47678 PENILAIAN STRATEGIS UNTUK PERENCANAAN RUANG DI PROVINSI PAPUA Desember 2008 Penilaian ini didukung oleh THE WORLD BANK | BANK DUNIA CONTENTS 1. RINGKASAN UMUM 1 2. PENDAHULUAN 5 2.1 Latar belakang 5 2.2 Tujuan Kegiatan 5 2.3 Lingkup dan Tugas 5 2.4 Metodologi 6 3. PENILAIAN DATA SPASIAL PROVINSI PAPUA 9 3.1 Batas provinsi dan kabupaten 9 3.2 Zona geografis Papua 9 3.3 Tutupan hutan dan lahan 11 3.4 Kategori pemanfaatan lahan hutan 13 3.5 Tanah 14 3.6 Tanah Gambut 15 3.7 Curah hujan 16 3.8 Populasi manusia 17 3.9 Transmigrasi 19 4. PRIORITAS EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN 21 4.1 Prioritas ekonomi 21 4.1.1 Pertambangan 23 4.1.2 Logging 27 4.1.3 Kelapa sawit 28 4.1.4 Hutan tanaman industri 29 4.1.5 Pertanian 29 4.1.6 Jalan 30 4.1.7 Transportasi udara dan air 33 4.1.8 Perikanan 33 4.1.9 Listrik 35 4.1.10 Telekomunikasi 36 4.1.11 Pariwisata 37 4.1.12 Perdagangan 37 4.2 Prioritas sosial 37 4.2.1 Pengentasan kemiskinan 38 4.2.2 Kesehatan 39 4.2.3 Pendidikan 39 4.2.4 Ketahanan pangan 40 4.2.5 Sanitasi 41 4.2.6 Peningkatan kesejahteraan dan hak masyarakat adat Papua 42 4.3 Prioritas lingkungan 42 4.3.1 Pemanasan global dan perubahan iklim 43 4.3.2 Deforestasi 44 4.3.3 Konservasi gambut 45 4.3.4 Pengelolaan DAS, terutama di Kabupaten Merauke 46 4.3.5 Konservasi laut 46 4.3.6 Pengelolaan konservasi darat 47 5. PILIHAN PEMBANGUNAN 49 5.1 Pilihan transportasi dan akses 49 5.1.1 Pilihan business as usual (BAU) 49 5.1.2 Prioritas pembangunan jalan tertentu 49 5.1.3 Pastikan jalan yang ada dipelihara dengan baik 50 5.1.4 Peningkatan transportasi udara untuk penumpang dan barang 52 5.1.5 Peningkatan transportasi sungai dan laut 53 5.1.6 Akses pelayanan pendidikan dan kesehatan 54 5.1.7 Ringkasan dan rekomendasi 56 5.2 Pilihan pertambangan 56 5.2.1 Pilihan business as usual 56 5.2.2 Pemanfaatan pendapatan pertambangan untuk mempromosikan pembangunan yang adil sehingga tidak menghasilkan deforestasi yang luas 56 5.2.3 Penggunaan pendapatan dari tambang untuk membangun jalan 58 5.2.4 Realokasi daerah hutan lindung dan konservasi yang dialokasikan untuk eksplorasi tambang sebaga tempat untuk penyimpanan karbon atau logging 59 5.2.5 Peningkatan penghasilan dari tambang dengan menaikkan pajak tambang yang memanfaatkan lahan hutan 60 5.2.6 Kesimpulan dan rekomendasi 60 5.3 Pilihan kehutanan 61 5.3.1 Pilihan business as usual 61 5.3.2 Promosi logging berbasis masyarakat di hutan produksi 62 5.3.3 Alokasi hutan konversi untuk penyimpanan karbon dan konservasi 63 5.3.4 Dukung dan promosikan cara kerja terbaik (best practice) 65 5.3.5 Ringkasan dan rekomendasi 70 5.4 Pilihan Mamberamo 70 5.4.1 Pilihan business as usual 71 5.4.2 Lindungi wilayah Mamberamo untuk keanekaragaman hayati dan karbon 72 5.4.3 Pengijinan rencana eksploitasi dan pembangunan dengan hati-hati 73 5.4.4 Identifikasi alternatif pembangkit listrik 74 5.4.5 Ringkasan dan rekomendasi 75 6. PENILAIAN SKENARIO 77 6.1 Skenario business-as-usual 77 6.1.1 Transportasi dan akses 77 6.1.2 Pertambangan 80 6.1.3 Kehutanan 82 6.1.4 Mamberamo 84 6.1.5 Dampak ekonomi skenario business-as usual 85 6.1.6 Dampak sosial skenario business-as-usual 86 6.1.7 Dampak lingkungan skenario business-as-usual 86 6.2 Skenario pembangunan berkelanjutan 87 6.2.1 Transportasi dan akses 87 6.2.2 Pertambangan 88 6.2.3 Kehutanan 89 6.2.4 Mamberamo 91 6.2.5 Dampak ekonomi skenario pembangunan berkelanjutan 92 6.2.6 Dampak sosial skenario pembangunan berkelanjutan 92 6.2.7 Dampak lingkungan skenario pembangunan berkelanjutan 92 6.3 Perbandingan skenario BAU dan pembangunan berkelanjutan 92 6.3.1 Perbandingan dampak ekonomi 93 6.3.2. Perbandingan dampak sosial 95 6.3.3. Perbandingan dampak lingkungan 96 6.4 Kesimpulan 98 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 101 8. LANGKAH SELANJUTNYA 105 8.1 Tindak lanjut penilaian dengan lokakarya multi pihak 105 8.2 Lakukan penilaian yang sama di Papua Barat 105 8.3 Penyediaan bantuan untuk perencanaan ruang 105 8.4 Memfasilitasi konsultasi multistakeholder dan kemauan politik 107 8.5 Keterlibatan pemerintah daerah kabupaten dalam proses perencanaan ruang 108 8.6 Pelatihan 108 8.7 Pemberian Informasi dan Mempengaruhi Pengambil Keputusan 108 8.8 Pemantauan dan Evaluasi 109 9. TINJAUAN PUSTAKA DAN LITERATUR 111 LAMPIRAN 1 : Kegiatan - kegiatan yang dilakukan untuk studi ini 117 LAMPIRAN 2 : Kuisioner para pihak (stakeholder) 123 LAMPIRAN 3 : Ringkasan komunikasi 129 LAMPIRAN 4 : Materi lokakarya pelatihan untuk penilaian strategis lingkungan (SEA) 131 Penilaian Papua 1 1. RINGKASAN UMUM Tahap awal penilaian strategis perencanaan ruang di Provinsi Papua, Indonesia, dilakukan selama akhir perempat paruh tahun 2007 dan di awal perempat paruh tahun 2008. Waktu pelaksanaan ini bersamaan dengan konferensi UNFCC (United Nations Forum on Climate Change) yang diadakan di Bali pada bulan Desember 2007. Konferensi ini memberikan inspirasi pekerjaan yang dilakukan di Papua dan juga proses ini bersamaan dengan keterlibatan dari anggota tim selain melakukan penilaian strategis ini, juga terlibat dalam persiapan konferensi tersebut. Penilaian strategis telah melibatkan pendekatan analitis dan partisipatif untuk menjelaskan isu-isu lingkungan dan sosial kepada pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan di Papua. Akan tetapi, penilaian ini hanya merupakan tahap awal dari proses pengambilan keputusan. Selama proses penilaian dasar dan stakeholder dilakukan, telah dinilai juga prioritas- prioritas sosial, data spasial telah dikumpulkan dan peta-peta telah dibuat. Penilaian data spasial di Papua (dan Papua Barat) menjelaskan bahwa mayoritas (sekitar 85%) wilayah Papua dan Papua Barat masih ditutupi oleh hutan lebat dan hingga kini laju kerusakan hutan adalah minimum selama beberapa dekade (dibandingkan dengan Sumatera dan Kalimantan dimana terjadi laju deforestasi yang begitu besar, sehingga mengakibatkan Indonesia mendapat peringkat keempat di dunia sebagai penyumbang polusi). Hutan Papua sangat kaya akan keanekaragaman tumbuhan dan binatang, akan tetapi dari sudut pandang jumlah penduduk, Papua penduduknya sangat jarang (sekitar 17 / km2). Kebanyakan penduduk hidup di sepanjang daerah pantai yang juga dipadati oleh masyarakat pendatang yang berasal dari pulau lain yang merupakan bagian dari gelombang transmigrasi; masyarakat asli Papua kebanyakan berada di wilayah dataran tinggi. Papua memperlihatkan jauh lebih banyak keragaman etnik dan budaya dibandingkan provinsi lain di Indonesia, dan memiliki sekitar 250 bahasa. Secara ekonomi, Papua telah memiliki laju pertumbuhan yang sangat tinggi (antara tahun 2001 dan 2005 laju pertumbuhan mencapai 10% pertahun) yang sebagian besar adalah hasil dari pertambangan. Akan tetapi, industri pertambangan melibatkan investasi yang sangat besar dengan melibatkan pekerja kurang dari 1%. Sektor pertanian yang melibatkan tenaga kerja sangat tinggi merupakan sektor dengan pelibatan tenaga kerja terbanyak ­ sektor ini dicirikan oleh sistem pertanian tradisional, ditambah dengan peramu dan pemburu. Sektor kehutanan adalah sektor yang sangat penting, tetapi juga merupakan sumber persoalan. Pemerintah pusat akan lebih suka mengembangkan logging dan konversi ke kelapa sawit dengan skala besar, sedangkan pemerintah provinsi telah berkomitmen untuk mengembangkan logging berbasis masyarakat. Sektor transportasi adalah sektor kunci di Provinsi Papua yang begitu besar, dengan penduduk yang berpencar dan dengan rintangan fisik yang begitu besar (seperti sungai, pegunungan, dan sebagainya). Jalan-jalan telah dibangun dan jalan yang ada kebanyakan kurang pemeliharaannya. Transportasi air (laut dan sungai) adalah transportasi penting tetapi memerlukan fasilitas penanganan yang lebih baik; transportasi udara tersebar lokasinya tetapi mahal dan terhubung dengan sejumlah besar jaringan lapangan perintis (hanya beberapa bandara yang bisa menampung pesawat terbang besar). 2 Penilaian Papua Papua adalah sebuah paradox dalam keterbelakangannya. Di satu sisi memiliki begitu banyak cadangan sumber daya alam dan cukup anggaran pembelanjaan publik, dan bahkan sebelum otonomi khusus dan desentralisasi, Papua adalah provinsi kedua terkaya dalamhalfiskal1.Disisilain,kekuranganinfrastruktur,keterbatasankapasitaspemerintah, dan rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga menghasilkan kemiskinan yang endemis dan rendahnya indikator pembangunan manusia untuk seluruh provinsi ini. Sementara fokus program dibawah status otonomi khusus mengarah ke promosi strategi pengurangan kemiskinan dengan mendukung hak-hak masyarakat asli Papua, provinsi ini masih merupakan salah satu yang termiskin di Indonesia. Hutan, lahan basah, dan laut yang dianugrahkan ke Provinsi Papua, dan juga ke seluruh pulau New Guinea, adalah sangat bernilai dalam konservasi keanekaragaman hayati global, dan diantara yang terkaya di planet bumi ini. Semua ini merupakan unsur- unsur vital dalam strategi pendapatan masyarakat di provinsi ini, dan yang kebanyakan masyarakat asli Papua. Pada saat yang bersamaan, terdapat kompetisi yang ketat antar stakeholder untuk mengambil alih kontrol terhadap Provinsi yang kaya akan sumber daya alam ini, dan pada khususnya pada sumber daya mineralnya. Dalam konteks ini, pemerintah pusat berusaha untuk mempertahankan kontrolnya terhadap pengelolaan sumber daya di Provinsi ini tetapi mendapat tentangan, desentralisasi dan undang-undang otonomi khusus telah mendorong pemerintah maupun masyarakat lokal untuk mengambil alih kontrol terhadap sumber daya alam dan pemanfaatan atas sumber daya alam ini. Situasi masih tidak jelas pada khususnya dalam situasi dimana pemanfaatan satu sumber daya (seperti pemanfaatan mineral) adalah menjadi beban biaya bagi pengelolaan berkelanjutan dan/ atau proteksi sumber daya yang lain (misalnya hutan atau daerah dengan nilai konservasi tinggi). Misalnya dalam contoh kasus lembah Mamberamo, yang merupakan hutan tropis terbesar tanpa digangu oleh jalan di wilayah Asia dan Pasifik adalah daerah dengan nilai penting tingkat tinggi secara global dalam hal keanekaragaman hayati, dan juga memiliki potensi besar untuk logging dan eksploitasi mineral. Dari hasil penilaian data dan diskusi dengan para pihak (stakeholder), skenario pembangunan telah ditetapkan dengan mengambil isu-isu berikut dan mencakup empat daerah besar dengan potensi intervensi: ·Transportasi dan akses, yang difokuskan pada pengembangan transportasi udara, sungai dan laut, dan memelihara jalan yang ada, dibandingkan dengan mengembangkan program konstruksi jalan utama. ·Skenario pertambangan, dengan fokus pada perubahan bagaimana pendapatan diratakan untuk memastikan sektor ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas, dan mengintegrasikan perbaikan teknik yang memastikan limbah tambang ditangani dengan cara meminimalkan dampak lingkungan. ·Skenario kehutanan. Disini lebih ditekankan pada logging skala kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan usaha pengurangan logging skala besar. Selanjutnya, skenario ini meliputi pengalokasian lahan hutan untuk penyimpanan karbon dari pada untuk konversi; lalu skenario akan fokus pada metode "best-practice" (misalnya seperti RSPO, HCVF, dan sertifikasi) untuk diterapkan pada pembangunan kelapa sawit, operasional logging dan rencana ruang. 1 World Bank. (Draft) Papua Public Expenditure Analysis. Penilaian Papua 3 · Skenario Mamberamo, berusaha untuk menemukan keseimbangan antara memelihara seluas mungkin daerah berhutan Mamberamo sebagai daerah dengan nilai penting lingkungan secara global, dan membuka daerah untuk pertanian berkelanjutan, mempertimbangkan pembiayaan karbon sebagai pilihan pembangunan, memprioritaskan pembangunan jalan dengan dampak rendah dan mungkin mengijinkan sebagian kecil operasi pertambangan yang sudah diatur dan dikelola dengan baik. Masing-masing skenario di atas telah dikembangkan mengikuti metodologi SEA untuk empat daerah intervensi tersebut. Titik awal skenario "business as usual" (BAU) didiskusikan,denganasumsikebijakanpembangunanyangsekarangdilanjutkan.Sebagai perbandingan dengan skenario ini, skenario pembangunan berkelanjutan telah diusulkan untuk setiap potensi intervensi. Skenario-skenario ini bertujuan untuk mengkombinasikan pengentasan kemiskinan dengan keberlanjutan lingkungan dan mengurangi emisi karbon dengan solusi menang-menang (win-win solution). Skenario yang dipresentasikan pada empat daerah intervensi berusaha untuk menggambarkan pilihan-pilihan potensi kebijakan dan jalan keluar, akan tetapi laporan ini hanya langkah awal dari proses ini. Semua pilihan dan skenario yang dijabarkan dalam laporan ini perlu untuk didiskusikan lebih rinci dengan para pihak di Papua untuk memulai proses pembangunan rencana ruang yang baru yang akan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pengambilan keputusan yang baik. Akhirnya,untukmembuathasilkerjadiPapuainilebihmemilikinilaipentingsecararegional, kegiatan yang sama diperlukan untuk dilakukan di Provinsi Papua Barat. Beberapa data yang sudah dikumpulkan sebagai bagian kegiatan yang sekarang ini dapat digunakan sebagai dasar. 4 Penilaian Papua Aspek Skenario Skenario Dampak Business-as-Usual Pembangunan Berkelanjutan 2020 GDRP = 4.661 ··USD GDRP = 8.921 juta USD 2020 Ekonomi ·jutaUSD Pendapatan per kapita = 3.491 ·kapita Pendapatan per = 1.654 USD ·perpindahan jumlah Peningkatanpenduduk ·berkurangpemindahan pnduduk Tingkat dengan tersedianya dari dataran tinggi ke peningkatan jasa pesisir · Berkurangnya terjadinya HIV, Sosial ·peminggiran Peningkatankomunitas prostitusi dan alkohol penduduk interior ·1380 Keuntungan social berkisar USD per kapita ·berkisar Keuntungan social 300 US$ per kapita ·pada hutan2020 Luastahun ·diperkirakan pada tahun 2020 Luas hutanberkisar 23.5 juta diperkirakan sebesar hektar Lingkungan 17.4. juta hektar ·langsung Nilai hutan tidak ·tahun hutan tidak langsung pada Nilai 2020 sebesar 3.600 juta pada tahun USD 2020 sebesar 500 juta USD Penilaian Papua 5 2. PENDAHULUAN 2.1 Latar belakang Pada tahun 2007, pemerintah Provinsi Papua mengajukan permohonan asistensi dari Bank Dunia untuk perencanaan ruang. Bank Dunia kemudian menjawab permohonan ini dengan memberikan dana untuk penilaian strategis lingkungan, sosial dan ekonomi untuk pilihan dari berbagai macam perencanaan ruang dan pembangunan. Konsorsium Sekala, PCSSF dan Nordic Consulting Group) dipilih untuk melakukan tugas ini dan dikontrak untuk melakukan penilaian pada tanggal 28 Agustus 2007. Laporan ini meringkas temuan-temuan pada proses penilaian. Laporan ini disiapkan oleh Sekala (yang memimpin proses penilaian ini), Nordic Consulting Group dan PCSSF untuk memenuhi persyaratan kontrak no. 7144288 yang mewajibkan pihak-pihak tersebut diatas untuk melakukan Penilaian Strategis untuk Perencanaan Ruang di Provinsi Papua, Indonesia. 2.2 Tujuan Kegiatan Kegiatan ini secara keseluruhan bertujuan untuk membantu provinsi Papua untuk membangun perencanaan ruang dengan menilai konsekuensi-konsekuensi ekonomi, sosial dan lingkungan dari berbagai macam skenario pembangunan. Selanjutnya, penilaian ini akan membantu membangun kapasitas pemerintah Provinsi Papua untuk mengintegrasikan kesenjangan lingkungan dan sosial ke dalam perencanaan pembangunan. Kegiatan ini juga akan membantu pemerintah provinsi untuk mengikuti prosedur AMDAL dan memfasilitasi koordinasi antar institusi. 2.3 Lingkup dan Tugas Secara khusus, tugas-tugas berikut akan dilakukan selama kegiatan ini: 1) Penilaian Dasar : Mengumpulkan dan mengkaji informasi yang relevan, terutama dalam area-area utama untuk penataan ruang seperti infrastruktur, pembangunan pertanian dan kehutanan. 2) Analisis para pihak (stakeholder) : Mengidentifikasi para pihak utama dan menilai minat serta kekhawatiran mereka berkaitan dengan usulan penataan ruang. Hal ini harus didasarkan pada wawancara, kelompok fokus dan informasi yang tersedia, yang menghasilkan matriks para pihak. 3) Identifikasi Prioritas Ekonomi, Lingkungan dan Sosial : Mengidentifikasi prioritas- prioritas lingkungan, sosial dan ekonomi dari para pihak di Papua. 4)PengembanganSkenario:Mengembangkanserangkaianskenariountukpembangunan ruang dengan sekumpulan asumsi yang berbeda atas kebijakan pembangunan, pertumbuhan dan kualitas lingkungan. Faktor kritis yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan skenario minimum harus mencakup : · Bussiness as Usual (kelanjutan kebijakan pembangunan yang ada) · Peluang pengentasan kemiskinan · Pilihan pembangunan jalan alternatif · Peluang meningkatkan pendapatan · Analisis kelayakan lahan · Perlindungan budaya · Manfaat lingkungan lokal dan global dari penyimpanan karbon dan penghindaran deforestasi 6 Penilaian Papua 5) Penilaian Efek terhadap Prioritas Ekonomi, Lingkungan dan Sosial : Menilai konsekuensi kumulatif ekonomi, lingkungan dan sosial yang dihasilkan dari setiap skenario dalam kerangka waktu 5-10 tahun. Konsekuensi harus dinilai menurut indikator utama seperti : · Ekonomi-persentasepopulasidibawahgariskemiskinan;perubahan dalam distribusi pendapatan, proyeksi PDB per kapita; perubahan dalam pendapatan pemerintah · Lingkungan ­ perubahan dalam luas tutupan hutan alam; perubahan dalam emisi karbon · Sosial ­ tingkat migrasi pedesaan/perkotaan; perubahan dalam jumlah orang yang terpaksa menetap ulang; perubahan dalam area di bawah penguasaan tradisional 6. Sistem informasi geografi : Mengumpulkan dan menganalisis informasi dasar, skenario pembangunan dan proyeksi konsekuensi untuk memberi peluang presentasi dan diskusi. 7. Koordinasi intersektoral : Membantu pemerintah provinsi untuk menyelenggarakan pertemuan intersektoral dengan pemegang kepentingan pemerintah dan nonpemerintah untuk mendiskusikan prioritas, skenario, konsekuensi dan rekomendasi; dan 8. Mengadakan lokakarya pelatihan mengenai penggunaan dan teknik untuk staf badan pemerintahan utama serta para pihak yang lain. 2.4 Metodologi Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan SEA dari Rencana Pembangunan Ruang Provinsi Papua. Penilaian Lingkungan Strategis adalah pendekatan analitis dan partisipatif untuk menjelaskan isu-isu lingkungan dan sosial pada pengambil keputusan dan proses implementasi pada tingkat strategis. Hal ini meliputi penilaian lingkungan program-program pembangunan, rencana dan kebijakan sektor-sektor non-lingkungan. Penilaian Lingkungan strategis berbeda dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)dalamhalmenginformasikanperencanaanruangdansecaraproaktifmemikirkan konsekuensi-konsekuensi lingkungan, sosial dan ekonomi dari usulan rencana untuk mendukung pengambilan keputusan. Metodologi SEA didefinisikan dan dirangkum dalam kebutuhan khusus Papua selama tahap scoping, yang dilakukan selama persiapan laporan awal. Supaya efektif, proses SEA telah disesuaikan untuk mengakomodasi konteks administratif yang berlaku, kondisi sosial dan ekonomi Provinsi Papua. Pendekatan ini adalah fleksibel dan merespon apa yang ditentukan dalam tugas ini. Hasil akhir telah memasukkan prioritas dan kekhawatiran para pihak (pemerintah, kelompok masyarakat, dan pihak swasta). Tim SEA memanfaatkan data spasial dan sumber data kualitatif dan kuantitatif yang lain untuk melakukan analisis biaya-pendapatan, menilai pilihan dan peluang, mengusulkan pilihan-pilihan pencegahan dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekonomi tiap pilihan tersebut. Seluruh proses adalah konsultatif dan melibatkan para pihak. Hasil akhir dari SEA seharusnya berupa definisi pilihan-pilihan pembangunan dan perencanaan yang jelas yang merupakan hasil kesepakatan antar para pihak. Misalnya penerapan, pengenalan rencana, penyesuaian perencanaan dimasa yang akan datang dan keputusan berkaitan dengan perencanaan akan dipertimbangkan dan disetujui. Hal ini membutuhkan pendanaan dan waktu yang sepadan. Kegiatan yang sekarang ini berhenti disini dan hanya sejauh persiapan laporan sementara dan lokakarya awal para pihak. Penilaian Papua 7 Perlu diingat bahwa proses ini harus mewakili rasa memiliki oleh para pihak dari hasil dan diskusi. Kegiatan yang sekarang ini adalah sejauh tahap awal dari proses tersebut. Tahap berikutnya akan menyertakan beberapa lokakarya pengambil keputusan berdasarkan materi visual yang disiapkan dan diperbaiki untuk melanjutkan proses ini. Dalam hal ini proses SEA dan metodologinya tidak dapat dibandingkan dengan "kebiasaan" kegiatan dengan waktu yang tertentu dan dibatasi untuk komentar dan penyelesaian laporan. Pendanaan untuk melakukan kegiatan tambahan dalam pengambilan keputusan dan konsensus yang merupakan langkah selanjutnya dari proses ini, tidak termasuk dalam alokasi pendanaan yang sekarang. Untuk detil dan penjelasan dari kegiatan penilaian terdapat pada Lampiran 1. 8 Penilaian Papua Penilaian Papua 9 3. PENILAIAN DATA SPASIAL PROVINSI PAPUA Bagian ini akan menjelaskan data spasial yang dikumpulkan dan dipetakan oleh SEKALA untuk penilaian ini. 3.1 Batas provinsi dan kabupaten Provinsi Papua terletak di bagian sebelah barat pulau New Guinea yang merupakan pulau tropis terbesar kedua di dunia. Provinsi ini terbentuk secara resmi pada tahun 2003 pada saat Instruksi Presiden (Inpres 1/2003) tentang pembentukan Provinsi Papua dan tiga kabupaten baru (Mimika, Paniai and Puncak Jaya). Wilayah Provinsi Papua seluas 31.6 juta hektar dan saat ini terdiri dari 20 kabupaten (Gambar 3.1). Beberapa kabupaten baru belakangan ini baru terbentuk, belum masuk dalam laporan ini. Gambar 3.1: Batas administrasi provinsi dan kabupaten Provinsi Papua dan Papua Barat 3.2 Zona geografis Papua Papua terdiri dari beragam bentuk bentangan alam (landscape), mulai dari habitat terumbu karang dan pesisir, hamparan luas rawa air tawar dan hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan dan bahkan puncak-puncak yang ditutupi salju. Daratan Papua secara kasar dapat dibagi dalam empat zona geografis, yang masing- masing memiliki ciri khas biota (Beehler 2007). Yang pertama, Central Cordillera, yang membagi pulau New Guinea menjadi dua bagian, yaitu bagian barat dan selatan. Central Cordillera terbentuk oleh tekanan yang berasal dari tumbukan lempeng Australia dan lempeng Pasifik, yang mengangkat daerah tersebut secara dahsyat sejak jutaan tahun lalu. Cordillera terangkat hingga lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut memanjang sepanjang bentuk memanjang daratan Papua. Puncak tertinggi Papua tersebar di sekitar punggungan Cordillera. Puncak tertinggi, yaitu Puncak Jaya (4.884m) yang terletak di sebelah timur kota di dataran tinggi, yaitu Enarotali dan danau Paniai. Berdekatan dengan Puncak Jaya, Gunung Idenburg yang memiliki ketinggian 4,717. Di tengah dan di bagian timur Cordillera berdiri Gunung Trikora dengan tinggi 4,730m dan Gunung Mandala dengan tinggi 4,640m. Glasier kecil dan mulai mencair terletak di Puncak Jaya dan Puncak Pilimsit. 10 Penilaian Papua Bentangan luas daerah dataran rendah terbentang di sebelah selatan dan utara Cordillera, yang merupakan zona kedua dan ketiga. Zona ini meliputi DAS hutan hujan tropis terbesar yang belum begitu terganggu --Lembah Mamberamo-- yang merupakan bagian sebelah utara dari DAS sebelah barat New Guinea. Lembah Mamberamo dengan luas sekitar 8 juta hektar, sekitar 93 persen berhutan, membuat kawasan ini menyimpan keanekaragaman hayati yang begitu besar dan sangat penting secara global. Kawasan ini juga didominasi oleh tutupan rawa dengan berbagai jenis. Sungai Mamberamo mengalir di tengah-tengah Lembah Mamberamo dan mengairi hampir semua daerah sebelah utara DAS pegunungan tengah. Celah utama aliran Sungai Mamberamo membelah pegunungan Foja (di sebelah timur) dan pegunungan Van Rees (di sebelah barat) sebelum mengalir ke laut. Dua sungai yang mengalir dari bawah Cordillera menuju ke Sungai Mamberamo--Sungai Taritatu yang mengairi sebagian sebelah timur lembah dan pegunungan tengah ke selatan dan Sungai Tariku, yang mengalir ke sebagian kecil bagian barat lembah Mamberamo yang kemudian terbagi dua mengalir ke Rouffaer (di bagian utara) dan ke Van Daalen (di sebelah selatan). Danau terbesar di Papua, Danau Rombebai, berada di bagian tengah kawasan Mamberamo, dan juga danau yang lebih kecil Danau Bira (Beehler 2007). Di sebelah selatan Central Cordillera merupakan kawasan lahan basah terbesar di dunia dan merupakan salah satu kawasan dengan sistem mangrove terbesar di dunia. Kawasan ini didominasi oleh rawa dan mangrove yang terletak di atas lahan gambut dan bentangan alam Transfly, yang memiliki sejumlah besar kawasan savana, padang rumput, lahan basah, alang-alang dan hutan monsoon. Zona ini diairi oleh dua sungai penting. Diantaranya adalah Sungai Digul yang merupakan sungai terbesar, diikuti oleh Sungai Baliem yang mengairi lembah besar Baliem. Sungai besar lain yang terdapat di dataran rendah selatan Papua adalah Sungai Lorentz dan Sungai Eilanden. Pulau terbesar di Papua adalah Pulau Dolok yang terdapat di bentang alam Transfly. Pulau ini merupakan hamparan lumpur yang mengendap dari sungai yang mengalir ke pesisir tenggara (Beehler 2007). Zona keempat adalah Vogelkop (atau Kepala Burung) yang menghubungkan sisa Pulau New Guinea dengan bentangan leher memanjang. Pada zona ini terdapat beberapa pegunungan yang tersebar di hamparan dataran rendah (seperti Pegunungan Cyclops, Van Rees dan Foja) (Frazier 2007). Zona keempat ini terletak di provinsi Papua Barat, sedangkan tiga zona yang lain terletak di Provinsi Papua, yang merupakan fokus dari studi ini (Gambar 3.2). Penilaian Papua 11 Gambar 3.2: Bentuk geografis utama di Papua dan Papua Barat 3.3 Tutupan hutan dan lahan Peta tutupan lahan Papua menunjukkan bahwa mayoritas (~ 85%) wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat masih tertutup oleh hutan rapat. Analisis citra satelit Modis terbaru yang dilakukan oleh South Dakota State University's Geographic Information Science Centre of Excellence bekerja sama dengan Departemen Kehutanan Indonesia, World Resources Institute, SEKALA dan the United States Geological Survey telah menunjukkan bahwa deforestasi di Papua sangat kecil (hanya sekitar 1% dari total deforestasi di Indonesia). Perubahan tutupan hutan terbesar terjadi di Sumatra dan Kalimantan dimana lebih 95% deforestasi terjadi di dua pulau tersebut antara tahun 2000 hingga 2006. Lebih dari 47% hutan Papua diklasifikasikan sebagai hutan dataran rendah ­ menjadikan Provinsi Papua sebagai rumah untuk hutan dataran rendah rapat terbesar di Indonesia. Selain itu juga terdapat hutan mangrove yang luas (3,3% dari lahan hutan), ekosistem rawa (17,08% dari lahan hutan) dan hutan pegunungan (12,3% dari lahan hutan). Beberapa jenis ekosistem lain ditemukan di Provinsi Papua dengan luas kurang dari 3% dari lahan hutan untuk masing-masing jenis ekosistem seperti tertera pada Tabel 3.1. Tabel 3.1: Kelas lahan utama di Provinsi Papua Kelas lahan Luas (ha) % dari total lahan hutan Hutan dataran rendah 14,822,306 47.10 Mangrove 1,065,576 3.39 Hutan rawa 5,373,851 17.08 Hutan pegunungan 3,874,984 12.30 Hutan tanaman 222,415 0.71 Sawah 8,280 0.03 12 Penilaian Papua Savana 945,312 3.00 Semak 751,340 2.39 Rawa semak 1,174,857 3.72 Perkebunan 44,859 0.14 Tambang 1,969 0.01 Pemukiman 28,969 0.09 Perikanan 385 0.00 Pertanian kering campur semak 716,792 2.28 Pertanian lahan kering 81,600 0.26 Transmigrasi 102,510 0.33 Lain-lain 2,255,544 7.17 Jumlah luas keseluruhan 31,471,549 100 Secara botani, tutupan lahan Papua terkenal dan diestimasikan sebagai habitat bagi lebih dari 15.000 spesies tumbuhan vascular, diantaranya yang terkenal adalah 2000 spesies anggrek, lebih dari 100 spesies rhododendrons dan pinus Kauri (Agathis labillardierei) yang sangat berharga dan langka. Pohon Dipterocarp relatif jarang, akan tetapi jenis spesies kayu lain, seperti Intsia bijuga (merbau), Pometia pinnata (matoa), Pterocarpus indicus (rosewood) dan Dracontomelon (black walnut), sangat umum ditemukan (Beehler 2007). Gambar 3.3: Jenis hutan dan lahan yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat Penilaian Papua 13 3.4 Kategori pemanfaatan lahan hutan Lahan hutan Papua dibagi menjadi hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung dan hutan konversi. Hutan produksi diperuntukan untuk kegiatan logging dan hutan konversi diperuntukan untuk pertanian, perkebunan, pemukiman dan penggunaan lahan lainnya. Hutan konservasi dialokasikan untuk melindungi keanekaragaman hayati sedangkan hutan lindung bertujuan untuk melindungi daerah dengan kemiringan terjal, fungsi DAS dan jasa lingkungan, seperti penyimpanan karbon. Analisis kategori pemanfaatan lahan hutan ini mengindikasikan: · Hanya 3% lahan Papua berada di luar kawasan hutan. Daerah ini hanya seluas 851.940 ha dan pada umumnya terletak di sekitar daerah pemukiman. · 20% kawasan hutan Papua (6,6 juta ha) diperuntukan untuk hutan konversi. · 25% kawasan hutan Papua diperuntukkan untuk hutan produksi dan sebagian besar dari lahan ini telah dialokasikan untuk hak pengusahaan hutan skala besar dan hutan tanaman. · 20% kawasan hutan Papua telah diperuntukan untuk konservasi dan kawasan lindung. Persentase serupa dari jumlah total kawasan hutan tidak dapat ditemukan di provinsi lainnya di Indonesia, kecuali di Papua Barat. Sejumlah kabupaten juga memiliki wilayah yang dialokasikan sebagai daerah konservasi dan lindung yang sangat luas. Misalnya 90% wilayah Pegunungan Bintang dialokasikan untuk daerah konservasi dan lindung; 84% wilayah Tolikora dialokasikan untuk kawasan lindungdankonservasi;dan78%wilayahYahukiumodialokasikanuntukdaerahkonservasi dan lindung. Kondisi ini memberikan ruang yang sangat kecil kepada tiga kabupaten ini untuk mengkonversi hutan untuk penggunaan lahan lainnya atau untuk melakukan kegiatan extraksi sumber daya alam lainnya; seperti logging dan pertambangan. Sekitar 40% hutan dataran rendah Papua telah dijadikan zona hutan produksi dan hanya 19% dijadikan zona konservasi (Tabel 3.2). Perlu perhatian yang lebih khusus untuk kondisi ini karena hutan dataran rendah cenderung memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan sering menjadi target untuk kegiatan logging, pertanian dan perkebunan. Keberadaan hutan dataran rendah di Indonesia sangat terancam dan diperkirakan akan menghilang dari Pulau Sumatra dan Kalimantan di masa yang akan datang. 14 Penilaian Papua Tabel 3.2: Jenis hutan yang terdapat dalam tiap kawasan hutan di Provinsi Papua Forest Area (ha) Percent Percent in Percent in Percent in Percent in Cover of total production conservation Conversion Protection area forest forest forest forest Lowland 14,773,248 47.81 40.47 13.65 19.34 24.53 Mountain 3,874,632 12.54 0.75 36.37 9.19 52.17 Swamp 5,348,910 17.31 44.75 21.02 24.81 7.38 Mangrove 1,040,029 3.37 8.93 39.85 15.53 33.99 Other 5,862,972 18.97 23.39 28.24 26.99 15.95 Total 30,899,793 100.00 Hutan pegunungan dan mangrove pada umumnya dialokasikan untuk daerah konservasi. Hutan pegunungan biasanya dijadikan daerah konservasi karena hutan ini terdapat di daerah dengan kemiringan yang sangat terjal dan menyediakan fungsi sebagai daerah aliran sungai (DAS). Gambar 3.4: Kategori pemanfaatan lahan hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat 3.5 Tanah Pengetahuan tentang distribusi jenis tanah dan karakteristiknya penting untuk mengelola produksi pertanian dan jasa tanah yang lain. Penilaian Papua 15 Di Papua, kebanyakan masyarakat pedesaan memiliki nama sendiri untuk jenis tanah di daerah mereka dan mereka sangat paham dengan karakteristik tiap tanah tersebut. Jenis tanah berikut ini yang terdapat di Papua. Tujuh jenis tanah terdapat di Papua: 1) Entisols (tanah muda); 2) Histocols (tanah gambut); 3) Vertisols (moderately weathered soils); 4) Mollisols (highly organic soils); 5) Alfisols (moderately weathered soils with high clay content); 6) Ultisols (acidic soils); and Inceptisols (moderately weathered soils with slightly developed horizons) (Gambar 4.5). Tanah yang lebih subur (Mollisols dan Inceptisols) terdapat di daerah Mamberamo dan Transfly. Hal ini menjelaskan mengapa perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman kebanyakan berlokasi di wilayah ini. Ultisols dan Entisols banyak terdapat di daerah dataran tinggi dan sulit untuk ditanami. Mengatasi kondisi tanah yang kurang subur ini, masyarakat Papua di dataran tinggi mengembangkan sistem pengembalian material organik ke tanah dengan menambahkan nutrisi dan menjaga fisik tanah ke kondisi tertentu. Gambar 3.5: Jenis tanah yang terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat 3.6 Tanah Gambut Perlu dicatat bahwa sekitar 6,9 juta hektar lahan di Papua adalah tanah gambut. Kebanyakan tanah gambut ini terdapat di Kabupaten Asmat (1,5 juta ha), Mappi (1,2 juta ha), Merauke (1,6 juta ha), Mimika (745.592 ha), dan Sarmi (647.257 ha) (Gambar 4.6). Tanah gambut terdalam (2-3 meter) terdapat di Kabupaten Asmat dan Mimika. Perlu dicatat juga bahwa 85% Kabupaten Asmat merupakan tanah gambut dan 52% dari tanah gambut ini memiliki kedalaman antara 2 hingga 3 meter. 45% dari Kabupaten Merauke dan Mappi merupakan tanah gambut, sedangkan 33% dari luas Kabupaten Mimika adalah tanah gambut. Kelima kabupaten ini, terutama Kabupaten Asmat, akan membutuhkan rencana pembangunan yang khusus untuk melindungi dan menjaga tanah gambut tetapi pada saat yang bersamaan memungkinkan untuk membangun ekonomi yang menyejahterakan. 16 Penilaian Papua Figure 3.6: Depth and location of peat soils in Papua and West Papua 3.7 Curah hujan Papua memiliki iklim basah yang tidak biasa dalam konteks Indonesia maupun global, dimana sebagian besar pegunungan di Papua sangat basah dan berawan untuk mendukung pertanian. Sebagian besar Provinsi Papua (~ 85%) secara reguler menerima curah hujan 2,500-5,500 mm per tahun, dan sangat kecil daerah Papua yang menerima curah hujan lebih dari 6500 mm per tahun. Peta tematik curah hujan tahunan memperlihatkan bahwa curah hujan tinggi terjadi di sepanjang sebelah utara dan selatan pegunungan tengah yaitu di Kabupaten Boven Digoel, Yahukimo, Jayawijaya, Mimika, Tolikara dan Asmat. Curah hujan tinggi juga terjadi di sekitar Teluk Faminggu dekat kota Agats di Kabupaten Asmat (Prentice & Hope 2007). Curah hujan rendah terjadi di beberapa daerah pedalaman lembah (seperti Lembah Baliem), sebelah barat kota Jayapura, dan di Trans-Fly di tenggara. Curah hujan juga rendah di sepanjang pesisir utara, dari hilir Sungai Mamberamo ke arah timur hingga Jayapura. Kebanyakan daerah pedalaman menerima curah hujan lebih dari 3000mm per tahun (Prentice & Hope 2007). Pada wilayah tertentu, seperti di sebelah selatan Pegunungan Tengah sepanjang transek Puncak Jaya, curah hujan meningkat searah meningkatnya ketinggian dari permukaan tanah.Akan tetapi, curah hujan tahunan yang lebih tinggi tidak selalu berhubungan dengan peningkatan ketinggian karena daerah tertinggi alpine memiliki curah hujan tahunan yang lebih rendah dibandingkan dengan di lereng pegunungan. Daerah dengan curah hujan tahunan kurang dari 2,000 mm pertahun terjadi di daerah Sentani karena merupakan daerah bayangan hujan dari Pegunungan Cyclops dan sebelah selatan Kabupaten Merauke (Trans-Fly) dimana periode musim kering lebih panjang. Selain itu juga terdapat zona curah hujan lebih rendah (<2,500 mm) di dataran rendah utara dari Pegunungan Tengah, dimana bayangan hujan juga terbentuk disana (Prentice & Hope 2007). Penilaian Papua 17 Lembah antar gunung yang lebih kecil di utara puncak pegunungan utama, seperti daerah danau Ik Sibil, Baliem, Hitalipa dan Wissel, dicirikan oleh curah hujan yang lebih rendah akibat efek dari bayangan hujan. Di Danau Wissel, blok Pegunungan Weyland kelembaban dari arah barat sedangkan Merauke menyediakan bayangan hujan dari arah timur. Lembah dataran tinggi ini mendukung populasi yang padat. (Prentice & Hope 2007). Gambar 3.7: Curah hujan tahunan di Papua dan Papua Barat 3.8 Populasi manusia Manusia telah bermukim di lembah dataran tinggi New Guinea paling tidak sudah 30.000 tahundankemungkinantelahmendiamidataransavannayangkemudianmenghubungkan pulau ini dengan Australia sekitar 50.000 tahun atau lebih (Filer 2007). Data statistik populasi Papua tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 1,8 juta orang tinggal di Provinsi Papua (sekitar 17 orang per km2). Hanya sekitar 500,000 orang tinggal di Papua Barat. Kebanyakan orang Papua hidup di pesisir seperti di Kabupaten Merauke (155,783), Nabire (161,519); atau di daerah pegunungan misalnya Jayawijaya (210,654), Puncak Jaya (111,711), Mimika (126,430); Panai (112,881) dan Yahuikimo (137,260) (Gambar 3.8). Masyarakat adat Papua cenderung dominan di daerah pegunungan tinggi dan pada umumnya tinggal di Enarotali, Lembah Baliem dan sekitar daerah danau Paniai. 18 Penilaian Papua Gambar 3.8: Populasi penduduk di tiap kabupaten di Papua. Pertumbuhan penduduk secara relatif lebih cepat dalam tiga dekade terakhir. Papua memiliki penduduk kurang dari 1 juta orang pada tahun 1971, akan tetapi kini sekitar 2,6 juta orang. Akan tetapi, selama periode yang sama, proporsi masyarakat adat telah turun dari 96% hingga menjadi 66%. Pertumbuhan populasi terutama terjadi karena program transmigrasi Indonesia. Program ini memukimkan kembali penduduk dari pulau padat seperti Jawa dan Bali ke daerah yang kurang penduduknya seperti Papua, dan menyediakan tenaga kerja bagi proyek skala besar seperti tambang Freeport, yang membutuhkan sejumlah besar tenaga kerja trampil, semi trampil dan yang tidak trampil. Pertumbuhan masyarakat adat di daerah dataran tinggi karena pengenalan ketela rambat dari Amerika Selatan ke New Guinea. Papua memiliki keragaman etnik dan budaya yang lebih banyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia, yang ditunjukkan dengan jumlah bahasa sekitar 250 bahasa. Kebanyakan kelompok bahasa adalah kecil dan terbatas, dengan kurang dari 1000 orang pemakai bahasa. Beberapa bahasa (seperti Dani dan Asmat) dipakai oleh kebanyakan orang di Papua (Gambar 3.9). Penilaian Papua 19 Gambar 3.9: Peta bahasa 3.9 Transmigrasi Hanya 350,883 ha lahan yang telah dialokasikan untuk program transmigrasi. Lahan ini terutama berada di sebelah selatan Kabupaten Merauke (156,337 ha), Mimika (62,712 ha), dan sebelah utara Kabupaten Keerom (43,172 ha) (Gambar 4.10). Sekitar 75,200 keluarga (sekitar 300,000 orang) telah dipindahkan ke Papua dibawah program transmigrasi Indoensia sejak tahun 1977. Kebanyakan transmigran ini berasal dari Jawa dan Bali. Walaupun areal lahan yang dialokasikan untuk transmigrasi cukup kecil, program transmigrasi ini telah menjadi kontroversial, pada khususnya setelah jumlah transmigran mulai mendominasi jumlah masyarakat asli Papua. 20 Penilaian Papua Gambar 3.10: Lokasi transmigrasi di Papua dan Papua Barat. Penilaian Papua 21 4. PRIORITAS EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN Bagian ini menyediakan informasi tentang prioritas sosial, ekonomi dan lingkungan berbagai macam para pihak di Papua. Prioritas ini diidentifikasi selama wawancara dan lokakarya dengan para pihak. 4.1 Prioritas ekonomi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Papua diperkirakan mencapai Rp 22.237.444 juta (USD 2.443 juta) pada tahun 2005, menghasilkan PDRB perkapita lebih dari Rp 11 juta (USD 1.200), yang merupakan empat PDRB per kapita tertinggi di seluruh provinsi di Indonesia ­ selain Kalimantan Timur, Jakarta dan Riau yang memiliki PDRB per kapita tertinggi (BPS 2006). Pada tahun belakangan ini, ekonomi regional Papua juga mengalami pertumbuhan yang signifikan dan bertahap, antara tahun 2001 dan 2005, PDRB tumbuh sekitar 10% per tahun (Table 4.1). Ekonomi regional telah didominasi dua sektor, yaitu pertambangan dan pertanian (pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan), yang bersama-sama menghasilkan 82% dari PDRB (Tabel 4.1). Kedua sektor ini berperan dalam dua peran terpisah dalam ekonomi. Industri pertambangan dengan kapital yang intensif adalah penghasil pendapatan terbesar sekitar 71,6% dari PDRB dan menyerap 0,6% lapangan kerja. Di lain pihak sektor pertanian dengan tenaga kerja intensif, menyumbang penyediaan tenaga kerja 75% tetapi hanya menyumbang sekitar 10,4% dari PDRB karena rendahnya produktifitas (UNDP, 2005). Sektor ini menghasilkan pedapatan yang sangat rendah untuk mayoritas pekerjanya, jadi terdapat perbedaan yang sangat jauh dalam hal akutansi perdapatan dari kedua sektor ini. Tabel 4.1: PDRB provinsi Papua (2000-2005) (Rp 000 000) Industri asal 2001 2002 2003 2004 2005 Pertanian 2,625,326.41 2,804,837.26 2,939,895.38 2,921,790.49 3,087,214.37 Pertambangan 13,890,753.25 14,418,563.36 13,917,674.09 8,871,763.51 14,349,102.29 Industri 380,136.04 399,040.76 422,466.96 436,044.92 451,906.85 Listrik dn suplai air 28,583.54 30,279.12 33,119.91 35,575.55 38,426.40 Konstruksi 671,741.84 741,929.96 798,646.66 869,350.13 934,882.96 Perdagangan, hotel 730,568.37 801,921.54 873,067.94 943,450.02 1,020,808.67 dan restoran Transportasi dan 506,761.97 574,317.64 687,364.74 783,403.48 891,034.60 Komunikasi 22 Penilaian Papua Finansial, jasa bisnis dan 176,858.81 182,014.09 191,128.47 223,671.17 244,566.83 kepemilikan Jasa 1,035,793.82 1,126,030.04 1,156,055.51 1,197,918.30 1,219,501.81 GDRB 20,046,524.06 21,078,933.76 21,019,419.67 16,282,967.57 22,237,444.78 Sumber: Papua dalam angka 2008. Di masa yang akan datang, Papua harus mendapatkan pendapatan dengan porsi yang lebih besar dari industri yang extractive, dan memiliki kewenangan yang lebih besar untuk bisa mengatur bagaimana seharusnya industri dijalankan serta bagaimana penghasilan bisa diinvestasikan kembali. Mengingat UU otonomi khusus Papua memungkinkan pemerintah daerah mendapatkan 80% dari total pendapatan yang dihasilkan dari kehutanan, perikanan dan pertambangan, serta mendapatkan 70% dari total pendapatan yang dihasilkan dari gas dan minyak. Menurut laporan Bank Dunia (2007), pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat pada umumnya membelanjakan pendapatan yang dihasilkan dari sumber seperti tersebut diatas dan dari dana alokasi pemerintah pusat untuk: 1) pembangunan jalan; 2) pembangunan bandara; 3) pemeliharaan jalan; dan 4) pembangunan pelabuhan laut dan sungai (Table 4.2). Dana juga telah dialokasikan untuk pembangunan masyarakat dan pemukiman, pengelolaan air, energi, sanitasi dan telekomunikasi. Tabel 4.2 : Perkiraan pengeluaran tahun 2008 untuk Papua dan Papua Barat Deskripsi Pengeluaran Infrastruktur dalam Milyar Rupiah Totals in USD Nasional Provinsi Kab/Kota Total Nat/ Prov/ millions (APBN) (APBD) (APBD) Kab/ Kota Pengeluaran rutin: 242.1 0.0 9.0 251.1 27.6 O&M (Perbaikan jalan dan pemeliharaan) Pengeluaran pembangunan: Konstruksi jalan 316.6 1.0 49.0 366.6 40.3 Air dan sanitasi 0.0 11.0 36.0 47.0 5.2 Airport 321.7 0.0 0.0 321.7 35.4 Penilaian Papua 23 Pelabuhan (laut dan 174.6 0.0 0.0 174.6 19.2 sungai) Transportasi darat 11.0 0.0 0.0 11.0 1.2 (Bus/terminal, dll) Energi 0.0 55.0 4.0 59.0 6.5 Telekomunikasi 0.0 40.0 0.0 40.0 4.4 Pengelolaan air/ 74.6 0.0 0.0 74.6 8.2 irigasi Pengeluaran sosial: Pemukiman 0.0 21.5 26.5 48.0 5.3 Masyarakat 0.0 44.0 57.0 101.0 11.1 Total Rp 1,140.6 172.5 181.5 1,494.6 164.4 Total USD Milyar 125.3 19.0 19.9 164.2 Sumber: Bank Dunia 2007. 4.1.1 Pertambangan Seperti telah disebutkan di atas, pertambangan menghasilkan hampir sepertiga dari pendapatan Provinsi Papua dan konsekuensinya menjadi prioritas yang signifikan untuk Pemerintah Daerah Papua. Papua memiliki potensi yang sangat besar dari cadangan emas, tembaga, gas alam dan minyak, dan tambang aktif seperti PT Freeport (sebuah tambang tembaga dan emas besar) dapat menghasilkan pendapatan yang begitu besar untuk pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. PT Freeport diperkirakan menghasilkan lebih dari US$ 1 miliar dollar untuk pemerintah pusat, sedangkan proyek gas baru BP Tangguh yang lokasinya di Teluk Bintuni (Papua Barat), diperkirakan menghasilkan 8,6 milyar USD untuk pemerintah pusat dan 3,6 milyar USD untuk pemerintah daerah Papua Barat selama 20 tahun (DTE, 2005). Gambar 4.1 Peta distribusi metal 24 Penilaian Papua Gambar 4.2 Peta potensi batu bara Gambar 4.3 Peta potensi hidrokarbon Penilaian Papua 25 Gambar 4.4 Peta pertambangan minyak PT Freeport adalah satu-satunya pembayar pajak terbesar di Indonesia ­ 1,2 miliar USD pada tahun 2005 saja. Akan tetapi, redistribusi royalty dan pajak tetap dikontrol oleh pemerintah pusat, hal ini menjadi isu yang berkelanjutan. Papua dalam angka 2006 mengidentifikasikan bahwa Freeport menyumbang 1,1 milyar USD ke pemerintah pusat yang dibayarkan dalam bentuk royalty dan pajak, sedangkan Papua hanya diberikan persentase dari royalty (sekitar 80% dari jumlah USD 65 juta) oleh Departemen Keuangan. Pemerintah pusat menahan porsi yang dikategorikan sebagai pajak; dan walaupun diberikan persentasi dari royalty ke Papua, masih ada keluhan tentang keterlambatan dan lamanya pembayaran. Analisis spasial yang dilakukan oleh SEKALA menunjukkan bahwa sekitar 6,2 juta hektar lahan hutan telah dialokasikan untuk perusahaan pertambangan di provinsi Papua. Sekitar 13,4 juta hektar lahan hutan dialokasikan untuk eksplorasi. Sebagian besar lahan ini (62%) terletak di dalam hutan lindung dan konservasi (Table 5.3). Hampir 19 persen konsesi pertambangan terletak di hutan pegunungan, dan lebih dari 64% di hutan dataran rendah. Tabel 4.3: Lokasi konsesi tambang dalam kategori kawasan hutan Tambang HSAW HL HP HPK Total Papua Total 3,858,714.98 8,484,846.39 4,579,479.18 2,756,322.31 19,679,362.86 Aktual 1,039,070.09 3,082,847.82 1,226,646.17 924,758.50 6,273,322.58 Eksplorasi 2,819,644.89 5,401,998.57 3,352,833.01 1,831,563.81 13,406,040.28 26 Penilaian Papua Sebagian besar konsesi pertambangan terletak di bagian utara Provinsi Papua yaitu di Kabupaten Sarmi, Keerom dan Mimika. Tambang Freeport terletak di antara Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo. Sebagian besar perusahaan tambang ini merupakan tambang emas dan tembaga. Perusahaan tambang yang menguasai lahan terluas adalah: PT Cyprus Armax Iriana (1.4 juta ha), PT Barrick Mutiara Idenburg (1.4 juta ha) dan PT Freeport (811,906 ha). Ketiga perusahaan ini bergerak dalam penambangan emas (Gambar 4.5). Gambar 4.5: Konsesi tambang aktif di Papua Kontrak karya explorasi tambang sebagian besar terletak di bagian utara, yaitu di Kabupaten Sarmi, Waropen, Jayapura, Keerom, Jayawijaya, Nabire dan Painai. Kontrak karya ini meliputi hampir seluruh Lembah Mamberamo. Kontrak karya ini juga tumpang tindih dengan beberapa konsesi tambang yang masih aktif (Gambar 4.6). Figure 4.6: Active mining concessions overlaid with exploratory mining concessions Penilaian Papua 27 4.1.2 Logging Logging skala besar adalah prioritas pemerintah pusat, akan tetapi pemerintah provinsi lebih menyukai memfasilitasi pembangunan logging berbasis masyarakat di Provinsi Papua. 57% dari hutan produksi di Papua telah dialokasikan untuk 38 konsesi besar yang meliputi 9,2 juta hektar lahan. 64% hutan dalam konsesi logging ini merupakan hutan dataran rendah. Konsesi logging di bagian utara terletak di Kabupaten Sarmi (1.3 juta ha), Nabire (327,456 ha), Waropen (427,225 ha) dan Keerom (364,350 ha); dan di bagian selatan yaitu Kabupaten Mimika (675,156 ha), Asmat (654,831 ha), Boven Digoel (2.1 million ha) dan Mappi (439,775) (Gambar 4.7). Sebagian besar (sekitar 20) konsesi kayu ini menjadi tidak aktif belakangan ini dan produksi kayu yang dihasilkan menjadi menurun. Pemerintah daerah Provinsi Papua melakukan review pada semua konsesi HPH yang berada di Provinsi Papua dan mencabut ijin HPH yang tidak lagi aktif. Pemerintah daerah kemudian mengharapkan untuk membangun model logging yang lebih berbasis masyarakat dan memungkinkan masyarakat mendapatkan manfaat dari logging. Draft peraturan daerah khusus sedang disusun dan bahkan sedang direview oleh Departemen Kehutanan. Gambar 4.7: Lokasi ijin logging skala besar di Papua dan Papua Barat 28 Penilaian Papua 4.1.3 Kelapa sawit Kelapa sawit merupakan prioritas pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah provinsi Papua. Perkebunan kelapa sawit telah tumbuh dengan cepat selama 10 tahun terakhir di Papua. Pada tahun 1991, ada sekitar 11.367 hektar perkebunan kelapa sawit, akan tetapi pada tahun 2005 di Provinsi Papua hanya terdapat sekitar 50.000 hektar perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan perkebunan kelapa sawit dibangun di timur laut dekat dengan kota Jayapura, dan di tenggara dekat dengan perbatasan Papua New Guinea (Gambar 4.8). Indonesia diperkirakan akan membangun lagi sekitar 5,6 juta hektar perkebunan kelapa sawit dalam 13 tahun kedepan. Sebagian besar ekspansi perkebunan sawit ini akan dimulai pertama kali di Sumatra dan Kalimantan, kemudian di Papua. Pemerintah Indonesia bermaksud untuk membangun perkebunan kelapa sawit dan menawarkan kepada investor berbagai macam kemudahan untuk membangun sampai 200.000 hektar perkebunan sawit di Papua dibandingkan dengan hanya 100.000 hektar di Sumatra dan Kalimantan. Lebih dari 50.000 hektar kelapa sawit telah ditanam di Papua dan ijin lain yang telah diberikan sekitar 50,000 hektar lagi. Gubernur Provinsi Papua sebelumnya pernah mendeklarasikan 3 juta hektar lahan untuk dialokasikan sebagai perkebunan kelapa sawit dengan tujuan untuk membuat Papua sebagai produsen kelapa sawit terbesar dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia (Kompas, 12 Mei 2003). Sebagian besar alokasi lahan untuk dikonversi menjadi kelapa sawit di Provinsi Papua meliputi kawasan hutan primer dataran rendah. Pengalaman dari daerah lain di Indonesia menunjukkan bahwa usulan untuk pembangunan perkebunan kadang-kadang hanya sebagai alasan dari perusahaan kayu untuk menebang pohon untuk diambil kayunya saja dan kemudian meninggalkan lahan yang sudah terbuka tersebut. Kelapa sawit di satu sisi dapat menunjukkan manfaat ekonomi yang penting dalam hal devisa, pendapatan dan ekspansi tenaga kerja, tetapi disisi lain kelapa sawit juga menghasilkan konversi hutan besar-besaran, kehilangan keanekaragaman hayati dan menimbulkan emisi karbon. Sikap yang berhati-hati harus dipertimbangkan dalam mengalokasikan kelapa sawit dan perkebunan secara ideal seharusnya dibangun di tanah mineral yang terdegradasi dari pada di lahan berhutan atau tanah gambut. Gambar 4.8: Lokasi perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat Penilaian Papua 29 4.1.4 Hutan tanaman industri Hanya 150.507 hektar lahan telah dialokasikan untuk industri hutan tanaman di Provinsi Papua. Hutan tanaman ini terletak di bagian selatan yaitu di kabupaten: Merauke (112,351 ha), Mappi (23, 802 ha), Boven Digoel (6,425 ha), dan Kaimana (7,925 ha) (Gambar 4.9). Kebanyakan perusahaan hutan tanaman mengembangkan industrinya di Sumatra dan Kalimantan daripada di Papua dan Departemen Kehutanan telah menerbitkan rencana pembangunan hingga 9 juta hektar hutan tanaman industri di dua provinsi terdahulu bekerja sama dengan masyarakat lokal. Hutan tanaman baru ini diharapkan mengurangi ketergantungan industri kayu Indonesia akan hutan tropis untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku kayu. Hutan tanaman industri seharusnya dibangun di daerah yang sudah terdegradasi, akan tetapi, hutan tanaman sering mengganti hutan alam. Hal ini kelihatannya yang akan terjadi di Papua. Karena kebanyakan lahan di Papua adalah berhutan, Departemen Kehutanan mempertimbangkan untuk memberlakukan kriteria alokasi lahan khusus untuk Papua yang akan memungkinkan wilayah dengan potensi kayu tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman industri. Hal ini berpotensi untuk membuat hutan tanaman industri di Papua lebih menarik bagi perusahaan. Gambar 4.9: Lokasi konsesi hutan tanaman industri di Provinsi Papua dan Papua Barat 4.1.5 Pertanian Pemerintah provinsi Papua merencanakan untuk membangun pertanian, pada khususnya di daerah pegunungan tinggi. Hal ini menjadi alasan karena kontribusi sektor pertanian untuk total PDB (Produk Domestik Bruto) di Papua meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2002, kontribusi sektor ini mencapai 8,8% atau sekitar 2,1 triliun rupiah pada harga sekarang. 30 Penilaian Papua Komoditi pertanian yang dihasilkan di Papua adalah: beras, jagung, ubi jalar, kentang, kacang kedelai, kacang tanah, sayur-sayuran dan buah-buahan. Makanan yang diproses secara sederhana juga termasuk dalam sektor ini seperti sagu dan ketan. Komoditi peternakan adalah peternakan ayam, babi dan sapi. Komoditi kebun atau petanian lahan kering di Papua termasuk kelapa, pala, coklat, kelapa sawit, cengkeh, kopi, karet dan jambu mete. Kegiatan pertanian yang terdapat di Papua Masyarakat dari Papua, walaupun mereka bergantung pada hasil hutan untuk mata pencaharian mereka, tetapi kebanyakan mereka bergantung pada hasil pertanian untuk kebutuhan pokok mereka. Kegiatan pertanian yang digunakan di dataran tinggi,di dataran rendah dan di daerah pesisir berbeda. Di daerah dataran tinggi, masyarakat pada umumnya menanam tanaman umbi, seperti ketela rambat (Ipomoea batatas), singkong (Manihot esculentus), ubi jalar (Dioscorea sp.) dan talas (Colocasia esculenta). Akan tetapi juga banyak ditanam tanaman seperti pisang (Musa sp), pandan merah (Pandanus conoideius), nut pandanus (Pandanus julianettii) dan sejumlah besar sayur-sayuran, yang digunakan sebagai pelengkap nutrisi yang diambil dari tanaman umbi. Di daerah dataran rendah (terutama di daerah aliran sungan Mamberamo) sagu adalah tanaman utama dan pertanian umbi-umbian biasanya merupakan tanaman sekunder. Ubi jalar, singkong dan ubi jalar adalah bukan merupakan makanan pokok dan ditanam hanya untuk menambah variasi susunan makanan. Pisang dan kelapa biasanya ditanam di kebun campuran. Pertanian biasanya merupakan pelengkap kegiatan berburu, mencari ikan dan meramu. Di daerah pesisir dan kepulauan, perladangan dengan tanaman talas dan ubi jalar sebagai makanan pokok dilengkapi dengan tanaman campuran ladang, seperti singkong, pisang dan ketela rambat. Pada saat ini perkebunan kelapa sawit dan coklat telah dibangun di daerah pesisir dan dataran rendah. Masyarakat pesisir cenderung menangkapikansebagaikegiatansehari-harimerekadanmelakukanpertaniansebagai kerja sambilan mereka. Mencari sagu juga merupakan kegiatan penting masyarakat pesisir. Transmigrasi dan pembangunan lain telah mengarahkan pada banyaknya perubahan dalam kegiatan pertanian selama beberapa dekade terakhir (misalnya penanaman padi dan tanaman lain seperti kopi, coklat, cengkeh, kelapa dan walnut). Hasil dari tanaman baru ini masih rendah dan biaya transport membatasi penjualan dari kebanyakan produk ini ke pasar lokal dan regional (Boissiere and Purwanto 2007). 4.1.6 Jalan Perluasan dan perawatan jaringan jalan di Papua merupakan prioritas utama pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi selama beberapa dekade terakhir ini. Menurut Bank Dunia, kira-kira 366,6 trilyun rupiah (30,3 miliar USD) telah dialokasikan untuk pembangunan jalan dan 251,1 trilyun rupiah (28,6 miliar USD) telah dialokasikan untuk perawatan jalan untuk tahun anggaran 2008 (World Bank 2007). Penilaian Papua 31 Tiga jalan utama telah dibangun hingga kini (Gambar 5.10). Jalan yang pertama menghubungkan kota Nabire, yang terletak di barat daya Papua, dan kota Enarotali (salah satu kota di dataran tinggi yang padat penduduknya). Jalan ini memiliki panjang 262 km dan hanya 19% dari jalan tersebut sudah diaspal. Jalan tersebut diperkirakan sudah menelan biaya sebesar 16 juta USD. JalankeduamenghubungkankotaJayapuradenganWamenadanselanjutnyaseharusnya menghubungkan Wamena dengan kota yang diatasnya yaitu Mulia di pegunungan tengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membangun jalan antara Jayapura dan pegunungan (Wamena dan Mulia), akan tetapi jalan tersebut hingga kini belum selesai. Jika keseluruhan jalan dibangun, maka akan mencapai panjang 733 km dan diperkirakan akan menghabiskan biaya 44 juta USD. Hingga saat ini hanya 21% jalan tersebut telah diaspal, dan 35% dari bagian jalan tersebut sudah kembali lagi menjadi hutan. Jalan antara Wamena dan Mulia sudah ada, akan tetapi hanya bisa dilalui dengan mobil 4x4 selama musim kering. Membangun jalan antara Jayapura dan Wamena akan sulit untuk dipelihara dan sekarang yang tersisa hanya jalan yang menghubungkan kota dan pemukiman tertentu saja, serta jalan tersebut sulit untuk dilalui dan tidak dapat digunakan sebagai jalan arteri. Gambar 4.10: Lokasi jalan yang ada sekarang dan yang direncanakan di Papua dan Papua Barat Jalan utama ketiga adalah jalan yang menghubungkan kota Merauke di bagian paling selatan Papua ke kota-kota di sebelah utaranya, yaitu Tanah Merah dan Waropko, yang keduanya terletak berdekatan dengan perbatasan PNG. Jalan sepanjang 558 km ini sudah 37% nya diaspal. Jalan ini diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 33 juta USD. Jaringan jalan juga sedang dibangun di Kabupaten Mimika dimana PT Freeport berlokasi, dan di Kabupaten Boven Digoel dimana PT Korindo (perusahaan HPH dan kelapa sawit) telah membangun jaringan jalan. Dengan kata lain, pembangunan jalan sangat berhubungan dengan kegiatan ekstraktif seperti pertambangan, logging dan perkebunan kelapa sawit. 32 Penilaian Papua Tabel 4.4: Pembangunan jalan utama di Provinsi Papua Perhubungan Panjang Kondisi Kondisi khusus di Provinsi Dalam Aspal Non-aspal Hutan Juta US Papua km dollar Nabire-Wagete- 262 19% 81% 16 Enarotali Jayapura-Wamena- 733 21% 43% 35% 44 Mulia Merauke-Tanah 558 37% 59% 4% 33 Merah-Waropoko Panjang diambil dari: Papua Public Expenditure Analysis/Overview Report World Bank, 2005 Estimasi biaya berdasarkan pada 100,000 USD/km (besaran didasarkan pada ­ Bank Dunia ­ Tinjuan kembali prioritas pengeluaran infrastruktur di Papua dan Papua Barat pada tahun 2008.) Menurut laporan World Bank Infrastructure (2007), jalan di Papua secara mendasar dalam kondisi yang kurang baik dibandingkan dengan jalan di provinsi lain di Indonesia. Jalan nasional sepanjang 2.300 km mewakili 7% dari keseluruhan jaringan jalan nasional Indonesia dan kira-kira 40% dinyatakan dalam kondisi baik dan sedang dibandingkan dengan rata-rata jalan nasional yang sekitar 80% dalam kondisi baik dan sedang. Selain berkaitan dengan isu pengaspalan dan penyelesaian jalan seperti tersebut diatas, pemerintah Provinsi Papua telah merencanakan pengadaan jalan, yaitu: 1) Jalan yang menghubungkan Enarotali dengan Timika dan kemudian dengan Mulia di pegunungan; 2) Jalan yang menghubungkan Tanah Merah dengan Jayapura; 3) Jalan yang menghubungkan Nabire dengan Waren di pesisir barat laut; 4) Jaringan jalan sepanjang 91 km dengan 6 lajur "kualitas jalan tol" mengelilingi ibukota provinsi. Jalan ini akan dikenal dengan sebutan Jayapura Ring Road. Rencana ruang wilayah Mamberamo yang baru juga mengusulkan jaringan jalan utama yang mengelilingi Pegunungan Van Rees dan Foja. Sebelumnya sebuah jalan direncanakan akan menghubungkan kota Wamena dengan kota Agats di Kabupaten Asmat. Rencana jalan ini akan memotong lurus melalui rawa gambut di KabupatenAsmat, yang akan menjadi sebuah prestasi besar di bidang teknik kalau berhasil. Kelihatannya rencana ini telah dibatalkan pada rencana jalan yang baru. Pada saat ini pemerintah pusat telah mempromosikan "jalan untuk log' yaitu sebuah kesepakatan dimana konsorsium asing akan dikontrak pemerintah pusat untuk membangun jalan tol trans-Papua dengan panjang 11.280 km. Sebagai imbalannya, para developer akan mendapat hak semua log (kayu) yang terletak lima kilometer di sebelah kiri dan kanan sepanjang jalan dan mereka juga akan diberikan hak untuk mengelola hutan tanaman dan proyek kehutanan lain di sekitar wilayah yang dilalui jalan tersebut. Hal ini seharusnya sudah dimulai sejak tahun 2001, akan tetapi belum terlaksana. Penilaian Papua 33 4.1.7 Transportasi udara dan air Pemerintah Provinsi Papua menyadari bahwa transportasi udara dan air juga merupakan pilihan yang tepat dan pendanaan telah dialokasikan untuk kedua sistem transportasi ini. Menurut Bank Dunia (2007) telah dialokasikan sekitar Rp 321.7 milyar (35.4 juta US dollar) untuk pembangunan bandara dan Rp 174.7 milyar (19.2 juta US dollar) dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan laut dan sungai. Provinsi Papua bergantung dengan transportasi air dan sejumlah pelabuhan telah dibangun di sepanjang pantai dan sungai yang bisa dilalui oleh kapal besar, akan tetapi belum terdapat pelabuhan internasional. Pelabuhan Internasional hanya terdapat di Provinsi Papua Barat yang terletak dekat kota Sorong. Sebuah pelabuhan Internasional diusulkan untuk dibangun di kota Jayapura. Lapangan terbang tersebar di seluruh wilayah Provinsi dan terdapat di kota Jayapura, Arso, Sarmi, Nabire, Timika, Wamena, Tanah Merah dan Merauke. Sekitar 400 lapangan terbang kecil juga telah dibangun di seluruh provinsi. Departemen perhubungan Provinsi Papua merencanakan untuk meningkatkan kemampuan dan membangun 4 bandara internasional di Papua yang mampu didarati oleh pesawat jet komersial besar (dengan panjang landasan >3000m). Gambar 4.11: Peta lapangan terbang dan pelabuhan. 4.1.8 Perikanan Sumber daya laut Papua begitu melimpah; kebanyakan industri perikanan laut diorientasikan untuk eksport (terutama ke Jepang dan Eropa), termasuk tuna, kepiting, teripang (sea cucumber), mutiara dan ikan hias (Gambars 4.12 & 4.13). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi Papua nampaknya mendorong investasi di laut Papua dan Indonesia bagian timur yang lain karena dipandang laut ini belum banyak dieksploitasi 34 Penilaian Papua Akan tetapi industri perikanan perlu dikelola dan diatur secara cermat untuk memastikan agar laut Papua tidak dieksploitasi secara berlebihan. Departemen kelautan dan perikanan provinsi berpandangan bahwa Laut Arafura sudah dieksploitasi secara berlebihan dan laporan WWF memberikan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan tuna ­ tentang cara penanganan sektor perikanan yang kurang baik mengarah kepada pelarangan impor dari Eropa untuk tuna Indonesia karena tidak memenuhi peraturan kesehatan dari Komisi Eropa. Kegiatan perikanan yang merusak (termasuk cara meracun dengan sianida dan pengebomanikansecaratradisional)nampaknyamulaimenjamurdiPapua.Penangkapan ikan dengan pengeboman menghasilkan produksi tinggi akan tetapi menghancurkan terumbu karang dan merubah terumbu karang menjadi zona puing. Penggunaan sianida biasanya dilakukan untuk menangkap ikan hias yang akan ekspor. Laju kematian ikan hidup yang diperdagangkan sangat tinggi ­ diperkirakan 80% untuk ikan hias dan 50% untuk ikan hidup yang dikonsumsi. (Filer 2007). Gambar 4.12: Peta potensi perikanan ­ ikan Demersial atau Demersal (ikan yang hidup di atau dekat dasar laut). Penilaian Papua 35 Gambar 4.13: Peta potensi perikanan­ ikan Pelagic (hidup dekat permukaan samudra dari pada perairan dekat daratan) 4.1.9 Listrik Listrik merupakan prioritas bagi pemerintah Provinsi Papua. Sebagai buktinya, pemerintah daerahtelahmengalokasikansekitar77,4milyarrupiah(8,5jutaUSD)untukpembangunan pembangkit listrik di tahun 2006. Menurut Bank Dunia, sebagian besar masyarakat Papua tidak mendapat pelayanan listrik. Pada tahun 2005, PLN baru dapat mensuplai listrik ke 190.000 rumah tangga atau sekitar 25% rumah tangga di Provinsi Papua. Paling tidak sekitar 570.000 (75%) rumah tangga perlu segera mendapat aliran listrik. Suplai listrik yang ada sekarang ini kurang sepadan karena listrik disuplai dari beberapa sistem PLN yang terisolasi, yang sumber listriknya dihasilkan dari seri generator diesel yang berbiaya tinggi. Pada tahun 2005, total kebutuhan kapasitas sekitar 93MW, sedangkan pada beberapa periode kebutuhan kapasitas tertinggi sekitar 106 MW yang mengakibatkan defisit dan tidak ada kapasitas cadangan untuk pemeliharaan. Lebih dari 97% dari kapasitas 93 MW dihasilkan dari generator berbahan bakar minyak yang mengakibatkan biaya mahal. Jaringan listrik yang ada tidak saling bersambungan dan ada beberapa jaringan yang terisolasi di Jayapura, Biak, Sorong, Merauke, Manokwari dan Timika. Jayapura memiliki jaringan listrik terbesar diseluruh provinsi yang menyerap 35% dari listrik yang diproduksi. Suplai listrik pada saat ini difokuskan pada pelayanan untuk masyarakat di perkotaan dari pada untuk rumah tangga yang tinggal jauh dari jaringan PLN, termasuk daerah pedalaman. Provinsi Papua diperkirakan membutuhkan tambahan daya sebesar 20 MW untuk melayani rumah tangga yang jauh dari jaringan listrik dan di pedalaman. 36 Penilaian Papua Pada daerah pertambangan, serta daerah gas dan minyak menghasilkan sejumlah besar tenaga listrik untuk industri mereka dan mensuplai kebutuhan tempat tinggal karyawan mereka. Pertambangan Freeport, sebagai contoh, menghasilkan 250-380 MW, dua kali lebih besar dibandingkan kebutuhan puncak seluruh provinsi, tetapi daerah di sekitar pertambangan kekurangan suplai listrik. PLN berencana membangun dua pembangkit listrik tenaga batu bara yang masing- masing berkapasitas 10 MW di Jayapura pada tahun 2008 dan 2009. Melalui pinjaman dari ADB, PLN juga membangun pembangkit listrik tenaga air mikro dengan rencana pembangunan berkapasitas 23 MW di Manokwari, Serui, Depapre dan Jayapura. Proyek- proyek ini akan menghabiskan dana PLN sekitar 655,4 milyar rupiah (71 juta USD). Pemerintah provinsi juga mempertimbangkan "mega proyek Mamberamo" yang akan membangun sekumpulan waduk di daerah Mamberamo untuk menghasilkan daya sekitar 20,000 MW listrik yang ditujukan untuk pertambangan dan peleburan. Rencana ini sekarang masih ditunda tetapi tetap berjalan dan didiskusikan secara intensif di tingkat perencanaan tata ruang yang sekarang disiapkan oleh konsultan teknik PT Aditya untuk wilayah Mamberamo. Gambar 4.14 Peta rencana PLN 4.1.10 Telekomunikasi Infrastruktur telekomunikasi di Papua sekarang ini masih sederhana dimana sebagian besar daerah masih belum terjangkau oleh cakupan telepon seluler, telepon rumah dan fasilitas internet broadband, yang hanya melayani di pusat-pusat penduduk dengan kepadatan tinggi. Telepon rumah dan cakupan telepon seluler hanya terdapat di ibu kota dan kota besar. Akses satelit dapat dilakukan dimana saja, akan tetapi biaya yang mahal membatasi pemakaiannya. Penilaian Papua 37 Pemerintah berencana membangun Eastern Palapa Ring (jaringan fiber) untuk internet broadband yang akan dibangun di pusat-pusat penduduk, hal ini akan memungkinkan untuk menghubungkan daerah pedalaman yang berada dalam jangkauan 35 km melalui akses telephone genggam yang menggunakan antena yagi bertangkai bambu. Gubernur juga menyatakan keinginannya dalam membangun teknologi komunikasi dan informasi dalam strategi pendidikan. Telepon seluler dan perbaikan koneksi internet dapat memberikan dampak cukup besar dalam peningkatan penghasilan dan membuka daerah yang terisolasi. Akses telepon seluler (menggunakan kartu pra-bayar, dan sebagainya) dapat membuat perubahan cukup besar yang memungkinkan masyarakat miskin tidak lagi terkekang dengan keterisolasian; jadi peningkatan cakupan sinyal ke daerah yang terisolasi menjadi sangat penting (World Bank 2007). 4.1.11 Pariwisata Pembangunan pariwisata merupakan salah satu prioritas utama pembangunan Provinsi Papua. Daerah pariwisata yang utama adalah di daerah Asmat, Mamberamo, Wamena, situs warisan dunia Lorentz dan taman nasional Wasur. 4.1.12 Perdagangan Pemerintah provinsi Papua berencana mengembangkan Biak, Timika dan Yahukimo sebagai daerah ekonomi khusus untuk perdagangan internasional. 4.2 Prioritas sosial · Pengurangan kemiskinan melalui pembangunan berbasis masyarakat yang terfokus pada nutrisi, kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi lokal. · Pembangunan infrastruktur makro · Peningkatan tata kelola dengan peningkatan kapasitas individu dan organisasi. · Dukungan untuk pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Papua merupakan sebuah paradoks dalam keterbelakangannya (under-development). Pada satu sisi provinsi ini memiliki cadangan sumber daya alam yang besar dan anggaran belanja publik yang cukup signifikan, bahkan sebelum era desentralisasi dan otonomi khusus, Papua merupakan provinsi terkaya kedua dalam hal fiskal2. Di lain pihak, kekuranganinfrastruktur,keterbatasankapasitaspemerintah,keterbatasandanrendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan menghasilkan kemiskinan yang endemis dan indikator pembangunan manusia yang rendah untuk seluruh provinsi. Sementara fokus program di bawah status otonomi khusus bertujuan untuk mempromosikan strategi pengurangan kemiskinan dengan mendukung hak masyarakat asli Papua, tetapi provinsi ini masih tetap salah satu yang termiskin di Indonesia. Provinsi ini juga masih merupakan salah satu provinsi yang paling beragam dan berbeda, terkenal dengan keragaman budaya, etnik dan bahasanya. Tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) nampaknya tidak akan tercapai baik di Provinsi Papua maupun di Papua Barat, khususnya pada kabupaten-kabupaten yang sangat terpencil dengan persentase masyarakat asli Papua tinggi.PertumbuhanekonomisignifikanyangdialamiPapuabelumditerjemahkansebagai pengentasan kemiskinan, terutama pada kabupaten dan kecamatan yang terisolasi terkena pengaruh paling buruk. 2World Bank. (Draft) Papua Public Expenditure Analysis. 38 Penilaian Papua Masalah ini disadari dan program pembangunan yang berpusat pada masyarakat dirumuskan untuk mencapai MDGs. Program ini dirancang untuk memperkuat pemerintah lokal dan kapasitas masyarakat sipil untuk mencapai MDGs, bekerja dengan para pihak dan fokus dalam penyediaan pelayanan dasar yang efektif di daerah yang paling terkena dampak. Dengan dasar ini, pemerintah provinsi Papua dan partner pembangunan Papua telah menyiapkan rencana untuk pembangunan kampung, yang dikenal dengan RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) untuk fokus pada isu-isu tersebut. 4.2.1 Pengentasan kemiskinan Menurut analisis terakhir yang dilakukan oleh UNDP, sekitar 42% masyarakat Papua dipercayatinggaldibawahgariskemiskinan,lebihdariduakalirata-ratatingkatkemiskinan nasional. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat ini tinggal di daerah pedalaman, terisolasi dan memiliki keterbatasan dalam mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan dan pasar. Mayoritas masyarakat miskin tinggal di daerah pegunungan tinggi (Jayawijaya, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Yahukimo) dan di daerah yang jauh dari pusat ekonomi (Merauke and Manokwari) (Gambar 4.15). Kemiskinan berkurang di pusat ekonomi (Jayapura, Sorong) dan di daerah yang terdapat banyak sumber daya mineral, minyak dan gas (Fak Fak, Mimika and Kaimana) (World Bank 2007). Secara keseluruhan, pemerintah daerah provinsi Papua bertujuan mengentaskan kemiskinan di Papua. Mereka berharap dapat mengentaskan kemiskinan dengan meningkatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan dan meningkatkan akses ke fasilitas tersebut. Mereka juga berharap untuk memastikan ketahanan pangan (food security) dan membangun infrastruktur di provinsi untuk mendukung pembangunan dan membangun titik-titik simpul ekonomi di Biak, Timika dan Yahukimo. Gubernur provinsi Papua juga menetapkan pembangunan di empat daerah yang terisolasi: 1) Wamena-Jayapura; 2) Yahukimo-Pantai Selatan; 3) Enarotali-Nabire; dan 4) Puncak Jaya-Timika. Gambar 4.15: Peta kemiskinan provinsi Papua Sumber: Papua dalam Angka 2006, Bappeda and BPS, 2007. Penilaian Papua 39 4.2.2 Kesehatan Menurut UNDP, sembilan dari sepuluh desa tidak memiliki pelayanan kesehatan dasar dengan pusat-pusat kesehatan, dokter dan bidan. Papua memiliki tingkat kematian tertinggi dan tingkat harapan hidup terendah di Indonesia. Papua juga memiliki tingkat kematian bayi dan ibu tertinggi di Indonesia, hampir empat kali lebih tinggi dari rata-rata nasional di Indonesia akibat dari pelayanan kesehatan yang rendah. Masyarakat Papua menderita kelaparan dan penyakit, seperti malaria, kolera, tipus, radang paru-paru dan kusta (UNDP 2005). Papua juga memiliki pengidap infeksi HIV/AID sekitar 30% dari jumlah total di Indonesia. Salah satu faktor yang dipandang sebagai pendekatan yang baik untuk memberikan pelayanan kesehatan di Papua, pada khususnya untuk daerah yang terisolasi, adalah akses ke fasilitas kesehatan. Lemahnya akses ke fasilitas ini juga menghambat petugas kesehatan profesional bekerja di daerah tersebut. Pemerintah Papua untuk itu memprioritaskan penyediaan akses ke daerah yang terisolasi. Pemerintah juga berencana untuk membangun lebih banyak pusat kesehatan di daerah yang terisolasi. Sejarah singkat pelayanan kesehatan di Papua Pemerintah orde baru telah banyak berusaha untuk meningkatkan pelayanan medis di Papua. Sejumlah klinik umum dan rumah sakit jumlahnya meningkat pesat sejak tahun 1970an. Banyak dokter terlatih dan dukungan medis disediakan oleh Jakarta tetapi mereka terhalang oleh kekurangan obat-obatan dan peralatan. Daerah pedalaman di pegunungan dan dataran rendah selatan tertinggal dalam pembangunan ini karena kurangnya infrastruktur dan kondisi kerja yang kejam mengalihkan dokter dan perawat. Di beberapa daerah penyakit seperti malaria, frambusia (yaws), kusta, infeksi pernafasan, TBC dan penyakit yang menyebar melalui hubungan seksual meluas, dimana Belanda sebelumnya telah membatasi penyebaran penyakit ini melalui kampanye yang sistematik dan diawasi dengan baik. Pada awal tahun 1970an sebuah upaya nasional yang disebut Pembinaan Keluarga Berencana diterapkan di Irian Jaya. Bagian yang paling sederhana dari program ini adalah pendirian pusat kesematan masyarakat desa terpadu (posyandu) yang dijalankan oleh para sukarelawan dan program konsultasi oleh perawat keliling dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Akan tetapi, sebagian besar di daerah pedesaanpelayananiniselalubermasalahkarenakekuranganobat-obatan,kekurangan personal yang dilatih dan rendahnya perencanaan dan koordinasi 4.2.3 Pendidikan Menurut UNDP, sepertiga dari anak-anak Papua tidak pergi ke sekolah. Faktor etnis dan sosial-ekonomi memegang peranan dalam kehadiran mereka di sekolah. Diantara masyarakat adat, anak-anak dari daerah Asmat dan Marind adalah yang terendah tingkat kehadirannya di sekolah (Asmat 67%, Marind 60%). Tingkat pendidikan kaum wanita sangat rendah, pada khususnya di daerah pengunungan tinggi seperti Jayawijaya (Timmer 2007). Faktor lain yang mempengaruhi kehadiran siswa di sekolah adalah: transportasi dan akses ke pusat pendidikan; kurangnya guru berkualitas yang mau bekerja di daerah yang terisolasi; kurangnya fasilitas pendidikan, pada khususnya di daerah yang terisolasi. 40 Penilaian Papua Sejarah singkat pendidikan di PapuaPada tahun 1960, jumlah total sekolah di pedesaan adalah sekitar 800, sebagian besar dikelola oleh kelompok misionaris dan kongregasinya. Di daerah pedesaan, pendidikan sederhana selama tiga tahun nampaknya cocok dan beberapa daerah di Papua yang lain berkembang diatas tingkat ini. Belanda mencoba untuk meningkatkan pendidikan di Papua dengan mendirikan vervolgscholen (sekolah tambahan yang sebagian besar memiliki bangunan asrama) dan memberikan kesempatan beberapa orang Papua untuk belajar di luar negeri. Pada periode orde baru, administrasi perluasan pendidikan di Irian Jaya berkembang sangat luas. Jumlah sekolah negeri meningkat dengan pesat dari tahun 1960 hingga sekarang. Sejak mulainya Repelita II (1974-1978) sekolah menengah tersedia di setiap desa dan saat ini sekolah menengah merupakan salah satu dalam program pendidikan dasar yang wajib diikuti. Hal ini berdampak pada peningkatan kehadiran siswa di pendidikan menengah di Irian Jaya, tetapi akses ke pendidikan tinggi masih terbatas karena hanya tersedia di ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten. Hanya ada satu universitas yang dibangun di Provinsi Papua ­ yaitu Universitas Cendrawasih. Banyak pengambil keputusan di departemen pendidikan, termasuk sejumlah gubernur, mengekspresikan secara rutin kebutuhan untuk merealisasikan sekolah asrama bersubsidi di daerah pedesaan dari provinsi ini (Timmer 2007). 4.2.4 Ketahanan pangan Setelah kejadian El Nino Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan kekeringan dan kelaparan, ketahanan pangan menjadi isu penting untuk badan-badan pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Papua mengalami periode yang tidak biasa dengan rendahnya curah hujan selama El Nino (ENSO) dan kejadian ini secara serius dapat merusak produksi pangan. Kelaparan dan kekeringan di pegunungan tengah Pegunungan tengah Papua selama ini menjadi subyek kekeringan dan kelaparan. Kekeringan dan kelaparan biasanya terjadi ketika kehadiran ENSO dan kejadian ini terjadi pada tahun 1914-15, 1941-42, 1972, 1982, 1997-98 dan 2005. Kelaparan pada tahun 1997-98 diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari 1000 orang. Mayoritas kematian tidak langsung diakibatkan oleh kelaparan, tetapi oleh penyakit yang berkaitan dengan kekeringan (malaria, diare, infeksi saluran pernafasan) yang dipercepat oleh kekurangan gizi. Masyarakatyangsangatmenderitakarenakelaparandankekeringanterdapatdilembah Ilaga dan daerah Agadugume serta Kwiyawagi di lembah barat Baliem (kabupaten Puncak Jaya dan Jayawijaya), daerah Langda di selatan pegunungan tengah (kabupaten Jayawijaya); dan masyarakat yang tinggal di kabupaten Yahukimo. Kekeringan dan kelaparan terutama muncul dari kedinginan dan kebakaran lahan. Dampak yang berhubungan dengan iklim ini telah menghancurkan pertanian ketela rambat dan tanaman penting lainnya. Usaha bantuan ditanggapi secara lambat karena dihalangi oleh cuaca buruk dan akses yang terbatas ke daerah dataran tinggi (Ballard, 2000). Penilaian Papua 41 Bagi sebagian besar masyarakat miskin, pertanian merupakan dasar untuk kehidupan mereka. Makanan pokok berdasar pada produksi ubi-ubian, pisang, sayuran hijau dan produk hortikultura yang lain. Tanaman pohon juga menyediakan makanan, seperti sagu (Metroxylon sagu), yang merupakan makanan penting bagi 10% masyarkat pedesaan (Bourke 2001). Ketela rambat adalah salah satu makanan pokok penting yang ditanam di pegunungan tengah.Ketelarambatmemberikankaloriyanglebihbanyakkepadamasyarakatpedesaan dari pada kombinasi pisang, sagu, Colocasia taro, Xanthosoma taro, ubi jalar, dan tebu (Gibson 2001). Tanaman penting lainnya untuk masyarakat pegunungan adalah talas, ubi jalar dan kentang. 4.2.5 Sanitasi Menurut laporan infrastruktur Bank Dunia yang terakhir, 21% populasi di Papua mendapatkan pelayanan sanitasi yang layak (World Bank 2007). Secara keseluruhan rendahnya pelayanan sanitasi yang layak karena banyaknya masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang susah dijangkau (78%) dan sangat rendahnya tingkat layanan sanitasi pedesaan (hanya 17% dibandingkan dengan 40% untuk pedesaan seluruh Indonesia). Di daerah perkotaan Papua, pemakaian septik tank dilaporkan 57%, dan di ibukota provinsi Jayapura 70%, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan rata- rata di tingkat provinsi Papua. Pemerintah provinsi tidak menganggarkan dana untuk perbaikan sanitasi. Untuk kota menengah-kecil seperti Jayapura, Merauke dan lainnya di Papua, ekspansi yang mendasar dan peningkatan septik tank serta desentralisasi sistem sanitasi skala kecil pada awalnya direkomendasikan untuk mencapai target MDG 83% dari cakupan perkotaan. Peningkatan kualitas sanitasi seperti septik tank (yang seperti di kota lain di Indonesia yang disebut `cubluk' atau soakpit) sering menyebabkan polusi pada air tanah dan air permukaan. Konstruksi septik tank adalah tanggung jawab rumah tangga, akan tetapi investasi pemerintah dibutuhkan untuk a) penilaian, perencanaan dan pengoperasian pelayanan sanitasi, b) fasilitas sanitasi berbasis masyarakat di daerah padat, atau sistem jaringan kecil, c) konstruksi, operasi dan perawatan (O&M) dari fasilitas pengolahan limbah di tiap kota, d) memastikan layanan tangki untuk menguras septik tank dan e) mempromosikan peningkatan sanitasi, seperti berperilaku sehat dan cuci tangan dengan sabun. Investasi sanitasi perkotaan untuk mencapai MDG perkotaan dengan target 83% dibutuhkan sekitar 118,3 miliar rupiah (13 juta USD). Investasi ini termasuk: penilaian situasi; pembangunan strategi sanitasi lokal; pembangunan kapasitas dan promosi peningkatan sanitasi yang higienis; konstruksi fasilitas pengolahan limbah di tiga kota dengan tangkinya, pengelolaan, pelayanan operasi dan perawatan (O&M). Jaringan limbah kecil atau desentralisasi pengolahan limbah mungkin diperlukan di Jayapura dan Sorong, tergantung dari hasil penilaian situasi. Penilaian situasi, strategi pembangunan, dan pembangunan kapasitas diperkirakan menghabiskan dana 2,7 miliar rupiah (300,000 USD) per kota. Investasi dari masyarakat, biaya promosi sanitasi dan higienis diperkirakan sekitar IDR 109,200 (USD 12) per orang tanpa sanitasi dan 36.400 rupiah (USD 4) per orang dengan fasilitas yang ada sekarang. Konstruksi fasilitas pengolahan limbah diperkirakan sebesar 3,6 milyar rupiah (400,000 USD) per kota. 42 Penilaian Papua Dibutuhkan pelatihan sanitasi pedesaan, pembangunan kapasitas, fasilitas dan promosi investasi berbasis masyarakat untuk meningkatkan praktek sehat dan fasilitas sanitasi. Perkiraan biaya 72.800 rupiah (8 USD) per orang, sehingga akan dibutuhkan 91 milyar rupiah (10 juta USD) untuk mencapai tujuan MDG 69% dari jumlah penduduk pada tahun 2008. 4.2.6 Peningkatan kesejahteraan dan hak masyarakat adat Papua Masyarakat adat Papua terpinggirkan pada dekade terakhir ini dan beberapa kelompok etnis terdesak oleh trasmigran dan migrasi spontan berhubungan dengan pembangunan skala besar, seperti tambang Freeport. Di daerah pertambangan Freeport, sebagai contoh, masyarakat adat Komoro dan Amungme jumlahnya menyusut dari yang sebelumnya lebih besar dari 95% dari jumlah populasi di daerah kontrak karya Freeport, sekarang hanya kurang dari 15% (Ballard, 2000). Papua memiliki status otonomi khusus dan pemerintah provinsi bertujuan meningkatkan hak dan kehidupan masyarakat adat. UU otonomi khusus Papua memasukkan pengakuan validitas institusi budaya Papua dan prakteknya. UU ini juga memberikan hak kepada masyarakat adat Papua untuk mengembangkan simbol sendiri termasuk bendera dan lagu kebangsaan, sepanjang tidak memakai simbol kedaulatan; dan memungkinkan masyarakat Papua untuk menentukan dari pendapatan daerah yang lebih besar dari sebelumnya, termasuk 70% pendapatan dari minyak dan gas, dan 80% dari pertambangan. UU juga memberikan mandat pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mewakili setiap etnik masyarakat adat Papua. MRP diberikan kewenangan untuk menyetujui rancangan legislasi provinsi; menelaah dan membuat rekomendasi terhadap perjanjian yang dibuat oleh pemerintah provinsi dengan pihak ketiga dimana dipastikan bahwa hak masyarakat Papua dilindungi; serta menelaah dan menyetujui usulan calon gubernur, wakil gubernur dan anggota perwakilan daerah di Jakarta. MRP umumnya berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat Papua. 4.3 Prioritas lingkungan Hutan alam, lahan basah dan lautan merupakan anugerah bagi Provinsi Papua, dan bagi seluruh Pulau New Guinea, yang memiliki nilai konservasi keanekaragaman hayati tinggi secara global dan diantara yang terkaya di dunia. Alam merupakan unsur penting dalam strategi kehidupan masyarakat di Provinsi ini, pada khususnya untuk populasi masyarakat adat. Pada saat yang sama, persaingan ketat terjadi antar para pihak untuk mengontrol provinsi yang kaya sumber daya alam ini, pada khususnya sumber daya mineralnya. Dalam konteks ini, pemerintah pusat berupaya untuk menjaga kontrol terhadap pengelolaan sumber daya di Papua walaupun mendapat perlawanan. UU desentralisasi dan UU otonomi khusus mendorong baik pemerintah lokal maupun masyarakat lokal mengambil alih kontrol terhadap sumber daya alam dan ekstraksi dari sumber daya alam. Situasi ini masih tidak jelas, pada khususnya situasi dimana ekstraksi satu sumber daya (misalnya mineral) dibebankan pada upaya pengelolaan berkelanjutan dan/atau perlindungan sumber daya yang lain (seperti hutan atau daerah dengan nilai konservasi tinggi). Pengelolaan adalah kunci dan merupakan tantangan dalam konteks lemahnya atau tiadanya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola. Jadi daerah yang dilindungi memerlukan peningkatan pengelolaan cukup besar, sedangkan belum ada daerah konservasi di Papua yang memiliki rencana pengelolaan, dan batas wilayah Penilaian Papua 43 konservasi masih menjadi pertentangan dengan masyarakat adat yang menjaga hak adatnya atas sebagian besar tanah dan wilayah pesisir Papua. Pemerintah kabupaten maupun perusahaan tambang yang memiliki ijin hak eksplorasi memandang daerah lindung sebagai penghambat pembangunan lokal. Hal ini tentu menjadi tantangan untuk menjamin isu lingkungan berhubungan dengan pengentasan kemiskinan ­ dan pembangunan tersebut harus mempertimbangkan tanggung jawab global dan juga tanggung jawab terhadap masyarakat untuk membantu keluar dari kemiskinan. Dalam hal ini, isu pengambilan keputusan (nasional, provinsi, lokal) dan pertanyaan tentang pembagian pendapatan menjadi kunci. Bagian pendapatan yang lebih besar di tingkat provinsi akan mengurangi kebutuhan Papua untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungannya. 4.3.1 Pemanasan global dan perubahan iklim Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi prioritas di masyarakat internasional pada tahun belakangan ini. Bukti terbatas yang ada tentang perubahan temperatur rata- rata dicatat di daerah New Guinea sejak tahun 1970an, dimana peningkatan sekitar 0,2°C per dekade di daerah dataran rendah dan 0,3°C di daerah pegunungan. Hal ini sesuai dengan bukti yang terjadi di daerah tropis lain, dan digambarkan dengan perubahan ketinggian menghambat beberapa tanaman pangan utama (Prentice & Hope 2007). Sebagianbesarspesiesfloradanfaunakemungkinantidakdapatbertahandenganadanya perubahan iklim. Pemodelan terakhir menyimpulkan bahwa 15-37% contoh spesies darat dari tanaman dan binatang akhirnya menyerah dengan adanya perubahan iklim pada tahun 2050 dan "terancam punah". Beberapa spesies akan mengalami kesulitan menemukan habitat yang sesuai dan yang lainnya tidak dapat mencapai suatu tempat dengan iklim yang sesuai. Perubahan habitat akibat pemanasan global akan lebih parah pada ketinggian dan derajat yang lebih tinggi dimana terdapat hutan dataran rendah tropis. Menurut Flannery (2005) pemanasan sebesar 3°C selama satu abad cukup untuk memusnahkan habitat herbfield alpine yang pada saat ini berada di ketinggian 3900 meter, dan ini juga berarti musnahnya alpine woolly rat (Mallomys gunung) dan mamalia petelur terbesar di dunia, yaitu long-beaked echidna (Zaglossus bartoni) (Prentice & Hope 2007). Peningkatan suhu permukaan air laut sebagai akibat dari pemanasan global mengancam kerusakan begitu besar terhadap ekosistem terumbu karang. Walaupun terumbu karang di wilayah New Guinea menunjukkan bukti sangat kecil tentang bleacing, tetapi bleacing yang sangat besar diperkirakan akan terjadi secara terus menerus dalam 50 tahun kedepan (Prentice & Hope 2007). Pemanasan global juga diperkirakan berdampak secara tidak langsung mengakibatkan naiknya permukaan air laut, yang kemudian dapat mengancam ekosistem pesisir. Peningkatan ketinggian permukaan sebesar 500 mm selama 50 tahun melebihi tingkat pertumbuhan beberapa koral, yang berarti bahwa pulau yang berdiri karena koral dan atol akan berubah menjadi rawa air laut sebelum tenggelam dan sedimen tersebar di laut sekitarnya. Daerah yang ditumbuhi oleh hamparan rumput laut, hutan mangrove dan lahan basah pesisir, semuanya akan berkurang secara drastis dengan peningkatan tinggi air laut sebesar 500 mm. Daerah yang merasakan pengaruhnya adalah di daerah teluk Papua, dengan invasi air laut ke delta dataran banjir dan semua delta sungai pada sungai-sungai utama di New Guinea juga akan mengalami hal yang sama (Prentice & Hope 2007). 44 Penilaian Papua Gletser Papua ­ indikator perubahan iklim Gletser Papua yang terdapat di pegunungan Jayawijaya adalah satu-satunya gletser di Indonesia dan menyediakan informasi penting tentang perubahan iklim. Gletser di Puncak Jaya dan yang lainnya di Papua telah menyusut sejak pertama kali difoto pada tahun 1907 dan 1936. Dikenal sebagai Gletser Carstenz, es di puncak Jaya pada tahun 1990 terdiri dari dua lembah gletser, yaitu gletser Meren dan Carstensz di Meren dan lembah Kuning, dan juga sebagai dua dataran tinggi, yaitu Northwall Firn barat dan timur. Tutupan es terdapat juga di puncak Idenberg, 15 km sebelah barat puncak Jaya, yaitu di gunung Trikora dan gunung Mandala. Es menghilang dari puncak Trikora pada tahun 1960 dan dari puncak Idenberg pada tahun 1978, meninggalkan tutupan kecil es di puncak Mandala. Total luasan gletser Carstenz berkurang dari 13km2 pada tahun 1936 hingga 3.3 km2 pada tahun 1991, dan sisa es kemudian terbagi menjadi tiga, satu gletser mencair seluruhnya antara tahun 1997 dan 1999. Gletser Meren Barat dan Timur mencair seluruhnya antara bulan Juli 1997 dan Februari 1999. 4.3.2 Deforestasi Deforestasi dan perubahan penggunaan lahan mendapat perhatian lebih luas akhir-akhir ini karena hal ini diperkirakan menjadi penyebab kedua terbesar pemanasan global dan perubahan iklim. Diperkirakan 19% emisi karbon global berasal dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan, dan sepertiga dari emisi ini berasal dari negara-negara berkembang. Di Indonesia, deforestasi dan perubahan penggunaan lahan diperkirakan menyumbang 83% emisi karbon Indonesia dan 6% emisi efek rumah kaca global (PEACE, 2007). Emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan logging, kebakaran dan konversi hutan dan lahan gambut Indonesia mengakibatkan Indonesia berada di urutan nomor empat penyumbang polusi gas rumah kaca terbesar setelah USA, Uni Eropa dan China. Deforestasi yang terjadi di Papua tidak begitu besar (Gambar 5.16 & 5.17), tetapi tetap merupakan hal yang perlu diperhatikan. Deforestasi dihasilkan dari banyak penyebab, termasuklogging,pembangunanperkebunankelapasawit,pembangunanhutantanaman, pertambangan, pembangunan jalan dan transmigrasi. Penyebab ini biasanya berkaitan antara satu dengan yang lainnya, dan juga dapat terjadi di suatu wilayah dimana kegiatan pembangunan terjadi seperti misalnya wilayah penambangan Freeport. Gambar 4.16: Tutupan hutan tahun 1985 Gambar 4.17: Tutupan hutan tahun 2005 Penanggulangan deforestasi di Indonesia menjadi cara paling tepat dan murah dalam menanggulangi perubahan iklim. Hal ini karena menghindari deforestasi dapat menghindari pelepasan karbon ke atmosfer dari kegiatan logging dan kebakaran hutan. Perlindungan hutan juga memberikan potensi penyerapan emisi global oleh biomasa, tanah, dan produknya serta menyimpannya ­ secara berulang dan terus menerus. Penilaian Papua 45 Selanjutnya,upayapenghindarandeforestasimenawarkankeuntungantambahan,seperti perlindungan keanekaragaman hayati, penanggulangan erosi tanah dan perlindungan kehidupan bagi masyarakat yang bergantung dari hutan. Hutan Papua berpotensi besar terkenal sebagai surga keanekaragaman hayati dan karbon karena sebagian besar hutan Papua menyimpan lebih dari 400 ton karbon per hektar. Beberapa daerah berhutan, pada khususnya yang terletak di lahan gambut, mengandung lebih dari 1000 ton karbon per hektar (Gambar 4.18). 6,34 juta hektar hutan Papua dialokasikan menjadi hutan konversi ­ dan hutan ini mungkin cocok mendapatkan pembayaran dari skema kredit karbon. Gambar 4.18: Perkiraan kandungan karbon di atas dan di bawah permukaan tanah di Papua Akan tetapi, insentif ekonomi yang signifikan dibutuhkan untuk menahan dorongan ekonomi untuk melakukan deforestasi (misalnya perluasan perkebunan kelapa sawit, logging, pembangunan jalan, pertambangan, dll) agar memungkinkan skema pembayaran karbon berdasarkan kinerja menjadi pilihan tepat di Papua. 4.3.3 Konservasi gambut Sebagian besar lahan gambut di Indonesia terdapat di tiga provinsi Riau, Kalimantan Tengah and Papua (Gambar 5.19). Kira-kira 6,9 juta hektar wilayah Papua merupakan lahan gambut. Lahan gambut ini mengandung jumlah karbon yang cukup besar (~ 60kg/ m3) (Hooijer et al. 2006) dan banyak argumen yang mengatakan bahwa konservasi gambut dapat bermanfaat bagi perubahan iklim yang signifikan. Di lain pihak, sejumlah besar karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer jika lahan gambut di tebangi atau dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Emisi terutama terjadi dari proses oksidasi dan pengurangan gambut (Hooijer et al. 2006; Germer & Sauerborn 2007). Penelitian jangka panjang pada lahan gambut yang dipakai untuk pertanian di Malaysia mengindikasikan bahwa dekomposisi materi organik di tanah gambut kemungkinan melebihi emisi yang berasal dari biomass di atas permukaan tanah (Wörsten et al. 1997; Germer & Sauerborn 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa ekstensif lahan gambut Papua harus diprioritaskan untuk dikonservasi. 46 Penilaian Papua Gambar 4.19: Provinsi di Indonesia yang memiliki wilayah gambut luas. 4.3.4 Pengelolaan DAS, terutama di Kabupaten Merauke Pemerintah provinsi Papua dan sejumlah kabupaten memprioritaskan pengelolaan DAS untuk memastikan suplai air berkelanjutan ke kota yang sedang berkembang, seperti kabupaten Merauke. Kota Merauke yang sedang berkembang menghadapi masalah kekurangan air pada musim kering dan suplai air tergantung dari beberapa rawa besar di wilayah ini (daerah rawa Rawa Biru yang terletak di Taman Nasional Wasur). Daerah tangkapan air ini sangat penting dari sudut pandang keanekaragaman hayati karena menyediakan habitat untuk sepuluh ribu jenis burung, ikan dan binatang lain. Catatan khusus menunjukkan 36 spesies ikan pelangi (rainbow fish) hidup di sungai air tawar Papua. Daerah ini juga penting bagi burung yang bermigrasi dari Australia. Forum multi pihak daerah tangkapan air (yang disebut forum daerah tangkapan air BIKUMA) dibentuk untuk mempromosikan konservasi air tawar dan membangun strategi pengelolaan daerah tangkapan air terpadu. 4.3.5 Konservasi laut Laut Papua terletak di jantung segitiga karang (Coral Triangle) ­ sebuah pusat keanekaragaman hayati laut global dan merupakan salah satu prioritas utama konservasi laut dunia (Gambar 5.20). Coral Triangle meliputi berbagai macam tempat bertelur penyu laut yang sering bermigrasi, laut diantara daratan menyediakan ruang untuk bermigrasinya mamalia laut dan manta, dan merupakan tempat pangan bagi ikan tuna besar yang menjadi incaran jaring nelayan internasional. Coral Triangle adalah daerah fokus utama organisasi konservasi, seperti CI, TNC dan WWF. Konservasi laut lebih penting bagi provinsi Papua Barat dibandingkan dengan Papua karena lingkungan trumbu karang laut terdapat di Teluk Cendrawasih dan Kepulauan Raja Ampat yang merupakan daerah dengan keanekaragaman spesies laut terkaya di dunia. Begitu banyak jenis terumbu karang, moluska dan ikan karang dapat ditemukan di daerah ini. Lingkungan ini sangat produktif dan memberikan sumber daya berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Daerah ini juga mendukung habitat ikan pelagis dengan spesies utama yang suka bermigrasi. Penilaian Papua 47 Sumber daya laut dan pesisir Papua terancam oleh kegiatan ekstraktif seperti logging, perdagangan binatang dilindungi secara ilegal dan kegiatan penangkapan ikan illegal seperti perburuan sirip hiu, serta penangkapan ikan dengan bom dan sianida. Para ahli kelautan juga berpendapat bahwa sumber daya laut Papua tidak dapat bertahan dari kegiata ekstraksi yang signifikan dan terancam oleh rencana perluasan penangkapan ikan (Mous et al. 2005).The newly established Ministry of Marine Affairs and Fisheries plans to expand Papua's marine protected areas and to improve management of existing marine conservation areas. Departemen Kelautan dan Perikanan berencana untuk memperluas daerah konservasi laut dan meningkatkan pengelolaan daerah konservasi laut yang ada. Gambar4.20:CoralTriangle Note: The Coral Triangle spans Eastern Indonesia, parts of Malaysia, the Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste and the Solomon Islands. 4.3.6 Pengelolaan konservasi darat Hutan Papua memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi dan mengandung sekitar 50% dari keanekaragaman hayati dunia membuat Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Hutan tersebut merupakan rumah bagi 600 jenis burung, termasuk 25 jenis burung cendrawasih, tiga jenis kasuari, dan masing-masing dua lusin jenis burung betet (parrot), burung merpati, burung raptor dan kingfisher. Ada lebih dari 180 jenis mamalia, termasuk kelelawar buah, kelelawar pemakan serangga, kangguru pohon, posum dan tikus; 150 jenis kodok; lebih dari 61 jenis ular; 141 jenis kadal, lebih dari 100.000 jenis serangga. Yang paling terkenal adalah kupu-kupu besar dan cantik sayap burung, serangga tongkat raksasa, beberapa jenis kumbang raksasa (longicorn, dynastine) dan ngengat terbesar di dunia. Sekitar 20% dari tanah Papua didesain sebagai hutan konservasi dan hutan lindung dan beberapa tempat merupakan taman nasional terkenal seperti situs warisan dunia Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Wasur. 48 Penilaian Papua Sebagian besar daerah Mamberamo juga didesain sebagai Cagar Alam. Taman nasional yang ada belum memiliki rencana pengelolaan dan sebagian besar batasnya bertampalan dengan masyarakat adat yang mempertahankan hak adat mereka atas sebagian besar tanah dan pesisir di Papua. Beberapa pemerintah daerah kabupaten, pada khususnya yang sebagian besar wilayahnya masuk dalam daerah konservasi dan lindung memandang daerah lindung dan konservasi ini menjadi penghalang bagi pembangunan di tingkat lokal. Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab untuk pengelolaan daerah konservasi, merencanakan peningkatan pengelolaan daerah konservasi dalam 5 tahun ke depan khususnya di situs warisan dunia Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Wasur. Penilaian Papua 49 5. 6 PILIHAN PEMBANGUNAN Karena luasnya cakupan analisis semua prioritas sosial, ekonomi dan lingkungan seperti dijabarkan seperti di atas, maka diprioritaskan empat skenario utama, yaitu: 1) transportasi dan akses; 2) pertambangan; 3) kehutanan; dan 4) daerah Mamberamo. Keempat skenario ini dipilih karena: Semua skenario ini dapat dianalisis secara spasial dan mendapat perhatian dalam perencanaan ruang; Semua skenario ini merupakan prioritas ekonomi pemerintah, misalnya sektor ini menghasilkanpendapatanataupemerintahmemprioritaskansektoriniuntukpembangunan (misalnya sektor jalan) dan nampaknya memberikan dampak pada perencanaan ruang. 5.1 Pilihan transportasi dan akses Pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan serta memastikan ketahanan pangan adalah prioritas utama pemerintah daerah Papua. Prioritas utama ini sangat penting bagi daerah dataran tinggi Papua yang pada umumnya ditempati oleh masyarakat adat Papua dan juga merupakan daerah dengan kepadatan penduduk tinggi di Papua. Salah satu faktor utama yang dipercaya dapat mengurangi masalah pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lain yang dapat mengentaskan kemiskinan di daerah dataran tinggi dan daerah lain adalah kurangnya akses dan pemerintah provinsi secara konsekuen memprioritaskan pembangunan dan pemeliharaan jalan untuk memperbaiki situasi ini. Pembangunan jalan dapat memberikan beberapa keuntungan, akan tetapi juga dapat menghasilkan serangkaian dampak negatif terhadap sosial, ekonomi dan pembangunan. 5.1.1 Pilihan business as usual (BAU) Baik pemerintah provinsi maupun pusat mengalokasikan dana cukup besar (sekitar 59 USD) untuk pembangunan jaringan jalan yang menyediakan akses pada masyarakat di dataran tinggi yang cukup padat. Hingga saat ini, sebuah jalan telah dibangun untuk menghubungkan Jayapura dengan Wamena (dan Mulia), dan jalan yang menghubungkan NabiredenganEnarotali(diLembahBaliem).Tetapi,keduajalaninikurangterawatsehingga sebagian jalan diperlukan perbaikan. Selanjutnya pembuatan jalan direncanakan dari Enarotali ke Timika, dari Timika ke Mulia dan dari Wamena ke Mulia. Tiga pembangunan jalan ini akan memberikan jaringan jalan yang menghubungkan Jayapura dengan Nabire melalui dataran tinggi. Jaringan jalan utama juga akan dibangun untuk daerah Mamberamo dan jalan bebas hambatan bagian selatan yang menghubungkan Timika dengan Tanah Merah. Jalan bebas hambatan ini melewati Taman Nasional Lorents dan memotong tanah gambut dalam di Kecamatan Asmat dan Mappi. 5.1.2 Prioritas pembangunan jalan tertentu Pembangunanjalanselanjutnyaharusmempertimbangkanjumlahpendudukyangdilayani dan kondisi geografis yang barangkali membuat pembangunan jalan menjadi mahal dan sulit. Pembangunan jalan di masa yang akan datang juga harus mempertimbangkan pilihan transportasi yang lain ­ sebagai contoh menghubungkan pembangunan jalan dengan perbaikan lapangan terbang dan pelabuhan (transportasi air) atau meningkatkan kapasitas lapangan terbang (misalnya di dataran tinggi), daripada berusaha membangun jalan panjang melalui daerah dengan kerapatan populasi rendah dan berpotensi rendah bagi tingkat volume lalu lintas. 50 Penilaian Papua Pembangunan jalan utama hanya dibuat pada daerah yang berpotensi di masa yang akan datangsepertijalandidaerahpesisiryangmenghubungkan Nabire-Waren-Bagusa-Sarmi. Jalan ini berpengaruh rendah pada hutan dan melayani sekitar 480.000 orang karena menghubungkan dua kota utama yaitu Nabire dan Jayapura. Jalan ini tidak memotong medan yang sulit; pekerjaan konstruksi tambahan meliputi pembangunan jembatan utama yang menyeberangi sungai Mamberamo, akan tetapi, tidak ada konsentrasi penduduk sepanjang jalan dari Nabire ke Sarmi yang memunculkan pertanyaan apakah jalan ini dapat mencapai volume lalu lintas tertentu antar kota untuk menyimpulkan kelayakan konstruksi jalan. Hal ini perlu dibandingkan dengan perbaikan tranportasi udara dan pada khususnya transportasi air. Konstruksi jalan dari Tanah Merah ke Jayapura melalui daerah yang jarang penduduknya dengan topografi menantang tidak terlihat sebagai keputusan yang bijaksana. Usaha awal untuk membangun jalan ini pada dasarnya gagal dan biaya perawatan akan sangat tinggi untuk jalan yang nampaknya melayani lalu lintas dengan volume sangat kecil. Berikut adalah kesimpulan dari studi infrastruktur Bank Dunia3, pilihan ini tidak dapat direkomendasikan. Jalan yang menghubungkan Enarotali ke Timika juga kurang tepat, kecuali kenyataannya jalan ini akan menghubungkan dua kota utama yang padat penduduknya. Hal ini dikarenakan jalan melalui pegunungan dan tentu akan mahal dan sulit dibangun. Sama kondisinya dengan rencana pembangunan jalan yang menghubungkan Timika dan Mulia dan rencana jalan yang menghubungkan Mulia ke Wamena. Rencana jalan yang menghubungkan kota pesisir Waren ke Debra dan Sentani sebaiknya sementara ini dibatalkan karena melayani jumlah populasi yang sangat kecil, melewati medan yang sulit dan membuka peluang bagi Mamberamo menjadi terancam deforestasi. 5.1.3 Pastikan jalan yang ada dipelihara dengan baik Sebuah studi ADB (2002) tentang jalan menekankan bahwa keuntungan sosial dan ekonomi dari jalan sering terancam oleh pengabaian dalam pemeliharaan jalan. Bisa dikatakan bahwa pemeliharaan jalan yang tidak tepat mengarah pada pengulangan pengaspalan dan pembangunan kembali yang pada dasarnya lebih mahal bila dibandingkan dengan pengelolaan aset dan biaya akibat waktu yang hilang, kerusakan kendaraan dan kecelakaan lalu lintas karena kurangnya pemeliharaan jalan. Pemerintah Papua mengalokasikan sekitar 462 milyar rupiah setiap tahun untuk pemeliharaan jalan (sekitar 50 juta USD) (World Bank 2007). Dana ini digunakan untuk memelihara jalan dalam kondisi baik yang melayani penduduk berjumlah besar. Dana ini meliputi: Jalan dari Nabire ke Enarotali Jalan dari Jayapura ke Armopa Bermacam metode digunakan untuk memilih bagian jalan yang akan dimasukkan dalam proyek rehabilitasi dan dibutuhkan perawatan yang tepat. Sistem pengelolaan di sebagian besar negara dapat digunakan untuk semua tahapan proses pengelolaan jalan, dari perencanaan pusat dan daerah, penganggaran, desain proyek, penyiapan dokumen kontrak, dan akhirnya pemantauan reguler jaringan provinsi dan nasional (Paterson 1990). 3Bank Dunia. Kajian ulang singkat tentang prioritas pengeluaran untuk infrastruktur di Papua dan Papua Barat pada tahun 2008. Penilaian Papua 51 Jalan yang dipilih harus melebihi economic internal rate of return (EIRR) sekitar 12-15 percent. Lebih tinggi EIRR secara ekonomi proyek tersebut lebih efisien. Ketika pemilihan dilakukan, pemodelan dengan komputer dalam sistem pengelolaan seperti RAMS atau IRMS digunakan untuk menganalisis kelayakan ekonomi dari bermacam pilihan peningkatan tiap bagian jalan, berdasarkan biaya konstruksi dari tiap pilihan, perhitungan lalu lintas dan estimasi lalu lintas, serta biaya operasi kendaraan. Analisis ekonomi menentukan strategi optimum rehabilitasi dan pemeliharaan untuk setiap bagian jalan. Terdapat kelemahan dalam pendekatan ini. Penekanan pada EIRR sering mengarah pada pemilihan proyek yang melayani kelompok kaya daripada melayani kelompok miskin. Selanjutnya, Hughes (2005) berpendapat bahwa proyek yang melibatkan rehabilitasi jalan utama belum tentu menghasilkan pengurangan ukuran kemiskinan di daerah yang dilalui oleh jalan tersebut. Hal ini dikarenakan skema individu dari kelompok bagian jalan tersebut adalah sebagian besar kasus bagian yang relatif pendek dalam bentangan jalan yang jauh lebih panjang. Dalam kebanyakan kasus belum tentu pekerjaan peningkatan jalan yang dilakukan di individu sektor jalan akan secara dramatis meningkatkan transport lokal dan menguntungkan individu pemakai transport jarak jauh untuk barang dan penumpang, sehingga menjadi sedikit tidak relevan. Hal ini khususnya dalam kasus pemeliharaan berkala, dimana sebagian besar kasus melakukan pencegahan penurunan kualitas jalan dari pada merehabilitasi jalan yang kondisinya sudah buruk. Akhirnya, program pembangunan jalan yang hanya fokus pada jalan utama dan tidak termasuk jalan-jalan kecil, seolah-olah memberikan lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif, terutama dalam hal pengentasan kemiskinan. Pada saat jalan utama meningkatkan transportasi antar pusat kota, jalan ini memberikan dampak yang kecil kepada orang miskin yang hidup di pedalaman kecuali program transportasi dan akses dibangun lebih luas berdasarkan kebutuhan masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman daripada transportasi untuk kebutuhan masyarakat kota. Pendekatan seperti ini tidak hanya fokus di jalan, tetapi jalan dikombinasikan dengan transportasi udara dan air, dan berpotensi meningkatkan bentuk transport non-motor (gerobak, kereta, sepeda, perahu, dll.). Keuntungan masyarakat pedesaan dari rehabilitasi jalan Keuntungan utama masyarakat pedesaan yang dilaporkan dari proyek pemeliharaan dan peningkatan jalan adalah sebagai berikut: Pelayanan yang lebih terpercaya dan dengan perjalanan yang lebih cepat dan nyaman, mengarah ke mobilitas yang lebih tinggi. Biaya operasional untuk kendaraan transportasi baik untuk orang dan barang menjadi lebih murah. Peningkatan volume transportasi dan pengurangan ongkos biasanya paling banyak terjadi dimana peningkatan jalan diikuti dengan meningkatnya kompetisi diantara penyedia layanan transportasi. Peningkatan fasilitas transportasi yang diakses oleh masyarakat pedesaan untuk ke pasar dan pengiriman barang ke desa yang lebih besar dan kota. Penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan dan perluasan pertanian kepada masyarakat pedesaan di kota utama dapat ditingkatkan jika jalan ditingkatkan dari standar sebelumnya. Peningkatan akses ke pelayanan kesehatan untuk wanita dan anak-anak pada khususnya penting untuk pengurangan kemiskinan. Pada umumnya terdapat beberapa peningkatan dalam pendapatan tunai, terutama karena peningkatan akses ke pasar dan pensuplai barang. Selain itu juga ada aliran tunai dari pekerja proyek peningkatan jalan itu sendiri. Peningkatan uang tunai memungkinkan keluarga membayar biaya sekolah, pelayanan kesehatan, bermacam barang konsumsi seperti makanan dan barang (Hughes 2005). 52 Penilaian Papua 5.1.4 Peningkatan transportasi udara untuk penumpang dan barang Seperti pada semua proses perencanaan, infrastruktur lapangan terbang harus didesain dandidanaiberdasarkantingkatperkiraandanpermintaanaktual.Sebagaiperumpamaan, terdapat 100.000 orang di Kabupaten Paniai, sehingga sangat sulit untuk memutuskan apakah rencana pembuatan bandara dengan panjang landasan lebih besar dari 3000 meter yang dapat mendaratkan pesawat jet besar merupakan rencana infrastruktur yang tepat. Pilihan tepat untuk menyediakan akses ke daerah dataran tinggi yang terisolasi seperti Mulia, Wamena, Timika dan Dekai adalah dengan meningkatkan transportasi udara. Peningkatan dan pembuatan lapangan terbang baru akan membantu meningkatkan perdagangan untuk mengekspor hasil bumi dari daerah ini seperti coklat, kopi (dan kemungkinan juga ketela rambat) dan membantu meningkatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tetapi pilihan ini tidak ideal karena awan sepertinya akan banyak memberikan masalah pada transportasi udara ­ Papua merupakan daerah paling berawan di muka bumi ini. Selanjutnya, penting untuk dicatat bahwa selama kekeringan 1997-1998, bantuan kelaparan yang dibawa dengan pesawat terbang menghadapi cuaca buruk, asap dan kabut (Ballard). Akan dibutuhkan penilaian yang lebih komprehensif tentang pilihan lapangan terbang, tetapi informasi berikut yang didapat dari Missionary Aviation Fellowship (MAF),4 perlu dipertimbangkan. Di Wamena, harus difokuskan pada konstruksi bandara baru dan lebih besar yang memungkinkan memuat alat pendaratan dan pesawat lebih besar. Perluasan landasan pacu di bandara yang sekarang tidak mungkin dilakukan karena tidak memungkinkan pendekatan yang aman melalui pegunungan. Menemukan lokasi yang ideal untuk bandara adalah tantangan besar di Wamena. Hal ini dikarenakan Wamena terletak di Lembah Baliem dan dikelilingi oleh jajaran pengunungan di tiap sisinya. Membangun bandara komersial di pegunungan menghadapi banyak tantangan karena pesawat dan medan tidak dapat sejalan. Pada saat ini dengan teknologi GPS faktor ini dapat diminimalkan jika perencanaan lokasi yang tepat dipertimbangkan secara seksama. Bandara yang ada sekarang ini berfungsi dengan baik, dapat melayani kebutuhan lembah Baliem selama 50 tahun belakangan ini yang pada umumnya menggunakan pesawat kecil tetapi dibatasi oleh Visual Flight Rules (VFR) dan bandara hanya bisa beroperasi siang hari karena lokasi yang dekat pegunungan. Untuk meningkatkan kemampuan operasional yang mampu menampung dan mendaratkan pesawat lebih besar, beroperasi selama cuaca buruk (kondisi peralatan) dan pada malam hari, maka pemilihan lokasi harus mempertimbangkan safe approach, missed approach, landing, dan takeoff. Dikarenakan Wamena berada pada ketinggian 5.084 kaki, sering pada tengah hari density ketinggian melonjak hingga 8.500 kaki, dimana pada ketinggian ini dapat mengurangi performa pesawat sehingga dibutuhkan landasan pacu lebih panjang dan batas tanjakan yang lebih besar. Melihat operasional penerbangan siang hari di seluruh Indonesia, perlu hati-hati dalam membangun landasan pacu yang dapat menampung pesawat seukuran Boeing 737. Pesawat ini akan membutuhkan landasan pacu dengan panjang kira-kira 3 kilometer, dilengkapi dengan kemampuan peralatan kedatangan dan lampu. 4MAF berperasi dari 6 lokasi: Merauke, Nabire, Sentani, Wamena, Manokwari, dan Timika Penilaian Papua 53 Lokasi sebaiknya sedikit lebih jauh dari kota Wamena dan dilokasikan di lembah untuk memastikan pemisahan medan selama kegiatan penerbangan dan memanfaatkan infrastruktur yang ada sekarang sehingga tidak hanya bisa didarati oleh misi penerbangan pesawat kecil. Selanjutnya akan lebih baik dipisahkan antara angkutan barang (kargo) dan penumpang. Bandara Wamena sudah sangat ramai dan semua operasional pesawat harus melalui jalur lembah kedatangan dan keberangkatan tertentu dan menggunakan lokasi jalur gunung tertentu.Resikokecelakaandiudaraadalahjugabahaya.DenganmenggunakanGPSteliti semakin penerbangan melewati rute yang sama, naik dan turun pada ketinggian dimana kemungkinan pesawat lain juga sedang mengudara. Dengan bertambahnya penerbangan dan pesawat, pengontrolan lalu lintas udara yang lebih baik sangat dibutuhkan, seperti penggunaan alat sejenis radar. Radar kemungkinan bukan pilihan yang tepat untuk mengontrol lalu lintas udara karena keterbatasannya dalam garis penglihatan, kecuali lokasi radar ditempatkan di puncak gunung daripada di lembah. Mulia saat ini memiliki satu lapangan terbang, dengan panjang 810 meter dengan ketinggian 5.350 kaki, dan pada kemiringan 10%. Pilot lebih suka mendarat di lapangan terbang ini, karena mereka tertahan oleh tanjakan akibat kemiringan lapangan terbang tersebut sewaktu mendarat. Dengan sedikit penambahan panjang dan pelebaran landasan pacu serta perataan bandara untuk meningkatkan batas dan keselamatan. Hal ini tidak akan menambah kemampuan pelayanan yang signifikan. Peningkatan bandara Wamena untuk meningkatkan volume dan mengurangi biaya serta mengembangkan jalan dua lajur (minimum) yang menghubungkan Wamena dan Mulia akan menjadi kunci untuk pengembangan Mulia. Hingga saat ini, terdapat jalan yang hanya dapat dilalui dengan mobil 4x4 (four wheel drive). Untuk mendukung pembangunan di Mulia, lebih baik membuat jalan dengan perawatan rendah dan mudah dipakai oleh masyarakat dan truk komersial. Dekai. DekaiadalahlapanganterbangutamadiibukotaKabupatenYahukimo.Permintaan penerbangan antara Dekai dan Wamena rendah. Dekai memiliki akses sungai (dengan perahu motor) dari pantai untuk membawa semen, bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya. Permintaan untuk penambahan penerbangan dari Dekai ke desa sekitarnya meningkat karena kebutuhan distribusi barang dari Dekai ke desa tersebut. Peningkatan permintaan ini termasuk untuk penerbangan membawa barang (yang juga dikirim ke Wamena) dan penumpang. Pembangungan infrastruktur di daerah ini sebaiknya dikaitkan dengan pembangunan jalan atau transportasi air (atau kombinasi keduanya) ke arah pantai dan akhirnya ke Merauke. Di masa yang akan datang lokasi ini bisa menjadi titik penghubung lain ke daerah dataran tinggi. 5.1.5 Peningkatan transportasi sungai dan laut Perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan pelabuhan yang ada dan membangun pelabuhan baru. Hal ini merupakan pilihan untuk kota terisolasi di wilayah pesisir seperti Agats, Wanapiri dan Pirimapun, khususnya pada kedua kota terakhir yang berbatasan dengan daerah gambut, mangrove dan rawa ­ sulit untuk dibuat jalan sehingga untuk menghubungkan daerah ini dengan daerah pegunungan atau sebelah utara Papua sangat sulit. Pilihan yang terbaik adalah menghubungkan kota Agats (lokasinya di Kabupaten Asmat) dengan kota Wamena lewat sungai Baliem. Transportasi sungai juga ditingkatkan untuk menghubungkan Agats dengan kota Sumohai dan menghubungkan Merauke dengan Tanah Merah. 54 Penilaian Papua Transportasi sungai secara potensial dapat digunakan untuk menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan ke daerah pedalaman. Hal ini sudah dilakukan di beberapa tempat, misalnya di Biak Numfor, pemerintah kabupaten menyediakan Puskesmas terapung. Dokter dan perawat menggunakan perahu/kapal untuk mencapai daerah yang hanya dapat diakses lewat laut seperti Padaido, Numfor Barat dan Biak Barat (World Bank 2007). Investasi harus didasarkan pada permintaan aktual sekarang dan perkiraan masa yang akan datang. Harus ditinjau juga apakah pelabuhan yang ada telah digunakan sesuai dengan kapasitasnya, data seperti waktu merapat di pelabuhan, waktu bongkar muatan, waktumenunggumasukkepelabuhan,biayadll,harusdipakaisebagaidasarpengambilan keputusan investasi. ADB mendanai dua studi kelayakan pengembangan pelabuhan di Jayapura dan Manokwari, hal ini diharapkan dapat meningkatkan operasional pelabuhan secara mendasar. Pelabuhan Jayapura harus diperlebar sehingga dapat menjadi pelabuhan Internasional, karena satu-satunya pelabuhan internasional yang ada saat ini terletak di Sorong, provinsi Papua Barat. Menurut ADB, total biaya investasi perluasan pelabuhan Jayapura diperkirakan mencapai 20,37 juta USD dengan Economic Rate of Return (EIRR) sebesar 21%, untuk Manokwari diusulkan biaya investasi sebesar 9,64 juta USD dengan Economic Rate of Return sebesar 23%. Kedua pelabuhan ini nilai EIRR-nya diatas nilai EIRR minimum 10-12% yang merupakan angka minimum yang diterima oleh ADB. Keuntungan potensial dapat dibuat dengan meningkatkan efisiensi lapangan terbang dan pelabuhan yang ada sehingga dapat meningkatkan produktifitas per rupiah dari pada memaksakan usulan konstruksi baru atau perbaikan besar-besaran dari yang ada sekarang. Peningkatan efisiensi dari fasilitas pelabuhan yang ada dapat difokuskan pada perpanjangan jam operasi dan peningkatan kapasitas loading, sedangkan bandara difokuskan pada peningkatan keamanan dan peningkatan pengeluaran untuk operasional serta pemeliharaan, seperti misalnya peningkatan lapangan terbang di dataran tinggi (World Bank 2007). Pembuatan kanal diusulkan sebagai pilihan alternatif untuk jalan bebas hambatan sebelah selatan. Skema ini sebelumnya pernah dipertimbangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Sekarang ini sedang dilakukan usaha pencarian arsip di Belanda tentang pembuatan kanal ini. Rencana pembuatan kanal ini belum jelas, apakah melalui rute yang sama dengan jalan bebas hambatan sebelah selatan atau tidak, tetapi tampaknya melalui rute yang sama. Konstruksi kanal tampaknya akan menghabiskan biaya lebih banyak bila dibandingkan membangun jalan dari Timika ke Tanah Merah. Konstruksi kanal meliputi pengelolaan air dengan sistem yang rumit dan tidak mungkin memenuhi banyak kebutuhan transportasi baik untuk barang maupun manusia (walaupun transportasi laut juga dapat digunakan). Keuntungan utama skenario ini dari segi lingkungan adalah terlindunginya tanah gambut yang ada di kabupaten Asmat dan Mappi. 5.1.6 Akses pelayanan pendidikan dan kesehatan Isu tentang kualitas dan kuantitas pendidikan, serta rekomendasi peningkatan kesehatan sudah dibahas dalam bagian transportasi dan akses sebab masalah utama pada sektor ini berhubungan dengan akses. Penilaian Papua 55 Tujuan dari otoritas pendidikan dan kesehatan provinsi, bersama dengan kelompok misionaris yang juga menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan, adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, yaitu menyediakan pelayanan pendidikan yang baik sampai jumlah anak-anak usia sekolah banyak yang sekolah dan pelayanan kesehatan yang baik ke banyak orang. Skenario perlu didasarkan pada kenyataan sulitnya mempertahankan staf terlatih di daerah pedalaman (karena masalah tranportasi dan akses) dan pendekatan inovatif perlu dikembangkan ­ seperti pembentukan simpul-simpul pelayanan kesehatan dan pendidikan. Pertimbangan di atas dimasukkan dalam pendekatan berikut: · Membatasi pendidikan di daerah pedesaan sampai pendidikan dasar 3 tahun (kelas 1 hingga 3) dengan fokus pada dasar menghitung dan baca-tulis. Hal ini membutuhkan jumlah guru yang sedikit dan tidak dibutuhkan guru dengan tingkat keterampilan yang sama. · Dari kelas 4 hingga 9, fasilitas asrama dibangun di pusat pertumbuhan (contohnya sepanjang pantai dan bisa diakses dari udara dan air). · Kesehatan ­ menyediakan fasilitas dasar pada tingkat kampong. · Sistem pengobatan dihubungkan dengan sistem rumah sakit keliling. Keuntungan dari pendekatan ini adalah: · Guru dan staf pemerintah yang lain didorong untuk tetap memberikan pelayanan, karena mereka tinggal dekat dengan orang lain yang memiliki latar belakang sama, mereka bisa mengakses semua bentuk pelayanan, perumahan disediakan, dll. · Hal ini menanggulangi kesenjangan kapasitas sumber daya manusia di semua tingkat masyarakat Papua. Kekurangannya: · Anak-anak akan jauh dari rumah hanya pulang setahun sekali. Akankah ini dapat memisahkan dari budaya dan berdampak pada proses belajar orang tua ­ anak (kelompok umur ke kelompok umur) di bidang adat. Akankah situasi ini menghasilkan diskriminasi gender dimana hanya laki-laki yang dikirim ke sekolah? Ini akan menjadi tantangan dalam memelihara warisan budaya jika anak-anak dididik jauh dari rumah. · Pengalaman menunjukkan anak muda datang ke pusat kota untuk sekolah tetap menetap disana dan berharap mendapatkan kerja setelah lulus dari sekolah. Pendekatanyanghanyamemfokuskanpadakualitasdanbukankuantitasdapatberbahaya sebab mengarah ke fokus elit. Model yang dibuat oleh Belanda untuk membangun kader masyarakat adat Papua yang terlatih melalui sistem sekolah asrama bagi anak-anak yang berpotensi. Hal ini tidak dapat memecahkan masalah kekurangan kapasitas dan akan terjadi diskriminasi melawan mayoritas. Keuntungannya adalah pendekatan ini lebih rendah biaya dan pemeliharaannya. Tetapi pendekatan ini hanya menjawab kesenjangan kapasitas; tidak menjawab perbedaan antara daerah pesisir (dimana banyak transmigran tinggal) dan daerah pegunungan (dimana mayoritas masyarakat adat papua). Pilihan yang kurang bisa diterima yaitu membatasi investasi dan lebih fokus pada pendidikan non-formal serta pelayanan kesehatan tradisional. Dengan kata lain, mengabaikan ide untuk mendidik banyak anak-anak di pedalaman, tetapi fokus hanya pada pendidikan keterampilan untuk berhitung dan baca-tulis. Pada sektor kesehatan lebih fokus pada dukungan terhadap pengobatan tradisional dan mengabaikan ide tentang pelayanan kesehatan bagi daerah terpencil. 56 Penilaian Papua Apapun pendekatan yang dipertimbangkan, masyarakat yang tinggal di desa terpencil harus didorong untuk membangun lapangan terbang dan membangun sistem radio SSB, sehingga akses udara memungkinkan di situasi darurat. 5.1.7 Ringkasan dan rekomendasi Berangkat dari perbaikan transportasi dan akses, perencanaan harus dilakukan secara keseluruhan daripada sektoral. Dimana masyarakat tinggal, apa kebutuhan transportasi dan akses mereka?, dan kemudian bagaimana menyediakannya dengan pembiayaan yang efektif? Selanjutnya, tidak cukup hanya mencarikan pendanaan investasi untuk infrastruktur, tetap juga perlu pendanaan untuk pemeliharaannya di kemudian hari. Ini juga berarti bahwa dibutuhkan fokus pada penyediaan pelayanan dengan kualitas lebih baik. Direkomendasikan untuk mengembangkan skenario akses dan transportasi yang fokus khususnya pada pembukaan daerah pegunungan melalui peningkatan transportasi udara, darat dan air, serta menghubungkannya ke kumpulan simpul dan pusat pertumbuhan (rural) yang menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta menyediakan titik-titik akses pemasaran barang, dan pengangkutan penumpang. Fokus pada daerah dataran tinggi penting karena menghubungkan prioritas provinsi dalam mempertahankan warisan budaya, mendukung pembangunan kapasitas masyarakat adat, dan pengentasan kemiskinan, yang banyak terdapat di daerah dataran tinggi. 5.2 Pilihan pertambangan 5.2.1 Pilihan business as usual Dalam pilihan business as usual, pertambangan skala besar tampaknya akan terus berlanjut. Pertambangan skala besar menghasilkan pendapatan yang signifikan untuk semua tingkat pemerintah, akan tetapi pendapatan ini belum terdistribusi dengan baik. Pertambangan skala besar mengakibatkan hilangnya habitat keanekaragaman hayati secara besar-besaran di Papua. Disamping hilangnya keanekaragaman hayati dan terjadinya degradasi di sekitar pertambangan, pembangunan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan tersebut, seperti pembangunan jalan, kota, dan pelabuhan, menghasilkan polusi yang terbawa oleh air, dan meningkatkan persaingan terhadap lahan dan sumber daya alam dari orang luar yang datang secara bertahap. Hal ini juga menghancurkan lingkungan Papua. Kasus ini kemungkinan terus berlanjut kecuali terdapat pengawasan lingkungan yang ketat, pertambangan diatur dan didorong untuk mematuhi peraturan lingkungan serta pendapatan dapat didistribusikan secara adil untuk pengentasan kemiskinan. 5.2.2 Pemanfaatan pendapatan pertambangan untuk mempromosikan pembangunan yang adil sehingga tidak menghasilkan deforestasi yang luas Pertambangan mendominasi ekonomi Papua dan beberapa orang Papua berpendapat bahwa Provinsi Papua seharusnya dapat menghasilkan pendapatan yang cukup dari pertambangan dan proyek industri ekstraktif gas, oleh karena itu tidak perlu mengeksploitasi hutan. Hal ini mungkin benar bila dana yang dihasilkan dari kegiatan tersebut cukup dialokasikan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan, khususnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Penilaian Papua 57 Hal ini terjadi di negara lain dan dianalisis secara rinci oleh Wunder (2003). Pada bukunya yang berjudul: Oil Wealth and the Fate of the Forests, Wunder mendemonstrasikan bahwa kebijakan domestik berkaitan dengan kekayaan mineral dan minyak dapat menarik tenaga kerja menjauhi penggunaan lahan dan kegiatan eksploitasi hutan. Hal ini terjadi di Gabon dimana negara ini kaya akan minyak yang memungkinkan masyarakat berhenti bertani dan mengimpor makanan dari luar. Hasilnya sangat sedikit hutan yang hilang, walaupun logging dan perburuan binatang liar menyebabkan masalah tertentu. Transportasi udara lebih diprioritaskan daripada jalan sebagai pilihan transportasi penumpang dan hasilnya terjadi deforestasi yang minimum. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa sumber mineral Papua dapat mengurangi tekanan dari logging dan hutan konversi. Tetapi dibutuhkan kehati-hatian untuk memastikan pendapatan dari tambang dibagi lebih adil untuk pengentasan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Perlu dicatat bahwa banyak Negara terkaya di dunia mendapatkan keuntungan sangat besar dari ekstraksi mineral. Australia, Kanada, Finlandia, Swedia dan Amerika Serikat sebagai contoh, semuanya memiliki industri mineral yang ekstensif dan menggunakannya sebagai platform untuk pembangunan. Sejumlah negara berkembang dapat dikatakan mineral sebagai sumber pembangunannya. Cili, merupakan produsen 35% tembaga dunia, kini berada diantara kelompok negara dengan "human development" tinggi (di urutan 39 UNDP). Banyak sekali contoh lain: kota tambang Antofagasta yang relatif kaya dan selama 20 tahun pengangguran menurun kecuali dengan datangnya imigran dari daerah lain. Afrika juga menyediakan contoh yang positif: salah satu negara yang sukses dalam pertambangan adalah Botswana, produser utama perhiasan berlian yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar didunia ­ rata-rata 9% pertahun dari tahun 1996-1999. Sebaliknya, Botswana juga memiliki laju infeksi HIV/AIDS terbesar di dunia ­ 24%. Beruntung, kekayaan mineral Botswana berkontribusi dalam menyediakan dana yang memungkinkan 85% rakyatnya yang terinfeksi diobati secara `ilmiah' dengan pengobatan Western-medicine-approved ARV untuk HIV/AIDS. Hal ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi Papua yang memiliki laju infeksi HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Bagaimana seharusnya sebuah negara mengharapkan mendapatkan keuntungan dari sektor mineral? Salah satu yang paling cepat melalui penambahan lapangan kerja ­ langsung maupun tidak langsung. Kegiatan pertambangan seharusnya menghasilkan infrastruktur baru seperti jalan, jaringan kereta api, suplai listrik, sekolah dan rumah sakit, walaupun hanya disediakan untuk industri mineral dan pekerjanya, tetapi dapat juga bermanfaat bagi masyarakat lain. Pada tingkat lokal, seharusnya sektor ini berkontribusi pada pembangunan ketrampilan dan bisnis lokal. Sementara itu ekonomi dapat didorong secara keseluruhan karena perusahaan mineral membangun hubungan ­ kedalam bagi industri yang mensuplai jasa dan barang, atau keluar untuk industri yang memproses hasil mineral. Studi Bank Dunia tentang kegiatan pertambangan di seluruh dunia menyimpulkan bahwa setiap dolar yang dikeluarkan oleh perusahaan di pertambangan menghasilkan tambahan 2,8 dolar dalam ekonomi.Akhirnya terdapat keuntungan menyeluruh, termasuk penyuntikan devisa yang memperkuat keseimbangan pembayaran, selain royalti dan pajak usaha yang membanjiri pendapatan pemerintah. Any country or autonomous region that wishes to translate mineral wealth in the ground into human development for its people faces stiff challenges. These include: Mendemonstrasikan potensi mineral, menarik eksplorasi dan investasi pembangunan. Membangun iklim investasi atraktif dan kebijakan mineral yang progresif Membangun infrastruktur sector mineral domestik 58 Penilaian Papua Pembuatan dan penjaminan keberlanjutan kekayaan mineral bersamaan dengan perlindungan kualitas lingkungan dan nilai sosial budaya yang lain. Membagi kelebihan atau pembayaran ekonomi dari produksi mineral secara adil antara pemerintahan, masyarakat lokal dan perusahaan tambang. Mengkonversi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (kekayaan mineral) menjadi yang dapat diperbaharui dengan menginvestasikan modal manusia dan fisik, dan melakukan sesuatu sehingga membantu melindungi kepentingan generasi yang akan datang. Memelihara kestabilan lingkungan ekonomi selama berhadapan dengan nilai tukar yang akan berdampak pada eksplorasi mineral, naik turunnya harga komoditas internasional, dan tuntutan untuk penyesuaian struktural Menghadapi potensi dampak sektor pertambangan pada isu penting tata kelola, pada khususnya masalah korupsi, tuntutan regional tentang pembagian pendapatan, hak asasi manusia dan konflik. Akan tetapi ada kelemahan dalam pembangunan yang memfokuskan pada kekayaan mineral.DibeberapanegarasepertiBelanda,ledakanekonomimineraltelahmenyingkirkan industri lain dan sektor eksport, seperti sektor pertanian dan manufaktur. Fenomena ini dikenal dengan `Dutch Disease' dan ini dikecam sebagai jatuhnya sektor manufaktur dan pertanian di Belanda selama tahun 1960an dan 1970an. Selanjutnya, manfaat pertambangan bagi masyarakat lokal di tingkat operasional cenderung berubah-ubah. Ketenagakerjaan di sektor pertambangan secara umum jatuh di seluruh dunia walaupun penghasilan dari sektor ini terus meningkat. Selain itu pertambangan semakin berspesialisasi. Saat ini sangat sedikit peluang kerja tersedia untuk pekerjaan kasar dibandingkan sebelumnya, dan sulit bagi masyarakat lokal untuk memenuhi persyaratan posisi yang membutuhkan keterampilan. Selanjutanya, kelihatannya strategi perusahaan menggunakan `contracting out' atau outsourcing dikombinasikan dengan peningkatan transportasi dan pengurangan tenaga kerja akan berartibahwasuplaimakanandankomoditilainpunkemungkinandisuplaiolehperusahaan dari luar. Pemerintah Papua perlu memangkas kecenderungan ini untuk memastikan masyarakat lokal mendapatkan manfaaat lebih besar dari operasi pertambangan jika ingin fokus kegiatan ekonomi di pertambangan dan kurang prioritas di sektor lain, seperti pertanian dan kehutanan. 5.2.3 Penggunaan pendapatan dari tambang untuk membangun jalan Sebuah alternatif dari skenario di atas adalah menggunakan pendapatan yang dihasilkan dari sektor pertambangan Papua untuk membangun jalan. Skenario ini kemungkinan akan menyebabkan deforestasi. Skenario ini juga dibahas oleh Wunder (2003) yang mengatakan bahwa beberapa negara menggunakan sejumlah besar uang yang berasal dari minyak atau mineral untuk mempromosikan kegiatan yang menyebabkan deforestasi seperti membangun jalan melalui daerah berhutan atau memukimkan orang dan menyediakan kredit pertanian murah. Situasi ini terdapat di negara Amerika latin dimana studi Wunder dilakukan (Venesuela, Meksiko and Ekuador). Di semua negara ini, jalan dibangun untuk memfasilitasi ekspansi pertanian. Skenario ini tampaknya berlaku untuk pemerintah Papua jika pemda tetap melanjutkan rencana pembangunan jalan yang ada sekarang. Penilaian Papua 59 5.2.4 Realokasi daerah hutan lindung dan konservasi yang dialokasikan untuk eksplorasi tambang sebagai tempat untuk penyimpanan karbon atau logging Sekitar 6,3 juta hektar lahan hutan dialokasikan untuk perusahaan tambang di Provinsi Papua. Sekitar 13,4 juta hektar lahan hutan dialokasikan untuk eksplorasi. Mayoritas lahan hutan ini (62%) adalah hutan lindung dan konservasi. UU kehutanan (UU 41/99) melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Tetapi keputusan ini ditentang oleh industri tambang yang mengklaim bahwa UU kehutanan memberikan iklim yang tidak baik bagi perusahaan tambang internasional. Pada bulan Maret 2004, Presiden Megawati Sukarnoputri menanggapi lobi dari pertambangan dengan mengeluarkan Perpu No. 1/2004, yang mengijinkan semua kontrak karya yang dibuat sebelum dikeluarkan UU kehutanan tahun 1999 untuk melakukan penambangan di hutan lindung untuk sisa masa kontrak karya yang berlaku. Akan tetapi hanya 13 perusahaan yang namanya tercantum dalam Perpu tersebut yang mendapatkan keuntungan dari keluarnya Perpu ini, yang mengatakan bahwa "terbukti cadangannya dan secara ekonomis layak". Keputusan ini kemudian diperkuat oleh UU no. 41/2004 disahkan DPR pada bulan Mei 2004. UU No 41/2004 ditentang oleh kelompok LSM akan tetapi Mahkamah Institusi menolak tuntutan tersebut dan mempertahankan UU yang mengabulkan 13 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung. Keputusan pengadilan secara konsekuen mengatur bahwa pemerintah seharusnya menghargai komitmen yang sudah dibuat dengan perusahaan yang diberikan ijin eksplorasi sebelum tahun 1999. Dari 13 perusahaan yang diijinkan melanjutkan kegiatan mereka, 2 diantaranya di Papua, yaitu PT Freeport dan PT Gag Nikel. Nasib dari perusahaan lain yang mendapatkan konsesi tumpang tindih dengan hutan lindung dan daerah konservasi masih tetap tidak jelas. Jika perusahaan ini dapat membuktikan secara ekonomi layak, maka ada kemungkinan mereka dapat melobi untuk mendapatkan ijin melanjutkan kegiatan pertambangan. Alternatif lain, 12,3 juta hektar lahan yang dialokasikan untuk pertambangan tetapi tumpang tindih dengan hutan lindung dan daerah konservasi berpotensi direalokasikan untuk penyimpanan karbon atau alternatif penggunaan lahan lain (seperti logging). Alternatif terakhir tampaknya terjadi dibawah skenario business as usual karena sebagian besar ijin eksplorasi pertambangan tumpang tindih dengan HPH aktif dan tidak aktif di sebelah utara provinsi Papua (lihat Gambar 5.2). 60 Penilaian Papua Gambar 5.2: Tumpang tindih konsesi pertambangan dan logging 5.2.5 Peningkatan penghasilan dari tambang dengan menaikkan pajak tambang yang memanfaatkan lahan hutan Pada bulan Februari 2008, keputusan presiden yang kontroversial diterbitkan untuk meningkatkan pendapatan. Keputusan tersebut mewajibkan perusahaan tambang terbuka untuk membayar antara 1,8 juta - 2,4 juta rupiah (200-265 USD) per hektar untuk penggunaan lahan hutan bagi kegiatan diluar kehutanan, seperti pembangunan jalan, pertambangan, perumahan, dan pembuangan sampah. Sebelum keluarnya keputusan tersebut, tidak ada pajak yang dipungut untuk penggunaan lahan hutan untuk pertambangan. Jadi paling tidak peraturan ini menyadari bahwa perusahaan tambang harus membayar pemanfaatan lahan tersebut. Berapapun jumlah yang diharuskan dibayar oleh perusahaan tidak bisa merefleksikan harga sebenarnya dari kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kegiatan mereka, terutama jika hutan ini sesuai untuk kredit karbon. Untuk itu mungkin juga perlu untuk merevisi peraturan tersebut dan meningkatkan pajak untuk menambah pendapatan dan mewakili nilai hutan sebenarnya yang harus dikompensasi. Sebuah mekanisme juga perlu dibangun untuk mengalirkan dana yang dipungut dari pajak untuk pemerintah provinsi karena pada saat ini tampaknya dana tersebut hanya untuk pemerintah pusat. 5.2.6 Kesimpulan dan rekomendasi Akhir-akhir ini sektor pertambangan di Papua menghadapi tekanan untuk mengimplementasikan Corporate Social Responsibility (CSR). Tekanan ini kini semakin kuat dan dipengaruhi oleh kelompok lingkungan, pelanggan, kelompok sipil, organisasi non pemerintah, media dan opini masyarakat internasional. Hal ini berarti bahwa kegiatan tambang yang sekarang dan yang berpotensi di masa yang akan datang, khususnya yang mengancam daerah konservasi dan hutan lindung, atau dipandang memiliki pengaruh negatif terhadap perubahan iklim, akan merasakan tiap langkah yang mereka lakukan adalah subyek dari pengujian dan kritik. Penilaian Papua 61 Oleh karena itu direkomendasikan bahwa tiap perusahaan pertambangan baru menjelaskan potensial manfaat kegiatan pertambangan mereka terhadap masyarakat dan lingkungan Papua sebelum memulai kegiatan pertambangan. Dan yang kedua, diusahakanuntuklebihadildalammembagipajak,royaltidankeuntungandariperusahaan pertambangan sehingga situasi dimana pertumbuhan ekonomi Papua yang sangat tinggi tidak diterjemahkan ke dalam pengentasan kemiskinan berkelanjutan. 5.3 Pilihan kehutanan Hutan Papua patut mendapat perhatian karena: · 97% wilayah Papua diklasifikasikan sebagai kawasan hutan · Hutan Papua masih utuh dan baru saja akan mulai terancam oleh beberapa faktor: logging, kelapa sawit, industri hutan tanaman, pertambangan, dll. · Hutan Papua mengandung keanekaragaman hayati yang signifikan secara global · Hutan Papua menyimpan sejumlah besar karbon · Hutan Papua dapat menghasilkan pendapatan untuk kabupaten dan masyarakat lokal. 5.3.1 Pilihan business as usual Sebagian besar hutan (14,7 juta hektar) yang berlokasi di provinsi Papua dialokasikan untuk logging, pembangunan kelapa sawit, pembangunan HTI dan pertambangan. Perusahaan ini pada umumnya diberikan ijin dari pemerintah pusat untuk mengeksploitasi hutan dan sumber daya mineral Papua. Walaupun sebagian pendapatan yang didapat dari perusahaan ini disalurkan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, tetapi porsi besar pendapatan masih tetap mengalir ke pemerintah pusat, walaupun dalam kenyataannya UU otonomi khusus Papua menyatakan bahwa Provinsi Papua berhak mendapat 80% pendapatan dari hutan, perikanan dan pertambangan dan 70% pendapatan yang dihasilkan dari tambang minyak dan gas (Pasal 34.b). Sebagian besar ijin ini diberikan selama era Suharto dan ekstraksi sumber daya memberikan keuntungan terutama kepada perusahaan itu sendiri dan elit yang berhubungan baik dengan pemerintah pusat dan provinsi. Situasi ini tidak memfasilitasi praktek logging berkelanjutan karena perusahaan mendapatkan insentif kecil bila mempraktekkan logging berkelanjutan dan mereka hanya tertarik mengambil kayu dengan keuntungan tinggi. Walaupun ada pembatasan logging skala besar dan pembangunan perkebunan, tetapi ijin baru tetap dikeluarkan oleh pemerintah pusat karena sumber daya hutan di Kalimantan dan Sumatra telah habis, dan Papua menjadi tahap berikutnya untuk ekstraktif logging. Perusahaan kelapa sawit skala besar diundang untuk ke Papua oleh kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kemungkinan perusahaan dapat menguasai 200.000 hektar lahan dibandingkan dengan hanya 100.000 hektar konsesi di daerah lain. Jika skenario ini berlanjut, sumber daya hutan Papua akan terus ditambang oleh perusahan skala besar dan rendahnya keuntungan yang akan mengalir ke masyarakat lokal. Skenario ini pasti akan menghasilkan deforestasi skala besar dan intervensi tipe darurat sama seperti yang diterapkan di Sumatra dan Kalimantan. Konflik antara pejabat pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terhadap otoritas pengelolaan hutan sepertinya juga akan tetap berlanjut karena pemerintah pusat tetap mempertahankan haknya untuk memberikan ijin pada perusahaan kayu besar dan ijin pemanfaatan kayu, sedangkan pemerintah provinsi berpendapat bahwa status otonomi khusus Papua memungkinkan pemerintah provinsi menerbitkan ijin ini. Beberapa alternatif skenario lainnya akan dijabarkan di bawah ini. 62 Penilaian Papua 5.3.2 Promosi logging berbasis masyarakat di hutan produksi Sebuah alternatif untuk logging skala besar dan pembangunan perkebunan adalah perkebunan dan logging dengan skala lebih kecil yang berbasis mayarakat. Skenario ini telah dieksplorasi dan disukai pemerintah provinsi Papua. Latar belakang singkat untuk skenario ini dijelaskan dibawah ini. DiPapua,kebanyakanberpendapatbahwaUUotonomikhusussecaraefektifmemberikan hak kepada pemerintah provinsi untuk mengelola sumber daya hutan dan mengeluarkan ijin pemanfaatan kepada koperasi masyarakat adat di dalam kawasan hutan. Pemerintah pusat berusaha untuk mengklarifikasi isu ini dengan merubah UU desentralisasi yang secara jelas menyatakan bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakanpemerintahpusat.Pemerintahpusatjugaberusahauntukmemperkuatposisinya dalam isu ini dengan membuat draft UU khusus untuk ilegal logging yang mengatakan bahwa suatu tindakan kriminal bagi pejabat kabupaten atau provinsi yang memberikan ijin pemanfaatan kayu di dalam kawasan hutan. Konsultasi publik UU ini menghasilkan penolakan di Provinsi Papua (Casson et al. 2007). Pada tahun 2001-2002, gubernur Papua mengeluarkan beberapa peraturan berhubungan dengan kehutanan yang menyediakan panduan dalam memberikan ijin konsesi skala besar, HTI dan ijin pemungutan kayu berbasis masyarakat (Kopermas). Peraturan ini secara efektif memberikan kewenangan kepada Dinas Kehutanan Provinsi untuk mengeluarkan ijin ini dan peraturan ini dibuat berdasarkan interpretasi gubernur dan Dinas Kehutanan Provinsi atas UU otonomi khusus dan UU desentralisasi. Peraturan daerah provinsi yang paling penting adalah peraturan tentang hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan, yang dikenal dengan nama IPK-MA (Ijin Pemungutan Kayu oleh Masyarakat Adat). Peraturan ini menyatakan bahwa masyarakat adat berhak untuk mengusulkan ijin pemanfaatan kayu skala kecil dan mengelola wilayah adat jika sebelumnya secara formal telah diakui oleh Bappeda. Ini berarti bahwa secara legal harus diakui dalam bentuk Lembaga Masyarakat Hutan Adat (LMHA) atau secara formal berafiliasi dengan koperasi masyarakat yang legal. Masyarakat lokal memilih untuk mendirikan Koperasi Peran Serta Masyarakat, or Kopermas untuk mendapatkan ijin dari pemerintah provinsi. Ijin ini memberikan mereka hak untuk mengelola konsesi logging di hutan produksi antara 250 ha - 1000 ha (didalam dan diluar HPH yang diberikan ijinnya oleh pemerintah pusat untuk periode satu tahun. Selama tahun 2002-2003 pemerintah provinsi telah memberikan ijin kepada 442 Kopermas. Akan tetapi kebanyakan dari konsesi ini gagal memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal karena kekurangan modal dan pengetahuan tentang bagaimana mengelola hutan, kebanyakan kegiatan logging skala kecil yang dilakukan oleh Kepermas dimanfaatkan oleh HPH konsesi dan non HPH investor sebagai pensuplai kayu mereka dengan eksploitasi kayu secara tradisional (Tokade et al. 2005). Pada tahun 2004, serangkaian pertemuan yang dipimpin oleh pemerintah provinsi Papua sepakat untuk tidak lagi memberikan ijin Kopermas karena pemerintah pusat sudah mengumumkan revisi UU desentralisasi untuk memperjelas peraturan bahwa hanya pemerintah pusat yang dapat memberikan ijin pemanfaatan. Sebagai akibat dari keputusan ini, kebanyakan konsesi Kopermas menjadi tidak sah, akan tetapi sekitar 82 Kopermas melanjutkan kegiatan bekerjasama dengan konsesi skala besar. Penilaian Papua 63 Pada akhirnya Departemen Kehutanan menyetujui pemerintah Provinsi Papua membangun kelompok kerja bersama untuk penyusunan draft peraturan daerah khusus (Perdasus) tentang pengelolaan sumber daya hutan adat untuk menyediakan beberapa dasar hukum bagi konsesi skala kecil yang dikelola oleh masyarakat adat. Draft ini, diajukan ke Departemen Kehutanan untuk disetujui, bertujuan untuk: · Menyediakan masyarakat adat hak pengelolaan jangka panjang terhadap sumber daya hutan mereka; · Mandat pembangunan bisnis independen oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui Organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); · Menjamin pengelolaan hutan berkelanjutan melalui prinsip, kriteria, indikator dan verifikasi independen; · Mendukung resolusi konflik melalui pemetaan wilayah adat dan negosiasi tata ruang. Draft tersebut mengatakan bahwa Gubernur memiliki hak untuk memberikan ijin pemanfaatan kepada masyarakat adat untuk menjamin pelayanan provisi dan supervisi yang lebih efektif. Draft tersebut juga mengatakan bahwa pemerintah provinsi akan mengoptimalkanintegrasiindustrikayuyangadadanmengembangkanpusatpemrosesan kayu skala kecil dan menengah untuk meningkatkan peluang peran serta masyarakat adat. Departemen kehutanan mengamandemen Perdasus seiring dengan revisi yang sedang berjalan untuk UU Dasar Kehutanan (UU No. 41/99) dan peraturan pelaksananya (PP No. 34/02). Amandemen menekankan perbedaan yang signifikan antara Departemen KehutanandanProvinsiPapua.Amandemenyangpalingsignifikanadalahdihilangkannya hak gubernur untuk mengeluarkan ijin pemanfaatan bagi masyarakat adat dan mengembalikannya ke Departemen Kehutanan. Kewenangan Gubernur dan Bupati dalam memberikan ijin fasilitas pengolahan kayu dan mengatur export kayu, masih belum jelas. Walaupun banyak waktu dan dialog yang dibutuhkan untuk mewujudkan skenario ini menjadi kenyataan, tampaknya ini merupakan skenario yang masuk akal dan berpotensi mendistribusikan kembali pendapatan yang didapat dari logging ke masyarakat adat Papua dan memungkinkan masyarakat lokal Papua berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Bagaimanapun juga dibutuhkan dukungan yang signifikan untuk membantu pemerintah provinsi mewujudkan skenario ini, untuk memastikan usaha logging berbasis masyarakat skala kecil berjalan secara berkelanjutan, memiliki modal yang cukup untuk dapat layak secara ekonomi dan tidak diambil alih oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. 5.3.3 Alokasi hutan konversi untuk penyimpanan karbon dan konservasi Hutan Papua memiliki potensi besar untuk menjadi surga keanekaragaman hayati dan karbon. Hal ini karena: 20% hutan Papua didesain untuk hutan konservasi dan proteksi, dan dikenal dengan nilai penting keanekaragaman hayati. Mayoritas hutan Papua menyimpan lebih dari 400 ton karbon per hektar. Di beberapa daerah berhutan, khususnya yang berlokasi di tanah gambut, mengandung sampai 1000 ton karbon per hektar (Gambar 5.18). 22% hutan Papua didesain untuk konversi ­ dan hutan ini mungkin memiliki potensi yang sesuai untuk mendapat pembayaran dibawah skema kredit karbon. 64 Penilaian Papua Pemerintah Provinsi Papua menyatakan untuk mengalokasikan sampai 5 juta hektar hutan konversi untuk penyimpanan karbon. Paling tidak 500.000 hektar dari hutan konversi telah diidentifikasi dan dipilih untuk penyimpanan karbon selama konsultasi dengan para pihak jika pembeli karbon berminat (Gambar 6.3). Pada United Nations Forum on Climate Change (UNFCC) yang diadakan di Bali pada bulan Desember 2007, Gubernur Papua juga menyatakan keinginannya untuk tidak mengkonversi mayoritas hutan konversi di Papua jika ada kompensasi untuk biaya kesempatan (opportunity cost) bila tidak melakukan konversi. Gambar 5.3: Daerah yang dicadangkan untuk penyimpanan karbon di Papua dan Papua Barat Akan tetapi, sebelum provinsi Papua mempertimbangkan pilihan ini, sejumlah faktor perlu dipertimbangkan secara hati-hati: Apakah, atau akankah dimasa yang akan datang, ada pasar yang signifikan untuk penyimpanan karbon hutan? Bagaimana pembiayaan yang tersedia dari pasar karbon diarahkan dan digunakan untuk memastikan bahwa hutan yang dipilih untuk penyimpanan karbon terlindungi dari pembalakan dan ancaman yang lain? Berapa banyak hutan konversi yang seharusnya dialokasikan kembali untuk konservasi, lindung dan penyimpanan karbon? Dimanakah tempat ini sebaiknya? Akankah kabupaten dengan wilayah hutan yang luas yang dialokasikan untuk konservasi, lindung dan penyimpanan karbon dapat mendatangkan penghasilan dan mengentaskan kemiskinan? Apakah pembiayaan karbon dapat bersaing dengan logging, kelapa sawit atau pertambangan? Apakah provinsi Papua memiliki kapasitas yang efektif untuk mengelola wilayah hutan yang luas untuk konservasi dan penyimpanan karbon? Bagaimana pendapatan yang dihasilkan dari pengalokasian hutan untuk penyimpanan karbon dapat didistribusikan secara adil dan dapat mengentaskan kemiskinan? Penilaian Papua 65 Pertanyaan tersebut membutuhkan analisis yang ekstensif diluar lingkup dari studi ini. Pertanyaan tersebut perlu diperhatikan secara hati-hati dan sangat direkomendasikan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang isu ini untuk menentukan apakah skenario tersebut layak. Beberapa penelitian sedang dilakukan dengan dukungan Indonesian Forest Climate Alliance--sebuah aliansi donor (World Bank, Australian AID, DFID, GTZ) yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan, akan tetapi harus dilakukan penelitian yang lebih spesifik bagi Papua untuk memastikan penelitian tersebut memperhatikan faktor- faktor penting, seperti status otonomi khusus Papua. Pemetaan cadangan karbon yang disimpan oleh hutan di Papua dan jenis vegetasi lain atau tanah (seperti tanah gambut) juga penting dan harus diprioritaskan dalam waktu mendatang. Penting untuk diperhatikan pendapat dari masyarakat konservasi yang sering mengasumsikan bahwa keanekaragaman hayati `baik untuk manusia' ­ terutama untuk orang miskin yang bergantung pada ekosistem lokal untuk mensuplai kebutuhan sehari- hari mereka ­ maupun tentang pembangunan industri secara konvensional yang selalu berkaitan erat dengan kehilangan keanekaragaman hayati. Di daerah seperti Papua, jangan berasumsi bahwa masyarakat akan menghargai manfaat dari konservasi keanekaragaman hayati jika mereka memiliki `pilihan pembangunan' yang kenyataannya atau tampaknya memberikan manfaat lebih besar. Penilaian ekonomi dari penyesuaian (trade-off) antara konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan ekonomi, atau antara volume dan jenis jasa ekosistem, jelas sekali membutuhkan pertimbangan variasi spasial dan temporal skala perubahan lingkungan. Perhitungannya mungkin berbeda antar ekosistem yang dikenal pada skala yang sama, tetapi kita harus menyadari juga bahwa biaya kesempatan (opportunity costs) dari penyimpanan karbon dan konservasi diterima pada tingkat lokal atau nasional sedangkan manfaatnya disadari pada tingkat global. 5.3.4 Dukung dan promosikan cara kerja terbaik (best practice) Provinsi Papua tetap dapat memanfaatkan hutan Papua dengan cara berkelanjutan jika mengadopsi sejumlah cara kerja terbaik (best practice) yang telah mendapatkan reputasi di pasar dunia. Tiga cara kerja terbaik (best practice) yang penting untuk dipertimbangkan: 1) sertifikasi kayu yang bertujuan untuk mempromosikan praktek logging berkelanjutan dan mengurangi illegal logging; 2) mengimplementasikan kriteria dan indikator yang diadopsi dan dipromosikan oleh RSPO (Roundtable on Sustainable Palm oil) yang dimaksudkan untuk mempromosikan perkebunan kelapa sawit yang layak yaitu yang dapat membatasi dampak lingkungan; dan 3) analisis HCVF (High Conservation Value Forest) dan perencanaan ruang yang baik yang bertujuan untuk memastikan bahwa lahan yang sesuai dialokasikan untuk pembangunan perkebunan dan HCVF dipelihara dan dikelola, atau kegiatan merusak dibatasi dan diatur secara penuh untuk melindungi nilai konservasi dan sosial yang ditemukan di hutan tersebut. Ketiga cara kerja ini dijelaskan lebih rinci di bawah ini. Sertifikasi Sertifikasi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan, sosial dan ekonomi pengelolaan hutan. Sertifikasi bekerja dengan prinsip bahwa konsumen yang peduli akan lingkungan dapat membangun permintaan kayu hutan tropis yang berasal dari sumber yanglegaldandikelolasecaraberkelanjutan,sertamenawarkanhargatertinggiuntukkayu jenis tersebut. Menyediakan insentif finansial bagi pengelola hutan untuk menghindari praktek korupsi dan dapat mengelola hutan dengan lebih baik. 66 Penilaian Papua Pasar kayu bersertifikasi mengisi sekitar 5 persen dari total pasar kayu dunia. Sebagian besar permintaan akan kayu bersertifikat datang dari Eropa (terutama dari Inggris dan Belanda) dan Amerika Serikat. Pasar yang sama terbentuk begitu baik di negara asia timur ­ yang merupakan pasar utama produk kayu Indonesia, terutama kayu ilegal. WWF dan TNC (the Nature Conservancy) mencoba memperbaiki situasi ini dengan mendukung perluasan produk kayu bersertifikat dan yang diverifikasi legal ke Cina dan Jepang. Beberapa kemajuan dari kegiatan ini telah tercapai: di Cina perusahaan kayu besar bertaraf Internasional, seperti IKEA, Kingfisher, dan Carrefour (yang mengisi sekitar 1 persen dari pemrosesan dan pemasaran produk furniture di pasaran) berminat untuk mempromosikan produk kayu bersertifikat ke konsumen muda mereka. WWF dan TNC juga mempromosikan pasar produk bersertifikat di Jepang dan Hong Kong (Cina) melalui jaringan hutan dan pemasaran (Forest and Trade Networks/FTNs) serta berusaha membangun kapasitas produsen di Indonesia untuk menyediakan produk kayu bersertifikat di Asia dan pasar luar negeri lainnya. Pada tahun 2003, sebuah kelompok produsen, yang disebut Nusa Hijau dibangun di Indonesia untuk mendukung inisiatif ini lebih lanjut. Akan tetapi, para produsen di Indonesia tetap perlu diyakinkan tentang keuntungan dari sertifikasi. Inisiatif sertifikasi belum juga diterima dengan baik oleh organisasi non pemerintah di Indonesia, dan para produsen mengeluhkan bahwa 5 persen harga tertinggi sertifikasi terlalu kecil untuk mengalihkan minat perusahaan untuk mengikuti standar sertifikasi. Walaupun pemerintah menganjurkan kepada perusahaan HPH skala besar untuk memenuhi persyaratan sertifikasi sejak tahun 2003, hanya lima HPH bersertifikasi skala besar yang terdapat di Indonesia, yaitu: PT Diamond Raya, PT Erna Djuliawati, PT Sumalindo Lestari Jaya II, PT Intracawood, and PT Sari Bumi Kusuma. Tidak satupun dari perusahaan ini beroperasi di Papua. Oleh karena itu diperlukan kegiatan yang mengarah pada sertifikasi untuk menjawab keprihatinan dan mengusahakan organisasi non pemerintah adar dapat meningkatkan harga tinggi `hijau' serta membangun pasar yang tepat di negara Asia, sehingga usaha sertifikasi dapat mempromosikan tata kelola hutan yang baik. Sebuah program baru dari Rainforest Alliance, yang disebut SmartStep membantu pengelola hutan yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi persyaratan sertifikasi dengan mengikuti rencana untuk memenuhi standar secara bertahap. Program SmartStep menawarkan kepada para pengelola hutan dalam jangka waktu lima tahun bekerja ke arah standar sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) / RainforestAlliance yang komprehensif. Selama jangka waktu tersebut, perusahaan dapat mempromosikan kemajuan yang dicapai dalam mengikuti standar sertifikasi kepada konsumen mereka, tetapi belum berhak mendapatkan sertifikat dan tidak boleh memakai lambing/logo FSC atau Rainforest Alliance. Program SmartStep didukung oleh sejumlah perusahaan produsen kayu besar, seperti Home Depot, Lowe's dan IKEA. Konsumen kayu, seperti Doorwin, juga mengekspresikan minat mereka dalam mencari sumber kayu bersertifikat dari Papua dan berharap dapat mendukung logging berbasis masyarakat yang layak untuk program SmartSteps. RSPO membangun modul pelatihan bagi pengelola perkebunan dan pengelola kebun rakyat serta mengawasi praktek pengelolaan hama, perencanaan tata ruang dan pengelolaan limbah (Streck 2006). Penilaian Papua 67 RSPO telah membangun kriteria dan indikator untuk memandu perkebunan kelapa sawit skala besar dalam melakukan pengelolaan yang baik. Panduan ini membatasi perkebunan melakukan pembukaan hutan, terutama di daerah hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF); tidak mengijinkan membakar serta diharapkan perkebunan menjaga restorasi keanekaragaman hayati di dalam dan di sekitar wilayahnya. Perkebunan juga harus mengawasi penggunaan pestisida dan limbah pabrik, meminimumkan degradasi tanah dan memelihara kuantitas dan kualitas air permukaan serta air bawah tanah. Selain itu perkebunan juga melakukan penilaian dampak sosial terhadap masyarakat dan menerapkan sistem yang baik untuk menangani keberatan, pembayaran kompensasi, serta pekerja harus menerima pembayaran dan kondisi yang layak. RSPO berjalan dengan prinsip hasil yang positif akan tercapai bila ada tekanan terhadap perusahaan untuk merubah kebiasaan buruk mereka dengan resiko kehilangan pasar. Beberapa perusahaan Indonesia yang bergabung dengan RSPO diantaranya adalah PT Agro Indomas dan PT Lonsum, yang memiliki perkebunan di Kalimantan dan Sumatra. Dari pengetahuan kami, belum ada perusahaan kelapa sawit dengan konsesi perkebunan di Papua yang telah bergabung dengan RSPO. Hingga saat ini, panduan RSPO tidak termasuk persyaratan yang berkaitan dengan penyeimbangan gas rumah kaca; akan tetapi pencegahan emisi gas rumah kaca, seperti emisi methan dari pembuangan limbah, dikenal sebagai tujuan umum. Panduan RSPO didesain untuk mempromosikan produksi kelapa sawit berkelanjutan dan RSPO dapat digunakan oleh pemerintah daerah Papua untuk memastikan bahwa lahan yang dialokasikan cocok untuk kelapa sawit.Analisis kami mengindikasikan bahwa hanya 3,58 juta hektar lahan kelapa sawit yang cocok menurut kriteria RSPO (Gambar 6.4) yang sangat berbeda dari luas 21,6 juta hektar dari kriteria REPPPROT yang ditentukan pada tahun 1980an (Gambar 5.5). Menurut kriteria RSPO, kebanyakan lahan yang cocok untuk kelapa sawit terletak di timur laut dan di sebelah selatan provinsi Papua. Analisis yang lebih rinci dan survei lapangan dibutuhkan untuk menentukan apakah daerah ini dipertimbangkan sebagai daerah dengan nilai konservasi tinggi atau tidak. Penggunaan kriteria keberlanjutan RSPO dapat menjamin bahwa perusahaan yang diterima akan berhak untuk menjadi anggota RSPO. Dengan keanggotaan ini memungkinkan mereka untuk menjual CPO ke pasar yang sudah diregulasi di Uni Eropa dan Amerika Serikat. 68 Penilaian Papua Gambar 5 .4: Lahan yang cocok untuk kelapa sawit berdasarkan kriteria RSPO Catatan:Criteria RSPO yang digunakan: kemiringan kurang dari 2 derajat (=44.4%), curah hujan kurang dari 1500mm/th, temperatur antara 22-33 derajat Celsius, ketinggian sampai dengan 500m, bukan tanah gambut atau di dalam kawasan konservasi atau hutan lindung. Gambar 6.5: Lahan cocok untuk kelapa sawit berdasarkan kriteria REPPPROT Catatan: Kriteria dari Reppprot: 1) kemiringan sampai dengan 40%, curah hujan antara 1500-6000mm/th, temperatur 20-30 derajat, ketinggian sampai dengan 500m, tanah mineral kedalaman lebih dari 50cm dan gambut kedalaman kurang dari 50 cm. Penilaian Papua 69 Analisis HCVF dan perencanaan ruang yang baik Konsep HCVF (High Conservation Value Forest) terdapat pada prinsip nomor 5 dan nomor 7 dari standar RSPO serta bertujuan untuk menjawab berkelanjutannya aspek keanekaragaman hayati dan sosial. Pada awalnya HCVF dibuat pada tahun 1999 sebagai bagian dari standar FSC (Forest Stewardship Council) untuk sertifikasi kehutanan yang bertanggung jawab, tetapi kini digunakan oleh banyak sektor, termasuk hutan tanaman, pertambangan dan bahkan pemberi pinjaman komersial sebagai bagian dari uji tuntas (due diligencea). Konsep HCVF bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengelola wilayah di dalam bentang alam (landscape) hutan yang mengandung nilai sosial, budaya dan ekologiyangsangatbergunabagiparapihak(stakeholder)lokalmaupunglobal­sehingga disebut nilai konservasi tinggi (High Conservation Value atau HCV). Beberapa contoh HCV adalah: bukit berhutan yang menyediakan sumber air bersih bagi masyarakat lokal; konsentrasi tinggi habitat yang berisi jenis (spesies) langka atau terancam punah; atau hasil hutan yang digunakan pada acara ritual penting untuk identitas budaya masyarakat adat. Identifikasi HCV di suatu daerah tidak menghalangi kegiatan kehutanan ­ bahkan diijinkan konversi sebagian ke non hutan ­ tetapi mewajibkan perusahaan untuk mengembangkan dan menerapkan rencana pengelolaan terpercaya untuk menjaga atau meningkatkan nilai konservasi yang ada pada saat itu. HCVF merupakan sebuah instrumen praktis untuk meningkatkan keberlanjutan sosial dan keanekaragaman hayati dari kegiatan perkebunan, termasuk kelapa sawit dan dengan alasan ini diperoleh potensi yang baik untuk mempromosikan kegiatan yang lebih baik di seluruh Indonesia. Bagaimanapun ini akan membutuhkan komitmen nyata dari industri untuk melakukan penilaian terpercaya, laporan temuan yang transparan, dan mempertimbangkan pandangan dari para pihak (stakeholder) untuk membangun rencana pengelolaan yang sesuai. Hal ini juga akan membutuhkan apresiasi dari para pihak (stakeholder) yang berhubungan dengan sektor swasta bahwa HCVF tidak selalu sebagaialatuntukmelindungihutandataranrendahyangtersisa,danhakmendeklarasikan pelibatan para pihak (stakeholder) mengandung tanggung jawab untuk melakukannya secara produktif dan profesional. WWF menerapkan analisis HCVF untuk membangun rencana ruang terintegrasi untuk daerahTransfly(Gambar6.6).Dalamanalisisini,HCVFdigunakanuntukmengidentifikasi situsbudayapentingdanlokasikeanekaragamanhayatitinggi.Analisisdidiskusikandalam beberapa pertemuan multi pihak (multi-stakeholder) dan menghasilkan rencana ruang baru untuk wilayah Transfly yang sesuai dengan kriteria HCVF. Kegiatan ini dilakukan beberapa tahun tetapi memberikan bukti kontribusi berharga yang berpotensi dilakukan di seluruh provinsi. 70 Penilaian Papua Gambar 5.6: Analisis HCVF di daerah Transfly Sumber: WWF Indonesia. 5.3.5 Ringkasan dan rekomendasi Provinsi Papua masih memiliki tutupan hutan lebih dari 97% dari wilayahnya, serta memiliki kesempatan terkenal di seluruh dunia sebagai surga atas keanekaragaman hayati dan karbon. Papua memiliki kesempatan khusus untuk berkontribusi dalam perdebatan perubahan iklim global, dan kesempatan menjadi yang pertama membangun model pendanaan baru mengikuti keputusan yang diambil pada COP di Bali pada bulan Desember 2007. Direkomendasikan pada skenario kehutanan di Papua, untuk memulai berhubungan dengan cara kerja terbaik (best practice) internasional yang sedang dikembangkan (baik di dalam produksi kehutanan maupun yang berhubungan dengannya, seperti produksi kelapasawitberkelanjutan)danPapuasecarainternasionalproaktifmengembangkanatau memakai cara kerja terbaik tersebut untuk membangun provinsi serta masyarakatnya. Jika ada peningkatan mata pencaharian masyarakat Papua, maka sebuah diskusi diperlukan untuk mempertimbangkan bagaimana pendanaan di Papua disediakan untuk intervensi lingkungan (atau bukan intervensi dalam kasus bukan konversi ke kelapa sawit). Saat ini pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Papua (9% per tahun yang terjadi sejak lama) belum diikuti oleh pengentasan kemiskinan sebagai pusat yang memerlukan dana terbesar. Jadi direkomendasikan untuk mengeksplorasi ide-ide yang berkaitan dengan penyimpanan karbon khususnya bagaimana menyalurkan dana kembali untuk tujuan pembangunan di Papua. Tekanan internasional (pelobi lingkungan, kelompok sipil, tanggung jawab sosial perusahaan, dan lain-lain) perlu dimobilisasi sehingga pendekatan mata pencaharian tetap sebagai pusat perdebatan lingkungan, pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. 5.4 Pilihan Mamberamo Lembah Mamberamo di Papua utara bagian tengah memiliki luas sekitar 8 juta hektar, meliputi sebagian dari Pegunungan Tengah, Foja dan Van Rees, dataran rendah tropis, dataran banjir, hutan rawa, lahan basah serta danau (termasuk danau terbesar di Papua). Daerah ini memiliki geografi unik yang membentuk lembah besar ­ dataran danau ­ dikelilingi oleh pegunungan. Sungai Mamberamo mengalir diantara Pegunungan Foja dan Van Rees dan bersumber dari Sungai Tariku dan Taritatu. Penilaian Papua 71 Jumlah penduduk Mamberamo sangat sedikit (diperkirakan sekitar 12 ribu orang). Masyarakat Mamberamo merupakan salah satu masyarakat termiskin di provinsi Papua. Keadaan yang relatif terisolasi jelas menjadi faktor utama penyebab kemiskinan ­ kurangnya akses ke pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, dan pasar berdampak cukup luas. Lebih dari 95 persen daerah Mamberamo berhutan, menjadikan daerah ini sebagai daerah aliran sungai dengan hutan tropis lembab terbesar dan hanya sedikit terganggu di pulau New Guinea, serta menyimpan keanekaragaman hayati penting secara global. Lembah Mamberamo HutanbelantaraFojaadalahbagiandariLembahMamberamo,hutantropisutuhterbesar di Asia Pasifik. Sebagaimana masyarakat dunia mencari solusi untuk perubahan iklim, hutan perawan seperti ini akan menjadi semakin berharga sebagai penyerap karbon penting. Pembalakan dan pembakaran hutan tropis di seluruh dunia menyumbang setidaknya 20 persen dari total gas rumah kaca di seluruh dunia. Perlindungan terhadap hutan ini meminimalkan dampak perubahan iklim bersamaan dengan menyediakan manfaat pada masyarakat lokal, seperti air bersih, udara bersih, makanan, distribusi bibit, penyerbukan dan sumber obat-obatan. Sumber: Conservation International. Daerah ini dipertimbangkan dalam penilaian ini karena nilai penting keanekaragaman hayatinya dan karena proyek bendungan raksasa yang diusulkan di daerah ini. 5.4.1 Pilihan business as usual Sebagian besar wilayah Mamberamo dialokasikan untuk eksplorasi tambang dan logging. Pemerintah juga berencana membangun perkebunan kelapa sawit seluas 1 juta hektar di daerah ini dan memperluas perkebunan sagu untuk produksi makanan serta biofuel. Skema pembangkit listrik besar diusulkan untuk memproduksi sekitar 20 ribu Megawatt listrik dengan membendung Sungai Mamberamo, Rouffaer dan Idenburg; dan jaringan jalan ekstensif direncanakan menghubungkan semua kota utama di kabupaten tersebut. Jika semua pembangunan ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, maka diperkirakan bahwa setidaknya 50% lembah Mamberamo akan tergenang dan sebagian besar daerah hutan dataran rendah dengan keanekaragaman hayati tinggi akan hilang untuk logging dan pembalakan. Akses ke wilayah yang terisolasi mungkin akan meningkat dengan pembangunan jaringan jalan baru yang ekstensif, akan tetapi jalan ini hanya akan melayani sejumlah kecil populasi. Pihak yang paling diuntungkan dari rencana jalan Mamberamo sepertinya adalah perusahaan logging dan pertambangan daripada masyarakat pedesaan yang miskin. Sebuah proyek infrastruktur besar, seperti proyek bendungan raksasa, juga akan menarik minat pendatang ke daerah tersebut dan berpotensi untuk memarjinalkan penduduk asli. Pada akhirnya, telah diputuskan bahwa proyek bendungan raksasa Mamberamo memiliki potensi rawan bahaya karena daerah Papua bagian utara dilalui oleh jalur gempa bumi (Gambar 5.7). 72 Penilaian Papua Gambar 5.7: Zona gempa bumi dan tsunami di provinsi Papua dan Papua Barat Skenario alternatif, seperti dijelaskan di bawah ini, dianggap berpotensi untuk daerah yang penting ini. 5.4.2 Lindungi wilayah Mamberamo untuk keanekaragaman hayati dan karbon Sebagian besar (66%) dari lembah Mamberamo didesain sebagai hutan konservasi dan lindungmenurutrencanatataruangPapua.Rencanatataruanginidapatberpotensidirevisi untuk mengijinkan seluruh lembah Mamberamo didesain sebagai hutan konservasi dan lindung. Hal ini akan membantu menjaga keutuhan hutan dataran rendah Mamberamo dan mempromosikan daerah tersebut sebagai daerah penting secara global. Skenario ini mungkin sangat ekstrim untuk dipertimbangkan, akan tetapi berpotensi diterima dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Lembah Mamberamo adalah tempat dari salah satu dari sejumlah kecil hutan dataran rendah yang tersisa di seluruh dunia dan oleh karena itu sangat bernilai tinggi dari sudut pandang keanekaragaman hayati global. 2) Lembah Mamberamo dikenal mengandung keanekaragaman hayati yang luar biasa dan penting secara global. 3) Lembah Mamberamo memiliki jumlah penduduk yang sedikit. 4) Hutan di wilayah Mamberamo mengandung potensi kira-kira 3.923 juta ton karbon. Jika skenario ini dianggap terlalu ekstrem, pemerintah Papua dapat mendukung pembuatan `koridor konservasi' keanekaragaman hayati yang meliputi 4,5 juta hektar dengan menghubungkan antara daerah lindung nasional dengan cagar tradisional untuk menjamin perlindungan bagi jenis (species) dan habitat yang ditargetkan. Pendekatan koridor konservasi keanekaragaman hayati bertujuan untuk memelihara proses ekologi kritis. Diperkirakan dalam koridor ini, sumber daya alam (daerah aliran sunga, sungai, lahan basah, hutan dan keanekaragaman hayati) dan nilai serta jasa lingkungan di dalamnya akan dikelola oleh masyarakat lokal yang berwenang, badan pemerintah dan non pemerintah serta sektor swasta. Penilaian Papua 73 Kelompok lingkungan internasional telah mengidentifikasi habitat-habitat kritis dan akan terus mendorong pengelolaan berkelanjutan di daerah sekeliling mereka melalui promosi dan pembentukan perjanjian tradisional, peraturan desa dan perubahan lokal. Fokus disini akan mengkombinasikan agenda konservasi dan pengentasan kemiskinan untuk masyarakat adat yang hidup di daerah tersebut. Kelompok lingkungan, seperti Conservation International5 yang telah aktif di daerah ini sejak beberapa tahun, terlibat dalam diskusi para pihak dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar Mamberamo dan Pegunungan Foja, pemerintah daerah dan masyarakat adat menggunakan metode Multidisciplinary Landscape Assessment (MLA). Ide dari metode ini adalah membangun informasi yang didapat dari pendekatan lapangan atau akar rumput (grassroot) yang mana akan menguntungkan bagi perencana dan pengambil keputusan, serta berusaha mencapai kesepakatan antara kepentingan masyarakat dan pemerintah. Jelas sekali pekerjaan yang dilakukan melalui MLA seharusnya membentuk dasar bagi pembangunan skenario Mamberamo lebih lanjut. Koridor konservasi keanekaragaman hayati Mamberamo Pembangunan pendekatan koridor ini dan tanggapan atas peningkatan perhatian tentang perubahan iklim, Conservation International mulai membangun proyek karbon di Mamberamo. CI sedang mendesain proyek karbon yang menghindari pengalokasian logging dan konsesi kelapa sawit di Mamberamo dan akan mendanai kesepakatan konservasi dengan masyarakat lokal. Kerusakan lahan gambut dan hutan di Indonesia melepaskan CO2 lima kali lebih besar dari negara penghasil emisi non kehutanan, dan Indonesia kini menjadi negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di seluruh dunia. Dengan menghindari deforestasi lebih lanjut di Lembah Mamberamo, CI dan partnernya bekerja untuk mengurangi dampak dari hutan Indonesia terhadap perubahan iklim global dan melindungi habitat penting untuk keanekaragaman hayati. Sumber: Conservation International. http://www.conservation.org/explore/regions/asia-pacific/ papuaprovince/Pages/results.aspx Kedua skenario ini sesuai dengan pembahasan perubahan iklim di konferensi Bali karena menghindari emisi karbon lebih lanjut dan diharapkan dapat mendukung lobi lingkungan internasional. 5.4.3 Pengijinan rencana eksploitasi dan pembangunan dengan hati-hati Analisis spasial potensi kayu pada wilayah Mamberamo mengungkapkan bahwa ada sedikit wilayah yang dapat diprioritaskan untuk logging karena memiliki biaya transportasi dan ekstraksi rendah serta berpotensi mengandung jenis kayu bernilai tinggi. Logging berkelanjutan tampaknya menjadi pilihan tepat di daerah ini. Pembangunan kelapa sawit tampaknya kurang sesuai untuk daerah Mamberamo karena sebagian besardaerahinimemilikicurahhujan3.300mmpertahun.Suatuwilayah dengan luas 182.194 hektar ditentukan sesuai untuk kelapa sawit oleh PT Wesita, perusahaan konsultan yang sekarang meninjau rencana ruang di daerah Mamberamo. Hutan tanaman juga tidak sesuai bagi sebagian besar daerah ini dan kenyataannya memang tidak ada hutan tanaman industri yang dibangun di daerah ini. 5http://www.conservation.org/explore/regions/asia-pacific/papuaprovince/Pages/results.aspx 74 Penilaian Papua Pembangunan sagu lebih potensial di daerah Mamberamo daripada kelapa sawit karena sagudapathidupdidaerahdengancurahhujantinggi.Sekitar1jutahektarlahanditentukan sesuai untuk tanaman sagu. Sagu dapat juga digunakanuntuk membuat bioethanol. Terdapat potensi pertambangan yang cukup besar dan sekitar 82 persen wilayah Mamberamo dialokasikan untuk eksplorasi pertambangan. Daerah pegunungan sebelah selatan lembah Mamberamo kaya akan mineral, meliputi emas, tembaga, bauksit dan nikel. Jika satu wilayah di daerah pegunungan ditemukan kandungan deposit tambang yang bernilai dan secara ekonomi menguntungkan, kemungkinan fokus pembangunan hanya di daerah ini dan dapat melindungi mayoritas wilayah hutan untuk penyimpanan karbon serta keanekaragaman hayati. Perencanaan beberapa proyek jalan akan mempengaruhi wilayah ini (termasuk jalan pantai dari Sarmi ke Nabire). Bagaimanapun juga, sebagian besar jalan ini akan sulit dibangun dan dipelihara. Jalan ini juga akan mahal serta berpotensi mengalihkan anggaran kesehatan dan pendidikan. Pilihan transportasi yang lebih strategis seharusnya dipertimbangkan. Pilihan ini sebaiknya fokus pada perluasan pelabuhan di daerah pesisir utama dan di sungai-sungai besar, seperti Mamberamo dan percabangannya. Transportasi udara juga penting untuk dipertimbangkan. Rencana jalan sekarang yang diusulkan oleh PT Wesitan akan sangat sulit dibangun, sangat mahal dan menghasilkan deforestasi besar-besaran. 5.4.4 Identifikasi alternatif pembangkit listrik Proyek bendungan Mamberamo diharapkan dapat menghasilkan hingga 20 ribu Megawatt listrik. Listrik ini diperkirakan akan digunakan sebagai penyedia daya industri besar di kabupaten pesisir Waropen untuk pekerjaan peleburan besi, pengolahan kayu, perkebunan agribisnis dan pabrik pengolahan petrokimia. Bendungan sungai dan pembangunan proyek raksasa di sekitarnya diperkirakan menghabiskan sekitar 6 milliar US dollar dan tampaknya akan berlangsung selama periode 20 tahun serta menyebabkan perpindahan sejumlah besar manusia. Apakah ini perlu atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dipertimbangkan bahwa proyek bendungan Mamberamo diprediksi akan menghasilkan lebih dari yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir. Selain itu perlu dipertimbangkan juga bahwa hanya 32.222 KWH yang digunakan di Provinsi Papua pada tahun 2005. Disamping itu terdapat beberapa pertambangan, daerah minyak dan gas menghasilkan tenaga listrik dalam jumlah besar untuk kebutuhan industri dan pemukiman dimana karyawan mereka tinggal. Sebagai contoh pertambangan Freeport menghasilkan 250 ­ 380 MW, dua kali lebih besar dari permintaan puncak seluruh provinsi, sementara daerah sekitarnya kekurangan suplai listrik. Oleh karena itu, dalam tahap ini tampaknya jumlah permintaan listrik sedikit sehingga tidak memerlukan proyek seperti ini. Ketersediaan listrik di desa-desa miskin sebaiknya diprioritaskan oleh pemerintah Papua dan laporan terakhir yang dibuat oleh Bank Dunia memperkirakan sekitar 20 MW diperlukan untuk tujuan ini. Selain itu diusulkan strategi berikut untuk penyediaan listrik. Penilaian Papua 75 Pilihan Kebutuhan Kebutuhan Rencana Sumber Defisit perlistrikan dan listrik (KwH/ pembangkit Kapasitas tambahan kapasitas rumah tangga th) tambahan tambahan kapasitas (MW) (MW) (MW) (MWO Dekat kisi-kisi 246,240,000 35 39 Program 0 (grid) perluasan percepatan dan Hidro Genyem Jauh dari grid- 71,820,000 18 0 Tidak ada 18 mini grid program Daerah 2,736,000 1 0 Tidak ada 1 pedalaman program terisolasi (pico/ microhydro) Daerah 684,000 0.2 0 Tidak ada 0.2 pedalaman grid program terisolasi (PV) World Bank (2005). Kunci dari cukupnya ketersediaan listrik di Papua adalah mengkombinasikan kapasitas pembangit yang ada sekarang dengan kapasitas baru, dan dengan kapasitas swasta (misalnya PT Freeport), serta dengan penambahan grid listrik. Di daerah dimana susah secara ekonomi, adalah dengan solusi mandiri (misalnya mini-grid kecil yang tidak terhubung ke grid utama). Dapat juga dipertimbangkan untuk memberikan dukungan kepada program pembangkit PLN terutama program percepatan pembangkit listrik batu bara. Bagaimanapun juga penting untuk mulai menggunakan teknologi yang sudah diperbaharui, teknologi berbahan baker batu bara yang lebih ramah lingkungan dari pada teknologi lama yang menghasilkan banyak polusi. Secara terpisah, penting juga meluncurkan program kelistrikan desa untuk menyediakan akses listrik ke rumah tangga di daerah pedalaman. Program listrik ini dapat menggunakan sistemmikrohidroatausistempembangkitlistrikrumahtanggatenagamataharitergantung pada sumber energi yang tersedia dan kepadatan populasi terisolasi. Bagi program tenaga matahari (solar photovoltaic - PV program), dapat dimulai dengan menyediakan listrik; TV atau radio publik di pusat masyarakat dan di tingkat rumah tangga; dan menyediakan pengisi baterai portable sementara pada waktu yang sama dilakukan pelatihan pada masyarakat tentang pengoperasian dan perawatan sistem PV. 5.4.5 Ringkasan dan rekomendasi Lembah Mamberamo adalah daerah unik yang mengandung keanekaragaman hayati luar biasa penting secara global. Rencana pembukaan daerah ini untuk eksplorasi mineral skala besar dan pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air menuai protes dari masyarakat dunia dan akan muncul lagi bisa rencana ini bisa dihidupkan kembali. 76 Penilaian Papua Hal ini tidak sejalan dengan kesan positif lingkungan yang diperoleh Papua baru-baru ini. Selanjutnya,sejaraheksploitasimineralsejauhinitidakmemberikesanbahwapembangkit listrik berdampak pada penyediaan listrik untuk daerah lain di Papua (PT Freeport adalah contoh bagus dalam hal kelebihan kapasitas tak terpakai). Oleh karena itu, mengenai pembangkit listrik, sebaiknya dicari pilihan lain untuk memanfaatkan kapasitas tak terpakai dan meningkatkan kapasitas dari pembangkit yang ada (sementara itu meningkatkan teknologi agar lebih ramah lingkungan). Penentuan lokasi sumber listrik yang lebih bersih ­ seperti hidro-electricity ­ perlu dikaitkan dengan jangkauan grid yang luas; daripada membuat sumber listrik tunggal untuk industri ekstraktif. Direkomendasikan agar lembah Mamberamo dikonservasi sebagai daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi dengan mengkombinasikan agenda konservasi dan pengentasan kemiskinan untuk masyarakat adat yang tinggal di dearah tersebut. Masyarakat lokal dan pemerintah lokal bekerjasama membangun, mengawasi dan menegakkan rencana pengelolaan. Penilaian Papua 77 6. PENILAIAN SKENARIO Bagian sebelumnya mengenalkan beberapa potensi pilihan pembangunan sebagai bagian dari tahapan scoping yang lebih luas. Pada bagian ini difokuskan pada skenario "business-as-usual" dan skenario "sustainable development" atau skenario pembangunan berkelanjutan. Pada bagian ini akan dilihat lagi empat pilihan intervensi ruang/sektor yang diidentifikasi pada bagian sebelumnya, yaitu: · Akses dan transportasi · Pertambangan · Kehutanan, dan · Mamberamo. Bagian ini mencoba untuk menerjemahkan kegiatan penggunaan lahan di masa yang akan datang dalam periode dan kuantitas yang dapat dipresentasikan serta didiskusikan dalam bahasa pembangunan dan perencanaan spasial. Pada bagian ini diukur nilai dampak sosial dan lingkungan dari dua skenario berbeda dengan menggunakan temuan empiris terbatas. Perkiraan nilai kemudian dipakai untuk membandingkan kedua skenario ini. Pendekatan kami dalam memberikan informasi untuk pengambilan keputusan mengenai penggunaan lahan sekitar masalah ini dengan memperlihatkan besarnya nilai biaya sosial atau lingkungan (termasuk keuntungan non-pasar dan yang tidak kelihatan) dari kegiatan penggunaan lahan yang berlaku sekarang, baik persamaannya maupun kelebihannya dari pembangunan ekonomi alternatif. Dengan memperlihatkan ukuran relatif dari nilai tersebut, diperlukan asumsi yang merupakan tahap awal dalam membangun keputusan dasar penataan ruang yang mempertimbangkan pentingnya biaya dan manfaat sosial/ lingkungan. Penting untuk dicatat bahwa gambaran ini sangat awal dan didasarkan pada data dan informasi yang tersedia dengan asumsi kasar, sehingga pemakaian gambaran ini hanya untuktujuanstudiini,yaituuntukmemperlihatkankonsekuensiempirisumumdariskenario pembangunan yang berbeda. Jika dibutuhkan analisis lebih rinci dan mendalam, perlu dilakukan analisis empiris lanjutan dengan melibatkan data dan informasi terbaru dan lebih lengkap. 6.1 Skenario business-as-usual 6.1.1 Transportasi dan akses Dalam skenario bussiness-as-usual akan dialokasikan kira-kira 59 juta US dollar untuk membangun jaringan jalan utama melalui wilayah dataran tinggi yang padat penduduknya. Sebuah jalan akan dibangun untuk menghubungkan Enarotali ke Timika, dari Timika ke Mulia dan dari Wamena ke Mulia. Tiga pembangunan jalan ini akan menyediakan jaringan jalan yang menghubungkan Jayapura dengan Nabire melalui wilayah dataran tinggi. Jaringan jalan utama kemungkinan juga akan dibangun di wilayah Mamberamo dan jalan bebas hambatan selatan (Southern Highway) diusulkan dibangun untuk menghubungkan Timika dengan Tanah Merah. Konsekuensi ekonomi Badan pembangunan, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, telah mendanai pembangunan jalan karena hasil studi mereka menunjukkan jalan tersebut meningkatkan akses ke daerah pedalaman dan memfasilitasi penyediaan layanan kesehatan serta pendidikan. 78 Penilaian Papua Sebagai contoh, Laufa (2005) menunjukkan konstruksi jalan bebas hambatan Bereina- Malalaua sepanjang 81km (selesai tahun 2000) yang melalui daerah terisolasi tanpa jalan di sebelah timur Provinsi Gulf negara Papua New Guinea secara umum memberikan pengaruh positif sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya, terutama dalam memfasilitasi distribusi buah sirih (betel nut) ke Port Moresby yang merupakan produk pertanian utama dan menguntungkan secara ekonomi. ADB melakukan studi komprehensif terhadap pembangunan jalan di Indonesia, Philipina dan SriLankayangmemperlihatkanbahwamasyarakatyangtinggaldisepanjangjalan,secara mendasar mendapat keuntungan dari dampak sosial jalan desa yang menghubungkan pelayanan negara di berbagai sektor, misalnya kesehatan, pendidikan, perluasan desa dan penyediaan informasi. Tetapi, studi tersebut juga memperlihatkan bahwa jalan desa saja tidak cukup untuk menghadapi kemiskinan, dan sebaiknya hal ini dilakukan melalui proyek terintegrasi dimana jalan merupakan salah satu bagian dari program pendukung yang lebih besar, daripada investasi hanya pada sektor jalan itu saja (Hughes, 2005). Namun provinsi Papua memiliki kondisi geografis sulit serta jumlah penduduk yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, menyebabkan investasi jalan menjadi mahal, menghabiskan waktu dan kurang beralasan. Misalnya, di kabupaten baru Pegunungan Bintang, pembangunan jalan ditunda hampir setahun karena material serta mesin harus diterbangkan dalam bentuk bongkaran melalui lapangan perintis Oksibil, yang hanya bisa menampung pesawat Cessna kecil (World Bank 2005). Bahaya lain dari pembangunan jalan utama yaitu dapat mengalihkan dana pembangunan dari kegiatan penting, dan pada saat jalan dibangun akan jarang dipakai sehingga jalan akan cepat rusak6. Kerapatan jalan (perbandingan antara panjang jalan dengan luas daerah) di Papua merupakan salah satu yang terrendah di Indonesia, yaitu 0,04 km/ km2, jauh dibawah rata-rata nasional 0,17 km/km2. Konsekuensi lingkungan Jalan diidentifikasi sebagai penentu utama hilangnya hutan di dunia. Jalan meningkatkan akses lebih luas ke daerah berhutan dan mengurangi biaya transportasi para pembalak kayu, petani, serta perusahaan perkebunan. Jalan juga meningkatkan perburuan satwa liar, aktivitas logging, dan konversi hutan. Pengaruhnya dapat meluas dalam jarak yang cukup jauh dari jalan utama karena jalan logging dan jalan lokal berkembang dari jalan utama ke arah hutan. Zona buffer atau penyangga dibuat untuk memperkirakan luas dan pengaruh jaringan jalan, zona buffer ini dibuat dalam berbagai jarak di sepanjang jaringan jalan yang ada dan yang direncanakan. Zona buffer dibuat dalam jarak 5 km, 10 km dan 25 km dari jalan. Pemilihan besaran zona buffer ini diambil dari analisis dampak jalan di Amason, Brasil (Asner et al 2006). Analisis ini memperlihatkan bahwa hutan dalam zona buffer 5 km dari jalan kemungkinan akan terdeforestasi dan aktivitas logging akan tetap terjadi sampai radius 25 km dari jalan. Analisis zona buffer mengindikasikan bahwa hutan (seluas 8,4 juta hektar) dapat terancam keberadaannya oleh rencana jalan di Papua. Sebagian besar dari hutan ini (4,6 juta hektar) merupakan hutan dataran rendah. Rencana jalan di Mamberamo akan mengakibatkan dampak terbesar dan berpotensi mempengaruhi 3,5 juta hektar hutan dataran rendah. Rencana jalan tersebut akan melalui cagar alam Mamberamo sehingga akan berdampak besar terhadap daerah ini. 6Pandangan ini dikemukakan pada studi terdahulu: "A Framework for Provincial Development. Draft Final report", Vol 1. Juni 1988, halaman 160. Studi terbaru berjudul "The recent Papua Public Expenditure Review' terbitan tahun 2005 juga menyimpulkan hal yang sama. Penilaian Papua 79 RencanajalanyangmenghubungkanTanahMerahkeJayapuraberpotensimempengaruhi sekitar 0,9 juga hektar hutan dataran rendah dan jalan yang menghubungkan Enarotali ke Timika dan Mulia berpotensi mempengaruhi 0,35 juta hektar hutan dataran rendah. Jalan ini juga berpotensi menyebabkan terancamnya situs warisan dunia Lorentz, karena jalan ini mengelilingi taman nasional dan zona buffer 25 km berada dalam batas taman nasional. Secara keseluruhan, sekitar 2.139 km (91,5%) jaringan jalan business-as-usual akan melalui daerah yang berhutan (Gambar 6.1). Gambar 6.1: Rencana jalan, zona buffer deforestasi dan prediksi dampak terhadap daerah konservasi. Usulan jalan bebas hambatan yang menghubungkan Wamena dengan Agats juga memiliki konsekuensi buruk lingkungan karena akan mempengaruhi batas taman nasional Lorentz serta melalui tanah gambut dalam yang memiliki kandungan karbon tinggi. Jalan bebas hambatan ini akan sangat sulit untuk dibangun karena melalui banyak sungai dan anak sungai yang mengalir dari dataran tinggi dengan arah utara ke selatan. Hal ini juga mengarah pada emisi karbon tinggi yang akan meningkatkan pemanasan global. Jalan ini tampaknya tidak layak secara ekonomi karena akan menghabiskan biaya lebih dari 40 juta US dollar (berdasarkan estimasi jarak keseluruhan yaitu 700 km, dengan biaya 60.000 US dollar/kilometer ­ kedua biaya dan jarak perlu dicek lagi dan kenyataan di lapangan tampaknya membutuhkan dana lebih besar karena kondisi wilayah yang berawa dan sejumlah jembatan yang perlu dibangun). Jalan ini tampaknya memiliki efek berbahaya pada lahan gambut dan pada Taman Nasional Lorentz serta memberikan keuntungan sangat kecil bagi masyarakat terisolasi dan tersebar yang hidup di kabupaten-kabupaten ini. Jalan yang menghubungkan Wamena dengan Mulia tidak banyak mempengaruhi hutan, akan tetapi jalan ini melewati daerah yang sangat sulit dilewati serta kepadatan penduduk rendah, biaya perawatan jalan ini akan mahal, kecuali bila diseimbangkan dengan peningkatan lalu lintas antara Wamena dan Mulia. 80 Penilaian Papua Konsekuensi Sosial Jalan yang dipelihara dengan baik dapat menyediakan akses yang lebih baik pada pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta menyediakan akses pasar yang lebih baik, akan tetapi mungkin juga membawa banyak masalah. Telah banyak diketahui bahwa jalan berkaitan dengan migrasi, penyebaran HIV/AIDs, prostitusi dan masalah sosial lain yang perlu dikelola dengan baik. Penting juga untuk dikatakan bahwa sekarang ini sulit untuk menyimpulkan jumlah uang yang dialokasikan untuk jalan, sebab mencapai 910.000 rupiah (100 US dollar) per orang setiap tahun dibandingkan hanya 16.380 rupiah (1,8 US dollar) yang dianggarkan untuk air dan sanitasi (World Bank 2007). 6.1.2 Pertambangan Dalam skenario business-as-usual, eksplorasi tambang akan berlanjut pada skala besar, termasuk eksplorasi dalam hutan lindung dan konservasi. Eksplorasi ini sepertinya akan menghasilkan beberapa pembangunan tambang besar yang sama dengan tambang Rio Tinto dan proyek gas Tangguh BP. Tambang skala kecil juga akan berlanjut, terutama di sekitar pembangunan tambang yang sudah ada. Konsekuensi ekonomi Tidak diragukan tambang skala besar akan memberikan penghasilan besar pada pemerintah lokal, provinsi dan pemerintah pusat karena Papua kaya akan deposit mineral yang berharga, seperti emas, perak, tembaga, gas alam dan minyak. Tambang Freeport diperkirakan menghasilkan 1 milyar dollar US dan proyek Teluk Bintuni BP diperkirakan menghasilkan 8,7 milyar dollar US. Beberapa proyek tambang skala besar seperti Freeport dan Bintuni tentu memungkinkan Papua menghasilkan pendapatan yang besar untuk pembangunan di tingkat lokal. Bagaimanapun juga tidak ada jaminan bahwa dana yang dihasilkan dari pertambangan skalabesarakanterdistribusisecaraadilataudisalurkanuntukpendidikan,kesehatan,atau infrastruktur publik. Pada jaman dulu, pendapatan ini hanya menguntungkan sejumlah elit dan menghasilkan korupsi serta konflik. Ekstraksi sumber daya mineral Papua membuat banjir ekonomi bagi banyak hal, akan tetapi kekayaan ini belum didistribusikan di antara masyarakat miskin yang terkonsentrasi di beberapa kabupaten. Di Kabupaten Mimika, dimana tambang Freeport berada, PDB per orang mencapai 9.000 US dollar, tetapi di Kabupaten Jayawijaya dengan jumlah penduduk yang lebih banyak PDB per orang hanya 60 US dollar. Pertambangan juga mendorong pembangunan perkotaan. Daerah perkotaan Papua adalah beberapa diantara daerah terkaya di Indonesia, sedangkan daerah pedesaan Papua adalah yang termiskin di seluruh Indonesia (Cannon 2007). Belum ada perubahan berarti untuk memastikan kondisi ini tidak akan berlanjut. Otonomi khusus Papua memungkinkan Papua mendapatkan 80% pendapatan dari pertambangan tetapi struktur tata kelola yang efektif dan transparan belum dibangun untuk memastikan dana ini digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan memberikan kemakmuran yang adil di Papua. Selanjutnya, di bawah legislasi yang ada sekarang, pemerintah pusat tetap memegang pendapatan dari pajak, sedangkan royaltinya dibagi. Karena proporsi pajak dan royalti sangat besar bedanya yang jauh lebih banyak daripada pajak (sebagai contoh, data dari tahun 2006 menunjukkan bahwa PT Freeport berkontribusi sebesar 1,1 milyar dollar US ke pemerintah pusat dalam bentuk pajak, sedangkan 80% dari pembagian royalti dibayarkan ke Papua sejumlah 65 juta dollar US). Penilaian Papua 81 SepanjangsemuapajakdipegangJakartamakaakanadatarik-menarikantarapemerintah pusat dan provinsi karena bukan kepentingan pemerintah pusat untuk mengurangi eksploitasi mineral. Logikanya akan seperti ini, bila pembagian persentase royalti untuk provinsi ditingkatkan, maka volume eksploitasi mineral tidak perlu ditingkatkan. Hal ini sesuai untuk provinsi, akan tetapi belum tentu pemerintah pusat setuju dengan pandangan ini. Konsekuensi lingkungan Pertambangan skala besar dikaitkan dengan laju deforestasi di Papua. Sebagai contoh, laju deforestasi terjadi di hilir pertambangan Freeport karena pertambangan menarik perpindahan penduduk dan mengarahkan pembangunan jalan. (Gambar 6.2). Kedua alasan ini menarik minat investor ke daerah ini dan membuka daerah ini untuk pembangunan kelapa sawit, logging dan hutan tanaman industri. Tanah terbuka dan daerah pemukiman di tahun 1988 diperkirakan seluas 44 km2, tetapi tahun 1996 mencapai 158 km2 dan tahun 2004 seluas 203 km2. Hal ini jelas mencerminkan pertumbuhan penduduk di dalam lokasi Freeport CoW, dimana diperkirakan meningkat dari 50.000 orang di tahun 1990 sampai 120.000 orang di tahun 2002 (Paull et al. 2006) Gambar 6.2: Citra satelit yang menunjukkan laju deforestasi di daerah tambang Freeport Sumber: Paull et al. 2006. Keprihatinan juga meningkat melihat kenyataan bahwa sekitar 1,9 juta hektar hutan lindung dan konservasi dialokasikan untuk tambang di Papua dan 4,6 juta hektar hutan lindung dan konservasi lainnya dialokasikan untuk eksplorasi tambang. Namun, pembuangan limbah material cenderung menjadi ancaman besar terhadap ekosistem local sebab operasional konstruksi pertambangan skala besar dan infrastruktur yang berkaitan dengan tambang tersebut mengakibatkan pembukaan hutan alam (Filer 2007). Pertambangan di daerah pesisir memungkinkan pembuangan material limbah langsung ke dasar laut terdekat, sedangkan pertambangan di dataran tinggi membuang 82 Penilaian Papua limbahnya ke sistem sungai lokal. Kedua kegiatan tersebut dibuktikan oleh kondisi iklim dan geofisik yang bertentangan dengan konstruksi bendungan tailing dan pembuangan limbah permanen (Filer 2007). Di daerah pesisir, sedimentasi dari tambang dan pembuangan limbah batuan dari kapal tongkang menyebabkan kematian koral (sebagai bukti ditunjukkan oleh tambang Lihir di PNG). Pembuangan tailing ke sungai menyebabkan terjadinya endapan di dasar sungai yang mengakibatkan banjir, yang menghasilkan kondisi dimana air tidak dapat kembali lagi ke sungai. Pembuangan zat besi beracun ke sistem sungai juga mengancam kesehatan manusia dan kehidupan satwa liar. Tambang Freeport, yang merupakan salah satu tambang terbesar di dunia, menyimpan jutaan ton limbah batuan di hulu tangkapan air sungai Ajkwa setiap hari dan 195.000 ton tailing dialirkan ke hilir ke daerah pengendapan yang ukurannya berkembang dari 16 km2 di tahun 1998 menjadi 166 km2 di tahun 2004. Ukuran daerah ini akan jauh lebih besar jika perusahaan tidak membangun sejumlah penahan banjir, beberapa penahan banjir mencapai ketinggian hingga 15 meter. Daerah yang terpengaruh oleh proses sedimentasi dan endapan logam berat akan lebih besar lagi karena tambang ini diperkirakan beroperasi hingga 35 tahun mendatang (Filer 2007). Masyarakat Komoro, yang tinggal di daerah hilir tambang Freeport, kehilangan akses ke wilayah hutan yang ekstensive, sungai dan sagu sebagai akibat sedimentasi ini (Ballard, 2005). Pertambangan skala kecil juga bermasalah. Dampak yang sangat terlihat terhadap ekosistem air tawar dari pertambangan skala kecil muncul bukan dari gangguan fisik ke dasar sungai, tapi dari air raksa yang digunakan dalam proses penambangan. Air raksa digunakan untuk memisahkan emas dari pasir hitam baik dalam kotak pencuci ataupun melalui pengayakan sederhana. Di Papua, polusi lokal air raksa kini banyak terjadi di daerah Timika dan Nabire karena kegiatan pengayakan emas illegal. Air raksa tertinggal di sungai sampai waktu tak tertentu karena tidak dapat bercampur dengan air dan sulit untuk dideteksi. Kemungkinan air sungai dapat menghanyutkan air raksa sampai habis walaupun jumlah air raksa sangat tinggi di dasar sungai. Kontaminasi air raksa seperti itu sering terikut dalam rantai makanan daerah sungai, dimana terkumpul melalui tingkat rantai makanan yang berturut-turut akhirnya berresiko kepada manusia yang memakan ikan dan crustaceans seperti udang dan kepiting (Filer 2007). Konsekuensi sosial Pada masa lalu, tambang skala besar menghasilkan konflik, kekerasan, penindasan, kemiskinan dan masalah kesehatan di Papua. Masalah ini terutama berhubungan dengan tambang Freeport yang terletak di Timika. Sebagian besar masalah ini muncul karena pertambangan dibangun semasa mantan Presiden Suharto dan didukung oleh militer Indonesia. Pada masa itu, tambang tidak diharuskan berkonsultasi dengan masyarkat lokal ataupun mendengar keluhan mereka. Masyarakat lokal diintimidasi dan dikontrol untuk melindungi kepentingan tambang. 6.1.3 Kehutanan Dalam skenario business-as-usual, hutan produksi Papua tetap akan ditebang oleh perusahaan logging skala besar dengan cara tidak berkelanjutan sehingga menghasilkan luasnya degradasi hutan dan deforestasi, sama seperti yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Penilaian Papua 83 Jika perencanaan dilakukan secara hati-hati, hutan konversi Papua seluas 6,3 juta hektar berpotensi dikonversi ke kelapa sawit, hutan tanaman industri atau penggunaan lahan lain yang menguntungkan. Tetapi, bila konversi sampai ke penanaman tidak terjadi, maka resikonya sebagian besar hutan konversi Papua akan menjadi lahan terdegradasi yang dipenuhi oleh padang rumput imperata. Tanpa pengelolaan yang baik taman nasional dan kawasan lindung, daerah yang dikenal secara global, seperti Taman Nasional Lorentz, dan daerah suaka margasatwa Mamberamo akan dirambah dan menjadi daerah ilegal logging. Konsekuensi ekonomi Pada saat ini logging skala besar menghasilkan pendapatan kira-kira 4,34 juta US dollar bagi provinsi Papua. Pendapatan yang dihasilkan dari sektor ini sedikit-demi sedikit menurunkarenaloggingskalabesarmerupakansumberkonflikyangtidakmenguntungkan masyarakat lokal dan tidak dikontrol oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten. Logging masih dikontrol dan diregulasi oleh pemerintah pusat yang mempertahankan hak untuk memberikan ijin logging skala besar dan menentukan laju pemotongan. Hal ini dengan jelas disebutkan oleh CIFOR yang menguji dampak otonomi khusus di Papua untuk sektor kehutanan (Tokede et al. 2005). Studi ini menyatakan bahwa: · Hingga tahun 1997, 59 perusahaan logging menghasilkan 1,2 juta m3 kayu per tahun, akan tetapi setelah krisis ekonomi tahun 1999 produksi kayu total menurun dan pada waktu penerapan otonomi khusus Papua produksi kayu menurun drastis hingga 17,4% yaitu hingga 1 juta m3 pada tahun 2001 dan hingga 42% yaitu dua pertiga juta m3 pada tahun 2002. · Antara tahun 1993 dan 2002 tercatat pendapatan regional Papua dari sektor kehutanan total rata-rata 1,34 juta dollar US per tahun, atau 6,7% dari pendapatan regional tahunan yang dihasilkan Papua, akan tetapi pada tahun 2002, setahun setelah otonomi khusus, kontribusi sektor kehutanan yang tercatat pada pendapatan regional hanya 2,8%. · Data dari dinas kehutanan provinsi Papua menunjukkan bahwa periode 1993 dan pada awal masa krisis moneter, konsesi HPH beroperasi sekitar 1 juta hektar per tahun, akan tetapi pada tahun 2002, jumlah ini turun menjadi 535.769 ha (Tokede et al. 2005). Hingga sekarang, pendapatan yang dihasilkan dari logging skala besar pada umumnya langsung ke pemerintah pusat. Hal ini seharusnya berubah dengan berlakunya UU desentralisasi dan UU otonomi khusus Papua, akan tetapi konflik tentang kewenangan pemberian ijin dan hak atas sumber daya hutan menunda kegiatan logging skala besar di daerah ini. Secara umum, hal ini menghasilkan peningkatan ilegal logging yang cenderung hanya menguntungkan pihak yang terlibat langsung dan menghasilkan distorsi harga kayu yang tidak merefleksikan nilai hutan yang sesungguhnya. Konsekuensi lingkungan Hingga kini logging skala besar tidak memberikan dampak besar terhadap hutan Papua karena peta perubahan tutupan hutan menunjukkan deforestasi minimal dibandingkan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra. Namun, jika logging skala besar diijinkan berlanjut, mayoritas hutan konversi di Papua akan dikonversi menjadi penggunaan lahan lain (seperti kelapa sawit) atau secara sederhana ditebang habis dan rencana pembangunan jalan berlanjut dengan estimasi deforestasi akan terjadi sepanjang zona buffer 5 km dari badan jalan di Papua (lihat Gambar 6.3). 84 Penilaian Papua Gambar 6.3: Prediksi tutupan hutan tahun 2030 di bawah skenario business as usual Catatan: Asumsi semua hutan yang diklasifikasikan sebagai hutan konversi dikonversi menjadi penggunaan lahan lain dan semua rencana jalan jadi dibangun dan menghasilkan deforestasi sepanjang zona buffer 5 km dari badan jalan. Konsekuensi sosial Konsekuensi sosial utama dari skenario business as usual adalah berlanjutnya konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi Papua atas kewenangan alokasi hak pemanfaatan hutan dan pendapatan. UU desentralisasi dan UU otonomi khusus tampaknya memberikan pemerintah provinsi Papua kewenangan lebih besar dalam mengelola sumber daya hutannya dan konsekuensinya diteruskannya strategi untuk memberikan ijin logging skala kecil kepada koperasi yang dibentuk oleh masyarakat adat. Strategi ini ditentang oleh pemerintah pusat yang menyatakan tetap berwenang dalam memberikan ijin konsesi skala kecil dan mengontrol kawasan hutan Papua. Selanjutnya, masyarakat lokal dengan hak adat terhadap sumber daya hutan akan tetap diabaikan haknya untuk mengakses, menggunakan dan secara ekonomi menerima manfaat dari sumber daya hutan mereka. Hal ini juga akan menghasilkan konflik, pelemahan dan ketidakpuasan. 6.1.4 Mamberamo Berbagai rencana untuk mengembangkan wilayah Mamberamo telah lama didiskusikan. Meliputi pembangunan proyek raksasa bendungan untuk pembangkit tenaga listrik yang akan menghasilkan 20.000 Megawatt listrik, pengembangan 1 juta hektar kelapa sawit, mengijinkan kelanjutan kegiatan logging skala besar dan mungkin juga logging skala kecil, dan pembangunan jaringan jalan besar yang melalui pegunungan Foja dan Van Rees untuk menghubungkan antar kota di kabupaten tersebut. Sebagian besar dari rencana ini didiskusikan sebagai pilihan yang dapat dijalankan dalam perencanaan ruang terbaru untuk wilayah Mamberamo yang dilakukan oleh PT Aditya Engineering Consultants. Penilaian Papua 85 Konsekuensi ekonomi Membendung sungai Mamberamo kemungkinan akan menghasilkan pendapatan dan membangun wilayah ini jika bendungan dapat dibangun dan kenyataannya bisa menghasilkan listrik hingga 20.000 Megawatt. Kelebihan listrik dari proyek ini berpotensi dijual kepada berbagai industri, mengijinkan pertambangan dan pabrik pemroses beroperasi serta memproses sumber daya alam dengan menggunakan listrik berbiaya rendah. Pembangunan industri ini berpotensi menawarkan ketersediaan lowongan kerja dan memberikan kesejahteraan di wilayah tersebut. Namun, konstruksi bendungan raksasa di daerah ini secara teknis sulit dibuat dan tidak ada jaminan dapat menghasilkan listrik sebesar itu. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa investor akan berminat pindah ke daerah tersebut untuk membangun pabrik pengolahan hilir.Resikonyaadalahpendapatandasar(sekitar6milyardollarUS)yangdikeluarkanuntuk pembangunan ini tanpa jaminan akan kembali. Hal ini berpotensi menekan pemerintah Papua terlibat dalam pinjaman yang sangat besar. Selain itu juga resiko menuai kritikan internasional yang tersebar luas tentang proyek ini, yang dapat menghasilkan masalah mendasar menghambat konstruksi bendungan ini dan membuatnya tidak layak secara ekonomi. Konsekuensi lingkungan Perlu dilakukan penilaian lingkungan komprehensif bagi proyek bendungan Mamberamo, akan tetapi tampaknya proyek bendungan raksasa ini, juga rencana pembangunan lain (seperti pembangunan jalan, pembangunan kelapa sawit, logging, pertambangan dan lain-lain) dapat mengakibatkan meluasnya deforestasi dan banjir. Konsekuensi sosial Proyek bendungan raksasa tampaknya mengakibatkan tekanan terhadap masyarakat lokal dan konflik sosial. Pembangunan lain, seperti pembangunan jalan dan rencana kelapa sawit, tampaknya dapat mengakibatkan perpindahan penduduk besar-besaran sehingga berakhir dengan pelemahan dan peminggiran masyarakat adat di daerah tersebut. 6.1.5 Dampak ekonomi skenario business-as usual Dalam beberapa tingkat, kegiatan alternatif penggunaan lahan dalam skenario business as usual dipercaya akan terus bergantung pada eksploitasi sumber daya alam Papua, terutama hutan dan mineral. Kegiatan ini akan mendukung pembangunan ekonomi lokal yang diperkirakan lebih dari 6% dari Gross Domestic Regional Product (GDRP) per tahun. Perkiraan kasar proyeksi GDFP berdasarkan skenario kehutanan sendiri dapat menghasilkan GDRP $US 5.793 juta pada tahun 2020 (berdasarkan harga konstan tahun 2000 sebagai data yang tersedia). Nilai awal tersebut di atas tidak mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan akibat dari kegiatan pembangunan. Dengan memasukkan biaya sosial dan lingkungan menghasilkan `GDRP hijau' yang akan menjadi faktor berkurangnya sumber daya alam dan degradasi lingkungan untuk mendukung kegiatan pembangunan business-as-usual. Koreksi `GDRP hijau' pada tahun 2020 adalah GDRP konvensional diatas dikurangi dengan biaya sosial dan lingkungan sehingga menjadi 4.661 juta US dollar. Pendapatan regional per kapita dalam skenario ini dapat menjadi 1.654 US dollar pada tahun 2020 untuk kira-kira 2,8 juta orang bila diasumsikan jumlah penduduk terus bertambah dalam tingkat pertumbuhan sekarang (2,6% per tahun). 86 Penilaian Papua 6.1.6 Dampak sosial skenario business-as-usual Kegiatan ekonomi untuk menghasilkan jasa dan barang melibatkan biaya bukan hanya dari pihak swasta yang berlibat dalam produksi dan konsumsi (dikenal sebagai `biaya private'), tetapi juga untuk masyarakat umum atau publik (dikenal dengan `biaya sosial'). Biaya sosial meliputi biaya karena polusi, berkurangnya sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Biaya ini sering tidak dimasukkan dalam harga yang harus dibayar oleh konsumen dan produsen, tetapi harus ditanggung oleh seluruh masyarakat. Kegagalan mempertimbangkan `biaya eksternal' ini dalam pengambilan keputusan swasta dapat dikoreksi melalui penggunaan akutansi hijau (green accounting) secara bijaksana dengan cara memasukkan biaya ini dalam harga barang dan jasa, sehingga menghasilkan sinyal pasar yang lebih akurat. Likuidasi pemasaran kayu bulat mengalihkan nilai potensi hasil hutan dan jasa hutan yang mendukung mata pencaharian masyarakat Papua yang masih menerapkan sistem pengelolaan hutan secara adat melalui kehidupan berburu dan meramu. Biaya sosial ini tidak dihitung pada perhitungan domestik regional dan nasional, sehingga GDRP sebaiknya dikoreksi. Estimasi alternatif menggunakan benefit transferred dari studi lain tentang kehutanan dan keuntungan sosial yang langsung hilang (meliputi kayu bakar, hasil hutan non kayu dan konsumsi air) diperkirakan menjadi sekitar 343 juta dollar US di tahun 2020. Perhitungan ini berdasarkan data sekunder yang berusaha memberikan nilai pada hutan tropis Indonesia dan mencatat penyesuaian harga yang diperlukan. Data sekunder dari publikasi statistik provinsi seperti Papua Dalam Angka (BPS, 2007), data spasial untuk tutupan hutan diestimasi dari degradasi yang akan terjadi di hutan konversi dan di sepanjang 5 km sebelah kiri dan kanannya pada tahun 2030 (lihat Gambar 7.3). Nilai ekonomi keseluruhan bagi sumber daya hutan diambil dari beberapa hasil penelitian (IPB 1999, Simangunsong 2004, dan Kim 2002). 6.1.7 Dampak lingkungan skenario business-as-usual Kualitas lingkungan alam dan ekonomi saling berhubungan erat dan tidak terlihat hingga munculnya krisis. Dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, aktivitas ekonomi penting sebagai aspek kehidupan manusia. Selanjutnya, kegiatan ekonomi menghasilkan bermacam dampak pada lingkungan, sebagai contoh pelepasan polusi ke lingkungan mengurangi kemampuan lingkungan dalam mengasimilasi polusi tersebut dan mengakibatkan pemanasan global serta perubahan iklim. Kegiatan ekonomi memiliki sifat membutuhkan eksploitasi sumber daya alam secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan kegiatan ekonomi akan meningkatkan standar hidup, tetapi juga menghasilkan peningkatan emisi polusi dan penggunaan sumber daya alam. Dengan demikian harga kegiatan ekonomi dapat meningkat tajam karena lingkungan yang sehat pada dasarnya sama dengan keberadaan manusia. Dalam ekonomi, lingkungan dilihat sebagai kombinasi aset yang menyediakan bermacam jasa. Lingkungan berlanjut dalam kehidupan kita tetapi bukan milik siapapun (jadi menjadi milik bersama). Lingkungan memiliki bermacam kegunaan tetapi dapat dihancurkan oleh satu jenis polusi. Sama seperti aset yang lain, kita perlu menghindari penurunan nilai aset ini sehingga lingkungan tetap memberikan kehidupan yang berkelanjutan dan jasa dimasa yang akan datang. Penilaian Papua 87 Lingkungan mendukung kegiatan ekonomi dengan bahan baku, yang diubah menjadi produk konsumen dengan proses produksi menggunakan bahan bakar (kayu, minyak, gas, dan lain-lain) yang diambil dari lingkungan alam. Tetapi eksploitasi lingkungan alam menimbulkan banyak masalah lingkungan, meliputi pemakaian berlebihan sumber daya yang dapat diperbaharui dan degradasi lingkungan. Penggunaan berlebihan sumber daya yang dapat diperbaharui dan produksi limbah yang berlebihan menghancurkan nilai ekonomi aset lingkungan. Pemanfaatan berlebihan sumber daya yang dapat diperbaharui hingga pada titik dimana mereka tidak dapat lagi memberikan nilai ekonomi dan polusi yang melebihi kapasitas penyerapan alam dapat meracuni udara, air dan tanah. Berbagai jasa lingkungan dipengaruhi oleh skenario business-as-usual dan skenario ini berpotensi menghancurkan sekitar 7,7 juta hektar hutan primer (berdasarkan proyeksi spasial tahun 2020). Hal ini akan berakibat hilangnya nilai tidak langsung (seperti kandungan karbon, keanekaragaman hayati, tanah dan nilai air), dan nilai tidak digunakan (non-use values) yang terdiri dari nilai pilihan dan nilai yang muncul bagi para pengguna sumber daya alam. Masing-masing nilai ini dapat berjumlah sekitar 751 juta US dollar dan 67,5 juta US dollar. Perhitungan ini menggunakan pendekatan benefit transfer untuk mendemonstrasikan adanya biaya lingkungan yang muncul sebagai akibat eksploitasi hutan. Pendekatan Total Economic Value (TEV) adalah pendekatan ideal dimana barang dan jasa yang dipasarkan dan tidak dipasarkan dipakai sebagai pertimbangan menggunakan pengukuran unit universal. Konsep TEV bertujuan untuk menyediakan penilaian jenis ini dan membandingkannya dengan mengintegrasikan beberapa kategori dari nilai yang nyata dan tidak nyata. Sayangnya penerapan konsep ke dalam praktek di lapangan akan sangat sulit dan nampaknya tidak mungkin dilakukan pada kasus terburuk. Kemungkinan para ekonom belum mengembangkan praktek terpercaya dan diterima secara luas untuk menganalisis secara quantitatif pentingnya jasa dan barang non market atau tidak nyata ­ pekerjaan ini tidak ada pengecualian. 6.2 Skenario pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) 6.2.1 Transportasi dan akses Daripada memprioritaskan pembangunan jalan, pilihan yang lebih berkelanjutan adalah sebagai berikut: Memperluas dan meningkatkan transportasi udara, sungai dan laut untuk menyediakan akses ke daerah terisolasi yang padat penduduknya, terutama di daerah pegunungan tinggi, serta memastikan bahwa pelayanan kesehatan dan pendidikan tersedia untuk daerah ini. Memelihara jalan yang ada Konsekuensi ekonomi Menurut anggaran Papua pada saat ini, sekitar 35,4 juta dollar US dialokasikan untuk peningkatan lapangan terbang dan 19,2 dollar US dialokasikan untuk pelabuhan (peningkatan pelabuhan laut dan sungai). Alokasi anggaran sebesar 40,3 juta dollar US untuk penambahan jalan dapat dialihkan menjadi peningkatan transportasi udara, laut dan sungai. Pada masa yang akan datang biaya untuk pemeliharaan perluasan jaringan jalan sebaiknya dikurangi dan dana tersebut dapat digunakan untuk memastikan bahwa jaringan jalan yang ada dipelihara dengan baik serta digunakan oleh komunitas yang lebih besar. 88 Penilaian Papua Konsekuensi lingkungan Peningkatan transportasi udara, sungai dan laut hanya sedikit berdampak terhadap lingkungan dibandingkan dengan pembangunan jalan. Seperti disebutkan di atas, pembangunan jalan cenderung menghasilkan deforestasi dalam radius 5 km dari badan jalan dan membuka lahan berhutan pada bentuk lain perambahan hutan. Jalan kadang juga dibangun oleh perusahaan yang memiliki minat lebih besar untuk mengakses sumber daya kayu. Perluasan lapangan terbang hanya berdampak sedikit terhadap lingkungan karena lahan yang digunakan untuk memperluas landasan pacu, transportasi sungai dan laut biasanya menggunakan kanal serta sungai yang ada. Diperlukan perhatian khusus untuk meminimalkan kebocoran minyak dan sampah agar tidak dibuang ke dalam air. Penggunaan transportasi sungai dan laut memungkinkan masyarakat melakukan perjalanan sepanjang pesisir selatan serta berdampak sedikit terhadap gambut dan ekosistem mangrove. Konsekuensi sosial Perluasan jaringan transportasi diharapkan dapat menghasilkan dampak positif terhadap masyarakat secara keseluruhan di pegunungan tinggi dan masyarakat terisolasi lainnya karena dapat meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, diperlukan perhatian untuk memastikan bahwa pilihan peningkatan transportasi dapat diakses oleh masyarakat miskin dan terjangkau. Ada resiko peningkatan transportasi udara hanya akan memungkinkan orang kaya atau kelas menengah melakukan perjalanan dan mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan sedangkan masyarakat miskin akan tetap terisolasi, untuk memastikan hal ini tidak terjadi, transportasi udara perlu disubsidi oleh pemerintah ­ akan tetapi biaya ini perlu mempertimbangkan anggaran yang dapat disimpan per tahun apabila tidak harus memelihara jalan yang jarang dipakai. Selanjutnya, penting bahwa pengembangan sistem transportasi udara tidak hanya untuk penumpang, tetapi juga untuk mengirim barang, terutama pengiriman hasil bumi yang bervolume rendah tapi berharga tinggi dari pedalaman (misalnya kopi, gaharu, dan lain-lain) sehingga pemanfaatan perhubungan ini dapat untuk meningkatkan mata pencaharian petani yang hidup di pedalaman. 6.2.2 Pertambangan Pilihan pembangunan berkelanjutan untuk sektor pertambangan di Papua tidak banyak berbeda dengan apa yang sedang terjadi di Papua, akan tetapi dibutuhkan perubahan mendasar tentang distribusi penghasilan agar memungkinkan pertambangan menguntungkan masyarakat yang lebih luas. Pilihan pembangunan berkelanjutan melibatkan pembangunan sejumlah tambang skala besar yang berpotensi menghasilkan pendapatan substantif untuk pemerintah Papua. Perludibuatbatasanagartambangtidakmendominasiekonomidanmengakibatkan`dutch disease', tetapi nampaknya ada lingkup dan alasan untuk memperluas pertambangan skala besar di Papua karena saat ini hanya ada dua proyek pertambangan skala besar (BP dan Freeport) dan hanya satu dari dua tambang ini yang berlokasi di provinsi Papua. Hal mendasar yang harus diperhatikan untuk pilihan ini adalah bahwa usaha mendasar dibutuhkan untuk memastikan bahwa: 1) konsekuensi lingkungan pertambangan skala besar dikelola dengan baik, dicegah dan diregulasi; dan 2) pendapatan yang dihasilkan dari pertambangan skala besar transparan dan digunakan untuk pengentasan kemiskinan, menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan, mendukung pembangunan Penilaian Papua 89 berkelanjutan serta mempromosikan tata kelola yang baik (good governance). Hal ini merupakan permintaan yang tidak mudah dilaksanakan dan bantuan mendasar dibutuhkan untuk memastikan ini terlaksana. Konsekuensi ekonomi Jika beberapa tambang baru dibangun dengan skala yang sama dengan Freeport dan BP, dapat dihasilkan pendapatan yang besar untuk pemerintah daerah Papua, pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah pusat. Jika dapat dibentuk struktur pemerintahan yang transparan dan adil di Papua mungkin dana ini dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur publik yang dibutuhkan (seperti listrik, telekomunikasi, dan lain-lain); menyediakan dan meningkatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan; serta meningkatkandanmemperluaslapanganterbangdantransportasilautuntukmemperbaiki akses ke daerah yang terisolasi. Konsekuensi lingkungan Pertambangan skala besar mengakibatkan sejumlah konsekuensi lingkungan. Pertambangan dapat mengarah ke deforestasi dan yang lebih signifikan, menghasilkan tailing pertambangan yang dapat menghancurkan daerah aliran sungai dan ekosistem hilir. Kabar gembiranya adalah konsekuensi lingkungan ini dapat dihindari jika diterapkan pengelolaan yang baik dan kegiatan pertambangan diregulasi serta dikontrol dengan baik. Sebagian besar perusahaan tambang internasional memiliki departemen lingkungan yang bertujuan untuk meminimalkan dampak pertambangan skala besar, hal ini akibat dari meningkatnya perhatian internasional sebagai reaksi atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan. Selanjutnya, kemajuan teknis penting dibuat untukmemastikanbahwatailingdaripertambanganmempunyaidampakminimalterhadap lingkungan. Bila pilihan ini dieksplorasi lebih jauh maka pemerintah daerah provinsi Papua perlu memastikan bahwa pertambangan menerapkan kegiatan pengelolaan terbaik. Konsekuensi sosial Jika pendapatan dari pertambangan dapat didistribusikan lebih adil dan dialokasikan pada proyek infrastruktur umum, kesehatan, pendidikan dan peningkatan transportasi yang berkelanjutan, tambang skala besar memiliki dampak sosial positif bagi masyarakat Papua yang lebih luas. Namun, perlu diperhatikan bahwa masyarakat yang terkena dampak tambang secara langsung telah diajak konsultasi dengan baik, dikompensasi dan diperhatikan. Dibutuhkan bantuan nyata untuk mencegah berbagai macam dampak sosial yang muncul dari pembangunan tambang seperti peningkatan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, keracunan air raksa, konflik, ketidakberdayaan dan marginalisasi akibat dari meningkatnya jumlah penduduk pendatang ke pertambangan. Sekali lagi, hal ini akan sangat sulit dilakukan dan diperlukan bantuan yang tepat untuk memastikan konsekuensi sosial dari pertambangan mengalahkan besarnya konsekuensi negatif yang telah dicatat hingga kini. 6.2.3 Kehutanan Pilihan pembangunan berkelanjutan melibatkan pengurangan logging skala besar dan menggantinya dengan logging skala kecil berbasis masyarakat yang dikelola secara berkelanjutan dan diregulasi dengan baik. Pilihan ini berpotensi melibatkan pengalokasian kembali simpanan karbon beberapa hutan konversi dan hutan lindung/ konservasi Papua yang dialokasikan untuk eksplorasi tambang. Selanjutnya, metode praktek terbaik (misalnya RSPO, HCVF, sertifikasi) sebaiknya digunakan dan diterapkan untuk pembangunan kelapa sawit, kegiatan logging dan perencanaan ruang. 90 Penilaian Papua Konsekuensi ekonomi Jika logging skala kecil yang berkelanjutan dapat secara efektif diterapkan dan diregulasi untuk menjamin bahwa kegiatan ini dikelola dengan berkelanjutan, mungkin masyarakat adat akan menerima manfaat dari eksploitasi sumber daya hutan Papua daripada perusahaan skala besar. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten sepertinya juga dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar jika mereka dapat memberikan ijin dan meregulasi hutan Papua untuk logging yang berkelanjutan. Namun, dibutuhkan perhatian yang lebih besar untuk menjamin bahwa pendapatan yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya hutan Papua dikelola secara transparan dan disalurkan untuk proyek pembangunan berkelanjutan yang bertujuan mengentaskan kemiskinandanmeningkatkaninfrastrukturpublik,kesehatansertapendidikan.Diperlukan perhatian yang lebih besar untuk menjamin bahwa penyebarluasan korupsi tidak terjadi di tingkat lokal dan manfaat logging skala kecil hanya dinikmati oleh segelintir elit lokal sedangkan mayoritas masyarakat lainnya tetap tidak mendapatkan akses ke sumber daya hutan atau tidak dapat keuntungan dari eksploitasi hutan. Penerapan metode praktek terbaik, seperti yang dijelaskan dalam kriteria RSPO dan panduan sertifikasi dapat untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan ini. Alokasi hutan konversi untuk penyimpanan karbon berpotensi menghasilkan keuntungan ekonomi jika pemerintah provinsi Papua dapat menunjukkan mampu melindungi hutan dari perambahan. Kegiatan ini memungkinkan pemerintah Papua layak mendapatkan pembayaran karbon berdasarkan kinerja (performance). Namun sampai saat ini pembayaran berdasarkan kinerja belum kompetitif bila dibandingkan dengan penggunaan lahan lain yang lebih menguntungkan seperti kelapa sawit, sehingga terjadi beberapa trade-off ekonomi kecuali pasar karbon menjadi kompetitif di masa yang akan datang. Konsekuensi lingkungan Ada kemungkinan logging skala kecil yang diregulasi dengan baik dapat menghasilkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya hutan di Papua. Namun dibutuhkan perhatian yang besar dan bantuan untuk menjamin kegiatan logging skala kecil dikelola dengan baik dan tidak berakhir dengan tebang habis (clear cut) atau logging yang tidak berkelanjutan (pernah terjadi di masa yang lalu). Pengalokasian konsesi skala kecil perlu dilakukan secara transparan, berdasarkan perencanaan ruang yang baik dan berdasarkan data spasial yang akurat serta terkini. Kegiatan logging dalam konsesi ini perlu diregulasi dengan baik untuk memastikan logging tidak terjadi, sebagai contoh, di kemiringan yang tajam, di dalam daerah konservasi, atau diluar batas konsesi. Hal ini membutuhkan investasi yang cukup besar karena karyawan kantor kehutanan Papua membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola dan meregulasi konsesi logging skala kecil. Mungkin dapat dibentuk institusi masyarakat untuk membantu mengawasi dan meregulasi konsesi ini serta menjamin agar mereka tidak melakukan tebang habis atau menyebar luasnya deforestasi. Pengalokasian sejumlah besar hutan konversi untuk penyimpanan karbon sudah pasti memberikan manfaat lingkungan. Hutan ini dapat membantu mencegah pemanasan global, melindungi keanekaragaman hayati, melindungi daerah aliran sungai dan mencegah erosi tanah. Konsekuensi sosial Logging skala kecil berbasis masyarakat diharapkan dapat memberikan keuntungan pada masyarakat adat yang telah sekian lama tidak diberikan akses Penilaian Papua 91 ke sumber daya hutan dan melihat hutan mereka dijarah untuk keuntungan ekonomi orang lain. Perhatian tetap diperlukan untuk menjamin korupsi dan intimidasi di tingkat lokal tidak terjadi sehingga logging skala kecil akan memberikan manfaat bagi mayoritas masyarakat daripada segelintir elit. Pembayaran karbon berdasarkan kinerja dapat memberikan manfaat pada masyarakat lokal dan pemerintah lokal dengan syarat dibuat mekanisme pembayaran yang efektif dan transparan untuk menjamin pembayaran ini dapat digunakan untuk kepentingan bersama daripada masuk ke kantong pribadi. Usaha dan pemikiran yang cukup besar dibutuhkan untuk memastikan hal ini dapat berjalan dan menjadi prioritas usaha internasional untuk menyiapkan Indonesia supaya layak menerima pembayaran karbon di masa yang akan datang. 6.2.4 Mamberamo Pilihan pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada perencanaan ruang yang baik untuk menentukan daerah optimal untuk pembangunan kelapa sawit (berdasarkan kriteria RSPO dan analisis HCVF), mempromosikan pertanian berkelanjutan yang sesuai dengan budaya (seperti pembangunan sagu), prioritas pembangunan jalan yang menghubungkan daerah yang padat penduduknya dan tidak memotong daerah hutan Mamberamo (misalnya fokus dalam menghubungkan kota atau desa di daerah pesisir) serta memungkinkan pembangunan satu atau dua pertambangan yang memiliki potensi memberikan pendapatan yang signifikan bagi pemerintah Papua. Konsekuensi ekonomi Secara ekonomi, skenario ini nampaknya menghasilkan pendapatan lebih besar dari pada skenario business as usual jika pembayaran karbon berdasarkan kinerja menjadi pilihan yang layak untuk hutan dataran rendah mamberamo dan jika pembayaran ini dapat kompetitif dengan penggunaan lahan lain seperti kelapa sawit. Namun pendapatan masih dapat dihasilkan dari pembangunan kegiatan logging masyarakat yang dikelola dengan baik, perkebunan kelapa sawit yang mengikuti kriteria RSPO dan kegiatan pertambangan yang mencegah tailing serta dampak lingkungan lainnya. Konsekuensi lingkungan Jika pembangunan di daerah Mamberamo difokuskan terutama pada daerah pesisir dan diarahkan sedemikian hingga dapat melindungi mayoritas hutan dataran rendah Mamberamo, keuntungan lingkungan yang besar dapat diperoleh dari penyimpanan karbon, perlindungan keanekaragaman hayati dan perlindungan daerah aliran sungai. Selanjutnya, daerah Mamberamo akan tetap terkenal sebagai salah satu hutan dataran rendah yang tersisa di dunia. Konsekuensi sosial Usaha mengurangi pembangunan agar fokus pada perlindungan hutan dataran rendah Mamberamo berpotensi memberikan keuntungan pada masyarakat lokal jika pembayaran karbon berdasarkan kinerja diberikan dan didistribusikan ke masyarakat lokal di Papua sebagai imbalan atas melindungi hutan yang penting ini. Perlu bantuan untuk menjamin masyarakat adat tidak terpinggirkan oleh pendatang yang datang seiring dengan pembangunan industri skala besar yang berpotensi akan dibangun untuk memanfaatkan listrik yang didapat dari proyek bendungan raksasa. Bagaimanapun, di lain pihak, jika pembayaran karbon berdasarkan kinerja tidak dapat secara efektif dibagikan untuk menguntungkan masyarakat lokal di daerah tersebut, 92 Penilaian Papua akan ada sedikit hambatan untuk membangun daerah ini dan memastikan pelayanan yang tepat dilaksanakan untuk mengentaskan kemiskinan dan menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang memuaskan. Jika kasusnya seperti ini, satu atau dua pembangunan tambang skala besar yang diregulasi dan dikelola dengan baik untuk mengurangi konsekuensi lingkungan di wilayah Mamberamo mungkin dapat menhasilkan pendapatan dan lapangan kerja yang cukup untuk daerah tersebut. 6.2.5 Dampak ekonomi skenario pembangunan berkelanjutan Pada skenario pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan GDRP diasumsikan sekitar 4% hingga tahun 2020 dimana pembangunan ekonomi dilaksanakan dengan cara ramah lingkungan tanpa eksploitasi yang cepat dari sumber daya alam. Skenario ini akan menghasilkan GDRP sekitar 4.353 US dollar pada tahun 2020. Namun, hal ini menjadi tidak berarti karena estimasi ini dapat berubah secara signifikan karena dorongan kuat akhir-akhir ini dari pasar karbon untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Skenario pembangunan berkelanjutan diperkirakan menghasilkan 1.704 US dollar per kapita untuk masyarakat Papua pada tahun 2020 (tanpa mempertimbangkan manfaat lain dari jasa lingkungan hutan) berdasarkan pendekatan TEV yang telah disebut sebelumnya. Dengan memperhitungkan barang dan jasa hutan provinsi ini akan menghasilkan pendapatan per kapita sebesar 3.492 dollar US pada tahun 2020. Perkiraan ini menghitung semua barang dan jasa yang dijual dan tidak dijual dari wilayah hutan yang tersisa, yang diproyeksikan seluas 31 juta hektar. 6.2.6 Dampak sosial skenario pembangunan berkelanjutan Skenario pembangunan berkelanjutan menghasilkan deforestasi dan degradasi hutan yang kecil sehingga masyarakat Papua akan mendapat manfaat dan keuntungan dari manfaat lingkungan yang disediakan oleh hutan (air bersih, penyimpanan karbon, keanekaragaman hayati, produk hasil hutan bukan kayu, kayu, makanan, obat-obatan, dan lain-lain). Keuntungan ini bernilai sekitar 1.384 juta dollar US pada tahun 2020. 6.2.7 Dampak lingkungan skenario pembangunan berkelanjutan Secara alami skenario ini akan menghasilkan dampak lingkungan yang kecil dan berpotensi menghasilkan keuntungan yang tak terlihat dari lingkungan. Perkiraan nilai tidak langsung dan nilai tidak terpakai adalah 3.305 juta dollar US dan 215 juta dollar US. 6.3 Perbandingan skenario BAU dan pembangunan berkelanjutan Perbandingan manfaat langsung hanya memperlihatkan sebagian gambaran bagaimana kesejahteraan lokal dan publik berubah tergantung keputusan penggunaan lahan di daerah studi. Nilai dan pentingnya kegiatan penggunaan lahan berkaitan lebih erat dibandingkan dengan monetary financial return yang dimodelkan untuk studi ini dengan cara yang sederhana. Sebagai contoh, hutan alam mendukung produksi barang nyata, seperti hasil hutan bukan kayu, dan memfasilitasi kegiatan budaya dan nilai-nilai yang sama sekali tak terlihat. Manfaat nyata dan tidak dijual juga dipertimbangkan secara kuantitatif dalam studi ini, mereka dibandingkan dengan jenis keuntungan total finansial/ ekonomi langsung yang sering digunakan sebagai dasar konvensional untuk keputusan permanfaatan ruang. Penilaian Papua 93 6.3.1 Perbandingan dampak ekonomi Skenario business-as-usual ­ terutama untuk transportasi dan akses, dan pertambangan ­ membutuhkan sedikit perubahan pada pembentukan institusi dan aliran dana, karena tidak ada pertanyaan bagaimana keputusan diambil, ataupun pertanyaan perlunya perubahan utama cara keputusan dibuat pada saat ini, ataupun pertanyaan apakah mereka perlu perubahan cara dana dialokasikan. Bagaimanapun juga skenario bussines- as-usual didasarkan pada asumsi bahwa dana tersedia cukup untuk sepanjang tahun, dengankondisitidakpernahterlambatataupunkurang,sertaadadanauntukpemeliharaan jaringan jalan. Penerapan skenario bussines-as-usual dalam waktu singkat, dapat mengakibatkan terbukanyaprovinsiuntuklalulintasbermotor,peningkatanpendapatandaripertambangan yang dibayarkan ke pemerintah pusat dan peningkatan eksploitasi hutan Papua. Namun hal ini akan menjadi keuntungan jangka pendek. Pembangunan jalan utama diperlihatkan sangat erat kaitannya dengan degradasi lingkungan dan hilangnya hutan di sepanjang koridor jalan. Selain itu dana dan kapasitas untuk pemeliharaan seluruh jalan yang melalui daerah dengan jumlah penduduk sangat sedikit tidak akan tersedia kecuali volume lalu lintas cukup untuk tingkat pemeliharaan. Pada kenyataanya hal ini tidak akan terjadi. Pada saat sumber daya hutan sudah diambil, volume lalu lintas menurun dan kemudian meninggalkan jalan tak terawat. Eksploitasi mineral akan menjadi serpihan atau spin- off ekonomi untuk Papua, yang merupakan sebagian kecil saja dibandingkan dengan pendapatan dan pajak yang diterima pemerintah pusat. Usulan skenario pembangunan berkelanjutan memiliki biaya lebih rendah, lebih mudah dipelihara dan lebih berkelanjutan dalam hal finansial. Hal ini berlaku terutama untuk skenario transportasi dan akses, tetapi berlaku juga untuk skenario yang lainnya. Pilihan pembangunan berkelanjutan untuk sektor kehutanan ­ logging berbasis masyarakat ­ akan memelihara tutupan hutan dan keanekaragaman jenis hutan, sementara itu ada kepastian bahwa pengambilan hasil hutan berkelanjutan dapat dilakukan sepanjang waktu. Tidak diperlukan perluasan utama dalam sektor pertambangan karena perubahan kecil dalam distribusi pendapatan yang ada sekarang akan secara dramatis meningkatkan aliran pendapatan ke Papua. Hal ini juga berdampak pada tidak perlunya pembangunan besar-besaran di Mamberamo, karena cukup tersedia sumber daya di Papua melalui saluran yang ada. Berdasarkan hal tersebut di atas, tim berusaha untuk membandingkan dampak ekonomi dari dua skenario yang berbeda. Dalam analisis ini, digunakan dua parameter, yaitu GDRP yang dikoreksi dan pendapatan per kapita. GDRP yang dikoreksi seperti tersebut di atas adalah GDRP konvensional ditambah dengan biaya/keuntungan sosial dan lingkungan. 94 Penilaian Papua Gambar 6.4. Perbandingan GDRP yang dikoreksi. Berdasarkanhasilperhitungan,skenariopembangunanberkelanjutandiperkirakanhampir dua kali lebih besar dari skenario bussines-as-usual di tahun 2020 karena sebagian besar hutan alam akan tetap utuh dan hutan ini dapat menyediakan keuntungan yang nyata dan yang tidak nyata terhadap masyarakat (misalnya air bersih, pembuangan karbon, habitat keanekaragaman hayati, dan sebagainya sebagai bagian dari TEV). Proyeksi GDRP untuk skenario ini diperkirakan mencapai 8.921 juga dollar US. Di pihak lain, skenario bussines-as-usual diperkirakan menghilangkan keuntungan ini karena mengakibatkan deforestasi yang ekstensif dan degradasi hutan. Kondisi ini berpotensi menghasilkan proyeksi GDRP 4.661 juta dollar US pada tahun 2020. Penilaian Papua 95 Gambar 6.5. Pendapatan per kapita Kondisi yang sama juga diperlihatkan parameter pendapatan per kapita, dimana skenario pembangunan berkelanjutan digambarkan dua kali lebih tinggi dari skenario bussines- as-usual, yang diperkirakan masing-masing bernilai 1.654 dollar US dan 3.491 dollar US (lihat Gambar 6.5). 6.3.2. A Perbandingan dampak sosial Skenario bussines-as-usual nampaknya akan berdampak pada meningkatnya jumlah perpindahanpendudukdaridatarantinggikepesisir,meningkatnyapeminggiranpenduduk masyarakat adat yang hidup di pedalaman dan tetap sulit untuk mengakses pelayanan sosial. Pengabaian masyarakat yang tinggal di sekitar pembangunan pertambangan dan dampak pada mata pencaharian melalui pembuangan limbah tambang berbahaya ­ dan dalam beberapa kasus memaksa migrasi keluar dari daerah yang dibuka untuk penambangan mineral ­ kasus yang sama akan terjadi dalam konstruksi bendungan skala besar di Mamberamo untuk mensuplai pembangkit tenaga air bagi penambangan mineral. Pembabatan sumber daya hutan oleh kegiatan logging skala besar yang dikuasai oleh perusahaan dari luar akan menyebabkan pengabaian masyarakat lokal. Keuntungan pilihan pembangunan berkelanjutan adalah masyarakat tetap tinggal dimana mereka berasal ­ dan peningkatan pelayanan serta mata pencaharian akan didukung. Masalah sosial akan ditangani bersama-sama, dampak HIV/AIDS, prostitusi dan alkoholik akan dicegah. Budaya adat akan didukung. Selain itu, terdapat perbedaan nyata pada dampak sosial dari kedua skenario tersebut jika kita mempertimbangkan nilai hutan yang diperkirakan masih tersisa pada tahun 2020 berdasarkan proyeksi skenario business-as-usual dan pembangunan berkelanjutan. Proyeksi ini berdasarkan pemodelan spasial yang dilakukan oleh tim, diperkirakan sisa hutan tersebut sekitar 17,4 juta hektar pada skenario business-as-usual dan 23,5 juta hektar pada skenario pembangunan berkelanjutan. 96 Penilaian Papua Gambar 6.6. Dampak social Keuntungan skenario pembangunan berkelanjutan diperkirakan mencapai 400% (yaitu senilai 1.384 juta dollar US) lebih tinggi dari keuntungan yang dihasilkan dari skenario business-as-usual (senilai 343 juta dollar US). Hal ini terjadi karena keuntungan hutan pada skenario business-as-usual akan dihancurkan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomiyanglebihtinggidalamkontekspendapatanfinansialdibandingkankesejahteraan ekonomi. Sekali lagi, nilai-nilai ini berasal dari hasil perhitungan keuntungan yang hilang dari hilangnya sumber daya hutan yang sehat (misal air bersih, penyimpanan karbon, keanekaragaman hayati, hasil hutan non kayu, hasil hutan kayu, makanan, obat-obatan, dan lain-lain). 6.3.3 Perbandingan dampak lingkungan Skenario business-as-usual akan didominasi degradasi lingkungan jangka panjang dan hilangnya habitat. Skenario ini akan menghasilkan hilangnya hutan yang sangat besar, meningkatnya emisi CO2 dan hilangnya keanekaragaman hayati. Penggantian dan konversi hutan yang sangat luas menjadi kelapa sawit akan juga akan berdampak negatif terhadap lingkungan ­ terutama hilangnya habitat dan keanekaraman hayati. Sebaliknya, skenario pembangunan berkelanjutan memperkecil jejak kerusakan lingkungan dengan mengharmoniskan budaya adat dan memelihara keberlanjutan mata pencaharian. Skenario pengelolaan berkelanjutan juga membuka peluang menempatkan Papua sebagai bagian dari pembahasan internasional tentang praktek terbaik dalam pembangunan, baik dalam hal kehutanan dan keanekaragaman hayati (REDD, RSPO, HCVF, sertifikasi) maupun dalam hal kegiatan pertambangan (pembuangan dan pengobatan limbah; peningkatan metode ekstraksi; dan lain-lain). Penilaian Papua 97 Gambar 6.7. Perbandingan nilai tidak langsung Gambar 6.8. Perbandingan nilai yang tidak digunakan Dari perspektif ekonomi, skenario pembangunan berkelanjutan berpotensi memberikan keuntungan yang lebih besar. Nilai tidak langsung dari skenario ini (diperkirakan mencapai 3.305 juta US dollar) berpotensi lima kali lebih besar dari skenario yang lain (yang diperkirakan hanya sekitar 721 juta dollar US). Kondisi ini serupa dengan nilai yang tidak digunakan (non-use value) yang diperkirakan mencapai 215 juta dollar US, dimana jumlahnya tiga kali lebih besar dari pada skenario business-as-usual yang diperkirakan hanya 67 juta US dollar pada tahun 20207. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa skenario pembangunan berkelanjutan menghasilkan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan dengan skenario business-as-usual. 7Seperti dijelaskan sebelumnya pada bagian awal, dampak lingkungan diturunkan dari estimasi nilai penggunaan tidak langsung (yang terdiri dari konservasi tanah dan air, penyerapan karbon, perlindungan dari banjir, pengaliran air dan keanekaragaman hayati) dan nilai yang tidak digunakan (non- use value) (nilai pilihan dan nilai yang ada dari jasa dan barang pengguna) dari sumber daya hutan Papua. Dalam hal ini keuntungan diturunkan dari sumber daya hutan yang tersisa yang diestimasi untuk skenario business-as-usual dan pembangunan berkelanjutan. 98 Penilaian Papua 6.4 Kesimpulan Penilaian empat skenario pembangunan berkelanjutan yang dijabarkan pada bagian ini harus dilihat sebagai tahapan utama dalam persiapan lebih jauh pembahasan tentang penerapan pilihan pembangunan berkelanjutan dalam konteks pembangunan ruang Papua. Skenario ini didasarkan pada scoping yang dilakukan oleh tim Sekala, PCSSF, dan Nordic, dan perwujudan dari pilihan pembangunan dalam empat skenario yang dipilih untuk masa yang akan datang ­ dibandingkan dengan skenario business-as-usual. Empat pilihan pembangunan berkelanjutan memperlihatkan alternatif yang cocok untuk pilihan business-as-usual dapat dikembangkan dimana akan menempatkan Papua dalam situasi saling menguntungkan. Pilihan yang diusulkan berusaha mengkombinasikan pengentasan kemiskinan dengan pilihan pembangunan berkelanjutan, dan pada saat yang sama berkontribusi pada pengurangan emisi karbon Papua. Skenario trasportasi dan akses mengalihkan perhatian dari proyek infrastruktur skala besar dengan fokus sektoral (pembangunan jalan, lapangan terbang besar di lokasi yang tidak strategis, dan lain-lain) ke arah kebutuhan transportasi dan akses untuk masyarakat pedalaman (baik untuk manusia maupun barang). Konsekuensi ekonomi dari skenario ini adalah kebutuhan kapital yang lebih rendah baik untuk investasi maupun pemeliharaan. Dampak lingkungan akan meninggalkan jejak kerusakan yang lebih kecil dan dampak sosial difokuskan pada peningkatan maksimum dalan perbaikan akses di daerah dataran tinggi dan masyarakat yang tinggal di pedalaman. Skenario pertambangan ­ dalam pilihan skenario pembangunan berkelanjutan ­ didasarkan pada pertimbangan bahwa pertambangan seharusnya tidak mendominasi ekonomi Papua ­ terutama berhubungan dengan situasi bahaya "Dutch disease". Dengan meningkatkan penghasilan dari kegiatan pertambangan yang ada sekarang, maka kontribusi pertambangan yang ada sekarang besar sekali. Ekspansi besar kegiatan pertambangan, sepertinya akan memberikan keuntungan langsung yang lebih besar pada pemerintah pusat dibandingkan dengan pemerintah daerah provinsi. Membatasi pertambangan akan memberikan dampak yang positif pada konsekuensi lingkungan, karena dapat meningkatkan penanganan limbah tambang dengan peningkatan teknik dan kegiatan pengelolaan yang terbaik. Tantangan sosialnya adalah menjamin peningkatan pengalokasian penghasilan dari tambang untuk proyek infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan pilihan pembangunan berkelanjutan. Skenario kehutanan mengusulkan untuk mengurangi logging skala besar dan menggantinya dengan logging skala kecil berbasis masyarakat, terkelola secara berkelanjutan dan diregulasi dengan baik. Hal ini termasuk pengalokasian sejumlah besar hutan untuk penyimpanan karbon. Tantangannya adalah memastikan penghasilan yang didapat dikelola secara transparan dan dialihkan langsung ke proyek pembangunan berkelanjutan. Pengalokasian logging skala kecil, dilakukan secara transparan dan sesuai dengan perencanaan ruang yang baik. Hal ini membutuhkan pembangunan kapasitas staf kehutanan Papua. Logging skala kecil berbasis masyarakat adalah skenario yang dampaknya lebih positif kepada masyarakat adat dan menjamin keberlanjutan dari sumber daya. Tantangan lain adalah memastikan pembayaran karbon berdasarkan kinerja sehingga dapat menguntungkan masyarkat dan pemerintah lokal. Skenario akan difokuskan pada metode kegiatan terbaik (misalnya RSPO, HCVF, sertifikasi) untuk diterapkan pada pembangunan perkebunan kelapa sawit, kegiatan logging dan perencanaan ruang. Penilaian Papua 99 Skenario Mamberamo difokuskan pada pentingnya memelihara wilayah ini karena merupakan daerah penting dan unik dengan nilai lingkungan penting, tidak hanya pada tingkat provinsi, tetapi pada tingkat global atau internasional. Tantangannya adalah memprioritaskan pembangunan yang menjamin pertanian berkelanjutan, memungkinkan akses tetapi tidak menggangu daerah berhutan. Tantangan lainnya adalah membangun pembayaran karbon sebagai pilihan tepat, yang dapat menyaingi penggunaan lahan lain (seperti kelapa sawit). Pendekatan ini memiliki konskuensi lingkungan terkecil selain memiliki spin-off positif untuk masyarakat adat. Skenario ini meliputi memprioritaskan dampak minimum pembangunan jalan dan memungkinkan kegiatan tambang yang diregulasi dan dikelola dengan baik. Menggunakan keempat skenario ini, tantangan akan semakin berat pada skenario pembangunan ruang yang memaksimumkan keuntungan provinsi Papua. Pilihan ini bukan merupakan skenario yang memberikan keuntungan finansial maksimum kepada pemerintah pusat ­ akan tetapi pilihan ini dilihat sebagai solusi saling menguntungkan bagi Papua. 100 Penilaian Papua Penilaian Papua 101 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini dilakukan pada saat yang sangat penting bagi provinsi Papua. Papua ditempatkan dalam konteks pembahasan tentang perubahan iklim. Hasil dari forum perserikatan bangsa-bangsa untuk perubahan iklim (United Nations Forum on Climate Change), yang diadakan di Bali pada bulan Desember 2007 dan perhatian Internasional untuk lingkungan serta ancaman terhadap keanekaragaman hayati, provinsi Papua berada dalam posisi unik untuk dapat berperan dalam membuat perubahan besar ­ baik secara positif maupun negatif. Sebagai contoh lebih dari 90% daratan Papua, masih ditutupi oleh hutan, pengurangan tutupan hutan akan meningkatkan emisi CO2 ­ menggunakan hutan untuk penyimpanan karbon dan logging berkelanjutan akan berdampak sebaliknya. Tantangan kedua Papua adalah memecahkan masalah kemiskinan yang sangat tinggi ­ terutama diantara masyarakat adat Papua ­ dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini belum diwujudkan ke dalam pengentasan kemiskinan. Masih jauh jalan yang harus ditempuh untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG). Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu membangun solusi yang dapat dilihat sebagai situasi saling menguntungkan baik untuk lingkungan maupun untuk pengentasan kemiskinan. Hal ini mungkin terjadi. Penilaian strategis mencoba untuk mencapai keseimbangan (trade-offs) antara kemiskinan-lingkungan yang memperlihatkan keuntungan pemanfaatan lingkungan berkelanjutan akan memberikan spin-off yang positif pada kemiskinan daripada pembangunan ekstraktif industri skala besar (seperti pertambangan) dan perkebunan (seperti kelapa sawit). Oleh karena itu, pertanyaan tentang fokus ke lingkungan bukan karena kata orang dari luar, tetapi lebih masuk akal bagi Papua sendiri dan masyarakat Papua yang harus melakukannya. Penilaian strategis mencoba menghindari melihat skenario pembangunan dengan berpatok pada satu sektor, atau pembangunan hanya dari sektor publik. Namun, focus pada keruangan dan mencoba melihat prioritas dalam konteks ruang ­ terutama pada pegunungan Cordilla, Mamberamo, daerah rawa bagian selatan dan Transfly. Papua Barat tidak termasuk dalam penilaian ini dan pekerjaan yang sama juga perlu dilakukan disana, dalam konteks lingkungan kelautan dan usulan investasi minyak dan gas. Dalam kerangka ini sejumlah skenario pembangunan telah dibangun dimana akan menjadi dasar diskusi dan pengambilan keputusan dengan para pihak (stakeholder). Hal ini merupakan kunci bagi metode penilaian strategis, dan pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses inklusif antara perencana, pengambil keputusan dan para pihak yang lain (termasuk masyarakat sipil). Masa depan hutan Papua tergantung pada keputusan yang diambil pada tujuan pembangunan Papua. Sebagai contoh, jika Papua memilih pembangunan jalan ekstensif, akan ada resiko tutupan lahan berkurang secara signifikan dan sejumlah daerah konservasi akan terancam perambahan.Alternatif pilihan pembangunan yang tepat dapat mempertahankansejumlahbesardaerahhutantetapitetapmencapaitujuanpembangunan. Pendapatan yang didapat dari industri pertambangan dan gas memungkinkan Papua mempertimbangkan pilihan pembangunan alternatif yang meminimalkan deforestasi. Teknik pemodelan spasial dapat membantu mengidentifikasi daerah hutan yang dapat dipertahankan untuk keanekaragaman hayati dan penyimpanan 102 Penilaian Papua karbon, serta lahan yang paling cocok untuk penggunaan lain seperti kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Resiko dari pembangunan jalan adalah sejumlah besar uang dipakai untuk konstruksi jalan tanpa mendapatkan keuntungan pada tingkat kemiskinan dan dalam meningkatkan standar hidup. Penilaian ini memilih pendekatan masalah dari sudut pandang akses dan ruang daripada gagasan tanpa jalan tidak ada solusi lain yang tepat. Jika akses (istilah ini digunakan tidak hanya untuk jalan) dijadikan pertimbangan pertama, maka akan membuka diskusi pada transportasi udara, jalan dan air ­ memanfaatkan jaringan pelabuhan dan lapangan terbang yang ada (meningkatkannya dan memperluas jaringannya). Hal ini terutama dalam kasus pegunungan tengah dimana terdapat populasi penduduk yang tinggi. Rekomendasi disini adalah: fokus pada perluasan pelayanan udara (termasuk perluasan lapangan terbang di Wamena dan peningkatan lapangan terbang di Mulia dan Dekai); peningkatan transportasi sungai dan fasilitas pemeliharaan pelabuhan di Dekai; dan pembangunan jaringan pasar dan fasilitas pemrosesan hasil perkebunan (seperti coklat dan kopi), dan juga hasil hutan non kayu. Selain itu, membangun jaringan pemasaran pariwisata melalui eco-tourism. Skenario ini membutuhkan biaya terendah untuk akses; berkaitan dengan ini juga untuk pembangunan fasilitas pendidikan (sekolah asrama) di simpul-simpul pertumbuhan. Cara berpikir ini membuka jalan kerjasama publik dan swasta; dan kerjasama sektor publik atau non pemerintah. Peningkatan akses dalam konteks ini berarti perluasan teknologi informasi dan sebanyak mungkin cakupan internet di Provinsi. Internet membuat pusat sekolah dan kesehatan dekat dengan tingkat pengawasan dan menyediakan komunikasi yang lebih baik antar institusi dan antar individu; dan telepon seluler terbukti sebagai sistem yang lebih dipilih oleh masyarkat miskin sebagai sistem komunikasi selain itu mendorong menulis melalui fungsi SMS yang murah. Kegiatan perbankan dan transfer uang melalui telepon seluler akan membuat aliran ekonomi tunai menjadi semakin dekat ­ dan memungkinkan sektor informal dan swasta menjalankan transaksi dengan biaya rendah untuk semua pemakai. Semua bentuk jaringan pasar didukung dengan komunikasi yang lebih baik. Hal yang sama juga dilakukan untuk tiga skenario pembangunan yang lain: skenario pertambangan; skenario kehutanan; dan skenario Mamberamo. Pada sektor pertambangan, kegiatan tambang, pada khususnya yang mengancam daerah konservasi dan lindung, atau daerah yang tampaknya memiliki dampak negatif terhadap perubahan iklim, setiap langkah yang mereka ambil akan menjadi subyek inspeksi dan kritik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu, semua perusahaan pertambangan perlu mempertimbangkan situasi saling menguntungkan antara kemiskinan dan lingkungan sebagai langkah awal mengambil kebijakan mereka. Dalam hal ini merupakan tantangan bagi Papua untuk menyalurkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hasil dari eksploitasi mineral untuk pengentasan kemiskinan berkelanjutan (melalui pembagian pajak, royalti dan keuntungan). Pada sektor kehutanan, penting untuk menghubungkan antara skenario pembangunan dengan praktek terbaik internasional yang sedang dikembangkan (baik didalam hutan produksi maupun dalam produksi kelapa sawit berkelanjutan, dan sebagainya) dan Papua proaktif menggunakan praktek terbaik secara internasional untuk pembangunan provinsi dan masyarakatnya. Jadi dana dapat disediakan untuk intervensi lingkungan (atau tidak Penilaian Papua 103 perlu intervensi dalam kasus tidak ada konversi ke kelapa sawit), yang menjangkau masyarakat biasa Papua. Ide penyimpanan karbon perlu dikaitkan dengan penyaluran sumberfinansialkesiapasajayangmengelolahutan.Disini­samasepertipertambangan ­ tekanan internasional (kritikus lingkungan, organisasi masyarakat, tanggung jawab sosial perusahaan, dan lain-lain) dapat mengatur untuk memastikan bahwa pendekatan mata pencaharian tetap menjadi pusat dari pembahasan lingkungan, pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. Akhirnya, mengenai Mamberamo, nilai daerah ini sebagai daerah unik dari sisi pentingnya keanekaragaman hayati dunia secara mayoritas disarankan agar daerah ini untuk dipertahankan berdasarkan agenda pengentasan kemiskinan untuk masyarakat adat yang tinggal di daerah ini, dikaitkan dengan pembangunan, pengawasan dan penegakan rencana pengelolaan. Saran dan rekomendasi telah dibuat untuk masing-masing skenario, tetapi semua ini akan membutuhkan perencanaan yang lebih rinci dan peningkatan keikutsertaan para pihak yang dekat ke tingkat implementasi. Oleh karena itu, direkomendasikan agar setiap skenario pembangunan dikembangkan lebih lanjut dengan konsultasi pada pengambil keputusan dan para pihak dalam rangkaian lokakarya, menggunakan laporan ini, dan peta yang disiapkan sebagai bagian dari proses ini, sebagai dasar untuk memulai proses pengambilan keputusan. 104 Penilaian Papua Penilaian Papua 105 8. LANGKAH SELANJUTNYA 8.1 Tindak lanjut penilaian dengan lokakarya multi pihak Penilaian ini diimplementasikan dalam sebuah kontrak menggunakan anggaran terbatas yang disediakan oleh Bank Dunia. Kontrak ini meliputi pemetaan awal, kunjungan lapangan dan kegiatan penilaian. Kontrak ini juga meliputi penyusunan laporan dan mempresentasikannya dalam lokakarya. Proses SEA yang ideal adalah proses yang lama yang melibatkan pengambil keputusan (pemerintah, non pemerintah, dan kelompok masyarakat) dalam diskusi dan proses pengambilan keputusan. Dana yang ada dalam anggaran saat ini tidak cukup untuk menerapkan beberapa langkah diskusi berhubungan dengan bermacam-macam skenario yang dipresentasikan ­ sebuah masalah yang sudah dijelaskan ke Bank Dunia selama tahap awal dimulainya kegiatan ini. Jika penilaian strategis diikuti proses pengambilan keputusan dengan stakeholder, maka perlu diakses dana yang lebih banyak. 8.2 Lakukan penilaian yang sama di Papua Barat Penilaian ini hanya difokuskan di Provinsi Papua dan dibutuhkan penilaian yang sama bagi Provinsi Papua Barat. Selain fokus pada sektor kehutanan, sebaiknya juga difokuskan pada sektor kelautan dan pertambangan karena kedua sektor ini sangat dominan di Papua Barat. Beberapa data spasial dan peta yang dihasilkan dari penilaian strategis di provinsi Papua meliputi seluruh bagian Indonesia dari pulau New Guinea, dan apat dipakai sebagai dasar penilaian Papua Barat. 8.3 Penyediaan bantuan untuk perencanaan ruang Penilaian lingkungan strategis ini hanya menyediakan data dasar dan tidak menghasilkan rencana ruang baru. Pembangunan rencana ruang baru membutuhkan waktu dan banyak konsultasi. Idealnya rencana tata ruang baru memasukkan penggunaan kategori rencana ruang baru, misalnya wilayah adat, wilayah logging masyarakat, daerah penyimpanan karbon, dan sebagainya. Wilayah Papua sangat besar sehingga sulit untuk mengakses semua variabel yang mempengaruhi perencanaan ruang secara komprehensif. Sementara itu pilihan terintegrasi perlu dipertimbangkan secara keseluruhan, perencanaan ruang yang intensif dan rinci sebaiknya dibuat terutama di dalam empat zona geografis: pegunungan Cordilla, daerah rawa selatan, Transfly, dan kepala burung (Birdshead). Pilihan perencanaan ini perlu menjadi dasar pelaksanaan hasil lokakarya stakeholder dan proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan skenario yang dipresentasikan. Di bawah ini adalah rencana garis besar tentang bagaimana proses perencanaan ruang yang dapat dilakukan di Papua. Selama penilaian sudah dilakukan beberapa tahapan sehingga langkah awal sudah dilakukan. 1) Mengkaji ulang rencana ruang yang ada sekarang. 2) Mengkaji ulang kebijakan dan peraturan tentang pemberian ijin pada perusahaan pertambangan, logging dan perkebunan untuk menentukan bagaimana mengalokasikan konsesi, bagaimana mengkaji ulangnya dan bagaimana sebaiknya kemungkinan pengalokasian di masa datang. 106 Penilaian Papua 3) Mengumpulkan data spasial yang ada yaitu batas konsesi logging, konsesi pertambangan, konsesi kelapa sawit, kategori zona kawasan hutan (hutan produksi, konversi, konservasi, hutan lindung, dan sebagainya), curah hujan, topografi, jenis tanah (gambut, mineral, dan sebagainya), populasi penduduk, jalan, lapangan terbang, dan sebagainya. Data ini tersebar di beberapa tempat terpisah dan perlu upaya cukup besar untuk mengumpulkan data yang terbaru. 4) Meningkatkan data spasial. Dibutuhkan upaya yang cukup besar untuk meningkatkan data spasial. Sebagian besar batas legal konsesi hanya tersedia di peta cetakan. Oleh karena itu perlu didigitasi dan disesuaikan ke dalam satu peta dasar yang berlaku di Indonesia sehingga data ini dapat dianalisis dan diakses untuk tujuan perencanaan ruang. 5) Melakukan konsultasi untuk mengakses aspirasi dan ide tentang pembangunan dari stakeholder. 6) Menyediakan skenario perencanaan ruang dari hasil konsultasi. 7) Melakukan banyak konsultasi dan membangun kesepakatan antara stakeholder yang berbeda tentang skenario perencanaan ruang. Hal ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga. 8) Menggambarkan rencana ruang yang rinci dan melakukan banyak konsultasi tentang rencana ruang tersebut untuk memperoleh komitmen, penerimaan dan sebagainya. The implementation of the spatial plan will need to be followed up with monitoring and evaluation. It's also possible that the spatial plan will need to be regularly reviewed, however it would be useful to have a good starting point that can be modified and adapted. Other activities that will probably need to be undertaken as part of the spatial planning process in Papua and will need a lot of support are: Mengidentifikasi kategori ruang baru, seperti hutan masyarakat, zona/hutan adat, tempat keramat dan sebagainya. Dibutuhkan banyak dialog untuk menghasilkan ini, dan kemungkinan dibutuhkan investasi besar untuk pemetaan masyarakat. Hal ini sangat penting walaupun sulit untuk dilakukan. Mengkajiulangkonsesiskalabesardanmencaricarasupayaloggingberbasismasyarakat berjalan dengan baik (hal ini merupakan prioritas pemerintah daerah Provinsi Papua). Fokus awalnya identifikasi pada konsesi logging yang tidak aktif, yang terjadi di banyak tempat. Mengkaji ulang konsesi skala besar dan mencari cara supaya logging berbasis masyarakat berjalan dengan baik (hal ini merupakan prioritas pemerintah daerah Provinsi Papua). Fokus awalnya identifikasi pada konsesi logging yang tidak aktif, yang terjadi di banyak tempat. Mengkaji ulang lokasi ijin perusahaan kelapa sawit. Di Indonesia, pengalokasian lahan untuk kelapa sawit sangat besar dan melebihi kebutuhan. Pengalokasian lahan dilakukan dengan cara khusus tanpa perencanaan yang baik atau mempertimbangkan faktor-faktor penting, seperti curah hujan, kesesuaian lahan, tutupan hutan, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena sebagian besar perusahaan menganggap lebih mudah untuk mendapatkan ijin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan logging. Pemerintah pusat mendorong pembangunan kelapa sawit di Papua dan memungkinkan perusahaan mendapatkan konsesi yang sangat besar hingga 200.000 hektar. Sedangkan di provinsi lain hanya diijinkan hingga 100.000 hektar. Sekarang ini Papua merupakan tempat dimana perusahaan dapat mengakses kayu berkualitas. Banyak ijin lokasi untuk perusahaan kelapa sawit diberikan tanpa mempertimbangkan perencanaan yang baik, kuota, kebutuhan, kesesuaian lahan, dan sebagainya. Penilaian Papua 107 Dapatkah situasi ini diubah? Hal ini sangat penting tapi akan sulit dilakukan. Berikut ini adalah beberapa ide tentang bagaimana mengkaji ulang ijin lokasi yang diberikan untuk pembangunan kelapa sawit (Gambar 8.1). Kebijakan politik diperlukan untuk ini karena sebagian besar perusahaan membayar hingga 400.000 dollar US untuk mendapatkan ijin lokasi sehingga mereka tidak akan senang bila ijin mereka dikaji ulang. Mereka dapat ditawari alternatif lahan yang tidak berhutan, bukan lahan gambut, dan sesuai untuk pembangunan kelapa sawit. Gambar 8.1 Factors to consider when reviewing location permits Source: Casson et al. 2007. Membuat panduan/pembatasan ekspansi kelapa sawit, logging, pertambangan, dan lain-lain. Hal yang sama juga dibutuhkan untuk kategori zona hutan, seperti hutan konversi, hutan konservasi, dan lain-lain. 8.4 Memfasilitasi konsultasi multistakeholder dan kemauan politik Kunci membuat perencanaan ruang sukses dan berguna adalah konsultasi dan ada kemauan. Jika sering melakukan konsultasi dan memperoleh kemauan dari banyak para pihak maka ada kesempatan untuk mencegah korupsi ­ misalnya perusahaan membayar pejabat untuk memperoleh hak atas lahan, mengubah batas-batas dan merubah rencana ruang. Semakin banyak orang tahu tentang rencana ruang, korupsi akan semakin sulit berjalan. Jadi kunci dari semua ini adalah transparansi dan konsultasi. 108 Penilaian Papua Stakeholder perlu merasa bahwa mereka dilibatkan dalam konsultasi tentang rencana ruang dan memiliki kesempatan memberikan masukan dalam pembuatannya. Mereka juga perlu mendapatkan kemudahan dalam mengakses rencana ruang dan mendapatkan informasi tentang hasilnya. Perlu juga kemauan politik untuk menjamin para perencana pemerintah mengikuti rencana ruang. Di Bali, misalnya, pejabat pemerintah tidak mengikuti rencana ruang dan memberikan ijin pembangunan vila di daerah yang dikategorikan sebagai pengelolaan konservasi dan daerah aliran sungai. Ada juga pembangunan yang terlalu dekat ke pantai yang melanggar semua peraturan. Masalah lainnya adalah kantor pemerintah yang berbeda memiliki rencana ruang dan peta yang berbeda pula, sehingga satu daerah diklasifikasikan sebagai `jalur hijau' di satu peta tapi tidak di peta yang lain. Hingga kini, pejabat pemerintah selalu mendapat imbalan untuk merubah status lahan yang ditentukan di peta, akan tetapi, perubahan pemerintahan sekarang ini membuat ini menjadisulitdilakukan.Jadi,diBali,kemauanpemerintahberpeluanguntukmeningkatkan pembangunan. Hal yang sama dapat juga berlaku di Papua. Tanggung jawab (akuntabilitas) juga merupakan faktor penting. Pejabat pemerintah perlu bertanggung jawab (akuntable) untuk keputusan yang mereka buat, dan jika mereka memberikan ijin untuk pembangunan di wilayah zona konservasi maka untuk itu mereka harus bertanggung jawab. Akhirnya, rencana ruang secara ekonomi harus menarik, dapat memberikan keuntungan ekonomi dan pilihan pembangunan. 8.5 Keterlibatan pemerintah daerah kabupaten dalam proses perencanaan ruang Proses penilaian ini belum dapat melibatkan pemerintah daerah kabupaten dan ada kebutuhanyangbesaruntukmelibatkanpemdakabupatenmelaluilokakarya,fokusdiskusi kelompok dan konsultasi. Hal ini sangat penting bagi kabupaten yang sedang menghadapi tantangan pembangunan perencanaan ruang, misalnya 90% dari Pegunungan Bintang didesain untuk konservasi dan hutan lindung; 84% dari Tolikara pada saat ini didesain untuk daerah konservasi dan hutan lindung; dan 78% dari kabupaten Yahukimo didesain untuk daerah konservasi dan hutan lindung. Dalam proses konsultasi pada waktu dulu, ketiga kabupaten ini meminta bantuan dan menyatakan bahwa mereka sangat sulit untuk menghasilkan pendapatan karena sebagian besar wilayah mereka didesain untuk daerah konservasi. Suatu kompromi mungkin bisa ditemukan untuk kabupaten ini. Kabupaten Asmat juga memerlukan perhatian karena 85% wilayah kabupaten ini adalah lahan gambut dan pemerintah provinsi berencana membangun jalan melalui daerah ini. 8.6 Pelatihan Sekala dapat memberikan pelatihan GIS selama penilaian ini yang dikaitkan dengan kegiatan WWF. Namun pelatihan lebih lanjut tentang perencanaan ruang, penginderaan jauh, sistem informasi geografis dan pemetaan masyarakat dibutuhkan agar stakeholder Papua dapat menginformasikan keputusan perencanaan ruang dan memungkinkan mereka menggunakan teknologi untuk menggambarkan rencana ruang yang baru. 8.7 Pemberian Informasi dan Mempengaruhi Pengambil Keputusan Laporan sementara dengan skenario ruang dan rekomendasi awal ini perlu proses tinjuauan ulang atau pengambilan keputusan. Sulit untuk menentukan kerangka waktu yang tetap dalam proses karena membutuhkan pelibatan para pihak. Penilaian Papua 109 Tim SEA tidak dapat menentukan kerangka waktu, tetapi dapat memfasilitasi proses. Oleh karena itu sebelum laporan ini selesai perlu tersedia waktu yang cukup antara penyelesaian laporan SEA dan pengambilan keputusan tentang bermacam-macam skenario yang memungkinkan konsultasi publik. 8.8 Pemantauan dan Evaluasi Selama proses penyelesaian, dan berkaitan dengan keputusan skenario mana yang mulai dibangun, penting untuk membangun sistem informasi pelacakan di dalam dan di luar pemerintah provinsi. Hal ini perlu didesain untuk tiap skenario, yang dalam banyak kasus hal ini mungkin didasarkan pada sistem pemantauan yang ada. Akan ada berbagai macam aktor yang terlibat dalam kegiatan pemantauan: pemerintah provinsi dan pusat, pemerintah lokal; organisasi non-pemerintah (Global Forests and Trade Network; FSC, dan lain-lain); dan kelompok masyarakat. 110 Penilaian Papua Penilaian Papua 111 9.TINJAUAN PUSTAKA DAN LITERATUR Aditya Engineering Consultant, 2007. Laporan Akhir: Perkerjaan Identifikasi dan Review Potensi Pada Wilayah Sungai Mamberamo-Tami-Apauvar, PT Aditya Engineering Consultant, Bandung. Asian Development Bank, 2002. Impact of rural roads on poverty reduction: A case study-based analyses, IES: REG 2002-15 October. Asian Development Bank 2003. Project Completion Report on the sustainable agriculture development project in Irian Jaya (Loan No.1258-INO [SF]), Jakarta. Asian Development Bank (Resident Mission in Indonesia) Asner G, Broadbent E, Oliveira P, Keller M, Knapp D and Silva J, 2006. Condition and fate of logged forests in the Brazilian Amazon, PNAS, Vol. 103, No. 34, pp12947- 12950. AusAID (IMS) 2002. Impacts of HIV/AIDS 2005-2025 in Papua New Guinea, Indonesia and East Timor: Final Report of HIV Epidemiological Modelling and Impact Study, Canberra, AusAID Beehler B, 2007. Introduction to Papua, in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Baker, William J. and John Dransfield (with drawings by Patricia K.R. Davies, Soejatmi Dransfield and Lucy T. Smith) 2006. Field Guide to the Palms of New Guinea, Richmond, Kew Publishing Ballard C, 2005. Still good to think with: the sweet potato in Oceania in Chris Ballard, Paula Brown, R. Michael Bourke and Tracy Harwood (eds). The Sweet Potato in Oceania: A Reappraisal. Pittsburgh and Sydney: Ethnology, University of Pittsburgh and Oceania Publications, University of Sydney. Ballard C, 2000. Condemned to repeat history? ENSO-related drought and famines in Irian Jaya, Indonesia, 1997-98, in (eds) Grove R and Chappell, J., El Nino-- History and Crisis, Studies from the Asia-Pacific Region, Boissiere M and Purwanto Y, 2007. The Agricultural Systems of Papua, in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Bowe M, 2007. Community-based conservation in the Trans-fly region in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Bourke M, 2001. Intensification of agricultural systems in Papua New Guinea, Asia Pacific Viewpoint, Vol. 42, No. 2/3, August/December 2001, pp 219-235 BP 2004. BP Sustainability Report 2003, London, BP International. BP Indonesia 2005. Summary Environmental Impact Statement: Tangguh LNG Project in Indonesia, Jakarta, BP Indonesia BPS, 2007. Papua Dalam Angka 2006, BPS and Pemda Propinsi Papua, Jayapura. Cannon J, 2007. Natural Resource Economics of Papua, in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Carr, F. 1998. Membramo madness, Inside Indonesia No. 55, July-September 1998. Casson A, Setyarso A, Boccucci M and Brown D, 2007. A Multi-stakeholder Action Plan to Curb Illegal Logging and Improve Law Enforcement in Indonesia, WWF-World Bank Alliance Publication, Jakarta. Chauvel, Richard and Ikrar Nusa Bhakti 2004. The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies, Policy Studies, No. 5, Washington, D.C., East-West Center Washington 112 Penilaian Papua Clifton, J. 2003. Prospects for co-management in Indonesia's marine protected areas, Marine Policy 27, 289-295, Elsevier Science. DTE, 2005: Tangguh Project Update 2005, Down to Earth No. 65, cited 12/09/08, http:// dte.gn.apc.org/65TUP.HTM. EIA/Telapak. 2005: The Last Frontier: Illegal logging in Papua and China's Massive Timber Theft, EIA/Telapak, Jakarta. Filer C and Napitupulu 2007. Driver of Biodiversity Loss: A New Guinea Initiative: Preliminary Analytical Studies, Draft Report for WWF. Flassy, Don A.L. 2004. Sinkronisasi. UU-RI No. 21/2001 versus UU-RI No.45/1999: Tegakkan Wibawa dan Wujudkan Kedamaian di 7 Wilayah Satuan Adat Papua, Jayapura Frazier S, 2007. Threats to Biodiversity in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Freeport McMoran Copper and Gold Inc. [Freeport Indonesia] 2004. Working Towards Sustainable Development Report 2003. The Strenght of Our Commitment, New Orleans, Freeport McMoran Copper and Gold Inc. Garnaut, Ross and Chris Manning 1974 Irian Jaya: The transformation of a Melanesian Economy Canberra: Australian National University Press. Germer, J. and Sauerborn, J. 2007: Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance, Environment Development and Sustainability 14 Feb 2007, Springer Netherlands. Hope G and Hartemink 2007. Soils of Papua in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Hughes Philip, 2005. The difficult problem of measuring the village-level socio- economic benefits of road rehabilitation projects in rural Asia and Papua New Guinea, Resource Management in Asia-Pacific Project Working Paper No.62, Australian National University. Hansen, M., Potapov, P. and Pittman, K. 2006. Forest Change in Indonesia 2000- 2006, unpublished report on summer workshop held at South Dakota State University's Geographic Information Science Center of Excellence, South Dakota State University, Brooking, USA. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006) Howard, Michael C. and Naffi Sanggenafa (Eds.) 2005. Indigenous Peoples and Migrants of Northern Papua, Indonesia, Bangkok, White Lotus. ICG, 2003. Dividing Papua: How not to do it, International Crisis Group Briefing, Jakarta/Brussels. ICG, 2002. Indonesia: Resources and Conflict in Papua, International Crisis Group, Report No. 29, Jakarta/Brussels. ICG (International Crisis Group) 2006. Papua: Answers to Frequently Asked Questions, Asia Briefing No. 53 (5 Sept 2006), Jakarta, International Crisis Group (Indonesia). IFES, 2003. Papua Public Opinion Survey Indonesia, International Foundation for Election Systems, Jakarta. Indonesia. Pemerintah Daerah Papua Tingkat I 2005. Papua Public Expenditure Analysis. Regional finance and service delivery in Indonesia's most remote province, Jayapura and Makassar, Pemda Papua Tk.I in collaboration with the Support Office for Eastern Indonesia (SOfEI), The World Bank, and the Dutch Trust Fund. Penilaian Papua 113 Indonesia. Badan Pusat Statistik. with BAPPENAS and the UNDP 2004. Indonesia Human Development Report 2004: The Economics of Democracy. Financing Human Development in Indonesia, Jakarta, BPS Statistics Indonesia, BAPPENAS and UNDP. IPB. 1999. Kajian nilai hutan produksi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kemp, Neville J. and John Burke Burnett 2006 (revised 2003 publication). A biodiversity risk assessment and recommendations for risk management of Long tailed macaques (Macaca fascicularis) in New Guinea, Washington, DC and Jakarta, Indo-Pacific Conservation Alliance Kim, Young Cheol. 2002. A Tropical forest management model based on concept of total economic value. Unpublished dissertation. Gajah Mada University. Yogyakarta. Manurung, T. 2001. Economic Valuation Analysis on Palm Oil Estate Investment in Indonesia. NRM/EPIQ. Jakarta. Marshall, Andrew J. and Bruce Beehler 2007: Ecology of Papua, Part I & II (Ecology of Indonesia Series), Singapore, Periplus Editions Max J. Tokede, dkk. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua. Bogor. Max J. Tokede, dkk. 2005. Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan di Kabupaten Manokwari. Bogor. McGibbon, Rodd, 2004. Plural Society in Peril: migration, economic change, and the Papua conflict, Policy Studies 13, East West Center. Ministry of Forestry, in collaboration with South Dakota State University, World Resources Institute and the World Bank, 2006. Forest Change in Indonesia (2000-2006), Unpublished report. Mous J, Pet J, Arifin Z, Djohani R, Erdmann M, Halim A, Knight M, Pet-Soede L, Wiadnya G, 2005, Policy Needs to Improve Marine Capture Fisheries Management and to Define A Role For Marine Protected Areas in Indonesia, Fisheries Management and Ecology, 12, 259-268, Blackwell Publishing. NRM/EPIQ dan SHK Kaltim, 2000. Valuasi Sistem Pengelolaan Hutan Secara Tradisional oleh Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Manfaat dari sistem tradisional dibandingkan dengan sistem alternatif. Jakarta. Patlis J, 2005. The Role of Law and Legal institutions in Determining the Sustainability of integrated Coastal Management Projects in Indonesia, Ocean and Coastal Management 48 (450-467), Elsevier. Paull D, Banks G, Ballard C, Gillieson D, 2006. Monitoring the Environmental Impact of Mining in Remote Locations through Remotely Sensed Data, Geocarto International Vol. 21, No.1, Geocarto International Centre, Hong Kong. PEACE, 2007. Indonesia and Climate Change: working paper on current status and policies, the World Bank, Jakarta. Pembina Tkt. I (Peneliti Madya) Penjabat Fungsional Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Provinsi Papua Petocz, R.G. 1987, Konservasi alam dan pembangunan di Irian Jaya: strategi pemanfaatan sumber daya alam secara rasional, diterjemahkan oleh Slamet Soeseno, Jakarta, Pustaka Grafitipers. Ploeg, Anton (Guest Editor) 1970 Land Tenure in West Irian, New Guinea Research Bulletin No.38, New Guinea Research Unit Committee, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra and Boroko. 114 Penilaian Papua Polhemus, Dan A.; Ronald A. Englund and Gerald R. Allen 2004. Freshwater biotas of New Guinea and nearby islands: analysis of endemism, richness, and threats, Honolulu, Bishop Museum SEKALA, 2005. Important and Influential Stakeholders in Papua, report written for WWF Indonesia, Bali. SEKALA, 2006. Institutional Opportunities and Challenges for WWF in Papua, report prepared for WWF Indonesia. Simangunsong, B. C. H. 2003. The Economic value of Indonesia's natural production forest. Indonesian Working Group on Forest Finance. Jakarta. Simangunsong, B. C. H. 2004. The Economic Performance of Indonesia's Forest Sector in the Period 1980-2002. GTZ-SMCP. Jakarta. State Ministry of Environment, 2006. Protected Area Funding in Indonesia, A study implemented under the programmes of work on protected areas of the Seventh Meeting of the Conference of Parties on the Convention on Biological Diversity. Sullivan, Dr Laurence 2003. Challenges to Special Autonomy in the Province of Papua, Republic of Indonesia, SSGM Discussion Paper No.6, 2003, Canberra, State, Society and Governance in Melanesia Project, Australian National University Sumule, Agus 2003 Satu Setengah Tahun OTSUS PAPUA: Refleksi dan Prospek, Manokwari: Yayasan ToPanG. Sumule A, 2002. Protection and Empowerment of the Rights of Indigenous People of Papua (Irian Jaya) Over Natural Resources Under Special Autonomy: From legal opportunities to the challenge of implementation, RMAP Working Paper Series, Resource Management in Asia-Pacific Program, Australian National University. Tebay, Fr Neles 2005. West Papua: The struggle for peace and justice, London, Catholic Institute for International Relations (CIIR) Telapak 2005 (Feb). The Last Frontier: Illegal Logging in Papua and China's Massive Timber Theft, Jakarta, Telapak Timmer, Jaap 2005. Decentralisation and elite politics in Papua, Discussion Paper 2005/6, Ceanberra, State, Society and Governance in Melanesia (SSGM) Project, Australian National University. Timmer, Jaap, 2007. A Brief Social and Political History of Papua, 1962-2005 in (eds) Marhall A & Beehler B, The Ecology of Papua Part One: The Ecology of Indonesia Series Volume VI, Periplus, Singapore. Tokede M, Wiliam D, Widodo, Gandhi Y, Imburi C, Patriahadi, Marwa J, Yufuai M, 2005. The Impact of Special Autonomy on Papua's Forestry Sector: Empowering Customary Communities (Masyarakat Adat) in Decentralised Forestry Development in Manokwari District, Case Study 13 on Decentralisation and Forests in Indonesia, CIFOR, Jakarta. UNDP, 2005, Papua Need Assessment: An overview of findings and implications for the programming of development assistance, UNDP, Jakarta. WALHI (Indonesian Forum for Environment) 2006. The Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto's Copper and Gold Mining Operation in Papua, Jakarta, WALHI Wenehen, Agustinus 2005. Petskha vai: konflik tanah pada orang Walsa di Papua, Yogyakarta, Kunci Ilmu (with The Ford Foundation) Wing, John and Peter King 2005. Genocide in West Papua? The Role of the Indonesian state apparatus and a current needs assessment for the Papuan people, Sydney Penilaian Papua 115 West Papua Project, Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS), University of Sydney with Elsham Papua Wösten, J.H.M., A. B. Ismail and A.L.M. van Wijk 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78, 25-36. World Bank, 2005. Regional Finance and Service Delivery in Indonesia's Most Remote Region: Papua Public Expenditure Analysis, World Bank. World Bank, 2007. A brief review of the Infrastructure Expenditure Priorities for Papua and West Papua in 2008, World Bank report. WWF Indonesia, 2003. BSSE Biophysical and Socio-economic Assessment Report Indonesian Territory--North Papua, WWF Indonesia, Sahul Region, Papua Marine Program, unpublished report, Jakarta. Yahya, H. Machmud; Bernard T. Wahyu Wiryanta 2005. Khasiat & manfaat buah merah: si emas merah dari Papua, Jakarta, AgroMedia. 116 Penilaian Papua Penilaian Papua 117 Lampiran 1 : KEGIATAN YANG DILAKUKAN UNTUK STUDI INI Kegiatan-kegiatan berikut yang dilakukan untuk studi ini antara bulan Agustus 2007 hingga April 2008. Mulai kegiatan Tim mulai bekerja segera setelah kontrak ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2007. Pada bulan September, pemimpin tim (Yohanes I Ketut Deddy Muliastra dari Sekala) berkomunikasi dengan para ahli internasional untuk SEA untuk mengembangkan pendekatan metodologi untuk SEA. Pemimpin tim juga berkomunikasi dengan semua tim untuk mengembangkan rencana kerja yang lebih detail dan memastikan semua anggota tim mengerti dan setuju dengan metode dan pendekatan yang diusulkan. Setiap anggota tim diberikan tugas dengan ouput yang jelas. Konsultasi dengan para pihak utama untuk memulai penilaian Segerasetelahkontrakditandatangani,pimpinantimmengunjungiJayapurauntukbertemu dan berkonsultasi dengan para pihak utama tentang SEA di Papua dan mendapatkan masukan dari mereka untuk membangun proses ini. Pimpinan tim juga mendiskusikan usulan waktu dan harapan dari para pihak utama di Papua. Pada waktu itu dia bertemu dengan beberapa para pihak utama seperti: · Bpk Alex Rumaseb, Kepala Bappeda, Provinsi Papua · Bpk Agus Sumule, Penasehat Khusus Gubernur Provinsi Papua. · Marthen Kayoi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua · Noah Kapisa, Kepala Badan Pengukungan Kawaasan Hutan Wilayah X. · Benja Mambai, Direktur WWF Papua. · Edison Giyai dari PPMA. Pertemuan-pertemuan ini difasilitasi oleh PCSSF, partner lokal kami di Papua. Penilaian Dasar Sekala melakukan pengumpulan dan penelaahan literatur tentang Papua segera setelah kontrak ditandatangani pada bulan Agustus 2007. Tugas ini menghasilkan akumulasi tumpukan materi tentang rencana pembangunan di Papua, perencanaan ruang, sumber daya alam, peraturan dan perundangan dan pemerintahan. Materi ini telah ditelaah oleh tim dan digunakan untuk mengembangkan skenario pembangunan dan menilai rencana ruang di Papua. Penilaian para pihak PCSSF mulai melakukan analisis para pihak yang komprehensif pada bulan September 2007. Sebuah kuisioner dibuat untuk memandu analisis para pihak dan memastikan terarahnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke para pihak utama (kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 1). Sekitar 40 para pihak telah diwawancara. Analisis para pihak dilakukan untuk: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis bermacam-macam kelompok yang diprioritaskan dan menganalisis pengaruh mereka dalam pembangunan di Papua; 2. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak pada masyarakat dan kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari skenario-skenario pembangunan yang berbeda; 3. Mengidentifikasi dan menganalisis tingkatan kerugian yang berbeda sebagai dampak dan resiko pembangunan (fokusnya adalah pada orang asli Papua dan kelompok yang dirugikan lainnya). 118 Penilaian Papua Para pihak berikut adalah yang diutamakan pada proses penilaian: Pemerintah Sektor Swasta Masyarakat Sipil Lainnya Pemerintah provinsi BAPPEDA Transportasi Pertambangan Kehutanan Enterprise dev. Kesehatan Kelompok perempuan Pendidikan Pemuda Gereja Partai politik Pemerintah daerah Freeport Masyarakat asli Akademisi Gubernur BP PCSSF Media Bupati Wapoga FOKER AusAID Anggota DPRD Korindo Green Peace UNDP Anggota MRP BUMD WWF DFID Dewan Adat Papua Conservation World Bank International (CI) Pemerintah pusat PPMA Kantor presiden Lainnya? BAPPENAS Kehutanan Tentara dan polisi Pengumpulan Data Spasial Papua Selama menjalankan penilaian, Sekala meningkatkan kualitas basis data spasial Papua dan mengumpulkan data spasial baru tentang kelapa sawit, konsesi pertambangan, konsesi HPH, HTI dan daerah konservasi. Sekala juga mendigitasi data gambut Papua, daerah lahan basah dan tata ruang Papua yang baru. Data ini kemudian dianalisis dan digunakan untuk membangun skenario pembangunan yang berbeda-beda. Penilaian prioritas sosial Dari tanggal 24 September hingga 8 Oktober 2007 konsultan kemiskinan kami, Angel Manembu, melakukan penilaian pada prioritas sosial di Papua. Dia berkonsultasi dengan para pihak di Jayapura dan Asmat untuk: · Mengidentifikasi prioritas sosial (seperti misalnya aspirasi budaya, peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang dapat menjangkau daerah terisolasi melalui pembangunan seperti jalan dan jembatan, melindungi daerah keramat, dan menghargai hak-hak tradisional atas tanah). · Bersama-sama dengan anggota tim lain, membangun sekumpulan skenario untuk pembangunan spasial dengan sekumpulan asumsi-asumsi yang berbeda-beda tentang kebijakan pembangunan, pertumbuhan dan kualitas lingkungan, khususnya menyediakan masukan untuk peluang pengentasan kemiskinan dan perlindungan budaya. · Menilai dampak prioritas sosial, seperti tingkat migrasi sosial pedesaan/perkotaan, perubahan jumlah orang yang bermukim secara suka rela, perubahan di daerah yang terbebani kasus penguasaan lahan. · Menyediakan masukan untuk mengidentifikasi persentase masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan; perubahan dalam distribusi pendapatan; proyeksi PDB per kapita; perubahan dalam pendapatan pemerintah. · Menyediakan masukan pada analisis para pihak yang akan mengidentifikasi aspirasi pembangunan sosial dari para pihak yang berbeda-beda. Penilaian Papua 119 Partisipasi dalam perencanaan ruang dan pertemuan REDD Dari tanggal 2-8 Oktober 2007, empat anggota tim (Ketut Deddy, Benja Mambai, Hidayat Al Hamid, Maria Latumahina) berpartisipasi dalam dua pertemuan tingkat tinggi yang diadakan di Manokwari tentang perencanaan ruang dan pengurangan emisi dari degradasi hutan dan deforestasi. Pertemuan ini memberikan kesempatan kepada tim untuk mendiskusikan rencana pembangunan Papua dan rencana ruang dengan pejabat pemerintah provinsi Papua, ornop internasional dan lokal, dan sektor swasta. Pertemuan ini juga memungkinkan anggota tim untuk berkonsultasi dengan organisasi lain yang berencana membantu pemerintah Papua dalam proses perencanaan ruang mereka (misalnya CI, WWF dan IUCN). Selama pertemuan ini, semua peserta yang hadir memutuskan untuk bekerja bersama dalam membantu Papua dengan perencanaan ruang. Pelatihan SIG dan pembangunan skenario Sekala mengadakan beberapa pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam tahun ini. Program magang SIG yang dihadiri oleh peserta dari PTPPMA, Bappeda provinsi Papua dan BPKH X pada bulan Agustus 2007 bertujuan untuk membagi informasi tentang masalah perencanaan ruang di Papua dan mengenalkan alat SIG untuk tujuan perencanaan ruang. Pada tanggal 5 hingga 9 November 2007, Sekala bekerja sama dengan WWF melakukan lokakarya pelatihan SIG dan pembangunan skenario dengan software Marxan. Lokakarya ini kemudian diikuti dengan magang dari tanggal 12-14 November yang diikuti oleh Dinas Kehutanan dan Bappeda Kabupaten Jayawijaya. Di masa yang akan datang, pelatihan dan magang ini akan dikembangkan lagi dengan mengundang peserta dengan tingkat `pengambil keputusan' untuk mengenalkan pembangunan skenario dengan menggunakan alat SIG serta mendiskusikan hasil dan akibat dari analisis. Pengkajian rencana ruang Papua baru Pada tahun 2006, Universitas Hasanudin (Makasar) ditugasi untuk merancang tata ruang Papua tahun 2006. Tata ruang dibutuhkan untuk mengakomodasi rencana pembangunan Papua dan mengalokasikan daerah untuk HPH, pertambangan, dan perkebunan. Pemerintah Papua menugasi Sekala dan mitranya untuk mengkaji rencana ruang ini sebagai bagian dari SEA dan mengusulkan penyempurnaan sebagai bagian dari lingkup pekerjaan yang dicantumkan dalam rencana kerja. Sekala melakukan digitasi tata ruang yang dirancang olah Universitas Hasanudin dan menilainya untuk memberikan usulan dan skenario alternatif untuk penilaian lingkungan stategis ini. Identifikasi prioritas ekonomi, lingkungan dan sosial Berdasarkan tugas yang disebutkan di atas, tim mengidentifikasi sejumlah prioritas ekonomi, lingkungan dan sosial. Prioritas-prioritas ini dijabarkan lebih rinci di bawah ini, yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu: Prioritas ekonomi · Pertambangan · HPH · Kelapa sawit · HTI · Pertanian · Jalan · Transport udara dan laut. · Perikanan 120 Penilaian Papua · Listrik · Telekomunikasi · Pariwisata Prioritas Sosial · Pengentasan kemiskinan · Kesehatan · Pendidikan · Keamanan pangan · Sanitasi · Kesejahteraan dan hak masyarakat asli Prioritas Lingkungan · Pemanasan global dan perubahan iklim · Deforestasi · Konservasi lahan gambut · Pengelolaan DAS, khususnya di Kabupaten Merauke · Konservasi laut · Pengelolaan konservasi darat Wawancara komprehensif untuk penentuan pilihan skenario Dari tanggal 4 hingga 16 Februari 2008, beberapa anggota tim, termasuk Ketut Deddy, Benja Mambai, Dolf Noppen dan Maria Latumahina, melakukan wawancara yang komprehensif dengan beberapa para pihak utama di Papua untuk a) memverifikasi prioritas sosial, lingkungan dan ekonomi dari berbagai para pihak dan b) mengidentifikasi pilihan skenario bermacam-macam perencanaan ruang. Pembuatan atlas Papua SEKALA mengumpulkan semua data spasial Papua yang tersedia untuk membuat atlas yang menggambarkan lokasi pertambangan yang ada sekarang dan direncanakan, HPH, perkebunan kelapa sawit dan HTI; lokasi lahan gambut; penunjukan kawasan hutan; statistik kependudukan; zona bahasa; zona perikanan; daerah konservasi dan sejumlah informasi lainnya. Atlas digunakan untuk mendiskusikan beberapa pengembangan scenario yang berbeda dan pilihan-pilihan dengan para pihak. Identifikasi pilihan pembangunan Tim lingkungan, sosial dan ekonomi dari SEKALA/PCSSF/Nordic bekerjasama dengan teknisi SIG SEKALA untuk membangun serangkaian pilihan pembangunan ruang dengan sekumpulan asumsi yang berbeda pada kebijakan pembangunan, pertumbuhan dan kualitas lingkungan. Faktor-faktor penting yang dipertimbangkan untuk membangun pilihan, diantaranya: · Business as usual (kelanjutan kebijakan pembangunan yang ada). · Peluang pengentasan kemiskinan. · Pilihan transportasi. · Peluang penciptaan sumber pendapatan. · Analisis kesesuaian lahan. · Pilihan penyimpanan karbon dan penghindaran deforestasi. · Konservasi lahan gambut. Beberapa dari pilihan ini telah divisualisasikan dalam bentuk peta. Dengan bentuk peta seperti ini akan memudahkan tim dalam menjelaskan pilihan ke para pihak di Papua dan untuk mendapatkan masukan dari mereka. Penilaian Papua 121 Penilaian pengaruh prioritas ekonomi, lingkungan dan sosial Tim SEA menilai konsekuensi ekonomi, lingkungan dan sosial secara kumulatif selama jangka waktu 5-10 tahun yang berkaitan dengan dua skenario:--1) skenario business as usual and 2) skenario pembangunan berkelanjutan. Kedua skenario ini dinilai berdasarkan indikator utama, seperti: · Ekonomi--persentase populasi dibawah garis kemiskinan; perubahan dalam distribusi pendapatan; proyeksi PDB per kapita per tahun; dan perubahan dalam pendapatan pemerintah. · Lingkungan--perubahan tutupan hutan alam; perubahan dalam emisi karbon. · Laju migrasi sosial pedesaan/perkotaan--perubahan jumlah orang yang bermukim secara alami (sukarela); perubahan wilayah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Pengumpulan, perbaikan dan peningkatan ketelitian data spasial untuk analisis SEKALAmengumpulkanbermacam-macamdataspasialdariberbagaisumber,memperbaiki data ini dan meningkatkan ketelitian data tersebut dengan mentransformasikannya ke data dasar kehutanan nasional Indonesia. Data ini dianalisis dan dinilai untuk mendapatkan sekumpulan skenario pembangunan. Koordinasi antar sektor Partner Papua kami, PCSSF bekerjasama dengan tim inti membantu pemerintah provinsi Papua untuk mengadakan pertemuan antar sektor dengan para pihak dari pemerintah maupun dari organisasi non pemerintah untuk mendiskusikan prioritas, pilihan, skenario, konsekuensi dan rekomendasi yang diidentifikasi selama pelaksanaan kegiatan. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk: · mendapatkan masukan untuk identifikasi prioritas ekonomi, lingkungan dan sosial; · mendaptkan masukan kumpulan skenario pembangunan ruang; · mendapatkan masukan tentang pengaruh prioritas ekonomi, lingkungan dan sosial; · mendapatkan masukan untuk hasil akhir dari SEA. Lokakarya pelatihan SEA Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelaporan kembali/lokakarya pengambil keputusan dengan para pihak, maka SEKALA dan PCSSF menyediakan waktu untuk diskusi pada kesempatan tertentu, seperti lokakarya untuk mengenalkan "apa itu SEA" dan bagaimana langkah SEA diterapkan dalam kasus penilaian strategis yang dilakukan sekarang ini. Bentuk pelaporan kembali/lokakarya pengambilan keputusan adalah merupakan langkah penting dalam proses SEA dan hal ini merupakan proses identifikasi skenario yang relevan untuk Papua sebagai dasar diskusi pada proses SEA, dari pada melakukan pengenalan teori dalam satu kelas pelatihan. Materi yang digunakan dalam lokakarya (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) terlampir dalam laporan ini pada Lampiran A.3. Analisis ekonomi dari skenario business-as-usual dan skenario pembangunan berkelanjutan Pada awal 2008, tim melakukan analisis konsekuensi sosial dan ekonomi dari skenario businessasusualdanskenariopembangunanberkelanjutan.Analisisinidilakukandengan perhitungan dan asumsi sederhana serta perumusan proyeksi. Pemodelan ekonomi yang sangat mendetail tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan data ekonomi dan ketersediaan informasi untuk Provinsi Papua. 122 Penilaian Papua Perhitungan ekonomi pada umumnya dihasilkan dari data sekunder yang diambil dari Balai Pusat Statistik provinsi (misalnya Provinsi Papua dalam Angka 2007), data spasial tutupan lahan dan nilai ekonomi sumber daya hutan keseluruhan dari beberapa penelitian (IPB, 1999; Simangunsong, 2004; dan Kim, 2002). Persiapan laporan penilaian dan catatan kebijakan Masukan dari semua anggota tim dikumpulkan dan disatukan dalam sebuah laporan yang komprehensif dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Laporan tidak hanya menilai skenario pembangunan yang berbeda, tetapi juga menyediakan sejumlah peta yang secara visual menggambarkan pilihan dan skenario yang didiskusikan dalam laporan ini. Lokakarya untuk presentasi hasil studi Pada pertengahan September 2008 diadakan lokakarya di Jayapura untuk mempresentasikan hasil studi dan mendiskusikan konsekuensi lingkungan, sosial dan ekonomi skenario pembangunan yang dijabarkan dalam laporan ini. Lokakarya ini dihadiri oleh pejabat pemerintah, organisasi non pemerintah, dan organisasi lainnya. Persiapan ringkasan laporan Ringkasan laporan 5 halaman tentang proses SEA dan laporan SEA telah disiapkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk memfasilitasi komunikasi tentang hasil dan temuan utama. Penilaian Papua 123 Lampiran 2: Kuisioner para pihak (stakeholder) Panduan penanya: Tanyakan pertanyaan dengan cara yang sama untuk tiap pihak (stakeholder). Jika jawaban tidak jelas, tanyakan klarifikasi. Teliti dan dengarkan pilihan kata dari para pihak. Tulis komentar yang para pihak katakan selain dari pertanyaan formal.. Biarkan para pihak untuk tidak menjawab jika dia tidak ingin menjawab. Jangan pernah berasumsi anda tahu jawaban dari para pihak ­ walaupun anda tahu. Usahakan tidak menanyakan pertanyaan yang mengarah ke jawaban tertentu: misalnya Apakah anda pikir ide yang bagus untuk membangun jalan dari Jayapura ke Merauke? Lebih baik tanyakan pertanyaan seperti berikut: "Menurut anda dimana lokasi yang strategis untuk pembangunan jalan?" SEBELUM BERTANYA­ Jelaskan pada para pihak informasi berikut: Masukan akan membantu pemerintah provinsi mengidentifikasi keinginan dan kekhawatiran dalam hubungannya dengan rencana kedepan Papua untuk menyiapkan rencana yang lebih baik. Masukan ini tidak dicatat sumbernya. Hanya kelompok para pihak yang dicantumkan dalam laporan ini. Ini bukan sebuah survei. Hanya beberapa individu terpilih yang dimasukkan dalam analisis para pihak. Bagian 1 ­ pertanyaan tentang pembangunan Papua 1-1 Apa visi pembangunan untuk Papua menurut anda? [Tulis dengan singkat] 1-2 Dari pilihan berikut, apa saja prioritas utama pembangunan di Papua menurut anda? [berikan angka untuk pilihan berbeda yang tercantum di bawah ini. 4 = prioritas tertinggi, 3 = prioritas tertinggi kedua, 2 = prioritas tertinggi ketiga, dan 1 = prioritas keempat.] ____ Menggali kemungkinan sektor pertambangan. ____ Menggali potensi pembangkit listrik tenaga air ­ terutama daerah pedesaan di Papua. ____ Memastikan lingkungan alam Papua dilindungi untuk generasi yang akan datang. ____ Memastikan akses transportasi yang murah ke dan dari pemukiman di Papua (untuk barang dan manusia) misalnya transportasi udara, jalan dan laut. (e.g. Air, Road, or Sea transportation). 124 Penilaian Papua ____ Memastikan pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk seluruh Papua. ____ Memperkuat peran Papua dalam produsen bio-fuel. ____ Membangun perkebunan (misalnya jenis palem-paleman, ubi jalar dan/ atau sagu). ____ Memperkuat hutan rakyat. ____ Memastikan kehutanan berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam. ____ Memperkuat kapasitas untuk pembangunan masyarakat pedesaan di Papua. ____ Memastikan pembagian keuntungan yang lebih adil dari sumber daya alam di Papua. ____ Lain-lain. Apa? 1-3 Mengapa anda memprioritaskan empat hal tersebut diatas? [tulis beserta alasan] 1-4 Bagaimana prioritas pembangunan ini menguntungkan Papua? [tulis beserta alasan] 1-5 Dalam pandangan anda, apa tantangan dan hambatan utama untuk mencapai prioritas ini? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ Lemahnya kapasitas pemerintah ____ Lemahnya kapasitas sektor swasta ____ Lain orang lain prioritasnya ­ siapa/apa? ____ Secara teknis dan secara geografis sangat sulit 1-6 Menurut anda, apa kekuatan dan peluang utama untuk mencapai prioritas ini? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ Komitmen pemerintah (siapa? Departemen yang mana?) ____ Komitmen sektor swasta (siapa?) ____ Lain-lain? Bagian 2 ­ pertanyaan tentang "dampak alam" pembangunan Papua 2-1 Menurut anda, apa saja dampak dari `kesempatan eksplorasi tambang' terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] Penilaian Papua 125 ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-2 Menurut anda, apa saja dampak dari `eksplorasi sumber daya listrik khususnya di pedesaan Papua' untuk mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis besarta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-3 Menurut anda, apa saja dampak dari `perlindungan lingkungan alam Papua' untuk mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis besarta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-4 Menurut anda, apa saja dampak dari `pembangunan sistem transportasi untuk seluruh Papua' terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-5 Menurut anda, apakah dampak dari "pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan" terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] 126 Penilaian Papua ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-6 Menurut anda, apa saja dampak dari "pembangunan peran Papua sebagai produsen bio-fuel" terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-7 Menurut anda, apa saja dampak "memastikan pengelolaan hutan dan sumber daya alam berkelanjutan" terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-8 Menurut anda, apa saja dampak "memfokuskan pada pembangunan masyarakat" terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? 2-9 Menurut anda, apakah dampak "memfokuskan pada pembagian pendapatan yang adil dari sumber daya terhadap mayoritas masyarakat yang hidup di Papua? [tulis beserta alasan, atau centang pilihan di bawah ini] Penilaian Papua 127 ____ masyarakat kehilangan lahan? ____ kehilangan mata pencaharian? ____ meningkatkan mata pencaharian? ____ kehilangan budaya dan/atau identitas? ____ peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan? ____ meningkatkan pendapatan? ____ lain-lain? Apa? [Tulis komentar tambahan dan informasi yang relevan dari para pihak] Bagian 3 ­ pertanyaan tentang pengaruh rencana ruang Papua 3-1 Apakah anda tahu rencana ruang Papua? [Pilih] ____ Ya ____ Tidak 3-2 [Jika Ya] Apakah anda tahu apa saja yang diusulkan dalam rencana ruang Papua? [Pilih] ____ Ya ____ Tidak 3-3 [Jika jawabannya Ya] Apa yang anda lihat sebagai prioritas utama rencana ruang untuk Papua? 3-4 Apakah anda punya masukan (pengaruh) dalam perencanaan ruang Papua? [Pilih yang relevan] ____ Tidak tahu ____ Sedikit/tidak ada pengaruh ___ Agak berpengaruh ____ Banyak berpengaruh ____ Sangat berpengaruh Bagian 4 ­ pertanyaan tentang konsultasi dan mekanisme keberatan untuk persiapan rencana ruang [Jelaskan praktek terbaik global "free, prior and informed consent"] 4-1 Menurut anda, siapa yang harus berpengaruh dalam persiapan rencana ruang Papua? [tulis jawaban] 128 Penilaian Papua 4-2 Menurut anda, bagaimana sebaiknya rencana ruang disosialisasikan di Papua? [tulis jawaban] 4-3 Jika kelompok para pihak di Papua dipengaruhi secara negative oleh usulan rencana ruang, apakah anda memiliki saran tentang bagaimana seharusnya mereka mengajukan keluhan? Mekanisme seperti apa yang baik menurut anda? [tulis jawaban] 4-4 Jika kelompok para pihak di Papua dipengaruhi secara negatif oleh usulan rencana ruang, apakah anda punya saran bagaimana mencegah dampak negatifnya? Misalnya kompensasi untuk lahan yang dipakai. [tulis jawaban] Bagian 5 ­ pertanyaan latar belakang para pihak/yang diwawancara 5-1 Pendidikan __________________ 5-2 Pekerjaan __________________ 5-3 Institusi/organisasi __________________ 5-4 Tempat tinggal __________________ 5-5 Suku __________________ 5-6 Nama __________________ 5-7 Jenis kelamin __________________ Penilaian Papua 129 RingkasanLampiran 3: komunikasi 130 Penilaian Papua Penilaian Papua 131 Lampiran 4: Materi lokakarya pelatihan untuk penilaian strategis lingkungan (SEA) Lampiran ini memberikan penjelasan proses SEA dan meletakkannya dalam konteks penilaian strategis rencana ruang di Papua. Akan didiskusikan tentang apa itu SEA dan bagaimana penerapannya dalam konteks provinsi Papua, termasuk pembangunan skenario utama. Selain itu dibutuhkan beberapa langkah untuk mengambil keputusan. Lampiran ini menggambarkan panduan praktis tentang SEA yang baik dari OECD DAC. Apa itu SEA? SEA adalah sebuah proses untuk menganalisis dan menjawab dampak lingkungan serta konsekuensi dari rencana kebijakan, perencanaan dan aksi strategis lainnya. Proses ini dilakukan untuk menyediakan informasi pengambilan keputusan yang baik, dan berguna sebagai alat untuk mempertimbangkan isu lingkungan dalam perencanaan dan pembuatan keputusan pembangunan. Perubahan ke arah instrumen kerjasama pembangunan yang baru seperti dukungan pendanaan langsung, reformasi kebijakan, dan program yang mendukung sektor luas menciptakan pendekatan penilaian lingkungan yang berbeda, dan lebih strategis daripada yang dipakai di tingkat proyek (AMDAL ­ analisis mengenai dampak lingkungan). SEA ­ didefinisikan sebagai sekumpulan pendekatan analitis dan partisipatif yang bertujuan mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan, rencana dan program, dan mengevaluasi hubungan antara pertimbangan sosial dan ekonomi8­ merespon kebutuhan ini. SEA memungkinkan penyatuan pertimbangan lingkungan sejalan dengan aspek sosial dan ekonomi dalam pengambilan keputusan strategis pada semua tingkat dan tahap pembangunan. Aspek penting dalam konteks provinsi Papua dimana pengentasan kemiskinan, bersamaan dengan keamanan pangan, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dan aksi persetujuan adalah prioritas pembangunan, dan hanya 3% wilayah Papua berada di luar kawasan hutan. Syarat legal untuk mengimplementasikan SEA dalam konteks program sepertinya memiliki pengaruh yang signifikan pada lingkungan. Sehingga instruksi Uni Eropa tentang SEA9 yang berlaku pada tahun 2004 bagi semua negara anggota Uni Eropa, dan konvensi kenekaragaman biologi10 mendorong penerapan penggunaan SEA. Beberapa contoh SEAyang dilakukan oleh NCG adalah: (i) SEAuntuk pilihan transportasi, untuk mengangkut mineral (titanium dan besi) di Mozambique; (ii) SEA untuk koridor jalan strategis di Zambia barat; (iii) SEA untuk komponen keanekaragaman hayati program kerjasama lingkungan Denmark dan Malaysia. Banyak contoh lain dapat ditemukan dalam literatur seperti panduan OECD/DAC. Meliputi, misalnya (i) SEA rencana penggunaan lahan Sperrgebiet, di Namibia; (ii) Penilaian lingkungan regional untuk perlindungan banjir Argentina, (iii) Komisi rencana pembangunan lembah sungai Mekong; dan (iv) Analisis sektor lingkungan dari perubahan pinjaman sektor air Indonesia.11 8Panduan OECD DAC dan seri referensi: Penerapan Penilaian Strategis Lingkungan (panduan praktek yang baik untuk kerjasama pembangunan), 2006. 9 Instruksi Uni Eropa (2001/42/EC) tentang Penilaian Pengaruh Rencana Tertentu dan Program pada Lingkungan. 10 CBD Pasal 6b dan Pasal 14; Keputusan tentang SEA pada COP 8 dari CBD. Lihat di situs internet berikut: http://www. cbd.int/decisions/?m=COP-08&id=11042&lg=0 - _Toc124570467 11 Contoh diambil dari panduan OECD DAC. http://www.oecd.org/dataoecd/4/21/37353858.pdf 132 Penilaian Papua Langkah-langkah dalam proses:- Biasanya SEA terdiri dari empat tahap: · Membangun konteks untuk SEA · Mengimplementasikan SEA · Menginformasikan dan mempengaruhi pengambilan keputusan · Pemantauan dan evaluasi. Membangun konteks untuk SEA Penyaringan (Screening) Tahap pertama pada proses ini adalah permintaan dari pemerintah Papua ke Bank Dunia untuk membantu dalam penilaian (lingkungan) strategis rencana ruang Papua. Pemerintah Papua mengidentifikasi ini sebagai langkah yang penting dan perlu. Namun penilaian ini tidak mengabaikan kemungkinan SEA dilakukan lebih khusus di masa yang akan datang ketika diambil keputusan pada bermacam-macam skenario yang potensial dibangun sebagai bagian dari proses SEA. Beberapa contoh dari bermacam-macam program dimana SEA dapat menjadi relevan dijelaskan pada pendahuluan. SEA didesain untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi alternative yang sesuai. Semakin cepat SEA dikenalkan pada perumusan kebijakan dan perencana, semakin besar kesempatan dalam mengidentifikasi kesempatandanmempengaruhihasil. Sumber:PanduanOECDDAC(hal.5) Sebagai bagian dari kontekstualisasi SEA, para pihak dari pemerintah dan non pemerintah diidentifikasi (termasuk sektor swasta, organisasi non pemerintah dan kelompok sipil). As part of the contextualization of the SEA, key government and non-government stakeholders are identified (including the private sector, NGOs and civil society). Pengimplementasian SEA Pencakupan (Scoping) Pendefinisian fokus dan pengidentifikasian pokok permasalahan bersama dengan para pihak utama. Melihat apa yang sudah terjadi (skenario `tidak ada perubahan') dan apa yang sudah direncanakan, dan mencari potensi alternatif. Tantangan di Papua adalah menghindari model perencanaan sektoral dan mengarah pada yang berorientasi spasial ­ membawa elemen-elemen dari sektor berbeda dan dimasukkan dalam fokus berdasarkan wilayah. Dasar (Baseline) Mengumpulkan bahan dan menyatukannya dalam pekerjaan pemetaan yang menyajikan data yang ada ­ seperti Atlas Data Spasial yang sudah disiapkan. Format digital dipilih untuk mengintegrasikan data ke dalam sekumpulan peta yang memungkinkan untuk penambahan dan pembaharuan baik basis data maupun peta sehingga informasi menjadi tersedia. Kegiatan pemetaan juga memungkinkan pembuatan tumpang tindih secara visual untuk skenario yang berbeda. Penilaian Papua 133 Untukrencanaruang,dasar(baseline)biasanyaberupacadanganasetalamtermasukdaerahsensitif,habitatyangkritis dankomponenekosistemyangbernilai.Untukperencanaansektor,dasarakantergantungpadajenisutamaantisipasi dampaklingkungan,danpemilihanindikatoryangtepat. Sumber:PanduanOECDDAC,hal.57. Penilaian ­ identifikasi alternatif Penilaian skenario yang berbeda sebaiknya dihubungkan dengan tujuan pembangunan secara keseluruhan di Papua. Ini berarti bahwa diperlukan konteks rencana spasial dalam kerangka kerja pengentasan kemiskinan dan peningkatan mata pencaharian, menghargai prioritas: keamanan pangan, infrastruktur, kesehatan, pendidikan, peningkatan kesejahteraan dan hak dari masyarakat adat Papua. Semua ini dalam konteks mendukung pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ­ sangat penting sekali bagi daerah yang 90% dari wilayahnya merupakan kawasan hutan. Pembangunan skenario. Penilaian konsekuensi lingkungan yang diperkirakan berubah dalam skenario `tidak ada aksi'. Identifikasi alternatif didasarkan pada pengumpulan data yang tersedia, wawancara para pihak dan lokakarya para pihak. Pelibatan pengambil keputusan penting tetapi sebaiknya hal ini merupakan proses inclusif yang melibatkan sejumlah besar para pihak. Pengidentifikasian daerah intervensi pokok dengan konsekuensi lingkungan dan social. Jadi, beberapa potensi daerah intervensi yang berbeda telah diidentifikasi: · Skenario transportasi dan akses · Skenario tambang · Skenario kehutanan · Skenario Mamberamo Pekerjaan selanjutnya dengan skenario yang berbeda akan memperkuat kesempatan dan mencegah dampak. Inspirasi didapatkan dari agenda diskusi tentang lingkungan dan perubahan iklim selama konferensi Bali. LaporanakhiryangmenjabarkankesimpulandariSEAakanringkasdenganilustrasigrafis dan ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti untuk menyediakan dasar pelibatan lebih lanjut dari stakeholder (termasuk kelompok sipil) untuk mendiskusikan pilihan dan mengijinkan mengambil pilihan yang diinformasikan. Ini harus meliputi: · Dampak utama dari tiap alternatif. · Kekhawatiran para pihak termasuk daerah yang disetujui dan diperdebatkan, dan rekomendasi untuk membuat para pihak diinformasikan tentang implementasi dari rekomendasi tersebut. · Usulan peraturan pencegahan dan penyempurnaan. · Merasionalisasi usulan beberapa pilihan yang disukai dan menerima trade off yang signifikan. · Usulan rencana untuk implementasi (dan pengawasan). · Keuntungan yang diantisipasi dan masalah yang perlu diselesaikan. · Panduan untuk fokus dan merasionalkan persyaratan proses SEA atau AMDAL untuk pelengkap, untuk kegiatan lebih khusus seperti rencana lokal, program yang lebih khusus dan proyek-proyek tertentu. 134 Penilaian Papua Menginformasikan dan mempengaruhi pengambilan keputusan Peninjauan ulang/pengambilan keputusan Idealnya tersedia waktu yang cukup antara penyelesaian laporan SEA dan pengambilan keputusan pada bermacam-macam skenario untuk memungkinkan konsultasi publik. Pengawasan dan Evaluasi Bagaimana mengawasi ­ sistem pelacakan informasi di dalam dan di luar pemerintah provinsi. Hal ini mungkin perlu dibangun untuk tiap skenario. Bermacam-macam aktor dilibatkan dalam pengawasan: pemerintah provinsi dan pemerintah pusat; pemerintah lokal; organisasi non-pemerintah (Global Forests and Trade Network; FSC, dll); kelompok sipil.