaan dan intervensi IUWM Jabodetabek. 88 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 129. Rekomendasi komprehensif disajikan dalam peta jalan IUWM untuk Jabodetabek berikut ini. Rekomendasi kerangka implementasi tercantum di tabel 13; rekomendasi intervensi, di tabel 14. Rekomendasi diklasifikasikan ke dalam lima kategori kerangka IUWM yang ditentukan pada bagian 4 (hukum dan peraturan, tata kelola, perencanaan dan pelaksanaan, pengelolaan informasi dan pembiayaan), dan peta jalan rekomendasi juga disubkategorikan menurut enam topik berdasarkan ancaman air yang dihadapi di Jabodetabek: • Meningkatkan dan memperluas layanan penyediaan air dan sanitasi. Saat ini, Jabodetabek memiliki layanan air bersih dan sanitasi yang rendah dan tidak andal (lihat bagian 3.2 dan 3.3). • Meningkatkan manajemen risiko banjir dan kesiapsiagaan masyarakat. Banjir saat ini mempengaruhi sangat banyak orang, menyebabkan banyak kematian dan kerusakan parah (bagian 3.1).. • Mengamankan sumber air dan meningkatkan konservasi air. Jabodetabek menghadapi persoalan tingkat polusi sumber daya air yang tinggi dan meningkatnya permintaan air (bagian 3.4.3). • Meningkatkan pengelolaan air tanah. Tingkat penurunan tanah yang tinggi di Jakarta diperparah oleh pengambilan air tanah dalam (bagian 3.4.1). • “Perencanaan dengan memperhitungkan air” yang memasukkan siklus air sebagai bagian dari peningkatan tata kelola dan pembangunan perkotaan dan regional. Dalam pendekatan “perencanaan dengan air”, pendorong, intervensi, dan dampak terkait air secara sistematis dimasukkan dalam rencana pembangunan perkotaan, rencana risiko bencana, rencana perubahan iklim dan ketahanan, pengelolaan limbah padat, dan rencana transportasi. Hal ini akan memanfaatkan peluang kolaborasi dan koordinasi untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan dan ketahanan air (bagian 3.4). • Keterlibatan pemangku kepentingan dan sektor swasta. Terdapat peluang penting untuk membangun kepercayaan dan berbagi pengetahuan dengan warga setempat, dan untuk memanfaatkan peluang investasi dari sektor swasta. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 89 90 Table 13: Roadmap for Development of Enabling Framework for IUWM in Greater Jakarta Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 91 92 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 93 Tabel 14: Peta Jalan untuk Intervensi IUWM di Jabodetabek 94 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 95 96 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 97 98 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 130. Meskipun sebagian besar aktor utama untuk pelaksanaan kerangka aksi adalah pemerintah pusat, terdapat peluang yang sangat besar untuk pelibatan langsung pemerintah daerah. Misalnya, reformasi BKSP menjadi kepentingan khusus pemerintah daerah di DKI Jakarta. Pengumpulan dan pengelolaan data memerlukan keterlibatan instansi pemerintah daerah, khususnya PDAM dan BPBD. Bappeda berperan aktif dalam menetapkan kerangka pelaksanaan, terutama sebagai lembaga pengampu yang memfasilitasi koordinasi horizontal antar instansi pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, serta menjalankan fungsi koordinasi vertikal dengan pemerintah provinsi dan pusat. 131. Rekomendasi-rekomendasi ini melengkapi investasi skala besar yang ada dan yang sedang berjalan dengan menyempurnakan kerangka pengampu intervensi terukur IUWM yang mendukung pengembangan kelembagaan di tingkat pemerintah daerah. Inisiatif skala besar yang ada meliputi peningkatan pasokan air curah di Jatiluhur, pembangunan Bendungan Karian, sejumlah zona perluasan layanan penyaluran air limbah di DKI Jakarta, upaya penguatan jaringan tanggul laut, dan bendungan pengendali banjir hulu di Ciawi, Bogor. Program infrastruktur besar lainnya yang direncanakan termasuk pasokan air curah dari sistem Juanda, berbagai bagian NCICD, dan pembangunan saluran air limbah di Kota Bekasi dan Kota Bogor. Rekomendasi-rekomendasi menunjukkan bagaimana IUWM membangun komplementaritas untuk pengembangan jangka panjang lembaga yang dapat berkoordinasi, meningkatkan layanan, dan membangun ketahanan lebih baik. 132. Inisiatif tambahan yang menargetkan perbaikan di seluruh siklus pengelolaan air, di mana inisiatif ini hemat biaya dan tidak memerlukan investasi besar; inisiatif-inisiatif ini juga dapat diluncurkan di tingkat pemerintah daerah. Inspirasi dan pelajaran dapat diambil dari kota-kota lain di Indonesia, dan pengetahuan dan teknologi juga dapat dibagikan. Tindakan ini dapat didanai oleh APBD melalui pendanaan berbasis kinerja di bawah kerangka NUWAS, atau melalui kontrak dengan kontraktor swasta. Intervensi ini termasuk: • Penyediaan air bersih: Kurangi NRW Perbaiki manajemen permintaan/konsumsi air • Sanitasi: Tingkatkan pengelolaan lumpur tinja dengan menerapkan layanan penyedotan tangki septik secara teratur atau terjadwal Tegakkan kepatuhan pada standar tangki septik Tingkatkan pemantauan dan pengaturan pengumpulan lumpur Optimalkan pengoperasian saluran pembuangan dan limbah serta instalasi pengolahan lumpur Manfaatkan dan promosikan daur ulang dan penggunaan kembali limbah cair dan lumpur yang diolah Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 99 • Banjir: Tingkatkan pemeliharaan dan rehabilitasi drainase Gunakan bahan yang lebih permeabel untuk jalan, trotoar, dan taman Terapkan dan tegakkan kebijakan zero runoff dan zero water footprint yang meningkatkan proses perizinan dan implementasi pemantauan 133. Prinsip-prinsip mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi sirkular dalam air, efisiensi sumber daya, dan ketahanan terhadap ketidakpastian adalah kunci untuk bergerak menuju ketahanan air yang lebih baik di Jabodetabek. Ini telah tertanam secara strategis di seluruh rekomendasi IUWM. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sebagai tindakan dalam peta jalan, prinsip-prinsip tersebut harus dianggap sebagai konsep perencanaan dan desain lintas sektoral dalam kerangka pelaksanaan dan intervensi terkait. 134. Laporan ini telah menyajikan sederet tantangan yang mengancam tidak hanya ketahanan air di Jabodetabek, tetapi juga keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara umum di wilayah ini. IUWM adalah kerangka adaptif yang tepat untuk menata tindakan dalam lingkungan tata pemerintahan yang menantang ketika berusaha untuk mengatasi berbagai tantangan lintas sektoral yang kompleks. Dengan perkembangan kerangka peraturan nasional yang terus berjalan, khususnya UU Sumber Daya Air 2019 dan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, terdapat momentum dari tingkat pemerintah pusat untuk menerapkan mekanisme kooperatif dan integratif dalam mencapai efisiensi dan ketahanan yang lebih besar di sektor air. Di Jabodetabek, keterlibatan dengan pemerintah daerah untuk studi ini menunjukkan minat dan komitmen untuk mengatasi tantangan air. Hal ini juga menunjukkan peluang kerja sama antar lembaga di tingkat horizontal dan vertikal. Sebagai proses yang berkelanjutan, prinsip-prinsip IUWM dapat disesuaikan dengan konteks tertentu sambil menggabungkan konsep-konsep yang relevan untuk membangun ketahanan terhadap tantangan perkotaan saat ini dan masa depan. 100 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 6. Referensi Referensi “5 Kecanggihan ITF Sunter, Tempat Pengolahan Sampah yang Akan Dimiliki Jakarta.” 2019. Kompas.com, July 4, 2019. https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/04/10540471/5- kecanggihan-itf-sunter-tempat-pengolahan-sampah-yang-akan-dimiliki?page=all. Abidin, H. Z., Heri Andreas, Irwan Gumilar, Yoichi Fukuda, Yusuf E. Pohan, and T. Deguchi. 2011. “Land Subsidence of Jakarta (Indonesia) and Its Relation with Urban Development.” Natural Hazards 59, no. 3 (December 2011): article 1753. https://link.springer.com/article/10.1007/ s11069-011-9866-9. Balai Konservasi Air Tanah (BKAT). 2016. “Kualitas Air Tanah Jakarta Sudah Kritis.” Updated January 7, 2016. http://bkat.geologi.esdm.go.id/website/node/15. Bappenas. 2016. “Roadmap for Updating of NCICD Master Plan and Acceleration of First Stage of Implementation: Updating of National Capital Integrated Coastal Development Master Plan (NCICD) and Acceleration of First Stage of Implementation.” Jakarta: The National Development Planning Agency. Bill & Melinda Gates Foundation, Emory University, Plan International, The University of Leeds, WaterAid, and the World Bank. 2016. “Citywide Inclusive Sanitation: A Call to Action.” Briefing note. Washington, DC: World Bank. BPPSPAM (Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum). 2019. Buku Kinerja BUMD Penyelenggara SPAM 2019. Jakarta: BPPSPAM. http://sim.ciptakarya.pu.go.id/ bppspam/list_category/96. BPS (Badan Pusat Statistik) (Statistics Indonesia). 2010. Sensus Penduduk 2010 (HOUSE 1). SILASTIK – Sistem Informasi Layanan Statistik. https://silastik.bps.go.id/v3/index.php/site/ login/. Budiyono, Yus, Jeroen Aerts, Janjaap Brinkman, Muh Aris Marfai, and Philip Ward. 2015. “Flood Risk Assessment for Delta Mega-Cities: A Case Study of Jakarta.” Natural Hazards 75, no. 1 (January 2015): 389–413. Cameron, Lisa, Claire Chase, Sabrina Haque, George Joseph, Rebekah Pinto, and Qiao Wang. 2021. “Childhood Stunting and Cognitive Effects of Water and Sanitation in Indonesia.” Economics and Human Biology 40 (January 2021): article 100944. doi:10.1016/j.ehb.2020.100944. 102 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Chaussard, Estelle, Falk Amelung, Hasanudin Abidin, and Sang-Hoon Hong. 2013. “Sinking Cities in Indonesia: ALOS PALSAR Detects Rapid Subsidence due to Groundwater and Gas Extraction.” Remote Sensing of Environment 128 (January 2013): 150–161. Damania, Richard, Sébastien Desbureaux, Aude-Sophie Rodella, Jason Russ, and Esha Zaveri. 2019. Quality Unknown: The Invisible Water Crisis. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978- 1-4648-1459-4. DLH (Dinas Lingkungan Hidup) DKI Jakarta. 2020. Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah – Provinsi DKI Jakarta 2020, Buku II. Jakarta: Dinas Lingkungan Hidup. https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/files/Buku_2_DIKPLHD.pdf. Dsikowitzky, L., S. A. van der Wulp, Dwiyitno, F. Ariyani, K. J. Hesse, A. Damar, J. Schwarzbauer. 2018. “Transport of Pollution from the Megacity Jakarta into the Ocean: Insights from Organic Pollutant Mass Fluxes along the Ciliwung River.” Estuarine, Coastal and Shelf Science 215 (December 2018): 219–28. Faisol, Amir. 2020. “Jakarta Hasilkan Sampah 7.600 Ton per Hari, Tahun 2020 Pemprov DKI Targetkan Berkurang 30 Persen.” PikiranRakyat.com, February 22, 2020. https://www. pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01342746/jakarta-hasilkan-sampah-7600-ton-per-hari- tahun-2020-pemprov-dki-targetkan-berkurang-30-persen. Fatubun, Andres. 2019. “Sampah di Kabupaten Bogor Berkurang 364 ton Per Hari.” AyoBogor. com, December 9, 2019. https://www.ayobogor.com/read/2019/12/09/5235/sampah-di- kabupaten-bogor-berkurang-364-ton-per-hari. Fauzan. 2020. “Volume Sampah Meningkat saat PSBB di Kota Tangerang.” Detik News, May 8, 2020. https://news.detik.com/foto-news/d-5006443/volume-sampah-meningkat-saat- psbb-di-kota-tangerang. Firman, Tommy. 2004. “New Town Development in Jakarta Metropolitan Region: A Perspective of Spatial Segregation.” Habitat International 28, no. 3 (September 2004): 349–368. doi:10.1016/ S0197-3975(03)00037-7. Firman, Tommy, Indra M. Surbakti, Ichzar C. Idroes, and Hendricus A. Simarmata. 2011. “Potential Climate-Change Related Vulnerabilities in Jakarta: Challenges and Current Status.” Habitat International 35, no. 2 (April 2011): 372–378. Fuchs, Roland J. 2010. “Cities at Risk: Asia’s Coastal Cities in an Age of Climate Change.” Asia Pacific Issues series, East-West Center, Honolulu, HI. https://scholarspace.manoa.hawaii. edu/handle/10125/17646. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 103 Hahm, Hongjoo, and Micah Fisher. 2011. “Jakarta: Flood-Free? Sustainable Flood Mitigation Measures.” Conference Proceeding, 5th International Conference on Flood Management (ICFM5), Tsukuba, Japan, September 27–29, 2011. IDN Financials. 2020. “Bappenas estimates losses due to Greater Jakarta floods at Rp 5.2 trillion.” IDN Financials, January 2, 2020. https://www.idnfinancials.com/news/31030/bappenas- estimates-losses-jakarta-floods. Ikbal, Muhamad, and Yus Ismail. 2020. “Sekda : Dari 2.000 Ton Sampah Per Hari, Pemkab Bekasi Baru Bisa Angkut 800 Ton.” Kabupaten Bekasi (website), February 11, 2020. http://bekasikab. go.id/berita/2256/sekda--dari-2000-ton-sampah-per-hari-pemkab-bekasi-baru-bisa- angkut-800-ton-. Ikhsan, Afdhalul, and Farid Assifa. 2020. “Sampah di Kabupaten Bogor Capai 2.900 Ton Per Hari Selama PSBB.” Kompas.com, July 16, 2020. https://regional.kompas.com/ read/2020/07/16/06045401/sampah-di-kabupaten-bogor-capai-2900-ton-per-hari- selama-psbb. Jabar, Humas. 2018. “First in Indonesia, TPPAS Lulut Nambo Use MBT Technology.” News Archive, News, Bertia – Official Website of West Java Province. Updated December 21, 2018. https:// www.jabarprov.go.id/En/index.php/news/6998/First_in_Indonesia_TPPAS_Lulut_Nambo_ Use_MBT_Technology. Julianti, Elisa Diana, Tince A. Yovita, Dewi Makassar, Eddy Purwanto, and Basuki Budiman. 2013. “Riset Kesehatan Dasar Dalam Angka Provinsi DKI Jakarta 2013.” Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Ministry of Health. Karmini, Niniek. 2020. “Indonesian Capital Reels from Floods That Leave 47 Dead.” AP News, January 3, 2020. https://apnews.com/article/hypothermia-ap-top-news-indonesia- international-news-jakarta-e81bf2ada5692444362cbcc528a859a2. Kennedy-Walker, Ruth, Nishtha Mehta, Seema Thomas, and Martin Gambrill. 2020. Connecting the Unconnected: Approaches for Getting Households to Connect to Sewerage Networks. Washington, DC: World Bank Group. https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/ handle/10986/34791/154444.pdf. Kooy, Michelle, and Karen Bakker. 2008. “Splintered Networks: The Colonial and Contemporary Waters of Jakarta.” Geoforum 39, no. 6 (November 2008): 1843–1858. doi:10.1016/j. geoforum.2008.07.012. 104 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek KOTAKU. 2017. “Tentang Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).” Kotaku (website). Updated 2017. http://kotaku.pu.go.id/page/6880/tentang-program-kota-tanpa-kumuh-kotaku. KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas). n.d. “Beranda.” KPPIP. Accessed April 28, 2021. https://kppip.go.id/. Mantalean, Vitoria. 2019. “Kota Bekasi, Metropolitan Penyumbang Sampah Sungai Tertinggi di Jabodetabek.” Kompas.com, December 16, 2019. https://megapolitan.kompas.com/ read/2019/12/17/06463871/kota-bekasi-metropolitan-penyumbang-sampah-sungai- tertinggi-di. Mantalean, Vitoria, and Egidius Patnistik. 2019. “Bupati Tangerang Mengaku Kewalahan Kelola Sampah.” Kompas.com, April 10, 2019. https://megapolitan.kompas.com/ read/2019/04/10/21055341/bupati-tangerang-mengaku-kewalahan-kelola-sampah. Maqsudi, Deddy and Jarkasih. 2020. “Perhari, Tangsel Hasilkan 900 Ton Sampah.” Satelit News, February 27, 2020. https://www.satelitnews.id/3871/perhari-tangsel-hasilkan-900-ton- sampah/. Maskur, Muhammad Azil. 2019. “Kebijakan Pengelolaan Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang-Undang Sumber Daya Air.” Jurnal Konstitusi 16, no. 3: 510–531. MOEF (Ministry of Environment and Forestry). 2016. Atlas Status Mutu Air Indonesia 2016. Jakarta: MOEF. https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/248/180205141349Atlas%20Status%20 Mutu%20Air%20Tahun%202016.pdf. MOH (Ministry of Health) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2011. “Sanitasi Total Berbasis Masyarakat - STBM Di Indonesia.” Monitoring Data. Updated 2011. http://monev. stbm.kemkes.go.id/monev/. MOH (Ministry of Health) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2013a. “Riset Kesehatan Dasar Dalam Angka Provinsi Jawa Barat 2013.” Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Health Research and Development Agency), MOH. MOH (Ministry of Health) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2013b. “Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten Dalam Angka 2013.” Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Health Research and Development Agency), MOH. MOH (Ministry of Health) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta: MOH. https://www.kemkes.go.id/folder/view/01/structure- publikasi-pusdatin-profil-kesehatan.html. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 105 Nurdiansyah, Rusdy, and Friska Yolandha. 2020. “Volume Sampah Di Depok Meningkat.” Republika, April 13, 2020. https://republika.co.id/berita/q8priw370/volume-sampah-di- depok-meningkat. Panduwinata, Andika. 2020. “Dianggap Sudah Tak Layak Pemkab Tangerang Ingin Rombak TPA Jatiwaringin.” Wartakotalive.com, October 14, 2020. https://wartakota.tribunnews. com/2020/10/14/dianggap-sudah-tak-layak-pemkab-tangerang-ingin-rombak-tpa- jatiwaringin. Rah, Jee H., Sri Sukotjo, Nina Badgaiyan, Aidan A. Cronin, and Harriet Torlesse. 2020. “Improved Sanitation Is Associated with Reduced Child Stunting amongst Indonesian Children under 3 Years of Age.” Maternal & Child Nutrition 16, supplement 2 (October): article e12741. doi:10.1111/mcn.12741. Rajaguguk, Kisar. 2019. “Produksi Sampah Kota Depok Naik 500 Ton per Hari.” Media Indonesia, February 10, 2019. https://mediaindonesia.com/megapolitan/216035/produksi-sampah- kota-depok-naik-500-ton-per-hari. Riani, Etty, Muhammad Reza Cordova, and Zainal Arifin. 2018. “Heavy Metal Pollution and Its Relation to the Malformation of Green Mussels Cultured in Muara Kamal Waters, Jakarta Bay, Indonesia.” Marine Pollution Bulletin 133 (August 2018): 664–670. doi:10.1016/j. marpolbul.2018.06.029. MOH (Ministry of Health) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). 2013. RISKESDAS (Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar) by province. Jakarta: MOH. Rodriguez, U-Primo, Guy Hutton, Maraita Listyasari, Freya Mills, and Sani Prawirakoesoema. 2016. “Poor Sanitation Costs Jakarta About IDR 16.2 Trillion (USD 1.4 Billion) Per Year: The Economic Impacts of Sanitation in Jakarta.” Water and Sanitation Program. Jakarta: World Bank. Rukmana, Deden, and Galuh Syahbana Indraprahasta. 2020. “Participatory Governance in Mitigating Annual Floods in Jakarta.” In The Routledge Handbook of Planning Megacities in the Global South, edited by Deden Rukmana, 317–326. Satterthwaite, David, Victoria A. Beard, Diana Mitlin, and Jillian Du. 2019. “Untreated and Unsafe: Solving the Urban Sanitation Crisis in the Global South.” Working paper, World Resources Institute, Washington, DC. https://files.wri.org/s3fs-public/untreated-and-unsafe.pdf. 106 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Saudale, Vento. 2020. “PSBB, Volume Sampah Di Kota Bogor Berkurang.” Berita Satu, May 28, 2020. https://www.beritasatu.com/megapolitan/638191/psbb-volume-sampah-di-kota- bogor-berkurang. “Separuh Lebih Sampah Kabupaten Bekasi tak Terangkut.” 2019. Republika, August 2, 2019. https://nasional.republika.co.id/berita/pvlulu377/nasional/jabodetabek-nasional/19/08/01/ pvjuk7368-separuh-lebih-sampah-kabupaten-bekasi-tak-terangkut. Septalisma, Bisma. 2019. “FOTO: Gunungan Sampah Di TPA Rawa Kucing Tangerang. ”CNN Indonesia, October 16, 2019. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191016093933-22-439912/ foto-gunungan-sampah-di-tpa-rawa-kucing-tangerang. “Setiap Hari, 1.400 Ton Sampah Tak Terangkut.” 2021. RADARBEKASI.ID, January 21, 2021. https:// radarbekasi.id/2021/01/21/setiap-hari-1-400-ton-sampah-tak-terangkut/. Silver, Christopher. 2008. Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century. Oxford, UK, and New York, NY: Routledge. Sri Anindiati Nursastri. 2019. “Jakarta Hasilkan 7.700 Ton Sampah per Hari.” Kompas.com, November 1, 2019. https://sains.kompas.com/read/2019/11/01/190700323/jakarta-hasilkan- 7.700-ton-sampah-per-hari. Takagi, Hiroshi, Miguel Esteban, Takahito Mikami, and Daisuke Fujii. 2016. “Projection of Coastal Floods in 2050 Jakarta.” Urban Climate 17 (September): 135–145. doi:10.1016/j. uclim.2016.05.003. UN-Habitat (United Nations Human Settlements Programme). 2020. World Cities Report 2020: The Value of Sustainable Urbanization. Nairobi: UN-Habitat. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) 2019. Water, Megacities and Global Change: Portraits of 16 Emblematic Cities of the World. 2nd ed. Paris: UNESCO. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000367866?posInSet%26=3%26queryId%26=dd ec32dc-6796-443a-ab82-a1db8eb697ed. IWA (International Water Association). 2018. Wastewater Report 2018: The Reuse Opportunity. London: International Water Association. https://www.iwa-network.org/wp-content/ uploads/2018/02/OFID-Wastewater-report-2018.pdf. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 107 Water Partnership Program. 2016. Mainstreaming Water Resources Management in Urban Projects: Taking an Integrated Urban Water Management Approach. Washington, DC: World Bank. Wiratama, Syailendra Hafiz. 2019. “Bantargebang Menunggu Tumbang.” Detik News, November 20, 2019. https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20191120/Bantargebang-Menunggu- Tumbang/. World Bank. 2006. Indonesia: Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor. Jakarta: World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/19472. World Bank. 2011. Jakarta Urgent Flood Mitigation Project: Project Appraisal Document. Washington, DC: World Bank. World Bank. 2015. East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a Decade of Spatial Growth. Urban Development series. Washington, DC: World Bank. World Bank. 2016a. Indonesia’s Urban Story. Washington, DC: World Bank. World Bank. 2016b. Mainstreaming Water Resources Management in Urban Projects: Taking an Integrated Urban Water Management Approach. Washington, DC: World Bank. World Bank. 2018. “Baseline Analysis of Urban Flood Risk in Indonesian Cities: Case Study Reviews and High-Priority Investment Gaps in Ambon, Bima, Manado, Padang, and Pontianak.” Swiss Confederation, Bappenas, and the World Bank. Unpublished report. World Bank. 2019a. “Recommendations for Conceptual Framework of National Program: Investment Funding Mechanisms and Institutional Set-up Options.” Bappenas, Swiss Confederation, and the World Bank. Unpublished report. World Bank. 2019b. Jakarta Urgent Flood Mitigation Project: Implementation Completion Report. Washington, DC: World Bank. World Bank. 2020. “Chapter 12: Water Supply and Sanitation.” In Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results. Washington, DC: World Bank. World Bank. Forthcoming. Indonesia Vision 2045: Toward Water Security. Washington, DC: World Bank. 108 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek World Bank. Forthcoming. “WICER – Water in Circular Economy and Resilience: The Cases of Tugu Tirta and Adhya Tirta Batam, Indonesia.” World Bank Water. 2017. “Citywide Inclusive Sanitation: Manila, Philippines.” World Bank. August 25, 2017. YouTube video, 8:13. https://www.youtube.com/watch?v=G9QvXxUh73o. “Yang Mengintai di Bantargebang: Bencana dan Penyakit.” 2017. Kumparan News, September 28, 2017. https://kumparan.com/kumparannews/yang-mengintai-di-bantargebang-bencana- dan-penyakit. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 109 7. Lampiran 110 pathways to integrated urban water management for greater jakarta LAMPIRAN 1: DAFTAR REKANAN STUDI IUWM JABODETABEK Pemerintah Pusat Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 111 Pemerintah Daerah 112 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 113 114 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek LAMPIRAN 2: PENGUMPULAN DATA UNTUK BANJIR Tabel berikut menggambarkan data yang tersedia dari BPBD pemerintah daerah tentang banjir. Sel berwarna hijau mengacu pada data lengkap, sedangkan data berlabel “hanya peristiwa” menggambarkan peristiwa banjir tetapi tidak memberikan informasi jumlah rumah tangga yang terkena dampak atau penyebab banjir. Terakhir, kotak yang berwarna krem menunjukkan ketersediaan data hanya sampai tingkat kecamatan, tanpa data di tingkat kelurahan atau desa. Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 115 LAMPIRAN 3: MASALAH PENGELOLAAN SAMPAH DI JABODETABEK Sistem pengelolaan sampah di Jabodetabek mengirimkan sampah melalui beberapa tingkat pengolahan di lokasi yang berbeda sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir. Dump truck mengumpulkan dan mengangkut sampah dari sumbernya ke beberapa tempat pengolahan tingkat masyarakat sebelum dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tempat pengolahan pertama adalah tempat penampungan sementara (TPS). Sampah dipilah ke dalam empat tempat sampah: organik, non-organik (plastik dan kaca), kertas, dan limbah berbahaya. Tempat pengolahan selanjutnya adalah TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle), di mana sampah yang dapat didaur ulang dipilah dan diolah untuk mengurangi jumlah sampah di tempat pembuangan akhir. TPS 3R berisi sistem pemilahan lanjutan, pengomposan sampah organik, dan/atau teknologi produksi biogas. Pengolahan sampah tingkat berikutnya terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), yang selanjutnya memilah sampah yang dapat didaur ulang dan mengolah sampah sisa untuk mengurangi volumenya dan memastikan dapat dikubur dengan aman di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPS dan TPS 3R biasanya merupakan fasilitas umum skala kecil, sedangkan TPST dapat bersifat komunal atau terintegrasi dengan TPA, seperti di Bantargebang. Gambar A di bawah ini menunjukkan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Jabodetabek. Namun, volume besar dan pembuangan yang tidak tepat mengakibatkan limbah yang tidak diolah sebagian besar tetap tidak terpilah dan menumpuk di tempat pembuangan sampah, dengan lindi yang mencemari sistem air. Semua TPA di Jabodetabek telah melebihi kapasitasnya, yang menyebabkan tumpukan sampah yang tidak terpilah dan tidak diolah serta lindi yang mencemari sumber daya tanah dan air. Meskipun masih ada lahan yang tersedia di dalam lokasi TPA, jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari melebihi jumlah sampah padat yang dapat diolah setiap hari oleh instalasi pengolahan sampah. Hal ini menyebabkan terjadinya open dumping dan tumpukan sampah setinggi lebih dari 10 meter di tempat pembuangan akhir di Jabodetabek. Ada juga ancaman limbah padat yang tumpah ke badan air, karena beberapa lokasi TPA terletak di dekat sungai. TPA Bantargebang di Kota Bekasi, yang berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah padat dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi, adalah TPA terbesar di Indonesia dengan luas 110 hektar, dan sangat terkenal dengan tumpukan sampah hingga setinggi 40 meter, dengan bau yang mencapai beberapa kilometer dari lokasi (Wiratama 2019). 116 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek Gambar A: Lokasi TPA di Jabodetabek Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek 117 Pengelolaan sampah padat yang buruk menimbulkan risiko di lokasi TPA dan masyarakat sekitar. Misalnya, pencemaran air tanah adalah masalah utama yang dihadapi oleh rumah tangga yang berlokasi dekat dengan TPA Bantargebang, yang menghindari penggunaan air tanah sebagai sumber air minum (“Yang Mengintai di Bantargebang” 2017). Cuaca panas dan rokok yang tidak dipadamkan dengan baik juga dapat menyebabkan gunungan sampah menjadi kebakaran besar. Asap dari kebakaran menyebabkan masalah pernapasan di masyarakat sekitar dan kemungkinan mengandung bahan kimia berbahaya. “Longsoran” TPA juga menjadi ancaman – terutama bagi pemulung yang mengais mata pencaharian mereka di lokasi, karena beberapa kilogram sampah padat dapat menumpuk dan mengubur mereka, menyebabkan cedera dan kematian. Salah satu keterbatasan pengelolaan sampah di Jabodetabek adalah kurangnya jumlah dump truck (“Separuh Lebih” 2019). Dengan demikian, tidak semua sampah padat berakhir di tempat pembuangan akhir. Di beberapa rumah tangga, limbah padat dibakar dan dikubur di sekitarnya. Beberapa diproses oleh perusahaan swasta (misalnya, di Tangerang Selatan), diambil oleh Bank Sampah (sistem bagi rumah tangga untuk menukar sampah kering, sampah yang dapat didaur ulang dengan uang tunai), atau didaur ulang. Sejumlah besar diyakini berakhir di lingkungan sekitar. Untuk mengatasi beberapa masalah ini, upaya lokal dan lintas batas sedang diupayakan. TPA regional di Kabupaten Bogor, Lulut-Nambo, sedang dibangun dan direncanakan mulai beroperasi pada 2022. Dengan kapasitas pengolahan sampah padat hingga 1.800 ton per hari, TPA ini direncanakan melayani Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok , dan Kota Tangerang Selatan (Jabar 2018). Di DKI Jakarta, rencana sedang dilakukan untuk membangun Intermediate Treatment Facility (ITF), yakni pabrik pembakaran sampah menjadi energi yang berlokasi di Sunter di DKI Jakarta. ITF Sunter direncanakan beroperasi pada 2022 dengan kapasitas pengolahan 2.200 ton sampah per hari (“5 Kecanggihan ITF Sunter” 2019). Di tingkat kabupaten/kota, pemerintah daerah berencana menambah jumlah dump truck, memperbanyak daur ulang, dan mengedukasi masyarakat tentang pengurangan sampah dan konsumsi. 118 Menuju Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu untuk Jabodetabek pathways to integrated urban water management for greater jakarta 119