68522 V. 2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BUKU II BADAN KOORDINASI KELUARGA KEMENTERIAN BERENCANA NASIONAL KEMENTERIAN DALAM NEGERI KEBUDAYAAN & PARIWISATA KEMENTERIAN KESEHATAN KEMENTERIAN NEGARA KEMENTERIAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEMENTERIAN NEGARA KOMUNIKASI & INFORMATIKA LINGKUNGAN HIDUP & PERLINDUNGAN ANAK PERUMAHAN RAKYAT KEMENTERIAN KEMENTERIAN KEMENTERIAN KEMENTERIAN PERTANIAN KEMENTERIAN SOSIAL PEKERJAAN UMUM PENDIDIKAN NASIONAL TENAGA KERJA & TRANSMIGRASI HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BUKU II ii HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) KATA PENGANTAR Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan penting dan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya berimplikasi pada penyelenggaraan pelayanan publik di daerah. Sesuai dengan ketentuan pasal 11 dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Peraturan Pemerintah tersebut merupakan acuan bagi Kementerian/ Lembaga dalam penyusunan SPM dan menjadi pokok-pokok acuan bagi pemerintah daerah dalam penerapan SPM. Sehubungan dengan ketentuan PP tersebut, maka semua peraturan dan perundang- undangan yang berkaitan dengan SPM wajib untuk disesuaikan. Kementerian Dalam Negeri selaku koordinator tim konsultasi mempunyai peran yang penting di dalam memfasilitasi proses penyusunan SPM bersama Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait. Hingga kuartal pertama tahun 2011 ini telah ditetapkan SPM dari 13 Kementerian/ Lembaga yaitu dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. SPM yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga tersebut selanjutnya menjadi acuan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggung jawaban di daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyusunan Dokumen Perencanaan Daerah telah mencantumkan SPM dalam proses penyusunan perencanaan daerah, serta evaluasi pelaksanaannya, setelah secara jelas juga dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan peraturan terkait lainnya. SPM pada penerapannya diharapkan dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kelembagaan dan personil. Kementerian Dalam Negeri selaku koordinator tim konsultasi penyusunan SPM bersama Kementerian/Lembaga terkait tentunya akan terus melakukan koordinasi untuk penyempurnaan peraturan dan kebijakan SPM yang lebih efisien dan aplikatif sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam melaksanakan SPM yang merupakan bagian dari pelayanan dasar dalam urusan wajib, selain sosialisasi konsep penetapan dan petunjuk teknis pelaksanaannya yang dilakukan, tetapi juga diperlukan pemetaan kondisi awal SPM terkait di daerah, khususnya pada SKPD terkait untuk menentukan penetapan target pencapaian sasaran SPM pada tahun berjalan dan tahun berikutnya hingga memenuhi standar capaian SPM secara nasional, penghitungan rencana pembiayaan untuk sasaran HIMPUNAN PRODUK HUKUM iii STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) capaian tiap tahunnya, dan mengintegrasikan SPM tersebut ke dalam dokumen perencanaan. Langkah langkah tersebut merupakan suatu prasyarat agar SPM dapat diterapkan secara utuh untuk kemudian dapat dianggarkan, dilaksanakan, dan dievaluasi pencapaiannya sebagai bahan kajian pelaksanaan pelayanan dasar pada tahun berikutnya. Dengan penetapan SPM beserta indikator dan tahun pencapaian, Petunjuk Teknis berisi kegiatan yang perlu dilakukan untuk pelaksanaan pencapaian sasaran SPM, dan Petunjuk Teknis Perencanaan Pembiayaan kegiatan pelaksanaan pencapaian sasaran indikator SPM merupakan langkah awal yang harus disiapkan sehingga pemerintah daerah dapat memahami konsep dan indikator SPM. Dengan upaya pengelolaan data dasar SPM dari setiap SPKD dan instansi terkait, maka Petunjuk Teknis dan Petunjuk Perencanaan Pembiayaan SPM lebih lanjut dapat dipergunakan bagi pelaksanaan SPM di Daerah. Penerbitan buku “Himpunan Produk Hukum SPM� ini merupakan salah satu bentuk dukungan dari Kementerian Dalam Negeri kepada pemerintah daerah maupun kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka penyebaran informasi mengenai peraturan-peraturan dan kebijakan terkait SPM yang akan menjadi referensi dasar untuk penyusunan perencanaan dan penganggaran daerah. Semoga buku yang dilengkapi dengan berbagai peraturan yang terkait SPM ini dapat memudahkan pemerintah daerah dalam memahami pentingnya SPM dan memenuhi kebutuhan akan percepatan penerapannya di daerah. Jakarta, 25 April 2011 Direktur Jenderal Otonomi Daerah rof. Prof. Dr. Djohermansyah Djohan iv HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) KATA SAMBUTAN Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku Himpunan Produk Hukum SPM. Saat ini Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah ditetapkan oleh 13 Kementerian/ Lembaga. Pemerintah menyusun dan menetapkan SPM untuk menjamin hak konstitusional setiap warga dalam memperoleh akses dan kualitas pelayanan dasar dalam mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat yang merupakan tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Dengan adanya peraturan-peraturan mengenai SPM berikut berbagai petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya, maka proses fasilitasi ke daerah harus dilakukan secara optimal melalui program sosialisasi maupun bimbingan teknis dengan penyedian materi yang memadai. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal, daerah dituntut untuk melakukan penerapan SPM dalam bentuk pengintegrasiannya ke dalam dokumen perencanaan daerah Sebagai salah satu bentuk dukungan Kementerian Dalam Negeri untuk penerapan SPM, maka dipandang perlu adanya penyediaan kompilasi berbagai peraturan dan perundang-undangan terkait SPM yang akan dibagikan kepada seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. Dengan dukungan ini, maka diharapkan pemerintah daerah di Indonesia dapat lebih memahami berbagai peraturan SPM dan mempercepat proses penerapannya di daerah. Dengan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para mitra pembangunan yang berasal dari program/lembaga luar negeri, yaitu: AIPD-AusAID, BASICS-CIDA, DeCGG- GIZ dan DSF (Decentralization Support Facility) yang telah membantu sehingga Himpunan Produk Hukum SPM ini dapat diterbitkan. Semoga buku ini dapat benar- benar bermanfaat dan menjadi referensi dasar untuk penerapan SPM dan peningkatan kinerja pemerintahan di daerah. Jakarta, 26 April 2011 Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi HIMPUNAN PRODUK HUKUM v STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) vi HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DAFTAR ISI KATA PENGANTAR iii KATA SAMBUTAN v DAFTAR ISI vii MATRIKS STATUS PERATURAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL ix PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 14 /PRT/M/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 1 PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR: PM.106/HK.501/MKP/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 67 PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 65/Permentan/OT.140/12/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 89 LAMPIRAN: 205 1. MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 2. CD - HIMPUNAN PERATURAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL HIMPUNAN PRODUK HUKUM vii STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) viii HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) MATRIKS STATUS PERATURAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL Peraturan Mengenai Pedoman Teknis No SPM di Bidang Peraturan yang Menetapkan SPM Peraturan mengenai Pedoman Teknis SPM Perencanaan Pembiayaan SPM 1 Perumahan Rakyat Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Lampiran I dan II Peraturan Menteri Negara Peraturan Menteri Negara Perumahan No.22/PERMEN/M/2008 Tentang Standar Perumahan No.22/PERMEN/M/2008Tanggal 30 Rakyat No.16/2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Desember 2008 Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2 Pemerintahan Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.62 tahun Negeri 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal - - Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota 3 Sosial Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Lampiran II Peraturan Menteri Sosial RI No.129/ Keputusan Menteri Sosial RI No.80/huk/2010 No.29/huk /2008 tentang Standar Pelayanan huk/2008 tanggal 6 November 2008 Tentang Tentang Panduan Perencanaan Pembiay- Minimal (SPM) Bidang Sosial Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial aan Pencapaian SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 4 Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No 741 Tahun Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 828/ Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 317/ 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal MENKES/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Teknis MENKES/SK/V/2009 Tentang Petunjuk Teknis Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Perencanaan Pembiayaan SPM bidang Kabupaten/Kota Kesehatan di Kabupaten/Kota 5 Pemberdayaan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Lampiran III Peraturan Menteri Negara Standar Pembiayaan Pelaksanaan SPM Bidang Perempuan dan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Perlindungan Anak Indonesia No.01 tahun 2010 tentang Standar Anak RI No.01/2010 Tentang Petunjuk Teknis Korban kekerasan Tahun 2010 Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Anak Korban Kekerasan 6 Lingkungan Hidup Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rancangan No.19 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan No.20 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Teknis Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM ix x Peraturan Mengenai Pedoman Teknis No SPM di Bidang Peraturan yang Menetapkan SPM Peraturan mengenai Pedoman Teknis SPM Perencanaan Pembiayaan SPM 7 Keluarga Berencana Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Lampiran II Peraturan Kepala BKKBN No.55/ Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga dan Sejahtera Berencana Nasional No.55/hk-010/b5/2010 hk-010/b5/2010 Tentang Petunjuk Teknis SPM Berencana Nasional No.231/Hk-010/B5/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Bidang KB dan KS Tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Pembiayaan Pencapaian Standar Pelayanan Kabupaten/Kota Minimal (SPM) Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota 8 Ketenagakerjaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Lampiran II Peraturan Menteri Tenaga Kerja Lampiran III Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Transmigrasi RI No.PER.15/MEN/X/2010 RI No.PER. 15/MEN/X/2010 Tentang Panduan No. PER.15/MEN/X/2010 Tentang Komponen Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Operasional SPM Bidang Ketenagakerjaan Biaya HIMPUNAN PRODUK HUKUM Bidang Ketenagakerjaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.PER.04/MEN/IV/2011 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Tentang Perubahan Atas Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER. 15/MEN/X/2010 9 Pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Keputusan Dirjen. Rancangan Republik Indonesia No.15/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota 10 Pekerjaan Umum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.14/ Lampiran II Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Rancangan PRT/M/2010 Tentang SPM Bidang Pekerjaan dan Penataan Ruang No.14/PRT/M/2010 Tentang Umum dan Penataan Ruang Petunjuk Teknis SPM Bidang Pekerjaan 11 Ketahanan Pangan Peraturan Menteri Pertanian No.65/Permentan/ Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No.65/ Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.65/ OT.140/12/2010 tentang Standar Pelayanan Permentan/OT.140/12/2010 tentang Petunjuk Permentan/OT.140/12/2010 tentang Petunjuk Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Teknis Perencanaan Pembiayaan Standar dan Kabupaten/Kota Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota 12 Kesenian Peraturan Menteri Kebudayaan & Pariwisata - - No.PM.106/HK.501/MKP/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian 13 Komunikasi dan Peraturan Menteri Kemkominfo No. 22/PER/M. - - Informasi KOMINFO/12/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Komunikasi dan Informatika di Kabupaten/Kota Catatan: Semua peraturan mengenai Penetapan SPM, Pedoman Teknis SPM dan Pedoman Teknis Perencanaan Pembiayaan SPM terdapat dalam CD terlampir. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 14 /PRT/M/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG LAMPIRAN I: STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG LAMPIRAN II: PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG HIMPUNAN PRODUK HUKUM 1 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 2 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) MENTERI PEKERJAAN UMUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 14 /PRT/M/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal perlu menetapkan Peraturan Menteri; Mengingat 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009; 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum; MEMUTUSKAN : Menetapkan : peraturan menteri pekerjaan umum tentang standar pelayanan minimal bidang pekerjaan umum dan penataan ruang. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 3 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. 2. Pelayanan Dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang adalah jenis pelayanan publik Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. 3. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian SPM berupa masukan, proses keluaran, hasil dan/atau manfaat pelayanan dasar. 4. Batas waktu pencapaian adalah batas waktu untuk mencapai target jenis pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang secara bertahap sesuai dengan indikator dan nilai yang ditetapkan. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD. 7. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah selanjutnya disingkat DPOD adalah dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden terhadap kebijakan otonomi daerah. 9. Pemerintah Daerah adalah Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 10. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum. Maksud Dan Tujuan Pasal 2 SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang diselenggarakan untuk mendukung penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat di Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagai acuan pemerintahan daerah dalam perencanaan program pencapaian target SPM. Ruang Lingkup Pasal 3 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi: 4 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG a. SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Daerah Kabupaten/Kota; b. Wewenang Penetapan; c. Pengorganisasian; d. Pelaksanaan; e. Pelaporan; f. Monitoring dan Evaluasi; g. Pengembangan Kapasitas; h. Pembinaan dan Pengawasan; dan i. Pembiayaan. BAB II SPM BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG DAERAH KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Daerah Kabupaten/Kota Pasal 4 1. Pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai dengan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang terdiri atas jenis pelayanan, indikator kinerja dan target. 2. Jenis pelayanan, indikator kinerja dan target sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum pada Lampiran I merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini. Pasal 5 1. Pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai dengan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. 2. SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan pelayanan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, meliputi jenis pelayanan berdasarkan indikator kinerja dan target tahun 2010 sampai dengan tahun 2014: a. Sumber Daya Air Prioritas utama penyediaan air untuk kebutuhan masyarakat 1. Jaringan a) Aksesibilitas Tersedianya jalan yang menghubungkan pusat–pusat kegiatan dalam wilayah kabupaten/kota. b) Mobilitas Tersedianya jalan yang memudahkan masyarakat perindividu melakukan perjalanan. c) Keselamatan Tersedianya jalan yang menjamin pengguna jalan berkendara dengan selamat. b. Jalan 2. Ruas a) Kondisi jalan Tersedianya jalan yang menjamin kendaraan dapat berjalan dengan selamat dan nyaman. b) Kecepatan Tersedianya jalan yang menjamin perjalanan dapat dilakukan sesuai dengan kecepatan rencana. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 5 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 c. Air Minum Tersedianya akses air minum yang aman melalui Sistem Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari. d. Penyehatan Lingkungan Permukiman (Sanitasi Lingkungan dan Persampahan) Air limbah permukiman a) Tersedianya sistem air limbah setempat yang memadai. b) Tersedianya sistem air limbah skala komunitas/kawasan/kota. Pengelolaan sampah a) Tersedianya fasilitas pengurangan sampah di perkotaan. b) Tersedianya sistem penanganan sampah di perkotaan. Drainase Tersedianya sistem jaringan drainase skala kawasan dan skala kota sehingga tidak terjadi genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) dan tidak lebih dari 2 kali setahun. e. Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan Berkurangnya luasan permukiman kumuh di kawasan perkotaan. f. Penataan Bangunan dan Lingkungan 1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota. 2. Harga Standar Bangunan Gedung Negara (HSBGN) Tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan Gedung Negara di kabupaten/kota. g. Jasa Konstruksi 1. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) Penerbitan IUJK dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah persyaratan lengkap. 2. Sistem Informasi Jasa Konstruksi Tersedianya Sistem Informasi Jasa Konstruksi setiap tahun. h. Penataan Ruang 1. Informasi Penataan Ruang Tersedianya informasi mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya melalui peta analog dan peta digital. 2. Pelibatan Peran Masyarakat dalam Proses Penyusunan RTR Terlaksananya penjaringan aspirasi masyarakat melalui forum konsultasi publik yang memenuhi syarat inklusif dalam proses penyusunan RTR dan program pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang. 3. Izin Pemanfaatan Ruang Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan izin pemanfaatan ruang sesuai dengan Peraturan Daerah tentang RTR wilayah kabupaten/kota beserta rencana rincinya. 4. Pelayanan Pengaduan Pelanggaran Tata Ruang Terlaksanakannya tindakan awal terhadap pengaduan masyarakat tentang pelanggaran di bidang penataan ruang dalam waktu 5 (lima) hari kerja. 5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan. 6 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG Pasal 6 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b mengenai pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi, kabupaten/kota dan jalan desa dengan indikator terpenuhinya standar teknis prasarana jalan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri tentang Tata Cara dan Persyaratan Laik Fungsi Jalan. BAB III WEWENANG PENETAPAN Pasal 7 1. Wewenang dan atau penetapan pedoman SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan daerah provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi urusannya. 2. Pemerintah kabupaten/kota dalam menerapkan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengacu pada SPM sebagaimana tercantum pada Lampiran I merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini. 3. Penetapan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan secara berkala berdasarkan evaluasi pencapaian SPM yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. 4. Pelaksanaan SPM dapat disempurnakan dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan daerah. BAB IV PENGORGANISASIAN Pasal 8 1. Gubernur bertanggung jawab dalam koordinasi penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). 2. Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. 3. Koordinasi dan penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. 4. Penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dilakukan oleh tenaga ahli dengan kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan sesuai bidangnya. 5. Pemerintah kabupaten/kota yang telah menyusun Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) dan belum ada unit yang menangani tugas pokok dan fungsi pembinaan jasa konstruksi dapat menunjuk atau menugaskan unit yang telah ada atau membentuk Unit Pelayanan Teknis atau Balai yang ada dibawah struktur organisasi Dinas Pekerjaan Umum. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 7 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 BAB V PELAKSANAAN Pasal 9 1. SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), merupakan acuan dalam perencanaan program pencapaian secara bertahap oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. 2. Perencanaan program pencapaian target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan petunjuk teknis SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana tercantum pada Lampiran II merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini. BAB VI PELAPORAN Pasal 10 1. Bupati/Walikota menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang kepada Menteri melalui Gubernur. 2. Bupati/Walikota menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang khusus sub bidang Jasa Konstruksi kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi. 3. Berdasarkan laporan teknis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. BAB VII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 11 1. Menteri melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang oleh pemerintah daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. 2. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan : a. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di daerah Untuk pemerintahan daerah kabupaten/kota; dan b. Tim Pembina Jasa Konstruksi Provinsi untuk bidang jasa konstruksi. Pasal 12 Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipergunakan sebagai : 8 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG a. Bahan masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; b. Bahan pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintah daerah yang berprestasi sangat baik; dan c. Bahan pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak berhasil mencapai SPM bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII PENGEMBANGAN KAPASITAS Pasal 13 1. Menteri memfasilitasi pengembangan kapasitas melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, personal dan keuangan, pada kabupaten/kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya meliputi : a. Perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang termasuk kesenjangan pembiayaan; b. Penyusunan rencana pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dan penetapan target tahunan SPM bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; c. Penilaian prestasi kerja pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; dan d. Pelaporan prestasi kerja pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. 3. Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil, dan keuangan negara serta keuangan daerah. BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 14 1. Menteri melakukan pembinaan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. 2. Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menyusun petunjuk teknis sebagaimana tercantum pada Lampiran II merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini. 3. Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, dapat mendelegasikan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 9 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Pasal 15 1. Menteri melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dan dibantu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum. 2. Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dibantu oleh Inspektorat Provinsi berkoordinasi dengan Inspektorat Kabupaten/Kota. 3. Bupati/Walikota melaksanakan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan Bidang Pekerjaan Umum sesuai SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang di daerah masing-masing. BAB X PEMBIAYAAN Pasal 16 Pembiayaan atas penyelenggaraan pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang untuk pencapaian target SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) seluruhnya dibebankan pada APBD masing-masing. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penentuan SPM Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2010 MENTERI PEKERJAAN UMUM, ttd DJOKO KIRMANTO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 587 10 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Lampiran I : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 14/PRT/M/2010 Tanggal : 25 Oktober 2010 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG No. Jenis Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Keterangan Indikator Nilai Pencapaian (Tahun) 1 2 3 4 5 6 I Sumber Daya Prioritas utama penyediaan Air untuk Tersedianya air baku untuk memenuhi kebutuhan 100% 2014 Berdasarkan atas target minimal Air Kebutuhan Masyarakat pokok minimal sehari hari. kebutuhan air bersih di tiap kabupaten/kota Tersedianya air irigasi untuk pertanian rakyat pada 70% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan sistem irigasi yang sudah ada. Umum II Jalan Jaringan Aksesibilitas Tersedianya jalan yang menghubungkan pusat- 100 % 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah daerah pusat kegiatan dalam wilayah kabupaten/kota. kabupaten/kota Mobilitas Tersedianya jalan yang memudahkan masyarakat 100 % 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah daerah perindividu melakukan perjalanan. kabupaten/kota Keselamatan Tersedianya jalan yang menjamin pengguna jalan 60 % 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah daerah berkendara dengan selamat. kabupaten/kota Ruas Kondisi jalan Tersedianya jalan yang menjamin kendaraan dapat 60 % 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah daerah berjalan dengan selamat dan nyaman. kabupaten/kota Kecepatan Tersedianya jalan yang menjamin perjalanan dapat 60 % 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan kecepatan rencana. kabupaten/kot III Air Minum Cluster Pelayanan Tersedianya akses air minum yang aman melalui 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan Sistem Penyediaan Air Minum dengan jaringan Umum Sangat buruk perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi 40% dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/ Buruk hari 50% Sedang 70% Baik 80% Sangat baik 100% STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL 11 12 No. Jenis Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Keterangan Indikator Nilai Pencapaian (Tahun) IV Penyehatan Air Limbah Permukiman Tersedianya sistem air limbah setempat yang 60% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan Lingkungan memadai. Umum Permukiman Tersedianya sistem air limbah skala komunitas/ 5% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan (Sanitasi kawasan/kota Umum Lingkungan Pengelolaan sampah Tersedianya fasilitas pengurangan sampah di 20% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan dan perkotaan. Umum Persampahan) Tersedianya sistem penanganan sampah di 70% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 perkotaan. Umum HIMPUNAN PRODUK HUKUM Drainase Tersedianya sistem jaringan drainase skala kawasan 50% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan dan skala kota sehingga tidak terjadi genangan Umum (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) dan tidak lebih dari STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 2 kali setahun V Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan Berkurangnya luasan permukiman kumuh di 10% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan kawasan perkotaan. Umum VI Penataan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di 100% 2014 Dinas yang membidangi Perijinan (IMB) Bangunan kabupaten/kota. dan Harga Standar Bangunan Gedung Negara Tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan 100% 2014 Dinas yang membidangi Pekerjaan Lingkungan (HSBGN) Gedung Negara di kabupaten/kota. Umum VII Jasa Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) Penerbitan IUJK dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja 100% 2014 Unit yang melakukan Pembinaan Jasa Konstruksi setelah persyaratan lengkap. Sistem Informasi Jasa Konstruksi Tersedianya Sistem Informasi Jasa Konstruksi setiap 100% 2014 Unit yang melakukan Pembinaan Jasa tahun Konstruksi VIII Penataan Informasi Penataan Ruang Tersedianya informasi mengenai Rencana Tata Ruang 100% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Ruang (RTR) wilayah kabupaten/kota beserta rencana (kabupaten/ Penataan Ruang rincinya melalui peta analog dan peta digital. kota dan kecamatan) 90 % 2014 (kelurahan) Pelibatan Peran Masyarakat Dalam Proses Terlaksananya penjaringan aspirasi masyarakat 100% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Penyusunan RTR melalui forum konsultasi publik yang memenuhi Penataan Ruang syarat inklusif dalam proses penyusunan RTR dan program pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang. No. Jenis Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Keterangan Indikator Nilai Pencapaian (Tahun) Izin Pemanfaatan Ruang Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan izin 100% 2014 Dinas yang membidangi Perizinan pemanfaatan ruang sesuai dengan Peraturan Daerah (kabupaten/ tentang RTR wilayah kabupaten/kota beserta kota) rencana rincinya Pelayanan Pengaduan Pelanggaran Tata Terlaksanakannya tindakan awal terhadap 100% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Ruang pengaduan masyarakat tentang pelanggaran di (kabupaten/ Penataan Ruang bidang penataan ruang, dalam waktu 5 (lima) hari kota, dan kerja. kecamatan) Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas 25% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Publik wilayah kota/kawasan perkotaan. Penataan Ruang MENTERI PEKERJAAN UMUM, ttd DJOKO KIRMANTO STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL 13 PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 14/PRT/M/2010 Tanggal : 25 Oktober 2010 PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG SUMBER DAYA AIR I. SPM Bidang Air Baku Tersedianya air baku untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari hari. a. Pengertian: Kinerja Sistem Jaringan Penyediaan Air Baku adalah kemampuan sistem jaringan untuk membawa sejumlah air dari sumbernya ke Instalasi Pengolah Air sesuai waktu dan tempat berdasarkan rencana pencapaian akses terhadap air bersih yang ditetapkan dalam target MDGs bidang Air Minum; b. Definisi Operasional 1) Bahwa kewajiban pemerintah berdasarkan target MDGs adalah menyediakan air bersih secara kontinyu yang dapat diakses paling tidak oleh 68.87 % (rata-rata) masyarakat Indonesia. 2) Kebutuhan minimal setiap orang akan air bersih per hari adalah 60 liter atau 0,06 m3. 3) Sistem Jaringan penyediaan air baku terdiri dari bangunan penampungan air , bangunan pengambilan/penyadapan, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, sistem pemompaan, dan saluran pembawa/transmisi beserta bangunan pelengkapnya yang membawa air dari sumbernya ke Instalasi Pengolah Air. 4) Nilai SPM keandalan ketersediaan air baku merupakan rasio ketersediaan air baku secara nasional yang merupakan kumulatif dari masing-masing Instalasi Pengolah Air terhadap target MDGs kebutuhan air baku secara nasional yang telah ditetapkan. c. Cara perhitungan / Rumus 1) Rumus: SPM keandalan ketersediaan air baku adalah rasio ketersediaan air baku (m3/tahun) secara nasional yang merupakan kumulatif dari masing- masing Instalasi Pengolah Air terhadap target MDGs kebutuhan air baku (m3/ tahun) secara nasional yang telah ditetapkan. SPM keandalan ketersediaan air baku = Σ Ketersediaan air baku (m3/tahun) dari Instalasi Pengolahan Air x 100 % Σ Kebutuhan air baku (m3/tahun) berdasarkan Target MDGs 2) Pembilang: Ketersediaan air baku (m3/tahun) dari Instalasi Pengolah Air. 3) Penyebut: Kebutuhan air baku (m3/tahun) berdasarkan target MDGs pada tiap Kabupaten/Kota. 14 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 4) Ukuran/konstanta Persen (%) 5) Contoh perhitungan 1. Pada Tahun 2010 Kabupaten A diidentifikasikan jumlah penduduknya terdapat 153.158 Jiwa. 2. Jumlah ketersediaan air baku dari Instalasi Pengolah Air yang ada pada tahun tersebut adalah: 1.000.000 m3/tahun. 3. Jumlah Kebutuhan air baku minimal 60 liter/orang/hari yang diperlukan Kabupaten A adalah: 153.158 jiwa X 0.06 m3/orang/hari X 365 hari didapat: 3.521.868 m3 / tahun. 4. Perhitungan pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada tahun tersebut adalah: Σ Ketersediaan air baku (m3/tahun) dari Instalasi Pengolahan Air Σ Kebutuhan air baku (m2/tahun) berdasarkan Target MDGs X100% 1.000.000 m3/tahun. X 100 % = 28% 3.521.868 m3 /tahun. 5. Diperkirakan pada tahun 2014 Kabupaten A diidentifikasikan akan memiliki jumlah penduduk 200.000 Jiwa, 6. Jumlah Kebutuhan air baku minimal yaitu 60 liter/orang/hari yang diperlukan Kabupaten A adalah: 200.000 jiwa X 0.06 m3/orang/hari X 365 hari didapat: 4.599.000 m3 / tahun. 7. Target pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada tahun 2014 adalah 68,87 % atau 0,6887 dari 200.000 jiwa penduduk Kabupaten A harus 100% terlayani sehingga perhitungannya: 4.599.000 m3/tahun x 0,6887 = 3.167.331 8. Dengan contoh perhitungan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada tahun akhir pencapaian SPM diharapkan tersedia air baku sebesar 3.167.331m3/tahun. d. Sumber Data 1) Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, Sektor Sumber Daya Air (Bappenas) 2) Potensi Penambahan SR PDAM s/d 2013 (Ditjen Cipta Karya) 3) RPJM RENSTRA KEMEN PU 2010-2014 e. Rujukan 1) Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 2) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum; f. Target Persentase Target pencapaian Standar Pelayanan Minimal penyediaan air baku untuk kebutuhan pokok minimal sehari-hari adalah 100% dari Minimal Kebutuhan Air Baku pada Instalasi Pengolah Air di tiap kabupaten/kota . g. Langkah Kegiatan 1) Penyusunan Renstra Pembangunan Penyediaan Air Baku 2010-2014; 2) Pembangunan Sistem Penyediaan Air Baku; 3) Kegiatan rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 15 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 h. SDM SDM pada instansi terkait yang membidangi air baku, antara lain PDAM, Dinas Cipta Karya, Dinas Sumber Daya Air dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. II. SPM Bidang Irigasi Tersedianya air irigasi untuk pertanian rakyat pada sistem irigasi yang sudah ada. a. Pengertian: Kinerja jaringan irigasi adalah kemampuan jaringan untuk membawa sejumlah air dari sumbernya ke petak petak sawah sesuai waktu dan tempat berdasarkan rencana tata tanam yang telah ditetapkan. b. Definisi Operasional 1) Kriterianya adalah bahwa masyarakat petani yang tergabung dalam perkumpulan petani pemakai air dan petani pada sistem pertanian rakyat pada daerah irigasi yang sudah ada berhak memperoleh dan memakai air untuk kebutuhan pertanian; 2) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan kepada masyarakat petani melalui perkumpulan petani pemakai air, dan bagi pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin; 3) Izin sebagaimana dimaksud pada butir 2) diberikan dalam bentuk keputusan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; 4) Hak guna pakai air bagi petani yang tergabung dalam perkumpulan petani pemakai air dan petani untuk pertanian rakyat sebagaimana disebut pada butir 2) harus diwujudkan dalam Rencana Tata Tanam yang ditetapkan oleh Gubernur/bupati/walikota; 5) Nilai SPM keandalan ketersediaan air irigasi merupakan rasio ketersediaan air irigasi di petak-petak sawah dalam jumlah, waktu dan tempat pada setiap musim tanam terhadap kebutuhan air irigasi berdasarkan rencana tata tanam yang telah ditetapkan. c. Cara perhitungan / Rumus 1) Rumus: SPM keandalan ketersediaan air irigasi adalah rasio ketersediaan air irigasi yang terdapat di petak-petak sawah (lt/det) pada setiap musim tanam terhadap kebutuhan air irigasi (l/det) berdasarkan rencana tata tanam yang telah ditetapkan, atau dirumuskan sebagai berikut: SPM keandalan ketersediaan air irigasi = Σ Ketersediaan air irigasi (lt/det) pada setiap musim tanam X 100 Σ Kebutuhan air irigasi (lt/det) berdasarkan rencana tata tanam 2) Pembilang: Ketersediaan air irigasi (lt/det) pada setiap musim tanam adalah jumlah air irigasi yang dialirkan selama musim tanam pada suatu daerah irigasi yang sudah ada yang dihitung berdasarkan kemampuan saluran dan bangunan serta dinyatakan dalam lt/det. 3) Penyebut: Kebutuhan air irigasi (lt/det) berdasarkan rencana tata tanam adalah jumlah air irigasi yang dihitung dan akan dialirkan berdasarkan rencana tata tanam yang telah ditetapkan pada suatu daerah irigasi yang sudah ada dan dinyatakan dalam lt/det. 16 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 4) Ukuran/konstanta Persen (%) 5) Contoh perhitungan Data dan Asumsi: Nama: Daerah Irigasi A Luas: 1,000 ha Pembagian air dilaksanakan pada setiap 2 mingguan Kebutuhan air per ha: 1.2 lt/det/ha (pengolahan tanah) Total kebutuhan air = 1,000 x 1.2 = 1,200 lt/det Debit di intake bendung = 1,000 lt/det Faktor K = 1,000/1,200 = 0.8333 Rencana luas tanam yang ditetapkan = 830 ha Apabila realisasi tanam seluas 700 ha, maka air yang sampai di petak tersier adalah 700 ha x 1.2 lt/det/ha = 840 lt/det Pencapaian SPM = 840/ 1000 = 84% Berarti nilai kinerja jaringan irigasi: Sangat Baik d. Sumber Data 1) Hasil survey penelusuran lapangan (yang merupakan bagian dari pengelolaan aset irigasi); 2) Data irigasi dari Kementerian Pekerjaan Umum yang sudah dikoreksi oleh dinas yang membidangi sumber daya air di daerah yang bersangkutan; 3) Data irigasi dari Kementerian Pertanian yang sudah dikoreksi oleh Dinas Pertanian di daerah yang bersangkutan. e. Rujukan 1) Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 2) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi; 3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 Tahun 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi; 4) Standar Perencanaan Irigasi; · KP 01: Perencanaan Jaringan Irigasi; · KP 02: Bangunan Utama; · KP 03: Saluran; · KP 04: Bangunan; · KP 05: Petak tersier; · KP 06: Parameter Bangunan; · KP 07: Standar Penggambaran; · BI 01: Tipe Bangunan Irigasi; · BI 02: Standar Bangunan Irigasi; · PT 01: Perencanaan Jaringan Irigasi; · PT 02: Pengukuran; · PT 03: Penyelidikan Geoteknik; dan · PT 04: Penyelidikan Model Hidrolis. f. Target Target pencapaian SPM adalah sebesar 70% (kinerja baik) pada tahun 2014. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 Tahun 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, Indeks Kinerja Sistem Irigasi dengan nilai : · 80-100 : kinerja sangat baik · 70-79 : kinerja baik · 55-69 : kinerja kurang dan perlu perhatian · < 55 : kinerja jelek dan perlu perhatian HIMPUNAN PRODUK HUKUM 17 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 g. Langkah Kegiatan 1) Penyusunan rencana tata tanam; 2) Pengembangan sistem irigasi dengan kegiatan pembangunan dan peningkatan; 3) Pengelolaan sistem irigasi dengan kegiatan rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan; h. SDM SDM pada dinas yang membidangi sumber daya air dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG BINA MARGA UNTUK JALAN KABUPATEN / KOTA I. PELAYANAN JARINGAN JALAN · Aspek Aksesibilitas a. Pengertian Tersedianya jalan yang menghubungkan pusat – pusat kegiatan dalam wilayah kabupaten/kota. b. Definisi Operasional 1) Kriteria aksesibilitas adalah bahwa setiap pusat kegiatan (PK) dalam suatu wilayah terhubungkan oleh jaringan jalan sesuai statusnya sehingga tidak ada satupun PK yang belum terhubungkan (terisolasi). Jika masih ada PK yang belum terhubungkan, maka perlu diketahui tentang rencana pembangunan jalan penghubung yang menghubungkan PK yang terisolasi tersebut. 2) Nilai SPM aksesibilitas adalah panjang jalan yang menghubungkan seluruh PK, dinyatakan dalam prosentase panjang jalan yang terbangun pada tahun akhir pencapaian SPM terhadap panjang total jalan yang menghubungkan seluruh PK dalam wilayah sesuai statusnya. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus: SPM Aksesibilitas adalah persentase panjang ruas-ruas jalan yang menghubungkan PK pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap panjang jalan ruas-ruas jalan yang menghubungkan seluruh PK dalam wilayah. Atau, dirumuskan sbb.: £ Seluruh PK Panjang jalan penghubung PK SPM Aksesibilitas = akhir thn pencapaian SPM £ Panjang jalan penghubung PK 2) Pembilang: Panjang jalan penghubung PK adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan yang menghubungkan setiap PK di dalam wilayah kabupaten/kota pada akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Panjang jalan penghubung PK adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan (untuk semua status jalan kabupaten/kota) yang menghubungkan seluruh pusat–pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten/kota. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%). 18 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A diidentifikasi berdasar fungsinya sebagai jalan kabupaten, harus menghubungkan PK ibu kota kabupaten, ibu kota kecamatan, dan pusat kegiatan lokal; sebagai contoh, misal secara total terdapat 20 titik PK. Pada kondisi eksisting, diidentifikasi terbangun jalan yang menghubungkan 15 PK dari seluruh PK yang ada yang berjumlah 20 titik PK, baik oleh jalan nasional, jalan propinsi, maupun jalan kabupaten. Direncanakan pada tahun akhir pencapaian SPM akan dibangun ruas jalan baru yang menghubungkan 1 titik pusat kegiatan lainnya, sehingga dengan kondisi eksisting dan rencana pembangunan jalan tersebut, jumlah panjang jalan adalah 1000 km. Secara total, untuk menghubungkan seluruh 20 PK direncanakan membangun panjang jalan sampai dengan 1500 km. Maka nilai SPM aksesibilitas pada akhir tahun pencapaian adalah: (1000km / 1500km) x 100% = 66%. d. Sumber Data - Wilayah Dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Peta dan Data Jaringan Jalan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah. - Rencana pengembangan wilayah dan Rencana pembangunan jalan dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah). e. Rujukan - Pasal 3, 30, 37, 38, 39, dan 40, UU Nomor 38/2004 tentang Jalan; - Pasal 112 dan 113, PP Nomor 34/2006 tentang Jalan f. Target SPM Aksesibilitas adalah 100% pada tahun 2014. Target diberikan untuk pemerintah daerah yang mempunyai rencana pengembangan infrastruktur jalan. Apabila ada PK yang belum terhubungkan dengan infrastruktur jalan namun dalam program Pemerintah Daerah sampai dengan 2014 PK tersebut dihubungkan dengan moda transportasi lainnya, maka pencapaian SPM Aksesibilitas dianggap tercapai. g. Langkah Kegiatan Peningkatan kondisi jaringan jalan wilayah, dalam hal ini adalah dengan menambah ruas jalan yang menghubungkan PK yang masih belum terhubungkan di wilayah tersebut. h. SDM - Dinas Pekerjaan Umum Daerah. - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah · Aspek Mobilitas a. Pengertian Tersedianya jalan yang memudahkan masyarakat per individu melakukan perjalanan. b. Definisi Operasional 1) SPM Mobilitas jaringan jalan dievaluasi dari keterhubungan antarpusat kegiatan dalam wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya dan banyaknya penduduk yang harus dilayani oleh jaringan jalan tersebut; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 19 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 2) Angka mobilitas adalah rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat-pusat kegiatan terhadap jumlah total penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai dengan statusnya, dinyatakan dalam satuan Km/(10.000 jiwa); 3) Pencapaian nilai SPM mobilitas dinyatakan oleh persentase pencapaian mobilitas pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap angka mobilitas yang ditentukan. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus Angka Mobilitas yang Ditargetkan pada Akhir Waktu Pencapaian SPM SPM Mobilitas = Angka Mobilitas yang Ditentukan 2) Pembilang Angka Mobilitas pada akhir waktu pencapaian SPM. 3) Penyebut Angka Mobilitas yang ditentukan mengikuti Tabel 1. Tabel 1. Angka Mobilitas yang Ditentukan Berdasarkan Kerapatan Penduduk 4) Ukuran/Konstanta persen 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A diidentifikasikan memiliki panjang jalan yang menghubungkan 2 semua PK adalah 100 km dengan luas wilayah 100 km . Jumlah penduduk kabupaten A pada hari ini adalah 300.000 jiwa dan diprediksi pada akhir tahun pencapaian SPM sebesar 350.000 jiwa. Maka kerapatan penduduk adalah jumlah penduduk (jiwa) / luas wilayah 2 2 (km ) = 3500 jiwa/km atau masuk ke kategori IV dari Tabel 1. Sehingga harus memiliki angka mobilitas yang ditentukan adalah 3,00 Km/10.000 jiwa. Angka mobilitas Kabupaten A pada akhir waktu pencapaian adalah (100 / 350.000) x 10.000 = 2,86 Km/10.000 jiwa. Jika dibandingkan dengan angka mobilitas yang ditentukan, pencapaian SPM mobilitas adalah 2,86 / 3,00 = 95,3%. Untuk pencapaian SPM mobilitas 100%, maka dengan prediksi jumlah penduduk akhir tahun pencapaian SPM sebesar 350.000 jiwa, maka untuk angka mobilitas 3,00 diperlukan penambahan panjang jalan kurang lebih 5,00 km atau peningkatan panjang jalan sebesar 105,0 km. d. Sumber Data - Wilayah Dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Data Jaringan Jalan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah yang bersangkutan. e. Rujukan - Pasal 3, 30, 37, 38, 39,dan 40 UU Nomor 38/2004 tentang Jalan - Pasal 112 dan 113 PP Nomor 34/2006 tentang Jalan f. Target SPM Mobilitas adalah 100% pada tahun 2014. 20 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG g. Langkah Kegiatan Peningkatan kondisi jaringan jalan wilayah, dalam hal ini adalah dengan menambah ruas-ruas jalan yang menghubungkan PK dalam wilayah tersebut. h. SDM - Dinas Pekerjaan Umum Daerah - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah · Aspek Keselamatan a. Pengertian Tersedianya jalan yang menjamin pengguna jalan berkendara dengan SELAMAT. b. Definisi Operasional 1) SPM Keselamatan untuk jaringan jalan adalah pemenuhan kondisi fisik ruasruas jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dalam wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan terhadap: a. Parameter perencanaan teknis jalan sebagaimana termuat di dalam dokumen rencana teknis dari ruas-ruas jalan yang bersangkutan (jika dokumen rencana teknis tidak ada, gunakan Tabel 1). b. Persyaratan teknis dan administrasi Laik Fungsi Jalan ruas-ruas jalan yang bersangkutan, yang penetapannya diatur dalam Peraturan Menteri nomor 11/PRT/M/2010 tentang Tatacara, Persyaratan, dan Penetapan Laik Fungsi Jalan; 2) Nilai SPM Keselamatan adalah prosentase panjang ruas-ruas jalan yang memenuhi semua kriteria keselamatan terhadap seluruh panjang jalan yang menghubungkan semua PK. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus £ Seluruh PK Panjang jalan memenuhi kriteria keselamatan SPM SPM Keselamatan = £ akhir thn pencapaian SPM Panjang jalan penghubung PK 2) Pembilang Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan yang menghubungkan PK yang memenuhi kriteria keselamatan. Kriteria Keselamatan dapat dilihat pada point 3. b. 1) diatas atau gunakan Tabel 1. 3) Penyebut Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang jalan (untuk semua status jalan) yang menghubungkan seluruh pusat–pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten/kota. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%) 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A diidentifikasi memiliki panjang jalan eksisting yang menghubungkan PK 1000 km. Lakukan evaluasi terhadap masing–masing ruas jalan terhadap kriteria keselamatan dalam Tabel 1 dengan menggunakan masukan dasar LHRT tiap ruas jalan pada tahun akhir pencapaian SPM. Misal, hasil identifikasi tersebut menghasilkan 800 km jalan memenuhi kriteria keselamatan. Kabupaten A memiliki rencana mengembangkan jaringan jalan sampai akhir tahun pencapaian SPM sepanjang 1500 km. Maka SPM keselamatan adalah (800km / 1500km) x 100% = 53%. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 21 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 d. Sumber Data - Wilayah Dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Data Jaringan Jalan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah. - Data Lintas Harian Rata–Rata Tahunan (LHRT) dari Dinas Pekerjaan Umum Daerah atau sumber lain. e. Rujukan - Pasal 3, 30, 37, 38, 39, dan 40 UU Nomor 38/2004 tentang Jalan; - Pasal 112 dan 113 PP Nomor 34/2006 tentang Jalan. f. Target SPM Keselamatan adalah 60% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Peningkatan kondisi ruas-ruas jalan untuk memenuhi kriteria keselamatan. h. SDM - Dinas Pekerjaan Umum Daerah; - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. II. PELAYANAN RUAS JALAN Kondisi Jalan a. Pengertian Tersedianya jalan yang menjamin kendaraan dapat berjalan dengan SELAMAT dan NYAMAN. b. Definisi Operasional 1) SPM kondisi jalan adalah kondisi kerataan permukaan perkerasan jalan yang harus dicapai sesuai dengan nilai kerataan perkerasan jalan seperti tercantum dalam Tabel 1. 2) Kriteria kondisi jalan adalah bahwa setiap ruas jalan harus memiliki kerataan permukaan jalan yang memadai bagi kendaraan untuk dapat dilalui oleh kendaraan dengan cepat, aman, dan nyaman. 3) Nilai SPM Kondisi Jalan adalah prosentase panjang jalan yang memenuhi kriteria kondisi jalan terhadap seluruh panjang jalan yang menghubungkan seluruh pusat-pusat kegiatan dalam wilayah kabupaten/kota. 4) Nilai kondisi jalan diukur menggunakan alat ukur kerataan permukaan jalan (roughometer) atau diukur secara visual (Penilaian Kondisi Jalan). c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus £ Seluruh PK Panjang jalan memenuhi kriteria Kondisi Jalan SPM Kondisi Jalan = £ akhir thn pencapaian SPM Panjang jalan penghubung PK 2) Pembilang Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan yang menghubungkan pusat kegiatan yang telah memenuhi kriteria kondisi jalan. Kriteria Kondisi Jalan dapat dilihat dalam Tabel 1. 3) Penyebut Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan (untuk semua status jalan) yang menghubungkan seluruh pusat – pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten/kota. 22 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 4) Ukuran/Konstanta Persen (%) 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A diidentifikasi menghubungkan PK yang ada dengan panjang jalan 1000 km. Lakukan penilaian kondisi jalan pada masing–masing ruasnya menggunakan alat pengukur kerataan jalan atau cara penilaian visual kondisi jalan. Evaluasi hasil penilaian terhadap kriteria kondisi jalan dalam Tabel 1 dengan memasukkan nilai LHRT tiap ruas untuk tahun akhir pencapaian SPM. Misal, hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa ada 800 km ruas-ruas jalan memenuhi kriteria kondisi jalan; Maka, untuk Kabupaten A dengan panjang jalan yang menghubungkan semua PK sebesar 1500 km pada akhir tahun pencapaian, nilai SPM kondisi jalan adalah: (800km / 1500km) x 100% = 53%. d. Sumber Data - Wilayah Dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Data Jaringan Jalan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah. - Data Lintas Harian Rata–Rata Tahunan (LHRT) dari Dinas Pekerjaan Umum atau sumber lainnya. - Data Kondisi Jalan dari Dinas Pekerjaan Umum Daerah. e. Rujukan - Pasal 3, 30, 37, 38, 39, 40 UU Nomor 38/2004 tentang Jalan - Pasal 112 dan 113 PP Nomor 34/2006 tentang Jalan - -SNI – 3426 – 1994 Tata Cara Survei Kerataan Permukaan Perkerasan Jalan dengan Alat Ukur NAASRA - Pd T-21-2004-B Tata Cara Pelaksanaan Survei Kondisi Jalan Beraspal - Pd T-19-2004-B Survei Pencacahan Lalu Lintas secara manual f. Target SPM Kondisi Jalan adalah 60% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Peningkatan kondisi ruas jalan, dalam hal ini adalah dengan melakukan pemeliharaan rutin atau berkala terhadap ruas jalan yang dalam kondisi mantap, dan untuk jalan yang sudah dalam kondisi tidak mantap dibutuhkan penanganan lebih lanjut yakni dengan rehabilitasi atau dengan overlay. h. SDM - Dinas Pekerjaan Umum Daerah; - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kecepatan a. Pengertian Tersedianya jalan yang menjamin perjalanan dapat dilakukan sesuai dengan KECEPATAN rencana. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 23 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 b. Definisi Operasional 1) Kriteria Kecepatan adalah bahwa setiap ruas jalan telah terbangun sesuai dengan kecepatan rencananya. 2) Nilai SPM Kecepatan adalah prosentase panjang jalan yang memenuhi kriteria kecepatan terhadap seluruh panjang jalan yang menghubungakan pusat-pusat kegiatan dalam wilayah kabupaten/kota. 3) Nilai kecepatan diukur oleh kecepatan bebas ruas jalan tersebut. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus £ Seluruh PK Panjang jalan memenuhi kriteria kecepatan SPM Kondisi kecepatan = £ akhir thn pencapaian SPM Panjang jalan penghubung PK 2) Pembilang Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang ruas-ruas jalan yang menghubungkan pusat kegiatan yang telah memenuhi kriteria kecepatan. Kriteria Kecepatan dapat dilihat dalam Tabel 1. 3) Penyebut Panjang jalan adalah jumlah kumulatif panjang jalan (untuk semua status jalan) yang menghubungkan seluruh pusat–pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten/kota. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%) 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A diidentifikasi memiliki jalan yang menghubungkan PK yang ada sepanjang 1000 km. Pada masing–masing ruas jalan, dilakukan evaluasi terhadap kriteria kecepatan, dengan mengukur kecepatan bebas. Hasil pengukuran dibandingkan terhadap kecepatan rencana sesuai Tabel I. Kecepatan rencana yang digunakan adalah yang sesuai dengan LHRT ruas jalan yang bersangkutan untuk tahun akhir pencapaian SPM. Misal, hasil evaluasi tersebut menghasilkan bahwa 800 km jalan telah memenuhi kriteria kecepatan. Pada akhir tahun pencapaian SPM, Kabupaten A berencana membangun jalan sampai dengan panjang jalan 1500 km untuk menghubungkan seluruh PK yang ada. Maka SPM Kecepatan adalah (800 / 1500) x 100% = 53%. d. Sumber Data - Data IIRMS atau URMS untuk wilayah yang bersangkutan - Survei primer kecepatan bebas. e. Rujukan - Pasal 3, 30, 37, 38, 39,40 UU Nomor 38/2004 tentang Jalan - Pasal 112 dan 113 PP Nomor 34/2006 tentang Jalan - Manual Kapasitas Jalan Indonesia (DitJen Bina Marga, 1997) - Panduan Survai dan dan Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu Lintas No. 001/T/BNKT/1990 f. Target SPM Kecepatan adalah 60% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Untuk mengembalikan kecepatan aliran kendaraan untuk suatu ruas jalan tertentu, dilakukan normalisasi geometri jalan sesuai dengan LHRT yang harus 24 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG dilayani jalan. Disamping itu, mengurangi hambatan samping di sisi kiri/kanan jalan dapat meningkatkan kecepatan. h. SDM - Dinas Pekerjaan Umum Daerah; - Dinas Lalu-lintas dan Angkutan Darat Daerah; Tabel 2. Kriteria SPM RUAS JALAN PERENCANAAN TEKNIS JALAN minimal 1) 2.000 – 19.500- 27.100- 72.900- 109.400- LHRT [SMP/Hari] ≤2.000 19.500 27.100 72.900 109.400 145.900 Kelas Penyediaan Jalan Jalan Kecil Jalan Raya Prasarana Sedang Lebar Jalur Lalu-lintas 2,50 5,50 7,00 2x7,00 2x10,50 2x14,00 minimum, m Keselamatan setiap ruas jalan 2) 2) Lebar bahu minimum, m 0,50 1,00 1,50 2,00+0,50 2,00+0,50 2,00+0,502) 3) Kelandaian maksimum , 12 12 10 10 10 10 % Tipe Perkerasan Jalan Kerikil/Tanah Beraspal / Beton Semen minimal Bangunan Pelengkap jalan (Jembatan, Gorong- Baik dan berfungsi gorong, dll) Rambu, Marka, APILL, Patok-patok, dan perlengkapan jalan lainnya, ter- Perlengkapan jalan bangun lengkap sesuai kebutuhan manajemen lalulintas Pelestarian Lingkungan Sesuai dokumen lingkungan Fasilitas pejalan kaki Tersedia dan berfungsi sesuai dengan kebutuhan PERSYARATAN LAIK FUNGSI JALAN Pemenuhan persyaratan Harus memenuhi persyaratan Laik Fungsi Jalan dengan katagori minimal Laik Fungsi Jalan Laik Bersyarat IRI4) jalan Kabupaten 8,0 7,0 5,5 4,0 4,0 4,0 permukaan jalan Kondisi kerataan maksimum, m/Km 5) RCI jalan Kabupaten Sedang Sedang Baik IRI Jalan Arteri Kota, 8,0 7,0 5,5 4,0 4,0 4,0 maksimum, m/Km RCI Jalan Kolektor, Lokal Sedang Sedang Baik & Lingkungan Kota Kondisi Datar 10 20 60 60 medan Bukit 10 15 30 40 Rencana lalulintas pada sistim Kecepatan jaringan jalan Gunung 10 25 25 primer Kondisi Datar 10 20 40 40 medan Bukit 10 15 30 30 pada sistim jaringan jalan Gunung 10 25 25 sekunder 1) Catatan: LHRT yang diprediksi pada target tahun SPM akan dicapai. 2) 3) 2,00+0,50 = 2,00m lebar bahu luar dan 0,50m lebar bahu dalam. Untuk kelandaian >12%, harus diberi rambu peringatan dan rambu 4) pembatasan muatan bagi kendaraan komersil. IRI – International Roughness Index. 5) RCI - Road Condition Index. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 25 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG CIPTA KARYA AIR MINUM AKSES AIR MINUM YANG AMAN Sistem Penyediaan Air Minum dengan Jaringan Perpipaan dan Bukan Jaringan Perpipaan a. Pengertian 1) Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. 2) Penyediaan air minum adalah kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. 3) Sistem penyediaan air minum dengan jaringan perpipaan yang selanjutnya disebut SPAM merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum yang unit distribusinya melalui perpipaan dan unit pelayanannya menggunakan sambungan rumah/sambungan pekarangan, hidran umum, dan hidran kebakaran. 4) Sistem penyediaan air minum bukan jaringan perpipaan yang selanjutnya disebut SPAM BJP merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum baik bersifat individual, komunal, maupun komunal khusus yang unit distribusinya dengan atau tanpa perpipaan terbatas dan sederhana, dan tidak termasuk dalam SPAM. 5) SPAM BJP terlindungi adalah SPAM BJP yang dibangun dengan mengacu pada ketentuan teknis yang berlaku dan melalui ataupun tanpa proses pengolahan serta memenuhi persyaratan kualitas air minum sesuai persyaratan kualitas berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 6) SPAM BJP tidak terlindungi adalah SPAM BJP yang dibangun tanpa mengacu pada ketentuan teknis yang berlaku dan belum memenuhi persyaratan kualitas air minum sesuai persyaratan kualitas berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 7) Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non-fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. 8) Skala individu adalah lingkup rumah tangga. 9) Skala komunal adalah lingkup penyediaan air minum yang menggunakan SPAM BJP, dan unit distribusinya dapat menggunakan perpipaan terbatas dan sederhana (bukan berupa jaringan perpipaan yang memiliki jaringan distribusi utama, pipa distribusi pembawa, dan jaringan distribusi pembagi). 10) Skala komunal khusus adalah lingkup penyediaan air minum di rumah susun bertingkat, apartemen, hotel, dan perkantoran bertingkat, yang dapat meliputi perpipaan dari sumber air atau instalasi pengolahan air tersendiri dan tidak tersambung dengan SPAM ke masing-masing bangunan bertingkat tersebut, serta tidak termasuk jaringan perpipaan (plambing) di dalam bangunan tersebut. 26 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG b. Definisi Operasional 1) Kriteria air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari adalah bahwa sebuah kabupaten/kota telah memiliki SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi (sesuai dengan standar teknis berlaku) dengan penyelenggara baik BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta, Koperasi, maupun kelompok masyarakat, dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari dan diharapkan dapat meningkatkan cakupan pelayanannya. 2) Kebutuhan pokok minimal merupakan kebutuhan untuk mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif, dengan penggunaan air hanya untuk minum – masak, cuci pakaian, mandi (termasuk sanitasi), bersih rumah, dan ibadah. 3) Nilai SPM cakupan akses terhadap air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi adalah peningkatan jumlah unit pelayanan baik melalui Sambungan Rumah, Hidran Umum, maupun Terminal Air yang dinyatakan dalam persentase peningkatan jumlah masyarakat yang mendapatkan pelayanan SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah total masyarakat di seluruh kabupaten/kota. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus: SPM air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi adalah persentase peningkatan jumlah masyarakat yang yang mendapatkan akses terhadap air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi pada akhir pencapaian SPM terhadap total masyarakat di seluruh kabupaten/kota. Atau, dirumuskan sbb.: £ SPM cakupan pelayanan Masyarakat terlayani SPM cakupan pelayanan = £ akhir thn pencapaian SPM Proyeksi total masyarakat 2) Pembilang: Masyarakat terlayani pada akhir tahun pencapaian SPM adalah jumlah kumulatif masyarakat yang mendapatkan akses terhadap air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi di dalam sebuah kabupaten/kota pada akhir pencapaian SPM. 3) Penyebut Proyeksi total masyarakat pada akhir tahun pencapaian SPM adalah jumlah total proyeksi masyarakat di seluruh kabupaten/kota tersebut pada akhir tahun pencapaian SPM. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%). 5) Contoh Perhitungan Kabupaten A merencanakan pada tahun akhir pencapaian SPM, jumlah masyarakat yang memiliki akses terhadap air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi sebanyak 84.483 jiwa. Secara total proyeksi jumlah penduduk Kabupaten A pada akhir tahun pencapaian SPM sebanyak 120.690 jiwa. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 27 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Maka nilai SPM peningkatan cakupan akses terhadap air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi pada akhir tahun pencapaian SPM adalah: 84.483 jiwa x100% = 70% 120.690 jiwa d. Sumber Data - Wilayah dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. Definisi akses aman terhadap air minum berdasarkan data BPS biasanya terdiri dari: · air leding meteran, · sumur pompa/bor dengan jarak > 10 m dari sumber pencemar, · sumur terlindungi dengan jarak > 10 m dari sumber pencemar, · mata air terlindungi dengan jarak > 10 m dari sumber pencemar, dan · air hujan - Rencana pengembangan wilayah dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah) - Penyelenggara SPAM dengan jaringan perpipaan (BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta, Koperasi dan/atau Kelompok Masyarakat) e. Rujukan - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air - Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/M/PRT/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/M/PRT/2009 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Bukan Jaringan Perpipaan - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/M/PRT/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum f. Target Target pencapaian SPM air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari pada tahun 2014 dibagi berdasarkan cluster pelayanan air minum saat ini (sumber data Susenas BPS 2009), sebagai berikut: Tabel 1 Target pencapaian SPM air minum Nilai Tahun Penca- Cluster Pelayanan Indikator SPM paian Sangat Buruk 40% Buruk Tersedianya akses air minum yang aman melalui Sistem 50% Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan Sedang 70% 2014 bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan Baik pokok minimal 60 liter/orang/hari 80% Sangat Baik 100% Cluster pelayanan air minum per kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 di atas dijabarkan sebagai berikut: 28 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG Tabel 2 Cluster pelayanan air minum untuk satu wilayah administrasi kabupaten/ kota Persentase Akses Aman Terhadap Air No Cluster Pelayanan Minum* 1. Sangat Buruk < 30% 2. Buruk 30% - < 40% 3. Sedang 40% - < 60% 4. Baik 60% - < 70% 5. Sangat Baik > 70% * Akses aman terhadap air minum meliputi Sistem Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi g. Langkah Kegiatan - Menyusun strategi pengembangan SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi - Sosialisasi terkait pencapaian target SPM - Pembagian tanggungjawab dalam rangka mencapai target SPM h. SDM - Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum Daerah - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah HIMPUNAN PRODUK HUKUM 29 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG CIPTA KARYA PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN I. AIR LIMBAH PERMUKIMAN 1. Tersedianya Sistem Air Limbah Setempat yang Memadai a. Pengertian · Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. · Sistem pembuangan air limbah setempat adalah sistem permbuangan air limbah secara individual yang diolah dan dibuang di tempat. Sistem ini meliputi cubluk, tanki septik dan resapan, unit pengolahan setempat lainnya, sarana pengangkutan, dan pengolahan akhir lumpur tinja. · Unit pengolahan setempat lainnya yang dimaksud di atas adalah unit atau paket lengkap pengolahan air limbah yang dikembangkan dan dipasarkan, baik oleh lembaga-lembaga penelitian maupun oleh produsen-produsen tertentu untuk digunakan oleh perumahan, gedung-gedung perkantoran, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan gedung-gedung komersial setelah dinyatakan layak secara teknis oleh lembaga yang berwenang · Tangki septik adalah bak kedap air untuk mengolah air limbah, berbentuk empat persegi panjang atau bundar yang dilengkapi tutup, penyekat, pipa masuk/keluar dan ventilasi. Fungsinya untuk merubah sifat-sifat air limbah, agar curahan ke luar dapat dibuang ke tanah melalui resapan tanpa mengganggu lingkungan. · Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja adalah Instalasi pengolahan air limbah yang didesain hanya menerima lumpur tinja melalui mobil atau gerobak tinja (tanpa perpipaan). · Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan. b. Definisi Operasional 1) Kriteria tingkat pelayanan adalah bahwa sebuah kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat minimal 50.000 jiwa yang telah memiliki tangki septik (sesuai dengan standar teknis berlaku) diharapkan memiliki sebuah IPLT yang memiliki kualitas efluen air limbah domestik tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan. 2) Nilai SPM tingkat pelayanan adalah jumlah masyarakat yang dilayani dinyatakan dalam prosentase jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik pada tahun akhir SPM terhadap jumlah total masyarakat yang memiliki tangki septik di seluruh kabupaten/kota. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus: SPM tingkat pelayanan adalah persentase jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik pada pada akhir pencapaian SPM terhadap jumlah total masyarakat yang memiliki tangki septik di seluruh kabupaten/kota. Atau, dirumuskan sbb.: 30 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG £ akhir thn pencapaian SPM Tangki septik yang dilayani SPM tingkat pelayanan = £ seluruhkab / kota Total tangki septik 2) Pembilang: Tangki septik yang dilayani adalah jumlah kumulatif tangki septik yang dilayani oleh IPLT di dalam sebuah kabupaten/kota pada akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Total tangki septik adalah jumlah kumulatif tangki septik yang dimiliki oleh masyarakat di seluruh kabupaten/kota 4) Ukuran/Konstanta Persen (%). 5) Contoh Perhitungan Pada kondisi eksisting tahun X di Kabupaten A, diidentifikasi jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik sebanyak 75.000 jiwa. Direncanakan pada tahun akhir pencapaian SPM, (tahun 2014) jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik dan terlayani oleh IPLT sebanyak 250.000 jiwa. Secara total jumlah penduduk yang memiliki tangki septik di tahun 2014 adalah sebanyak 400.000 jiwa. Dengan asumsi 1 KK setara dengan 5 jiwa, maka jumlah tangki septik yang terlayani adalah: (250.000 jiwa/5 KK/tangki septik) = 50.000 buah tangki septik Jumlah total tangki septik adalah (400.000 jiwa/5 KK/tangki septik) = 80.000 buah tangki septik Maka nilai SPM tingkat pelayanan pada akhir tahun pencapaian SPM adalah: (50.0 80.000) x 100% = 62,5%. d. Sumber Data - Wilayah dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis - Rencana pengembangan wilayah dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas Pekerjaan Umum Daerah) e. Rujukan - SNI 03-2398-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan - Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik Atau Perubahannya - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2008 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman. f. Target SPM tingkat pelayanan adalah 60% pada tahun 2014 g. Langkah Kegiatan - Sosialisasi penggunaan tangki septik yang benar kepada masyarakat, sesuai dengan standar teknis yang berlaku - Sosialisasi pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja yang benar kepada seluruh stakeholder, sesuai dengan standar teknis yang berlaku HIMPUNAN PRODUK HUKUM 31 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 h. SDM SDM pada Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Tersedianya sistem air limbah skala komunitas/kawasan/kota a. Pengertian - Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. - Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan. - Sewerage Skala Komunitas adalah upaya pembuangan air limbah dari rumahrumah langsung dimasukkan ke jaringan pipa yang dipasang di luar pekarangan yang dialirkan kesatu tempat (pengolahan) untuk diolah sampai air limbah tersebut layak dibuang ke perairan terbuka dan diutamakan untuk kawasan permukiman kumuh dengan maksimum pelayanan 200 KK. - Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) adalah rangkaian unit-unit pengolahan pendahuluan, pengolahan utama, pengolahan kedua dan pengolahan tersier bila diperlukan, beserta bangunan pelengkap lainnya, yang dimaksudkan untuk mengolah air limbah agar bisa mencapai standar kualitas baku mutu air limbah yang ditetapkan. b. Definisi Operasional 1) Kriteria ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah bahwa pada kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha diharapkan memiliki sebuah sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala komunitas/ kawasan/kota dengan kualitas efluen instalasi pengolahan air limbah tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan. 2) Nilai SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah nilai tingkat pelayanan sistem jaringan dan pengolahan air limbah dinyatakan dalam prosentase jumlah masyarakat yang terlayani sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala komunitas/kawasan/kota pada tahun akhir SPM terhadap jumlah total penduduk di seluruh kabupaten/ kota tersebut. c. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus: SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah persentase jumlah masyarakat yang terlayani sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala komunitas/kawasan/kota pada tahun akhir SPM terhadap jumlah total penduduk di seluruh kabupaten/kota tersebut. Atau, dirumuskan sbb.: £ akhir thn pencapaian SPM Penduduk yang terlayani SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah = £ seluruhkab / kota Penduduk 2) Pembilang: Penduduk yang terlayani adalah jumlah kumulatif masyarakat yang memiliki akses/terlayani sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala komunitas/kawasan/kota di dalam sebuah kabupaten/kota pada akhir 32 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG pencapaian SPM. 3) Penyebut Penduduk adalah jumlah kumulatif masyarakat di seluruh kabupaten/ kota. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%). 5) Contoh Perhitungan Pada kondisi eksisting di Kabupaten A tahun X, diidentifikasi jumlah masyarakat yang memiliki akses terhadap sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala kawasan sebanyak 20.000 jiwa. Direncanakan pada tahun akhir pencapaian SPM (tahun 2014), jumlah masyarakat yang memiliki akses sebanyak 75.000 jiwa, Secara total, jumlah penduduk di kabupaten tersebut di tahun 2014 sebanyak 500.000 jiwa. Maka nilai SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah pada akhir tahun pencapaian adalah: (75.000 jiwa / 500.000 jiwa) x 100% = 15%. d. Sumber Data - Wilayah dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis - Rencana pengembangan wilayah dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum) e. Rujukan - Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik Atau Perubahannya - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2008 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman. f. Target SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah 5% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Sosialisasi penyambungan Sambungan Rumah ke sistem jaringan air limbah. h. SDM SDM pada Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah II. PENGELOLAAN SAMPAH 1. Tersedianya fasilitas pengurangan sampah di perkotaan a. Pengertian Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendaur ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah. b. Definisi Operasional Setiap sampah dikumpulkan dari sumber ke tempat pengolahan sampah perkotaan, yang selanjutnya dipilah sesuai jenisnya, digunakan kembali, didaur ulang, dan diolah secara optimal, sehingga pada akhirnya hanya residu yang dikirim ke Tempat Pemrosesan Akhir. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 33 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 SPM fasilitas pengurangan sampah di perkotaan adalah volume sampah di perkotaan yang melalui guna ulang, daur ulang, pengolahan di tempat pengolahan sampah sebelum akhirnya masuk ke TPA terhadap volume seluruh sampah kota, dinyatakan dalam bentuk prosentase. c. Cara Perhitungan Timbulan sampah ´ populasi = volume sampah ke tempat pengolahan sampah Keterangan: Timbulan sampah (l/orang/hari) dikalikan jumlah populasi yang dilayani oleh tempat pengolahan sampah di perkotaan tersebut merupakan jumlah sampah per hari yang harus dipilah, digunakan kembali, didaur ulang dan diolah oleh tempat pengolahan sampah skala kawasan. SPMasilitas pengurangan £ akhir thn pencapaian SPM Vol. sampah yang direduksi di TPST sampah di perkotaan = £ seluruh kota Vol.sampah yang harusnya direduksi di TPST Contoh Perhitungan: Pada kondisi eksisting, kota A belum memiliki tempat pengolahan sampah di perkotaan. Direncanakan pada akhir tahun pencapaian akan dibangun fasilitas pengurangan sampah di perkotaan yang mampu mengolah total volume sampah sebesar 30,000 ton. Total volume sampah kota sampai akhir tahun pencapaian adalah 250,000 ton. Maka nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah: (30,000 ton/250,000 ton) x 100% = 12 % d. Sumber Data - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota - Data Timbulan sampah dan komposisi sampah yang dikeluarkan oleh Dinas yang membidangi Pengelolaan Persampahan e. Rujukan - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2006 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan f. Target SPM Timbulan sampah yang berkurang ke TPA adalah 20% untuk 2014 g. Langkah kegiatan - Sosialisasi mengenai pengelolaan sampah terpadu - Mengidentifikasi lokasi fasilitas pengurang sampah di perkotaan sesuai dengan RTRW Kabupaten/Kota. - Menyiapkan rencana kelembagaan, teknis, operasional dan finansial untuk fasilitas pengurangan sampah di perkotaan. - Membangun fasilitas pengurangan sampah di perkotaan untuk mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA. h. SDM SDM Dinas yang membidangi pengelolaan sampah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2. Tersedianya sistem penanganan sampah di perkotaan a. Pengertian - Penanganan sampah terdiri dari kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah - Pemilahan sampah adalah pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah 34 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG - Pengumpulan sampah adalah pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu - Pengangkutan sampah adalah membawa sampah dari sumber dan/ atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir - Pengolahan sampah adalah bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah - Pemrosesan akhir sampah adalah proses pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan b. Definisi Operasional Pelayanan minimal persampahan dilakukan melalui pemilahan, pengumpulan, pengangkutan sampah rumah tangga ke TPA secara berkala minimal 2 (dua) kali seminggu, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. Penyediaan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang ramah lingkungan adalah jumlah TPA yang memenuhi kriteria dan dioperasikan secara layak (controlled landfill/sanitary landfill)/ramah lingkungan terhadap jumlah TPA yang ada di perkotaan, dinyatakan dalam bentuk prosentase. Dalam rangka perlindungan lingkungan dan makhluk hidup, TPA harus: 1. Dilengkapi dengan zona penyangga 2. Menggunakan metode lahan urug terkendali (controlled landfill) untuk kota sedang dan kecil 3. Menggunakan metode lahan urug saniter (sanitary landfill) untuk kota besar dan metropolitan 4. Tidak berlokasi di zona holocene fault 5. Tidak boleh di zona bahaya geologi 6. Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dan 3 meter (bila tidak memenuhi maka harus diadakan masukan teknologi) -6 7. Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dan 10 cm/det (bila tidak memenuhi maka harus diadakan masukan teknologi) 8. Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dan 100 meter di hilir aliran (bila tidak memenuhi maka harus diadakan masukan teknologi) 9. Kemiringan zona harus kurang dan 20 % 10. Jarak dan lapangan terbang harus lebih besar dan 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus Iebih besar dan 1.500 meter untuk jenis lain 11. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun 12. Memantau kualitas hasil pengolahan leachate yang dibuang ke sumber air baku dan/atau tempat terbuka, dilakukan secara berkala oleh instansi yang berwenang SPM pelayanan sampah adalah jumlah penduduk yang terlayani dalam sistem penanganan sampah terhadap total jumlah penduduk di Kabupaten/Kota tersebut, dinyatakan dalam bentuk prosentase. c. Cara Perhitungan (Timbulan sampah / kapita / hari) ´ populasi = volume sampah / hari Timbulan sampah (l/orang/hari) dikalikan dengan jumlah populasi dalam cakupan pelayanan adalah jumlah volume sampah. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 35 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Volume sampah = jumlah truk yang dibutuhkan £ ((k1xr1) + (k2xr2) + .........) ´ ritasi / hari K1 = jumlah truk sampah R1 = volume truk sampah Jumlah volume sampah (m3 ) yang harus diangkut dibagi dengan kapasitas truk (m3) dan jumlah ritasi adalah jumlah truk yang dibutuhkan. £ akhir thn pencapaian SPM Vol.sampah terangkut pengangkutan sampah = £ seluruh kota Vol.sampah (Timbulan´ populasi) - vol.sampah di daurulang, gunaulang, proses= vol. sampahkeTPA Keterangan: Timbulan sampah (m3/orang/hari) dikalikan dengan jumlah populasi dalam cakupan pelayanan dikurangi dengan jumlah sampah yang didaur ulang, diguna ulang dan diproses adalah jumlah volume sampah yang masuk ke TPA. volumesampahkeTPA = luas TPA ketinggian sampah yang direncanakan Luas lahan TPA = (1 + 0,3) luas TPA Keterangan: Volume sampah yang masuk ke dalam TPA dibagi dengan rencana ketinggian tumpukan sampah dan tanah penutup adalah luas TPA yang dibutuhkan. 3 Tingkat pelayanan sampah Jumlah volume sampah (m ) yang harus diangkut 3 dibagi dengan kapasitas truk (m ) dan jumlah ritasi adalah jumlah truk yang dibutuhkan. £ akhir thn pencapaian SPM Vol.sampah terangkut SPM pelayanan sampah = £ seluruh kota Vol.sampah Contoh Perhitungan: Pada kondisi eksisting, kota A telah melakukan pengangkutan di beberapa wilayah kota. Direncanakan pada akhir tahun pencapaian, dengan kendaraan yang ada akan mengangkut total volume sampah sebesar 100,000 ton. Total volume sampah kota sampai akhir tahun pencapaian adalah 250,000 ton. Maka nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah: (100,000 ton/250,000 ton) x 100% = 40 % Pada kondisi eksisting, kota A (kota kecil) memiliki 1 TPA yang masih dioperasikan dengan Open Dumping. Pada akhir tahun perencanaan direncanakan TPA tersebut sudah dioperasikan dengan Controlled Landfill, tidak ada rencana pembangunan lokasi baru, maka nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah 100%. d. Sumber Data - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. - Data Timbulan sampah dan komposisi sampah dikeluarkan oleh Dinas yang membidangi Pengelolaan Sampah. 36 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG e. Rujukan - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah - Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum - Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2006 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan - SNI 03 - 3241 – 1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah f. Target SPM Pengangkutan Sampah 70% untuk 2014 g. Langkah kegiatan - Sosialisasi mengenai pengelolaan sampah terpadu - Menentukan cakupan layanan pengangkutan - Menghitung jumlah kendaraan yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah sampah dari sumber - Melakukan pengangkutan sampah minimal 2 kali seminggu - Melakukan pengangkutan dengan aman, sampah tidak boleh berceceran ke jalan saat pengangkutan (gunakan jaring, jangan mengangkut sampah melebihi kapasitas kendaraan) - Melakukan pembersihan dan perawatan berkala untuk kendaraan untuk mencegah karat yang diakibatkan leachate dari sampah yang menempel di kendaraan - Sosialisasi mengenai pengelolaan sampah terpadu - Menghitung timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA. - Merencanakan luas kebutuhan lahan TPA berdasarkan jumlah sampah yang masuk ke TPA - Merencanakan sarana / prasarana TPA yang dibutuhkan berdasarkan kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan, meliputi : · Fasilitas umum (jalan masuk, pos jaga, saluran drainase, pagar, listrik, alat komunikasi) · Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan dasar kedap air, pengumpul lindi, pengolahan lindi, ventilasi gas dan sumur uji) · Fasilitas penunjang (air bersih, jembatan timbang dan bengkel). · Fasilitas operasional (buldozer, escavator, wheel/track loader, dump truck, pengangkut tanah). - Memperkirakan timbulan leachate - Memperkirakan timbulan gas methan - Merencanakan tahapan konstruksi TPA - Merencanakan pengoperasian TPA sampah : · Rencana pembuatan sel harian · Rencana penyediaan tahap penutup · Rencana operasi penimbunan/pemadatan sampah · Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai peraturan yang berlaku - Merencanakan kegiatan operasi / pemeliharaan dan pemanfaatan bekas lahan TPA h. SDM SDM Dinas yang membidangi Pengelolaan Persampahan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah HIMPUNAN PRODUK HUKUM 37 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 III. DRAINASE 1. Tersedianya Sistem Jaringan Drainase Skala Kawasan dan Skala Kota a. Pengertian Adalah sistem jaringan saluran-saluran air yang digunakan untuk pematusan air hujan, yang berfungsi menghindarkan genangan (inundation) yang berada dalam suatu kawasan atau dalam batas administratif kota. b. Definisi Operasional Tersedianya sistem jaringan drainase adalah ukuran pencapaian kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan penyediaan sistem drainase diwilayahnya, baik bersifat struktural yaitu pencapaian pembangunan fisik yang mengikuti pengembangan perkotaannya, maupun bersifat non-struktural yaitu terselenggaranya pengelolaan dan pelayanan drainase oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang berupa fungsionalisasi institusi pengelola drainase dan penyediaan peraturan yang mendukung penyediaan dan pengelolaannya. c. Cara Perhitungan SPM sistem jaringan drainase skala kawasan dan kota adalah persentase dari pelayanan sistem drainase yang bersifat struktural dan non-struktural. Jumlah infrastruktur drainase yang dikelola (A) SPM= x 100 % Jumlah infrastruktur drainase yang harus dibangun (B) A = Jumlah panjang saluran dan jumlah pompa dll, yang telah dibangun dan mampu dikelola O/P nya oleh Kota/Kabupaten; B = Jumlah panjang saluran dan jumlah pompa serta infrastruktur drainase lain yang telah direncanakan untuk dibangun didalam Rencana Induk Sistem Drainase yang tercantum dalam perencanaan Kota/Kabupaten. d. Sumber Data - Rencana Induk Sistem Drainase Kota/Kabupaten, Master Plan Kota/ Kabupaten; - Peta Jaringan Drainase Perkotaan yang dikeluarkan Bappeko/Bappekab atau Dinas Pekerjaan Umum Kota/Kabupaten; - Data Kondisi Saluran dalam Laporan Monitoring Operasi dan Pemeliharaan Saluran Drainase pada Dinas Pekerjaan Umum Kota/Kabupaten. e. Rujukan - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 51, Pasal 57 dan Pasal 58; - Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 239/KPTS/1987 Tentang Pedoman Umum Mengenai Pembagian Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Drainase Kota. f. Target SPM sistem jaringan drainase skala kawasan dan kota ditargetkan sebesar 50% pada tahun 2014. Pencapaian 100% diharapkan bertahap mengingat saat ini banyak Pemerintah Kota/Kabupaten yang belum mempunyai Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan maupun penerapan O/P secara konsisten. g. Langkah Kegiatan Perlunya memperkuat kegiatan non-struktural yang berupa Pembinaan Teknis pembuatan Rencana Induk Sistem Drainase maupun memperkuat institusi pengelola drainase di daerah dalam melaksanakan O/P. h. SDM 38 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG - SDM Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Tidak Terjadinya Genangan > 2 Kali/Tahun a. Pengertian Yang disebut genangan (inundation) adalah terendamnya suatu kawasan permukiman lebih dari 30 cm selama lebih dari 2 jam. Terjadinya genangan ini tidak boleh lebih dari 2 kali pertahun. b. Definisi Operasional Genangan (inundation) yang dimaksud adalah air hujan yang terperangkap di daerah rendah/cekungan di suatu kawasan, yang tidak bisa mengalir ke badan air terdekat. Jadi bukan banjir yang merupakan limpasan air yang berasal dari daerah hulu sungai di luar kawasan/kota yang membanjiri permukiman di daerah hilir. c. Cara Perhitungan SPM ini adalah persentase luasan yang tergenang di suatu Kota/Kabupaten pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap luasan daerah rawan genangan atau berpotensi tergenang di Kota/Kabupaten dimaksud. Luasan daerah bebas genangan (A) SPM= x 100 % Luas daerah rawan genangan (B) A = luasan daerah yang sebelumnya tergenang dan kemudian terbebas dari genangan (terendam < 30cm dan < 2 jam dan maksimal terjadi 2 kali setahun); B = luasan daerah yang rawan genangan dan berpotensi tergenang (sering kali terendam > 30 cm dan tergenang > 2 jam dan terjadi > 2 kali/tahun). d. Sumber Data - Rencana Induk Sistem Drainase Kabupaten/Kota, Master Plan Drainase Kabupaten/Kota; - Peta Jaringan Drainase Perkotaan yang dikeluarkan oleh Kabupaten/Kota; - Data Kondisi Saluran dalam Laporan Monitoring Operasi dan Pemeliharaan Saluran Drainase pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota. e. Rujukan - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. - Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 239/KPTS/1987 Tentang Pedoman Umum Mengenai Pembagian Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Drainase Kota. f. Target SPM ditargetkan sebesar 50% pada tahun 2014. Pencapaian 100% dilakukan secara bertahap, mengingat Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah yang sering tergenang akan memerlukan kolam retensi (polder). Tidak semua daerah akan mampu membangunnya, sehingga memerlukan upaya dan waktu agar Pemerintah dan Pemerintah Provinsi memberikan dana stimulan. g. Langkah Kegiatan Memperkuat pengelola drainase dalam melaksanakan Perencanaan dan O/P melalui kegiatan Pembinaan Teknis h. SDM - SDM pada Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 39 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG CIPTA KARYA PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN I. PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN Berkurangnya Luasan Permukiman Kumuh di Kawasan Perkotaan a. Pengertian - Permukiman adalah lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian secara menyeluruh dan terpadu, yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. - Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan, kepadatan, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. - Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. - Luasan permukiman kumuh sebagai acuan pencapaian target SPM, ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan kondisi yang disesuaikan dengan tahun diterbitkannya Peraturan Menteri PU tentang SPM bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, dengan mengacu pada standar teknis yang berlaku. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah menetapkan luasan permukiman kumuh, diharapkan untuk dapat segera memperbarui data tersebut. b. Definisi Operasional Berkurangnya luasan permukiman kumuh, yang telah ditetapkan pada tahun diterbitkannya Peraturan Menteri PU tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, melalui peningkatan kualitas permukiman pada permukiman yang tidak layak huni dan/atau permukiman yang sudah layak, dalam rangka meningkatkan fungsi dan daya dukung kawasan dalam bentuk perbaikan, pemugaran, peremajaan, pemukiman kembali serta pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan. c. Cara Perhitungan Nilai Indikator 1) Rumus SPM penanganan permukiman kumuh perkotaan adalah persentase dari luasan permukiman kumuh yang tertangani di Kota A hingga akhir tahun pencapaian SPM terhadap total luasan permukiman kumuh yang telah ditetapkan oleh Walikota/Bupati di kota A. £ akhir thn pencapaian SPM Permukiman Kumuh yang Tertangani di Kota A SPM tingkat pelayanan = £ hotaA Total Permukiman Kumuh yang Telah Ditetapkan di Kota A 2) Pembilang Luasan permukiman kumuh yang tertangani adalah jumlah kumulatif kawasan permukiman kumuh yang telah tertangani di Kota A sejak diterbitkannya Permen tentang SPM bidang PU dan Penataan Ruang hingga akhir tahun pencapaian SPM. 40 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 3) Penyebut Luas permukiman kumuh adalah jumlah seluruh luasan permukiman kumuh yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota di Kota A pada tahun diterbitkannya Peraturan Menteri PU tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. 4) Ukuran Konstanta Persen (%). 5) Contoh perhitungan Kota A telah mengurangi luasan permukiman kumuh sebanyak 50 Ha sejak diterbitkannya Peraturan Menteri PU tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang hingga tahun 2014, sedangkan total luasan permukiman kumuh yang telah ditetapkan oleh Walikota/Bupati di Kota A pada tahun diterbitkannya Peraturan Menteri PU tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang adalah seluas 500 Ha. Maka, nilai SPM pelayanan penanganan permukiman kumuh perkotaan pada akhir tahun pencapaian SPM adalah sebagai berikut: 50 Ha x 100% = 10% 500 Ha d. Sumber Data - Strategi Pengembangan Kota (SPK) Kabupaten/Kota - Rencana pengembangan wilayah dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten/Kota - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten/ Kota - Strategi Pengembangan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) Kabupaten/Kota - Rencana Pembangunan Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten/ Kota - Dokumen program-program sektoral. e. Rujukan 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. f. Target SPM tingkat pelayanan adalah 10% pada tahun 2014 g. Penanganan Peningkatan kualitas permukiman dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, martabat yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang dilakukan berdasarkan identifikasi melalui penentuan kriteria kumuh dan pembobotan kekumuhan dengan penanganan meliputi: 1. perbaikan, yaitu dengan melaksanakan kegiatan tanpa perombakan yang mendasar, bersifat parsial, dan dilaksanakan secara bertahap 2. pemugaran, yaitu dengan melakukan perbaikan dan/atau pembangunan kembali rumah dan lingkungan sekitar menjadi keadaan asli sebelumnya 3. peremajaan, yaitu dengan melakukan perombakan mendasar dan bersifat menyeluruh dalam rangka mewujudkan kondisi rumah dan lingkungan sekitar menjadi lebih baik 4. pemukiman kembali, yaitu dengan memindahkan masyarakat yang tinggal HIMPUNAN PRODUK HUKUM 41 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 di perumahan tidak layak huni ke lokasi perumahan lain yang layak huni, dan 5. pengelolaan dan pemeliharaan, yaitu dengan mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permukiman agar berfungsi sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara berkelanjutan. Melalui kegiatan ini masyarakat difasilitasi dan distimulasi untuk secara bersama memperbaiki kehidupan dan penghidupannya melalui penataan kembali permukiman kumuh, yang dilakukan melalui tahapan pelaksanaan antara lain: 1. Pemilihan dan penetapan lokasi 2. Sosialisasi 3. Rembug warga 4. Survey 5. Perencanaan 6. Matriks Program 7. Peta Rencana – DED 8. Pelaksanaan fisik h. SDM Dinas/SKPD pada Pemerintah Kabupaten/Kota yang membidangi Pekerjaan Umum. 42 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG CIPTA KARYA PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN I. IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN GEDUNG (IMB) Terlayaninya Masyarakat dalam Pengurusan IMB di Kabupaten/Kota a. Pengertian Adalah meningkatnya jumlah bangunan gedung yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) di kabupaten/kota untuk memenuhi ketentuan administratif dan ketentuan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya guna mewujudkan bangunan yang andal serta terwujudnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. b. Definisi Operasional Izin Mendirikan Bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota, dan oleh Pemerintah atau pemerintah provinsi untuk bangunan gedung fungsi khusus kepada pemilik bangunan gedung untuk kegiatan meliputi: - Pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana bangunan gedung. - Rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/ pengurangan; dan - Pelestarian/pemugaran. c. Cara Perhitungan Pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) di kabupaten/kota di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung yang substansinya mengikuti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (PPBG). Rencana capaian jumlah bangunan gedung yang memiliki IMB mengikuti rencana capaian Perda Bangunan Gedung tahun 2010 hingga 2014 yaitu 289 kabupaten/kota yang telah memperoleh bantuan penyusunan Perda Bangunan Gedung. Sehingga rencana capaian jumlah bangunan yang terlayani kepada masyarakat dalam memohon IMB adalah tidak ada yang tidak terlayani (pencapaian penerbitan IMB di kabupaten/kota adalah 100% di 289 kabupaten/kota hingga tahun 2014). d. Rujukan - Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. - Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. - Peraturan Menteri PU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung. e. Target SPM terlayaninya masyarakat yang memohon IMB adalah 100% di 289 kabupaten/kota pada tahun 2014. f. Langkah Kegiatan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 43 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Peningkatan prosentase jumlah bangunan gedung di kabupaten/kota yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) melalui: - Sosialisasi pentingnya IMB ke masyarakat untuk mewujudkan tertib pembangunan dan meningkatkan keselamatan pengguna bangunan gedung. - Menyesuaikan perda retribusi dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung. - Besarnya retribusi ditetapkan dengan tarif yang proporsional dan transparan serta mengacu ke Peraturan Menteri PU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung. - Prosedur pengurusan IMB sesuai dengan tingkat kompleksitas bangunan gedung. Sebagai contoh pengurusan IMB bangunan sederhana lebih cepat dibandingkan dengan bangunan yang lebih kompleks. - Lokasi pelayanan pengurusan dan pembayaran retribusi IMB didekatkan ke masyarakat seperti untuk rumah tinggal. - Untuk memudahkan dalam proses pengurusan dan penerbitan IMB dapat menggunakan software pendataan bangunan gedung. g. SDM Dinas yang membidangi perizinan di daerah. II. INFORMASI HARGA STANDAR BANGUNAN GEDUNG NEGARA (HSBGN) Pedoman Harga Satuan Bangunan Gedung Negara Di Kabupaten/Kota a. Pengertian Adalah tersedianya Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota sehingga mendukung pencapaian sasaran penyelenggaraan bangunan gedung melalui penyediaan HSBGN yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. b. Definisi Operasional Harga Satuan Bangunan Gedung Negara 2 merupakan biaya maksimum per-m pelaksanaan konstruksi untuk pembangunan bangunan gedung negara khususnya untuk pekerjaan standar bangunan gedung negara yang ditetapkan secara berkala untuk setiap kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota setempat, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta ditetapkan oleh Gubernur. c. Cara Perhitungan Hingga tahun 2009 lebih dari 90% kabupaten/kota telah menyusun Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) sehingga diharapkan di tahun 2014 seluruh kabupaten/kota telah memiliki HSBGN. d. Rujukan - Pasal 14 ayat (4) Keputusan Presiden RI Nomor 42 Tahun 2002. - Peraturan Menteri PU Nomor 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. e. Target SPM Pedoman Harga Satuan Bangunan Negara di kabupaten/kota adalah 100% pada tahun 2014. f. Langkah Kegiatan - Menyiapkan petugas pendata/penyusun HSBGN. - Petugas pendata/penyusun HSBGN perlu diikutsertakan pada sosialisasi dan bimbingan teknis tenaga pendata HSBGN yang diselenggarakan oleh Satker Penataan Bangunan dan Lingkungan untuk meningkatkan pemahaman, 44 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG kapasitas dan keterampilan. - Petugas melakukan pendataan setiap 3 bulan. - Petugas menyusun analisa dan pelaporan. - Petugas membuat usulan HSBGN yang akan ditetapkan oleh bupati/ walikota. g. SDM - Dinas yang membidangi Pekerjaan Umum di daerah - BAPPEDA HIMPUNAN PRODUK HUKUM 45 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG JASA KONSTRUKSI I. IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI Penerbitan Izin Usaha Jasa Konstruksi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah persyaratan lengkap a. Pengertian - Badan usaha jasa konstruksi nasional untuk selanjutnya disebut Badan Usaha adalah Badan Usaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi.· Domisili adalah tempat pendirian dan kedudukan Badan Usaha sesuai dengan wilayah kabupaten/kota. - Izin Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disingkat IUJK adalah izin untuk melakukan usaha di bidang jasa konstruksi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau Pejabat yang ditunjuk. - Lembaga adalah Lembaga sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. - Waktu Penerbitan IUJK adalah waktu yang dibutuhkan untuk terbitnya IUJK terhitung mulai dari tanggal lengkapnya seluruh persyaratan IUJK sampai dengan tanggal diterbitkannya IUJK setelah dikurangi dengan hari libur dalam kurun waktu tersebut. b. Definisi Operasional - Kriteria tingkat pelayanan adalah bahwa setiap kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan penerbitan IUJK bagi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang memenuhi syarat. - Nilai SPM tingkat pelayanan penerbitan IUJK adalah waktu penerbitan IUJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah persyaratan lengkap. c. Cara Perhitungan/Rumus. 1) Rumus SPM tingkat pelayanan penerbitan IUJK adalah waktu proses penerbitan IUJK dengan rumus sebagai berikut: Waktu Penerbitan IUJK = tanggal diterbitkannya IUJK – tanggal dinyatakan dokumen lengkap - jumlah hari libur (sabtu, minggu dan libur nasional) dalam kurun waktu penerbitan IUJK Target waktu penerbitan IUJK adalah paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, dengan demikian pencapaian dari tingkat pelayanan SPM untuk kabupaten/ kota dapat dihitung dari rumus berikut: 46 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG ∑ Pemohon IUJK yang terlayani (diterbitkan IUJK nya) paling lama 10 hari kerja SPM tingkat pelayanan = ∑ Seluruh Pemohon IUJK yang persyaratannya dinyatakan lengkap Sedangkan rumus tingkat pelayanan SPM untuk Nasional adalah sebagai berikut: £ tingkat _ pelayanan _ SPM _ kabupaten _ kota _ seluruh _ indonesia Tingkat _ Pelayanan SPM _ Nasional= Jumlah _ kabupaten / kota _ diseluruh _ indonesia IUJK harus tetap diproses dengan skala prioritas yang sama, meskipun waktu penerbitan IUJK sudah melewati batas 10 (sepuluh) hari kerja. 2) Pembilang Untuk rumus tingkat pelayanan SPM Kabupaten/kota adalah Jumlah Permohonan IUJK yang IUJK nya diterbitkan paling lama 10 hari kerja sejak dinyatakan lengkapnya permohonan penerbitan IUJK. 3) Penyebut Jumlah permohonan IUJK yang seluruh persyaratannya telah dinyatakan lengkap. 4) Ukuran/Konstanta Persen (%) 5) Contoh Perhitungan Contoh: Data Jumlah permohonan IUJK yang seluruh persyaratannya telah dinyatakan lengkap pada tahun 2014 dari Kabupaten A adalah sebanyak 105 permohonan. Pada tahun tersebut diketahui juga bahwa jumlah permohonan IUJK yang IUJKnya diterbitkan kurang atau sama dengan 10 (sepuluh) hari kerja adalah sebanyak 98 permohonan. Maka pencapaian tingkat pelayanan SPM dari Kabupaten A pada tahun 2014 adalah SPM Tingkat Pelayanan = 98 = 93.33 % 105 Misalkan diketahui total jumlah tingkat pelayanan SPM untuk Kabupaten/ kota di seluruh Indonesia pada tahun 2014 adalah 40,957 sedangkan diketahui bahwa pada tahun 2014 jumlah kabupaten/kota adalah sebanyak 497 kabupaten/kota, maka tingkat pelayanan SPM untuk nasional adalah: SPM Tingkat Pelayanan Nasional = 40,957 = 82.40 % 497 d. Sumber Data - Data pendukung dari masing-masing kabupaten/kota untuk tanggal dinyatakan lengkapnya suatu dokumen permohonan IUJK dan tanggal diterbitkannya IUJK. - Data jumlah permohonan IUJK yang seluruh persyaratannya dinyatakan lengkap. - Data jumlah IUJK yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. e. Rujukan 1. Peraturan Pemerintah Nomor: 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah atara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 47 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 daerah Kabupaten/Kota. 2. Peraturan Daerah masing-masing kabupaten/kota tentang pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 369/ KPTS/M/2001 tentang Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional. f. Target SPM Tingkat Pelayanan adalah 100% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan 1. Dalam pelaksanaan Penerbitan Izin Usaha Jasa Konstruksi mengacu pada pedoman yang diterbitkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 2. Badan Usaha nasional yang ingin memperoleh IUJK harus mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, dengan mengisi formulir yang telah disediakan. 3. Setelah mengisi surat permohonan sesuai formulir yang disediakan, Badan Usaha harus melengkapi dengan kelengkapan antara lain: a) Rekaman Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang telah diregistrasi oleh Lembaga. b) Persyaratan administrasi lainnya yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten/ Kota selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4. Setiap IUJK diberikan nomor kode izin sesuai dengan pedoman pemberian nomor IUJK yang diterbitkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 5. IUJK berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). 6. Setiap IUJK yang diberikan pada Badan Usaha mempunyai masa berlaku 3 (tiga) tahun sesuai dengan masa berlaku Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan dapat diperpanjang 7. Setiap IUJK yang diberikan kepada Badan Usaha dikategorikan sebagai IUJK baru atau perpanjangan atau perubahan. 8. Unit kerja/Pejabat yang ditunjuk menerbitkan IUJK adalah Unit kerja/Pejabat yang tugas dan fungsinya membidangi pembinaan jasa konstruksi. 9. Unit Kerja/Pejabat yang melaksanakan pemberian IUJK wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Bupati/ Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri Pekerjaan Umum. 10. Bupati/Walikota melakukan pengawasan pelaksanaan pemberian IUJK. 11. Badan Usaha yang mekakukan pelanggaran tidak memiliki tanda registrasi oleh Lembaga, maka dikenakan sanksi sesuai PP 28 tahun 2000 pasal 34. 12. Badan Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan izin usaha jasa konstruksi, maka dikenakan sanksi sesuai dengan PP 28 tahun 2000 pasal 35. h. Lampiran 1. Form Permohonan Jasa Pelaksana Konstrukai; 2. Form Permohonan Jasa Perencana/Pengawa Konstruksi; 3. Form Tata cara Pemberian Nomor IUJK; 4. Form IUJK; 5. Form Laporan Pemberian IUJK; 6. Form Laporan Kegiatan. 48 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG Lampiran I-1a: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI NASIONAL Nomor: 369/KPTS/M/2001 Tanggal: 10 Juli 2001 CONTOH PERMOHONAN JASA PELAKSANA KONSTRUKSI Nomor: ......................, 200... Lampiran: Kepada Yth. Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota .............................................. .............................................. Di ......................................... Pemerintah: Permohonan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) Dengan hormat, Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk memperoleh Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) untuk 1. Permohonan izin baru 2. Memperpanjang izin usaha 3. Mengubah data Di Kabupaten/Kota .................. Propinsi .................. untuk bidang pekerjaan sebagai berikut: 1. Pekerjaan Arsitektur 2. Pekerjaan Sipil 3. Pekerjaan Mekanikal 4. Pekerjaan Elektrikal 5. Pekerjaan Tata Lingkungan Bersama ini kami lampirkan persyaratan-persyaratan dan keterangan sebagai berikut: 1. Rekanan Sertifikat Badan Usaha LPJK Propinsi ........................................... 2. Tanda bukti pembayaran izin 3. Dst. Demikian permohonan kami dan atas perkenannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon PT ................................................ Penanggung Jawab Badan Usaha/ Orang-Perorangan Nama Jelas Catatan: Untuk bidang pekerjaan dilingkari/dipilih sesuai yang diinginkan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 49 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Lampiran I-1b: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI NASIONAL Nomor: 369/KPTS/M/2001 Tanggal: 10 Juli 2001 CONTOH FORM PERMOHONAN JASA PERENCANA/PENGAWAS KONSTRUKSI *) Nomor: ......................, 200... Lampiran: Kepada Yth. Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota .............................................. .............................................. Di ......................................... Pemerintah: Permohonan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) Dengan hormat, Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk memperoleh Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) dalam rangka 1. Permohonan izin baru 2. Memperpanjang izin usaha 3. Mengubah data Di Kabupaten/Kota .................. Propinsi .................. untuk bidang pekerjaan dan lingkup layanan sebagai berikut: Bidang pekerjaan Lingkungan Layanan Perencanaan Lingkup Layanan 1. Arsitektur 1. Jasa Survey Pengawasan 2. Sipil 2. Jasa Testing Laboratorium 1. Jasa Inspeksi/Supervisi 3. Mekanikal 3. Jasa Perencanaan Umum & Studi 2. Jasa Testing 4. Elektrikal Mikro lainnya Laboratorium 5. Tata Lingkungan 4. Studi Kelayakan 3. Jasa Manajemen 5. Jasa Perencanaan Teknik, Operasi, & Konstruksi Pemeliharaan 4. Jasa Manajemen Proyek 6. Jasa Bantuan & Nasehat Teknis 7. Jasa Penelitian 8. Jasa Manajemen Konstruksi 9. Jasa Manajemen Proyek Bersama ini kami lampirkan persyaratan-persyaratan dan keterangan sebagai berikut: 1. Rekanan Sertifikat Badan Usaha LPJK Propinsi ........................................... 2. Tanda bukti pembayaran izin 3. Dst. Demikian permohonan kami dan atas perkenannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon PT ................................................ Penanggung Jawab Badan Usaha/ Orang-Perorangan Nama Jelas Catatan: Untuk bidang pekerjaan dilingkari/dipilih sesuai yang diinginkan 50 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG Lampiran I-2: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARAN WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI NASIONAL Nomor: 369/KPTS/M/2001 Tanggal: 10 Juli 2001 TATACARA PEMBERIAN NOMOR PADA IUJK Jumlah digit: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Digit 1 : Bentuk usaha diisi 1. Perusahaan Nasional 2. Perusahaan Modal Dalam Negeri Digit 2 s/d 7 : Nomor registrasi pada LPJK Propinsi Digit 8 s/d 11 : Untuk kode kabupaten/kota dimana perusahaan berdomisili sesuai dengan kode yang dikeluarkan BPS Digit 12 : Jenis usaha diisi 1. = Jasa Perencanaan 2. = Jasa Pelaksanaan 3. = Jasa Pengawasan 4. = Gabungan dari ketiganya Digit 13 s/d 17: Untuk nomor urut yang tercatat di Kabupaten/Kota (masing-masing jenis usaha perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dimulai dengan nomor 00001). Nomor urut ini tetap dipakai walaupun telah diperpanjang/diubah Contoh 1. Sebuah perusahaan jasa konstruksi berdomisili di Surakarta dan terdaftar di LPJK propinsi Jawa Tengah dengan nomor 809465 serta tercatat pada buku induk Pemerintah Daerah Surakarta no. 00611 berusaha di bidang pelaksanaan maka kode perusahaan tersebut adalah 1. Badan Usaha : 1 (Perusahaan nasional) 2. Tercatat di LPJK : 809465 3. Kode kota Surakarta : 3372 4. Jenis Usaha : 2 (Jasa pelaksanaan) 5. Nomor urut perusahaan : 00811 Kode perusahaan : 1-809465-3372-2-00811 Contoh 2 Sebuah perusahaan penanaman modal asing di bidang jasa konstruksi berasal dari negara Filipina membuka kantor perwakilan di Manado terdaftar di LPJK propinsi Sulawesi Utara dengan nomor 001954 serta tercatat pada buku Induk Pemerintah Daerah Menado no 2909 berusaha di bidang pengawasan konstruksi maka kode perusahaan tersebut adalah 1. Badan Usaha : 1 (Perusahaan PM Asing) 2. Tercatat di LPJK : 001954 3. Kode kota Surakarta : 7172 4. Jenis Usaha : 3 (Jasa pengawasan) 5. Nomor urut perusahaan : 02909 Kode perusahaan : 3-001954-7172-3-02909 HIMPUNAN PRODUK HUKUM 51 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 Lampiran I-3: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI NASIONAL Nomor: 369/KPTS/M/2001 Tanggal: 10 Juli 2001 CONTOH FORM IUJK LOGO PEMDA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN / KOTA ........................... IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI NASIONAL Nomor: ................................. Nama Perusahaan : ...................................................................................... Alamat Kantor Perusahaan : ...................................................................................... Jalan, nomor : ...................................................................................... Kelurahan : ...................................................................................... RT/RK/RW : ...................................................................................... Kabupaten/Kota : ...................................................................................... Propinsi : ...................................................................................... Nomor Telepon : ...................................................................................... Nama Penanggungjawab Perusahaan/Direktur Utama Nama : ...................................................................................... NPWP Perusahaan : ...................................................................................... Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) ini berlaku untuk Kegiatan Usaha Jasa ................................. *) Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Bidang Pekerjaan : ...................................................................................... Berlaku sampai dengan tanggal : ...................................................................................... Dikeluarkan di: ........................................... Pada tanggal: ............................................ Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota ........................ ............................................................................ Cap dan tandatangan (................................................................................) NIP ........................................................................... Catatan: *) diisi sesuai dengan kegiatan usaha: Perencanaan/Pelaksanaan/Pengawasan 52 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) LAMPIRAN I-4: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IUJK NOMOR: 369/KPTS/M/2001 TANGGAL: 10 JULI 2001 Contoh form laporan instansi yang ditunjuk kepada Bupati/Walikota LAPORAN PEMBERIAN IUJK KABUPATEN/KOTA ............................... TAHUN: .................................................... TRIWULAN/SEMESTER KE: ................... Jasa Perencanaan/Jasa Pelaksana/Jasa Pengawasan: NO BULAN JUMLAH DOKUMEN JUMLAH IUJK (BUAH) KETERANGAN PERMOHONAN (TOTAL) PERMOHONAN PERUBAHAN PERPANJANGAN BADAN USAHA BARU BADAN USAHA BADAN USAHA 1 2 3 4 5 6 7 Tembusan: 1. Gubernur ......................................... 2. Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang konstruksi .............................................................tgl....................... .......... Pemerintah Kabupaten/Kota ......................................................................................... ......... STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM Catatan: • Dibuat sesuai kegiatan BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL • Setiap akhir bulan Juni dan Desember dilaporkan kepada Bupati/Walikota 53 54 LAMPIRAN I-5: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IUJK NOMOR: 369/KPTS/M/2001 TANGGAL: 10 JULI 2001 Contoh laporan instansi yang ditunjuk kepada Bupati/Walikota LAPORAN KEGIATAN PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI BULAN: .................................................... Jasa Perencanaan/Jasa Pelaksana/Jasa Pengawasan: PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 HIMPUNAN PRODUK HUKUM Nama paket pekerjaan Status pekerjaan tgl 10 bln laporan NAMA PERUSAHAAN NO NO. IUJK Nilai pekerjaan Nilai Pekerjaan ALAMAT, KOTA, TELP STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Mulai – Selesai pekerjaan Rencana Realisasi 1 2 3 4 5 6 7 Tembusan: 1. Gubernur ......................................... 2. Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang konstruksi .............................................................tgl..................... ............ Pemerintah Kabupaten/Kota...................................... ........... Catatan: • Setiap jenis usaha dibuat tersendiri • Laporan dibuat oleh masing-masing Dinas/Instansi yang melakukan kegiatan teknis dan dikoordinasikan oleh instansi yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota untuk menerbitkan IUJK • Laporan dibuat sesuai tanggal yang sudah ditetapkan setiap bulannya • Untuk proyek swasta adalah instansi penerbit IMB • Proyek swasta yang dilaporkan adalah yang digunakan untuk umum STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG II. SISTEM INFORMASI JASA KONSTRUKSI Tersedianya Sistem Informasi Jasa Konstruksi Setiap Tahun a. Pengertian - Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. - Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau saat mendatang. - Sistem Informasi adalah sekumpulan komponen dari informasi yang saling terintegrasi untuk mencapai tujuan yang spesifik. - Sistem infomasi jasa konstruksi adalah sekumpulan komponen dari informasi mengenai jasa konstruksi yang saling terintegrasi untuk menyajikan data dan infomasi mengenai jasa konstruksi. b. Definisi Operasional - Kriteria tingkat pelayanan adalah bahwa seluruh pemangku kepentingan jasa konstruksi dapat memperoleh data dan informasi terkini mengenai jasa konstruksi. - SPM tingkat pelayanan sistem informasi jasa konstruksi adalah persentase penyajian data dan informasi mengenai jasa konstruksi terkini yang di evaluasi setiap tahun anggaran. c. Jenis Layanan Produk layanan yang disajikan dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi adalah : 1) Informasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang ter-update secara berkala 2) Informasi Tenaga Kerja Jasa Konstruksi yang ter-update secara berkala 3) Informasi Potensi Pasar Jasa Konstruksi untuk satu tahun anggaran berikutnya 4) Informasi Ijin Usaha Jasa Konstruksi yang ter-update secara berkala 5) Informasi Paket Pekerjaan Jasa Konstruksi yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi yang berdomisili di kabupaten/kota setempat yang ter-update secara berkala 6) Informasi Standar Biaya Umum Kabupaten/Kota yang ter-update setiap tahun anggaran 7) Profil Tim Pembina Jasa Konstruksi di Kabupaten/Kota beserta tata cara penyampaian Pengaduan/keluhan. d. Cara Perhitungan/Rumus 1) Rumus SPM SPM tingkat pelayanan sistem informasi jasa konstruksi di kabupaten/kota adalah persentase penyajian data dan informasi mengenai jasa konstruksi terkini yang di evaluasi setiap tahun anggaran. Atau dirumuskan sebagai berikut : Total jenis layanan minimal terevaluasi £  jenis layanan minimal terupdate SPM tingkat pelayanan = Total jenis layanan minimal £ jenis layanan minimal Sedangkan rumus SPM tingkat pelayanan nasional dirumuskan sebagai berikut :  Total SPM tingkat pelayanan diseluruh kab/kota ∑ SPM tingkat pelayanan diseluruh kab/kota  SPM tingkat pelayanan = Total kabupaten/kota ∑ kabupaten / kotal HIMPUNAN PRODUK HUKUM 55 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 2) Pembilang Total jenis layanan terupdate adalah kumulatif jenis layanan data dan informasi minimal yang ditampilkan, diupdate secara berkala dan telah di evaluasi keterkiniannya oleh Instansi/unit yang ditunjuk sebagai evaluator. 3) Penyebut Total jenis layanan minimal adalah kumulatif jenis layanan data dan informasi minimal sesuai dengan jenis layanan pada point 3. 4) Ukuran / konstanta Persen (%) 5) Contoh perhitungan Pada kondisi eksisting di kabupaten A yang telah memiliki sistem informasi jasa konstruksi yang di evaluasi pada catur wulan pertama tahun anggaran adalah : - Informasi Badan Usaha Jasa Konstruksi telah ter-update secara berkala - Informasi Tenaga Kerja Jasa Konstruksi tidak ada - Informasi Potensi Pasar Jasa Konstruksi masih merupakan data tahun anggaran sebelumnya. - Informasi Ijin Usaha Jasa Konstruksi yang ter-update secara realtime - Informasi Paket Pekerjaan Jasa Konstruksi yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi tidak terupdate. - Informasi Standar Biaya Umum Kabupaten/Kota yang terupdate telah diupdate sesuai dengan tahun anggaran. - Profil Tim Pembina Jasa Konstruksi di Kabupaten/Kota beserta tata cara penyampaian Pengaduan/keluhan tersedia. Maka nilai SPM tingkat pelayanan pada catur wulan pertama tahun anggaran adalah 4/7 = 57% Dan untuk SPM tingkat pelayanan sistem informasi jasa konstruksi nasional misalkan diketahui total jumlah rata-rata SPM tingkat pelayanan untuk Kabupaten/kota pada tahun 2014 adalah 40. 957 dan diketahui bahwa pada tahun 2014 jumlah kabupaten/kota adalah sebanyak 497 kabupaten/kota, maka tingkat pelayanan SPM untuk nasional adalah: 40.957 Tingkat pelayanan SPM nasional =  x 100%  497 Tingkat pelayanan SPM nasional 2014 adalah = 82,41% e. Rujukan 1. Peraturan Pemerintah no 30 tahun 2000 tentang pembinaan jasa konstruksi. 2. Peraturan Pemerintah Nomor: 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah atara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. f. Target SPM tingkat pelayanan adalah 100% pada tahun 2014 g. Standar Input Untuk dapat melaksanakan layanan yang baik maka harus jelas mengenai input yang dibutuhkan untuk memperoleh produk data dan informasi yang akan diberikan kepada calon pengguna. Standar input ini berupa data-data yang haru disiapkan untuk diproses menjadi produk layanan informasi seperti : 56 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG - materi/data/informasi yang disajikan, - waktu data dan informasi di diperoleh. - waktu saat data ditampilkan pada sistem, - sumber data atau informasi, - dan jika perlu dicantumkan contact person data/infomasi yang disajikan. h. Standar Proses Standar proses pelayanan adalah menyangkut indikator-indikator yang perlu diperhatikan dalam proses pelayanan minimal yang antara lain sebagai berikut : 1) Alamat website Sistem Informasi jasa konstruksi : Seluruh data dan informasi Sistem Informasi Jasa Konstruksi ditampilkan pada sebuah website dengan alamat website yang mewakili nama kabupaten/kota dan konstruksi. Contoh : www.konstruksi-kotapalembang.net, atau dapat juga di tampilkan dalam sub domain website resmi kabupaten/kota. Contoh : konstruksi. palembang.go.id 2) Sumber Data dan Informasi : instansi terkait yang sudah melalui proses verifikasi dan validasi keabsahan data yang tandai dengan rekomendasi penanggung jawab instansi terkait. 3) Penanggung jawab Sistem Informasi Pembina Jasa Konstruksi Penanggung jawab dan dan penanggung gugat produk layanan informasi Sistem Informasi Jasa Konstruksi adalah orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan Sistem Informasi Jasa Konstruksi yang secara vertikal juga bertanggung jawab kepada bupati / walikota. 4) Operator Operator yang melaksanakan proses memasukkan data atau informasi pada sistem informasi jasa konstruksi adalah orang menguasai penggunaan komputer secara mahir dan yang ditunjuk oleh penanggung jawab sistem informasi sebagai pelaksana proses memasukkan data atau informasi tersebut ke sistem yang secara vertikal juga bertanggung jawab kepada Penanggung Jawab Sistem Informasi Jasa Konstruksi. i. Sumber Daya Manusia Penanggung jawab sistem informasi dan operator berasal dari unit yang membidangi pembinaan jasa konstruksi di kabupaten / kota tersebut yang secara vertikal bertanggung jawab kepada bupati/walikota. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 57 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 PETUNJUK TEKNIS DEFINISI OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENATAAN RUANG I. INFORMASI PENATAAN RUANG Tersedianya Informasi Mengenai Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Kabupaten/ Kota Beserta Rencana Rincinya Melalui Peta Analog Dan Peta Digital a. Informasi Berupa Peta Analog 1) Pengertian Informasi Berupa Peta Analog adalah bentuk informasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan rencana rincinya dalam bentuk cetakan yang dapat digandakan, mudah diakses pada jam kerja, dan tanpa dipungut biaya. Informasi mengenai keberadaan Peta Analog disebarluaskan melalui berita di media massa. 2) Definisi operasional a) Bentuk : peta dalam bentuk cetakan (hardcopy) b) Lokasi : di setiap Kantor Bupati/Walikota, Kantor Penyimpanan Kecamatan, dan Kantor Kelurahan c) Deskripsi : � peta analog dapat terdiri dari peta RTRW Kabupaten/Kota dan peta Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota � peta analog harus memuat informasi rencana struktur dan pola ruang dengan skala minimal 1 : 50.000 (RTRW Kabupaten), 1 : 25.000 (RTRW Kota), dan 1: 5.000 (rencana rinci), yang dilengkapi dengan legenda peta 3) Cara Perhitungan Nilai Indikator a) Rumus SPM Informasi peta analog adalah persentase jumlah peta analog berisi RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rincinya yang tersedia pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah peta analog yang seharusnya tersedia pada Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan tersebut. £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah peta analog SPM Informasi Peta Analog = X 100% £ seluruh kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan Jumlah peta analog b) Pembilang Jumlah peta analog adalah jumlah kumulatif peta analog yang tersedia di Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan pada akhir tahun pencapaian SPM. c) Penyebut Jumlah peta analog adalah jumlah kumulatif peta analog yang seharusnya tersedia di Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan. d) Ukuran Konstanta Persen (%). e) Contoh perhitungan Kabupaten A terdiri dari 30 Kecamatan dan 100 Kelurahan. Pada tahun 2014, tersedia 1 peta analog RTRW Kabupaten A di tingkat Kabupaten, 58 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 20 peta analog RTRW Kabupaten A di tingkat Kecamatan, dan 50 peta analog RTRW Kabupaten A di tingkat Kelurahan. Maka Nilai SPM Informasi Peta Analog pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Kabupaten) = 1/1 x 100% = 100% 2014 (Kecamatan) = 20/30 x 100% = 66,67% 2014 (Kelurahan) = 50/100 X 100% = 50% 4) Sumber Data - Wilayah dalam angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Peta analog yang dikeluarkan oleh Dinas/SKPD yang membidangi penataan ruang. 5) Rujukan - Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: � Pasal 13 ayat (2) huruf g � Pasal 60 huruf a - Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 6) Target Target pencapaian SPM Informasi Peta Analog pada tahun 2014 adalah 100% di tingkat Kabupaten/Kota dan Kecamatan, serta 90% di tingkat Kelurahan. 7) Langkah Kegiatan Pembuatan peta analog RTRW Kabupaten/Kota dan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. 8) SDM SDM pada Dinas/SKPD yang membidangi penataan ruang. b. Informasi Berupa Peta Digital 1) Pengertian Informasi Berupa Peta Digital adalah bentuk informasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan rencana rincinya dalam bentuk peta yang didigitasi, yang dapat dengan mudah diakses pada jam kerja dan tanpa dipungut biaya. 2) Definisi operasional 3) Cara Perhitungan Nilai Indikator a) Rumus SPM Informasi peta digital adalah persentase jumlah peta digital RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rincinya yang ada pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah peta digital seharusnya ada pada Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan tersebut. £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah peta digital SPM Informasi Peta digital = X 100% £ seluruh kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan Jumlah peta digital b) Pembilang Jumlah peta digital adalah jumlah kumulatif peta digital yang tersedia di Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan pada akhir tahun pencapaian SPM. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 59 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 c) Penyebut Jumlah peta digital adalah jumlah kumulatif peta digital yang seharusnya tersedia di Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan. d) Ukuran Konstanta Persen (%). e) Contoh perhitungan Kabupaten A terdiri dari 30 Kecamatan dan 100 Kelurahan. Pada tahun 2014, tersedia 1 peta digital RTRW Kabupaten A di tingkat Kabupaten, 10 peta digital RTRW Kabupaten A di tingkat Kecamatan, dan 15 peta digital RTRW Kabupaten A di tingkat Kelurahan. Maka Nilai SPM Informasi Peta Digital pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Kabupaten) = 1/1 x 100% = 100% 2014 (Kecamatan) = 10/30 x 100% = 33,33% 2014 (Kelurahan) = 15/100 X 100% = 15% 4) Sumber Data - Wilayah dalam angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun analisis. - Peta digital yang dikeluarkan oleh Dinas/SKPD yang membidangi penataan ruang. 5) Rujukan - Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: � Pasal 13 ayat (2) huruf g �Pasal 60 huruf a - Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 6) Target Target pencapaian SPM Informasi Peta Digital pada tahun 2014 adalah 100% di tingkat Kabupaten/Kota dan Kecamatan, serta 90% di tingkat Kelurahan. 7) Langkah Kegiatan Pembuatan peta digital RTRW Kabupaten/Kota dan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. 8) SDM SDM pada Dinas/SKPD yang membidangi penataan ruang. II. PERLIBATAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PENYUSUNAN RTR Terlaksananya Penjaringan Aspirasi Masyarakat Melalui Forum Konsultasi Publik Yang Memenuhi Syarat Inklusif Dalam Proses Penyusunan RTR Dan Program Pemanfaatan Ruang, Yang Dilakukan Minimal 2 (Dua) Kali Setiap Disusunnya RTR Dan Program Pemanfaatan Ruang. a. Pengertian Konsultasi publik dalam penyusunan rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang adalah bentuk pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang sebagai bentuk participatory planning, yang memenuhi syarat inklusif dan mampu menjaring aspirasi masyarakat. b. Definisi operasional 60 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG � Syarat inklusif dalam konsultasi publik adalah syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan konsultasi publik, antara lain stakeholder yang terlibat, kualitas pertemuan, dan jumlah pertemuan. � Stakeholder yang terlibat adalah perwakilan dari pemerintah, masyarakat, swasta, dan/atau LSM yang berkepentingan dalam proses penyusunan RTR dan program pemanfaatan ruang. � Kualitas pertemuan dapat dinilai dari bentuk diskusi yang dinamis dan interaktif, dimana gagasan-gagasan para stakeholder dapat terfasilitasi. � Jumlah pertemuan konsultasi publik tersebut diselenggarakan paling sedikit 2 (dua) kali pada waktu awal dan akhir dalam setiap proses penyusunan rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang, yang tujuannya untuk menjaring masukan dan tanggapan. c. Cara Perhitungan Nilai Indikator 1) Rumus SPM konsultasi publik penyusunan rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang adalah persentase jumlah pertemuan konsultasi publik pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah pertemuan konsultasi publik seharusnya pada Kabupaten/Kota tersebut. SPM Konsultasi Publik Penyusunan £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah konsultasi publik = X 100% Rencana Tata Ruang £ seluruh kabupaten/kota Jumlah konsultasi public SPM Konsultasi Publik Penyusunan £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah konsultasi publik = X 100% Program Pemanfaatan Ruang £ seluruh kabupaten/kota Jumlah konsultasi public 2) Pembilang Jumlah konsultasi publik adalah jumlah kumulatif konsultasi publik yang terlaksana pada proses penyusunan rencana tata ruang/program pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota sampai akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Jumlah konsultasi publik adalah jumlah kumulatif konsultasi publik yang seharusnya terlaksana pada proses penyusunan rencana tata ruang/ program pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota sampai akhir tahun pencapaian SPM. 4) Ukuran Konstanta Persen (%). 5) Contoh perhitungan Kota A sedang menyusun RTRW dan program pemanfaatan ruang. Pada prosesnya, hanya dilakukan konsultasi publik sebanyak 1 kali untuk penyusunan rencana tata ruang dan 1 kali untuk penyusunan program pemanfaatan ruang sampai akhir tahun 2014. Maka Nilai SPM konsultasi publik penyusunan rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Penyusunan Rencana Tata Ruang) = 1/2 X 100% = 50% 2014 (Penyusunan Program Pemanfaatan Ruang) = 1/2 X 100% = 50% d. Sumber data Laporan proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penyusunan program HIMPUNAN PRODUK HUKUM 61 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 pemanfaatan ruang Kabupaten/Kota. e. Rujukan - Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: � Pasal 13 ayat (3) huruf g - Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota f. Target SPM konsultasi publik untuk tiap penyusunan rencana tata ruang dan penyusunan program pemanfaatan ruang adalah 100% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Konsultasi publik pada proses penyusunan rencana tata ruang/program pemanfaatan ruang dilakukan melalui forum yang mempertemukan seluruh stakeholder (selain pemerintah) yang terkait dengan penyusunan rencana tata ruang dan pihak yang menyusun rencana tata ruang (pemerintah), yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat inklusif dan mampu menjaring aspirasi masyarakat. h. SDM SDM pada Dinas/SKPD yang membidangi penataan ruang III. IZIN PEMANFAATAN RUANG Terlayaninya Masyarakat Dalam Pengurusan Izin Pemanfaatan Ruang Sesuai Dengan Peraturan Daerah Tentang RTR Wilayah Kabupaten/Kota Beserta Rencana Rincinya. a. Pengertian Bahwa setiap Kabupaten/Kota diharapkan telah memiliki Perda RTRW Kabupaten/Kota beserta rencana rincinya yang dilengkapi dengan peta, dan untuk kemudian dapat dijadikan dasar untuk pemberian izin pemanfaatan ruang. b. Definisi operasional Izin Pemanfaatan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Cara Perhitungan Nilai Indikator 1) Rumus SPM Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota adalah persentase jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota yang seharusnya ada di Kabupaten/Kota. SPM Perda £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota tentang RTRW = X 100% £ seluruh kabupaten/kota Jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota 2) Pembilang Jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota adalah jumlah kumulatif Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang di tingkat Kabupaten/Kota sampai akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Jumlah Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota adalah jumlah kumulatif Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan 62 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG ruang di tingkat Kabupaten/Kota yang seharusnya ada sampai akhir tahun pencapaian SPM. 4) Ukuran Konstanta Persen (%). 5) Contoh perhitungan Kota A sudah memiliki Perda RTRW dan terus berjalan sebagai dasar pemberian izin hingga masa berakhirnya rencana (termasuk tahun 2014). Maka Nilai SPM Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Kota) = 1/1 X 100% = 100% d. Sumber data Fakta lapangan tentang tersedianya Perda RTRW beserta peta-petanya. e. Rujukan - Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: Pasal 60 huruf b - Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota f. Target SPM Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota adalah 100% pada tahun 2014. g. Langkah Kegiatan Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan dengan menelaah dan memeriksa terlebih dahulu kesesuain izin yang diajukan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Jika terdapat ketidaksesuaian, maka permohonan izin dibatalkan, dan jika sudah sesuai maka izin tersebut dapat disetujui. h. SDM SDM pada Dinas yang membidangi perizinan di tingkat Kabupaten/Kota. IV. PELAYANAN PENGADUAN PELANGGARAN TATA RUANG Terlaksananya Tindakan Awal terhadap Pengaduan Masyarakat tentang Pelanggaran di Bidang Penataan Ruang, Dalam Waktu 5 (Lima) Hari Kerja a. Pengertian Tindakan Awal Pengaduan Pelanggaran di Bidang Penataan Ruang adalah suatu bentuk pelayanan yang responsif kepada masyarakat terhadap segala bentuk pengaduan atas pelanggaran di bidang penataan ruang, dengan melakukan tindakan awal paling lama 5 (lima) hari. b. Definisi operasional �Pelayanan Yang Responsif adalah bentuk pelayanan yang tanggap, cepat, dan benar terhadap permasalahan yang diadukan oleh masyarakat. � Pelanggaran di Bidang Penataan Ruang adalah ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang, dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang, dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, dan/atau menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. � Tindakan Awal adalah terdiri atas: 1 Penelaahan dan pemeriksaan aduan terhadap Perda RTR terkait; 2 Tinjauan ke lapangan; dan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 63 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 3 Menjawab aduan dengan surat. Setelah dilakukannya tindakan awal ini, selanjutnya dapat diteruskan dengan indentifikasi dan tindakan penanganan kasus. c. Cara Perhitungan Nilai Indikator 1) Rumus SPM tindakan awal pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang adalah persentase jumlah kasus yang tertangani di akhir tahun pencapaian SPM terhadap jumlah pelayanan kasus yang seharusnya ditangani pada Kabupaten/Kota/Kecamatan di akhir tahun pencapaian SPM. SPM Tindakan Awal Pen- £  akhir tahun pencapaian SPM Jumlah kasus yang tertangani gaduan Pelanggaran di = X 100% £ seluruh kabupaten/kota Jumlah kasus yang seharusnya ditangani Bidang Penataan Ruang 2) Pembilang Jumlah kasus yang tertangani di akhir tahun pencapaian SPM adalah jumlah kumulatif kasus pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang yang dapat ditangani di tingkat Kabupaten/Kota/Kecamatan sampai akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Jumlah kasus yang seharusnya ditangani di akhir tahun pencapaian SPM adalah jumlah kumulatif kasus pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang yang diterima laporannya dan seharusnya ditangani di tingkat Kabupaten/Kota/Kecamatan sampai akhir tahun pencapaian SPM. 4) Ukuran Konstanta Persen (%). 5) Contoh perhitungan Di Kota A, sampai tahun 2014 terdapat 100 kasus pengaduan, dan kesemuanya dapat dilakukan tindakan awal penanganan kasus. Maka Nilai SPM Tindakan Awal Pengaduan Pelanggaran di Bidang Penataan Ruang pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Kota) = 100/100 X 100% = 100% d. Sumber data Fakta lapangan tentang tersedianya tindakan awal pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang. e. Rujukan � Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: · Pasal 55 ayat (4) · Pasal 60 huruf c, d, e, dan f � Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota f. Target SPM tindakan awal pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang adalah 100% pada tahun 2014 di setiap Kabupaten/Kota dan Kecamatan. g. Langkah Kegiatan Pelayanan pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang dilakukan dengan menelaah dan memeriksa terlebih dahulu pengaduan yang diajukan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Jika hasil pengaduan terbukti benar 64 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG telah terjadi pelanggaran, maka dilakukan penindakan lebih lanjut terhadap pelanggaran tersebut. h. SDM SDM pada Dinas/SKPD yang membidangi Penataan Ruang V. PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PUBLIK Tersedianya Luasan RTH Publik Sebesar 20% dari Luas Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan a. Pengertian Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik adalah penyediaan RTH yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Dalam SPM ini, ditargetkan terpenuhinya RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan sampai tahun 2030. b. Definisi operasional � Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik adalah bentuk-bentuk perwujudan RTH publik sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, termasuk melakukan tindakan-tindakan penyesuaian apabila terdapat ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. � Tata cara penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik harus mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan. c. Cara Perhitungan Nilai Indikator 1) Rumus SPM penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik adalah selisih antara persentase luas RTH Publik per 5 tahun dengan persentase luas RTH Publik saat ini. £  akhir tahun pencapaian SPM Luasan RTH publik yang tersedia SPM Penyedian RTH Publik = X 100% £ wil.kota/kawasan perkotaan Luasan RTH publik yang seharusnya 2) Pembilang Jumlah Luasan RTH Publik yang tersedia di akhir tahun pencapaian SPM adalah jumlah RTH publik yang tersedia di wilayah kota/kawasan perkotaan sampai akhir tahun pencapaian SPM. 3) Penyebut Jumlah Luasan RTH Publik yang seharusnya tersedia di wilayah kota/ kawasan perkotaan adalah 20% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan. 4) Ukuran Konstanta Persen (%). 5) Contoh perhitungan Sampai tahun 2014, Kota A memiliki jumlah luasan RTH publik sebesar 50 ha dari luas wilayah kota, sedangkan RTH publik ideal untuk kota tersebut adalah 150 ha, maka Nilai SPM penyediaan publik pada akhir tahun pencapaian adalah: 2014 (Kota) = 50/150 x 100% = 33% HIMPUNAN PRODUK HUKUM 65 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMEN PU NO. 14/PRT/M/2010 d. Sumber data Data penyebaran RTH publik yang tersedia di Kabupaten/Kota. e. Rujukan � Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: · Pasal 17 ayat (5) · Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) � Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota f. Target Target nilai SPM dihitung dari persentase luasan RTH publik yang diamanatkan dalam UUPR yaitu sebesar 20%, sehingga target SPM Penyediaan RTH Publik pada tahun 2014 adalah 25%. g. Langkah Kegiatan Penyediaan RTH publik dilakukan dengan melakukan penyesuaian pemanfaatan pola ruang wilayah kota/kawasan perkotaan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. h. SDM SDM pada Dinas/SKPD yang membidangi Penataan Ruang. MENTERI PEKERJAAN UMUM, ttd DJOKO KIRMANTO 66 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR: PM.106/HK.501/MKP/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN LAMPIRAN I: INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN LAMPIRAN II: PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWlSATA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWlSATA NOMOR: PM.106/HK.501/MKP/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, Menimbang: 1. bahwa untuk memperjelas ruang lingkup kewenangan pembangunan kebudayaan, agar tetap lestari, perlu adanya suatu acuan yang menjadi dasar provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan, khususnya dalam member layanan publik di bidang kesenian; 2. bahwa Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.43/PW.501/ MKP/03 tentang Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu disesuaikan; 3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Rekam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1990 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3418); 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik HIMPUNAN PRODUK HUKUM 69 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 6. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 5071); 7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4405); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4594); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4664); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817); 70 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 19. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107); 20. Keputusan Presiden Nomor 100 Tahun 1961 tentang Pengiriman dan Penerimaan Perutusan Kebudayaan ke dan dari Luar Negeri; 21. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil; 22. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 23. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II; 24. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 25. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.17/HK.001/MKP-2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.07/HK.001/MKP-2007; 26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 27. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 28. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal; 29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008; Memperhatikan: Berita Acara Hasil Sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) tanggal 15 Desember 2010; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Standar Pelayanan Minimal, yang selanjutnya disebut SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. 2. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 71 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 3. Pelindungan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan karya seni yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam. 4. Pengembangan adalah upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas karya seni yang hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 5. Pemanfaatan adalah upaya penggunaan karya seni untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni itu sendiri. 6. Kesenian adalah hasil cipta rasa manusia yang memiliki nilai estetika dan keserasian antara pencipta, karya cipta, dan lingkungan penciptaan. 7. Urusan Pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 8. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 10. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-Iuasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11. Menteri adalah Menteri yang memiliki tugas untuk menyelenggar akan pemerintahan di bidang kebudayaan. BAB II STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN Pasal 2 1. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan di bidang kesenian sesuai standar pelayanan minimal bidang kesenian di wilayah kerjanya. 2. SPM Bidang Kesenian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pelayanan dasar beserta indikator kinerja dan target tahun 2010-2014 yang terdiri dari: a. pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bidang kesenian: 1. cakupan kajian seni sebesar 50% sampai tahun 2014; 2. cakupan fasilitasi seni s.ebesar 30% sampai tahun 2014; 3. cakupan gelar seni sebesar 75% sampai tahun 2014; dan 4. cakupan misi kesenian sebesar 100% sampai tahun 2014. b. sarana dan prasarana: 1. cakupan sumber daya manusia kesenian sebesar 25% sampai tahun 2014; 2. cakupan tempat sebesar 100% sampai tahun 2014; dan 3. cakupan organisasi sebesar 34% sampai tahun 2014. 72 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 3. Indikator kinerja dan target sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan nilai 100 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. 4. Untuk melaksanakan dan mencapai target SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dalam pelaksanaannya dilengkapi dan ditetapkan Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesenian di kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. Pasal 3 SPM Bidang Kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberlakukan juga bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. BAB III PENGORGANISASIAN Pasal 4 1. Gubernur, bupati/walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan di bidang kesenian sesuai dengan SPM Bidang Kesenian yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi, kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan pelayanan di bidang kesenian sesuai SPM Bidang Kesenian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara operasional dikoordinasikan oleh satuan kerja perangkat daerah yang membidangi kebudayaan dan/atau kesenian di provinsi dan kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan pelayanan bidang kesenian dilakukan oleh aparatur satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. BAB IV PELAKSANAAN Pasal 5 1. SPM Bidang Kesenian yang ditetapkan merupakan acuan dalam perencanaan program pencapaian target rriasing-masing daerah provinsi, kabupaten/kota. 2. SPM sebagaimana dimaksud dalam perencanaan program pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pedoman/standar teknis yang ditetapkan oleh Menteri. BAB V PELAPORAN Pasal 6 1. Bupati/walikota menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian di wilayah kerjanya kepada gubernur. 2. Gubernur menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian di wilayah kerjanya kepada Menteri. 3. Berdasarkan laporan teknis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM Bidang Kesenian. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 73 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 BAB VI MONITORING DAN EVALUASI Pasal 7 1. Menteri melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM Bidang Kesenian oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan kesenian kepada masyarakat. 2. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk Pemerintahan Daerah kabupaten/kota, bersama pakar seni dan budayawan setempat terhadap setiap kegiatan pengelolaan kesenian di daerahnya guna memperbaiki kinerja pengelolaan kesenian di daerah tersebut. Pasal 8 Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipergunakan sebagai: a. bahan masukan bagi pengembangan kapasitas Pemerintah Daerah dalam pencapaian SPM Bidang Kesenian; b. bahan pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Bidang Kesenian, termasuk pemberian penghargaan bagi Pemerintah Daerah yang berprestasi sangat baik; dan c. bahan pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang tidak berhasil mencapai SPM Bidang Kesenian dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PENGEMBANGAN KAPASITAS Pasal 9 1. Menteri memfasilitasi Pengembangan kapasitas melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, personal, dan keuangan, baik di tingkat Pemerintah, provinsi, maupun kabupaten/kota. 2. Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) berupa pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya yang meliputi: a. penghitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai SPM Bidang Kesenian, termasuk kesenjangan pembiayaan; b. penyusunan rencana pencapaian SPM Bidang Kesenian dan penetapan target tahunan pencapaian SPM Bidang Kesenian; c. penilaian prestasi kerja pencapaian SPM Bidang Kesenian; dan d. pelaporan prestasi kerja pencapaian SPM Bidang Kesenian. 74 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 3. Fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personal, dan keuangan negara, serta keuangan daerah. BAB VIII PENDANAAN Pasal 10 1. Pendanaan yang berkaitan dengan kegiatan penyusunan, penetapan, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem dan/atau sub sistem informasi manajemen, serta pengembangan kapasitas untuk mendukung penyelenggaraan SPM Bidang Kesenian merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2. Pendanaan yang berkaitan dengan penerapan, pencapaian kinerja/target, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sub sistem informasi manajemen, serta pengembangan kapasitas, yang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 11 1. Menteri melakukan pembinaan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian. 2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. 3. Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, dapat mendelegasikan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) kepada gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah. Pasal 12 1. Menteri dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian, dibantu oleh Inspektorat Jenderal. 2. Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Kesenian, dibantu oleh Badan Pengawasan Daerah Provinsi berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Daerah Kabupaten/Kota. 3. Bupati/walikota melaksanakan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan kesenian sesuai SPM Bidang Kesenian di daerah masing-masing. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 75 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Pasal 13 1. Untuk mendorong masyarakat dalam berkesenian, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib memberikan anugerah seni sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun. 2. Pemerintah kabupaten/kota sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun wajib menyampaikan kepada pemerintah provinsi daftar usulan insan pelaku kesenian, baik perorangan dan/atau kelompok untuk memperoleh anugerah seni di tingkat provinsi. 3. Pemerintah provinsi wajib melakukan seleksi terhadap usulan yang disampaikan oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayah kerjanya. 4. Pemerintah provinsi sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun wajib memberikan anugerah seni kepada insan pelaku kesenian di wilayah kerjanya sesuai hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 5. Anugerah seni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan dalam bentuk piagam, barang, dan/atau uang kepada penerima anugerah seni. 6. Para penerima anugerah seni sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh pemerintah provinsi diusulkan kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai calon penerima anugerah/penghargaan seni tingkat nasional. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.43/PW.501/MKP/03 tentang Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ini. Pasal 15 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2010 MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, ttd Ir. JERO WACIK, S.E 76 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Lampiran I : Indikater Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian Nomor : PM. 106/HK.501/MKP/2010 Tanggal : 23 Desember 2010 INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN Standar Pelayanan Minimal Satuan Kerja/ Batas Waktu Jenis Pelayanan Lembaga No. Pencapaian Keterangan Dasar Indikator Nilai Penanggung (tahun) Jawab 1 2 3 4 5 6 7 1 Pelindungan, Cakupan Kajian Seni 50% 100 2014 SKPD Kegiatan yang bersifat kajian adalah: Pengembangan, dan 1. seminar, Pemanfaatan Bidang 2. sarasehan; Kesenian 3. diskusi*; 4. bengkel seni (workshop )*; 5. penyerapan narasumber; 6. studi kepustakaan; 7. penggalian; 8. eksperimentasi; 9. rekonstruksi; 10. revitalisasi; 11. konservasi; 12. studi banding; 13. inventarisasi*; 14. dokumentasi*; dan 15. pengemasan bahan kajian. Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 50% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Kajian Seni, sampai tahun 2014. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 77 78 Cakupan Fasilitasi Seni 100 2014 SKPD Jenis-jenis fasilitasi dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bidang 30% kesenian adalah: 1. penyuluhan substansial maupun teknikal; 2. pemberian bantuan; 3. bimbingan organisasi; 4. kaderisasi; 5. promosi; 6. penerbitan dan pendokumentasian; dan 7. kritik seni. Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 30% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Fasilitasi Seni, sampai tahun 2014. HIMPUNAN PRODUK HUKUM Cakupan Gelar Seni 75% 100 2014 SKPD Wujud gelar seni antara lain: 1. pergelaran; 2. pameran; STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 3. festival; dan 4.lomba. PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 75% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Gelar Seni, sampai tahun 2014 Misi Kesenian 100% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib mengadakan misi kesenian antar- daerah sekurangkurangnya satu kali dalam setahun dalam rangka pertukaran budaya, diplomasi, dan promosi kesenian di daerahnya keluar daerah. Provinsi, kabupatenlkota, melaksanakan 100% cakupan Misi Kesenian, sampai tahun 2014. i 2 Sarana dan Cakupan Sumber Oaya 100 2014 SKPD Dalam berbagai kegiatan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan seni Prasarana Manusia Kesenian 25% diperlukan kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesenian sebagai berikut: 1. sarjana seni; 2. pakar seni; 3. pamong budaya*; 4. seniman/budayawan*; 5. kritikus; 6. insan media massa; 7. pengusaha;dan 8. penyandang dana. Provinsi, kabupaten/kota, menyediakan minimal 25% dari cakupan Sumber Daya Manusia Kesenian, sampai tahun 2014. Cakupan Tempat 100% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyediakan minimal: 1. Tempat untuk menggelar seni pertunjukan dan untuk pameran; dan 2. Tempat memasarkan karya seni untuk mengembangkan industri budaya. Provinsi, kabupaten/kota, menyediakan minimal satu tempat yang mudah dicapai oleh masyarakat, dapat berupa gedung kesenian atau fasilitas-fasilitas lain yang memungkinkan dan satu buah tempat untuk memasarkan karya seni, sampai tahun 2014. Cakupan Organisasi 34% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk: 1. Organisasi struktural yang menangani kesenian 2. Lembaga/dewan kesenian 3. Khusus pemerintahan provinsi membentuk Taman Budaya sebagai UPT yang menangani kesenian. Provinsi, kabupaten/kota, minimal melaksanakan 34% dari kupan Organisasi, sampai tahun 2014. Catatan: kegiatan dengan tanda • merupakan kegiatan prioritas MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, ttd Ir. JERO WACIK, S.E STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 79 PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Lampiran II : Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.106/HK.501/MKP/2010 Tanggal : 23 Desember 2010 PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN A. Latar Belakang Kesenian yang ada, hid up, dan berkembang di daerah merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Melalui Kesenian, kita sebagai bangsa dapat menunjukkan jatidiri kita. Agar keberadaan Kesenian sebagai unsur budaya dapat memberikan sumbangan terhadap kehidupan bangsa secara rohani dan jasmani, diperlukan 3 (tiga) penanganan pokok, yaitu: pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dalam kehidupan masyarakat sekarang, sebagian Kesenian telah mengalami kepunahan maupun pendangkalan kandungan nilainya. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai macam kondisi, baik yang bersifat alamiah maupun kesalahan tindakan para pengelolanya, karena ketidakpedulian, ketidakmengertian, dan sebab-sebab lainnya. Dleh karena itu, perlu adanya kegiatan pelindungan yang dapat mencegah ancaman-ancaman kehidupannya. Sasaran pelindungan Kesenian tergantung pada situasi jenis atau bentuk Kesenian yang dilindungi meliputi peristiwa, materi, seniman, dan/atau konsumennya. Pengembangan merupakan hal internal yang mutlak guna menyelaraskan kehidupan rohani dan jasmani yang lebih baik. Dengan demikian, pengembangan harus selalu mengutamakan kualitas, baik yang dikembangkan maupun dampaknya terhadap masyarakat. Sasaran pengembangan diantaranya adalah teknik penggarapan, materi peristiwa (event), seniman, dan dampak positifnya terhadap masyarakat, baik secara jasmani maupun rohani. Kehidupan Kesenian, yang bersifat sakral atau profan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin secara seimbang. Sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap pemanfaatan Kesenian demi kesejahteraan jasmani, seringkali tata nilai yang merupakan konsumsi rohani dikorbankan. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, berdasarkan peraturanperaturan tersebut maka kabupaten/kota pad a prinsipnya berhak menentukan jenis dan mutu pelayanan umum yang harus disediakan berdasarkan kewenangannya. Akan tetapi dalam rangka Negara Kesatuan, Pemerintah berkewajiban menjamin agar pelayanan umum yang sangat mendasar dalam bidang-bidang pemerintahan tertentu dapat menjangkau masyarakat secara merata. Berdasarkan kewajiban tersebut, Pemerintah perlu menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) secara nasional di bidang Kesenian. 80 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 ada beberapa bidang Pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota diantaranya adalah bidang kebudayaan, dan salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah Kesenian. Berdasarkan kewajiban tersebut, maka Pemerintah Daerah berkewajiban melaksanakan urusan di bidang kebudayaan, dalam hal ini Kesenian, dengan SPM sebagai standar dan alat ukur pencapaiannya. Kewajiban Pemerintah Daerah di bidang Kesenian tersebut meliputi aspek penanganan sub-bidang pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Kesenian. Adanya penentuan SPM merupakan sarana yang tepat untuk memperjelas ruang lingkup kewenangan yang dimiliki Daerah. SPM Bidang Kesenian merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan Kesenian dalam konteks budayanya. Kegiatan Kesenian pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri sebagai pemilik Kesenian itu. Pemerintah berperan sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator, Pemerintah mendorong masyarakat untuk melaksanakan perannya di bidang Kesenian yang menurut Pemerintah penting namun kurang mendapat perhatian. Sebagai fasilitator, Pemerintah memberikan dukungan hokum (legal) dan anggaran (finansial) melalui Anggaran Pedapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan urusan wajib oleh Pemerintah Daerah adalah perwujudan otonomi yang bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada intinya merupakan pemberian hak dan kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Pemerintah Daerah. Tanpa mengurangi arti serta pentingnya prakarsa Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, dan untuk menghindari terjadinya kekosongan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, maka provinsi serta kabupaten/kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Pemerintah Daerah sehingga memberi peluang kepada Daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap Daerah. Kewenangan ini pada dasarnya merupakan upaya dalam pembagian urusan wajib antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal menegaskan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan kedudukannya sebagai Daerah Otonom meliputi penyelenggaraan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas Daerah dan penyelengaraan di bidang Kesenian. Sedangkan kewenangan Daerah sebagai wilayah administrasi merupakan pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasikan kepada Pemerintah Daerah. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 81 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 B. Pengertian 1. Seniman adalah insan yang berkiprah dan memiliki dedikasi, serta komitmen dalam memajukan kehidupan kesenian dan kebudayaan. 2. Pergelaran Seni Pertunjukan adalah penyajian karya seni pertunjukan (tari, musik, dan teater) sebagai pertanggungjawaban hasil karya seniman yang dihadiri oleh para pengunjung/penonton dengan persia pan latihan-latihan yang konseptual. 3. Festival Seni adalah suatu kegiatan yang menyajikan berbagai bentuk karya budaya dan seni sejenis atau suatu bentuk seni yang memiliki kekhasan masing-masing. 4. Pameran Seni rupa adalah kegiatan menyajikan karya-karya seni rupa, baik hasil karya seniman yang diselenggarakan bersifat tunggal, bersama, statis, atau dengan peragaan proses berkarya. 5. Pameran Seni media adalah kegiatan menyajikan karya-karya seni media, baik hasil karya seniman yang diselenggarakan bersifat tunggal, bersama, statis, atau dengan peragaan proses berkarya. 6. Kritik Seni adalah kegiatan intelektual dalam karya artistik o/eh para kritikus yang merupakan jembatan antara karya seni dengan masyarakat pencinta seni guna mengetahui apa yang terjadi, karya mana yang pantas dan mana yang kurang pantas. 7. Industri Budaya adalah kegiatan berupa pengemasan dan selanjutnya bermuara pada pemasaran karya seni, baik da/am bentuk penataan, penyantunan, perekaman maupun penyajian /angsung serta jasa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. 8. Sarasehan adalah pertemuan yang mengkaji suatu masalah yang dipakai sebagai topik pembicaraan untuk mendapatkan tambahan informasi kesenian yang digali. 9. Bengkel Seni (workshop) adalah kegiatan bimbingan seni yang disertai dengan praktek. 10. Penyerapan Narasumbet adalah tanya jawab secara langsung dari narasumber untuk mendapatkan bahan informasi yang selengkap- Iengkapnya mengenai suatu bentuk seni. 11. Studi Kepustakaan adalah pengamatan dan penelitian kesenian dengan cara mengamati dan melacak sumber-sumber tulisan. 12. Rekonstruksi adalah menyusun atau menata kembali kesenian yang hamper punah dalam upaya mendapatkan gambaran bentuk seni sesuai dengan aslinya. 13. Eksperimentasi adalah kegiatan mencoba terapkan sebuah gagasan atau penemuan baru dalam kegiatan kreativitas seni, atau menerapkan sistem, metode, maupun teknik untuk memudahkan dalam melaksanakan suatu kegiatan atau memperoleh nilai tambah bagi karya seni. 14. Revitalisasi adalah kegiatan untuk meningkatkan peran dan fungsi unsur- unsur budaya lama yang masih hidup di masyarakat dalam konteks baru dengan tetap mempertahankan keasliannya. 15. Studi Banding adalah upaya mencari titik perbedaan dan titik persamaan bagi satu atau lebih seni sejenis sebagai bahan penentuan identitas masing- masing dan luas lingkup wilayah pengaruhnya. 16. lnventarisasi adalah kegiatan pencatatan keseluruhan unsur kebudayaan yang ada di suatu wilayah, baik yang dimiliki oleh masyarakat maupun yang sudah tercatat sebagai milik negara, bersifat fisik maupun nonfisik. 82 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN 17. Dokumentasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data terutama dari hasil penggalian di samping upaya-upaya lain dan kegiatan pengolahan sarana dokumentasi yang bertujuan untuk menyimpan data sebagai bahan pengkajian guna memenuhi berbagai kebutuhan di sam ping sebagai upaya pemeliharaan. 18. Penyandang Dana adalah figur perorangan atau institusi yang mampu ditempatkan sebagai penyandang dana/penyumbang secara tetap ataupun temporer dalam kegiatan-kegiatan kesenian di daerah. 19. Pengusaha adalah pelaku-pelaku industri yang telah memiliki komitmen untuk memajukan kesenian di daerah, atau yang harus dilibatkan sebagai “bapak angkat� bagi seniman atau organisasi kesenian. 20. Kaderisasi adalah usaha mempersiapkan kader-kader seniman untuk mempertahankan kondisi yang ada dalam jangka waktu yang tidak terbatas dengan mengupayakan peningkatannya secara vertikal dan horizontal sehingga pelestarian kesenian berjalan secara berkesinambungan. 21. Kemampuan dan Potensi Daerah adalah kondisi keuangan daerah dan sumber daya yang dimiliki daerah untuk menyelenggarakan urusan wajib pemerintahan daerah dan dalam rangka pembelanjaan untuk membiayai penerapan SPM. 22. Insan Media Massa adalah kolumnis atau jurnalis daerah provinsi atau kritikus seni, kabupaten/kota yang mampu melakukan penilaian, justifikasi, klarifikasi bagi terciptanya peningkatan apresiasi seni di masyarakat, sekaligus umpan balik bagi kebijakan pengelolaan kesenian provinsi, kabupaten/kota. 23. Lomba Seni adalah suatu kegiatan yang mewadahi adu prestasi secara langsung melalui keunggulan menciptakan atau kemahiran menyajikan suatu bentuk karya seni. 24. Masyarakat Pendukung adalah kelompok pencinta dan pemerhati jenis dan bentuk kesenian di daerah yang dapat dijadikan narasumber pada pengelolaan kegiatan kesenian daerah. 25. Pakar Seni adalah tenaga ahli di bidang kesenian. Termasuk dalam pakar seni adalah tenaga yang ahli menata gelar seni pertunjukan (dramaturg), dan Kurator yang melakukan pengemasan dan pemaknaan pada setiap kegiatan pameran seni rupa dan seni media. Bila tidak tersedia dapat diambil dari perguruan tinggi dan daerah lain sebagai mitra kerjasama. 26. Sarjana Seni adalah orang yang telah mengikuti pendidikan formal kesenian di perguruan tinggi, yang kemungkinan telah tersedia di daerah. Bila tidak tersedia dapat diambil dari perguruan tinggi dan daerah lain sebagai mitra kerjasama. 27. Pamong Budaya adalah petugas dalam jabatan fungsional Daerah yang berkedudukan di Provinsi, Kabupaten/Kota. Pejabat fungsional ini bertugas menjembatani hubungan teknis fungsional antara pemerintah dan masyarakat. 28. Pemberian Bantuan adalah pemberian bantuan berupa material atau financial sebagai upaya memberikan dorongan atau rangsangan untuk menambah gairah berkarya kepada seniman dan/atau organisasi kesenian yang berprestasi agar lebih mampu membina dan mengembangkan kreativitas berkarya di bidang seni masing-masing. 29. Penerbitan dan Pendokumentasian adalah upaya menambah/memperluas karya dengan jalan menerbitkan naskah selain untuk disebarluaskan juga untuk didokumentasikan sebagai upaya menjaga keberadaan karya tersebut. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 83 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 30. Penyuluhan adalah kegiatan untuk memberikan tuntunan, petunjuk, dorongan, pengarahan dan penambahan pengetahuan untuk menjaga dan menjamin kelangsungan kehidupan suatu jenis kesenian. 31. Promosi adalah upaya menyebarluaskan seni melalui usaha/kegiatan komersial yang sehat. 32. Seniman/Budayawan adalah adalah insan yang berkiprah dan memiliki dedikasi, serta komitmen dalam memajukan kehidupan kesenian dan kebudayaan. C. Tujuan dan Sasaran Tujuan secara umum dari Peraturan ini adalah untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Kesenian Indonesia dalam rangka mewujudkan kehidupan kebudayaan yang maju, dinamis, berwawasan lingkungan, mampu menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban, persatuan, serta persahabatan antar-daerah. Secara khusus peraturan ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi daerah untuk melayani masyarakat dalam kegiatan: 1. melindungi jenis dan bentuk Kesenian sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang menimbulkan kerusakan atau kepunahan; 2. mengembangkan jenis dan bentuk Kesenian sebagai upaya penyebarluasan dan pendalaman serta peningkatan mutu budaya bangsa; dan 3. memanfaatkan jenis dan bentuk Kesenian untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat untuk kepentingan ritual, pendidikan, ilmu pengetahuan, pariwisata, dan ekonomi. Sasaran dari peraturan ini adalah: 1. bentuk dan jenis Kesenian yang ada, hidup, dan berkembang di daerah provinsi, kabupaten/kota; 2. acara dan peristiwa di provinsi, kabupaten/kota yang menggunakan Kesenian sebagai bag ian yang tak terpisahkan; dan 3. seniman pencipta, penyaji, peneliti, kritikus, kurator, dramaturg, dan organisasi Kesenian serta masyarakat pelaku dan/atau penikmat Kesenian. D. Ruang Lingkup SPM ini mencakup tiga aspek penanganan Kesenian yaitu: 1. pelindungan; 2. pengembangan; dan 3. pemanfaatan. Masing-masing aspek merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya penekanan pada satu dan/atau lebih aspek pada saat pelaksanaan kegiatan. Kegiatan yang menjadi bag ian dari ruang lingkup peraturan ini meliputi: 1. kajian seni; 2. gelar seni; 3. misi kesenian; 4. fasilitasi seni; 5. sumber daya manusia bidang kesenian; 6. tempat; dan 7. organisasi. 84 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN E. Standar Pelayanan Minimal Sub-Bidang Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Kesenian 1. Kajian Seni Kajian seni adalah meneliti penanganan kesenian untuk mengetahui apakah pelaksanaan penanganan kesenian itu sesuai dengan tujuan pengelolaannya dan menghasilkan data serta peta situasi kesenian di daerah. Kegiatan yang bersifat kajian adalah: 1. seminar; 2. sarasehan; 3. diskusi; 4. bengkel seni (workshop); 5. penyerapan narasumber; 6. studi kepustakaan; 7. penggalian; 8. eksperimentasi; 9. rekonstruksi; 10. revitalisasi; 11. konservasi; 12. studi banding; 13. inventarisasi; 14. dokumentasi; dan 15. pengemasan bahan kajian Dalam hal kegiatan eksperimentasi sebagaimana, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan, kehilangan, atau kemusnahan aspek kebudayaan harus didahului dengan penelitian. Dalam melaksanakan kegiatan di bidang kajian seni, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sekurang-kurangnya (1) satu kali dalam (1) satu tahun berkewajiban untuk menyelenggarakan 7 (tujuh) atau 8 (delapan) kegiatan dari 15 (lima belas) kajian seni di wilayah kerjanya sampai tahun 2014. Berdasarkan hasil kajian diperoleh data dan peta situasi kehidupan Kesenian di daerah sehingga daerah dapat mengidentifikasi jenis-jenis kajian seni yang perlu difasilitasi. 2. Fasilitasi Seni Fasilitasi Seni adalah dukungan bagi Kesenian di daerah agar dapat hidup lebih layak. Jenis-jenis fasilitasi dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bidang Kesenian adalah: 1. penyuluhan substansial maupun teknikal; 2. pemberian bantuan; 3. bimbingan organisasi; 4. kaderisasi; 5. promosi; 6. penerbitan dan pendokumentasian; dan 7. kritik seni. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 85 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib mendorong dan memfasilitasi pakar seni untuk melaksanakan kritik seni di daerahnya, sebagai upaya meningkatkan kualitas Kesenian di daerah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib menyediakan ruang untuk kegiatan kritik seni di media cetak dan/atau di media elektronik. Kritik seni dapat dilakukan terhadap gelar seni maupun kemasan industry budaya dan/atau berdiri sendiri sebagai upaya menyelamatkan Kesenian dari perkembangan yang tidak diinginkan, dan mendorong perkembangan yang sehat serta berkualitas. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyelenggarakan seluruh fasilitasi sesuai dengan kemampuan yang tersedia untuk kegiatankegiatan kesenian yang diselenggarakan masyarakat, minimal 1 (satu) atau 2 (dua) kegiatan fasilitasi seni sampai tahun 2014. 3. Gelar Seni Gelar seni adalah ajang pertanggungjawaban kegiatan kesenian dalam peristiwa tertentu baik yang sakral (untuk kepentingan peribadatan atau upacara adat), sajian artistik (sajian yang khusus untuk dihayati secara estetis), maupun profan lainnya (sebagai kelengkapan upacara kenegaraan, resepsi, hiburan, pertunjukan, dan lain-lain). Sebagai upaya menyemaraKkan kehidupan Kesenian di daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib melaksanakan dan mendorong penyelenggaraan gelar seni di daerahnya. Wujud gelar seni adalah: 1. pergelaran; 2. pameran; 3. festival; dan 4. lomba. Untuk mendorong gelar seni secara intensif, tempat-tempat hiburan dan hotel yang ada di daerah wajib mementaskan Kesenian daerah dengan frekuensi yang memadai dan memperoleh kontribusi yang layak. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyelenggarakan minimal 3 (tiga) dari 4 (em pat) kegiatan gelar seni sampai tahun 2014. 4. Misi Kesenian Misi kesenian adalah kegiatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dan atau sekelompok seniman/seniwati yang dipersiapkan untuk melaksanakan penyajian seni bagi keperluan suatu duta seni, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri untuk kepentingan penyebarluasan suatu atau beberapa bentukseni dan pengenalan suatu jatidiri. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib mengadakan misi kesenian antar-daerah sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun dalam rangka pertukaran budaya, diplomasi, dan promosi Kesenian di daerahnya keluar daerah. 86 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN Materi dan penampilan penyajian dalam misi kesenian harus tidak merugikan nama baik daerah/suku bangsa/bangsa yang diwakilinya. Kegiatan misi kesenian di dalam negeri wajib memperhatikan: 1. kejelasan daerah tujuan; 2. kejelasan materi misi secara kua/itatif dan kuantitatif; 3. ketepatan pengemasan; dan 4. kesepakatan teknis dan administrasi antara pengirim misi dengan penerima misi. Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban memberikan bantuan dalam arti luas guna terselenggaranya misi kesenian, baik antar daerah, maupun ke luar negeri. 5. Sumber Oaya Manusia Bidang Kesenian Dalam berbagai kegiatan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan seni diperlukan kualifikasi 8umber Daya Manusia (8DM) Kesenian sebagai berikut: 1. sarjana seni; 2. pakar seni; 3. pamong budaya; 4. seniman/budayawan; 5. kritikus; 6. insan media massa; 7. pengusaha;dan 8. penyandang dana. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan 8DM dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kesenian, minimal 2 (dua) dari (8) delapan kualifikasi SOM sampai tahun 2014, yaitu: 1. seniman/budayawan; dan 2. pamong budaya. 6. Tempat Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyediakan minimal: 1. Tempat untuk menggelar seni pertunjukan dan untuk pameran; dan 2. Tempat memasarkan karya seni untuk mengembangkan industri budaya. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib mendorong dan membuka peluang bagi masyarakat untuk menumbuhkan industri budaya untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui Kesenian. Industri budaya meliputi kegiatan berupa pemasaran karya seni, baik dalam bentuk penataan, penyantunan, perekaman, maupun penyajian langsung serta jasa untuk mendapatkan keuntungan. Khusus untuk kemasan dengan media rekam, harus mempunyai akses studio rekaman yang memadai, baik yang berdomisili di daerah itu, maupun di luar daerahnya. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 87 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENBUDPAR NO. PM.106/HK.501/MKP/2010 Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib mempunyai sarana promosi melalui media cetak dan elektronik. Dana yang diperoleh dari hasil industri budaya, baik yang dipungut oleh daerah, maupun keuntungan pelaku industri budaya, sebagian wajib digunakan kembali untuk kepentingan kajian, fasilitasi gelar seni, dan proses kritik seni, sehingga kehidupan Kesenian dapat berkesinambungan. 7. Organisasi Pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk: 1. Organisasi struktural yang menangani kesenian 2. Lembaga/dewan kesenian 3. Khusus pemerintahan provinsi membentuk Taman Budaya sebagai UPT yang menangani kesenian Provinsi, kabupaten/kota, minimal melaksanakan 1 (satu) dari 3 (tiga) cakupan Organisasi, sampai tahun 2014. MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, ttd Ir. JERO WACIK, S.E 88 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 65/Permentan/OT.140/12/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN I: PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN II: PETUNJUK TEKNIS PERENCANAAN PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN III: PENJELASAN MODUL PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN IV: STANDAR PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 65/Permentan/OT.140/12/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : 1. bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf m dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten /Kota, ketahanan pangan merupakan urusan wajib; 2. bahwa keberhasilan urusan wajib ketahanan pangan tercermin berdasarkan target capaian jenis pelayan dasar dan indikator Standar Pelayanan Minimal bidang ketahanan pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap; 3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan agar pelaksanaan urusan ketahanan pangan dapat berjalan lancar dan berhasil baik, perlu menetapkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/ Kota; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4254); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); HIMPUNAN PRODUK HUKUM 91 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4819); 8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II; 9. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Pertanian; 10. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan /OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; Memperhatikan : Hasil rekomendasi Sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tanggal 12 Agustus 2010; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG STANDAR PELAYAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 2. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. 3. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, yang kualitas pencapaiannya merupakan tolok ukur kinerja pelayanan ketahanan pangan yang diselenggarakan oleh daerah provinsi dan kabupaten/kota. 4. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. 5. Pelayanan Dasar Bidang Ketahanan Pangan adalah pelayanan dasar untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. 92 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 6. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian SPM berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. 7. Batas waktu pencapaian adalah batas waktu untuk mencapai target jenis pelayanan bidang ketahanan pangan secara bertahap sesuai dengan indikator dan nilai yang ditetapkan. 8. Lembaga Ketahanan Pangan Provinsi adalah lembaga yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan Provinsi di bidang ketahanan pangan. 9. Lembaga Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota adalah lembaga yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang ketahanan pangan. 10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 12. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. BAB II STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN Pasal 2 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Ketahanan Pangan terdiri atas SPM Bidang Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 3 Dalam hal ketentuan SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan 4 (empat) jenis pelayanan dasar : 1. Ketersediaan dan Cadangan Pangan; 2. Distribusi dan Akses Pangan; 3. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan; dan 4. Penanganan Kerawanan Pangan. Pasal 4 (1) Pelayanan Dasar SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan dalam bentuk indikator kinerja untuk target capaian Tahun 2015. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 93 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Pasal 5 Penjabaran indikator kinerja Pemerintah Daerah Provinsi dalam target capaian tahun 2015: a. Ketersediaan dan Cadangan Pangan: Penguatan cadangan pangan 60% pada tahun 2015. b. Distribusi dan Akses Pangan: Ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan di daerah 100% pada tahun 2015. c. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan: Pengawasan dan pembinaan keamanan pangan 80% pada tahun 2015. d. Penanganan Kerawanan Pangan: Penanganan daerah rawan pangan 60% pada tahun 2015. Pasal 6 Penjabaran indikator kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota target capaian 2015; a. Ketersediaan dan Cadangan Pangan: 1. Ketersediaan energi dan protein perkapita 90% pada tahun 2015; 2. Penguatan cadangan pangan 60% pada tahun 2015. b. Distribusi dan Akses Pangan: 1. Ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan di daerah 90% pada tahun 2015; 2. Stabilitas harga dan pasokan pangan 90% tahun 2015. c. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan: 1. Pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) 90% pada tahun 2015; 2. Pengawasan dan pembinaan kemanan pangan 80% pada tahun 2015. d. Penanganan Kerawanan Pangan: Penanganan daerah rawan pangan 60% pada tahun 2015. BAB III PENGORGANISASIAN Pasal 7 1. Gubernur bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi. 2. Bupati/Walikota bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota. Pasal 8 1. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 secara operasional dikoordinasikan oleh Badan/Kantor Ketahanan Pangan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. 2. Penyelenggaraan SPM Bidang Ketahanan Pangan dilaksanakan oleh perangkat daerah yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi di bidangnya. 94 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA BAB IV PELAKSANAAN Pasal 9 1. SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 merupakan acuan dalam perencanaan program pencapaian target standar pelayanan minimal, baik oleh Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 2. Perencanaan program pencapaian target sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan secara bertahap sesuai petunjuk teknis SPM Bidang Ketahanan Pangan. BAB V PELAPORAN Pasal 10 1. Gubernur dan Bupati/Walikota wajib menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian pelayanan ketahanan pangan kepada Menteri Pertanian melalui Kepala Badan Ketahanan Pangan. 2. Kepala Badan Ketahanan Pangan atas nama Menteri Pertanian melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan. BAB VI MONITORING DAN EVALUASI Pasal 11 1. Untuk menjamin pelayanan dasar kepada masyarakat dilakukan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan Daerah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Pasal 12 Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dijadikan bahan: a. masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan; b. pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan; c. pertimbangan dalam pemberian penghargaan bagi pemerintah daerah yang berprestasi sangat baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan d. pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota yang tidak berhasil mencapai SPM Bidang Ketahanan Pangan dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi khusus Daerah yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 95 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 BAB VII PENGEMBANGAN KAPASITAS Pasal 13 1. Tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pengembangan kapasitas untuk mendukung penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan. 2. Pengembangan kapasitas untuk mendukung penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan atas nama Menteri Pertanian. Pasal 14 1. Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan melalui peningkatan kemampuan sistem kelembagaan, personil dan keuangan, baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. 2. Peningkatan kemampuan sistem kelembagaan, personil dan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, dan/atau bantuan lainnya. BAB VIII PENDANAAN Pasal 15 Pendanaan untuk penyusunan, penetapan, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem dan/atau sub sistem informasi manajemen, serta pengembangan kapasitas guna mendukung penyelenggaraan SPM Bidang Ketahanan Pangan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Pertanian. Pasal 16 Pendanaan untuk penerapan, pencapaian kinerja/target, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sub sistem manajemen, serta pengembangan kapasitas yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya. BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 17 1. Pembinaan teknis penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan dilakukan sesuai petunjuk teknis. 96 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah, setelah dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri Pasal 18 1. Kepala Badan Ketahanan Pangan atas nama Menteri Pertanian dibantu Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan pemerintahan daerah. 2. Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi. 3. Bupati/Walikota melakukan pengawasan teknis atas penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 19 Di luar jenis pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, provinsi dan kabupaten/kota tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik, dan potensi daerah. Pasal 20 SPM bidang ketahanan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dan Pasal 6, diberlakukan juga untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut Pembinaan teknis yang dibuat Kementerian Pertanian dalam Pelaksanaan SPM Bidang Ketahanan Pangan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana terlampir, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam peraturan ini, yang terdiri atas: 1. Lampiran I. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. 2. Lampiran II. Petunjuk Teknis Perencanaan Pembiayaan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Lampiran III. Penjelasan Modul Pembiayaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. 4. Lampiran IV. Stándar Pembiayaan Stándar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 97 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Pasal 22 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Pertanian ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI PERTANIAN, Ttd SUSWONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, Ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 670 98 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 65/Permentan/OT.140/12/2010 TANGGAL : 22 Desember 2010 PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oleh karena terpenuhinya pangan menjadi hak asasi bagi masyarakat, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kebupaten/Kota dalam Pasal 7 huruf m dan Pasal 8, urusan Ketahanan Pangan merupakan urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidup minimal. Dalam penyelenggaran ketahanan pangan, peran pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan, dilakukan dengan : (a) memberikan informasi dan pendidikan ketahanan pangan; (b) meningkatkan motivasi masyarakat; (c) membantu kelancaran penyelenggaraan ketahanan pangan; (d) meningkatkan kemandirian ketahanan pangan. Ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa Indonesia. Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor- faktor internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis. Dinamika dan kompleksitas ketahanan pangan menimbulkan berbagai permasalahan dan tantangan serta potensi dan peluang yang terus berkembang yang perlu diantisipasi dan diatasi melalui kerjasama yang harmonis antar seluruh pihak terkait dalam mewujudkan ketahanan pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 99 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 alah satu komitmen Indonesia dalam penanganan masalah ketahanan pangan adalah mendukung MDGs dalam penurunan jumlah penduduk yang menderita kelaparan separuhnya sampai tahun 2015. Hal ini merupakan dasar penentuan nilai capaian penurunan jumlah penduduk rawan pangan yang disesuaikan dengan potensi dan kemampuan baik di tingkat pusat maupun daerah, bahwa kita hanya mampu menentukan target capaian sebesar 75 persen dari target MDGs tersebut. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan yang meliputi pengkajian, perumusan kebijakan dan pengembangan ketahanan pangan, diimplementasikan dalam bentuk beberapa program aksi yang dilaksanakan di kabupaten/kota. Pengembangan ketahanan pangan yang telah dilaksanakan dalam bentuk Desa Mandiri Pangan, Pengembangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM), percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Penyelenggaran SPM Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting ketahanan pangan, yang dapat digunakan sebagai indikator pencapaian standar pelayanan ketahanan pangan, yaitu (a) ketersediaan pangan, yang diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya serta aman, (b) distribusi pangan, adalah pasokan pangan yang dapat menjangkau keseluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga, dan (c) konsumsi pangan, adalah setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi yang beragam, bergizi dan seimbang serta preferensinya. Dari ke tiga aspek ketahanan pangan tersebut di atas, maka Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, terdiri dari 4 (empat) jenis pelayanan dasar : 1. Bidang ketersediaan dan cadangan pangan; 2. Bidang distribusi dan akses pangan; 3. Bidang penganekaragaman dan keamanan pangan; 4. Bidang penanganan kerawanan pangan. B. Maksud dan Tujuan Maksud ditetapkannya petunjuk teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Ketahanan Pangan adalah sebagai pedoman/acuan bagi Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan urusan wajib di bidang ketahanan pangan. Tujuan penetapan petunjuk teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan untuk : 1. Meningkatkan penanganan ketersediaan dan cadangan pangan; 2. Meningkatkan distribusi dan akses pangan sampai tingkat rumah tangga; 3. Meningkatkan keragaman konsumsi dan keamanan pangan terhadap pangan lokal; 4. Menangani kerawanan pangan pada masyarakat miskin. 100 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PELAYANAN KETERSEDIAAN DAN CADANGAN PANGAN A. Gambaran Umum Ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasokan pangan; (3) pengelolaan cadangan pangan. Jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi relatif lemah, maka kemauan untuk tetap menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan harus terus diupayakan dari produk dalam negeri. Hal yang perlu disadari adalah kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok juga menyangkut harkat martabat dan kelanjutan eksistensi bangsa. Sedangkan impor pangan merupakan pilihan akhir, apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri. Pengelolaan cadangan pangan harus dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa/kelurahan dan masyarakat, sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002. Cadangan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam ketersediaan pangan, karena cadangan pangan merupakan sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan dalam negeri atau daerah dari waktu ke waktu. Cadangan pangan terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yang mencakup pangan tertentu yang bersifat pangan pokok. Cadangan pangan pemerintah khususnya beras dikelola oleh Perum Bulog. Untuk cadangan pangan pemerintah daerah, termasuk cadangan pangan pemerintah desa, diatur pada Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa. Untuk cadangan pangan masyarakat meliputi rumah tangga, pedagang dan industri pengolahan. Penyelenggaraan penguatan cadangan pangan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Dengan kegiatan tersebut diharapkan masyarakat mampu memberdayakan kelembagaan lumbung pangan yang mandiri. Pencapaian Standar Pelayanan Minimal ketersediaan pangan dan cadangan pangan, dioperasionalkan melalui indikator ketersediaan energi dan protein per kapita, dan indikator penguatan cadangan pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 101 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 B. Indikator dan Operasional B.1. Indikator Ketersediaan Energi Dan Protein Per Kapita 1. Pengertian a. Ketersediaan Pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. b. Ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. c. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu (1) produk dalam negeri, (2) pemasokan pangan, dan (3) pengelolaan cadangan pangan. 2. Definisi Operasional a. Angka Kecukupan Gizi (AKG) ditetapkan di Indonesia setiap lima tahun sekali melalui forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG). Salah satu rekomendasi WKNPG ke VIII tahun 2004 menetapkan tingkat ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal/Kapita/Hari dan protein 57 Gram/ Perkapita/Perhari. b. Cara Perhitungan Penyediaan pangan terdiri dari komponen produksi, perubahan stok, impor dan ekspor. Rumus penyediaan pangan adalah : Ps = Pr - ΔSt + Im – Ek Dimana: Ps : Total penyediaan dalam negeri Pr : Produksi ΔSt : Stok akhir – stok awal Im : Impor Ek : Ekspor • Ketersediaan bahan makanan per kapita dalam bentuk kandungan nilai gizinya dengan satuan kkal energi dan gram protein, menggunakan rumus: • Ketersediaan energi (Kkal/Kapita/Hari) = Ketersediaan Pangan/Kapita/Hari x Kandungan kalori x BDD 100 • Ketersediaan protein (gram/kapita/hari) = Ketersediaan Pangan/Kapita/Hari x Kandungan kalori x BDD 100 Catatan: • BDD = Bagian yang dapat dimakan (buku DKBM) • Ketersediaan pangan/kapita/hari sumbernya dari Neraca Bahan Makanan (NBM) • Kandungan zat gizi (kalori dan protein sumbernya dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) • Bagi komoditas yang data produksinya tidak tersedia (misal komoditas sagu, jagung muda, gula merah) untuk mendapatkan angka ketersediaan menggunakan pendekatan angka konsumsi dari data Susenas BPS ditambah 10% dengan asumsi bahwa perbedaan antara angka kecukupan energi pada tingkat konsumsi dengan angka kecukupan energi di tingkat ketersediaan sebesar 10%. 102 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA • Contoh : Dari rumus perhitungan di atas diperoleh hasil bahwa tingkat ketersedian energi dan protein pada tahun 2007 – 2008, ternyata sudah melebihi Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Energi Protein Ketersediaan Tingkat Ketersediaan Ketersediaan Tahun Tingkat Ketersediaan (%) (Kkal/Kap/Hr) (%) (Gram/Kap/Hr) 2007 3.157 143,5 76,27 133,8 2008 3.056 138,9 81,20 142,5 3. Sumber Data a. Data Konsumsi dari Susenas BPS b. Data produksi tanaman pangan dan hortikultura, data impor dan ekspor dari BPS c. Data produksi perkebunan, peternakan bersumber dari instansi di lingkup Kementerian Pertanian, serta data perikanan berasal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan d. Data stok diperoleh dari Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Dewan Gula Nasional e. Data industri bukan makanan diperoleh dari BPS f. Besaran dan angka konversi yang digunakan (seperti pakan, tercecer dan bibit) ditetapkan oleh Tim Neraca Bahan Makanan (NBM), berdasarkan hasil kajian dan pendekatan-pendekatan ilmiah g. Data penduduk yang digunakan adalah data penduduk pertengahan tahun, berdasarkan Survey penduduk dan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) BPS. Publikasi Sensus Penduduk tersebut sudah mencerminkan jumlah penduduk pada posisi pertengahan tahun h. Komposisi gizi dan bagian yang dapat dimakan (BDD) diperoleh dari buku Daftar Komposisi bahan Makanan Indonesia, Direktorat Ketahanan Pangan Masyarakat Departemen Pertanian RI dan sumber lain yang bersifat resmi. i. Komponen penggunaan/pemakaian dalam negeri diperoleh dari hasil hitungan, yaitu berupa persentase terhadap penggunaan dalam negeri (seperti pakan dan tercecer), atau merupakan residual dari hasil hitungan. j. Dokumen Perencanaan BAPPENAS k. MDG’S tahun 2000 l. Laporan hasil identifikasi ketersediaan dan kondisi lumbung pangan 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan PanganTahun 2010. 5. Target Target pencapaian ketersediaan energi dan protein per kapita adalah 90% pada tahun 2015 HIMPUNAN PRODUK HUKUM 103 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun dan membuat peta ketersediaan pangan daerah sentra produksi, dengan melakukan : • Menyusun petunjuk operasional penyusunan peta daerah sentra produksi pangan masyarakat di tingkat kabupaten/kota; • Identifikasi/pengumpulan data; • Koordinasi kesepakatan data; • Penyusunan dan analisis data; • Desain pemetaan ketersediaan pangan. b. Menyusun dan membuat peta daerah sentra pengembangan produksi pangan lokal spesifik daerah dengan melakukan : • Menyusun petunjuk operasional penyusunan peta daerah sentra pengembangan produksi pangan lokal spesifik daerah; • Merumuskan konversi pangan lokal setara energi dan protein (Daftar Komposisi Bahan Makanan/DKBM); • Identifikasi/pengumpulan data; • Koordinasi kesepakatan data; • Penyusunan dan analisis data; • Desain pemetaan ketersediaan pangan. c. Melakukan pembinaan dan pelatihan dalam rangka peningkatan ketersediaan pangan berbahan baku lokal kepada sejumlah kelompok binaan per kabupaten/kota; d. Melakukan pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan; e. Menyusun dan menganalisis Neraca Bahan Pangan (NBM) di tingkat kabupaten/kota setiap tahun; f. Melakukan monitoring dan evaluasi serta membuat ketersediaan pangan dan rencana tindak lanjut setiap tahun di tingkat kabupaten/kota. 7. SDM Aparatur Badan/Dinas/Unit yang menangani ketahanan pangan yang berkompeten di bidangnya B.2. Indikator Penguatan Cadangan Pangan 1. Pengertian a. Cadangan Pangan Nasional meliputi persediaan pangan diseluruh pelosok wilayah Indonesia untuk di konsumsi masyarakat, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat. b. Cadangan Pangan Pemerintah terdiri dari cadangan pangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa yang perwujudannya memerlukan inventarisasi cadangan pangan, memperkirakan kekurangan pangan dan keadaan darurat, sehingga penyelenggaraan pengadaan dan pengelolaan cadangan pangan dapat berhasil dengan baik. c. Cadangan Pangan Masyarakat adalah cadangan pangan yang dikelola masyarakat atau rumah tangga, termasuk petani, koperasi, pedagang, dan industri rumah tangga. 104 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Lumbung pangan masyarakat adalah lembaga yang dibentuk d. oleh masyarakat desa/kota yang bertujuan untuk pengembangan penyediaan cadangan pangan dengan sistem tunda jual, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan bahan pangan yang dikelola secara kelompok. 2. Definisi Operasional a. Cadangan Pangan di tingkat pemerintah : • Tersedianya cadangan pemerintah di tingkat kabupaten/kota minimal sebesar 100 ton ekuivalen beras dan di tingkat provinsi minimal sebesar 200 ton ekuivalen beras; • Adanya lembaga cadangan pangan pemerintah pada setiap provinsi dan kab/kota; • Tersedianya cadangan pangan pemerintah, minimal 25 ton ekuivalen beras. b. Cadangan Pangan di tingkat masyarakat : • Penyediaan cadangan pangan sebesar 500 kg ekuivalen beras di tingkat rukun tetangga (RT) untuk kebutuhan minimal 3 bulan, yang bersifat pangan pokok tertentu dan sesuai dengan potensi lo kal; • Adanya lembaga cadangan pangan masyarakat minimal 1- 2 di setiap kecamatan; • Berfungsi untuk antisipasi masalah pangan pada musim paceklik, gagal panen, bencana alam sekala lokal dan antisipasi keterlambatan pasokan pangan dari luar. c. Cara Perhitungan/Rumus • Rumus yang digunakan Jumlah Cad.Pangan Provinsi X 100 % Nilai Capaian Bidang Provinsi = 200 ton Jumlah Cad.Pangan Kabupaten/Kota X 100 % Nilai Capaian Bidang Provinsi = 200 ton Persentasi kecamatan yang Jumlah kecamatan yg memp.cad.pangan X 100 % Mempunyai cad. Pangan masy = Jumlah kecamatan A. Jumlah cad.pangan per desa Cadangan pangan masing2 desa = X 100 % 500 kg B. Rata2 cadangan pangan per (Juml.cadangan 1 + Juml.cadangan.. + Juml.cadangan(n)) x 100 % kecamatan = 500 kg 500 kg 500 kg 3. Sumber Data a. Data Susenas (modul) BPS. b. Data produksi dan produktivitas, serta data impor dan ekspor dari BPS. c. Data produksi perkebunan, peternakan bersumber dari instansi di lingkup Kementerian Pertanian, serta data perikanan berasal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 105 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 d. Data stok diperoleh dari Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Dewan Gula Nasional. e. Data industri bukan makanan diperoleh dari BPS. f. Besaran dan angka konversi yang digunakan (seperti pakan dan tercecer) ditetapkan oleh Tim Neraca Bahan Makanan (NBM), berdasarkan hasil kajian dan pendekatan-pendekatan. g. Komponen penggunaan/pemakaian dalam negeri diperoleh dari hasil hitungan, yaitu berupa persentase terhadap penyediaan dalam negeri (seperti pakan dan tercecer), atau merupakan residual dari hasil hitungan. h. Dokumen Perencanaan BAPPENAS. i. Laporan hasil identifikasi ketersediaan dan kondisi lumbung pangan. j. Pemantauan perkembangan ketersediaan cadangan pangan di masyarakat. k. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. l. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA). 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa. d. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 10/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan Tahun 2010. 5. Target Target capaian penguatan cadangan pangan (cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat) sebesar 60% pada Tahun 2015. 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun petunjuk pengembangan cadangan pangan pokok tertentu pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; b. Melakukan TOT dalam rangka peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal kepada sejumlah aparat ketahanan pangan di provinsi;; c. Menyusun sistem informasi ketersediaan pangan, dengan melakukan identifikasi pengumpulan data dan analisis data produksi, data rencana produksi, pemasukan dan pengeluaran pangan serta data cadangan pangan provinsi; d. Melakukan pembinaan cadangan pangan masyarakat; e. Melakukan Koordinasi pengaturan kepada lembaga cadangan pangan pemerintah dan masyarakat terhadap kebutuhan cadangan pangan daerah.. 106 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun dan menyediakan petunjuk operasional pengembangan cadangan pangan pemerintah daerah kabupaten/kota dan cadangan pangan masyarakat; b. Melakukan identifikasi cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat; c. Menyusun peta kelembagaan cadangan pangan pemerintah desa dan masyarakat; d. Melakukan pembinaan dan pengembangan penganekaragaman cadangan pemerintah desa, pangan pokok tertentu serta lumbung pangan masyarakat; e. Melakukan monitoring dan evaluasi kelembagaan cadangan pangan dan melaporkan hasilnya. 7. SDM a. Aparatur Badan/Dinas/Unit yang menangani ketahanan pangan. b. Kelompok masyarakat pengelola cadangan pangan masyarakat. c. Bulog sebagai pengelola cadangan pangan pemerintah. PELAYANAN DASAR DISTRIBUSI DAN AKSES PANGAN A. Gambaran Umum Distribusi pangan berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah maupun kualitas secara berkelanjutan, sangat sulit diwujudkan, mengingat masih ada sebagian masyarakat yang tidak mampu mengakses pangan yang cukup, penyebab utamanya adalah kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin tersebut adalah petani di pedesaan yang berperan sebagai produsen dan konsumen. Sebagian besar petani bekerja pada usaha tanaman pangan khususnya padi dan jagung dengan skala usaha kecil bahkan sebagai buruh tani. Hal ini menyebabkan petani menghadapi berbagai permasalahan, antara lain (a) rendahnya posisi tawar, terutama pada saat panen raya sehingga menjual produknya dengan harga rendah, (b) rendahnya nilai tambah produk pertanian karena terbatasnya kemampuan untuk mengolah hasilnya, (c) keterbatasan modal untuk melaksanakan kegiatan usaha, (d) keterbatasan penyediaan pangan (beras) saat paceklik karena tidak mempunyai cadangan pangan yang cukup. Mengatasi masalah tersebut diatas, maka kegiatan distribusi pangan difokuskan pada kegiatan penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (Penguatan- LDPM) bagi gabungan kelompok tani (Gapoktan). Pendekatan yang diterapkan adalah pemberdayaan masyarakat secara partisipatif agar kelompok masyarakat mampu mengenali dan memutuskan cara yang tepat untuk mengembangkan kegiatan produktif secara berkelanjutan dan berkembang secara swadaya. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 107 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Kebijakan yang mendasari kegiatan Penguatan-LDPM adalah penguatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, khususnya untuk petani di sentra produksi pangan. Kebijakan tersebut diarahkan untuk (a) mendukung upaya petani memperoleh harga produksi yang lebih baik, (b) meningkatkan kemampuan petani memperoleh nilai tambah dari hasil produksi untuk perbaikan pendapatan, (c) memperkuat kemampuan pengelolaan cadangan pangan Gapoktan agar dapat meningkatkan akses pangan bagi anggotanya pada saat paceklik. Pencapaian standar pelayanan minimal distribusi pangan dan akses pangan, dioperasionalkan melalui indikator ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan, dan indikator stabilisasi harga dan pasokan pangan. B. Indikator dan Perhitungan B.1. Indikator Ketersediaan Informasi Pasokan, Harga dan Akses Pangan di Daerah 1. Pengertian Informasi harga, pasokan, dan akses pangan adalah kumpulan data harga pangan, pasokan pangan, dan akses pangan yang dipantau dan dikumpulkan secara rutin atau periodik oleh provinsi maupun kabupaten/kota untuk dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat analisis perumusan kebijakan yang terkait dengan masalah distribusi pangan. 2. Definisi Operasional Menyediakan data dan Informasi mencakup komoditas : gabah/beras, jagung, kedele, daging sapi, daging ayam, telur, minyak goreng, gula pasir, cabe merah yang disajikan dalam periode mingguan/ bulanan/kuartal/tahunan. a. Cara Perhitungan/Rumus Definisi Nilai capaian ketersediaan informasi (K) adalah rata-rata dari nilai ketersediaan informasi berdasarkan komoditas (K1), nilai ketersediaan informasi berdasarkan lokasi (K2) dan nilai ketersediaan informasi berdasarkan waktu (K3) Nilai capaian pelayanan ketersediaan informasi harga, pasokan, dan akses pangan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: • Nilai capaian ketersediaan informasi harga, pasokan dan akses pangan (K) • Ketersediaan informasi menurut i (i = 1,2,3) Keterangan : a) Ki = Ketersediaan informasi menurut i Dimana : i = 1 = Harga i = 2 = Pasokan i = 3 = Akses 108 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b) Realisasi (j) = banyaknya informasi yang terealisasi pengumpulannya menurut j Dimana: j = 1 = komoditas, j = 2 = lokasi j = 3 = waktu c) Target (j) = sasaran banyaknya informasi yang akan dikumpulkan menurut j Dimana j = 1 = komoditas, j = 2 = lokasi, j = 3 = waktu Target komoditas, target lokasi (kabupaten/kota, kecamatan/desa) dan target waktu pengumpulan informasi (mingguan/bulanan) ditentukan oleh masing- masing daerah sesuai dengan sumber dana dan kemampuan SDM yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Tabel 1. Contoh nilai capaian ketersediaan informasi harga, pasokan dan akses pangan 1 = Harga 2 = Pasokan 3 = Akses i j Rj/Tj Rj/Tj Rj/Tj T R T R T R *100% *100% *100% Komoditas 6 6 100 6 5 83 6 4 67 Lokasi 10 8 80 10 9 90 10 9 90 3. Waktu(minggu) 52 41 79 52 40 77 52 41 79 Ki 86.28 83.42 78.50 Nilai capaian ketersediaan 82.74 informasi ( K ) §   T= Target, R= Realisasi 3. Sumber Data a. Data/Informasi pasokan pangan dari pedagang grosir, eceran, penggilingan, RPH, RPA dan instansi terkait di provinsi dan kabupaten/kota. b. Data harga dari hasil pengumpulan data/pemantauan instansi ketahanan pangan provinsi dan kabupaten/kota, BPS, Departemen Perdagangan dan instansi terkait lainnya. 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 5. Target Target nilai capaian pelayanan Ketersediaan Informasi Pasokan, Harga dan Akses Pangan di Provinsi 100 % dan di Kabupaten/Kota 90% pada Tahun 2015. 7. Langkah Kegiatan Pemerintan Daerah Provinsi a. Menyediakan SDM provinsi yang mampu mengumpulkan data/informasi dan menganalisis harga, distribusi, dan akses pangan; b. Menyediakan panduan (metodologi dan kuisioner) untuk melakukan pengumpulan data dan informasi harga, distribusi, dan akses pangan; c. Melakukan pengumpulan data dan pemantauan harga, pasokan pangan, akses pangan, kendala distribusi pangan, kondisi sarana dan prasarana kelancaran distribusi pangan; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 109 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 d. Menyediakan informasi yang mencakup : • Kondisi harga pangan di tingkat produsen dan konsumen dimasing- masing kabupaten/kota (harian/mingguan /bulanan); • Kondisi iklim yang dapat mengganggu kelancaran distribusi pangan (banjir, kekeringan, daerah pasang surut, daerah kepulauan, daerah terpencil, daerah perbatasan) di kabupaten/ kota; • Kondisi ketersediaan pangan di daerah-daerah sentra produksi pangan, distributor, RPH/RPA, penggiling yang mudah di akses oleh provinsi, kabupaten/kota jika terjadi gejolak harga dan pasokan; • Kondisi sarana dan prasarana transportasi yang mendukung kelancaran distribusi pangan antar provinsi atau kabupaten/ kota; • Kondisi cadangan pangan di masing-masing kabupaten/kota (daerah kepulauan, daerah pasang surut, daerah terpencil, daerah perbatasan); • Bulan-bulan yang sering terjadi hambatan pasokan pangan, akses pangan di wilayah-wilayah (daerah terpencil, kepulauan, perbatasan dan lain-lain); • Bulan-bulan panen produksi pangan di daerah terpencil, kepulauan, perbatasan dan lain lain; • Kondisi jalur distribusi pangan dan daerah sentra produsen ke sentra konsumen. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyediakan SDM kabupaten/kota yang mampu mengumpulkan data/ informasi dan menganalisa harga, distribusi, dan akses pangan; b. Menyediakan panduan (metodologi dan kuisioner) untuk melakukan pengumpulan data dan informasi harga, distribusi dan akses pangan; c. Melakukan pengumpulan data dan pemantauan pasokan, harga dan akses pangan, kendala distribusi, kondisi sarana dan prasarana transportas; d. Menyediakan informasi mencakup : • Kondisi harga di tingkat produsen dan konsumen untuk komoditas pangan (harian, mingguan, dan bulanan); • Kondisi (kota, desa, kecamatan) yang sering mengalami kelangkaan pasokan bahan pangan (harian/mingguan/bulanan); • Kondisi (kota, desa, kecamatan) yang masyarakatnya mempunyai keterbatasan akses pangan (rawan pangan); • Kondisi iklim atau cuaca yang mempengaruhi transportasi bahan pangan ke kota/desa/kecamatan; • Sentra-sentra produksi pangan yang mudah diakses oleh kabupaten/ kota; • Ketersediaan sarana dan prasarana (alat transportasi, gudang, cold storage) untuk dapat mengangkut dan menyimpan bahan pangan. 8. SDM Aparatur yang menangani ketahanan pangan. B.2. Indikator Stabilitas Harga dan Pasokan Pangan 1. Pengertian Memantau dan melakukan intervensi secara cepat jika harga dan pasokan pangan di suatu wilayah tidak stabil. 2. Definisi Operasional a. Harga dinyatakan stabil jika gejolak harga pangan di suatu wilayah 110 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA kurang dari 25 % dari kondisi normal. b. Pasokan pangan dinyatakan stabil jika penurunan pasokan pangan di suatu wilayah berkisar antara 5 % - 40 %. c. Cara Perhitungan/Rumus dihitung dengan menggunakan tahapan sebagai berikut: 1. Stabilitas Harga (SH) dan Stabilitas Pasokan Pangan (SP) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan: H untuk Harga K = { P untuk Pasokan SHi = Stabilitas Harga komoditas ke i SPi = Stabilitas Pasokan komoditas ke i I = 1,2,3...n n = jumlah komoditas dimana: Stabilitas Harga (SH) di gambarkan dengan koefisien keragaman (CV) Stabilitas Pasokan (SP) di gambarkan dengan koefisien keragaman (CV) 2. Stabilitas Harga dan Pasokan komoditas ke i (SKi) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: H untuk Harga K = { P untuk Pasokan CVKRi = Koefisien keragaman Realisasi untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i CVKTi = Koefisien keragaman Target untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i 3. CVKRi dihitung dari rumus sebagai berikut : Dimana : SDKRi = Standar deviasi realisasi untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i Rata-rata realisasi Harga komoditas ke i ( ) HIMPUNAN PRODUK HUKUM 111 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Realisasi Pasokan komoditas ke i (PRi) KRi = { Realisasi Harga komoditas ke i (HRi) 4. Rata-rata harga dan pasokan komoditas pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut: Tabel 2 Contoh Hasil Perhitungan rata-rata harga, standar deviasi dan koefisien keragaman yang dihitung berdasarkan data harga beras (IR-II) tahun 2008 (mingguan) Beras (IR-II) Bulan I II III IV Jan 5,313 5,399 5,430 5,430 Feb 5,560 5,560 5,560 5,550 Mar 5,380 5,300 5,300 5,300 Apr 5,280 5,300 5,240 5,136 Mei 5,204 5,233 5,260 5,302 Jun 5,320 5,320 5,320 5,343 Jul 5,375 5,375 5,360 5,300 Agu 5,300 5,300 5,300 5,355 Sep 5,425 5,405 5,400 5,400 Okt 5,330 5,312 5,330 5,356 Nov 5,260 5,260 5,387 5,360 Des 4,850 5,092 5,200 5,217 _____ HRi 5,325 SDHRi 120.46 CVHRi 2.26 3. Sumber Data a. Data/Informasi pasokan pangan dari pedagang grosir, eceran, penggilingan, RPH, RPA dan instansi terkait di provinsi dan kabupaten/kota. b. Data harga dari hasil pengumpulan data/pemantauan instansi ketahanan pangan provinsi dan kabupaten/kota, BPS, Departemen Perdagangan dan instansi terkait lainnya. 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.. b. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/Permentan/PP.310/1/2010 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah di Luar Kualitas oleh Pemerintah. d. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 112 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 5. Target Target capaian stabilitas harga dan pasokan pangan sebesar 90% pada tahun 2015 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Mempersiapkan SDM yang mampu mengumpulkan data/informasi harga dan pasokan pangan terutama menjelang HBKN; b. Menyediakan panduan (metodelogi dan kuisioner) untuk melakukan pemantauan dan pengumpulan data dan informasi; c. Melakukan pemantauan ketersediaan, harga dan pasokan pangan dipasar besar dan menengah, distributor daerah sentra produksi dan lain lain; d. Melakukan analisis untuk merumuskan kebijaksanaan intervensi jika terjadi kelangkaan pasokan, gejolak harga, gangguan distribusi dan akses pangan; e. Melakukan koordinasi melalui forum Dewan Ketahanan Pangan untuk : merumuskan kebijakan intervensi yang segera dilakukan dalam rangka : • Stabilisasi harga dan pasokan pangan (subsidi transportasi, OP jika harga semakin meningkat); • Pengadaan/pembelian oleh pemerintah jika harga jatuh; • Impor dari luar wilayah jika terjadi kekurangan pasokan; • Ekspor/mengembangkan jaringan pasar jika terjadi kelebihan pasokan; • Memberikan bantuan terhadap masyarakat kurang mampu. 7. SDM Aparatur yang menangani ketahanan pangan dan stakeholders yang terkait. PELAYANAN PENGANEKARAGAMAN DAN KEAMANAN PANGAN A. Gambaran Umum Pola konsumsi pangan berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keanekaragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, disamping juga efisiensi untuk mencegah pemborosan. Pola konsumsi pangan juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (food utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi beragam dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan mineral serta aman. Pola konsumsi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Untuk itu penanaman kesadaran pola konsumsi yang sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan formal dan non formal. Kesadaran yang baik akan lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkat usia dan aktivitasnya. Sebagai acuan kualitatif untuk konsumsi pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG), rata-rata per kapita perhari untuk energi 2.000 kilo kalori dan protein 52 HIMPUNAN PRODUK HUKUM 113 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 gram, sedangkan acuan untuk menilai tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai pola yang ideal. Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Pemerintah menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan produk pertanian diserahkan tanggung jawabnya kepada Kementerian Teknis termasuk Kementerian Pertanian. Untuk memantau persyaratan teknis, dan sekaligus memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan perlu ada satu instintusi resmi yang menangani keamanan pangan segar, terutama terkait dengan sertifikasi dan pelabelan terhadap produk yang telah memenuhi persyaratan teknis. Sehubungan hal tersebut, melalui surat edaran Menteri Pertanian kepada Gubernur, Bupati/Walikota untuk membentuk Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kegiatan yang dilakukan otoritas kompeten dalam bentuk kesisteman dalam rangka menjamin keamanan produk pertanian segar yang dihasilkan petani di masing-masing wilayah. Bentuk penjaminan keamanan pangan bagi produk pertanian segar yang dikeluarkan oleh otoritas kompeten, berupa sertifikasi dan pelabelan. Untuk saat ini wujud pengakuan dari pemerintah dalam pemenuhan aspek keamanan pangan bagi produk pertanian segar dikategorikan dalam 3 (tiga) tingkatan berdasarkan pemenuhan terhadap cara-cara budidaya yang benar, yaitu: • Prima tiga (P-3) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelakasanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi. • Prima dua (P-2) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelakasanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik. • Prima satu (P-1) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelakasanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi bermutu baik serta cara produksinya ramah terhadap lingkungan. Agar produk yang dihasilkan dapat diterima dipasaran baik domestik maupun internasional. Apabila hal ini tidak segera dilakukan akan berdampak ; 1) Indonesia akan kebanjiran produk buah dan sayuran segar dari luar negeri : 2) Produk pertanian Indonesia kurang laku dan tidak menjadi pilihan baik domestik mauupun internasional : 3) daya saing produk semakin rendah; dan 4) kerugian ekonomi akan semakin besar. Pelayanan penganekaragaman dan keamanan pangan, terdiri dari 2 (dua) indikator yaitu indikator Skor Pola Pangan Harapan (PPH) dan indikator pengawasan dan pembinaan keamanan pangan. B. Indikator dan Perhitungan Capaian B.1. Indikator Skor Pola Pangan Harapan (PPH) 1. Pengertian a. Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. 114 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b. Penganekaragaman Konsumsi Pangan adalah upaya memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beranekaragam dan seimbang serta aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. c. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. d. Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik secara absolut maupun dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan. 2. Definisi Operasional a. Penyediaan informasi penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat yang beragam, bergizi dan berimbang, sesuai standar kecukupan energi dan protein per kapita per hari (PPH); b. Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) konsumsi pangan pada masyarakat tentang pangan lokal, teknologi pengolahan pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan penguatan kelembagaan c. Cara Perhitungan/Rumus • Nilai capaian peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH), adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, dimana dengan semakin tingginya skor PPH, maka konsumsi pangan semakin beragam, bergizi dan seimbang. • Rumus : Nilai capaian peningkatan = % AKG x bobot masing-masing kelompok pangan Energi masing-masing komoditas Skor PPH Prosentase (%) AKG = x 100 % Angka Kecukupan Gizi Menghitung konsumsi energi masing-masing kelompok pangan 1. Penjelasan : • Jika hasil perkalian % AKG x bobot lebih besar dari skor maksimum, maka menggunakan skor maksimum • Jika hasil perkalian % AKG x bobot lebih kecil dari skor maksimal, maka menggunakan hasil perkalian. 2. Contoh PPH ideal yang dicapai pada tahun 2015 Tabel 3 : Skor PPH ideal 95 % pada tahun 2015 No. Kelompok Pangan Pola Pangan Harapan Nasional Gram Energi (kkal) % AKG Bobot Skor PPH 1. Padi-padian 275 1.000 50.0 0.50. 2. Umbi-umbian 100 120 6.0 0.50 3. Pangan Hewani 150 240 12.0 2.0 4. Minyak & Lemak 20 200 10.0 0.5 HIMPUNAN PRODUK HUKUM 115 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 5. Buah/Biji Berminyak 10 60 3.0 0.5 6. Kacang-cangan 35 100 5.0 2.0 7. Gula 30 100 5.0 0.5 8. Sayur & Buah 250 120 6.0 5.0 9. Lain-lain - 60 3.0 0.0 Jumlah 20 100.0 - 95.0 3. Sumber Data a. Data primer : yang diperoleh melalui survey konsumsi pangan pada tahun tertentu (bisa bersifat t atau t-1). b. Data Sekunder : data Susenas, Badan Pusat Statistik (data baru tersedia hingga tingkat provinsi). 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Dan Gizi Pangan. c. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. d. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 5. Target Target capaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 90% pada tahun 2015 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Perencanaan Kegiatan • Menyediakan informasi kualitas pangan masyarakat, dengan mengumpulkan data Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) per kapita per hari serta pola konsumsi pangan Kabupaten/Kota. • Menyiapkan data pendukung konsumsi pangan : 1) Pengumpulan Data Pola Konsumsi Pangan (Primer dan Sekunder); 2) Penyusunan Peta Pola Konsumsi Pangan; b. Pelaksanaan Kegiatan • Peningkatan PKS (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) konsumsi pangan pada masyarakat : 1) Menyusun petunjuk teknis operasional penganekaragaman konsumsi pangan; 2) Mensosialisasikan Penganekaragaman Konsumsi Pangan : - Menyusun modul dan leaflet pola konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang; - Pemasyarakatan makanan tradisional berbasis pangan 116 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA lokal pada hotel-hotel, instansi pemerintah dan non pemerintah; - Promosi pangan beragam bergizi seimbang melalui media cetak dan elektronik minimal 12 kali dalam setahun; - Melakukan festival dan Lomba Makanan Tradisional minimal 2 kali dalam setahun. 3) Melakukan Pelatihan Penyusunan Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan. • Melakukan pembinaan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan : 4) Pembinaan dan pengembangan pekarangan, bekerjasama dengan penyuluh dan Tim Penggerak PKK; 5) Pembinaan dan pelatihan teknologi pengolahan pangan kepada kelompok produsen pengolahan bahan pangan lokal berbasis spesifik daerah dan konsumen; 6) Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui lomba-lomba cipta menu dan demo olahan pangan lokal; 7) Membuat gerai pengembangan pangan lokal/warung 3B-Beragam, Bergizi Seimbang; 8) Melakukan pembinaan secara intensif pada sekolah (warung sekolah); 9) Melakukan pembinaan dan pelatihan pada kelompok wanita (Dasa Wisma) tentang pangan beragam, bergizi seimbang (depot desa) berbasis makanan tradisional; • Penyuluhan dalam rangka gerakan penganekaragaman pangan: (pendampingan dan pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan) • Pembinaan gerakan penganekaragam pangan; • Mensosialisasikan penganekaragaman konsumsi pangan; • Pemantauan dan pembinaan penganekaragaman konsumsi pangan; • Evaluasi dan pelaporan; c. Pelaporan Kegiatan (Monitoring dan Evaluasi) Melakukan monitoring, evaluasi serta melaporkan secara berkala 7. SDM a. Aparat yang menangani ketahanan pangan dan stakeholders terkait lainnya. b. Kader Pangan Desa dan PKK. c. Perguruan Tinggi. B.2. Indikator Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan 1. Pengertian a. Keamanan Pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang menganggu, merugikan, dan membahayakan manusia. b. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi HIMPUNAN PRODUK HUKUM 117 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 bahan baku pengolahan pangan c. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (pewarna, pemanis, penyedap rasa dan pengawet). d. Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Pusat (OKKP-P) adalah institusi atau unit kerja di lingkup Kementerian Pertanian yang sesuai dengan tugas fungsinya diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan Sistem Jaminan, keamanan pangan. e. Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKP-D) adalah institusi atau unit kerja di lingkup Pemerintah Daerah yang sesuai dengan tugas fungsinya diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan Sistem Jaminan Keamanan Pangan Hasil Pertanian dan telah lulus verifikasi oleh OKKP-Pusat. f. Inspektor/pengawas mutu hasil pertanian adalah personel yang secara resmi ditugaskan oleh Otoritas Kompeten Keamanan Pangan (OKKP). g. untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap unit usaha atau lembaga dalam menerapkan sistem jaminan, keamanan pangan yang ditentukan. 2. Definisi Operasional a. Penyediaan informasi tentang keamanan pangan, khususnya pangan segar; • Prima tiga (P-3) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi. • Prima dua (P-2) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik. • Prima satu (P-1) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi bermutu baik serta cara produksinya ramah terhadap lingkungan. b. Koordinasi dengan instansi terkait tentang pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan untuk pangan; c. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan terhadap UMKM Pangan; d. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan di sekolah; e. Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar; f. Pembinaan dan pengawasan produk pabrikan skala kecil/rumah tangga. g. Cara Perhitungan/Rumus Pangan aman = A x 100 % B Pembilang (A) : jumlah sampel pangan yang aman dikonsumsi di pedagang pengumpul disatu tempat sesuai standar yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. 118 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Penyebut (B) : Jumlah total sampel pangan yang diambil dipedagang pengumpul disuatu wilayah menurut ukuran yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu. Ukuran/Konstanta : Persentase (%). Contoh perhitungan Jumlah total sampel pangan yang diambil dipedagang pengumpul 20 sampel. Hasil analisa residu pestisida/kontaminan tidak ditemukan atau dibawah ambang batas masksimum residu (BMR) sesuai standar yang berlaku pada bulan Januari-Desember Tahun 2008, maka : Pangan aman = Jumlah sampel pangan yang aman dikonsumsi x 100% Jumlah total sampel pangan yang diperdagang 3. Sumber Data Pemantauan dan Survey Keamanan pangan Segar oleh petugas daerah 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. c. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 12/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Penanganan Keamanan Pangan Segar Tahun 2010. d. Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 881/Menkes/SKB/VIII/1996 711/Kpts/Tp.270/VIII/96. 5. Target Target capaian Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan sebesar 80% pada tahun 2015. 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun petunjuk operasional informasi tentang keamanan pangan segar; b. Melakukan identifikasi pangan pokok masyarakat; c. Melakukan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan segar, dengan : • Menyusun Petunjuk Operasional pembinaan dan Pengawasan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam Penanganan dan pengawasan Keamanan Pangan segar; • Sosialisasi dan Apresiasi Penanganan Keamanan Pangan Penyusunan dan Pemantapan Dokumen Sistem Keamanan (Doksiska); • Workshop Penanganan Keamanan Pangan Segar; • Koordinasi dalam Pembinaan Keamanan Pangan; • Koordinasi dalam Sertifikasi dan Pelabelan Pangan; • Pengawasan Penanganan Keamanan Pangan; • Evaluasi dan Pelaporan; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 119 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 d. Melakukan koordinasi dengan OKKPD (Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah) dan instansi terkait untuk pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalah gunakan untuk pangan; e. Melakukan penyuluhan keamanan pangan di sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan bagi murid sekolah dasar; f. Melakukan pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang, melalui pembinaan/pelatihan keamanan pangan pada penjual jajanan anak sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan; g. Melakukan pembinaan mutu dan keamanan produk pabrikan skala kecil/rumah tangga pada kelompok produsen; h. Melakukan pembinaan penerapan standar Batas Minimum Residu (BMR) wilayah provinsi; i. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan, dalam upaya pengembangan SI SAKTI antara lain : • Mendorong terbentuknya otoritas kompeten ditingkat provinsi, dan kabupaten/kota; • Memberikan bimbingan dan pelatihan kelengkapan yang diperlukan otoritas kompeten; • Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, wawasan dan keterampilan inspektor, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam pengawasan keamanan pangan melalui pelatihan-pelatihan; • Memperkuat kelembagaan otoritas kompeten dengan memberikan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi. j. Melakukan pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi; k. Melakukan monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota; l. Melakukan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun petunjuk teknis operasional informasi tentang keamanan pangan; b. Melakukan koordinasi pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan untuk pangan; c. Melakukan analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat; d. Melakukan analisis mutu, gizi konsumsi masyarakat; e. Melakukan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan segar, dengan : • Menyusun Petunjuk Operasional Pembinaan dan Pengawasan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam pembinaan, penanganan dan pengawasan keamanan pangan segar; • Sosialisasi dan Apresiasi Penanganan Keamanan Pangan Penyusunan dan Pemantapan Dokumen Sistem Keamanan 120 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA (Doksiska); • Workshop Penanganan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam Sertifikasi dan Pelabelan Pangan; • Evaluasi dan Pelaporan. f. Melakukan penyuluhan keamanan pangan di sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan bagi murid sekolah dasar; g. Melakukan pembinaan/pelatihan keamanan pangan pada penjual jajanan anak sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan; h. Pembinaan dan pelatihan keamanan produk pabrikan skala kecil/ rumah tangga pada kelompok produsen; i. Melakukan pembinaan penerapan standar Batas Minimum Residu (BMR); j. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan, dalam upaya pengembangan SI SAKTI antara lain : • Mendorong terbentuknya otoritas kompeten ditingkat kabupaten/ kota; • Memberikan bimbingan dan pelatihan kelengkapan yang diperlukan otoritas kompeten; • Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, wawasan dan keterampilan inspektor, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan dalam pengawasan keamanan pangan melalui pelatihan-pelatihan; • Memperkuat kelembagaan otoritas kompeten dengan memberikan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi. k. Melakukan pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota; l. Melakukan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota. 7. SDM a. Aparat yang berkompeten di bidangnya; b. Inspektor pengawas keamanan pangan; c. Lembaga Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah. PELAYANAN PENANGANAN KERAWANAN PANGAN A. Gambaran Umum Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia, karena pangan selain sangat dibutuhkan bagi pemenuhan kebutuhan psikologis, pangan juga dapat membentuk SDM sebagai aset bagi pembangunan bangsa dan negara. Masalah pangan akan dapat menjadi pemicu terjadinya masalah rawan pangan dan masalah gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena : (a) tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 121 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup; (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga; (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein. Masalah rawan pangan akan terjadi sepanjang kehidupan manusia, maka perlu kiranya dicari konsep-konsep penanganannya yang efektif dan efisien sesuai situasi dan kondisi yang ada. Salah satu konsep tersebut adalah Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) adalah suatu rangkaian kegiatan pengamatan situasi pangan dan gizi melalui penyediaan data/informasi, pengolahan data dan analisis serta rencana intervensi untuk penanganan masalah gangguan pangan dan gizi. Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di daerah Kabupaten/ Kota dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah dengan mengacu pada lingkup kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Terdapat beberapa langkah kegiatan yang perlu kegiatan yang perlu dilakukan sebelum operasional dilaksanakan, yaitu advokasi dan sosialisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) kepada pemerintah daerah dan stakeholder setempat utnuk memperoleh komitmen dukungan pelaksanaannnya. Langkah selanjutnya adalah pelatihan �petugas� atau tim unit analisis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) secara berjenjang dari tingkat provinsi kemudian kabupaten/Kota. Pelayanan penanganan kerawanan pangan adalah jenis pelayanan terkait dengan : 1. Pengembangan sistem isyarat dini 2. Penguatan kelembagaan untuk penanganan rawan pangan; 3. Pencegahan kerawanan pangan; 4. Penangulangan kerawanan pangan; 5. Peningkatan dan pengembangan desa mandiri pangan; B. Indikator dan Cara Perhitungan Capaian Indikator Penanganan Daerah Rawan Pangan 1. Pengertian a. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. b. Rawan Pangan kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset produktif dan kekurangan pendapatan. c. Rawan Pangan Transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara, yang disebabkan oleh perbuatan 122 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA manusia (penebangan liar yang menyebabkan banjir atau karena konflik sosial), maupun karena alam berupa berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti: bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, tsunami). d. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) adalah suatu sistem pendeteksian dan pengelolaan informasi tentang situasi pangan dan gizi yang berjalan terus menerus. Informasi yang dihasilkan menjadi dasar perencanaan, penetuan kebijakan, koordinasi program dan kegiatan penanggulangan rawan pangan dan gizi. 1. Definisi Operasional Penanganan rawan pangan dilakukan pertama melalui pencegahan kerawanan pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan disuatu wilayah sedini mungkin dan kedua melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan kronis melalui program- progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial a. Pencegahan rawan pangan melalui pendekatan yaitu : • Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan melaksanakan 3 kegiatan sebagai berikut : 1) Peramalan situasi pangan dan gizi melalui SIDI, termasuk peramalan ketersediaan pangan dan pemantauan pertumbuhan balita dan hasil pengamatan sosial ekonomi 2) Kajian situasi pangan dan gizi secara berkala berdasarkan hasil survei khusus atau dari laporan tahunan. 3) Diseminasi hasil peramalan dan kajian situasi pangan dan gizi bagi perumus kebijakan (forum koordinasi tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi). • Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas) disusun pada periode 3- 5 tahunan yang menngambarkan kondisi sampai tingkat kecamatan/desa sebagai acuan dalam penentuan program • Penghitungan tingkat kerawanan dengan membandingkan jumlah penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan berdasarkan 3 kriteria prosentase angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.000 Kalori yaitu: a) Penduduk sangat rawan < 70% AKG b) Penduduk pangan resiko sedang < 70% - 89,9% AKG c) Penduduk tahan pangan > 89,9% AKG b. Cara Perhitungan • Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) • Indikator yang digunakan dengan pendekatan SKPG : 1) Pertanian : Ketersediaan pangan 2) Kesehatan : Preferensi energi 3) Sosial ekonomi : kemiskinan karena sejahtera dan prasejahtera. • Masing – masing indikator diskor, gabungan 3 indikator ini merupakan penentu rawan pangan resiko tinggi, sedang dan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 123 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 rendah. • Indikator pertanian untuk peramalan daerah potensi produksi tanaman pangan dapat dilakukan menggunakan 4 indikator, dengan rumus sebagai berikut : PSB Pangan non padi = produksi pangan x harga pangan non padi (Rp/Kg) / Harga beras (Rp/Kg) • Cara menghitung rasio ketersediaan produksi : 1) Ketersediaan beras adalah produksi GKG dikonversi ke beras 85% x 63,2% x jumlah produksi GKG 2) Kebutuhan beras = konsumsi rata-rata perkapita x jumlah penduduk ½ tahunan dibagi 1.000 3) Perimbangan = ketersediaan – kebutuhan beras 4) Rasio = ketersediaan : kebutuhan beras. • Indikator Kesehatan Rumus status gizi Prev.gizi kurang (%) = (n gizi kurang < -2 SD) x 100 % (n balita yang dikumpulkan PSG) • Dalam laporan PSG status gizi balita biasanya dikelompokkan dalam 3 status gizi, yaitu : 1) Gizi buruk : dibawah minus 3 standar deviasi (<-3 SD); 2) Gizi kurang : antara minus 3 SD dan minus 2 SD (minus 3 SD sampai minus 2 SD) 3) Gizi baik : minus 2 SD keatas • Sosialisasi ekonomi Kreteria yang digunakan untuk mengkelompokkan keluarga – keluarga kedalam status kemiskinan adalah berikut : 1) Keluarga pra-sejahtera (PS) : jika tidak memenuhi salah satu syarat sebagai keluarga sejahtera. 2) Keluarga sejahtera-satu (KS1) : jika dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal. • Kemudian hasil perimbangan diskor : 1) Skor 1: apabila rasio > 1.14 (surplus) 2) Skor 2: apabila rasio > 1.00 – 1.14 (swasembada) 3) Skor 3: apabila rasio > 0.95 – 1.00 (cukup) 4) Skor 4: apabila rasio lebih kecil atau sama dengan 0.95 (defisit). Pemetaan situasi pangan suatu wilayah berdasarkan indikator pertanian pangan (padi) dilakukan dengan menjumlahkan skor dari indikator yang digunakan semakin besar jumlah skor semakin besar resiko rawan pangan suatu wilayah. Nilai Indikator tersebut diatas digunakan untuk membuat situasi 124 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA pangan dan gizi, dengan tahapan sebagai berikut : 1) Menjumlahkan ke 3 nilai skor pangan, gizi, dan kemiskinan 2) Jumlah ke 3 nilai indikator akan diperoleh maksimum 12 (jika nilai skor masing-masing 4) dan jumlah terendah 3 (jika skor masing-masing 1). • Biasanya tingkat kerawanan berdasarkan jumlah tiga nilai indikator dan dapat diklasifikasikan menjadi 3 wilayah resiko, yaitu wilayah resiko tinggi (skor 9 – 12), wilayah resiko sedang (skor 6-8) dan wilayah resijo ringan (skor 3 -5). wilayah resiko tinggi dapat terjadi pada penjumlahan apabila salah satu indikator mempunyai skor 4 walaupun penjumlahan ke tiga indikator kurang dari skor 9. a. Pendekatan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) • Untuk menganalisis tingkat ketahanan pangan adalah berdasarkan indikator yang telah terseleksi dengan penyusunan indeks tingkat ketahanan pangan pada masing-masing indikator. No IndiKator I 1. Rasio konsumsi normative per kapita terhadap ketersediaan bersih Ketersediaan Pangan “padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar� 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan Akses Terhadap 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang II Pangan dan memadai Penghidupan 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup saat lahir 6. Berat badan balita di bawah standar (underweight) 7. Perempuan buta huruf III Pemanfaatan Pangan 8. Rumah tangga tanpa akses ke air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan 10. Deforestasi hutan Kerentanan terhadap 11. Penyimpangan curah hujan IV kerawanan pangan 12. Bencana alam 13. Persentase daerah puso • Untuk menentukan nilai akan dilakukan dengan menghitung indeks dimana rumus indeks adalah : Indeks = Dimana : = nilai ke – j dari indikator ke i “min� dan “max� = nilai minimum dan maksimum dari indikator tersebut HIMPUNAN PRODUK HUKUM 125 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 • Selanjutnya indeks ketahanan pangan komposit diperoleh dari penjumlahan seluruh indeks indikator (9 indikator) kerentanan terhadap kerawanan pangan. Indeks komposit kerawanan pangan dihitung dengan cara sebagai berikut : • Contoh penentuan penurunan penduduk miskin dan rawan pangan Batasan Kategori Indikator Ketahanan Pangan\Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) No Indikator Indikator Catatan Sumber Data > = 1.5 Defisit tinggi Konsumsi normative per 1.25 – 1.5 Defisit sedang Badan Ketahanan kapita terhadap rasio 1.00 – 1.25 Defisit rendah Pangan Provinsi 1 ketersediaan bersih 0.75 – 1.00 Surplus rendah dan Kabupaten padi+jagung+ubi kayu+ubi 0.50 – 0.75 Surplus sedang (data 2005 – 2007) jalar < 0.50 Surplus tinggi > =3.5 25 - < 35 Data dan Informasi Persentase penduduk di 20 - < 25 Kemiskinan, BPS 2 bawah garis kemiskinan 15 - < 20 tahun 2007 Buku 2 10 - < 15 Kabupaten 0 - < 10 >= 30 Persentase desa yang tidak 25 - < 30 memiliki akses penghubung 20 - < 25 3 yang memadai 15 - < 20 10 - < 15 0 - < 10 >= 50 40 - < 50 Persentase penduduk tanpa 30 - < 40 4 akses listrik 20 - < 30 10 - < 20 < 10 < 58 Angka harapan hidup pada 58 - < 61 saat lahir 61 - < 64 5 64 - < 67 67 - < 70 >=70 >= 30 Berat badan balita di bawah 20 - < 30 6 standar (underweight) 10 - < 20 <10 >=40 30 - < 40 Perempuan buta huruf 20 - < 30 7 10 - < 20 5 - < 10 <20 126 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA >=70 60 – 70 Persentase Rumah Tangga 50 – 60 8 tanpa akses air bersih 40 – 50 30 – 40 <30 >=60 Persetase penduduk yang 50 – 60 tinggal lebih dari 5 Km dan 40 – 50 9 fasilitas kesehatan 30 – 40 20 – 30 <30 Tidak ada range, hanya menyoroti Deforestasi hutan perubahan kondisi penutu-pan D e p a r t e m e n 10 lahan dari hutan menjadi non Kehutanan, 2008 hutan <85 Badan Meteorolo- Di bawah normal Fluktuasi curah hujan 85 – 115 gi, Klimatologi dan 11 Normal >115 geofisika 2008 Di atas normal Badan Tidak ada range, hanya menyoroti Penanggulangan daerah dengan kejadian bencana Bencana Daerah alam dan kerusakannya dalam (SATKORLAK dan 12 Bencana alam periode tertentu, dengan SATLAK) demikian menunjukkan daerah tersebut rawan terhadap bencana >= 15 Dinas Pertanian 10 – 15 atau Balai Proteksi Persentase daerah puso 5 – 10 13 Tanaman Pangan 3–5 dan Hortikultura 1–3 (BPTPH) <1 3. Sumber data a. Kehutanan, 2008. b. Badan Data BKKBN. c. Dinas Kesehatan. d. BPS Kabupaten Kota. e. Dolog Kabupaten/Kota. f. Dinas Pertanian dan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH). g. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (SATKORLAK dan SATLAK). h. Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisika 2008. i. Data Potensi Desa; j. Badan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten (data 2005 – 2007). 4. Rujukan a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 127 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 c. Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43/Permentan/OT.140/7/2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. d. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 10/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan Tahun 2010. 5. Target Capaian penanganan daerah rawan pangan sebesar 60% pada tahun 2015. 6. Langkah Kegiatan Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun pedoman penanganan rawan pangan di tingkat kabupaten./kota; a. Penyediaan data dan Informasi : • Melakukan pengumpulan data, mengolah, menganalisis dan Pemetaan Situasi Pangan dan gizi kabupaten/kota; • Melakukan pengumpulan data, mengolah, mengalisis dan pemetaan Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (FSVA) kabupaten/kota; b. Pengembangan sistem Kewaspadaan Pangan dan gizi: • Menyusun petunjuk pelaksanaan Sistem Kewaspadaan pangan dan Gizi; • Sosialisasi petunjuk pelaksanaan Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi; • Melakukan pelatihan petugas SKPG dan FSVA kabupaten/kota • Mengaktifkan dan koordinasi dengan SKPG kabupaten/kota yang aktif; c. Melakukan Penanggulangan kerawanan pangan • Penyusunan petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan; • Sosialisasi petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan; • Melakukan intervensi melalui bantuan sosial pada daerah rawan pangan hasil investigasi Tim SKPG dan rawan pangan akibat bencana • Penyediaan stok pangan melalui pengembangan lumbung pangan pemerintah provinsi • Menggerakkan pemberdayaan masyarakat rawan pangan, melalui program desa mandiri pangan dan dipadukan dengan program lainnya di tingkat kabupaten/kota. d. Penanggulangan Rawan Pangan Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan rawan kronis adalah melakukan investigasi dan intervensi Rawan Pangan Kronis dan transien. • Investigasi 1) Berdasarkan pemetaan situasi pangan dan gizi yang dilakukan oleh Tim SKPG, Kepala Daerah segera membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 128 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing- masing dari unsur-unsur instansi terkait. 2) Tim Investigasi harus segera turun ke lapangan paling lambat 1 minggu setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis. 3) Hasil investigasi digunakan oleh Tim Investigasi untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kepala Daerah. 4) Hasil rekomendasi yang disampaikan mencakup jenis intervensi yang tepat, lokasi dan masyarakat sasaran, jangka waktu pelaksanaan intervensi dan lain-lain sesuai dengan kepentingan. • Intervensi 1) Setelah menerima hasil investigasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi. 2) Intervensi yang dilakukan mencakup tanggap darurat apabila diperlukan, intervensi jangka menengah serta intervensi jangka panjang. 3) Jenis intervensi yang tepat, jangka waktu intervensi, besaran dana yang diperlukan dan lain-lain dapat diketahui berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi. 4) Intervensi dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber dana baik berasal dari APBN, APBD, masyarakat maupun bantuan internasional untuk penanganan rawan pangan kronis ditanggulangi melalui program-program yang dilaksanakan oleh instansi terkait seperti Program Desa Mandiri Pangan, Desa Siaga, PUAP, Primatani, PIDRA atau program pemberdayaan lainnya. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Penyediaan data dan Informasi : • Melakukan pengumpulan data, mengolah, menganalisis dan Pemetaan Situasi Pangan dan gizi sampai level kecamatan/ desa • Melakukan pengumpulan data, mengolah, mengalisis dan pemetaan Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (FSVA) sampai level kecamatan/desa b. Pengembangan sistem Kewaspadaan Pangan dan gizi: • Menyusunan pedoman Teknis Sistem Kewaspadaan pangan dan Gizi; • Sosialisasi pedoman Teknis Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi; • Melakukan pelatihan petugas SKPG dan FSVA • Mengaktifkan dan koordinasi dengan SKPG kabupaten/kota yang aktif; • Menggerakan Tim pangan kecamatan yang aktif (yang dibina/ dilatih); • Menggerakkan kelompok PKK/posyandu kecamatan yang aktif (yang dibina/dilatih); HIMPUNAN PRODUK HUKUM 129 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 c. Melakukan Penanggulangan kerawanan pangan • Penyusunan pedoman umum Penanggulangan Kerawanan Pangan; • Sosialisasi pedoman umum Penanggulangan Kerawanan Pangan; • Melakukan intervensi melalui bantuan sosial pada daerah rawan pangan hasil investigasi Tim SKPG dan rawan pangan akibat bencana; • Penyediaan stok pangan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat di pedesaan • Penanggulangan kerawanan pangan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat rawan pangan, melalui program desa mandiri pangan dan dipadukan dengan program lainnya. d. Penanggulangan Rawan Pangan Kronis Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan rawan kronis adalah melakukan investigasi dan intervensi Rawan Pangan Kronis. • Investigasi 1) Berdasarkan pemetaan situasi pangan dan gizi yang dilakukan oleh Tim SKPG, Kepala Daerah segera membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing- masing dari unsur-unsur instansi terkait. 2) Tim Investigasi harus segera turun ke lapangan paling lambat 1 minggu setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis. 3) Hasil investigasi digunakan oleh Tim Investigasi untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kepala Daerah. 4) Hasil rekomendasi yang disampaikan mencakup jenis intervensi yang tepat, lokasi dan masyarakat sasaran, jangka waktu pelaksanaan intervensi dan lain-lain sesuai dengan kepentingan. • Intervensi 1) Setelah menerima hasil investigasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi. 2) Intervensi yang dilakukan mencakup tanggap darurat apabila diperlukan, intervensi jangka menengah serta intervensi jangka panjang. 3) Jenis intervensi yang tepat, jangka waktu intervensi, besaran dana yang diperlukan dan lain-lain dapat diketahui berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi. 4) Intervensi dilakukan dengan menggunakan sumber- sumber dana baik berasal dari APBN, APBD, masyarakat maupun bantuan internasional untuk penanganan rawan 130 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA pangan kronis ditanggulangi melalui program-program yang dilaksanakan oleh instansi terkait seperti Program Desa Mandiri Pangan, Desa Siaga, PUAP, Primatani, PIDRA atau program pemberdayaan lainnya. e. Penanggulangan Rawan Pangan Transien • Investigasi 1) Setelah menerima laporan adanya kejadian bencana, maksimal 2 hari, Kepala Daerah harus sudah membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing- masing dari unsur-unsur instansi terkait. 2) Tim Investigasi melaksanakan tugasnya dan melaporkan hasilnya kepada Kepala Daerah maksimal 3 hari setelah dibentuk. 3) Hasil investigasi yang dilaporkan kepada Kepala Daerah meliputi rekomendasi adanya rawan pangan transien yang disebabkan oleh bencana, wilayah yang mengalami rawan pangan, masyarakat sasaran, jenis intervensi yang diberikan, jangka waktu dan pelaksana intervensi. 4) Setelah menerima rekomendasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk melakukan intervensi pada daerah yang diketahui mengalami rawan pangan transien. 5) Tugas Tim Investigasi berbeda dengan Satlak/Satkorlak. Namun dalam pelaksanaan tugasnya Tim Investigasi dapat berkoordinasi dengan Satlak/Satkorlak setempat. • Intervensi Intervensi dilakukan dengan memberikan bantuan tanggap darurat, sesuai kebutuhan setempat dari hasil investigasi dan bantuan jangka pendek serta jangka panjang 7. SDM Aparat yang berkompeten di bidangnya MENTERI PERTANIAN, Ttd SUSWONO HIMPUNAN PRODUK HUKUM 131 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 65/Permentan/OT.140/12/2010 TANGGAL : 22 Desember 2010 PETUNJUK TEKNIS PERENCANAAN PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta Peraturam Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis dan Penyusunan dan Penetapan SPM, pemerintah wajib menyusun SPM berdasarkan urusan wajib yang merupakan pelayanan dasar, sebagai bagian dari pelayanan publik. Sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 selanjutnya mengatur tentang Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah. Menindaklanjuti hal tersebut di atas, Kementerian Pertanian telah menetapkan Peraturan Menteri tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam rangka penerapan dan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan secara bertahap diperlukan panduan perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan di provinsi dan kabupaten/kota untuk dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dengan memperhatikan potensi dan kemampuan daerah. B. Tujuan dan Sasaran Petunjuk Teknis ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesamaan visi kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyusunan perencanaan pembiayaan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Adapun sasaran dari Petunjuk Teknis ini adalah tersusunnya perencanaan pembiayaan SPM Bidang Ketahanan Pangan oleh pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka pencapaian secara bertahap SPM Bidang Ketahanan Pangan di daerahnya. 132 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA C. Pengertian 1. Indikator kinerja SPM Bidang Ketahanan Pangan adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif di bidang ketahanan pangan yang digunakan untuk menggambarkan besaran yang hendak di penuhi dalam pencapaian SPM bidang ketahanan pangan di Provinsi dan Kabupaten/ Kota berupa masukan proses, hasil, dan/atau manfaat pelayanan. 2. Batas waktu pencapaian adalah batas waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target (nilai) indikator SPM secara bertahap yang ditentukan untuk mencapai SPM daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Langkah kegiatan adalah tahapan kegiatan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi capaian indikator SPM sesuai situasi dan kondisi serta kemampuan keuangan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/kota. 4. Kurun waktu adalah kurun/waktu dalam pelaksanaan kegiatan periode 1 (satu) tahun. 5. Satuan kerja/Lembaga penanggung jawab adalah lembaga di daerah yang bertanggung jawab dalam penerapan SPM. Penentuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ini harus mempertimbangkan tugas pokok dan fungsi, kualifikasi dan kompetensi sumber daya SKPD yang bersangkutan. 6. Kemampuan dan potensi daerah adalah kondisi keuangan daerah seperti PAD, DAU, dan DAK serta sumber daya yang dimiliki daerah untuk menyelenggarakan urusan wajib pemerintahan daerah dan dalam rangka pembelanjaan untuk membiayai penerapan SPM. 7. Rencana Pencapaian SPM adalah target pencapaian SPM yang dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah yang dijabarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), RKPD, Renstra-SKPD dan Renja-SKPD untuk digunakan sebagai dasar perhitungan kebutuhan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. 8. Analisis kemampuan dan potensi daerah terkait data dan informasi menyangkut kapasitas dan sumber daya yang dimiliki daerah. 9. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD. 10. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. D. Dasar Hukum 1. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 133 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 E. Ruang Lingkup Ruang lingkup Petunjuk Teknis perencanaan pembiayaan pencapaian SPM bidang ketahanan pangan, meliputi: 1. Rencana pencapaian SPM. 2. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM dalam bentuk dokumen perencanaan dan penganggaran. 3. Mekanisme pembelanjaan penerapan SPM dan perencanaan pembiayaiam pencapaian SPM bidang ketahanan pangan di Kabupaten/Kota. 4. Sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada masyarakat. RENCANA PENCAPAIAN SPM Dalam menentukan rencana pencapaian dan penerapan SPM, pemerintahan daerah harus mempertimbangkan: 1. Kondisi awal tingkat pencapaian pelayanan dasar Kondisi awal tingkat pencapaian pelayanan dasar dilihat dari kegiatan yang sudah dilakukan oleh daerah sampai saat ini, terkait dengan jenis-jenis pelayanan yang ada di dalam SPM Bidang Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. 2. Target pelayanan dasar yang akan dicapai Target pelayanan dasar yang akan dicapai mengacu pada target pencapaian yang sudah disusun oleh Kementerian Pertanian dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Lampirannya tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, merupakan bagian yang tidak terpisahkan. 3. Kemampuan, potensi, kondisi, karakteristik dan prioritas daerah Rencana pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan di daerah mengacu pada batas waktu pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan secara nasional yang telah di tetapkan oleh Kementerian Pertanian dengan memperhatikan analisis kemampuan dan potensi daerah. Analisis kemampuan daerah disusun berdasarkan data, statistik dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan baik yang bersifat khusus maupun umum. Pengertian khusus dalam hal ini adalah data, statistik dan informasi yang secara langsung terkait dengan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota, misalnya data teknis, sarana dan prasarana fisik, personil, alokasi anggaran untuk melaksanakan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota. Sedangkan pengertian umum dalam hal ini adalah data, statistik, dan informasi yang secara tidak langsung terkait dengan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan, namun keberadaannya menunjang pelaksanaan SPM secara keseluruhan. Misalkan kondisi geografis, demografis, pendapatan daerah, sarana prasarana umum dan sosial ekonomi. Potensi daerah yang dimaksud dalam hal ini mengandung pengertian ketersediaan sumber daya yang dimiliki baik yang telah dieksploitasi maupun yang belum dieksploitasi yang keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk menunjang pencapaian SPM. 134 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Faktor kemampuan dan potensi daerah digunakan untuk menganalisis: a. Penentuan status awal yang terkini dari pencapaian pelayanan dasar di daerah; b. Perbandingan antara status awal dengan target pencapaian dan batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah; c. Perhitungan pembiayaan atas target pencapaian SPM, analisa standar belanja kegiatan berkaitan dengan SPM dan satuan harga kegiatan; d. Perkiraan kemampuan keuangan dan pendekatan penyediaan pelayanan dasar yang memaksimalkan sumber daya daerah. Analisis kemampuan dan potensi daerah digunakan untuk menyusun skala prioritas program dan kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan pencapaian dan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota. Penentuan prioritas program dan kegiatan dan batas waktu pencapaian SPM di daerah dilakukan dengan menggunakan format pada Tabel 1 dan 2. PENGINTEGRASIAN RENCANA PENCAPAIAN SPM DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan yang akan di tuangkan dalam RPJMD dan dijabarkan dalam target tahunan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan. RPJMD yang memuat rencana pancapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan akan menjadi pedoman dalam penyusunan Renstra SKPD, kebijakan umum APBD (KUA) dan Prioritas Planfon Anggaran (PPA). Adapun mekanisme rencana pencapaian SPM dalam RPJMD sebagai berikut: MEKANISME PEMBELANJAAN PENERAPAN SPM DAN PERENCANAAN PEMBIAYAAN PENCAPAIAN SPM BIDANG KETAHANAN PANGAN Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA yang disepakati bersama antara Kepala Daerah dan DPRD wajib memuat target pencapaian dan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota. Nota kesepakatan inilah yang menjadi dasar penyusunan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 135 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 RKA-SKPD yang menggambarkan secara rinci dan jelas program dan kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka pencapaian dan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota. Pengintegrasian SPM ke dalam RAPBD ini adalah, sebagai berikut: Mekanisme perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan dilakukan untuk melihat kemampuan dan potensi daerah dalam pencapaian dan penerapan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota. Adapun tahapan mekanisme perencanaan pembiayaan SPM adalah, sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah menyusun rincian kegiatan untuk masing-masing jenis pelayanan dalam rangka pencapaian SPM dengan mengacu pada indikator kinerja dan batas waktu pencapaian SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 2. Pemerintah daerah menetapkan batas waktu pencapaian SPM untuk daerahnya dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM secara nasional, kemampuan dan potensi daerahnya masing-masing. 3. Pemerintah daerah menetapkan target tahunan pencapaian SPM mengacu pada batas waktu yang sudah ditentukan oleh masing-masing daerah 4. Pemerintah daerah membuat rincian belanja yang sudah ditetapkan oleh masing- masing daerah. 5. Pemerintah daerah dapat mengembangkan jenis kegiatan dari masing-masing jenis pelayanan yang sudah ditetapkan oelh Kementerian Pertanian sesuai kebutuhan daerahnya dalam pencapaian SPM di daerah masing-masing. 6. Pemerintah daerah menggunakan perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan untuk melihat kondisi dan kemampuan keuangan daerahnya dalam mencapai SPM Bidang Ketahanan Pangan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. 7. Apabila pembiayaan yang dibutuhkan dalam pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan melebihi kemampuan keuangan daerah maka pemerintah daerah dapat mengurangi kegiatan atau mencari sumber anggaran lainnya. 136 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Mekanisme Perencanaan Pembiayaan SPM Bidang Ketahanan Pangan Adapun uraian kegiatan dan biaya dalam rangka penyusunan perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota, dijelaskan pada lampiran III Modul Pembiayaan SPM. SISTEM PENYAMPAIAN INFORMASI Rencana pencapaian target tahunan SPM Bidang Ketahanan Pangan di Kabupaten/Kota dan realisasinya merupakan bagian dari Laporan Penyelenggaran Pemerintah Daerah (LPPD), Laporan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (ILPPD) yang harus diinformasikan kepada masyarakat. Selain itu, sesuai dengan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM Pemerintah Daerah mengakomodasi pengelolaan data informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai acuan dalam pembangunan ketahanan pangan tidak terlepas dari fokus Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Ketahanan Pangan sebagai suatu sistem yang sangat luas, menyangkut subsistem Ketersediaan, subsistem Distribusi, subsistem Penganekaragaman dan kualitas nutrisi dan konsumsi serta keamanan distribusi pangan terhadap terjadinya Kerawanan Pangan, perlu didorong dan difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan suatu mekanisme sistem dan informasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 137 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian merupakan Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, yang sekretarisnya adalah Kepala Badan Ketahanan Pangan, hal ini berarti koordinasi pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dititikberatkan kepada Badan/kantor Ketahanan Pangan atau Unit Pelayanan yang menangani ketahanan pangan baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota selaku Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan/ Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Mekanisme Sistem Pengelolaan Data dan Informasi SPM Bidang Ketahanan Pangan PENUTUP Petunjuk Teknis perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun sebagai acuan daerah dalam menyusun perencanaan pembiayaan pencapaian SPM Bidang Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembiayaan pencapaian SPM ini akan memudahkan daerah dalam mengalokasikan besarnya biaya yang dibutuhkan bagi pelaksanaan SPM di daerah selama 5 (lima) tahun ke depan dan mengevaluasi setiap tahunnya. MENTERI PERTANIAN, Ttd SUSWONO 138 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Tabel 1. Penentuan Prioritas Program dan Kegiatan Provinsi/Kab/Kota : Urusan Wajib : Dinas/ Badan : Analisa Penilaian SPM Total Ranking Batas PAGU INDIKATIF Indikator Pro- Nilai Waktu JENIS PRO- Faktor Faktor Faktor Faktor APBD APBD APBD gram/Kegiatan Analisa Pencapa- PELAYAN- GRAM/ Kekuatan Kelemahan Peluang Tantangan Kab/ Prov. SWOT ian AN DASAR KEGIATAN Kota Output Out- 1 2 3 dst. 1 2 3 dst. 1 2 3 dst. 1 2 3 dst. SPM di come Daerah Sumber : Lampiran III Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA BIDANG KETAHANAN PANGAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL 139 140 Tabel 2. Batas Waktu Pencapaian SPM Di Daerah Provinsi/Kab/Kota : Urusan Wajib : Dinas/ Badan : Indikator Program/ Batas Waktu Pencapaian Program/Kegiatan(%) Pagu Sumber Dana JENIS PELAYANAN PROGRAM/ Kegiatan Pencapaian (Thn) Sumber Dana indikatif (juta KET DASAR KEGIATAN APBD APBD Output Outcome Nasional Daerah 1 2 3 4 5 6 7 dst Rp) HIMPUNAN PRODUK HUKUM Kab/Kota Prov. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Sumber : Lampiran II Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 65/Permentan/OT.140/12/2010 TANGGAL : 22 Desember 2010 PENJELASAN MODUL PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA A. Acuan Perhitungan Kebutuhan Biaya Penerapan SPM 1. Modul Perhitungan Kebutuhan Biaya Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tersebut disusun mengacu kepada : a. Peraturan Menteri Pertanian tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang menetapkan jenis pelayanan, indikator kinerja, dan target capaian tahun 2015. b. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang memberikan rincian bagi setiap indikator kinerja, meliputi: pengertian, definisi operasional, cara perhitungan/rumus, sumber data, rujukan, target, langkah kegiatan dan sumber daya manusia, yang materinya disiapkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian berdasarkan masukan dan pembahasan serta koordinasi dari seluruh stakeholder terkait dengan SPM Bidang Ketahanan Pangan. 2. Rencana Strategis provinsi dan kabupaten/kota yang memuat rencana tahunan pencapaian SPM urusan wajib ketahanan pangan. 3. Unit cost/harga satuan biaya provinsi dan kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan RAPBD provinsi dan kabupaten/kota. 4. Provinsi dan Kabupaten/kota Dalam Angka, yang didalamnya terdapat data kependudukan dan data lainnya yang berhubungan dengan sasaran layanan ketahanan pangan. 5. Profil ketahanan pangan yang didalamnya memuat data capaian pelayanan ketahanan pangan yang berhubungan dengan indikator SPM. B. Prinsip-Prinsip Perhitungan Kebutuhan Biaya Yang Diuraikan/Dirinci Dalam Modul 1. Pembiayaan mengikuti kegiatan : a. Setiap jenis pelayanan terdapat indikator-indikator. b. Setiap indikator telah ditetapkan langkah-langkah kegiatan. c. Setiap langkah kegiatan ditetapkan variabel-variabel kegiatan. d. Setiap variabel ditetapkan komponen yang mempengaruhi pembiayaan. e. Antar komponen disusun dalam formula/rumus dan dikalikan unit cost untuk setiap variabel/komponen kegiatan. 2. Tidak menghitung biaya investasi besar, hanya menghitung investasi sarana dan prasarana yang melekat langsung dengan keterlaksanaan langkah-langkah kegiatan penerapan SPM : HIMPUNAN PRODUK HUKUM 141 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 a. Investasi besar tidak dilakukan secara reguler. b. Investasi yang melekat langsung harus tersedia karena tanpa itu maka jenis maupun kualitas layanan itu tidak terlaksana/tercapai dan indikator tidak tercapai. 3. Tidak menghitung kebutuhan belanja tidak langsung atau belanja ex-rutin : a. Kebutuhan belanja tidak langsung terdapat formulasi umum untuk suatu provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana berlaku untuk urusan wajib dan urusan pilihan lain daerah tersebut. b. Kebutuhan belanja tidak langsung tidak terkait langsung dengan ketercapaian indikator SPM. c. Jumlah SKPD suatu daerah tidak standar baik jenis maupun jumlahnya. 4. Tidak menghitung kebutuhan belanja pangan suatu provinsi dan kabupaten/ kota secara total : a. Hanya menghitung kebutuhan biaya untuk menerapkan dan mencapai indikator SPM yang ditetapkan. b. Kebutuhan belanja kebutuhan pangan suatu daerah bukan hanya untuk menerapkan dan mencapai SPM, tetapi juga non-SPM yang menjadi kebutuhan nyata masyarakat provinsi dan kabupaten/kota dimana masing- masing kabupaten/kota berbeda-beda. c. Dalam total belanja daerah harus tertampung belanja penerapan SPM, tetapi tidak hanya untuk penerapan SPM. 5. Tidak menghitung kebutuhan belanja pangan per SKPD ketahanan pangan : a. Hasil hitung dari modul penghitungan kebutuhan biaya SPM adalah hasil hitung dari kebutuhan provinsi dan kabupaten/ kota, bukan kebutuhan masing-masing SKPD Ketahanan Pangan. b. Kebutuhan belanja masing-masing SKPD Ketahanan Pangan tergantung seberapa besar/banyak SKPD tersebut melaksanakan langkah–langkah kegiatan penerapan dan pencapaian indikator SPM, dan seberapa besar volume masing-masing komponen kegiatan. 6. Menghitung seluruh langkah kegiatan tanpa memandang sumber biaya : a. Seluruh kebutuhan biaya untuk tercapainya indikator SPM suatu daerah harus diketahui, agar dapat ditetapkan juga berapa kebutuhan biaya yang ditanggung/dibebankan kepada setiap jenis sumber biaya, jika terdapat sumber-sumber biaya yang berbeda-beda. b. Jika terdapat sumber biaya yang berbeda, masing-masing sumber biaya akan menyediakan biayanya mengikuti besaran biaya hasil hitung sesuai modul, sehingga sesuai kebutuhan nyata. c. Untuk mencapai indikator yang ditetapkan/ditargetkan tidak seluruhnya dibiayai oleh pemerintah (Pusat/Kementerian Pertanian maupun provinsi dan kabupaten/kota), terdapat penduduk yang memperoleh pelayanan yang diselenggarakan oleh masyarakat termasuk swasta, sehingga tanpa menyediakan anggaran belanja suatu daerah telah memperoleh capaian indikator pada tingkat tertentu. d. Terdapat daerah-daerah yang seluruh target harus dicapai dengan biaya/ belanja pemerintah. 7. Pembiayaan masa transisi : a. Pembiayaan atas variabel dari langkah kegiatan tertentu yang selama ini disediakan bukan oleh kabupaten/kota masih dalam perhitungan kebutuhan biaya ini. 142 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b. Pembebanan kepada sumber/pihak–pihak selain pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, selama masa transisi, ditetapkan secara ad-hoc sementara, terpisah dari modul ini. 8. Pembiayaan kegiatan optional : a. Dalam modul terdapat jenis kegiatan: operasional pelayanan, pengumpulan data, pelatihan tenaga, penyuluhan ketahanan pangan masyarakat, pertemuan koordinasi, dan investasi yang melekat kepada operasional pelayanan. b. Dalam menyusun formula kebutuhan operasional pelayanan ketahanan pangan dan investasi telah diperhitungkan indeks kebutuhan alat (investasi) maupun bahan habis pakai dan indeks kemampuan menjangkau sasaran pelayanan sebagai upaya menjaga kualitas layanan. c. Kegiatan-kegiatan lainnya ditentukan berdasarkan kondisi daerah, misalnya: berapa kali pertemuan, berapa kali pelatihan, berapa kali melakukan penyuluhan mengenai kebutuhan pangan, kegiatan ini yang dimaksudkan sebagai kegiatan optional, optional dalam hal volumenya, tetapi mutlak harus dilaksanakan meskipun hanya sekali. 9. Penghitungan kebutuhan biaya memperhatikan tingkat capaian tahun sebelumnya : a. Modul dilengkapi dengan template penghitungan biaya. b. Template merupakan pola kuantifikasi dari rincian modul. c. Template dibuat dalam perspektif waktu tiga tahun anggaran. Tahun lalu menunjukkan capaian yang sudah nyata, tahun ini tahun penyusunan rencana yang belum diketahui tingkat capaiannya karena masih sedang berlangsung, dan tahun depan tahun yang direncanakan yang mencerminkan cita-cita pencapaian indikator. Dengan template ini dapat dihindarkan perencanaan yang tidak realistis, setiap perubahan capaian antar waktu untuk variabel dan komponen kegiatan tertentu harus dapat dijelaskan secara rasional atau didukung dengan data. 10. Kaitan dengan ketentuan yang mengatur tentang penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah : a. Modul maupun template disusun belum memperhatikan pola yang ditetapkan oleh ketentuan tentang penyusunan RAPBD. b. Komponen biaya dalam modul berada pada jenis belanja gaji pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal, sehingga ada kesesuaian dengan jenis-jenis belanja yang tercantum dalam RAPBD. C. Hal-hal yang Mempengaruhi Besar Kecilnya Kebutuhan Biaya Perbedaan kebutuhan biaya penerapan SPM dan pencapaian indikator SPM antar provinsi dan kabupaten/kota atau antar tahun anggaran dalam satu kabupaten/ kota, dipengaruhi oleh sedikitnya hal-hal berikut ini : 1. Jumlah sasaran Semakin banyak/besar sasaran semakin besar biaya total yang dibutuhkan, meskipun biaya rata-rata per sasaran dapat lebih kecil. Termasuk didalamnya sasaran yang dicapai dengan dana masyarakat termasuk swasta, semakin besar sasaran yang dilayani oleh masyarakat termasuk swasta maka semakin kecil dana yang dibutuhkan untuk disediakan oleh pemerintah. 2. Besar kecilnya gap Besar kecilnya gap antara capaian tahun lalu dengan cita-cita tahun depan, atau HIMPUNAN PRODUK HUKUM 143 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 besar kecilnya delta yang ingin diwujudkan. Semakin besar delta semakin besar biaya yang dibutuhkan. 3. Ketersediaan sarana-prasarana Ketersediaan sarana prasarana/investasi yang tersedia saat ini, semakin lengkap, maka kebutuhan biaya tahun depan semakin kecil. 4. Geografis Semakin jauh/sulit suatu daerah, termasuk jauh/sulit dari pusat kebutuhan pangan, semakin besar biaya dibutuhkan. 5. Kegiatan optional Kegiatan optional semakin banyak maka semakin membutuhkan biaya yang besar. 6. Unit cost semakin besar/tinggi unit cost yang ditetapkan untuk komponen kegiatan tertentu semakin besar biaya dibutuhkan. D. Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Jenis Pelayanan Dasar SPM Keterangan Bidang Ketahanan Pangan Capaian SKPD Indikator Indikator Nilai (%) Provinsi Ketersediaan dan A 1. Penguatan Cadangan Pangan 60 2015 BKPD Cadangan Pangan Distribusi dan Akses 2. Ketersediaan Informasi Pasokan, B 100 2015 BKPD Pangan Harga dan Akses Pangan di Daerah Penganekaragaman dan 3. Pengawasan dan Pembinaan C 80 2015 BKPD Keamanan Pangan Keamanan Pangan Penanganan Kerawanan 4. Penanganan Daerah Rawan D 60 2015 BKPD Pangan Pangan Kabupaten/Kota 1. Ketersediaan Energi dan Protein Per Ketersediaan dan 90 2015 BKPD A. Kapita. Cadangan Pangan 2. Penguatan Cadangan Pangan. 60 2015 BKPD 3. Ketersediaan Informasi Pasokan, 90 2015 BKPD Distribusi dan Akses Harga dan Akses Pangan di Daerah. B. Pangan 4. Stabilitas Harga dan Pasokan 90 2015 BKPD Pangan. 5. Skor Pola Pangan Harapan (PPH). 90 2015 BKPD Penganekaragaman dan C. 6. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan 80 2015 BKPD Keamanan Pangan Penanganan Kerawanan 7. Penanganan Daerah Rawan D. 60 2015 BKPD Pangan Pangan. MENTERI PERTANIAN, Ttd SUSWONO 144 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 65/Permentan/OT.140/12/2010 TANGGAL : 22 Desember 2010 STANDAR PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 1. Jenis Pelayanan : A. Ketersediaan dan Cadangan Pangan 2. Indikator : 1. Ketersediaan Energi Dan Protein Per Kapita 3. Definisi Operasional : Angka kecukupan gizi (AKG) ditetapkan di Indonesia setiap lima tahun sekali melalui forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG). Salah satu rekomendasi WKNPG ke VIII tahun 2004 menetapkan tingkat ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal/Kapita/ Hari dan protein 57 Gram/ Perkapita/Perhari. 4. Target Tahun 2015 : 90 % 5. Rumus : Ps = Pr - ΔSt + Im – Ek Ketersediaan energi (Kkal/ Ketersediaan Pangan/Kapita/Hari X Kandungan protein x BDD Kapita/Hari) = 100 Ketersediaan protein (gram/ Ketersediaan Pangan/Kapita/Hari X Kandungan protein x BDD kapita/hari) = 100 Keterangan : Ps : Total penyediaan dalam negeri Pr : Produksi ΔSt : Stok akhir – stok awal Im : Impor Ek : Ekspor Ketersediaan bahan makanan per kapita dalam bentuk kandungan nilai gizinya dengan satuan kkal energi dan gram protein 6. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun dan membuat peta ketersediaan pangan daerah sentra produksi, dengan melakukan : • Menyusun petunjuk operasional penyusunan peta daerah sentra produksi pangan masyarakat di tingkat kabupaten/kota; • Identifikasi/pengumpulan data; • Koordinasi kesepakatan data; • Penyusunan dan analisis data; • Desain pemetaan ketersediaan pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 145 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Menyusun dan membuat peta daerah sentra pengembangan produksi b. pangan lokal spesifik daerah dengan melakukan : • Menyusun petunjuk operasional penyusunan peta daerah sentra pengembangan produksi pangan lokal spesifik daerah; • Merumuskan konversi pangan lokal setara energi dan protein (Daftar Komposisi Bahan Makanan/DKBM); • Identifikasi/pengumpulan data; • Koordinasi kesepakatan data; • Penyusunan dan analisis data; • Desain pemetaan ketersediaan pangan. c. Melakukan pembinaan dan pelatihan dalam rangka peningkatan ketersediaan pangan berbahan baku lokal kepada sejumlah kelompok binaan per kabupaten/kota; d. Melakukan pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan; e. Menyusun dan menganalisis Neraca Bahan Pangan (NBM) di tingkat kabupaten/ kota setiap tahun; f. Melakukan monitoring dan evaluasi serta membuat ketersediaan pangan dan rencana tindak lanjut setiap tahun di tingkat kabupaten/kota. 7. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa. e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan PanganTahun 2010. 8. Perhitungan Biaya Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 4 A. Jenis Pelayanan Dasar Ketersediaan dan Cadangan Pangan 1. Indikattor Ketersediaan Energi dan Protein per kapita Kabupaten/Kota Menyusun dan membuat Pengadaan peta daerah peta daerah sentra sentra pengembangan A. Persiapan dan pengembangan produksi A+(B*C) produksi pangan lokal Penyusunan peta pangan lokal spesifik spesifik daerah daerah     B. Harga satuan peta   C. Perbanyakan Peta A. Cakupan daerah   Pengumpulan data A*B*C pengumpulan data B. Frekuensi pengumpulan       data C. Transport per petugas       pengumpul data Analisis data A. Transport petugas A*B 146 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA B. Pengolahan & analisis data C. Transport petugas   Rumusan konversi pangan (dilakukan di dinas   terkait) Melakukan pembinaan dan pelatihan kepada Pelaksanan pembinaan dan A. Persiapan dan A+(B*C*D*E) kelompok binaan per kab/ pelatihan Pelaksanaan kota B. Frekuensi pelatihan C. Jumlah peserta     pelatihan   per angkatan     D. Jumlah angkatan   E. Transport per peserta       pelatihan   Lumpsum harian peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E B. Jumlah peserta pelatihan       per rangkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta       pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber lokal A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah angkatan       pelatihan C. Jml narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber       lokal per orang Transport narasumber dari   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D luar B. Jumlah angkatan       pelatihan C. Jml narasumber       per angkatan D. Transport narasumber       pelatihan per orang d. Melakukan pembinaan pengembangan Persiapan pelaksanaan A. Persiapan pelaksanaan A penganekaragaman pembinaan pembinaan produk pangan Pembinaan pengembangan A. Frekuensi pembinaan A*B*C B. Transport pembinaan C. Jumlah lokasi pembinaan e. Menyusun & Penyusunan NBM A. Persiapan penyusunan A menganalisis NBM A. Cakupan daerah Pengumpulan data A*B*C*D pengumpulan data B. Frekuensi pengumpulan data HIMPUNAN PRODUK HUKUM 147 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 C. Transport per petugas pengumpul data D. Transport per petugas pengumpul data Analisis data A. Transport petugas  A+B B. Pengolahan & analisis data NBM f. Melakukan Persiapan pelaksanaan A. Persiapan pelaksanaan monitoring & A pembinaan pembinaan evaluasi A. Cakupan daerah Pengumpulan data A*B*C*D pengumpulan data B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas pengumpul data D. Transport per petugas pengumpul data Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data 1. Jenis Pelayanan : A. Ketersediaan dan Cadangan Pangan 2. Indikator : 2. Penguatan Cadangan Pangan 3. Definisi Operasional : a. Cadangan Pangan di tingkat pemerintah : • Tersedianya cadangan pemerintah di tingkat kabupaten/kota minimal sebesar 100 ton ekuivalen beras dan di tingkat provinsi minimal sebesar 200 ton ekuivalen beras; • Adanya lembaga cadangan pangan pemerintah pada setiap provinsi dan kab/kota; • Tersedianya cadangan pangan pemerintah, minimal 25 ton ekuivalen beras. b. Cadangan Pangan di tingkat masyarakat : • Penyediaan cadangan pangan sebesar 500 kg ekuivalen beras di tingkat rukun tetangga (RT) untuk kebutuhan minimal 3 bulan, yang bersifat pangan pokok tertentu dan sesuai dengan potensi lokal; • Adanya lembaga cadangan pangan masyarakat minimal 1- 2 di setiap kecamatan; • Berfungsi untuk antisipasi masalah pangan pada musim paceklik, gagal panen, bencana alam sekala lokal dan antisipasi keterlambatan pasokan pangan dari luar. 4. Target Tahun 2015 : 60 % 5. Rumus : Rumus yang digunakan Nilai Capaian Bidang = Jumlah Cad.Pangan Provinsi X 100 % Provinsi 200 ton Nilai Capaian Bidang = Jumlah Cad.Pangan Kabupaten/Kota X 100 % Kabupaten/Kota 100 ton 148 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Persentasi kecamatan yang = Jumlah kecamatan yg memp.cad.pangan X 100 % Mempunyai cad. Pangan masy Jumlah kecamatan A. Cadangan pangan masing2 = Jumlah cad.pangan per desa X 100 % Desa 500 kg B. Rata2 cadangan (Juml.cadangan 1 + Juml.cadangan.. + Juml.cadangan(n)) pangan per 500 kg 500 kg 500 kg x 100 % kecamatan = Ukuran konstanta adalah 100 % 6. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun petunjuk pengembangan cadangan pangan pokok tertentu pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. Melakukan TOT dalam rangka peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal kepada sejumlah aparat ketahanan pangan di provinsi; c. Menyusun sistem informasi ketersediaan pangan, dengan melakukan identifikasi pengumpulan data dan analisis data produksi, data rencana produksi, pemasukan dan pengeluaran pangan serta data cadangan pangan provinsi; d. Melakukan pembinaan cadangan pangan masyarakat; e. Melakukan koordinasi pengaturan kepada lembaga cadangan pangan pemerintah dan masyarakat terhadap kebutuhan cadangan pangan daerah; Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun dan menyediakan petunjuk operasional pengembangan cadangan pangan pemerintah daerah kabupaten/kota dan cadangan pangan masyarakat; a. Melakukan identifikasi cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat; b. Menyusun peta kelembagaan cadangan pangan pemerintah desa dan masyarakat; c. Melakukan pembinaan dan pengembangan penganekaragaman cadangan pemerintah desa, pangan pokok tertentu serta lumbung pangan masyarakat; d. Melakukan monitoring dan evaluasi kelembagaan cadangan pangan dan melaporkan hasilnya. 7. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa. e. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 10/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan Tahun 2010. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 149 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 8. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 A. Jenis Pelayanan Dasar Ketersediaan dan Cadangan Pangan 2. Indikator Penguatan Cadangan Pangan Provinsi 1. Penyusunan petunjuk operasional Penyusunan Petunjuk A. Persiapan dan Penyusunan A pengembangan Operasional cadangan pangan Uji Petik Pengumpulan A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) data pengumpulan data B. Transport Uji Petik     C. Frekuensi Sosialisasi       D. Transport Sosialisasi   b. Melakukan TOT peningkatan produksi & produk Persiapan pelaksanaan A. Persiapan Kegiatan A pangan berbahan TOT baku local bagi Aparat Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Transport per peserta pelatihan   Lumpsum harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan   C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta     pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per     angkatan D. Transport narasumber lokal per     orang Transport Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar 150 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per     angkatan D. Transport narasumber     pelatihan per orang Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per     angkatan   D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per     angkatan   D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan E. Jumlah narasumber lokal per     angkatan F. Jumlah narasumber luar per     angkatan G. Akomodasi pertemuan per     orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Bahan pelatihan   c. Menyusun system informasi Penyusunan system A. Persiapan & Penyusunan A keter-sediaan informasi pangan Uji Petik Pengumpulan A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) data pengumpulan data   B. Transport Uji Petik   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 151 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010     C. Frekuensi Sosialisasi     D. Transport Sosialisasi   Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data d. Melakukan Pembinaan Persiapan pembinaan A. Persiapan pelaksanaan A Cad.Pangan pembinaan Masyarakat Pembinaan A. Frekuensi pembinaan A*B*C pengembangan   B. Transport pembinaan   C. Jumlah lokasi pembinaan e. Melakukan koordi-nasi dan pengaturan kepada lembaga cadangan pangan Persiapan koordinasi A. Persiapan kegiatan A+B pemerintah & masy. thp kebutuhan cad. pangan daerah B. Penyediaan bahan A. Frekuensi pertemuan/   Pertemuan koordinasi A*(B*C)+A*(D+E) Akomodasi per orang     B. Jumlah peserta pertemuan   C. Transport per peserta       pertemuan D. Honor Narasumber & Moderator per orang E. Transpor Narasumber & Moderator per orang Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 A. Jenis Pelayanan Dasar Ketersediaan dan Cadangan Pangan 2. Indikator Penguatan Cadangan Pangan Kabupaten/Kota a. Menyusunan Penyusunan Petunjuk A. Persiapan dan Penyusunan A dan Operasional menyediakan petunjuk operasional pengembangan cadangan pangan Uji Petik A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) Pengumpulan data pengumpulan data B. Transport Uji Petik 152 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     C. Frekuensi Sosialisasi       D. Transport Sosialisasi   b. Melakukan Persiapan kegiatan A. Persiapan & Penyusunan A identifikasi cad. pangan pemerintah dan masyarakat Identifikasi A. Cakupan daerah identifikasi data A*B*C pengumpulan data   B. Transport identifikasi       C. Frekuensi identifikasii     Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data c. Menyusun peta Pengadaan peta A. Penyiapan dan Penyusunan A+(B*C) kelembagaan ketersediaan pangan peta cad. Pangan daerah sentra pemerintah produksi desa & masyarakatt     B. Harga satuan peta     C. Perbanyakan Peta Pengumpulan data A. Cakupan daerah pengumpulan A*B*C   data     B. Frekuensi pengumpulan data   C. Transport per petugas       pengumpul data   Analisis data A. Transport petugas  A*B   B. Pengolahan & analisis data d. Melakukan Persiapan pembinaan A. Persiapan pelaksanaan A pembinaan & pembinaan pengembangan cad pemerintah desa, pangan pokok tertentu & lumbung pangan masyarakat Pembinaan dan A. Frekuensi pembinaan A*B*C   pengembangan   B. Transport pembinaan   C. Jumlah lokasi pembinaan e. Monitoring Persiapan A. Persiapan pelaksanaan A dan evaluasi pelaksanaan pembinaan kelembagaan pembinaan cad. Pangan A. Cakupan daerah pengumpulan A*B*C*D   Pengumpulan data data   B. Frekuensi pengumpulan data HIMPUNAN PRODUK HUKUM 153 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 C. Transport per petugas   pengumpul data D. Transport per petugas   pengumpul data   Analisis data A. Transport petugas  A*B   B. Pengolahan & analisis data 1. Jenis Pelayanan : Distribusi dan Akses Pangan 2. Indikator : Ketersediaan Informasi Pasokan, Harga dan Akses Pangan di Daerah 3. Definisi Operasional : Menyediakan data dan Informasi mencakup komoditas : gabah/beras, jagung, kedele, daging sapi, daging ayam, telur, minyak goreng, gula pasir, cabe merah yang disajikan dalam periode mingguan/ bulanan/kuartal/tahunan. 4. Target Tahun 2015 : - Provinsi 100% - Kabupaten/Kota 90 % 5. Rumus : Nilai capaian ketersediaan informasi harga, pasokan dan akses pangan (K) Ketersediaan informasi menurut i (i = 1,2,3) Keterangan : a) K rata-rata dari nilai ketersediaan informasi = berdasarkan komoditas (K1), nilai ketersediaan informasi berdasarkan lokasi (K2) dan nilai ketersediaan informasi berdasarkan waktu (K3) b) Ki = Ketersediaan informasi menurut i Dimana: i = 1 = Harga, i = 2 = Pasokan, i = 3 = Akses c) Realisasi (j) = banyaknya informasi yang terealisasi pengumpulannya menurut j Dimana: j = 1 = komoditas, j = 2 = lokasi, j = 3 = waktu d) Target (j) = sasaran banyaknya informasi yang akan dikumpulkan menurut j Dimana j = 1 = komoditas, j = 2 = lokasi j = 3 = waktu e) Target komoditas, target lokasi (kabupaten/kota, kecamatan/desa) dan target waktu pengumpulan informasi (mingguan/bulanan) ditentukan oleh masing-masing daerah sesuai dengan sumber dana dan kemampuan SDM yang dimiliki oleh masing-masing daerah. 154 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 6. Langkah Kegiatan : Pemerintan Daerah Provinsi a. Menyediakan SDM provinsi yang mampu mengumpulkan data/informasi dan menganalisis harga, distribusi, dan akses pangan; b. Menyediakan panduan (metodologi dan kuisioner) untuk melakukan pengumpulan data dan informasi harga, distribusi, dan akses pangan; c. Melakukan pengumpulan data dan pemantauan harga, pasokan pangan, akses pangan, kendala distribusi pangan, kondisi sarana dan prasarana kelancaran distribusi pangan; d. Menyediakan informasi yang mencakup : • Kondisi harga pangan di tingkat produsen dan konsumen dimasing- masing kabupaten/kota (harian/mingguan /bulanan); • Kondisi iklim yang dapat mengganggu kelancaran distribusi pangan (banjir, kekeringan, daerah pasang surut, daerah kepulauan, daerah terpencil, daerah perbatasan) di kabupaten/ kota; • Kondisi ketersediaan pangan di daerah-daerah sentra produksi pangan, distributor, RPH/RPA, penggiling yang mudah di akses oleh provinsi, kabupaten/kota jika terjadi gejolak harga dan pasokan; • Kondisi sarana dan prasarana transportasi yang mendukung kelancaran distribusi pangan antar provinsi atau kabupaten/ kota; • Kondisi cadangan pangan di masing-masing kabupaten/kota (daerah kepulauan, daerah pasang surut, daerah terpencil, daerah perbatasan); • Bulan-bulan yang sering terjadi hambatan pasokan pangan, akses pangan di wilayah-wilayah (daerah terpencil, kepulauan, perbatasan dan lain-lain); • Bulan-bulan panen produksi pangan di daerah terpencil, kepulauan, perbatasan dan lain lain; • Kondisi jalur distribusi pangan dan daerah sentra produsen ke sentra konsumen. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyediakan SDM kabupaten/kota yang mampu mengumpulkan data/ informasi dan menganalisa harga, distribusi, dan akses pangan; b. Menyediakan panduan (metodologi dan kuisioner) untuk melakukan pengumpulan data dan informasi harga, distribusi dan akses pangan; c. Melakukan pengumpulan data dan pemantauan pasokan, harga dan akses pangan, kendala distribusi, kondisi sarana dan prasarana transportasi; d. Menyediakan informasi mencakup : • Kondisi harga di tingkat produsen dan konsumen untuk komoditas pangan (harian, mingguan, dan bulanan); • Kondisi (kota, desa, kecamatan) yang sering mengalami kelangkaan pasokan bahan pangan (harian/mingguan/bulanan); • Kondisi (kota, desa, kecamatan) yang masyarakatnya mempunyai keterbatasan akses pangan (rawan pangan); • Kondisi iklim atau cuaca yang mempengaruhi transportasi bahan pangan ke kota/desa/kecamatan; • Sentra-sentra produksi pangan yang mudah diakses oleh kabupaten/ kota; • Ketersediaan sarana dan prasarana (alat transportasi, gudang, cold storage) untuk dapat mengangkut dan menyimpan bahan pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 155 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 7. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. d. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 8. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 B. Jenis Pelayanan Distribusi dan Akses Pangan 3. Indikator Ketersediaan Informasi, Pasokan, Harga dan Akses Pangan Provinsi a. Menyediakan SDM yang mampu Persiapan pelaksanaan mengumpulkan A. Persiapan Kegiatan A pelathan data & analisis harga,distribusi & akses pangan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Transport per peserta       pelatihan Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta     pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber lokal per       orang Transport Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan 156 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA D. Transport narasumber       pelatihan per org Lumpsum Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan     D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per     angkatan   D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan E. Jumlah narasumber lokal per     angkatan F. Jumlah narasumber luar per     angkatan G. Akomodasi pertemuan per     orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Bahan pelatihan   b. Menyediakan panduan untuk pengumpulan Penyusunan Petunjuk A. Persiapan dan Penyusunan A data & inforrmasi Operasional harga, distribusi & akses pangan Uji Petik Pengumpulan A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) data pengumpulan data B. Transport Uji Petik   C. Frekuensi Sosialisasi     D. Transport Sosialisasi   c. Melakukan pengumpul- Persiapan kegiatan A. Persiapan & Penyusunan A an data & pemantauan Identifikasi A. Cakupan daerah identifikasi A*B*C pengumpulan data data HIMPUNAN PRODUK HUKUM 157 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 B. Transport identifikasi     C. Frekuensi identifikasii   Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data d. Menyediakan A. Persiapan Pengumpulan informmasi Pengumpulan bahan A+(B*C) Bahan ketersediaan B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas     pengumpul data A. Transport petugas (dilakukan Analisis data  A+B di dinas terkait) B. Persiapan Penyusunan Konsep Informasi Iklan media cetak A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   Iklan media elektronik A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   Iklan media internet A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C (website)   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   Langkah Kegiatan Variabel Rumus 1 2 4 B. Jenis Pelayanan Distribusi dan Akses Pangan 3. Indikator Ketersediaan Informasi, Pasokan, Harga dan Akses Pangan Kabupaten/Kota a. Menyediakan SDM yang mampu Persiapan pelaksanaan mengumpulkan A. Persiapan Kegiatan A pelathan data dan analisis harga, distribusi & akses pang Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Transport per peserta       pelatihan Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta 158 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta     pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber lokal per       orang Transport Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan D. Transport narasumber pelatihan       per orang Lumpsum Narasumber   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan     D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per     angkatan   D. Uang harian per narasumber     E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan     C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan E. Jumlah narasumber lokal per     angkatan F. Jumlah narasumber luar per     angkatan G. Akomodasi pertemuan per     orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per     angkatan   C. Jumlah angkatan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 159 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   D. Bahan pelatihan   b. Menyediakan panduan untuk pengumpulan Penyusunan Petunjuk data & A. Persiapan dan Penyusunan A Operasional inforrmasi harga, distribusi & akses pang. Uji Petik Pengumpulan A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) data pengumpulan data B. Transport Uji Petik   C. Frekuensi Sosialisasi     D. Transport Sosialisasi   c. Melakukan pengumpulan Persiapan kegiatan A. Persiapan & Penyusunan A data dan pemantauan Identifikasi A. Cakupan daerah identifikasi A*B*C pengumpulan data data B. Transport identifikasi     C. Frekuensi identifikasii   Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data d. Menyediakan A. Persiapan Pengumpulan informmasi Pengumpulan bahan A+(B*C) Bahan ketersediaan B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas     pengumpul data A. Transport petugas (dilakukan Analisis data  A+B di dinas terkait) B. Persiapan Penyusunan Konsep Informasi Iklan media cetak A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   Iklan media elektronik A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   Iklan media internet A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C (website)   B. Jumlah media cetak     C. Harga iklan   160 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 1. Jenis Pelayanan : B. Distribusi dan Akses Pangan 2. Indikator : 4. Stabilitas Harga dan Pasokan Pangan 3. Definisi Operasional : a) Harga dinyatakan stabil jika gejolak harga pangan di suatu wilayah kurang dari 25 % dari kondisi normal. b) Pasokan pangan dinyatakan stabil jika penurunan pasokan pangan di suatu wilayah berkisar antara 5 % - 40 %. 4. Target Tahun 2015 : 90% 5. Rumus : a) Stabilitas Harga (SH) dan Stabilitas Pasokan Pangan (SP) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan: K = { P untuk Pasokan H untuk Harga SHi = Stabilitas Harga komoditas ke i SPi = Stabilitas Pasokan komoditas ke i I = 1,2,3...n n = jumlah komoditas dimana: Stabilitas Harga (SH) di gambarkan dengan koefisien keragaman (CV) Stabilitas Pasokan (SP) di gambarkan dengan koefisien keragaman (CV) b) Stabilitas Harga dan Pasokan komoditas ke i (Ski) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: H untuk Harga K = { P untuk Pasokan CVKRi = Koefisien keragaman Realisasi untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i CVKTi = Koefisien keragaman Target untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i c) CVKRi dihitung dari rumus sebagai berikut : Dimana : SDKRi = Standar deviasi realisasi untuk Harga dan Pasokan komoditas ke i HIMPUNAN PRODUK HUKUM 161 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Realisasi Pasokan komoditas ke i (PRi) KRi = { Realisasi Harga komoditas ke i (HRi) Realisasi Pasokan komoditas ke i (PRi) = { Realisasi Harga komoditas ke i (HRi) Rata-rata realisasi Harga komoditas ke i ( ) d) Rata-rata harga dan pasokan komoditas pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut: Tabel 2 Contoh Hasil Perhitungan rata-rata harga, standar deviasi dan koefisien keragaman yang dihitung berdasarkan data harga beras (IR-II) tahun 2008 (mingguan) Beras (IR-II) I II III IV Jan 5,313 5,399 5,430 5,430 Feb 5,560 5,560 5,560 5,550 Mar 5,380 5,300 5,300 5,300 Apr 5,280 5,300 5,240 5,136 Mei 5,204 5,233 5,260 5,302 Jun 5,320 5,320 5,320 5,343 Jul 5,375 5,375 5,360 5,300 Agu 5,300 5,300 5,300 5,355 Sep 5,425 5,405 5,400 5,400 Okt 5,330 5,312 5,330 5,356 Nov 5,260 5,260 5,387 5,360 Des 4,850 5,092 5,200 5,217 _____ HRi 5,325 SDHRi 120.46 CVHRi 2.26 6. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Mempersiapkan SDM yang mampu mengumpulkan data/informasi harga dan pasokan pangan terutama menjelang HBKN; b. Menyediakan panduan (metodelogi dan kuisioner) untuk melakukan 162 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA pemantauan dan pengumpulan data dan informasi; c. Melakukan pemantauan ketersediaan, harga dan pasokan pangan dipasar besar dan menengah, distributor daerah sentra produksi dan lain lain; d. Melakukan analisis untuk merumuskan kebijaksanaan intervensi jika terjadi kelangkaan pasokan, gejolak harga, gangguan distribusi dan akses pangan; e. Melakukan koordinasi melalui forum Dewan Ketahanan Pangan untuk : merumuskan kebijakan intervensi yang segera dilakukan dalam rangka : • Stabilisasi harga dan pasokan pangan (subsidi transportasi, OP jika harga semakin meningkat); • Pengadaan/pembelian oleh pemerintah jika harga jatuh; • Impor dari luar wilayah jika terjadi kekurangan pasokan; • Ekspor/mengembangkan jaringan pasar jika terjadi kelebihan pasokan; • Memberikan bantuan terhadap masyarakat kurang mampu. 7. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. d. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/Permentan/PP.310/1/2010 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah di Luar Kualitas oleh Pemerintah. e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 8. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 4 B. Jenis Pelayanan Distribusi dan Akses Pangan 4. Indikator Stabilitas Harga dan Pasokan Pangan Kabupaten/Kota a. Menyediakan Persiapan pelaksanaan A. Persiapan Kegiatan SDM yang mampu pelathan mengumpulkan data A dan analisis harga, distribusi & akses pangan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   B. Jumlah peserta pelatihan     per angkatan     C. Jumlah angkatan     D.Transport per peserta     pelatihan Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta   B. Jumlah peserta pelatihan   per angkatan     C. Jumlah angkatan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 163 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   D. Uang harian per peserta   pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Jumlah narasumber lokal     per angkatan   D. Transport narasumber lokal     per orang Transport Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   dari luar     B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Jumlah narasumber per     angkatan   D. Transport narasumber     pelatihan per orang Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E   lokal   B. Jumlah angkatan pelatihan       C. Jumlah narasumber lokal     per angkatan   D. Uang harian per     narasumber   E. Lama pelatihan   Lumpsum Narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan   D. Uang harian per   narasumber   E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan pelatihan     C. Lama pelatihan     D. Jumlah peserta pelatihan   per angkatan   E. Jumlah narasumber lokal   per angkatan   F. Jumlah narasumber luar per   angkatan   G. Akomodasi pertemuan per   orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   B. Jumlah peserta pelatihan   per angkatan 164 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA   C. Jumlah angkatan     D. Bahan pelatihan   b. Menyediakan Penyusunan Petunjuk A. Persiapan dan panduan untuk Operasional Penyusunan pengumpulan data & A inforrmasi distribusi & akses pangan. Uji Petik Pengumpulan A. Cakupan daerah Uji Petik (A*B)+(C*D) data pengumpulan data B. Transport Uji Petik C. Frekuensi Sosialisasi     D. Transport Sosialisasi     c. Melakukan Pengumpulan data A. Persiapan Pengumpulan & pemantauan Pemantauan A+(B*C*D) ketersediaan, harga & pasokan di pasar B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi pengumpulan   data     D. Transport per petugas   pengumpul data   Analisis data Transport petugas (dilakukan dg instansi A+B  terkait) B. Persiapan Penyusunan Konsep d. Melakukan analisis Pengumpulan data A. Persiapan dan perumusan Penyusunan A+(B*C*D) +E kebijakan intervensi B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi pengumpulan   data     D. Transport per petugas   pengumpul data E. Honor Tim   Analisis data A. Transport petugas (dilakukan di dinas  A+B+C terkait) B. Penyusunan Konsep analisis data C. Perumusan kebijakan e. Melakukan Persiapan koordinasi A. Persiapan kegiatan koordinasi A+B perumsan kebijakan intervensi HIMPUNAN PRODUK HUKUM 165 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 B. Penyediaan bahan Pertemuan koordinasi A. Frekuensi pertemuan/ A*(B*C)+A*(D+E) Akomodasi per orang   B. Jumlah peserta     pertemuan   C. Transport per peserta     pertemuan D. Honor Narasumber & Moderator per orang   E. Transpor Narasumber & Moderator per orang 1. Jenis Pelayanan : C. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan 2. Indikator : 5. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) 3. Definisi Operasional : a) Penyediaan informasi penganekaraga-man konsumsi pangan masyarakat yang beragam, bergizi dan berimbang, sesuai standar kecukupan energi dan protein per kapita per hari (PPH); b) Peningkatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) konsumsi pangan pada masyarakat tentang pangan lokal, teknologi pengolahan pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan penguatan kelembagaan. 4. Target Tahun 2015 : 90 % 5. Rumus : Nilai capaian peningkatan = % AKG x bobot masing-masing kelompok pangan Skor PPH Prosentase (%) AKG = Energi masing-masing komoditas x 100 % Angka Kecukupan Gizi Menghitung konsumsi energi masing-masing kelompok pangan Keterangan : • Jika hasil perkalian % AKG x bobot lebih besar dari skor maksimum, maka menggunakan skor maksimum • Jika hasil perkalian % AKG x bobot lebih kecil dari skor maksimal, maka menggunakan hasil perkalian. 6. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Perencanaan Kegiatan: • Menyediakan informasi kualitas pangan masyarakat, dengan mengumpulkan data Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) per kapita per hari serta pola konsumsi pangan Kabupaten/Kota. • Menyiapkan data pendukung konsumsi pangan : a) Pengumpulan Data Pola Konsumsi Pangan (Primer dan Sekunder); b) Penyusunan Peta Pola Konsumsi Pangan. b. Pelaksanaan Kegiatan : 1) Peningkatan PKS (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) konsumsi pangan pada masyarakat : 166 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA a) Menyusun petunjuk teknis operasional penganekaragaman konsumsi pangan; b) Mensosialisasikan Penganekaragaman Konsumsi Pangan: • Menyusun modul dan leaflet pola konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang; • Pemasyarakatan makanan tradisional berbasis pangan lokal pada hotel-hotel, instansi pemerintah dan non pemerintah; • Promosi pangan beragam bergizi seimbang melalui media cetak dan elektronik minimal 12 kali dalam setahun; • Melakukan festival dan Lomba Makanan Tradisional minimal 2 kali dalam setahun. c) Melakukan Pelatihan Penyusunan Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan. 2) Melakukan pembinaan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan : a) Pembinaan dan pengembangan pekarangan, bekerjasama dengan penyuluh dan Tim Penggerak PKK; b) Pembinaan dan pelatihan teknologi pengolahan pangan kepada kelompok produsen pengolahan bahan pangan lokal berbasis spesifik daerah dan konsumen; c) Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui lomba-lomba cipta menu dan demo olahan pangan lokal; d) Membuat gerai pengembangan pangan lokal/warung 3B-Beragam, Bergizi Seimbang; e) Melakukan pembinaan secara intensif pada sekolah (warung sekolah); f) Melakukan pembinaan dan pelatihan pada kelompok wanita (Dasa Wisma) tentang pangan beragam, bergizi seimbang (depot desa) berbasis makanan tradisional. 3) Penyuluhan dalam rangka gerakan penganekaragaman pangan: (pendampingan dan pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan) • Pembinaan gerakan penganekaragam pangan; • Mensosialisasikan penganekaragaman konsumsi pangan; • Pemantauan dan pembinaan penganekaragaman konsumsi pangan; • Evaluasi dan pelaporan. c. Pelaporan Kegiatan (Monitoring dan Evaluasi) Melakukan monitoring, evaluasi serta melaporkan secara berkala 7. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Dan Gizi Pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 167 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 d. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. f. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. 8. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 C. Jenis Pelayanan Penganekaragaman dan Keamanan Pangan 5. Indikator Skor pola pangan harapan (PPH) Kabupaten/Kota a. Menyusun petunjuk operasional A. Persiapan dan Penyusunan Pengumpulan data A+(B*C*D) penganekaragaman Peta konsumsi pangan B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi pengumpulan data   D. Transport per petugas       pengumpul data A. Transport petugas (dilakukan   Analisis data  A+B di dinas terkait) B. Penyusunan Konsep untuk analisis b. Menyediakan Pengumpulan A. Persiapan dan penyusunan informasi mutu A+(B*C) bahan bahan informasi pangan masyarakat B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas       pengumpul data A. Transport petugas (dilakukan   Analisis data  A*B di instansi/dinas terkait) B. Pengolahan & analisis   Iklan media cetak A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan   Iklan media   A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C elektronik     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan   168 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Iklan media   A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C internet (website)     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan   c. Melakukan pembinaan A. Persiapan kegiatan Pembinaan A+(B*C*D*E) penganekaragaman pembinaan pangan Transport peserta B. Frekuensi pelatihan C. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     D. Jumlah angkatan   E. Transport per peserta       pelatihan Lumpsum/uang   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E harian peserta B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta       pelatihan     E. Lama pelatihan   Transport   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber lokal per       orang Transport   Narasumber dari A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan D. Transport narasumber pelatihan       per orang Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 169 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E narasumber luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   Akomodasi   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G pelatihan     B. Jumlah angkatan pelatihan       C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan E. Jumlah narasumber lokal per       angkatan F. Jumlah narasumber luar per       angkatan G. Akomodasi pertemuan per satu       orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   d. Pembinaan Pembinaan E. Persiapan Kegiatan A+(B*C*D*E) pekarangan Pekarangan pembinaan pekarangan Transport peserta F. Frekuensi pelatihan G. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     H. Jumlah angkatan   I. Transport per peserta       pelatihan Lumpsum/uang   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E harian peserta B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta       pelatihan     E. Lama pelatihan   Transport   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D Narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   170 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber lokal per       orang Transport   Narasumber dari A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan D. Transport narasumber pelatihan       per orang Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E Narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E Narasumber luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   Akomodasi   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G pelatihan     B. Jumlah angkatan pelatihan       C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan E. Jumlah narasumber lokal per       angkatan F. Jumlah narasumber luar per       angkatan G. Akomodasi pertemuan per satu       orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 171 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 e. Pembinaan dan Pembinaan dan A. Persiapan kegiatan pembinaan pengembangan A+(B*C*D*E) Pengembangan dan pengembangan pangan lokal Transport peserta B. Frekuensi pelatihan C. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     D. Jumlah angkatan   E. Transport per peserta       pelatihan Lumpsum/uang   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E harian peserta B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan   D. Uang harian per peserta       pelatihan     E. Lama pelatihan   Transport   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan D. Transport narasumber lokal per       orang Transport   narasumber dari A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan D. Transport narasumber pelatihan       per orang Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E narasumber lokal     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber lokal per       angkatan     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   Lumpsum   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E narasumber luar     B. Jumlah angkatan pelatihan   C. Jumlah narasumber per       angkatan 172 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     D. Uang harian per narasumber       E. Lama pelatihan   Akomodasi   A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G pelatihan     B. Jumlah angkatan pelatihan       C. Lama pelatihan   D. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan E. Jumlah narasumber lokal per       angkatan F. Jumlah narasumber luar per       angkatan G. Akomodasi pertemuan per satu       orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D B. Jumlah peserta pelatihan per       angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   Penyusunan dan f. Penyusunan peta Pengadaan peta A. Persiapan penyusunan peta pola konsumsi A+(B*C) pola konsumsi pola konsumsi pangan. pangan pangan B. Jumlah peta     C. Harga satuan peta   A. Cakupan daerah pengumpulan   Pengumpulan data A*B*C data     B. Frekuensi pengumpulan data   C. Transport per petugas       pengumpul data Transport petugas (dilakukan   Analisis data   di dinas terkait) g. Sosialisasi Situasi dan Pola Konsumsi Transport peserta A. Persiapan Sosialisasi A+(B*C*D) Pangan B. Frekuensi sosialisasi     C. Jumlah peserta sosialisasi   D. Transport per peserta       sosialisasi Lumpsum/uang   A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D harian peserta     B. Jumlah peserta sosialisasi   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 173 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010     C. Transport per peserta sosialisasi       D. Lama sosialisasi   Transport   A. Frekuensi sosialisasi A*B*C narasumber lokal     B. Jumlah narasumber sosialisasi   C. Transport per narasumber       sosialisasi Transport   narasumber dari A. Frekuensi sosialisasi A*B*C luar     B. Jumlah narasumber sosialisasi   C. Transport per narasumber       sosialisasi Lumpsum   A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D narasumber lokal     B. Jumlah narasumber sosialisasi   C. Transport per narasumber       sosialisasi     D. Lama sosialisasi   Lumpsum   A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D narasumber luar     B. Jumlah narasumber sosialisasi   C. Transport per narasumber       sosialisasi     D. Lama sosialisasi   Akomodasi   A. Frekuensi sosialisasi A*B*(C+D+E)*F sosialisasi     B. Lama sosialisasi       C. Jumlah peserta sosialisasi       D. Jumlah Narasumber lokal       E. Jumlah narasumber luar   F. Akomodasi sosialisasi per satu       orang   Bahan sosialisasi A. Frekuensi sosialisasi A*B*C     B. Jumlah peserta sosialisasi       C. Bahan sosialisasi   174 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 1. Jenis Pelayanan : C. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan 2. Indikator : 6. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan 3. Definisi Operasional : a. Penyediaan informasi tentang keamanan pangan, khususnya pangan segar; • Prima tiga (P-3) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi. • Prima dua (P-2) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik. • Prima satu (P-1) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi bermutu baik serta cara produksinya ramah terhadap lingkungan. b. Koordinasi dengan instansi terkait tentang pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan untuk pangan; c. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan terhadap UMKM Pangan; d. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan di sekolah; e. Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar; f. Pembinaan dan pengawasan produk pabrikan skala kecil/rumah tangga. 2. Target Tahun 2015 : 80 % 3. Rumus : Pangan aman = A x 100 % B Pembilang (A) : jumlah sampel pangan yang aman dikonsumsi di pedagang pengumpul disatu tempat sesuai standar yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Penyebut (B) : Jumlah total sampel pangan yang diambil dipedagang pengumpul disuatu wilayah menurut ukuran yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu. Ukuran/Konstanta : Persentase (%) 4. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun petunjuk operasional informasi tentang keamanan pangan segar; b. Melakukan identifikasi pangan pokok masyarakat; c. Melakukan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan segar, dengan : • Menyusun Petunjuk Operasional pembinaan dan Pengawasan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam Penanganan dan pengawasan Keamanan Pangan segar; • Sosialisasi dan Apresiasi Penanganan Keamanan Pangan Penyusunan dan Pemantapan Dokumen Sistem Keamanan (Doksiska); • Workshop Penanganan Keamanan Pangan Segar; • Koordinasi dalam Pembinaan Keamanan Pangan; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 175 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 • Koordinasi dalam Sertifikasi dan Pelabelan Pangan; • Pengawasan Penanganan Keamanan Pangan; • Evaluasi dan Pelaporan; d. Melakukan koordinasi dengan OKKPD (Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah) dan instansi terkait untuk pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalah gunakan untuk pangan; e. Melakukan penyuluhan keamanan pangan di sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan bagi murid sekolah dasar; f. Melakukan pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang, melalui pembinaan/pelatihan keamanan pangan pada penjual jajanan anak sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan; g. Melakukan pembinaan mutu dan keamanan produk pabrikan skala kecil/ rumah tangga pada kelompok produsen; h. Melakukan pembinaan penerapan standar Batas Minimum Residu (BMR) wilayah provinsi; i. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan, dalam upaya pengembangan SI SAKTI antara lain : • Mendorong terbentuknya otoritas kompeten ditingkat provinsi, dan kabupaten/kota; • Memberikan bimbingan dan pelatihan kelengkapan yang diperlukan otoritas kompeten; • Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, wawasan dan keterampilan inspektor, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam pengawasan keamanan pangan melalui pelatihan- pelatihan; • Memperkuat kelembagaan otoritas kompeten dengan memberikan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi. j. Melakukan pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi; k. Melakukan monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota; l. Melakukan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Menyusun petunjuk teknis operasional informasi tentang keamanan pangan; b. Melakukan koordinasi pengendalian, pengawasan dan monitoring peredaran bahan kimia berbahaya yang disalahgunakan untuk pangan; c. Melakukan analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat; d. Melakukan analisis mutu, gizi konsumsi masyarakat; e. Melakukan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan segar, dengan : • Menyusun Petunjuk Operasional Pembinaan dan Pengawasan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam pembinaan, penanganan dan pengawasan keamanan pangan segar; 176 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA • Sosialisasi dan Apresiasi Penanganan Keamanan Pangan Penyusunan dan Pemantapan Dokumen Sistem Keamanan (Doksiska); • Workshop Penanganan Keamanan Pangan segar; • Koordinasi dalam Sertifikasi dan Pelabelan Pangan; • Evaluasi dan Pelaporan. f. Melakukan penyuluhan keamanan pangan di sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan bagi murid sekolah dasar; g. Melakukan pembinaan/pelatihan keamanan pangan pada penjual jajanan anak sekolah dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap keamanan pangan; h. Pembinaan dan pelatihan keamanan produk pabrikan skala kecil/rumah tangga pada kelompok produsen; i. Melakukan pembinaan penerapan standar Batas Minimum Residu (BMR); j. Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan, dalam upaya pengembangan SI SAKTI antara lain : • Mendorong terbentuknya otoritas kompeten ditingkat kabupaten/ kota; • Memberikan bimbingan dan pelatihan kelengkapan yang diperlukan otoritas kompeten; • Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, wawasan dan keterampilan inspektor, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan dalam pengawasan keamanan pangan melalui pelatihan-pelatihan; • Memperkuat kelembagaan otoritas kompeten dengan memberikan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi. k. Melakukan pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota; l. Melakukan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota. 5. Rujukan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. d. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 12/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Penanganan Keamanan Pangan Segar Tahun 2010. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 177 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 6. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 4 C. Jenis Pelayanan Penganekaragaman dan Keamanan Pangan 6. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan Provinsi a. Penyusunan Pengumpulan data A. Persiapan penyusunan A+(B*C*D) petunjuk operasional petunjuk keamanan pangan B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi peng-   umpulan data     D. Transport per petugas   pengumpul data   Analisis data Transport petugas   (dilakukan di dinas terkait) b. Melakukan Persiapan kegiatan A. Persiapan & A identifikasi pangan Penyusunan pokok masyarakat Identifikasi A. Cakupan daerah A*B*C pengumpulan data identifikasi data B. Transport identifikasi   C. Frekuensi identifikasii     Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data c. Melakukan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D pembinaan & pengawasan keamanan pangan     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan 178 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     C. umlah narasumber lokal   per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatihan per orang   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan       D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan   per satu orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 179 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 d. Melakukan Persiapan koordinasi A. Persiapan kegiatan A+B koordinasi dengan OKKPD & Instansi terkait B. Penyediaan bahan Pertemuan koordinasi A. Frekuensi pertemuan/ A*(B*C)+A*(D+E) Akomodasi per orang B. Jumlah peserta   pertemuan   C. Transport per peserta   pertemuan   D. Honor Narasumber & Moderator per orang E. Transpor Narasumber & Moderator per orang e. Penyuluhan Transport peserta A. Frekuensi Penyuluhan/ A*B*C Keamanan Pangan sosialisasi     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Transport per peserta   sosialisasi   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D peserta     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Transport per peserta   sosialisasi     D. Lama sosialisasi     Transport narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C lokal     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi   Transport narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C dari luar     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi   Lumpsum narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D lokal     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi     D. Lama sosialisasi     Lumpsum narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D luar     B. Jumlah narasumber   sosialisasi 180 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     C. Transport per   narasumber sosialisasi     D. Lama sosialisasi     Akomodasi sosialisasi A. Frekuensi sosialisasi A*B*(C+D+E)*F     B. Lama sosialisasi       C. Jumlah peserta   sosialisasi     D. Jumlah narasumber   lokal     E. Jumlah narasumber luar       F. Akomodasi sosialisasi   per satu orang   Bahan sosialisasi A. Frekuensi sosialisasi A*B*C     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Bahan sosialisasi   f. Pembinaan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D keamanan pangan pada tukang jajan jalanan     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatihan per orang HIMPUNAN PRODUK HUKUM 181 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan       D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan   per satu orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   g. Pembinaan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D keamanan pangan pada kelompok produsen     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan 182 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatih   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan       D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan/   orang HIMPUNAN PRODUK HUKUM 183 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   h. Melakukan Persiapan pembinaan A. Persiapan pelaksanaan A pembinaan pembinaan penerapan standar BMR wil. Prov Pembinaan dan A. Frekuensi pembinaan A*B*C pengembangan B. Transport pembinaan C. Jumlah lokasi pembinaan i. Melakukan pembina- Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D an system manajemen laboratorium uji mutu & keamanan pangan   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Transport per peserta   pelatihan Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Uang harian per peserta   pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   D. Transport narasumber   lokal per orang Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber per   angkatan   D. Transport narasumber   pelatih Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal   B. Jumlah angkatan   pelatihan 184 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA   C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   D. Uang harian per   narasumber   E. Lama pelatihan   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber per   angkatan   D. Uang harian per   narasumber   E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Lama pelatihan     D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   F. Jumlah narasumber luar   per angkatan   G. Akomodasi pertemuan/   orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Bahan pelatihan   j. Melakukan Persiapan pelaksanaan A. Persiapan pelaksanaan A monitoring otoritas pembinaan pembinaan kompeten A. Cakupan daerah Pengumpulan data pengumpulan data A*B*C*D B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas pengumpul data D. Transport per petugas pengumpul data Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data k. Melakukan sertifikasi Sertifikasi dan pelabelan A. Jumlah sertifikasi & A*B*C dan pelabelan pelabelan B. Frekuensi Sertikat & pelabelan C. Uji sertifikasi & pelabelan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 185 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 4 C. Jenis Pelayanan Penganekaragaman dan Keamanan Pangan 6. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan Kabupaten/Kota a. Penyusunan petunjuk Pengumpulan data A. Persiapan penyusunan A+(B*C*D) teknis operasional petunjuk informasi keamanan pangan B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi peng-   umpulan data     D. Transport per petugas   pengumpul data   Analisis data A. Transport petugas  A * B (dilakukan di dinas terkait) B. Penyusunan hasil analisis b. Melakukan Persiapan koordinasi A. Persiapan kegiatan A+B koordinasi pengendalian, pengawasan & monitoring peredaran bahan kimia berbahaya B. Penyediaan bahan Pertemuan koordinasi A. Frekuensi pertemuan/ A*(B*C)+A*(D+E) Akomodasi per orang B. Jumlah peserta   pertemuan   C. Transport per peserta   pertemuan   D. Honor Narasumber & Moderator per orang E. Transpor Narasumber & Moderator per orang c. Melakukan analisis Persiapan kegiatan A. Persiapan analisis A mutu, gizi, keamanan produk & konsumsi pangan Uji petik identifikasi A. Cakupan daerah uji A*B*C pengumpulan data petik identifikasi B. Transport uji petik   C. Frekuensi uji   petikidentifikasii   Analisis data A. Transport petugas  A*B B. Pengolahan & analisis data 186 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA d. Melakukan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D pembinaan & pengawasan keamanan pangan     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatihan per orang   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 187 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan       D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan   per satu orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   e. Penyuluhan Transport peserta A. Frekuensi Penyuluhan/ A*B*C Keamanan Pangan sosialisasi     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Transport per peserta   sosialisasi   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D peserta     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Transport per peserta   sosialisasi     D. Lama sosialisasi     Transport narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C lokal     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi   Transport narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C dari luar     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi   Lumpsum narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D lokal     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi     D. Lama sosialisasi   188 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA   Lumpsum narasumber A. Frekuensi sosialisasi A*B*C*D luar     B. Jumlah narasumber   sosialisasi     C. Transport per   narasumber sosialisasi     D. Lama sosialisasi     Akomodasi sosialisasi A. Frekuensi sosialisasi A*B*(C+D+E)*F     B. Lama sosialisasi       C. Jumlah peserta   sosialisasi     D. Jumlah narasumber   lokal     E. Jumlah narasumber luar       F. Akomodasi sosialisasi   per satu orang   Bahan sosialisasi A. Frekuensi sosialisasi A*B*C     B. Jumlah peserta   sosialisasi     C. Bahan sosialisasi   f. Pembinaan/pelatihan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D keamanan pangan pada tukang jajan jalanan     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang HIMPUNAN PRODUK HUKUM 189 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatihan per orang   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan       D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan   per satu orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   g. Pembinaan & Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D pelatihan keamanan pangan produk pabrikan skala kecil/ RT     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan 190 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA     C. Jumlah angkatan       D. Transport per peserta   pelatihan   Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Uang harian per peserta   pelatihan     E. Lama pelatihan     Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Transport narasumber   lokal per orang   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Transport narasumber   pelatih   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Jumlah narasumber per   angkatan     D. Uang harian per   narasumber     E. Lama pelatihan     Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G     B. Jumlah angkatan   pelatihan     C. Lama pelatihan   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 191 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010     D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan     F. Jumlah narasumber luar   per angkatan     G. Akomodasi pertemuan/   orang   Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D     B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan     C. Jumlah angkatan       D. Bahan pelatihan   h. Melakukan pembinaan Persiapan pembinaan A. Persiapan pelaksanaan A penerapan standar pembinaan BMR Pembinaan dan A. Frekuensi pembinaan A*B*C pengembangan B. Transport pembinaan C. Jumlah lokasi pembinaan i. Melakukan Transport peserta A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D pembinaan system manajemen laboratorium uji mutu & keamanan pangan   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Transport per peserta   pelatihan Lumpsum/uang harian A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E peserta   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Uang harian per peserta   pelatihan   E. Lama pelatihan   Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D lokal   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   D. Transport narasumber   lokal per orang Transport narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D dari luar   B. Jumlah angkatan   pelatihan 192 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA   C. Jumlah narasumber per   angkatan   D. Transport narasumber   pelatih Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E lokal   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   D. Uang harian per   narasumber   E. Lama pelatihan   Lumpsum narasumber A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D*E luar   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Jumlah narasumber per   angkatan   D. Uang harian per   narasumber   E. Lama pelatihan   Akomodasi pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*(D+E+F)*G   B. Jumlah angkatan   pelatihan   C. Lama pelatihan     D. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   E. Jumlah narasumber   lokal per angkatan   F. Jumlah narasumber luar   per angkatan   G. Akomodasi pertemuan/   orang Bahan pelatihan A. Frekuensi pelatihan A*B*C*D   B. Jumlah peserta   pelatihan per angkatan   C. Jumlah angkatan     D. Bahan pelatihan   j. Melakukan sertifikasi Sertifikasi dan pelabelan A. Jumlah sertifikasi & A*B*C dan pelabelan pelabelan B. Frekuensi Sertikat & pelabelan C. Uji sertifikasi & pelabelan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 193 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 1. Jenis Pelayanan : D. Penanganan kerawanan pangan 2. Indikator : 7. Penanganan daerah rawan Pangan 3. Definisi Operasional : Penanganan rawan pangan dilakukan pertama melalui pencegahan kerawanan pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan disuatu wilayah sedini mungkin dan kedua melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan kronis melalui program-progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial. a. Pencegahan rawan pangan melalui pendekatan yaitu : a) Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan melaksanakan 3 kegiatan sebagai berikut : • Peramalan situasi pangan dan gizi melalui SIDI, termasuk peramalan ketersediaan pangan dan pemantauan pertumbuhan balita dan hasil pengamatan sosial ekonomi; • Kajian situasi pangan dan gizi secara berkala berdasarkan hasil survei khusus atau dari laporan tahunan; • Diseminasi hasil peramalan dan kajian situasi pangan dan gizi bagi perumus kebijakan (forum koordinasi tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi). b) Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas) disusun pada periode 3-5 tahunan yang mengambarkan kondisi sampai tingkat kecamatan/desa sebagai acuan dalam penentuan program. c) Penghitungan tingkat kerawanan dengan membandingkan jumlah penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan berdasarkan 3 kriteria prosentase angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.000 Kalori yaitu: • Penduduk sangat rawan < 70% AKG • Penduduk pangan resiko sedang < 70% - 89,9% AKG • Penduduk tahan pangan > 89,9% AKG 4. Target Tahun 2015 : Capaian penanganan daerah rawan pangan sebesar 60% pada tahun 2015 5. Rumus : a. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) • Indikator yang digunakan dengan pendekatan SKPG : 1. Pertanian : Ketersediaan pangan 2. Kesehatan : Preferensi energi 3. Sosial ekonomi : kemiskinan karena sejahtera dan prasejahtera. • Masing – masing indikator diskor, gabungan 3 indikator ini merupakan penentu rawan pangan resiko tinggi, sedang dan rendah. • Indikator pertanian untuk peramalan daerah potensi produksi tanaman pangan dapat dilakukan menggunakan 4 indikator, dengan rumus sebagai berikut : PSB Pangan non padi = produksi pangan x harga pangan non padi (Rp/Kg) / Harga beras (Rp/Kg) 194 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA • Cara menghitung rasio ketersediaan produksi : 1. Ketersediaan beras adalah produksi GKG dikonversi ke beras 85% x 63,2% x jumlah produksi GKG; 2. Kebutuhan beras = konsumsi rata-rata perkapita x jumlah penduduk ½ tahunan dibagi 1.000; 3. Perimbangan = ketersediaan – kebutuhan beras; 4. Rasio = ketersediaan : kebutuhan beras. • Indikator Kesehatan Rumus status gizi Prev.gizi kurang (%) = (n gizi kurang < -2 SD) x 100 % (n balita yang dikumpulkan PSG) • Dalam laporan PSG status gizi balita biasanya dikelompokkan dalam 3 status gizi, yaitu : 1. Gizi buruk : dibawah minus 3 standar deviasi (<-3 SD); 2. Gizi kurang : antara minus 3 SD dan minus 2 SD (minus 3 SD sampai minus 2 SD) 3. Gizi baik : minus 2 SD keatas • Sosialisasi ekonomi Kreteria yang digunakan untuk mengkelompokkan keluarga – keluarga kedalam status kemiskinan adalah berikut : 1. Keluarga pra-sejahtera (PS) : jika tidak meme-nuhi salah satu syarat sebagai keluarga sejahtera. 2. Keluarga sejahtera-satu (KS1) : jika dapat meme-nuhi kebutuhan dasarnya secara minimal. • Kemudian hasil perimbangan diskor : 1. Skor 1 : apabila rasio > 1.14 (surplus) 2. Skor 2 : apabila rasio > 1.00 – 1.14 (swasembada) 3. Skor 3 : apabila rasio > 0.95 – 1.00 (cukup) 4. Skor 4 : apabila rasio lebih kecil atau sama dengan 0.95 (defisit). Pemetaan situasi pangan suatu wilayah berdasarkan indikator pertanian pangan (padi) dilakukan dengan menjumlahkan skor dari indikator yang digunakan semakin besar jumlah skor semakin besar resiko rawan pangan suatu wilayah. Nilai Indikator tersebut diatas digunakan untuk membuat situasi pangan dan gizi, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menjumlahkan ke 3 nilai skor pangan, gizi, dan kemiskinan 2. Jumlah ke 3 nilai indicator akan diperoleh maksimum 12 (jika nilai skor masing-masing 4) dan jumlah terendah 3 (jika skor masing-masing 1). • Biasanya tingkat kerawanan berdasarkan jumlah tiga nilai indikator dan dapat diklasifikasikan menjadi 3 wilayah resiko, yaitu wilayah resiko tinggi (skor 9 – 12), wilayah resiko sedang (skor 6-8) dan wilayah resiko ringan (skor 3 -5). wilayah resiko tinggi dapat terjadi pada penjumlahan apabila salah satu indikator mempunyai skor 4 walaupun penjumlahan ke tiga indikator kurang dari skor 9. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 195 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 b. Pendekatan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) • Untuk menganalisis tingkat ketahanan pangan adalah berdasarkan indikator yang telah terseleksi dengan penyusunan indeks tingkat ketahanan pangan pada masing-masing indikator. No IndiKator I Ketersediaan Pangan 1. Rasio konsumsi normative per kapita terhadap ketersediaan bersih “padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar� II Akses Terhadap Pangan 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan Penghidupan 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik III Pemanfaatan Pangan 5. Angka harapan hidup saat lahir 6. Berat badan balita di bawah standar (underweight) 7. Perempuan buta huruf 8. Rumah tangga tanpa akses ke air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan IV Kerentanan terhadap 10. Deforestasi hutan kerawanan pangan 11. Penyimpangan curah hujan 12. Bencana alam 13. Persentase daerah puso • Untuk menentukan nilai akan dilakukan dengan menghitung indeks dimana rumus indeks adalah : Indeks = Dimana : = nilai ke – j dari indikator ke i “min� dan “max� = nilai minimum dan maksimum dari indikator tersebut • Selanjutnya indeks ketahanan pangan komposit diperoleh dari penjumlahan seluruh indeks indikator (9 indikator) kerentanan terhadap kerawanan pangan. Indeks komposit kerawanan pangan dihitung dengan cara sebagai berikut : • Contoh penentuan penurunan penduduk miskin dan rawan pangan Batasan Kategori Indikator Ketahanan Pangan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 196 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA No Indikator Indikator Catatan Sumber Data 1 Konsumsi normative per > = 1.5 Defisit tinggi Badan Ketahanan kapita terhadap rasio 1.25 – 1.5 Defisit sedang Pangan Provinsi dan ketersediaan bersih 1.00 – 1.25 Defisit rendah Kabupaten (data 2005 padi+jagung+ubi 0.75 – 1.00 Surplus rendah – 2007) kayu+ubi jalar 0.50 – 0.75 Surplus sedang < 0.50 Surplus tinggi 2 Persentase penduduk di > =3.5 Data dan In-formasi bawah garis kemiskinan 25 - < 35 Ke-miskinan, BPS tahun 20 - < 25 2007 Buku 2 Kabu- 15 - < 20 paten 10 - < 15 0 - < 10 3 Persentase desa yang >= 30 tidak memiliki akses 25 - < 30 penghubung yang 20 - < 25 memadai 15 - < 20 10 - < 15 0 - < 10 4 Persentase penduduk >= 50 tanpa akses listrik 40 - < 50 30 - < 40 20 - < 30 10 - < 20 < 10 5 Angka harapan hidup < 58 pada saat lahir 58 - < 61 61 - < 64 64 - < 67 67 - < 70 >=70 6 Berat badan balita >= 30 di bawah standar 20 - < 30 (underweight) 10 - < 20 <10 7 Perempuan buta huruf >=40 30 - < 40 20 - < 30 10 - < 20 5 - < 10 <20 8 Persentase Rumah >=70 Tangga tanpa akses air 60 – 70 bersih 50 – 60 40 – 50 30 – 40 <30 9 Persetase penduduk >=60 yang tinggal lebih 50 – 60 dari 5 Km dan fasilitas 40 – 50 kesehatan 30 – 40 20 – 30 <30 10 Deforestasi hutan Tidak ada range, hanya Departemen menyoroti perubahan kondisi Kehutanan, 2008 penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan HIMPUNAN PRODUK HUKUM 197 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 11 Fluktuasi curah hujan <85 Di bawah normal Badan Meteorologi, 85 – 115 Normal Klimatologi dan >115 Di atas normal geofisika 2008 12 Bencana alam Tidak ada range, hanya Badan Penanggulangan menyoroti daerah dengan Bencana Daerah kejadian bencana alam dan (SATKORLAK dan kerusakannya dalam periode SATLAK) tertentu, dengan demikian menunjukkan daerah tersebut rawan terhadap bencana 13 Persentase daerah puso >= 15 Dinas Pertanian 10 – 15 atau Balai Proteksi 5 – 10 Tanaman Pangan dan 3–5 Hortikultura (BPTPH) 1–3 <1 6. Langkah Kegiatan : Pemerintah Daerah Provinsi a. Menyusun pedoman penanganan rawan pangan di tingkat kabupaten/ kota b. Penyediaan data dan Informasi : • Melakukan pengumpulan data, mengolah, menganalisis dan Pemetaan Situasi Pangan dan gizi kabupaten/kota; • Melakukan pengumpulan data, mengolah, menganalisis dan pemetaan Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (FSVA) kabupaten/kota. c. Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan gizi: • Menyusun petunjuk pelaksanaan Sistem Kewaspadaan pangan dan Gizi; • Sosialisasi petunjuk pelaksanaan Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi; • Melakukan pelatihan petugas SKPG dan FSVA kabupaten/kota; • Mengaktifkan dan koordinasi dengan SKPG kabupaten/kota yang aktif. d. Melakukan Penanggulangan kerawanan pangan • Penyusunan petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan; • Sosialisasi petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan; • Melakukan intervensi melalui bantuan sosial pada daerah rawan pangan hasil investigasi Tim SKPG dan rawan pangan akibat bencana; • Penyediaan stok pangan melalui pengembangan lumbung pangan pemerintah provinsi; • Menggerakkan pemberdayaan masyarakat rawan pangan, melalui program desa mandiri pangan dan dipadukan dengan program lainnya di tingkat kabupaten/kota. e. Penanggulangan Rawan Pangan Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan rawan kronis adalah melakukan investigasi dan intervensi Rawan Pangan Kronis dan transien. 198 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA a) Investigasi • Berdasarkan pemetaan situasi pangan dan gizi yang dilakukan oleh Tim SKPG, Kepala Daerah segera membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing- masing dari unsur-unsur instansi terkait. • Tim Investigasi harus segera turun ke lapangan paling lambat 1 minggu setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis. • Hasil investigasi digunakan oleh Tim Investigasi untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kepala Daerah. • Hasil rekomendasi yang disampaikan mencakup jenis intervensi yang tepat, lokasi dan masyarakat sasaran, jangka waktu pelaksanaan intervensi dan lain-lain sesuai dengan kepentingan. b) Intervensi • Setelah menerima hasil investigasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi. • Intervensi yang dilakukan mencakup tanggap darurat apabila diperlukan, intervensi jangka menengah serta intervensi jangka panjang. • Jenis intervensi yang tepat, jangka waktu intervensi, besaran dana yang diperlukan dan lain-lain dapat diketahui berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi. • Intervensi dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber dana baik berasal dari APBN, APBD, masyarakat maupun bantuan internasional untuk penanganan rawan pangan kronis ditanggulangi melalui program-program yang dilaksanakan oleh instansi terkait seperti Program Desa Mandiri Pangan, Desa Siaga, PUAP, Primatani, PIDRA atau program pemberdayaan lainnya. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a. Penyediaan data dan Informasi : • Melakukan pengumpulan data, mengolah, menganalisis dan Pemetaan Situasi Pangan dan gizi sampai level kecamatan/desa; • Melakukan pengumpulan data, mengolah, mengalisis dan pemetaan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) sampai level kecamatan/desa. b. Pengembangan sistem Kewaspadaan Pangan dan gizi: • Menyusunan pedoman Teknis Sistem Kewaspadaan pangan dan Gizi; • Sosialisasi pedoman Teknis Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi; • Melakukan pelatihan petugas SKPG dan FSVA; • Mengaktifkan dan koordinasi dengan SKPG kabupaten/kota yang aktif; • Menggerakan Tim pangan kecamatan yang aktif (yang dibina/ dilatih); HIMPUNAN PRODUK HUKUM 199 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 • Menggerakkan kelompok PKK/posyandu kecamatan yang aktif (yang dibina/dilatih). c. Melakukan Penanggulangan Kerawanan Pangan • Penyusunan pedoman umum Penanggulangan Kerawanan Pangan; • Sosialisasi pedoman umum Penanggulangan Kerawanan Pangan; • Melakukan intervensi melalui bantuan sosial pada daerah rawan pangan hasil investigasi Tim SKPG dan rawan pangan akibat bencana; • Penyediaan stok pangan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat di pedesaan; • Penanggulangan kerawanan pangan dengan Melakukan pemberdayaan masyarakat rawan pangan, melalui program desa mandiri pangan dan dipadukan dengan program lainnya. d. Penanggulangan Rawan Pangan Kronis Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan rawan kronis adalah melakukan investigasi dan intervensi Rawan Pangan Kronis. a) Investigasi • Berdasarkan pemetaan situasi pangan dan gizi yang dilakukan oleh Tim SKPG, Kepala Daerah segera membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing dari unsur-unsur instansi terkait. • Tim Investigasi harus segera turun ke lapangan paling lambat 1 minggu setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis. • Hasil investigasi digunakan oleh Tim Investigasi untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kepala Daerah. • Hasil rekomendasi yang disampaikan mencakup jenis intervensi yang tepat, lokasi dan masyarakat sasaran, jangka waktu pelaksanaan intervensi dan lain-lain sesuai dengan kepentingan. b) Intervensi • Setelah menerima hasil investigasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi. • Intervensi yang dilakukan mencakup tanggap darurat apabila diperlukan, intervensi jangka menengah serta intervensi jangka panjang. • Jenis intervensi yang tepat, jangka waktu intervensi, besaran dana yang diperlukan dan lain-lain dapat diketahui berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi. • Intervensi dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber dana baik berasal dari APBN, APBD, masyarakat maupun bantuan internasional untuk penanganan rawan pangan kronis ditanggulangi melalui program-program yang dilaksanakan oleh instansi terkait seperti Program Desa Mandiri Pangan, Desa Siaga, PUAP, Primatani, PIDRA atau program pemberdayaan lainnya. 200 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA e. Penanggulangan Rawan Pangan Transien a) Investigasi • Setelah menerima laporan adanya kejadian bencana, maksimal 2 hari, Kepala Daerah harus sudah membentuk Tim Investigasi. Tim Investigasi beranggotakan minimal 5 orang yang mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing dari unsur- unsur instansi terkait. • Tim Investigasi melaksanakan tugasnya dan melaporkan hasilnya kepada Kepala Daerah maksimal 3 hari setelah dibentuk. • Hasil investigasi yang dilaporkan kepada Kepala Daerah meliputi rekomendasi adanya rawan pangan transien yang disebabkan oleh bencana, wilayah yang mengalami rawan pangan, masyarakat sasaran, jenis intervensi yang diberikan, jangka waktu dan pelaksana intervensi. • Setelah menerima rekomendasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk melakukan intervensi pada daerah yang diketahui mengalami rawan pangan transien. • Tugas Tim Investigasi berbeda dengan Satlak/Satkorlak. Namun dalam pelaksanaan tugasnya Tim Investigasi dapat berkoordinasi dengan Satlak/Satkorlak setempat. b) Intervensi Intervensi dilakukan dengan memberikan bantuan tanggap darurat, sesuai kebutuhan setempat dari hasil investigasi dan bantuan jangka pendek serta jangka panjang 7. Rujukan : a. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. b. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. c. Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43/Permentan/OT.140/7/2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. d. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 10/Kpts/ OT.140/K/03/2010 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan Tahun 2010. 8. Perhitungan Biaya : Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 4 D. Jenis Pelayanan Penangan Kerawanan Pangan 7. Indikator Penanganan Daerah Rawan Pangan Provinsi HIMPUNAN PRODUK HUKUM 201 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010 a. Menyusun Persiapan dan A. Persiapan penyusunan (A+B)+(C*D*E)+F pedoman penyusunan pedoman pedoman penangan rawan pangan di tk. Kab/ kota B. Honor Tim     C. Transport per petugas     D. Lumpsum petugas  A * B E. Akomodasi & konsumsi F. Pengolahan dan penyusunan b. Penyediaan Pengumpulan bahan A. Persiapan dan Penyusunan A+(B*C) informasi bahan informasi B. Frekuensi pengumpulan data     C. Transport per petugas   pengumpul data   Analisis data A. Transport petugas   (dilakukan di dinas terkait) B. Pengolahan & penyusunan data   Iklan media cetak A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan     Iklan media elektronik A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan     Iklan media internet A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C (website)     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan   c. Pengembangan Pengumpulan data A. Persiapan dan penyusunan A+(B*C*D) sistem bahan pengembangan Kewaspadaan SKPG Pangan dan Gizi B. Cakupan daerah pengumpulan data     C. Frekuensi pengumpulan   data     D. Transport per petugas   pengumpul data     Analisis data A. Transport petugas A*B (dilakukan di dinas terkait) 202 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA B. Pengolahan & penyusunan d. Melakukan Penanggulangan A. Persiapan A+(B*C*D) penanggulangan kerawanan pangan kerawanan pangan B. Jumlah lokasi penanggulangan     C. Jumlah petugas       D. Transport petugas     Lumpsum/uang harian A. Jumlah lokasi A*B*C*D petugas penanggulangan     B. Jumlah petugas       C. Transport petugas       D. Lama bertugas     Bahan/bantuan A. Jumlah lokasi A*B*C penanggulangan penanggulangan     B. Jumlah orang rawan pangan       C. Bahan/bantuan   Langkah Kegiatan Variabel Komponen Rumus 1 2 3 4 D. Jenis Pelayanan Penangan Kerawanan Pangan 7. Indikator Penanganan Daerah Rawan Pangan Kabupaten/Kota a. Penyediaan data A. Persiapan dan Penyusunan Pengumpulan bahan A+(B*C) dan informasi data & informasi B. Frekuensi pengumpulan data C. Transport per petugas       pengumpul data A. Transport petugas   Analisis data  A*B (dilakukan di dinas terkait) B. Pengolahan & penyusunan data & informasi   Iklan media cetak A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan     Iklan media elektronik A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C     B. Jumlah media cetak   HIMPUNAN PRODUK HUKUM 203 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PERMENTAN NO. 65/PERMENTAN/0T.140/12/2010     C. Harga iklan   Iklan media internet   A. Frekuensi iklan ditayangkan A*B*C (website)     B. Jumlah media cetak       C. Harga iklan   b. Pengembangan A. Persiapan dan penyusunan sistem Pengumpulan data bahan pengembangan A+(B*C*D) Kewaspadaan SKPG Pangan dan Gizi B. Cakupan daerah pengumpulan data C. Frekuensi pengumpulan       data D. Transport per petugas       pengumpul data A. Transport petugas   Analisis data  A*B (dilakukan di dinas terkait) B. Pengolahan & penyusunan c. Melakukan Penanggulangan penanggulangan A. Persiapan A+(B*C*D) kerawanan pangan kerawanan pangan B. Jumlah lokasi penanggulangan     C. Jumlah petugas       D. Transport petugas   Lumpsum/uang harian A. Jumlah lokasi   A*B*C*D petugas penanggulangan     B. Jumlah petugas       C. Transport petugas       D. Lama bertugas   Bahan/bantuan A. Jumlah lokasi   A*B*C penanggulangan penanggulangan     B. Jumlah orang rawan pangan       C. Bahan/bantuan   MENTERI PERTANIAN, Ttd. SUSWONO 204 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL HIMPUNAN PRODUK HUKUM 205 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 206 HIMPUNAN PRODUK HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JENIS PELAYANAN, JUMLAH INDIKATOR, DAN TAHUN PENETAPAN SPM KABUPATEN/KOTA UNTUK 13 BIDANG URUSAN PEMERINTAHAN JENIS JUMLAH TAHUN NO SPM DI BIDANG URUSAN PEMERINTAHAN PELAYANAN INDIKATOR PENETAPAN 1 Pemerintahan Dalam Negeri 3 6 2008 2 Kesehatan 4 18 2008 3 Sosial 4 7 2008 4 Lingkungan Hidup 4 4 2010 5 Perumahan Rakyat 2 3 2008 6 Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak 5 8 2009 Korban Kekerasan 7 Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera 3 9 2010 8 Pendidikan 2 27 2010 9 Ketenagakerjaan 5 8 2010 10 Kominfo 1 2 2010 11 Pekerjaan Umum & Penataan Ruang 8 23 2010 12 Kesenian 2 7 2010 13 Ketahanan Pangan 4 7 2010 TOTAL 47 129 JENIS PELAYANAN, JUMLAH INDIKATOR, DAN TAHUN PENETAPAN SPM PROVINSI UNTUK 6 BIDANG URUSAN PEMERINTAHAN JENIS JUMLAH TAHUN NO SPM DI BIDANG URUSAN PEMERINTAHAN PELAYANAN INDIKATOR PENETAPAN 1 Ketenagakerjaan 5 8 2010 2 Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak 5 8 2009 Korban Kekerasan 3 Perumahan Rakyat 2 3 2008 4 Lingkungan Hidup 3 3 2010 5 Ketahanan Pangan 4 7 2010 6 Sosial 4 7 2008 TOTAL 23 36 HIMPUNAN PRODUK HUKUM 207 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 208 DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NO.62 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN Target Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Pencapaian Keterangan Indikator Nilai Penanggung Jawab (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 HIMPUNAN PRODUK HUKUM I. Pelayanan Dokumen 1. Cakupan penerbitan Kartu Tanda Penduduk 100% 2011 Dinas Kependudukan Kependudukan (KTP) STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 2. Cakupan penerbitan akta kelahiran 100% 2011 Dinas Kependudukan II. Pemelihara ketentraman 3. Cakupan Petugas Perlindungan Masyarakat 50% 2015 Dinas Trantib dan Ketertiban Masyarakat (Linmas) di Kabupaten/ Kota 4. Tingkat Penyelesaian pelanggaran K3 70% 2010 Dinas Trantib (ketertiban, ketentraman, keindahan) di Kabupaten/kota III. Penangulanggan Bencana 5. Cakupan pelayanan bencana kebakaran 25% 2015 Dinas Pemadam Kebakaran kabupaten/kota Kebakaran 6. Tingkat waktu tanggap (response time 75% 2015 Dinas Pemadam rate) daerah layanan Wilayah Manajemen Kebakaran kebakaran (WMK) DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO.741/MENKES/PER/VII/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Pencapaian Keterangan Indikator Nilai Penanggung Jawab (Tahun) 1 2 3 4 5 6 7 I. Pelayanan Kesehatan 1. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4. 95% 2015 Dinkes Kab/Kota Dasar 2. Cakupan Ibu Hamil dengan Komplikasi yang 80% 2015 Dinkes Kab/Kota ditangani. 3. Cakupan Pertolongan persalinan oleh 90% 2015 Dinkes Kab/Kota bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. 4. Cakupan pelayanan Ibu Nifas. 90% 2015 Dinkes Kab/Kota 5. Cakupan neonatal dengan komplikasi yang 80% 2010 Dinkes Kab/Kota ditangani. 6. Cakupan kunjungan bayi 90% 2010 Dinkes Kab/Kota 7. Cakupan Desa/kelurahan Universal Child 100% 2010 Dinkes Kab/Kota Immunization 8. Cakupan pelayanan anak balita 90% 2010 Dinkes Kab/Kota 9. Cakupan pemberian makanan pendamping 100% 2010 Dinkes Kab/Kota ASI pada anak usia 6-24 bulan keluarga miskin. 10. Cakupan Balita gizi buruk mendapat 100% 2010 Dinkes Kab/Kota perawatan. 11. Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD 100% 2010 Dinkes Kab/Kota STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM dan setingkat. MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 209 210 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Pencapaian Keterangan Indikator Nilai Penanggung Jawab LAMPIRAN (Tahun) 12. Cakupan peserta KB Aktif 70% 2010 Dinkes Kab/Kota 13. Cakupan penemuan dan penanganan 100% 2010 Dinkes Kab/Kota penderita penyakit. 14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar 100% 2015 Dinkes Kab/Kota masyarakat miskin. II Pelayanan Kesehatan 15. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan 100% 2015 Dinkes Kab/Kota HIMPUNAN PRODUK HUKUM Rujukan pasien masyarakat miskin. 16. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 100% 2015 Dinkes Kab/Kota yg harus diberikan sarana kesehatan (RS) di STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Kab/Kota. III Penyelidikan epidemiologi 17. Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB 100% 2015 Dinkes Kab/Kota dan Penanggulangan KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24 jam. IV Promosi kesehatan dan 18. Cakupan Desa Siaga Aktif 80% 2015 Dinkes Kab/Kota pemberdayaan masyarakat DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI SOSIAL NO.129 / HUK / 2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar & Sub Kegiatan Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab 1 Pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial a. pemberian bantuan sosial bagi Persentase (%) PMKS skala provinsi Penyandang Masalah Kesejahteraan yang memperoleh bantuan sosial untuk 80 % 2008 - 2015 Dinas/Instansi sosial Sosial skala provinsi. pemenuhan kebutuhan dasar. b. penyelenggaraan pelayanan dan Persentase (%) Panti Sosial skala provinsi rehabilitasi sosial dalam panti sosial yang melaksanakan standar operasional 60% 2008-2015 Dinas/Instansi sosial skala provinsi. pelayanan kesejahteraan sosial. 2 Penyediaan sarana dan prasarana sosial c. penyediaan sarana prasarana panti Persentase (%) panti sosial skala provinsi 80% 2008 - 2015 Dinas/Instansi sosial sosial skala provinsi; yang menyediakan sarana prasarana pelayanan kesejahteraan sosial. Persentase (%) Organisasi Sosial/ d. penyediaan sarana prasarana Yayasan/ LSM yang pelayanan luar panti skala provinsi Menyediakan sarana prasarana 60% 2008 - 2015 Dinas/Instansi sosial pelayanan kesejahteraan sosial luar panti. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 211 212 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar & Sub Kegiatan Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab LAMPIRAN 3 Penanggulangan korban bencana c. bantuan sosial bagi korban bencana Persentase (%) kabupaten/kota yang 80% 2008 – 2015 Dinas/Instansi sosial skala provinsi. mengalami bencana memberikan bantuan sosial bagi korban bencana skala provinsi. d. evakuasi korban bencana skala Persentase (%) kabupaten/kota yang provinsi. menggunakan sarana prasarana 60% 2008 - 2015 Dinas/Instansi sosial HIMPUNAN PRODUK HUKUM tanggap darurat lengkap untuk evakuasi korban bencana skala provinsi. 4 Pelaksanaan dan Persentase (%) kabupaten/kota yang 40% 2008 - 2015 Dinas/Instansi sosial STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) pengembangan jaminan menyelenggarakan jaminan social bagi sosial penyandang cacat fisik dan mental, serta bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial. serta lanjut usia tidak potensial - penyelengaraan jaminan sosial skala provinsi. Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar & Sub Kegiatan Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab 1 Pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial a. Pemberian bantuan sosial bagi Persentase (%) PMKS skala kab/kota Penyandang Masalah Kesejahteraan yang memperoleh bantuan sosial untuk 80% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial Sosial skala Kabupaten/Kota pemenuhan kebutuhan dasar. b. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan Persentase (%) PMKS skala kab/kota sosial skala Kabupaten/Kota yang menerima program pemberdayaan sosial melalui Kelompok Usaha Bersama 80% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial (KUBE) atau kelompok sosial ekonomi sejenis lainnya 2 Penyediaan sarana dan prasarana sosial a. Penyediaan sarana prasarana panti Presentase (%) panti sosial skala 80% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial sosial skala kabupaten/kota kabupaten/kota yang menyediakan sarana prasarana pelayanan kesejahteraan sosial. b. Penyediaan sarana prasarana Presentase (%) wahana pelayanan luar panti skala kabupaten/ kesejahteraan sosial berbasis masyarakat 60% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial kota (WKBSM) yang menyediakan sarana prasarana pelayanan kesejahteraan sosial. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 213 214 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar & Sub Kegiatan Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab LAMPIRAN 3 Penanggulangan Presentase (%) korban bencana skala 80% 2008 – 2015 Dinas/Instansi Sosial korban bencana kabupaten/kota yang menerima a. Bantuan sosial bagi korban bencana bantuan sosial selama masa tanggal skala Kabupaten/Kota darurat b. Evaluasi korban bencana skala Presentase (%) korban bencana skala Kabupaten/kota kabupaten/kota yang dievakuasi dengan 80% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial menggunakan sarana prasarana HIMPUNAN PRODUK HUKUM tanggap darurat lengkap 4 Pelaksanaan dan pengembangan Presentase (%) penyandang cacat fisik 40% 2008 - 2015 Dinas/Instansi Sosial jaminan sosial bagi penyandang cacat dan mental, serta lanjut usia tidak STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) fisik dan mental, serta lanjut usia tidak potensial yang telah menerima jaminan potensial sosial - Penyelenggaraan jaminan sosial skala Kabupaten/Kota DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO.19 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab A. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup oleh Provinsi a. Pelayanan Informasi Status Mutu Air 1. Prosentase jumlah sumber air yang 100 2013 dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya. b. Pelayanan Informasi Status Mutu Udara Ambien 1. Prosentase jumlah kabupaten/kota yang 100 2013 dipantau kualitas udara ambiennya dan informasikan mutu udara ambiennya c. Pelayanan Tindak Lanjut Pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup 1. Prosentase jumlah pengaduan masyarakat 100 2013 akibat adanya dugaan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti B. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup oleh Kabupaten/Kota a. Pelayanan Pencegahan Pencemaran Air 1. Prosentase jumlah usaha dan/atau 100 2013 kegiatan yang mentaati persyaratan administrasi dan teknis pencegahan pencemaran air. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 215 216 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan LAMPIRAN Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab b. Pelayanan Pencegahan Pencemaran Udara dari Sumber Tidak bergerak 1. Prosentase jumlah usaha dan/atau 100 2013 kegiatan sumber yang tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis pencegahan pencemaran udara c. Pelayanan Informasi Status Kerusakan Lahan dan/atau Tanah untuk Produksi Biomassa HIMPUNAN PRODUK HUKUM 1. Prosentase luasan lahan dan atau tanah 100 2013 untuk produksi biomassa yang telah ditetapkan dan diinformasikan status STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) kerusakannya d. Pelayanan Tindak Lanjut Pengaduan Masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup 1. Prosentase jumlah pengaduan masyarakat 90 2013 akibat adanya dugaan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti. DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NO.22/PERMEN/M/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERUMAHAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA A. Jenis Pelayanan Dasar, Indikator, Nilai dan Waktu Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi Jenis Pelayanan Dasar Skala Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Keterangan Provinsi Indikator Nilai Pencapaian (Tahun) Penanggung Jawab I. Rumah Layak Huni dan Terjangkau Cakupan ketersediaan rumah layak huni 100% 2009 - 2025 Dinas Perumahan atau Dinas Sesuai tata ruang dan yang menangani bidang perizinan perumahan Cakupan layanan rumah layak huni yang 70% 2009 - 2025 Dinas perumahan atau Dinas Tercapainya fasilitasi terjangkau yang menangani bidang keterjangkauan perumahan menghuni rumah layak huni oleh Pemerintah Daerah Provinsi II. Lingkungan yang sehat dan Aman Cakupan Lingkungan yang sehat dan 100% 2009 - 2025 Dinas Perumahan atau dinas Sesuai tata ruang dan yang didukung dengan prasarana, aman yang didukung dengan PSU yang menangani bidang perizinan sarana dan utilitas umum perumahan STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 217 218 B. Jenis Pelayanan Dasar, Indikator, Nilai dan Waktu Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota LAMPIRAN Jenis Pelayanan Dasar Skala Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Keterangan Kab./Kota Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab I. Rumah Layak Huni dan Cakupan ketersediaan rumah layak huni 100% 2009 - 2025 Dinas perumahan atau Dinas Sesuai tata ruang dan Terjangkau yang menangani bidang perizinan perumahan Cakupan layanan rumah layak huni yang 70% 2009 - 2025 Dinas perumahan atau Dinas Tercapainya fasilitasi terjangkau yang menangani bidang keterjangkauan HIMPUNAN PRODUK HUKUM perumahan menghuni rumah layak huni oleh Pemerintah Daerah STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Kabupaten/Kota II Lingkungan yang sehat dan Cakupan lingkungan yang sehat dan 100% 2009 - 2025 Dinas perumahan atau Dinas Sesuai tata ruang dan aman yang didukung dengan aman yang didukung dengan PSU yang menangani bidang perizinan prasarana, sarana dan utilitas perumahan umum (PSU) DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NO.01 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LAYANAN TERPADU BAGI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN Matriks Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab I Penanganan pengaduan/ laporan 1. Cakupan perempuan dan 100% 2014 Badan/Unit PP korban kekerasan terhadap perempuan anak korban kekerasan yang dan anak mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam unit pelayanan terpadu. II Pelayanan kesehatan bagi perempuan 2. Cakupan perempuan dan 100% dari 2014 Dinas Kesehatan dan anak korban kekerasan anak korban kekerasan yang sasaran mendapatkan layanan kesehatan program oleh tenaga kesehatan terlatih di Puskesmas mampu tatalaksana KTP/A dan PPT/PKT di RS III Rehabilitasi sosial bagi perempuan dan 3. Cakupan layanan Rehabilitasi 75% 2014 Instansi Sosial anak korban kekerasan sosial yang diberikan oleh petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit pelayanan terpadu 4. Cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh petugas 75% 2014 Kantor Agama bimbingan rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dala unit pelayanan terpadu STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 219 220 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab LAMPIRAN IV Penegakan dan bantuan hukum bagi 5. Cakupan penegakan hukum 80% 2014 Polri Kejaksaan Pengadilan perempuan dan anak korban kekerasan dari tingkat penyidikan sampai dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 6. Cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang 50% 2014 Badan/Unit PP mendapatkan layanan bantuan HIMPUNAN PRODUK HUKUM hukum. V Pemulangan dan reintegrasi sosial bagi 7. Cakupan layanan pemulangan 50% 2014 Kemenlu Kemenakertrans perempuan dan anak korban kekerasan bagi perempauan dan anak korban BNP2TKI STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) kekerasan 8. Cakupan layanan reintegrasi sosial 100% 2014 Instansi Sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL NO.55/HK-010/B5/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA DI KABUPATEN/KOTA Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian (Tahun) Penanggung Jawab A. Komunikasi Informasi dan Edukasi Cakupan Pasangan Usia Subur yang 100 2014 SKPD-KB Keluarga Berencana isterinya dibawah usia 20 tahun 3,5 %. dan Keluarga Sejahtera (KIE KB dan KS) Cakupan sasaran Pasangan Usia Subur 100 2014 SKPD-KB menjadi Peserta KB aktif 65% Cakupan Pasangan Usia Subur yang ingin 100 2014 SKPD-KB ber-KB tidak terpenuhi (Unmet Need) 5% Cakupan Anggota Bina Keluarga Balita 100 2014 SKPD-KB (BKB) ber-KB 70% Cakupan PUS Peserta KB Anggota Usaha 100 2014 SKPD-KB Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang ber-KB 87% Ratio Petugas Lapangan Keluarga 100 2014 SKPD-KB Berencana/Penyuluh Keluarga Berencana (PLKB/PKB) 1 Petugas di setiap 2 (dua ) Desa/Kelurahan Ratio Pembantu Pembina Keluarga 100 2014 SKD-KB Berencana (PPKBD) 1 (satu ) petugas di setiap Desa/Kelurahan B. Penyediaan Alat dan Obat Kontrasepsi. Cakupan penyediaan alat dan 100 2014 SKPD-KB obat Kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat 30% setiap tahun C Penyediaan Informasi Data Mikro Cakupan penyediaan informasi data mikro 100 2014 SKPD-KB keluarga di setiap Desa/Kelurahan 100% setiap tahun STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 221 222 DIKUTIP DARI PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NO.15 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN Satuan Kerja/ Jenis Batas Waktu Lembaga No. Pelayanan Standar Pelayanan Minimal Pencapaian Keterangan Penanggung Dasar (Tahun) Jawab Indikator Nilai A. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Kabupaten/Kota HIMPUNAN PRODUK HUKUM 1 Tersedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu 100 2014 maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMPT/MTs dari Kelompok Permukiman STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Permanen di daerah terpencil 2 Jumlah Peserta Didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32 100 2014 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis 3 Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja 100 2014 dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik 4 Di setiap SD/MI dan SMTP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkapi dengan meja 100 2014 dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan sta kependidikan lainnya, dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru. 5 Di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) 100 2014 orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan 6 Di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk 100 2014 daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran 7 Di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 100 2014 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik 8 Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak 100 2014 70 % dan separuh diantaranya (35 % dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifikat pendidik, untuk daerah khusus masing-masing sebanyak 40 % dan 20 %) Satuan Kerja/ Jenis Batas Waktu Lembaga No. Pelayanan Standar Pelayanan Minimal Pencapaian Keterangan Penanggung Dasar (Tahun) Jawab 9 Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah 100 2014 memiliki sertifikat penduduk masing-masing satu orang untuk masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. 10 Di setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV 100 2014 dan telah memiliki sertifikat pendidik 11 Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV 100 2014 dan telah memiliki sertifikat pendidik. 12 Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki kualifikasi 100 2014 akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk 13 membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses 100 2014 pembelajaran yang efektif, dan Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap 14 100 2014 kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan. B Pelayanan Pendikan Dasar oleh Satuan Pendidikan Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh 100 2014 1 Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh 100 2014 2 pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model 100 2014 3 kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA. Setiap SD/MI memiliki 100 judul bu pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/ 100 2014 4 MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi Setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan termasuk 100 2014 5 merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 223 224 Satuan Kerja/ Jenis Batas Waktu Lembaga No. Pelayanan Standar Pelayanan Minimal Pencapaian Keterangan LAMPIRAN Penanggung Dasar (Tahun) Jawab Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per 100 2014 tahun dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut : a. Kelas I – II : 18 jam per minggu 6 b. Kelas III : 24 jam per minggu HIMPUNAN PRODUK HUKUM c. Kelasa IV – VI : 27 jam per minggu STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) d. Kelas VII – IX : 27 jam per minggu Satuan pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai 7 100 2014 ketentuan yang berlaku Setiap guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun 8 100 2014 berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu 9 100 2014 meningkatkan kemampuan belajar peserta didik Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan balik kepada guru 10 100 2014 dua kali dalam setiap semester Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian 11 setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semeter dalam bentuk laporan 100 2014 hasil prestasi belajar peserta didik Kepala sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS) dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta Ujian Akhir (US/UN) kepada orang tua 12 peserta didik dan menyampaikan rekapitulasinya kepada dinas Pendidikan Kabupaten/ 100 2014 Kota atau Kantor Kementerian Agama di Kabupaten/Kota pada setiap akhir semester, dan Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah 13 100 2014 (MBS). Sumber: Bab II Permendiknas No.15 Tahun 2010 DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NO.PER.04/MEN/IV/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRAMIGRASI NO.PER.15/MEN/X/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketenagakerjaan Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/ Jenis Pelayanan No. Pencapaian Lembaga Keterangan Dasar Indikator Nilai (Tahun) Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 1 Pelayanan 1. Besaran tenaga kerja yang 75% 2016 Dinas/Unit Pelatihan Kerja mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, berbasis kompetensi Kab/Kota 2. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, berbasis masyarakat Kab/Kota 3. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, kewirausahaan Kab/Kota 2 Pelayanan Besaran pencari kerja yang 70% 2016 Dinas/Unit Ketenaga Penempatan terdaftar yang kerjaan Prov, Kab/Kota Tenaga Kerja ditempatkan 3 Pelayanan 50% 2016 Penyelesaian Besaran Kasus yang Dinas/Unit Perselisihan diselesaikan dengan Ketenagakerjaan Prov, Hubungan Perjanjian Bersama (PB) Kab/Kota Industrial 4 Pelayanan Besaran pekerja/buruh yang 50% 2016 Dinas/Unit Kepesertaan menjadi peserta program Ketenagakerjaan Prov, Jamsostek Jamsostek Kab/Kota 5 Pelayanan 45% 2016 Dinas/Unit 1. Besaran Pemeriksaan Pengawasan Ketenagakerjaan Prov, Perusahaan Ketenagakerjaan Kab/Kota STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM 50% 2016 Dinas/Unit 2. Besaran Pengujian Ketenagakerjaan Prov, MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL Peralatan di Perusahaan Kab/Kota 225 226 DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NO.22/PER/M.KOMINFO/12/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DI KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN TARGET DAN PANDUAN OPERASIONAL SPM BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DI KABUPATEN/KOTA Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 1 Pelaksanaan Diseminasi Pelaksanaan Diseminasi dan Pendistribusian SKPD yang menangani urusan Informasi Nasional Informasi Nasional bidang komunikasi dan HIMPUNAN PRODUK HUKUM Melalui: informatika a. Media massa seperti majalah, radio, dan 12 kali/tahun 2014 televisi; STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) b. Media baru seperti website (media online); Setiap hari 2014 c. Media tradisional seperti pertunjukan rakyat; 12 kali/tahun 2014 d. Media interpersonal seperti sarasehan, ceramah/diskusi, dan lokakarya; dan/atau 12 kali/ 2014 e. Media luar ruang seperti media buletin, tahun setiap leaflet, booklet, brosur, spanduk, dan kecamatan baliho. 12 kali/tahun 2014 2 Pengembangan dan Cakupan pengembangan dan 50% 2014 SKPD yang menangani urusan Pemberdayaan Kelompok pemberdayaan Kelompok Informasi bidang komunikasi dan Informasi Masyarakat Masyarakat di Tingkat Kecamatan informatika DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO.14 /PRT/M/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Standar Pelayanan Minimal Satuan Kerja/ Batas Waktu No Jenis Pelayanan Dasar Lembaga Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 I Sumber Daya Prioritas utama 100% 2014 Berdasarkan atas target minimal Tersedianya air baku untuk memenuhi Air penyediaan Air untuk kebutuhan air bersih di tiap kebutuhan pokok minimal sehari hari. Kebutuhan Masyarakat kabupaten/kota Tersedianya air irigasi untuk pertanian 70% 2014 Dinas yang membidangi rakyat pada sistem irigasi yang sudah ada. Pekerjaan Umum II Jalan Jaringan Aksesibilitas Tersedianya jalan yang menghubungkan 100% 2014 Dilaksanakan oleh pemerintah pusat-pusat kegiatan dalam wilayah daerah kabupaten/kota kabupaten/kota. Mobilitas Tersedianya jalan yang memudahkan 100% 2014 DIlaksanakan oleh pemerintah masyarakat per individu melakukan daerah kabupaten/kota perjalanan. Keselamatan Tersedianya jalan yang menjamin pengguna 60% 2014 DIlaksanakan oleh pemerintah jalan berkendara dengan selamat. daerah kabupaten/kota Ruas Tersedianya jalan yang menjamin 60% 2014 DIlaksanakan oleh pemerintah Kondisi jalan kendaraan dapat berjalan dengan selamat daerah kabupaten/kota dan nyaman. Tersedianya jalan yang menjamin 60% 2014 DIlaksanakan oleh pemerintah Kecepatan perjalanan dapat dilakukan sesuai dengan daerah kabupaten/kota kecepatan rencana STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 227 228 Standar Pelayanan Minimal Satuan Kerja/ Batas Waktu No Jenis Pelayanan Dasar Lembaga Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab LAMPIRAN III Air Minum Cluster Pelayanan Tersedianya akses air minum yang aman 2014 Dinas yang membidangi melalui Sistem Penyediaan Air Minum 40% Pekerjaan Umum Sangat dengan jaringan perpipaan dan bukan Buruk jaringan perpipaan terlindungi dengan Buruk kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/ 50% Sedang hari 70% Baik 80% HIMPUNAN PRODUK HUKUM Sangat baik 100% IV Penyehatan Air Limbah Permukiman Tersedianya sistem air limbah setempat 60% 2014 Dinas yang membidangi STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Lingkungan yang memadai Pekerjaan Umum Permukiman Tersedianya sistem air limbah skala 5% 2014 Dinas yang membidangi (Sanitasi komunitas/kawasan/kota Pekerjaan Umum Lingkungan Pengelolaan sampah Tersedianya fasilitas pengurangan sampah Dinas yang membidangi dan 20% 2014 di perkotaan. Pekerjaan Umum Persampahan Tersedianya sistem penanganan sampah di 70% 2014 Dinas yang membidangi perkotaan. Pekerjaan Umum Drainase Tersedianya sistem jaringan drainase skala 50% 2014 kawasan dan skala kota sehingga tidak Dinas yang membidangi terjadi genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 Pekerjaan Umum jam) dan tidak lebih dari 2 kali setahun V Penanganan Permukiman Kumuh Berkurangnya luasan permukiman kumuh 10% 2014 Dinas yang membidangi Perkotaan di kawasan perkotaan PekerjaanUmum VI Penataan Izin Mendirikan Bangunan Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan 100% 2014 Dinas yang membidangi Bangunan (IMB) IMB di kabupaten/kota. Perijinan (IMB) dan Harga Standar Bangunan Tersedianya pedoman Harga Standar 100% 2014 Lingkungan Dinas yang membidangi Gedung Negara Bangunan Gedung Negara di kabupaten/ Pekerjaan Umum (HSBGN) kota. Standar Pelayanan Minimal Satuan Kerja/ Batas Waktu No Jenis Pelayanan Dasar Lembaga Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab VII Jasa Izin Usaha Jasa Konstruksi Penerbitan IUJK dalam waktu 10 (sepuluh) 100% 2014 Unit yang melakukan Konstruksi (IUJK) hari kerja setelah persyaratan lengkap. Pembinaan Jas Sistem Informasi Jasa 100% 2014 Unit yang melakukan Tersedianya Sistem Informasi Jasa Konstruksi Pembinaan Jasa Konstruksi setiap tahun Konstruksi VIII Penataan Informasi Penataan Ruang Tersedianya informasi mengenai Rencana 100% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Ruang Tata Ruang (RTR) wilayah kabupaten/kota (kabupaten/ Penataan Ruang beserta rencana rincinya melalui peta kota dan analog dan peta digital. kecamatan) 90% 2014 (kelurahan) Pelibatan Peran Terlaksananya penjaringan aspirasi 100% 2014 Dinas/SKPD yang membidangi Masyarakat Dalam Proses masyarakat melalui forum konsultasi publik Penataan Ruang Penyusunan RTR yang memenuhi syarat inklusif dalam proses penyusunan RTR dan program pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang. Izin Pemanfaatan Ruang Terlayaninya masyarakat dalam pengurusan 100% 2014 Dinas yang izin pemanfaatan ruang sesuai dengan (kabupaten/kota) membidangi Peraturan Daerah tentang RTR wilayah Perizinan kabupaten/kota beserta rencana rincinya Terlaksanakannya tindakan awal 100% 2014 Penataan Ruang Pelayanan Pengaduan terhadap pengaduan masyarakat tentang (Kabupaten/ Dinas/SKPD yang Pelanggaran Tata pelanggaran di bidang penataan ruang, Kota,dan membidangi Ruang dalam waktu 5 (lima) hari kerja. kecamatan) Penyediaan Ruang Terbuka Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% Dinas/SKPD yang Hijau (RTH) 25% 2014 Penataan Ruang dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan. membidangi Publik STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 229 230 DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWlSATA NO.PM.106/HK.501/MKP/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESENIAN LAMPIRAN Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 1 Pelindungan, Cakupan Kajian Seni 50% 100 2014 SKPD Kegiatan yang bersifat kajian adalah: Pengembangan, dan 1. seminar, HIMPUNAN PRODUK HUKUM Pemanfaatan Bidang Kesenian 2. sarasehan; 3. diskusi*; 4. bengkel seni (workshop )*; STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 5. penyerapan narasumber; 6. studi kepustakaan; 7. penggalian; 8. eksperimentasi; 9. rekonstruksi; 10. revitalisasi; 11. konservasi; 12. studi banding; 13. inventarisasi*; 14. dokumentasi*; dan 15. pengemasan bahan kajian. Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 50% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Kajian Seni, sampai tahun 2014. Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab Cakupan Fasilitasi Seni 30% 100 2014 SKPD Jenis-jenis fasilitasi dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bidang kesenian adalah: 1. penyuluhan substansial maupun teknikal; 2. pemberian bantuan; 3. bimbingan organisasi; 4. kaderisasi; 5. promosi; 6. penerbitan dan pendokumentasian; dan 7. kritik seni. Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 30% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Fasilitasi Seni, sampai tahun 2014. Cakupan Gelar Seni 75% 100 2014 SKPD Wujud gelar seni antara lain: 1. pergelaran; 2. pameran; 3. festival; dan 4.lomba. Provinsi, kabupatenlkota, minimal melaksanakan 75% dari seluruh kegiatan yang menjadi cakupan Gelar Seni, sampai tahun 2014 Misi Kesenian 100% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota wajib mengadakan misi kesenian antardaerah sekurangkurangnya satu kali dalam setahun dalam rangka pertukaran budaya, diplomasi, dan promosi kesenian di daerahnya keluar daerah. Provinsi, kabupaten/kota, melaksanakan 100% cakupan STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM Misi Kesenian, sampai tahun 2014. i MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 231 232 Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab LAMPIRAN 2 Sarana dan Cakupan Sumber Daya 100 2014 SKPD Dalam berbagai kegiatan pelindungan, Prasarana Manusia Kesenian 25% pengembangan, dan pemanfaatan seni diperlukan kualifi kasi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesenian sebagai berikut: 1. sarjana seni; 2. pakar seni; 3. pamong budaya*; 4. seniman/budayawan*; HIMPUNAN PRODUK HUKUM 5. kritikus; 6. insan media massa; 7. pengusaha;dan STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) 8. penyandang dana. Provinsi, kabupaten/kota, menyediakan minimal 25% dari cakupan Sumber Daya Manusia Kesenian, sampai tahun 2014. Cakupan Tempat 100% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyediakan minimal: 1. Tempat untuk menggelar seni pertunjukan dan untuk pameran; dan 2. Tempat memasarkan karya seni untuk mengembangkan industri budaya. Provinsi, kabupaten/kota, menyediakan minimal satu tempat yang mudah dicapai oleh masyarakat, dapat berupa gedung kesenian atau fasilitas-fasilitas lain yang memungkinkan dan satu buah tempat untuk memasarkan karya seni, sampai tahun 2014. Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab Cakupan Organisasi 34% 100 2014 SKPD Pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk: 1. Organisasi struktural yang menangani kesenian 2. Lembaga/dewan kesenian 3. Khusus pemerintahan provinsi membentuk Taman Budaya sebagai UPT yang menangani kesenian. Provinsi, kabupaten/kota, minimal melaksanakan 34% dari kupan Organisasi, sampai tahun 2014. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) HIMPUNAN PRODUK HUKUM MATRIKS KUMPULAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL 233 234 DIKUTIP DARI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NO.65/PERMENTAN/OT.140/12/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN Indikator Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Standar Pelayanan Minimal Batas Waktu Satuan Kerja/Lembaga No. Jenis Pelayanan Dasar Keterangan Indikator Nilai Pencapaian Penanggung Jawab Provinsi A Ketersediaan dan Cadangan Pangan 1. Penguatan Cadangan Pangan 60 2015 BKPD HIMPUNAN PRODUK HUKUM B 2. Ketersediaan Informasi Distribusi dan Akses Pangan 100 2015 BKPD Pasokan,Harga dan Akses Pangan di STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) Daerah C Penganekaragaman dan Keamanan 3. Pengawasan dan Pembinaan 80 2015 BKPD Pangan Keamanan Pangan D Penanganan Kerawanan Pangan 4. Penanganan Daerah 60 2015 BKPD RawanPangan Kabupaten/Kota A. Ketersediaan dan 1. Ketersediaan Energi dan Protein 90 2015 BKPD Cadangan Pangan Per Kapita. 2. Penguatan Cadangan Pangan. 60 2015 BKPD B. Distribusi dan Akses 3. Ketersediaan Informasi Pasokan, 90 2015 BKPD Pangan Harga dan Akses Pangan di Daerah. 4. Stabilitas Harga dan Pasokan 90 2015 BKPD Pangan. C. Penganekaragaman dan 5. Skor Pola Pangan Harapan (PPH). 90 2015 BKPD Keamanan Pangan 6. Pengawasan dan Pembinaan 80 2015 BKPD Keamanan Pangan D. Penanganan Kerawanan 7. Penanganan Daerah Rawan 60 2015 BKPD Pangan Pangan. HIMPUNAN PRODUK HUKUM 235 STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)