Indonesia Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia Ringkasan Utama *~~... ............e 5 S 9MTF KmNe _E N. BA DCA NCPAIYTUSEUROPEAN UNION THEWORLDBANK KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia, Menara II/Lantal 12-13. JI. Jend, Sudirman Kay. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111 Dicetak Maret 2013 Belanja lebih banyakatau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia disusun oleh staf Bank Dunia. Segala temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dipaparkan dalam dokumen ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia ataupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data dalam dokumen ini, Gars perbatasan, warna, denominasi dan informasi lainnya pada peta, jika ada, dalam dokumen ini tidak menyiratkan pendapat ataupun penilaian Bank Dunia atas status hukum suatu daerah atau teritori, dan juga tidak menyiratkan pengakuan Bank Dunia atas garis-garis perbatasan tersebut. Foto Sampul Depan Dari Kiri Ke Kanan: Bank Dunia, Ratna Kesuma dan Bank Dunia Nomor Laporan. 73358-ID Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia Ringkasan Utama Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) E Daftar Isi 1. Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" 6 Siapa yang mengelola serta apa dan siapa yang membayar untuk apa dalam sistem pendidikan terdesentralisasi di Indonesia? 7 Kelemahan aturan 20 persen: perencanaan dan manajemen anggaran 9 Ke mana sumber daya itu dialokasikan? 10 2. Pengaruh peningkatan belanjaterhadaphasil-hasil pendidikan 16 Menjelaskan dampakterbatas peningkatan belanja pada hasil-hasil pendidikan dasar 19 3. Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar 27 Daftar Pustaka 38 2 Gambar 1: Belanja Pemerintah untuk Pendidikan, 2001-2010 4 Gambar 2: Persentase partisipasi siswa sesuai jenis penyelenggara layanan dan tingkatan, 2010 6 Gambar 3: Belanja pemerintah untuk pendidikan sebagai bagian dari jumlah belanja pemerintah dan bagian dari PDB dan PDB per kapita, sejumlah negara terpilih tahun 2009 10 Gambar 5: Perubahan dalam sumber daya berdasarkan golongan ekonomi dalam tingkat pendidikan, 2008-2009 13 Gambar 6: Persentase anggaran per program utama, 2006-2009 13 Gambar 7: Belanja kabupaten/kota menurut golongan ekonomi, 2001-2009 14 Gambar 8: Anggaran pemerintah pusat untuk BSM (Beasiswa Siswa Miskin), tahun 2008-2010 14 Gambar 9: Distribusi dana pendidikan menurut penerima langsung, 2009 15 Gambar 10: Angka Partisipasi Kasar dan Partisipasi Murni perTingkatan tahun 2001-2009, dan perbandingan internasional tahun 2009 16 Gambar 11: Persentase anak yang bersekolah per umur dan kuintil, tahun 2006 dan 2010 17 Gambar 12: Hasil PISA dalam membaca dan matematika, 2009 18 Gambar 13: Skor PISA Indonesia dalam mata pelajaran matematika, membaca, menurut desil sosial-ekonomi, tahun 2003-2009 19 Gambar 14: Pertumbuhanjumlah murid dan jumlah guru per jenjang pendidikan dan rasio murid-guru, tahun 2004-2010 20 Gambar 15: Evolusi jumlah guru pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS per jenjang pendidikan, 2006-2010 20 Gambar 16: Rasio murid-guru, belanja per siswa dan nilai ujianbBahasa Indonesia pada sekolah dasar umum 21 Gambar 17: Perubahan dalam belanja pendidikan pemerintah dan perubahan hasil-hasil pendidikan pada tingkat daerah22 Gambar 18: Porsi anggaran pendidikan yang dibelanjakan untuk gaji, negara terpilih 23 Gambar 19: Distribusi upah rl bagi guru, tahun 2010 23 Gambar 20: Dampak kausal dari sertifikasi guru terhadap serangkaian variabel hasil-hasil pendidikan 25 Gambar 21: Dampak anggaran dari program sertifik 26 Gambar 23: Jumlah bantuan per siswa menurut sumber penerimaan pada tingkat sekolah, tahun 2010 32 Gambar 24: Siswa sekolah dasar penerima BOSDA berprestasi lebih baik (bahkan setelah menghilangkan faktor-faktor lain) 33 Gambar 25: Pendapatan sekolah per siswa dan porsi belanja menurut kategori untuk sekolah penerima BOSDA dan bukan penerima BOSDA, tahun 2010 33 Illustrasi 1: Manajemen pendidikan terdesentralisasi menurut tingkat pendidikan 8 Tabel 1: Karakteristik guru menurut lokasi, tahun 2010 28 Tabel 2: Peraturan kepegawaian guru terbar 29 Kotak 1: Program rintisan/uji coba peningkatan BOSD 34 3l Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Hanya sedikit negara di dunia yang telah meningkatkan belanja pemerintah untuk pendidikan sebesar lebih dari 60 persen secara riil dalam kurun waktu lima tahun, seperti yang telah dilakukan Indonesia antara tahun 2005 dan 2009. Selama periode tersebut, alokasi belanja pemerintah yang dimandatkan secara konstitusional untuk pendidikan sebesar (tidak kurang dari) 20 persen (selanjutnya disebut "aturan 20 persen") telah ditetapkan dan dilaksanakan. Aturan tersebut mendorong peningkatan sumberdaya untuk pendidikan yang sangat besar, dan menjadikannya pendidikan sebagai belanja pemerintah terbesar kedua setelah subsidi bahan bakar.' Pesatnya dan besarnya peningkatan sumber daya, kebutuhan untuk mengevaluasi pengalokasiannya serta apakah sumber daya tersebut memberikan hasil-hasil pendidikan yang lebih baik, merupakan motivasi yang mendorong penyusunan laporan ini. Tingginya peningkatan belanja tersebut telah mengatasi salah satu masalah utama dalam Kajian Pengeluaran Publik untuk Pendidikan (Education Public Expenditure Review/PER)I - yaitu kurangnya sumber daya bagi pendidikan - tetapi masalah-masalah yang berkaitan dengan distribusi sumber daya masih tetap ada. Akibatnya, kebutuhan untuk memperbaiki kualitas belanja pada sektor pendidikan saat ini sangat mendesak. Laporan ini menekankan pada bagaimana perubahan dalam sistem tata kelola dan pendanaan dapat meningkatkan kesetaraan akses terhadap pendidikan dan kualitas pendidikan, serta memberikan usulan untuk memperbaiki belanja pemerintah. Dengan menganalisis konsekuensi yang dihasilkan dari aturan 20 persen tersebut, laporan ini menguraikan pengalokasian sumber daya tambahan tersebut dan menyoroti tantangan-tantangan utama pada sektor pendidikan - melanjutkan peningkatan akses, terutama bagi kaum miskin, dan meningkatkan kualitas - serta secara khusus menyoroti pengaruh sistem pendanaan dan tata kelola yang berlaku saat ini terhadap faktor-faktor tersebut. Gambar 1: Belanja Pemerintah untuk Pendidikan, 2001-2010 Rp Tr Persen 350 25 21.9 21.1 300 20 250 15.9 16.3.. 15.0 14.4 14.5 200 -.-.15 11.4 150 10 100 5 o 0 0 2001 2002 2003 2004 2006 2007 2009 2010 Rumah Tangga Publik % Belanja Pemerintah % GIDP (Publik) - .% GDP (Total) Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Kemenkeu, APBD dan BPS. Catatan: Data realisasi belanja tidak tersedia setelah tahun 2009 karena data realisasi pemerintah daerah sejak tahun tu tidak tersedia. Rencana belanja pendidikan mencerminkan perhitungan anggaran termasuk bantuan pemerintah pusat dan daerah di dalam APBN-P 1 Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia, Bank Dunia (2012a) 2 Bank Dunia (2007) Investing in Indonesio's Education, Allocation, Equity and Efficiency of Public Expenditures 4 Laporan ini disusun sebagai berikut: tiga bagian pertama menunjukkan bahwa peningkatan besar dalam sumber daya pendidikan telah diikuti dengan penurunan hasil-hasil pembelajaran, sekaligus menekankan pentingnya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas belanja yang sangat mendesak. Bagian I diawali dengan uraian singkat tentang rumitnya sistem pembiayaan dan tata kelola pendidikan menyoroti aturan 20 persen dengan menganalisis konsekuensinya bagi perencanaan dan pengelolaan anggaran serta mencermati pengalokasian sumber daya setelah mengalami peningkatan yang sangat besar. Bagian 2 memaparkan hasil-hasil pendidikan, meninjau peningkatan yang signifikan dalam akses dan kesetaraan, serta tren hasil-hasil pembelajaran yang mencemaskan. Bagian ini menunjuk pada peningkatan kualitas pendidikan dan akses terhadap pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (terutama bagi kaum miskin) sebagai tantangan utama pada sektor pendidikan. Bagian 3 membagi masalah belanja menjadi dua bidang: i) menggeser atau meningkatkan kualitas program-program pada tingkat pusat, dan ii) memperbaiki manajemen pada tingkat daerah atau sekolah. Pada tingkat nasional, laporan ini menganalisis Beasiswa Siswa Miskin (BSM) dan mengusulkan peningkatan dan penegembangannya. Pada tingkat daerah, laporan ini menelaah bagaimana kombinasi manajemen guru yang lebih efisien dan dukungan yang lebih besar bagi sekolah dapat meningkatkan efisiensi dan hasil-hasil pembelajaran. Di samping itu juga membahas peran pemerintah pusat dalam memastikan agar peningkatan tersebut terjadi. Selanjutnya, bagian akhir menyimpulkan dan meringkas rekomendasi-rekomendasi yang telah disampaikan pada bagian-bagian sebelumnya. 5 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) 1. Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem yang sangat besar dan sangat terdesentralisasi, dengan lebih dari 500 pemerintah daerah memiliki peran besar dalam pengelolaannya3. Hal ini termasuk pengelolaan aset-aset penting dalam sistem tersebut, yaitu 59 juta pelajar, 330.000 sekolah dan hampir 3 juta guru.4Walaupun banyak kementerian mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan dalam anggaran mereka,l Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan mengelola sistem pendidikan. Di bawah kedua kementerian tersebut, penyelenggaraan pendidikan oleh sektor swasta dan pemerintah berjalan berdampingan, dengan dukungan pemerintah dalam bentuk penyediaan guru PNS (untuk setiap jenjang pendidikan) dan hibah sekolah (untuk jenjang pendidikan dasar). Pendidikan dasar selama sembilan tahun (sekolah dasar dan menengah pertama) bersifat wajib dan menerima subsidi yang besar, namun rumah tangga memberikan kontribusi besar untuk jenjang pendidikan menengah atas dan sangat besar untuk jenjang pendidikan tinggi. Hal ini sebagian disebabkan oleh terbatasnya dukungan untuk kedua jenjang pendidikan tersebut. Sekolah umum di bawah Kemendikbud pada umumnya menyelenggarakan layanan pendidikan dasar, sedangkan sekolah swasta lebih banyak menyelenggarakan layanan pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi (Gambar 2). Gambar 2: Persentase partisipasi siswa sesuai jenis penyelenggara layanan dan tingkatan, 2010 PendidikanTinggi 62 Sekolah Umum di bawah Kemendikbud Pendidikan Menengah Atas 3 2 Sekolah Umum di bawah Kemenag Pendidikan Menengah Pertama * N Sekolah Umum Lainnya Pendidikan Dasar * Sekolah Swasta 0% 50% 100% Sumber: SUSENAS 2010. 3 Untuk melihat uraian yang lebih rinci tentang sistem pendidikan, lihat Cerdan-Infantes, P, and Y. Makarova. 2013. Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia. Jakarta: Bank Dunia. 4 Jumlah pelajar dan sekolah mencakup semua jenjang pendidikan (dari pendikan anak usia dini/PAUD sampai pendidikan tinggi), baik negeri maupun swasta. Jumlah guru mencakup guru dari jenjang PAUD hingga jenjang pendidikan menengah atas, termasuk sekolah kebutuhan khusus, pegawai negeri dan bukan pegawai negeri, permanen maupun kontrak (Kemendikbud, 2010 dan NUPTK, 2011). 5 Kementerian Keuangan, Pertanian, Industri, Energi dan Sumber Daya Mineral, Perhubungan, Kesehatan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemuda dan Olahraga, Pertahanan, dan Tenaga Kerja dan Transmigras, Badan Pertanahan nasional, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Perpustakaan Nasjonal, dan Kementerian Kop- erasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 6 Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Kerumitan kelembagaan dalam sistem pendidikan disertai dengan kerumitan dalam mekanisme pendanaan. Walaupun terdapat upaya-upaya untuk menyederhanakan anggaran sekolah dengan memberikan bantuan operasional sekolah (BOS) berdasarkan jumlah murid bagi seluruh sekolah di Indonesia (BOS), sekolah masih menerima dana dari berbagai sumber anggaran: sejumlah dana berasal dari pemerintah pusat, sebagian dari pemerintah daerah6 (terutama pemerintah kabupaten/kota). Hal ini menambah rumitnya perencanaan sekolah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga menerima dana dari mekanisme hibah yang berbeda, masing-masing dengan insentif khusus yang berkaitan. Sementara itu, sistem pendidikan tinggi tersentralisasi dan dukungan hanya diberikan terbatas pada universitas-universitas negeri, kecuali dosen pegawai negeri yang ditugaskan di universitas swasta. "Aturan 20 persen,'amandemen UUD tahun 2002 yang menetapkan setidaknya 20 persen dari jumlah anggaran negara harus dialokasikan untuk pendidikan, semakin memperumit masalah pendanaan dan manajemen. Anggaran pemerintah pusat maupun daerah harus tunduk kepada aturan tersebut. Aturan yang kaku ini menciptakan distorsi yang signifikan dalam pengambilan keputusan, seperti diuraikan di bawah ini. Siapa yang mengelola serta apa dan siapa yang membayar untuk apa dalam sistem pendidikan terdesentralisasi di Indonesia? Sejak Undang-Undang Otonomi Daerah disahkan pada tahun 2001, pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab atas pengelolaan dua aset utama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah: sekolah dan guru. Sekolah memiliki kewenangan besar dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasional, anggaran dan program. Pemerintah pusat menyusun kebijakan, menerbitkan peraturan/ pedoman dan standar pada tingkat nasional, dan masih mengendalikan pendidikan tinggi secara langsung. Secara hukum, sekolah dasar dan menengah dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada kenyataannya, dalam hal anggaran, status hukum sekolah sama dengan status kantor dinas pemerintah kabupaten/kota. Demikian pula guru-guru PNS secara hukum adalah pegawai pemerintah kabupaten/kota, walaupun proses penerimaannya, seperti pegawai negeri lainnya, bergantung kepada sejumlah kementerian di tingkat pusat: Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Dalam Negeri (Kemendag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN). Bahkan guru kontrak pada umumnya adalah pegawai pemerintah daerah, walaupun beberapa direkrut langsung oleh sekolah. Dalam mengelola guru dan sekolah, struktur manajemen Kemenag berbeda dengan struktur di Kemendikbud, karena masih menggunakan sistem tersentralisasi untuk sekolah umum yang dikelolanya dan guru PNS, serta lebih bergantung kepada dana swasta. Pemerintah provinsi hanya memiliki kewenangan terbatas terhadap sekolah, umumnya hanya mengkoordinasi kabupaten/kota pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk dalam hal pengembangan pegawai dan pengadaan fasilitas pendidikan. 6 Pada laporan ini, istilah "Pemerintah Daerah"dan "Pemerintah Setempat"adalah istilah yang digunakan bagi"Pemerintah Provinsi"dan "Pemerintah Kabupaten/Kota" Hingga bulan November 2012, Indonesia terdiri dari 34 Pemerintah Provinsi. Satu provinsi terdiri dari sejumlah kabupaten/ota. 7 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) liustrasi 1: Manajemen pendidikan terdesentralisasi menurut tingkat pendidikan Kebijakan Hiki aa Pengemn- Nasional, iga bangan Lavanan Standa dan padisi Tur gul at Pendidikan EMEE n PUSAT Pendidikan Usia PON Dini DiniMEN KA BUPAT EN/KOTA PUSAT Pendidikan PROVINSI Dasar IKA BUPAT EN/KOTA MENE mo I PUSAT Pendidikan MenengahEEPONS Men.gah ne KABUPATEN/KOTA ømmeEENEMMMMMMMMPUSAT Pendidikan Tinggi KABUIPATEN/KOTA Sumber: penjelasan UU 20/2003, King dkk. (2004) dan PP 38/2007 Catoran: Tanggung jawab pembiayaan dalam Tabel mencerminkan tanggung jawab utama menurut program pendidikan yang diberikan kepada tingkat pemerintahan tertentu. Namun, sebagian pendanaan pada sejumlah program ditanggung bersama oleh tingkatan pemerintahan yang berbeda: di samping pendidikan tinggi, pemerintah pusat memberikan pendanaan kepada program-program pendidikan lainnya, termasuk pendanaan rehabilitasi sekolah, pembiayaan bea siswa, dan hingga tahun 2011 pemerintah juga mengatur Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pemerintah provinsi juga memberikan sebagian bantuan keuangan pada pendidikan menengah atas dan sekolah luar biasa. Sistem pembiayaan sektor pendidikan juga rumit, karena melibatkan berbagai sumber dan dana antar berbagai tingkatan pemerintahan. Belanja pendidikan ditanggung oleh dana pemerintah pusat, dana bantuan untuk pemerintah daerah, pendapatan asli daerah, dan belanja pemerintah pusat pada tingkat daerah yang tidak tercatat dalam anggaran pemerintah daerah. Bantuan pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan utama bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besarnya dana bantuan pemerintah pusat mencapai 88 persen dari anggaran kabupaten/kota dan 44 persen dari anggaran provinsi pada tahun 2009. Dana bantuan utama untuk pemerintah daerah berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU), yang sebagian besar ditujukan untuk membayar gaji pegawai pemerintah daerah, termasuk guru-guru pegawai negeri sipil (PNS). Besarnya DAU mencapai 60 persen dari anggaran kabupaten/kota dan 20 persen dari anggaran provinsi pada tahun 2009.7 DAU, yang sebagian besar dihitung berdasarkan biaya untuk membayar gaji pegawai negeri sipil di kabupaten/kota atau provinsi, secara implisit mendorong penerimaan pegawai negeri sipil baru.? Bantuan dana untuk alokasi tertentu, yang disebut Dana Alokasi Khusus (DAK), juga ditetapkan setiap tahun tanpa formula khusus, dan sebagian besar ditujukan untuk perbaikan sekolah dan ruang kelas. Walaupun jumlahnya relatif kecil - sekitar 8 persen dari penerimaan kabupaten/kota dan I persen dari penerimaan provinsi pada tahun 2009 - DAK merupakan mekanisme pendanaan yang penting bagi proyek-proyek peningkatan sekolah. 7 Pendapatan daerah termasuk dana Dekonsentrasi (Dekon)/Tugas Pembantu (TP) ke tingkat daerah tetapi tercatat pada anggaran pemerintah pusat. 8 Hingga 2008, DAU mencakup 100 persen gaji pegawai negeri (pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota). DAU diturunkan menjadi 89 dan 87 persen bagi provinsi dan kabupaten/kota, dan semakin diturunkan menjadi 80 dan 72 persen pada tahun 2009. 8 Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Kelemahan aturan 20 persen: perencanaan dan manajemen anggaran Mengelola sistem yang sedemikian besar dan rumit tentu merupakan suatu tantangan, dan besarnya peningkatan sumber daya memberikan peluang yang baik untuk menguji insentif yang disertakan dalam pengelolaan dan pendanaan sistem tersebut. Hal lain yang menambah kerumitan pengelolaannya adalah alokasi khusus yang ditetapkan dalam aturan 20 persen tersebut menyebabkan sejumlah insentif yang keliru di dalam sistem. Penetapan khusus merintangi kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien melintasi sektor-sektor. Penetapan itu juga membuat anggaran pendidikan menjadi sulit diperkirakan, terutama karena juga berlaku untuk anggaran perubahan. Volatilitas dalam anggaran negara (terutama karena tingginya volatilitas harga bahan bakar, yang merupakan mata anggaran terbesar Pemerintah Indonesia) secara otomatis juga mendorong volatilitas dalam anggaran pendidikan, yang memperumit dan menghalangi perencanaan jangka panjang. Kenyataan bahwa aturan itu juga berlaku terhadap anggaran perubahan semakin memperumit masalah, menghasilkan dana yang tidak terduga (windfall) di tengah-tengah tahun fiskal yang harus dihabiskan dalam waktu singkat. Ukuran dana windfall itu dapat sangat besar, kadang- kadang bahkan melampaui ukuran beberapa program-program utama pemerintah, seperti BOS. Karena windfall ini seringkali timbul menjelang akhir proses anggaran, dana tersebut berisiko untuk dimanfaatkan secara kurang baik, karena waktu perencanaan yang pendek berakibat pada pelaksanaan program yang terburu-buru. Hal yang juga tidakjelas adalah apakah akibat yang akan ditimbulkan oleh penurunan anggaran yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga minyak. Untuk mengatasi masalah-masalah dalam rencana anggaran pendidikan karena "windfall" Pemerintah Indonesia menetapkan "Dana Pengembangan Pendidikan Nasional"pada tahun 2010. Penetapan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional ini adalah langkah positif untuk perencanaan kontingensi, tetapi porsi dana windfall yang terserap relatif kecil dan bervariasi dari tahun ke tahun. Alokasi windfall ini dijelaskan secara rinci pada tahun 2010. Namun sejak tahun 2011, informasi tentang perubahan anggaran dan windfall sangatlah terbatas. Pada tahun 2010, yang merupakan tahun pertama sektor pendidikan menerima windfallyang signifikan, Kemendikbud dan Kemenag memberikan rencana anggaran terperinci yang menguraikan alokasi windfall ke dalam program-program dan kegiatan tertentu (Catatan Keuangan dari APBN-P tahun 2010). Namun, Catatan Keuangan untuk dokumen APBN-P tahun 2011 dan 2012 tidak lagi memberikan informasi alokasi menurut program, tetapi hanya penggolongan umum tentang pengalokasian sumber daya tambahan yang dihasilkan dari perubahan anggaran.9 Kelemahan terbesar dari aturan ini dan pengalokasiannya yang kaku barangkali adalah bahwa aturan tersebut memberikan insentif yang keliru dalam hal pengelolaan anggaran pemerintah, mendistorsi kaitan antara perencanaan sumber daya dan perencanaan program atau kebijakan. Ketika sumber daya meningkat pesat secara eksogen terhadap permintaan pada sektor tersebut, para perencana pendidikan, yang mendapatkan tekanan untuk membelanjakan peningkatan sumberdaya tersebut, mungkin tidak menggunakan insentif yang tepat. Sebagai contoh, mereka mungkin memilih kegiatan yang dengan mudah menyerap anggaran tambahan (seperti menambah pegawai), atau program jangka pendek daripada jangka panjang yang membutuhkan perencanaan yang lebih lama. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi panjang terhadap hasil- hasil pendidikan; apabila sebagian besar anggaran tambahan tersebut dialokasikan untuk guru PNS, misalnya, hal ini dapat mempersulit upaya penyesuaiannya di masa depan. Setelah mengetahui tentang rumitnya sistem ini, kita akan meninjau ke mana sumber daya dari aturan 20 persen itu dialokasikan. 9 (1) mendukung program RPJMN 2010-2014; (2) memperkuat pencapaian pendidikan dari prioritas pembangunan di dalam RKP tahun 2011 dan 2012, (3) mendukung implementasi Inpres No. 1/2010 tentang Percepatan Prioritas Pembangunan Nasional, dan (4) me- ningkatkan program beasiswa bagi pelajar miskin. Kriteria teknis untuk mengalokasikan tambahan anggaran di tahun 2011 dan 2012 juga cukup luas yang menunjukkan bahwa dana itu dapat mencakup 1) bidang-bidang dalam pembayaran tunjangan profesional guru; 2) program-program yang akan selesai pada akhir tahun fiskal; 3) program-program yang menunjukkan peningkatan hasil-hasil pendidikan; dan 4) program-program yang ada 9 Belanja lebih banyak atau belanja Iebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Ke mana sumber daya itu dialokasikan? Sebelum melakukan analisis terperinci mengenai sumber daya, perlu dicatat bahwa walaupun belanja publik meningkat dengan pesat, Pemerintah Indonesia masih membelanjakan sebagian kecil dari PDB- nya untukpendidikan dibanding negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Dengan porsi sebesar 3,7 persen dari PDB, belanja pendidikan Indonesia lebih kecil dibanding negara tetangga Thailand, Vietnam atau Malaysia, dan hanya setengah dari negara-negara berpenghasilan tinggi dan maju seperti Norwegia. Belanja Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara tetangganya yang ber penghasilan lebih rendah, dengan porsi belanja pendidikan dari PDB lebih besar daripada Laos, Kamboja dan Filipina (Gambar 3a). Dibandingkan dengan penerimaannya, belanja Indonesia untuk pendidikan tergolong masih rendah, terutama untukjenjang pendidikan menengah. Sebagai bagian dari PDB per kapita, belanja Indonesia per siswa berada di bawah belanja sebagian besar negara maju dan negara pembandingnya di wilayah yang sama. Seperti ditunjukan pada Gambar 3b, pada pendidikan dasar dan menengah, Indonesia berada di bagian belakang dari distribusi. Untuk pendidikan dasar, Indonesia berada di atas Filipina dan Chili, dan hanya sedikit di bawah Meksiko atau Malaysia, namun Indonesia tertinggal tidak hanya di belakang negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi juga sebagian negara berpenghasilan menengah seperti Vietnam dan Thailand. Pada pendidikan menengah, perbedaannya semakin besar. Pada gambar itu hanya Filipina dan Thailand yang berada di bawah Indonesi Gambar 3: Belanja pemerintah untuk pendidikan sebagai bagian dari jumlah belanja pemerintah dan bagian dari PDB dan PDB per kapita, sejumlah negara terpilih tahun 2009 Figure 3a Thailand Norway Sweden Indonesia Argentina Viet Nam Netherlands Malaysia France Malaysia Brazil Brazil Lower-Middle Income Viet Nam NorwayMexico Norway Republic of Korea Philippines Colombia Argentina Germany Chile Sweden Japan Lao Thailand Indonesia Netherlands Lao France Singapore Germany India Philippines Singapore Cambodia _1 0 5 10 15 20 25 0 2 4 6 8 Share of total Government Expenditure Percentage of GDP U Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Figure 3b 30 Primary Secondary S25 W20 0 0~ 0 æR55 Sumber: Unesco institute for Statistics, 2008 atau tahun terakhir (tidak sebelum 2006); kecuali Indonesia, memiliki perhitungan sendiri dengan menggunakan anggaran pusat Kemnenterian Keuangan dan data SIKD. Ketika belanja swasta juga disertakan dalam seluruh sumber daya yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, skala peningkatan dalam sumber daya menjadi lebih mengesankan (lihat Gambar 1). Jumlah belanja pendidikan dlari sumber pemerintah dan swasta meningkat dari sekitar 3 persen di tahun 2001 menjadi lebih dari 5 persen dlari PDB pada talhun 2010. Kenyataannya, belanja rumah tangga untuk pendidikan meningkat lebih pesat dlaripada belanja publik, selhingga nilai kontribusinya juga lebih besar meskipun terjadi peningkatan sumber daya secara besar-besaran. Kontribusi rumah tangga meningkat dari 20 persen dari jumlah total sumber daya pada talhun 2001 menjadi lebih dari 30 persen pada tahun 2010. Peningkatan ini pada dlasarnya disebabkan oleh penambahan sekolah pada jenjang pendidikan di luar pendidikan dlasar (pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi) yang secara umum bergantung pada uang pendidikan dan kontribusi rumah tangga dlibanding belanja pemerintah. Peningkatan sumber daya yang sedemikian besar membuat kita berharap untuk mendapatkan kemajuan pesat dalam hasil-hasil pendidikan. Namun, seperti telah diketalhui peningkatan sumber daya tidak selalu memberikan hasil-hasil pendidikan yang lebih baik, terutama dalam hal kualitas (Patrinos 2012). Sebelum menelaah tren dalam hasil-hasil pendidikan, perlu ditinjau pengalokasian sumber daya tersebut. Sayangnya, kerumitan manajemen sistem pendidikan juga disertai kesulitan dalam mengumpulkan data belanja yang andal. Otonomi belanja daerah ditambah dengan mekanisme pelaporan yang relatif sederhana hingga baru-baru ini menunjukkan bahwa data belanja daerah yang terperinci tidak tersedia sebelum tahun 2008. Data belanja daerah yang lebih andal baru-baru ini saja mulai tersedia, selhingga analisis terperinci mengenai tren belanja dari talhun 2008 dalpat dilakukan, meskipun dengan sejumlah catatan.'° Data-data ini mencakup realisasi belanja pada tahun 2008 dan 2009 dan hanya dilakukan terhadap 70 persen dlari lebih 500 kabulpaten/kota dilIndonesia. Namun, data tersebut memungkinan kita untuk mengamati tren belanja sesuai tingkat pendidikan, golongan ekonomi dan bahk9an program-program yang spesifik pada periode talhun 2008-2009. Rincian awval belanja menurut tingkat pendidikan menunjukkan adanya kecondongan terhadap pendidikan dlasar (yang terdiri dari wvajib belajar untuk pendidikan dlasar dan menengah pertama). Gambar 4a menunjukkan perbandingan antara porsi belanja sesuaijenjang pendidikan pada talhun 2008 dan porsi sumber daya tombahan yang dialokasikan untuk setiap jenjang pendidikan pada talhun 2009. Jenjang pendidikan menengah atas dan 10 Suatu catatan yang penting adialah data dalamn penggolongan gaji. Data itu tidak membedakan guru dari pegawai negeri lain yang bekerja pada bidang pendidikan (seperti pegawai kabupaten). Data itu juga tidak merinci gaji guru berdasarkan jenjang pendidikan, sedangkan kamni merincinya dengan menggunakan data administratif. u1 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) terutama pendidikan tinggi menerima porsi sumber daya tambahan yang luar biasa besar. Namun hampir setengah dari sumber daya tambahan yang dihasilkan dari aturan 20 persen tersebut masih mengalir untuk pendidikan dasar. Sebaliknya, pendidikan anak usia dini (PAUD), yang menerima bagian sumber daya yang sangat rendah pada tahun 2008, menerima bagian sumber daya tambahan yang bahkan lebih kecil lagi. Akibatnya, pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi menerima bagian yang relatif lebih besar dari jumlah anggaran pada tahun 2009, tetapi PAUD menerima bagian yang lebih kecil secara keseluruhan. Perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain di wilayahnya menunjukkan bahwa komposisi ini harus diubah di masa depan (Gambar 4b). Bagian anggaran yang mengalir ke jenjang pendidikan selain jenjang pendidikan dasar kemungkinan akan meningkat lebih pesat dalam waktu dekat, sebagian melalui ekspansi alamiah yang terjadi padajenjang PAUD dan pendidikan menengah atas serta pendidikan tinggi. Namun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan belanja untuk pendidikan usia dini mungkin dibutuhkan mengingat sangat rendahnya belanja pemerintah di Indonesia dan besarnya manfaat PAUD seperti yang ditunjukkan dalam berbagai literatur/studi yang berasal dari dalam dan luar negeri (Bank Dunia 2013). Gambar 4: Distribusi anggaran per jenjang pendidikan, 2008-2009 4a, Porsi sumber daya tambahan per jenjang 4b. Porsi anggaran yang dibelanjakan untuk pendidikan selain 100% - pendidikan dasar 90% -Program 80%- m PAUD m Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi Lain 80% - 70% - 70% - m Universitas 60%- 60% -Pendldikan 50%- 50% Menengah 40% Atas 40%- 30% m Perdldikan 30% - 2 %Dasar 30% - 20% - 0%0 10% -1 AU 0%- Porsi Anggaran Porsi Anggaran Tahun 2008 Tambahan Tahun 2009 Indonesia Thailand Filipina Korea Mexico Brazil Malaysia unnb,r, Kementera, Ke.angan indonesia Sumber: Indiktor Pembangunan Dunia Tetapi bagaimana pengalokasian dana tersebut pada setiapjenjang pendidikan? Alokasi dana tambahan berbeda secara signifikan sesuai jenjang pendidikan. Di satu sisi, pada jenjang pendidikan tinggi, porsi gaji menurun, sementara porsi modal, barang dan jasa meningkat dengan pesat. Di sisi lain, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah atas, sebagian besar belanja dialokasikan untuk gaji dan sertifikasi guru. Pada Gambar 5, sertifikasi guru termasuk dalam"Bantuan Sosial", suatu kategori yang digunakan untuk menggolongkan program-program khusus (termasuk program-program besar seperti BOS, sertifikasi guru dan beasiswa). Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Gambar 5: Perubahan dalam sumber daya berdasarkan golongan ekonomi dalam tingkat pendidikan, 2008-2009 60%- 49% 50% - Bantuan Sosial 40%- Modal 30% - 20% - Barang & Jasa 10% -Gaji 0%- Total -10% - PAUD Pendidikan Pendidikan Pendidikan Lainnya Dasar Menengah Tinggi Atas Sumber (Bank Dunia 2012) Melihat anggaran secara keseluruhan, sekitar 60 persen dari sumber daya tambahan disalurkan untuk gaji guru dan program sertifikasi guru (Gambar 6). Pemenuhan aturan 20 persen di tahun 2009 berarti peningkatan belanja pemerintah sebesar 5.5 poin persentase, dan lebih dari 3 poin disalurkan untuk gaji dan sertifikasi guru. Program sertifikasi guru nyaris menggandakan gaji guru bersertifikat melalui tunjangan yang setara dengan gaji pokok guru.Tunjangan sertifikasi menyerap lebih dari 2 persen dari APBN tahun 2009 walaupun hanya 30 persen guru yang menerima sertifikat. Peningkatan belanja untuk gaji guru pada umumnya disebabkan oleh peningkatan jumlah guru, tetapi "regularisasi" status guru kontrak menjadi pegawai negeri juga turut berperan. Gambar 6: Persentase anggaran per program utama, 2006-2009 25 - 20 - 202 15 - BO <' BOS Universitas 10 Sertifikasi Guru 0 Gaji Guru e Program Lain 5 0 2006-08 2009 Sumber (Bank Dunia 2012) Dalam konteks desentralisasi, yang menempatkan pemerintah kabupaten/kota sebagai pihakyang bertanggung jawab atas pengelolaan guru (termasuk membayar gaji), pola belanja ini berarti bahwa pemerintah kabupaten/ kota menggunakan dana untuk membayar gaji melebihi kebutuhan yang lain. Hal ini terlihatjelas dari anggaran kabupaten/kota. Porsi belanja untuk pendidikan yang mengalir untuk remunerasi pegawai meningkat dari sekitar 13 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) 50 persen pada tahun 2011 menjadi hampir 80 persen pada tahun 2009. Sementara bagian yang diperuntukkan untuk modal meningkat pada periode tahun 2006-2008 dan menurun pada tahun 2009 (Gambar 7). Belanja untuk gaji juga meminimalisasi ruang anggaran untuk memberikan bantuan langsung kepada sekolah-sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2010, sekitar setengah dari sekolah negeri di tingkat pendidikan dasar tidak menerima dukungan dana apapun dari pemerintah kabupaten/ kota. Dalam kaitannya dengan dampak positif terhadap prestasi pelajar yang sebenarnya dapat diperoleh dari pengalokasian dana kabupaten/kota tersebut, hal ini merupakan suatu persoalan (Bank Dunia 2012). Gambar 7: Belanja kabupaten/kota menurut golongan ekonomi, 2001-2009 120 100 80 E Personel 60 E Barang dan Jasa 40 E Modal m Lain-Lain 20 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber SIKD Kenaikan belanja bantuan sosial sebagian besar mengalir untuk program beasiswa, termasuk program Beasiswa Siswa Miskin (BSM), yang meningkat hampir dua kali lipat antara tahun 2008 dan 2010. Namun beasiswa tetap merupakan bagian kecil dari anggaran pendidikan. Anggaran untuk program beasiswa meningkat sebesar 62 percent secara riil antara tahun 2008 dan 2009, sementara program BSM bertambah sebesar 95 persen. Data tahun 2010 menunjukkan peningkatan belanja yang berkelanjutan untuk seluruh program beasiswa walaupun kecil. Namun peningkatan beasiswa untukjenjang pendidikan tinggi pada tahun 2010 sangat besar dan di luar perkiraaan (lebih dari 300 persen secara riil) dan jelas-jelas menunjukkan upaya pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi bagi siswa miskin. Meskipun beasiswa meningkat dan sejumlah tunjangan bagi siswa miskin dihasilkan dari aturan 20 persen, besaran beasiswa masih merupakan bagian kecil dari jumlah anggaran pendidikan pemerintah pusat: yaitu 4 persen. Gambar 8: Anggaran pemerintah pusat untuk BSM (Beasiswa Siswa Miskin), tahun 2008-2010 4000 3500 3000 - Pendidikan Dasar (untuk Siswa Mskin) 2500- 2 Pendidikan Menengah Atas 2000 (untuk Siswa Miskin) 1500 E Pendidikan Tinggi (untuk Siswa Miskin) 1000 . Pendidikan Tinggi (untuk Siswa Lainnya) 500 0 2008 2009 2010 Sistem pendidikan dan "aturan 20 persen" Siapa penerima langsung dari peningkatan dana pendidikan pada tahun 2009, setelah aturan 20 persen tersebut dipenuhi untuk pertama kalinya? Gambar 9 menguraikan alokasi belanja pendidikan untuk guru, siswa dan pegawai kependidikan. Belanja untuk guru dan pegawai mencakup gaji dan seluruh tunjangan (termasuk tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil). Besaran yang dialokasikan untuk siswa mencerminkan belanja untuk beasiswa (BSM). Semua pengeluaran yang berkaitan dengan bantuan operasional sekolah (program BOS), pembangunan kapasitas, manajemen dan administrasi, serta infrastruktur dan rehabilitasi sekolah dibebankan pada belanja langsung sekolah. Pengeluaran yang disebut sebagai "program pelatihan" bagi staf kependidikan dan pegawai, serta pengeluaran yang "tidak ditentukan"atau "lain-lain", telah dialokasikan dalam kelompok yang terpisah. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 9, pengeluaran yang tidak ditentukan, yang sebagian besar adalah pengeluaran pemerintah daerah, mejadi bagian yang signifikan dari seluruh belanja pendidikan. Gambar 9: Distribusi dana pendidikan menurut penerima langsung, 2009 hablitasi, 9% pasitas, 5% en, 3% Pelajar, 2% Guru & Staf (Pelatihan & Manajemen) 4% Sumber: Kemenkeu 15 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) 2. Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Hasil terbesar dari peningkatan belanja ini adalah perluasan akses terhadap pendidikan, terutama bagi kaum miskin. Dalam dekade terakhir, tingkat partisipasi siswa telah mengalami kemajuan yang mengesankan. Indonesia telah mencapai pendidikan dasar yang universal dan mencatat kemajuan-kemajuan besar pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) masing-masing sebesar 10 dan 7 poin persentase. Pencapaian yang paling mengesankan dicatat oleh pendidikan anak usia dini (PAUD), yang kini menjangkau setengah (50 persen) dari seluruh anak usia 4 hingga 6 tahun (naik dari 25 persen pada satu dekade yang lalu). Peningkatan APK telah membawa Indonesia mendekati negara tetangganya, dengan angka partisipasi pada jenjang pendidikan menengah atas yang lebih besar dari yang diperkirakan mengingat tingkat PDB per kapitanya. Pada tahun 2009, profil angka partisipasi siswa di Indonesia serupa dengan di China, dengan angka partisipasi pada jenjang pendidikan menengah yang lebih besar daripada yang diperkirakan mengingat tingkat pendapatannya, tetapi pada jenjang pendidikan tinggi dan PAUD masih tertinggal. Gambar 10: Angka Partisipasi Kasar dan Partisipasi Murni perTingkatan tahun 2001-2009, dan perbandingan internasional tahun 2009 120% 100% Rep Korea 80% Philipina Indonesia 60% Cna 40% Thalland Malaysia 20% Brazil 0% -, Meksiko PAUD SD SMP SMA Perguruan _ _Meksiko Tinggi H 20.0 40.0 60.0 80,0 100.0 120.0 M2001 e 2002 e 2004 02005 02006 e 2007 n 2009 n 2010 Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Kasar m Angka Partisipasi Murni m Perguruan Tinggi m SMA m PAUD Sumber: Susenas berbagai tahun, Sumber: edstats Bank Dunia, tahun terakhir yang tersedia, Catatan: Data untuk tahun 2009 kecuali untuk Malaysia, Filipina, Argentina dan Brasil (2008) Akses dan kesetaraan pendidikan mencatat kemajuan pesat terutama pada 5 tahun terakhir. Anak-anak dari keluarga miskin berpartisipasi dalam usia yang lebih dini dan menikmati pendidikan yang lebih lama di sekolah. Persentase partisipasi anak usia 15 tahun dari kuintil termiskin meningkat dari 60 ke 80 persen antara tahun 2006 dan 2010 (Gambar 5). Namun, agenda kesetaraan masih belum lengkap: angka partisipasi anak di atas usia 15 tahun dari kuintil termiskin menurun drastis, dan pada jenjang pendidikan tinggi kurang dari 2 persen. Penurunan ini bahkan lebih besar lagi pada kuintil terkaya. Partisipasi anak usia 19 tahun dari kuintil terkaya hanya 40 persen pada tahun 2010. Angka ini mencemaskan dan belum berubah sejak tahun 2006. Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Gambar 11: Persentase anak yang bersekolah per umur dan kuintil, tahun 2006 dan 2010 10000 10000- 00 100% 9000 -2006 -r 80% -2010 80% -2010 70 70% 60% 60% 50% - m 50% 40% 40% S30% 30%/6 20% 20%/6 10% KuintilTermiskin 10% KuintilTerkaya 0 .I . Is . . 0% I 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 2T 22 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Age Age Umur Umur Sumber Perhitungan sendiri menggunakan Susenas, 2006 dan 2010 Pengaruh peningkatan belanja terhadap kualitas pendidikan tidak mencengangkan. Prestasi Indonesia dalam ujian internasional tidaklah menggembirakan, umumnya mencatat skor rendah dalam ujian internasional untuk menilai hasil belajar (TIMSS, PIRLS dan PISA). Pada ujian TIMSS terakhir (tahun 2011), siswa Indonesia kelas 8 menunjukkan prestasi yang jauh lebih buruk dalam mata pelajaran matematika dibanding peserta dari negara- negara tetangga - Thailand, Malaysia dan tentu saja Korea Selatan dan Singapura yang meraih nilai tertinggi. Kenyataannya hanya lima dari 45 negara yang berpartisipasi mencatat prestasi di bawah Indonesia (Mullis, Martin dkk. 2012). Hasil yang nyaris serupa terjadi pada mata pelajaran sains yang disertakan di dalam TIMSS dan uji kecakapan membaca dan tes literasi pada PIRLS (Mullis, Martin dkk. 2012).1 Tidak hanya skor rata-rata yang rendah,jumlah siswa yang berhasil meraih hasil tes tertinggijuga sangat kecil. Pada TIMSS 2011, hanya 20 persen siswa Indonesia paling berprestasi yang mencapai setidaknya skor menengah, dan hanya 3 persen mencapai nilai tinggi dan tidak ada siswa yang meraih skor yang sangat tinggi menurut standar yang digunakan (Mullis, Martin dkk. 2012).1 Sebaliknya, hampir 50 persen siswa dari Thailand dan Malaysia (yang memiliki nilai rata-rata sama) meraih skor menengah, 10 persen mencatat skor tinggi dan satu persen mencapai nilai sangat tinggi. Hasilnya serupa dalam tes PISA: pada ujian yang diselenggarakan tahun 2009 tidak ada siswa yang berhasil meraih skor tertinggi dalam mata pelajaran matematika dan sains (OECD 2010). Dengan bukti yang mengaitkan nilai PISA dan persentase murid paling berprestasi dengan pertumbuhan PDB, ketiadaan siswa yang berprestasi tinggi/mencuat ini merupakan keprihatinan yang serius (Hanushek dan Woessmann 2007; Pritchett 2009; Pritchett dan Viarengo 2009)Indonesia berada di urutan di bawah negara tetangganya di Asia Timur Pasifik dalam tes PISA, baik untuk mata pelajaran matematika maupun kecakapan membaca. Mayoritas siswa tidak berhasil meraih skor tinggi dalam kecakapan membaca, matematika dan sains. Pada tahun 2009,94 persen siswa Indonesia hanya mencapai tingkat 2 atau kurang (dari 6 tingkat) dan 44 persen berada di bawah tingkat 1. Dalam mata pelajaran sains, sekitar 93 persen siswa Indonesia berada di bawah tingkat 2, dan sekitar seperempatnya berada di bawah tingkat 1. Dalam kecakapan membaca, 88 persen siswa hanya mencapai tingkat 2 atau lebih rendah. 11 TIMSS: Trends in International Mathemotics ond Science Study; PIRLS: Progress in International Reading Literacy Study; PISA: Program for International Student Assessment. 12 Dalam membaca, hanya 2 negara yang secara statistika mencatat prestasi yang jauh lebih rendah disbanding Indonesia. 13 Data mikro belum tersedia sehingga kami menggunakan persentil dalam publikasi laporan TIMMSS yang menyatakan bahwa 5 pers- en siswa paling berprestasi tidak meraih skor tinggi. Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Gambar 12: Hasil PISA dalam membaca dan matematika, 2009 Nilai Matematika Nilai Membaca Nilai Sains Cina Shanghai Cna Shanghai Cina Shanghai ina preg Korea eidang Singapore Singapore Korea Jeang Jepag Singapore Austalia Austala Austalia OECD OECD OECD Turki Turki Turki Non OECD 0 Cii Thailand Meksiko Non OECD Cii Thailand Thailand Meksiko Non OECD Yordania Kazaktan Yordanla Meksiko Yordania Brazil Argentina Argentina Indonesia Kazaktan Brazil Argentina Brazil Indonesia Tunisia Tunisia Tunisia Kazaktan Indonesia Peru Peru Katar Katar Katar Peru 0 200 400 600 800 0 200 400 600 0 200 400 600 800 Prestasi siswa Indonesia pada PISA sesuai dengan tingkat pendapatannya. Ketika memetakan hasil PISA dengan PDB per kapita, korelasi antara keduanya menjadijelas: negara-negara yang tidak berpenghasilan tinggi cenderung meraih skor yang rendah. Untuk negara-negara tersebut skor PISA memiliki korelasi yang tinggi dengan PDB per kapita (tidak ada korelasi untuk negara berpenghasilan tinggi). Indonesia berada tepat pada garis tren negara-negara yang tidak berpenghasilan tinggi. Seperti disinggung sebelumnya, Hanushek dan Wbmann (2007) telah memberikan bukti kuat bahwa kualitas pendidikan memiliki pengaruh yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga walaupun posisi relatif Indonesia terkait dengan PDB per kapitanya tidak mengkhawatirkan, kebutuhan untuk meningkatkan hasil-hasil pembelajarannya cukup mendesak. Namun hasil yang paling mengkhawatirkan tampaknya adalah kecilnya peningkatan hasil-hasil pembelajaran pada dekade yang lalu, dengan pengecualian pada kecakapan membaca. Gambar 13 menunjukkan skor pada tes PISA tahun 2003 dan 2009, yaitu skor rata-rata (garis) dan dirinci menurut desil sosial-ekonomi (batang) dalam mata pelajaran matematika dan membaca. Hasil pertama menunjukkan bahwa skor rata-rata pada tahun 2003 dan 2009 secara statistik tidak terlalu jauh berbeda dalam mata pelajaran matematika dan sains (tidak ditunjukkan). Sisi positifnya, skor dalam membaca memang meningkat secara signifikan. Hasil yang serupa juga ditunjukkan pada TIMSS dan PIRLS, yang menunjukkan tren yang sama antara tahun 2007 dan 2011 (tidak adanya peningkatan yang signifikan dalam matematika dan sains kelas 8, dan peningkatan yang signifikan dalam membaca). Kedua, ketika merinci hasil-hasil menurut desil sosial-ekonomi, ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas menjadi jelas ketika melihat perbedaan prestasi yang tajam antara siswa terkaya dan siswa termiskin di Indonesia, terutama dalam mata pelajaran matematika. Siswa miskin berprestasi jauh lebih buruk daripada siswa yang lebih kaya, dan perbedaan ini tidak berubah sejak tahun 2003. Hasil-hasil yang lebih baik ditunjukkan dalam membaca, karena selain terjadi peningkatan nilai rata-rata, perbedaan antara status ekonomi-sosial menyempit antara tahun 2003 dan 2009. Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Gambar 13: Skor PISA Indonesia dalam mata pelajaran matematika, membaca, menurut desil sosial-ekonomi, tahun 2003-2009 460 ~ 2003 Matematika ~ 2009 Matematika 460 2003 Membaca ~ 2009 Membaca 440 Rata-Rata 2003 .----. Rata-Rata 2009 420 420 u~400 u400 380 380 ."... 340 340 320 320 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Socioeconomic Decile Socioeconomic Decile Sumber: Perhitungan penulis menggunakan PISA tahun 2003 dan 2009 Menjelaskan dampakterbatas peningkatan belanja pada hasil-hasil pendidikan dasar Sejauh mana tren-tren yang telah disampaikan dijelaskan melalui pengalokasian sumber daya? Bagian 2 menunjukkan bahwa sumber daya tambahan paling banyak diserap untuk membayar gaji guru dan sertifikasi guru. Satu hal yang jelas dari analisis tren pengeluaran: secara umum para guru telah memperoleh manfaat dari peningkatan belanja pemerintah untuk pendidikan. Sekitar setengah dari Rp 67 triliun (7 miliar dolar AS) peningkatan belanja riil (harga konstan tahun 2009) untuk pendidikan antara tahun 2006 dan 2009 dialokasikan untuk peningkatan jumlah guru dan peningkatan pendapatan mereka melalui sejumlah tunjangan (Bank Dunia 2012). Selain itu, bagian ini juga menunjukkan bahwa pola belanja tersebut tidak diikuti dengan peningkatan hasil-hasil pembelajaran yang signifikan. Apakah kedua pola ini berkaitan? a) Apakah yang mendorong kenaikan belanja gaji? Sebagian besarsumber daya tambahan mengalir untukgaji guru karena penerimaan guru terus berlanjut pada semua jenjang pendidikan. Jumlah guru meningkat dengan pesat dibanding jumlah siswa pada semua jenjang pendidikan, terutama pada pendidikan dasar (Gambar 14a). Sejak tahun 2004, jumlah guru pada jenjang pendidikan dasar meningkat sebesar 30 persen, sementara jumlah siswa secara umum tetap konstan. Pada jenjang pendidikan menengah, baik menengah pertama maupun menengah atas, perbedaan pertumbuhan jumlah guru dan siswa lebih kecil. Pada jenjang pendidikan menengah pertama, laju pertumbuhan siswa telah sama setelah pertumbuhan guru terhenti pada tahun 2006. Namun pada jenjang pendidikan menengah atas pertumbuhan guru masih dua kali lipat dari pertumbuhan murid. Tingkat perekrutan guru yang pesat ini berakibat pada penurunan yang signifikan dalam rasio murid guru pada jenjang pendidikan dasar (Gambar 14b). Rasio saat ini berada jauh di bawah negara-negara pembanding. Sebagai contoh, pada tahun 2008 rasio murid guru berpenghasilan menengah-bawah adalah 26 dibanding 18 di Indonesia. Rasio murid guru saat ini berada di bawah standar internasional terkait dengan kualitas pendidikan yang baik. Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Gambar 14: Pertumbuhan jumlah murid dan jumlah guru per jenjang pendidikan dan rasio murid-guru, tahun 2004-2010 a) Pertumbuhan dalam jumlah murid dan guru b) Rasio Murid-Guru 2.0 - -- Jurmlah Guru 26 1.8 --- Jumlah Mund 24 22 1.62 o 12 10 10 1 99s 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 200s 2006 2007 20082009 2010 0.8--- SD -~- SMP - Rata-rata slswa SD dar goiongan berpenghasilan menengah ke bawah (2008) TK SD SMP SMA SMK - Rata-rata s swa SMP dar! golongan berpenghasilan menengah ke bawah (2008) Selain peningkatan jumlah guru secara keseluruhan, pengubahan status guru kontrak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberi kontribusi pada peningkatan biaya gaji antara tahun 2006 dan 2010, terutama untukjenjang pendidikan selain pendidikan dasar. Guru PNS yang baru cenderung direkrut dari guru-guru kontrak, sehingga peningkatan jumlah guru PNS dan sejumlah kecil guru non-PNS mengindikasikan perubahan posisi guru kontrak menjadi pegawai negeri. Dari tahun 2006 hingga tahun 2010, jumlah tenaga pengajar bertambah sebanyak sekitar 377.000 guru, yang mayoritas (60 persen) sebelumnya adalah guru kontrak bukan pegawai negeri sipil (non-PNS). Namun laju pengubahan itu bervariasi pada setiap jenjang pendidikan: perubahan posisi guru kontrak menjadi pengawai negeri yang signifikan terjadi pada jenjang PAUD dan pendidikan menengah, tetapi tidak terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Jumlah guru PNS pada jenjang pendidikan menengah pertama dan atas, sebagai contoh, masing-masing meningkat sebesar 13 dan 25 persen, sementara jumlah guru kontrak di tingkat pendidikan menengah pertama hanya sedikit meningkat, dan menurun pada tingkat pendidikan menengah atas. Sementara pada jenjang pendidikan dasar, peningkatan jumlah guru pada umumnya disebabkan oleh bertambahnya jumlah guru kontrak. Gambar 15: Evolusi jumlah guru pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS per jenjang pendidikan, 2006-2010 1,200,000 8% e 2006 E 2008 e 2010 800,000 600,000 75% c, N 400,000 13% or4 '2% -0.7% 25% 200,000 200% zo 0 0 0 0 TK SD SMP SMA Sumber. Data NUPTK Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Belanja untuk guru telah meningkat dengan dampak yang terbatas pada kualitas pendidikan Bukti-bukti mutakhir di Indonesia menunjukkan bahwa pada tingkatan ini, kaitan dengan hasil-hasil pembelajaran bersifat lemah. Gambar 16 menunjukkan korelasi antara rasio murid-guru dengan nilai dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, yang dibedakan antara sekolah-sekolah yang memiliki jumlah siswa di bawah aturan maksimum 32 siswa per guru, dan sekolah-sekolah denganjumlah siswa melebihi angka tersebut. Untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, korelasinya mendekati 0 jika sekolah memiliki siswa tidak lebih dari 32 siswa. Apabila sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang banyak (di atas 32 murid), maka korelasinya akan berubah menjadi negatif hanya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan bukan murid." Hal ini sesuai dengan literatur yang ada tentang pengaruh jumlah siswa pada pembelajaran, yang menunjukkan bahwa pengaruhnya hanya sedikit atau tidak ada kecuali jumlah siswa terlalu banyak.I Tampaknya jelas bahwa meningkatkan jumlah guru terkait dengan pendistribusiannya di Indonesia memiliki kemungkinan kecil untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kecuali guru-guru tersebut ditugaskan di sekolah-sekolah yang sangat kekurangan tenaga pengajar dengan jumlah siswa lebih dari 32 per guru. Gambar 16: Rasio murid-guru, belanja per siswa dan nilai ujianbBahasa Indonesia pada sekolah dasar umum a) Maternatika b) Bahasa Indonesia 100 - 80 90 70 80 60 70- 60 60 50 50 ** 40 40 30 +: 20 -it! +E n n 20 10 10 f 0 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50 *Kurang dari 32 STR m Lebih darn 32 STR Tren linear apabila STR kurang dari 32 *Kurang dan 32 STR n Lebih dan 32 STR Tren linear apabila STR kurang dari 32 Rasio Murid Guru Rasio Murid Guru Sumber Survei Manajemen Berbasis Sekolah, Bank Dunia-RAND (2010) Pesatnya peningkatan belanja untukmemenuhi aturan 20 persen kemungkinan besartelah mendorong peningkatan perekrutan guru yang berlebihan dan pesatnya regularisasi guru-guru kontrak pada jenjang pendidikan dasar, tetapi pendorong utama pesatnya perekrutan (guru) adalah: insentif yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah guru yang dibutuhkan pada tingkat sekolah. Meskipun pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab untuk merekrut dan membayar kompensasi guru, ada dua faktor yang mendorong peningkatan tersebut. Rumus jumlah guru - jumlah minimum guru yang dibutuhkan pada suatu sekolah sesuai dengan fungsinya - merupakan faktor utama yang menimbulkan masalah tersebut. Faktor kedua yang menyebabkan kelebihan jumlah guru adalah struktur insentif yang tedapat dalam Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan mekanisme bantuan dana terbesar kepada pemerintah daerah. Karena walaupun pemerintah daerah bertanggung jawab untuk merekrut guruguru, mereka tidak menanggung sebagian besar biayanya; pemerintah pusat membayar gaji sekitar 70 persen pegawai negeri melalui DAU. 14 Regresi OLS mengendalikan pengamatan (karakteristik sekolah, pendidikan dan pengalaman guru dan kepala sekolah, dan pengaruh tetap daerah) menegaskan temuan tersebut. 15 Lihat Hyunkuk, Glewwe dan Whitle (2010), Hoxby (2000), Jepsen dan Rivkin (2009) 16 SNPER, Betterfinancing, betterourcomes (Poland PER), di1. 21 Belanja lebih banyak atau belanja Iebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Rumus DAU memberikan insentif yang jelas terhadap kelebihan jumlah guru, yang cukup jauh menjelaskan tingginya korelasi antara belanja per murid dan rasio murid-guru pada tingkat kabupaten/ kota. Mengingat tidakadanya korelasi antara rasio murid-guru dan pembelajaran pada tingkat sekolah, maka tidak mengherankan apabila tidak ditemukan korelasi yang sama pada tingkat kabupaten/ kota. Kenyataannya, pada tingkat kabupaten/kota, tidak ada korelasi antara perubahan sumber daya dengan perubahan hasil-hasil pendidikan; tidak ada korelasi antara perubahan dalam jumlah belanja untuk pendidikan dan partisipasi siswa atau hasil-hasil pembelajaran (yang diukur berdasarkan nilai UN). Kenyataan bahwa peningkatan belanja tidak berkorelasi dengan peningkatan prestasi menunjukkan bahwa peningkatan belanja yang lebih besar lagi akan sulit dikaitkan dengan peningkatan hasil-hasil pembelajaran, dan bahwa hasil-hasil tersebut dapat berbeda di setiap kabupaten/kota. Tidak adanya korelasi ini mengkhawatirkan, karena belanja daerah telah meningkat dengan pesat pada beberapa tahun terakhir. Gambar 17: Perubahan dalam belanja pendidikan pemerintah dan perubahan hasil-hasil pendidikan pada tingkat daerah a) SMA NER, total spending (2002-2009) b) SMP UN Score, total spending (2002-2009) 60 150 - S40 100- % . . 4 50 0 20 50-. -50 - 20 100 0 100 200 300 100 0 100 200 300 change in real education expenditure % change in real education expenditure% Change of SMA NER & Education Expenditure Fitted Line * Change of SMP UN score & Education Expenditure -Fitted Line Sumber: Kemenkeu SIKD (anggaran), Susenas (NER) dan Kemendikbud (ujian UN) Apakah terlalu banyak guru membawa masalah? Walau memiliki salah satu STR paling rendah di dunia, belanja Indonesia untuk gaji sebagai bagian dari jumlah anggaran pendidikan setara dengan negara-negara lain di dunia. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 17, belanja Indonesia untuk gaji setara dengan Republik Korea, dan membelanjakan jauh lebih kecil untuk guru daripada negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik (Belanda atau Amerika Serikat). Indonesia juga membelanjakan jauh lebih sedikit dibanding negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang lebih buruk, seperti Argentina, dan sedikit lebih rendah daripada Filipina. B Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Gambar 18: Porsi anggaran pendidikan yang dibelanjakan untuk gaji, negara terpilih Colombia Argentina Chile Malaysia France USA Philippines Netherlands Norway Brazil Indonesia * Republic of Korea Australia 0 20 40 60 80 100 Percentage of total education going to salaries Sumber UNESCO Institute for Statistics, tahun 2010 atau tahun terakhir - kecuali untuk Indonesia, perhitungan sendiri berdasar data Kemenkeu. Catoton: Be anja gaji Indonesia temasuk subsidi gaji dari sertifikasi, dan guru kontrak di bawah BOS, selain gaji pegawai negeri. Yang membuat biaya gaji relatif tetap rendah adalah besarnya jumlah guru non-PNS yang memiliki gaji yang rendah. Melihat pada distribusi upah rifl untuk pekerja yang digolongkan sebagai guru pada SAKERNAS, distribusinya tidak terkonsentrasi pada skala gaji guru pegawai negeri sipil (yang jauh di bawah gaji guru bersertifikat), namun terdapat persentase guru yang besar yang mendapat gaji jauh di bawah gaji guru pegawai negeri golongan rendah , yaitu guru-guru kontrak. Gambar 19: Distribusi upah riil bagi guru, tahun 2010 9.00E+02 8.00E+02 7.00E+02 6.00E+02 2 5.00E+02 4.00E+02 3.00E+02 2.00E+02 1.001E+02 0.00E+00 - . 11 I -lil.............. 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 Monthly Wage Sumber. SAKERNAS 2010 B Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Bukti-bukti yang ada tentang pengaruh guru kontrak bercampur baur, tetapi di Indonesia tidak terdapat kondisi yang optimal untukmengefektifkan guru kontrak. Pertama, penugasan guru kontraktidak terkonsentrasi di sekolah-sekolah kecil atau terpencil - bahkan sebagian besar sekolah memiliki guru kontrak. Sekitar sepertiga sekolah, kurang dari 20 persen tenaga pengajarnya terdiri dari guru kontrak. Di lain pihak, sekitar seperempat sekolah mempekerjakan 40 persen atau lebih guru-guru non-PNS. Pada umumnya sekolah-sekolah berada di tengah-tengah, dengan jumlah guru kontrak antara 20 dan 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa guru kontrak tidak digunakan secara strategis di sekolah-sekolah yang sulit mendapatkan pegawai. Di luar dampaknya terhadap pembelajaran, terdapat keraguan yang kuat apakah keberlanjutan dari model yang ada sekarang dimana guru kontrak berharap akan diubah statusnya menjadi pegawai negeri - terdapat rintangan biaya untuk mengubah seluruh guru kontrak menjadi pegawai negeri. Biaya gaji bagi guru pendidikan dasar pada tahun 2009 berjumlah Rp 68 triliun (sekitar 7 miliar dolar AS). Berdasarkan rata-rata gaji PNS, kita dapat memperkirakan biaya untuk mengubah seluruh guru bukan PNS menjadi PNS. Pengubahan itu akan meningkatkan biaya gaji untuk pendidikan dasar menjadi sekitar Rp 90 triliun (9 miliar dolar AS), peningkatan sebesar 35 persen. Sertifikasi guru belum menghasilkan peningkatan kualitas seperti diharapkan Sebagai bagian dari reformasi guru yang memperoleh persetujuan pada tahun 2005, pemerintah meluncurkan program sertifikasi guru. Alasan peluncuran program ini adalah untuk menangani pandangan bahwa rendahnya kualitas pendidikan berkaitan dengan rendahnya motivasi guru yang pada gilirannya berkaitan dengan tingkat gaji yang relatif rendah.Tunjangan profesi diperkenalkan bagi guru-guru yang setuju untuk disertifikasi. Awalnya proses sertifikasi mengharuskan para guru memiliki gelar minimum S1 dan melalui penilaian menyeluruh atas kompetensi mengajarnya. Para guru yang berhasil memperoleh sertifikasi akan menerima tunjangan profesi yang setara dengan upah dasar mereka. Hingga tahun 2012, sekitar 35 persen guru telah mendapat sertifikasi dan program itu menyerap sekitar 9 persen dari seluruh anggaran pendidikan. Sebuah evaluasi dampak (impactevaluotion) telah menunjukkan bahwa sementara sertifikasi telah memperbaiki perilaku guru tetapi belum meningkatkan kualitas hasil-hasil pembelajaran murid (De Ree, Muralidharan dkk. 2012). Gambar 20 menunjukkan dampak dari program itu terhadap sejumlah variabel, yang diukur dalam deviasi standar. Guru-guru tersertifikasi cenderung lebih aman secara keuangan. Mereka lebih tidak mungkin melaporkan memiliki pekerjaan lain, maupun menemui masalah keuangan untuk menghidupi keluarganya. Namun guru-guru bersertifikasi tidak memberikan nilai yang lebih baik secara signifikan dalam uji pengetahuan mata pelajaran dibanding guru-guru yang belum disertifikasi. Perubahan positif dalam tingkat kesejahteraan guru yang dicatat oleh penelitian itu dapat meningkatkan motivasi guru di sekolah dan secara potensial membawa peningkatan kepada hasil-hasil pembelajaran murid. Namun penelitian juga menemukan bahwa sertifikasi belum meningkatkan kualitas hasil-hasil pembelajaran pada sekolah dasar dan menengah pertama. Pengaruh peningkatan belanja terhadap hasil-hasil pendidikan Gambar 20: Dampak kausal dari sertifikasi guru terhadap serangkaian variabel hasil-hasil pendidikan I - ci Masalah keuangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Memiliki pekerjaan sampingan I I i Pengetahuan mata pelajaran SMP II 0 E Pengetahuan mata pelajaran SD Siswa SMP (B, Inggris) S Siswa SMP (B, Indonesia) Siswa SMP (Sains) i I Sswa SMP (Matematika) 2 siSwa SD -6 -4 -2 0 2 4 - - - Threshold for statistical significance Sumber: Berdasar De Ree dkk. (2012) Hasil-hasil awal yang mengecewakan dari program sertifikasi pada umumnya merupakan hasil dari masalah implementasi (Bank Dunia 2013). Walaupun terdapat UU yang mengaitkan sertifikasi dengan kompetensi, para guru menerima sertifikasi berdasarkan'portofolio'pengalaman yang lalu dan pelatihan dan bukan penilaian rinci akan kompetensi mereka. Selain itu, tingkat untuk memperoleh kelulusan dari uji kompetensi yang dilakukan lebih condong untuk memenuhi kuota sertifikasi dibanding memastikan kualitas guru. Sementara program sertifikasi memiliki dampakyang terbatas terhadap pembelajaran, ja akan terus memberikan tekanan yang signifikan terhadap anggaran pendidikan. Proyeksi anggaran jangka menengah Pemerintah menunjukkan bahwa keseluruhan belanja pemerintah diperkirakan akan meningkat sebesar 3 persen secara riil antara tahun 2012 dan 2015 (Bank Dunia 2012). Hal ini juga menunjukkan bahwa anggaran pendidikan hanya akan sedikit meningkat pada beberapa tahun ke depan bila diasumsikan bahwa bagian dari belanja pemerintah yang mengalir ke pendidikan tetap konstan pada sekitar 20 persen. Dengan tren-tren itu, sertifikasi seluruh guru sekolah dasar dan menengah pertama pada tahun 2015 akan menyerap sekitar 41 persen dari jumlah anggaran pendidikan pada tahun 2015 dibanding 32 persen pada tahun 2012 (Gambar 21). Jika belanja bukan gaji pada pendidikan dasar dijaga pada tingkatan tahun 2012 maka hal ini akan menunjukkan bahwa pendidikan dasar dapat menyerap hingga hampir dua per tiga dari anggaran tahun 2015 dibanding sekitar 56 persen pada tahun 2012. Peningkatan belanja ini akan membutuhkan penghematan belanja pada tingkatan lain pendidikan. Anggaran yang tersisa bagi tingkat pendidikan yang lain, setelah seluruh guru pegawai negeri memperoleh sertifikasi, akan berjumlah Rp 113 triliun (11,8 miliar dolar AS) pada tahun 2015 dibanding Rp 135 triliun (14,1 miliar dolar AS) pada tahun 2012. 25 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Gambar 21: Dampak anggaran dari program sertifik 350 300 .Belanja Pendidikan S300 Lainnya 250 - Belanja Pendidikan Lainnya 200 150 E1001 50 Total estimated budget in 2012 Projected budget in 2015 with all teachers certified Sumber: Data dan proyeksi APBN dan Bank Dunia (2012) dan Bank Dunia (2012). Informasi tentang belanja gaji - perhitungan Pengarang berdasar jumlah guru dan tingkat gaji dari NUPTK (2010) dan skala gaji pengawai neger tahun 2012. Proyeksi biaya sertifikasi berdasarkan perhitungan pengarang dan gaji dasar dan seluruh guru PNS dan tunjangan bulanan sebesar Rp 1,5 juta bagi guru-guru GTY. Konversi guru- guru kontrak - perhitungan Pengarang berdasar asumsi bahwa guru bukan PNS akan terdistribusi pada skala penggajian dengan cara yang serupa dengan guru-guru PNS. Biaya konversi juga termasuk peningkatan tunjangan profesi dari Rp 1,5 juta per bulan menjadi nilai yang setara dengan gaji dasar bagi seluruh guru kontrak GTY. Rencana Pemerintah untuk mengubah seluruh guru kontrak menjadi pegawai negeri dan melakukan sertifikasi kepada mereka tidak akan dapat berlanjut secara keuangan sesuai dengan proyeksi anggaran yang ada sekarang. Dibutuhkan dana sekitar Rp 68 triliun (5 miliar dolar AS) untuk memberi sertifikasi dan mengubah seluruh guru kontrakyang ada menjadi pegawai negeri." Sertifikasi dan konversi seluruh guru sekolah dasar dan menengah pertama akan berarti bahwa 89 persen dari jumlah anggaran pendidikan pada tahun 2015 harus diberikan kepada tingkat dasar. Dengan adanya komitmen di luar tingkat pendidikan dasar maka tingkat belanja ini sungguh tidak dapat berkelanjutan. 17 Pedoman sertifikasi yang berlaku tidak menyertakan GTT/guru kontrak yang diterima oleh sekolah yang merupakan sekitar 30 persen dari angkatan pengajar pada tingkat dasar dan menengah 18 Termasuk peningkatan biaya tunjangan profesi yang berkaitan dengan sertifikasi guru kontrak GTY yang akan diterima pada waktu konversi. 26 Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar 3. Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar Peningkatan kualitas belanja berarti mengubah sumber daya menjadi hasil-hasil pendidikan secara lebih efisien. Hal ini membutuhkan peningkatan akses terhadap sekolah dan meningkatkan kualitas pendidikan menurut suatu tingkatan belanja. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa lebih mudah untuk meningkatkan akses dibanding meningkatkan kualitas, dan sesungguhnya, dengan peningkatan sumber daya, kesetaraan dan akses telah meningkat selama dekade yang lalu. Namun dalam hal kualitas pendidikan, Indonesia masih menghadapi tantangan yang berat bila dilihat dari tren hasil-hasil pembelajaran. Analisis yang disajikan tentang pola belanja dan hasil-hasil pendidikan menyoroti sejumlah keputusan yang dapat diambil langsung pada tingkat pusat untuk meningkatkan hasil-hasil tersebut: realokasi sumber daya lintas tingkat pendidikan dan meningkatkan kualitas program-program penting pemerintah pusat, termasuk beasiswa. Pendidikan anak usia dini, menengah atas dan pendidikan tinggi kurang mendapat dana menurut standar internasional, dan besar beasiswa yang diberikan hanya berjumlah 1 persen dari jumlah anggaran tahun 2009. Peningkatan pendanaan untuktingkatan tersebut akan membutuhkan belanja yang lebih efisien pada bidang-bidang lain, seperti pendidikan dasar dan terutama manajemen guru. Calon yang jelas untuk menerima lebih banyak sumber daya adalah Beasiswa Siswa Miskin (BSM). Bukti-bukti menunjukkan bahwa perluasan dan peningkatan BSM akan meningkatkan kesetaraan akses terhadap pendidikan. Peningkatan jumlah beasiswa, memperluas cakupan, meningkatkan kualitas penargetan, penyesuaian pencairan tunjangan dengan waktu belanja dan mungkin memberikan insentif bonus "transisi" ketika murid naik kelas, akan sangat meningkatkan kesetaraan dalam belanja. Skenario yang ideal akan mencakup 100 persen dari biaya bagi murid miskin dari SD hingga SMA. Hal ini akan menjamin bahwa biaya bukan menjadi alasan putus sekolah bagi anak itu. Calon lain yang jelas untuk reformasi adalah program sertifikasi guru, dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa program itu harus dinilai ulang karena tidak memberikan hasil yang diharapkan. Sementara guru dengan sertifikasi lebih tidak mungkin untuk mencari tambahan nafkah melalui pekerjaan lain, murid-murid dari guru dengan sertifikasi tidak menunjukkan prestasi yang lebih baik secara signifikan di dalam pengujian. Evaluasi ualng dari "portofolio" sertifikasi, peluncuran uji kompetensi wajib sebagai syarat sertifikasi dan persyaratan sertifikasi ulang dapat meningkatkan dampak dari program tersebut. Suatu langkah yang menjanjikan pada tahun 2012 adalah penyertaan uji kompentensi untuk menentukan kelayakan sebelum seorang guru memulai proses sertifikasi. Namun dari seluruh upaya tersebut, yang mungkin merupakan aspek paling penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mampu menghadapi tantangan masa depan pada sektor pendidikan adalah manajemen guru. Pembenahan penggunaan guru dan meningkatkan rasio murid guru menjadi prospek yang paling menjanjikan untuk menurunkan dampak anggaran dari sertifikasi. Simulasi sederhana menunjukkan penghematan yang signifikan dapat diraih dengan meningkatkan rasio murid-guru. Jika rasio guru yang mengajar di pendidikan dasar meningkat menjadi 22, tingkat yang dicatat oleh Indonesia pada awal tahun 2000-an, biaya gaji dan sertifikasi akan menjadi Rp 102 triliun (10,6 miliar dolar AS) atau 21 persen lebih rendah dari biaya yang diperkirakan pada rasio murid-guru yang ada. Perbandingannya dengan proyeksi anggaran yang telah diuraikan sebelumnya di bab ini menunjukkan bahwa peningkatan rasio murid guru akan menjadikan pendidikan dasar menyerap bagian yang sedikit lebih kecil dari seluruh sumber daya pendidikan secara keseluruhan pada tahun 2015. Hal ini akan meninggalkan lebih banyak sumber daya yang tersedia bagi investasi lain dalam meningkatkan akses dan kualitas. Secara jelas peningkatan rasio murid 27 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) dan guru ke tingkatan tersebut membutuhkan penurunan dari seluruh angkatan guru untuk pendidikan tingkat dasar dan menyesuaikan standar staf untuk meningkatkan efisiensi yang digunakan oleh guru. Pembenahan Manajemen Guru Membenahi manajemen guru tidak hanya merupakan masalah efisiensi, tetapi juga masalah kesetaraan dan kualitas pendidikan. Pengaruh efisiensi telah jelas dari analisis yang lalu: dengan mempersempit ruang belanja lain pada tingkat kabupaten/kota, penerimaan/perekrutan guru yang berlebihan dapat membawa dampak yang negatif terhadap pembelajaran murid. Namun rasio murid guru yang terlalu rendah dibanding standar internasional tidaklah merata di seluruh Indonesia. Terdapat perbedaan yang tajam dalam ketersediaan dan kualifikasi guru-guru lintas sekolah. Rasio murid-guru sangat tidak sebanding, seperti juga tingkatan kualifikasi guru. Pada tahun 2010, rasio murid-guru pada sekolah dasar berkisar dari kurang dari 10 hingga lebih dari 60 murid per guru. Perbedaan daerah dalam distribusi guru menurut tingkat pendidikan sangatlah tajam: daerah-daerah yang lebih berada (yang diukur dengan konsumsi rumah tangga), terutama yang terletak di Jawa dan Bali, memiliki akses kepada guru yang lebih terdidik. Bagian guru yang tidak memiliki gelar sarjana SI adalah kurang dari 20 persen pada semua daerah di Jawa, sementara pada sejumlah daerah di provinsi Papua atau Sulawesi, bagian itu mencapai 60 persen. Tetapi seberapa banyak ruang yang tersisa untuk peningkatan dalam hal efisiensi dan kesetaraan, dan bagaimana merealisasikannya di dalam sistem pengelolaan guru yang rumit di Indonesia? Tabel 1: Karakteristik guru menurut lokasi, tahun 2010 Jumlah Jumlah guru bergelar minimal 51 SD 10,407 214.667 119.869 2.233 347.176 SMP 8,789 193.255 134.468 4.288 340.800 Jumlah 19.196 407.922 254.337 6.521 687.976 Persentase guru bergelar minimal 51 SD 14 24 38 26 27 SMP 69 76 78 76 77 Jumlah 22 36 52 46 40 Jumlah guru SD 74,757 890.290 317.623 8.476 1.291.146 SMP 12,757 254.721 172.044 5.642 445.164 Jumlah 87.514 1.145.011 489.667 14.118 1.736.310 Persentase jumlah guru SD 6 69 25 1 100 SMP 3 57 39 1 100 Jumlah 5 66 28 1 100 Sumber. Data NUPTK (2010) Cattan: Daerah perbatasan - berbatasan dengan daerah lain. Terpencil - klasifikasi BPS berdasar enam kriteria (ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas fiskal, aksesibilitas, kemiskinan) Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya besar untuk meningkatkan efisiensi dan kesetaraan dalam alokasi guru. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan pada lima Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar tahun terakhir yang menetapkan standar bagi tingkat kepegawaian sekolah. Namun norma kepegawaian yang berkaitan dengan setiap peraturan berbeda dan memberikan pedoman yang berbeda pula dalam hal standar- standar. Hal ini telah menyebabkan sejumlah kebingungan dan masalah dalam penafsiran peraturan dan telah menambah kerumitan untuk pemantauan ketaatan di tingkat sekolah, kabupaten/kota dan provinsi. Sebagai lembaga yang mempekerjakan tenaga, kabupaten/kota juga menerbitkan peraturan mereka sendiri tentang norma-norma kepegawaian dan aturan itu dapat melampaui tingkat minimum kepegawaian yang tersirat pada standar-standar nasional. Tabel 2: Peraturan kepegawaian guru terbar Standar pendidikan Standar layanan Pedoman teknis untulk dlasar (Permendiknas No. minimum (15/2010) peraturan bersama 41/2007) Il(2011) Pendidikan dasar Maksimum 28 murd per Maksimum 32 mund per 201-32 mud per kelompok kelompok belajar (rombel). kelompok belajar (rombel). belajar (rombel). Guru harus mengajar Minimum satu guru untuk Satu guru per rombel. minimum 24jam 32 mund. Minimum satu guru olahraga Minimum 6 guru per dan guru daerah per sekolah. sekolah d2 seaua daerah kecuali daerah khusus dengan minimum 4. Perkiraan rasio murid-guru 19 19 bila standar sepenuhnya diterapkan Catatan: Rasio murid-guru tahun 2010 adalah 17,5 Pendidikan menengah Maksimum 32 mund per Maksimum 36 mund per Maksimum 32 muad per pertama kelompok belajar. kelompok belajarh kelompok belajar. Guru harus mengajar Minimum satu guru untuk Minimum satu guru per mata minimum 24jam. tiap mata palajaran kecuali pelajaran daerah khusus dengan Geuru harus mengajar minimum satu guru untuk minimum 24jam. setiap kelompok mata pelajaran. Pekiraan rasio mu aid- 21 19 guru menengah pertama bila standar sepenuhnya diterapkan Catatan: Rasio murid-guru tahbun 2010 adalah 18 Menurut pedoman teknis dari keputusan bersamall, jurnlah guru-guru yang dilbutuhkan pada saat i lebih kecil dan junlah tenaga pendidik yang ada. Terdapat ketidaksamaan pada jumlah guru pada sekolah dlasar dan menengah pertama. Pada tingkat dlasarjumlah guru yang dilbutuhkan berada pada kisaran 100.000 dl bawah tingkat yang ada. Penguraian pensyaratan guru sekolah dlasar per mata pelajaran memperlihatkan surplus yang besar dalam guru kelas dan kekurangan dalam guru olahraga dan agama. Sebagai contoh, pemenuhan keputusan bensama akan membutuhkan hanya 1,1 juta guru kelas dibanding 1,3 juta yang sekarang mengajan 19 Keputusan Bersama itu adalah pedornan terbaru bagi alokasi guru, yang diterbitkan oleh lima Ikementerian pada bulan Oktober 2011 - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kernenterian Agama, Kernenterian Dalarn Negeri, Kernenterian Keuangan dan Kement- erian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 29 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) di dalam sistem. Pada sisi lain, perkiraan itu menunjukkan adanya kekurangan sebanyak 60.000 guru olahraga. Gambaran yang sama juga ditemui pada tingkat menengah atas: berdasarkan keputusan bersama itu, terdapat kelebihan yang besar dalam guru Bahasa Indonesia dan Agama dan kekurangan dalam guru-guru Komputer, Muatan Lokal dan Kewarganegaraan. Besarnya realokasi yang perlu dilakukan agar pendistribusian guru lebih merata sangat besar - 340.000 guru atau sekitar 17 persen dari seluruh tenaga pendidik harus dipindahkan. Sebagian besar redistribusi ini akan melibatkan pemindahan guru-guru di dalam kabupaten/kota yang sama, namun sekitar 74.000 guru harus berpindah dari kabupaten/kota yang kelebihan guru ke kabupaten/kota yang kekurangan guru di dalam provinsi yang sama (Gambar 22). Dengan standar keputusan bersama menyatakan kelebihan jumlah guru secara nasional, pemindahan lintas provinsi juga akan meningkatkan distribusi pada guru. Setelah pemindahan di dalam dan lintas kabupaten/kota, diperkirakan akan terdapat 34.000 guru yang dapat dipindahkan dari satu provinsi ke provinsi lain untuk mengisi kekurangan yang ada. Gambar 22: Dibutuhkan redistribusi guru yang signifikan untuk menerapkan keputusan bersama Persentase guru sekolah dasaryang harus dipindahkan untuk memenuhi keputusan bersama 25,000 E Jumlah guru yang harus dipindahkan 20,000 antar kabupaten/kota e Jumlah guru yang harus dipindahkan 2 antar kabupaten/kota dalam satu provinsi 3 15,000 10,000 5,000- 0- <4 < ~ <~,~,,F 5~~: o0 < 1 4 < D < Catatan: Perkiraan menunjukkan jumlah guru yang sekarang ada di sekolah dengan kelebihan guru (menurut keputusan bersama) yang dapat dipindahkan untuk mengajar pada sekolah yang kekurangan pengajar. Guru-guru kelas, olahraga dan daerah turut disertakan dalam perkiraan itu. Perkiraan itu menyertakan guru PNS dan bukan PNS. Sumber. Data sekolah Kemendikbud (2010) dan data NUPTK (2010) Selain upaya yang sedang dilakukan untuk memperbaiki pedistribusian guru, apa yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses tersebut? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam laporan ini, sistem hibah dan peraturan adalah penyebab utama kekeliruan alokasi. • Memutuskan kaitan antara bantuan pemerintah pusat dan penerimaan guru: Untuk membatasi pertumbuhan tenaga pendidik, pemerintah daerah harus mengetahui biaya aktual yang timbul dari perekrutan guru. Cara yang lebih singkat untuk menghapus insentif perekrutan guru yang berlebihan adalah memutuskan kaitan antara hibah antar pemerintah (intergovernmental transfers) dan perekrutan guru. Kuncinya adalah menghapus hubungan antarajumlah pegawai negeri sipil danjumlah alokasi DAU pemerintah daerah. • Memebenahi Peraturan Guru: Pertama, sangatlah penting untuk menetapkan norma tunggal 30 Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar kepegawaian nasional (guru) yang mudah dipahami dan diterapkan. Saat ini setidaknya terdapat tiga peraturan nasional, yang masing-masing berisi norma kepegawaian yang berlainan. Dibutuhkan standar kepegawaian tunggal untuk tingkat nasional yang mudah dimengerti, sesuai dengan peraturan lain (seperti peraturan mengajar tatap muka 24 jam/minggu) dan dapat meningkatkan efisiensi distribusi guru. Kedua, rumus jumlah harus disusun berdasar rasio murid-guru, bukan kelompok belajar. Ketiga, peraturan harus secara jelas menekankan pada peningkatan tiga bidang yang paling mungkin memberikan manfaatterbesar: i) Menggunakan metode yang inovatif untuk menangani ketidakefisienan kepegawaian pada sekolah-sekolah kecil, ii) Meluncurkan dan memperluas pengajaran mata pelajaran ganda pada sekolah menengah pertama, dan iii) Meningkatkan pemerataan distribusi guru dengan meningkatkan insentif dan alokasi guru baru yang lebih baik. Penanganan sekolah kecil secara efektif: Kecilnya ukuran suatu sekolah adalah faktor utama yang menjelaskan relatif terbatasnya dampak dari keputusan bersama dan peraturan lain yang ada terhadap rasio murid-guru dan efisiensi nasional. Pada tingkat dasar, sekitar sepertiga sekolah memiliki kurang dari 120 murid. Besarnyajumlah sekolah kecil sebagian dijelaskan oleh rendahnya kepadatan penduduk pada banyak daerah di Indonesia. Tetapi sejumlah provinsi yang paling padatpun juga memiliki sekolah kecil dalamjumlahyang besardan rasio murid-guru yang relatif rendah. Penggunaan dan perluasan pengajaran kelas rangkap adalah salah satu cara untuk mengelola masalah kepegawaian pada sekolah-sekolah kecil. Pada sekolah menengah pertama, penggunaan guru untuk mengajar lebih dari satu mata pelajaran (mata pelajaran ganda atau kumpulan mata pelajaran) dapat meningkatkan efisiensi kepegawaian. Selain itu, upaya apapun untuk meningkatkan distribusi guru harus menjawab ketidakmerataan yang ada dengan meningkatkan upaya bagi sekolah-sekolah yang kekurangan tenaga. Manajemen guru yang efektif ini dapat dicapai - beberapa daerah telah berhasil memperbaiki alokasi guru melalui pendistribusian ulang. Gorontalo, misalnya, menerapkan kebijakan yang berhasil di tahun 2006, menerima guru-guru yang setuju untukditempatkan pada sekolah-sekolah yang membutuhkan keahlian khusus mereka. Para guru juga ditawarkan kontrak delapan tahun yang menyatakan bahwa mereka dapat dipindahkan di dalam kabupaten/kota berdasarkan kebutuhan kepegawaian.2? Hal ini memungkinkan guru-guru baru untuk ditempatkan ke sekolah-sekolah yang sangat membutuhkan dan memberikan fleksibilitas kepada kantor pendidikan setempat untuk memindahkan guru-guru ketika dibutuhkan. Pemerintah setempat perlu menilai apakah distribusi guru lintas sekolah telah merata; sementara mungkin sulit untuk memindahkan guru yang telah ada, masih mungkin untuk memperbaiki distribusi dengan berjalannya waktu dengan menempatkan guru baru yang berkualitas ke sekolah-sekolah yang paling membutuhkan. Sangat penting untuk mengetahui bahwa upaya-upaya perbaikan terhadap distribusi guru yang ada akan membutuhkan waktu untuk dilaksanakan - tetapi surat keputusan bersama, rencana perluasan dan gelombang pensiun guru memberikan kesempatan yang baik untuk mempercepat upaya-upaya perbaikan tersebut. Rencana pemerintah untuk perluasan lebih lanjut bagi pendidikan menengah memberikan kesempatan bagi penugasan ulang lintas tingkatan. Meningkatkan Dukungan Daerah kepada Sekolah Jika peningkatan efisiensi dapat diwujudkan melalui pembenahan manajemen guru, daerah dapat memainkan peran yang lebih kuat dalam mendukung sekolah. Dengan membebaskan sumber daya dari belanja gaji, kabupaten/kota dapat mendukung sekolah-sekolah melalui jalur-jalur lainnya. Di dalam konteks sistem di Indonesia dengan pengelolaan berbasis sekolah yang signifikan, hal ini dapat berarti memberikan pendanaan tambahan yang lebih merata kepada sekolah-sekolah, dan juga dukungan teknis dan manajemen yang lebih kuat. 20 Kluyskens dan Rawlinson (2008), Improving EfficiencyondEquityin TeacherEmploymentondDeployment. 31 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Pendanaan dari daerah masih merupakan bagian yang sangat kecil dari anggaran sekolah - sebagian besar sumber daya yang diterima sekolah berasal dari pemerintah pusat untukgaji guru pegawai negeri, diikuti oleh BOS di urutan kedua. Secara rata-rata, sekolah dasar dan menengah pertama menghabiskan hampir Rp 1,9 juta per murid untuk gaji guru per tahun (sekitar 200 dolar AS, Gambar 23). Nilai BOS, yang seharusnya menutupi biaya operasi di sekolah, adalah Rp 400.000 secara rata-rata. Sumber penerimaan lainnya, dari kabupaten/kota, provinsi dan dana swasta (orangtua atau sumbangan), berjumlah sekitar 7 persen dari seluruh sumber daya sekolah - meski pendanaan swasta merupakan bagian yang tidak signifikan dari anggaran sekolah negeri, dengan hampir 90 persen sekolah melaporkan tidak ada penerimaan dari orangtua dan 80 persen sekolah tidak mencatat adanya sumbangan. Jadi jika kita mengeluarkan dana untuk gaji guru, hampir seluruh sumber daya pada tingkat sekolah datang dari BOS, dan sekitar 15 persen berasal dari pemerintah kabupaten/ kota dan provinsi. Gambar 23: Jumlah bantuan per siswa menurut sumber penerimaan pada tingkat sekolah, tahun 2010 100% 2,000,000 90% 1,800,000 80% 1,600,000 70% 1,400,000 .rn 60% 1,200,000 . 3 50% 1,000,000 40% - 800,000 30% Per S[swa 600,000 20% - % sekolah yang melaporkan 400,000 tidak menerima pendapatan 10% dar sumber 200,000 0 0 Gaji BOS Kabupaten Provinsi Orang Tua Donasi /Kota Sumber Dana Sumber: Bank Dunia-Rand, Survei Manajemen Berbasis Sekolah (2010) Alat potensial untuk meningkatkan dukungan dari kabupaten/kota ke sekolah adalah program BOS Daerah (BOSDA). Pada tahun 2009 suatu survei menemukan bahwa 60 persen kabupaten/kota memberikan dukungan tambahan dalam bentuk BOS Daerah (BOSDA) - sebagian besar dalam bentuk tambahan dana per murid. Seperti program BOS nasional, mayoritas kabupaten/kota mengalokasikan BOSDA ke sekolah berdasarkan jumlah murid yang ada. Sementara jumlah yang diberikan kepada tiap murid berbeda-beda antar kabupaten/kota, nilainya cenderung lebih rendah dibanding program BOS (yaitu secara rata-rata sebesar Rp 150.000 dibanding antara Rp 575.000 dan Rp 710.000 per murid pada BOS nasional tahun 2012). Sejumlah pemerintah lokalP menggunakan berbagai rumusan, misalnya dengan berdasar jumlah kelas atau jumlah guru untuk menetapkan jumlah alokasinya. Perbandingan sederhana antara prestasi sekolah yang menerima BOSDA dan tidak menerima BOSDA menunjukkan bahwa dana itu memang berfungsi: sekolah-sekolah yang menerima BOSDA memiliki prestasi yang lebih baik dalam mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Siswa di sekolah dasar yang menerima BOSDA memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding siswa di sekolah yang tidak menerima BOSDA. Rata-rata siswa di sekolah yang menerima BOSDA meraih skor sebesar 9 dan 6 persen lebih tinggi masing- masing dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia. Kaitan ini tampaknya didorong oleh keputusan sekolah untuk menggunakan dana BOSDA untuk memberikan tambahan dukungan bagi siswa dan materi belajar mengajar, karena pola belanja sekolah yang menerima BOSDA dan yang tidak menerima BOSDA sama (Gambar 25b). 21 Istilah"Pemerintah Daerah"dapat berarti Pemerintah ProvinsiProvinsi atau Kabupaten/Kota. Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar Gambar 24: Siswa sekolah dasar penerima BOSDA berprestasi lebih baik (bahkan setelah menghilangkan faktor- faktor lain) Rata-rata nilai ujian siswa kelas 6 dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, tahun 2010 50- 45- 40. 35 - 30. 2 5 0 20 20 15 10 Matematika Bahasa E BOSDA E Tanpa BOSDA Cataran: Perbedaan dalam prestasi antara sekolah penerima BOSDA dan tidak menerima BOSDA berbeda secara signifikan pada tingkat satu persen. Grafik itu menunjukkan perbedaan sederhana dalam nilai ujian antara murid pada sekolah yang menerima BOSDA dan yang tidak. Namun, hubungan positif antara BOSDA dan pencapaian pembelajaran tetap bertahan walau faktor-faktor lain dihilangkan (seperti karakteristik sekolah dan guru dan latar belakang orangtua). Sumber: Bank Dunia-Rand, Survei Manajemen Berbasis Sekolah, tahun 2010 Gambar 25: Pendapatan sekolah per siswa dan porsi belanja menurut kategori untuk sekolah penerima BOSDA dan bukan penerima BOSDA, tahun 2010 a) Per student resources, by source (BOSDA and b) Share of spending (BOSDA and non-BOSDA non-BOSDA schools) schools) 700,000 100%· 90%- MOther 600,000 80%- EUtilities C. 500,000 70%- m Donation 6a - 60%EManagement -8 400,000 0 Parent mProvince 50% Materials 300,000 *Dstrct 40%- m~~ ~ ~ DititmSuent 200,000 eBOS 30%- 20%. Enon-PNS 100,000 Salary -0% 0%-1 1 Non-BOSDA BOSDA Non-BOSDA BOSDA Sumber: Bank Dunia-Rand, Survei Manajemen Berbasis Sekolah (2010) BOSDA memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam meningkatkan manajemen kabupaten/kota dengan mengalokasikan sumber daya secara lebih merata dibanding program BOS nasional dan dengan meningkatkan keterlibatan kabupaten/kota dalam pengelolaan sekolah-sekolah. Alokasi BOSDA dengan menggunakan rumus per-siswa tidak menyertakan perbedaan dalam biaya operasi yang dihadapi karena populasi tertentu yang dilayani dan lokasinya. Sekolah-sekolah pada daerah terpencil yang melayani rumah tangga miskin umumnya akan membutuhkan tambahan sumber daya (seperti tambahan waktu pembelajaran, pelatihan perbaikan untuk murid, dll.) untuk memberikan tingkat pendidikan yang setara dengan sekolah-sekolah di daerah yang lebih berada. Biaya alat sekolah juga dapat sangat bervariasi antara daerah yang mudah dicapai dan daerah terpencil karena berkaitan dengan biaya transportasi: dengan jumlah BOSDA yang sebanding, suatu sekolah di daerah terpencil di Provinsi Papua hanya dapat membeli buku 33 Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) pelajaran dan perlengkapan pendidikan lain dengan jumlah yang lebih kecil dibanding sekolah di Jayapura. Dana BOSDA dapat dialokasikan dengan cara yang berbeda dari BOS nasional untuk menutupi perbedaan- perbedaan tersebut (lihat Kotak I tentang program rintisan peningkatan BOSDA). BOSDA adalah program yang menjanjikan: dengan meningkatkan pendanaan sekolah dan manajemen kabupaten/kota, BOSDA berkaitan dengan hasil-hasil pendidikan yang lebih baik. Namun alasan keberhasilannya membuat perluasannya menjadi suatu tantangan. Karena BOSDA telah berkembang secara sukarela, maka hanya kabupaten/kota yang telah siap untuk mengelola dan mendukung sekolah-sekolah-lah yang secara efektif melaksanakan program tersebut. Menetapkannya sebagai program wajib dapat membawa pengaruh yang menurunkan dampaknya; sesungguhnya, memaksa kabupaten/kota yang belum siap atau mampu untuk mengelola penerapan program itu mungkin tidak membawa hasil yang sama. Akan lebih baik untuk melakukan perluasan lebih lambat, memberi insentif kepada kabupaten/kota untuk menerapkan program tersebut melalui berbagai mekanisme: termasuk insentif dana, seperti transfer berdasarkan kinerja, atau dukungan tambahan dari pemerintah pusat untuk menerapkan program tersebut. Jika diterapkan dengan baik, BOSDA dapat berperan penting dalam meningkatkan pengelolaan kabupaten/kota. Kotak 1: Program rintisan/uji coba peningkatan BOSD Program uji coba peningkatan BOSDA Mengetahui pentingnya peran BOSDA dan potensinya untuk berkembang menjadi hibah berbasis kinerja dan pemerataan, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan bantuan Bank Dunia, menyusun suatu program uji coba untuk mendukung upaya-upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi BOSDA. Tujuan Program Peningkatan BOSDA awalnya diuji-cobakan pada dua provinsi dan 12 kabupaten/kota. Tujuan utamanya adalah mendukung pemerintah daerah (baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam upayanya menurunkan ketimpangan pendanaan dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja pendidikan. Uji coba ini menekankan kepada alokasi BOSDA dan bertujuan untuk: " Meningkatkan kriteria alokasi BOSDA yang ada untuk menghadapi ketimpangan pendanaan antar sekolah " Menciptakan insentif bagi prestasi sekolah yang lebih baik dan mendorong pengelolaan sekolah yang lebih efektif, transparan dan berdasar partisipasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Melalui pengalaman bekerja sama dengan pemerintah setempat, uji coba itu juga menyusun suatu pedoman BOSDA nasional yang: " Mendorong kebebasan pemerintah setempat untuk merancang rumus alokasinya yang dapat diterapkan, memperkenalkan variasi dalam rinciannya, dan mendorong kesetaraan yang lebih besar. " Mendukung pemerintah setempat untuk memberikan kebebasan bagi setiap sekolah untuk mengusulkan, membiayai dan mengelola kegiatan sesuai dengan kebutuhan mereka dan hasil-hasil yang diinginkan bagi murid-muridnya. Diperkirakan bahwa melalui kegiatan-kegiatan itu, program uji coba akan mendorong pemerintah setempat yang belum memberikan hibah sekolah setempat untuk memberikan program serupa. Bila program telah ada maka diharapkan bahwa uji coba itu akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan alokasi BOSDA yang ada. Mekanisme Provinsi dan kabupaten/kota pada uji coba itu menyusun rumus BOSDA dengan tiga komponen utama: alokasi dasar, alokasi untuk menghadapi ketimpangan sekolah dan komponen untuk memberikan tambahan sumber daya kepada sekolah yang telah menunjukkan prestasi yang sangat baik pada tahun ajaran yang lalu. Kriteria khusus dan pembobotan yang diberikan kepada setiap komponen tersebut bergantung kepada sifat pendidikan pada daerah itu dan fokus yang hendak dimiliki oleh BOSDA seperti menurut keinginan pemangku kepentingan. Pada sejumlah kasus, fokus dan bobot diberikan kepada pertimbangan keadilan, sementara pada yang lain penekanan diberikan kepada kriteria berdasar prestasi. Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar Pada daerah-daerah uji coba, proses untukmenyusun rumus BOSDAterdiri dan sejumlah ang kah-angkah: s Pengenalan konsep rumus kepada pemangku kepentingan perdidikan kabupaten/kota; identifikasi variabel potensial untuk disertakandan usulan perubahan pengumpulan data ke model. u Kesepakatan akan rumus BOSDA yang baru dengan analisis dampak berbaga k pilihan rumus terhbaed lokasi ke sekolah. k Persiapan implementasi dengan menentukan prosedur keuangan yang tepat dan menyusun pedoman yang dibutuhkan,termasuk kebijakan tentang bagaimana dana daiatdibelanjakan pada tingkat sekolah. d Menyepakati jadwal impleentasi dan mengalokasikan dana ke sekolah berdasarkan rumus yang baru. y Memantau dan mengevaluasi penerapan rumus yang baru dan melakukan revisi pada implementasi bila dibutuhkan. Mekanisme transfer dapat menjadi efektif untuk memberi insentif kepada kabupaten/kota untuk memperkecil penerimaan/perekrutan guru dan mendorong program-program yang lebih produktif, seperti BOSDA. Sesungguhnya, transfer mungkin merupakan stu-sotunyo klityang tersed a bagi peerintah pusat untuk memnastikan bahwa perubahan tersebut berjalan secara berkelanjutan. Peraturan yang mencoba untuk mengulah perilaku daerah sulit untuk ditegakkan. Transfer dapat digunakan untuk memberi insentif kepada distrik untuk menerapkan program-program yang berhasil seperti BOSDA; transfer berbasis kinerja seperti Dana-Insentif Daerah (DID) dapat menjadi jalur yang baik untuk insentif ni. Jika peningkatan efisiensi dan pembenahan manajemen guru direalisasi, kabupaten/kota akan meailiki lebih banyak sumber daya yang tersecia untuk digunakan pada program-program lan. Program yang mereka pilih untuk didukung akan bergantung, secara sebagian, pada insentif yang mereka haapi, danjuga kapasitas teknisnya. Dibiarkan menjadi mandiri, daerah-daerah dengan kapasitas yang tinggi tampaknya akan membelanjakan sumber daya mereka secara efsien, sesentara daerah dengan kapasitas rendah apat menemui kesulitan. Namun pada kedua kasus itu, pemerintah pusat dapat memandu belanja daerah dengan mekberikan insentifa Pemberian hibah sejumlah nila n BOSDA adalah salah satu kemnungkinan kebijakan untuk menmandu kabupaten/kota; ketika dikaitkan dengan transfer berbasis kinerja, dana-dana ni dapat memberikan insentif kepada daerah untuk memperluas program-program yang baik. Meningkatkan perencanaan anggaran, transparansi dan akuntabilitas Selain upaya-upaya spesifik seperti disebutkan di atas, me astikan akuntabilitas dan transparansi dalam perencanaan dan pengalokasian sumber daya sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas belanja. Seperti dibahas pada Bagian 1, aturan 20 persen itu menbuat proses penetalpan tanggung jawab kepada badan yang mengeluarkan belanja menjadi lebih menantang karena tidak lagi terdapat tekanan untuk menunjukkan hasil-hasil yang mendukung permintaan anggaran pendidikan dan pengelolaan potensi windfall anggaran yang besar merupakan suatu tantangan. Sehingga adalah penting untuk meningkatkan pelaporan, perencanaan dan transparansi anggaran pendidiKkan pada tingkat nasional, dan terutana, pada tingkat daerah. Memnastikan hubungan antara perencanaan, penganggaran dan kinerja program umumnnya akan menghasilkan kualitas belanja yang lebih baik. Kemnenterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah membuka jalan untuk mengukur hasil-hasil pendidikan, mengevaluasi kinerjanya dan menggunakan informasi ini untuk menberikan informasi kepada proses penganggaran. Sejak tahun 2010, Kemendikbud telah dengan aktif berkolaborasi dengan KantorWakil Presiden dalam hal prakarsa pemantauan dan evaluasi (Instruksi Presiden 1/2010), yang dikelola oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang melaporkan tentang peningkatan pada program-program yang memperoleh prioritas dar3 pemnerintah dan memnastilkan konsistensi antara perencanaan dan implemnentasi program. Kemendikbud mengembangkan unitnya sendiri,yaitu Unit Kerja Menteri Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UlKMP3) untuk menanggapi secara lebih efektif dari UKP4, tetapi seperti pada negara-negara lain, pengaitan informasi ini kepada anggaran telah menjadi proses yang lebihn panjang. Kemendikbud adalah salah satu kementerian percontohan yang terlilbat di dalam prakarsa penganggaran berbasis kinerja yang dijalankan oleh Kemnenterian Keuangan dan BAPPENAS, dan didulkung oleh Bank Dunia dan para mitra pemnbangunan Iainnya. Belanja lebih banyak atau belanja lebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Perluasan dan peningkatan upaya Monitoring dan Evaluasi yang ada dan bergerak menuju penganggaran yang mendapat informasi tentang kinerja akan memungkinkan Kemendikbud untuk semakin meningkatkan kualitas belanja dan hasil realisasinya. Meningkatkan pelaporan anggaran pendidikan pada tingkat daerah merupakan hal yang penting. Laporan ini menyinggung sejumlah bidang yang bermasalah dalam pelaporan data pendidikan yang sedang berjalan, terutama bagi data daerah, yang tertinggal selama dua tahun, yang mencakup hanya 70 persen kabupaten/kota dan tidak memberikan uraian data mendasar. Mendorong pelaporan data daerah yang lebih mutakhir dan rinci (seperti menyertakan rincian gaji untuk pegawai negeri berprofesi guru dan bukan guru dan sesuai tingkat pendidikan) dan memberikan pedoman untuk metodologi dan perhitungan bagi kabupaten/ kota dan provinsi untuk memastikan konsistensi, merupakan hal yang penting untuk meningkatkan transparansi anggaran pendidikan. Rintangan dan tantangan yang berkaitan dengan aturan 20 persen menjadi hal penting untuk menyusun suatu rencana strategi kontingensi bagi pengelolaan anggaran pendidikan. Seperti dibahas sebelumnya, aturan 20 persen itu membuat anggaran pendidikan menjadi sulit ditebak, karena aturan itu juga berlaku bagi perubahan anggaran. Peningkatan anggaran pemerintah secara otomatis akan meningkatkan anggaran pendidikan, yang memperumit perencanaan anggaran, terutama karena subsidi bahan bakar yang tidak stabil merupakan mata anggaran Pemerintah Indonesia yang paling besar. Tingginya volatilitas pada anggaran pendidikan harus ditanggulangi dengan penggunaan Dana Pembangunan Pendidikan Nasional yang lebih baik, yang membutuhkan pedoman yang jelas tentang penggunaannya dan kerangka belanja jangka menengah yang menguraikan proporsi windfall yang akan dialokasikan kepada Dana itu dan bagaimana dan menurut skenario apa sumber daya itu bisa digunakan. Ekonomi Politis dari Reformasi merupakan tantangan yang penting Implementasi seluruh reformasi tersebut akan menjadi tantangan karena rumitnya ekonomi politis. Reformasi yang melibatkan satu pemangku kepentingan dapat diterapkan dengan mudah; perluasan BSM atau peningkatan dana bagi pendidikan yang lebih tinggi merupakan hal yang relatif mudah. Namun reformasi yang melibatkan banyak pemangku kepentingan mungkin tidak dapat terlaksana tanpa penyamaan kepentingan. Sejumlah usulan kebijakan, seperti peningkatan pemanfaatan mekanisme bantuan dan peningkatan bantuan berbasis kinerja, relatif berada di luar kendali Kemendikbud - tetapi berada di bawah Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Usulan seperti itu dapat berdampak pada banyak sektor, tidak hanya pendidikan; menyeimbangkan insentif dan kepentingan berbagai pemangku kepentingan akan menjadi rumit dan membutuhkan peningkatan advokasi dan koordinasi. Urutan reformasi merupakan hal yang penting. Sejumlah masalah lebih mendesak atau lebih peka secara politik dibanding yang lain. Pengelolaan guru harus ditangani secara mendesak untuk membebaskan sumber daya dan menghentikan tren perekrutan guru yang berlebihan dan distribusi guru yang tidakmerata. Peningkatan perencanaan anggaran dan transparansi merupakan hal yang penting dalam konteks aturan 20 persen tersebut. Kedua reformasi itu akan menjadi dasar bagi perbaikan yang lebih berkelanjutan di masa depan. Reformasi lain mungkin membutuhkan pertimbangan dan perencanaan yang lebih matang - misalnya, sementara peningkatan belanja untuk PAUD tampaknya dibutuhkan, sumber-sumber dana dan skema pendanaan yang berkelanjutan harus disusun terlebih dahulu. Walaupun menunda reformasi yang sangat sulit, seperti penyesuaian mekanisme bantuan, Kemendikbud masih dapat memperbaiki sistem tersebut secara signifikan. Selain mendukung sejumlah program strategis, seperti BSM dan BOSDA, Kemendikbud dapat memberikan insentif dan mendampingi pemerintah daerah dalam hal manajemen guru melalui penyediaan pedoman yang jelas dan membantu mereka untuk menerapkan pengajaran kelas rangkap dan melaksanakan reformasi lainnya. 36 Meningkatkan kualitas belanja bagi pendidikan dasar Sekarang sudah waktunya untuk menerjemahkan komitmen yang kuat bagi pendidikan menjadi pendidikan yang berkualitas tinggi. Indonesia sudah siap untuk melakukan lompatan kualitatiftersebut. Walaupun hal ini akan membutuhkan kerja sama dan koordinasi dengan banyak pelaku, manfaat potensialnya berlimpah. Seiring dengan konsolidasi yang dilakukan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah, keberadaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi akan menjadi faktor penentu. Peningkatan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualitas belanja akan menjadi langkah besar untuk memastikan kesiapan negara ini. Belanja lebih banyak atau belanja Iebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Daftar Pustaka Akhmadi, S.U. and D. Suryadarma. 2004. "When teachers are absent: Where do they go and what is the impact on students?" SMERU Field Report. SMERU Research Institute, Jakarta, Indonesia. Alatas, V. and J. R. Jellema. 2012. "Cash Transfers for Poor Students." Background paper for the report on Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia. World Bank, Jakarta, Indonesia. Ali, M., J. Kos, P. Lietz, D. Nugroho, Furqon, A. Zainul and E. Emiliea. 2011."Quality of Education in Madrasah: Main Study." Final Report: Indonesia's Ministry of Religious Affairs, CSAS AusAID, the Australian Council for Educational Research (ACER), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) and the World Bank Jakarta, Indonesia. Banerjee, A., Cole, S., Duflo, E. and Linden, L. 2007. "Remedying Education: Evidence from Two Randomized Experiments in India."Quarterly Journal of Economics. Volume 122:3, pp: 1235-1264 Bettinger and Long. Forthcoming. Bettinger, E. and B. Long. 2006. "Does Cheaper Mean Better? The Impact of Adjunct Instructors on Student Outcomes." Mimeo, Harvard University. Bruns, B., D. Filmer and H. A. Patrinos. 2011. "Making Schools Work: New Evidence on Accountability Reforms." World Bank, Washington, DC. Cerdan-Infantes, P. et al. 2010."Education, Training and Labor Market Outcomes for Youth in Indonesia."World Bank, Jakarta, Indonesia. Chen, D., forthcoming. "Broadening Life-Long-Learning Opportunities in Indonesia.' World Bank, Jakarta, Indonesia. Chen, D. 2012, forthcoming. "Preparing Indonesian Youth for Transition."World Bank, Jakarta, Indonesia. Chen, D. 2011. "School-Based Management, School-Decision Making and Education Outcomes in Indonesian Primary Schools." Policy Research Working Paper 5809. World Bank, Washington, DC. De Ree, J. 2012. "Teacher certification in Indonesia: A doubling of salary, or a way to improve learning?" World Bank, Jakarta, Indonesia. Duflo, E. 2004. "The medium run effects of educational expansion: evidence from a large school construction program in Indonesia."Journal of Development Economics, Vol. 74(1): 163-197. Duflo, E., P. Dupas and M. Kremer. 2012. "School Governance, Teacher Incentives, and Pupil-Teacher Ratios: Experimental Evidence from Kenyan Primary Schools." NBER Working Paper 17939. Available at: http://www.nber. org/papers/wl 7939.pdf Duthilleul, Y. 2005. "Lessons Learnt in the Use of Contract Teachers." Synthesis Report. UNESCO, International Institute for Educational Planning, Paris, France. Filmer, D. and N. Schady. 2009. "Are There Diminishing Returns to Transfer Size in Conditional Cash Transfers?" Policy Research Working Paper 4999, Impact Evaluation Series No. 35. World Bank, Washington, DC. Government of Indonesia. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2010-2011."Teacher Data and Statistics (NUPTK)."Jakarta. Government of Indonesia. Indonesia Central Bureau of Statistics (BPS). 2010. "National Labor Force Survey U (SAKERNAS)."Jakarta. Government of Indonesia. Indonesia Central Bureau of Statistics (BPS). 2001-2010. "National Socioeconomic Household Survey (SUSENAS)."Jakarta. Government of Indonesia. Ministry of Education and Culture (Kemendikbud). 2010. "Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2009/201O."Jakarta. Government of Indonesia. Ministry of Finance (Kemenkeu). 2001-2011. "Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).' Hanushek, E. A., and L. WoBmann. 2007. "Education Quality and Economic Growth." Policy Research Working Paper 4122. World Bank, Washington, DC. Hoxby, C. M. 2000. "The Effects of Class Size on Student Achievement: New Evidence from Population Variation." The Quarterly Journal of Economics, 115(4): 1239-1285. Hyunkuk, C., P Glewwe, and M. Whitler. 2010."Do Reductions in Class Size Raise Students'Test Schores? Evidence from Population Variation in Minnesota's Elementary Schools." Department of Applied Economics, University of Minnesota. Jensen, R. 2010. "The (Perceived) Returns to Education and the Demand for Schooling."The Quarterly Journal of Economics, Vol. 125(2): 515-548. Jepsen, C. and S. Rivkin. 2009. "Class Size Reduction and Student Achievement: The Potential Tradeoff Between Teacher Quality and Class Size."Journal of Human Resources, Vol.44(1): 223-250. King, E., A. Aarons, L. Crouch, S. Iskandar, J. Larrison, H. Moegiadi, F. Munger, J. Strudwick, and S. Muljoatmodjo. 2004."Education in Indonesia: Managing theTransition to Decentralization."Report 29506, Vol. I of 3. EAP Region, Human Development Sector Department, World Bank, Washington, DC. Kluyskens, J. and M. Firdaus. 2009. "Teacher management: Recruitment, Selection and Data, Probation and Transfer'" Backgound paper for the ESW study - Formulation of the medium term strategy (RENSTRA) for the education sector (2009-2014). World Bank, Jakarta, Indonesia. Kluyskens, J.and R. Rawlinson.2008."Improving Efisiensi dan kesetaraan inTeacher Employment and Deployment." World Bank, Jakarta, Indonesia. Lewis, B. D. 2012."Local Government Capital Spending in Indonesia: Impact of Intergovernmental Fiscal and In- Kind Transfers." Research Report. World Bank, Jakarta, Indonesia. Little, A. 2006. "Education for All and Multi-grade Teaching: Challenges and Opportunities."Springer, London. McEwan, P J. and J. S. Shapiro. 2008."The Benefits of Delayed Primary School Enrollment Discontinuity Estimates Using Exact Birth Dates."Journal of Human Resources, Vol.43(1):1-29. Mulyran-Kyne, C. 2007. "The Preparation of Teachers for Multigrade Teaching." Teaching and Teacher Education, Vol. 23(2007): 501-514. Patrinos, H. A. (Ed). 2012."Strengthening Education Quality in East Asia." UNESCO - World Bank. Pritchett, L. 2009. "Long-Term Global Challenges in education: Are There Feasible Steps Today?" Chapter Three in "Shaping Tomorrow Today: Near-Term Steps towards Long-Term Goals." Lempert, R.J. et. al. (eds). The RAND Corporation, Santa Monica, Arlington, Pittsburgh. Pritchett, L. and M. Viarengo. 2009. "Producing Superstars for the Economic Mundial: The Mexican Predicament with Quality of Education."Cambridge, Mass: John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Program on Education Policy and Governance working paper 09-01, Januari 2009. As of June 18, 2009: http://www.hks. harvard.edu/pepg/PDF/Papers/Pritchett_Viarengo_PEPGO9-01.pdf U Belanja lebih banyak atau belanja Iebih baik: Memperbaiki pendanaan pendidikan di Indonesia (Ringkasan Utama) Rogers, F. H. and E. Vegas. 2009."No More Cutting Class? Reducing Teacher Absence and Providing Incentives for Performance." Policy Research Working Paper 4847. Retrieved from http://Iibraryl.nida.ac.th/worldbankf/ful|text/ wps04847.pdf in April 2012. SEAMEO.(2006). "Indonesia: National Education System." South East Asian Ministers of Education Organization. Retrieved from www.seameo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=62<emid=85 in March 2012. Shaeffer, S. 2011 '"Multi-grade Teaching in Indonesia: Situational Analysis and Implementation Framework' Background paper prepared for Ministry of Education and Culture and World Bank Office, Jakarta, Indonesia. Unpublished. SMERU. 2010. "Remote Area Allowance and Absentee Levels for Teachers in Remote Areas." SMERU Research Institute, Jakarta. UNESCO Institute for Statistics. 2006 - 2009 data. UNICEF. 2009."School Readiness in Indonesia." UNICEF, Jakarta, Indonesia. World Bank. 201 2a."Indonesia Economic Quarterly: Redirecting Spending."World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank. 2012b, forthcoming. "Sub-national Public Expenditure Review (SNPER)." World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank. 201 Oa. "Investing in Multi-gradeTeaching in Indonesia." Policy Note. World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank. 201 Ob. "Transforming Indonesia's Teaching Force."World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank. 2009. "Investing in Indonesia's Education at the District Level: An Analysis of Regional Public Expenditure and Financial Management."World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank - RAND. 2010. "School Based Management Survey."World Bank - RAND, Jakarta, Indonesia. World Bank. Edstats Online Education Database. 2001 - 2010 Online Query: Zafeirakou, A. 2007. "Education for All by 2015: Will We Make It?" Paper commissioned for the EFA Global Monitoring Report 2008. U