38778 v. 1 Ikhtisar Indonesia hampir berhasil mencapai partisipasi universal dalam pendidikan tingkat dasar. Menyediakan akses terhadap pendidikan tingkat dasar bukanlah lagi tantangan utama pembangunan, walaupun masih tetap penting untuk menargetkan sisa 8 persen anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan dasar. Pemerintah menangani masalah kesenjangan investasi dalam pendidikan dasar dengan tepat, tetapi penanganan di kemudian hari harus lebih dititik beratkan pada peningkatan angka partisipasi dan kualitas pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Dalam tahun-tahun yang akan datang, Indonesia akan memiliki sumber daya untuk meningkatkan hasil pendidikan lebih jauh. Indonesia kemungkinan akan mendapatkan tambahan pendapatan fiskal yang berasal dari penerimaan yang meningkat, pembayaran biaya hutang yang lebih rendah, dan pengurangan subsidi. Sejak pengurangan subsidi BBM pada tahun 2005, Indonesia telah menghasilkan hampir US$ 10 miliar yang bisa digunakan untuk proyek pembangunan, dan sektor pendidikan sudah mendapatkan keuntungan dari peningkatan anggaran baru-baru ini.1 BERINVESTASI PADA PENDIDIKAN Indonesia menghabiskan 16.5 persen anggarannya untuk pendidikan. Jumlah ini hampir setara baik dengan negara-negara berkembang lainnya, maupun dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Co- operation and Development-OECD). Tetapi, tingkat belanja Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, dan sejak tahun 1980-an, Indonesia telah secara komparatif menghabiskan lebih sedikit pada pendidikan, yang menyebabkan pelapukan gedung sekolah dan berkontribusi terhadap hasil belajar siswa yang tetap rendah. Belanja pendidikan telah meningkat secara pasti dan diharapkan untuk meningkat lebih jauh lagi. Ini adalah salah satu indikasi dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan pelayanan. Belanja publik untuk pendidikan telah meningkat secara pesat, dari 2.5 persen pada PDB tahun 2001 menjadi sekitar 3.5 persen pada 2006. Sebagai hasilnya, belanja pendidikan, sebagai bagian dari total belanja, sekarang sudah berada pada tingkat yang bisa dibandingkan dengan sejumlah negara berpenghasilan menengah, bahkan dengan beberapa negara OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga (Malaysia, Thailand dan Filipina) cenderung memiliki anggaran pendidikan yang lebih yang lebih tinggi, sampai dengan 28 persen dari anggaran mereka. Terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi belanja pusat-daerah. Pemerintah daerah menyediakan sebagian besar pendanaan (70 persen) untuk pendidikan, tetapi hampir semuanya dianggarkan untuk gaji guru, walaupun skala gaji ditentukan oleh pemerintah pusat. Di lain pihak, pemerintah pusat mendominasi anggaran investasi, padahal tanggung jawab untuk menjalankan, membangun dan merehabilitasi sekolah, ada di pemerintah daerah. 1 Analisa menyeluruh terhadap peningkatan ruang fiskal Indonesia, bisa dilihat di Kajian Belanja Pemerintah yang akan segera diterbitkan (Public Expenditure Review [Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities]). Menerapkan mandat 20 persen bagi pendidikan dengan definisi yang ada saat ini, dengan mengecualikan pengeluaran untuk gaji guru dari patokan ini, sangat tidak realistis juga problematik. Hampir tidak mungkin untuk mencapai 20 persen, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, terutama bila pengeluaran gaji tidak dimasukkan. Pemerintah daerah cenderung menghabiskan sebagian besar anggaran pendidikan mereka untuk gaji. Agar bisa mencapai tingkat 20 persen sesuai definisi yang ada, belanja daerah untuk pendidikan harus meningkat dari angka saat ini yaitu 28 persen (dimana sebagian besar dialokasikan untuk gaji), menjadi paling tidak 45 persen. Pemerintah pusat juga harus melipat gandakan tingkat belanja yang ada sekarang, dan membelanjakan kelebihannya untuk belanja non-gaji. Peningkatan sumber daya di tingkat pusat menjadi 20 persen sangat bertentangan dengan logika desentralisasi dengan mendorong lebih banyak belanja pusat untuk sektor-sektor yang didesentralisir. Definisi yang berlaku sekarang juga menciptakan insentif yang buruk dalam menetapkan kelompok gaji tertinggi menjadi belanja tidak lancar. Untuk mewujudkan belanja pendidikan yang meningkat menjadi pelayanan yang lebih baik, Indonesia harus mengatasi tiga tantangan utama: • Meningkatkan komposisi belanja, dalam sektor pendidikan dan antar sektor; • Membuat belanja pendidikan menjadi lebih adil; dan • Meningkatkan efisiensi belanja pendidikan. 1. Meningkatkan Komposisi Belanja Karena angka partisipasi pendidikan dasar hampir mencapai target 100 persen, fokus pada jenjang ini harus diarahkan kepada investasi dalam merehabilitasi infrastruktur pendidikan dan meningkatkan kualitas pengajaran. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi penuh untuk pendidikan dasar, sehingga pada jenjang sekolah dasar, perhatian utama seharusnya diarahkan pada peningkatan akses untuk daerah terpencil yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, angka partisipasi 100 persen pun mungkin tidak bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan dan upaya pemberantasan kemiskinan bila kualitas pendidikan dasarnya buruk. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai maupun guru yang memenuhi persyaratan mengajar minimum. Komposisi belanja diantara program harus disesuaikan agar lebih mendukung perbaikan infrastruktur dan pelatihan guru. Pengalokasian sumber daya tambahan untuk sekolah menengah pertama sangat diharapkan karena angka partisipasinya masih rendah, terutama pada kuintil termiskin dari seluruh populasi. Alokasi untuk pendidikan menengah pertama hanya 15 persen dari total belanja pendidikan – sama dengan alokasi pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Mengalokasikan sumber daya tambahan pada jenjang pendidikan menengah pertama akan menghasilkan angka pengembalian yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding pendidikan dasar. Pemerintah telah menangani kesenjangan investasi pendidikan dasar, dengan tepat, tetapi fokus dikemudian hari harus diarahkan lebih kepada peningkatan kualitas pendidikan dan angka partisipasi pendidikan menengah pertama. 2. Membuat Belanja Pendidikan Lebih Merata Diskrepansi pada tiap daerah dalam hal akses dan kualitas bisa dikurangi melalui penargetan yang lebih baik. Karena ada perbedaan yang signifikan pada akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah bisa mengalokasikan dana pendidikan untuk menyediakan sumber daya yang cukup bagi kabupaten dan provinsi yang tertinggal agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menghabiskan lebih dari 35 persen anggaran mereka untuk sektor pendidikan, tetapi tingkat belanja absolut mereka rendah jika dibandingkan dengan daerah yang lebih kaya. Aliran dana dari pemerintah pusat harus bisa memastikan bahwa anggaran belanja yang dikeluarkan akan menghasilkan askses pelayanan yang lebih adil. Program Bantuan Operasi Sekolah (BOS) yang baru adalah perkembangan penting di bidang pendanaan pendidikan, dan bisa menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kemampuan, walaupun ada bidang-bidang yang bisa diperbaiki. Dana BOS mewakili 12 persen dari keseluruhan anggaran pendidikan yang disatukan. Tiga hal penting yang harus diperhatikan ketika merancang program serupa, di masa yang akan datang: • Walaupun pengaliran dana langsung ke sekolah mungkin bisa mengatasi kebocoran, tetap diperlukan pemantauan dan penelusuran dana untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan alokasi sumber daya yang salah. • Karena besarnya hibah ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah akan memiliki insentif untuk menggelembungkan angka partisipasi bila tidak ada mekanisme kontrol yang diterapkan. • Program ini tidak menmberikan persyaratan mengenai penilaian kinerja atau transparansi anggaran untuk sekolah, sehingga sulit untuk menilai pengaruh program ini terhadap uang sekolah dan kualitas pengajaran. Walaupun sebagian besar penduduk termiskin memiliki akses pendidikan dasar, mereka terhambat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Indonesia harus berfokus pada perbaikan angka partisipasi, terutama untuk jenjang pendidikan menengah pertama, karena memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi yang rendah. Angka yang lebih tinggi dari masyarakat miskin yang mendapatkan pendidikan menengah pertama akan menjadi batu loncatan kepada pendidikan yang lebih tinggi. Program yang ditargetkan akan bisa mengatasi hambatan ini dengan dua cara: 1. Menangani sisi permintaan dengan mengurangi pengeluaran rumah tangga atau memitigasi pendapatan tetap melalui mekanisme seperti misalnya cash transfer. 2. Menangani sisi pasokan, yakni, potensi kekurangan infrastruktur pendidikan, melalui konversi beberapa sekolah dasar menjadi sekolah menengah pertama, pembangunan sekolah baru, atau keduanya. 3. Meningkatkan Efisiensi Belanja Pendidikan Distribusi Guru Guru tersebar dengan sangat tidak merata di Indonesia. Kurang lebih 55 persen dari sekolah memiliki kelebihan guru, sementara 34 persen kekurangan. Sebagian besar sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah pedesaan, mengalami kelebihan jumlah guru, sementara 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru yang serius. Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan yang baik – yang idealnya dilaksanak oleh masyarakat setempat. Guru akan tersebar dengan lebih merata bila formula penempatan yang digunakan untuk mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah. Saat ini, tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid, dengan memberikan kemudahan bagi sekolah yang lebih kecil. Reformasi ini bisa dibarengi dengan memberikan fleksibilitas yang lebihbesar dalam hal kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru. Kelebihan Ketersediaan Tenaga Guru Formula alokasi yang sekarang mendorong adanya kelebihan guru di banyak sekolah, yang berjumlah 10 persen dari total anggaran pendidikan. Sekolah-sekolah menyerahkan persyaratan pasokan guru mereka ke kantor wilayah, dan wilayah lalu mengajukan permintaan tenaga guru tambahan sesuai jumlah yang diperlukan kepada Depdiknas. Kemudian Depdiknas mengalokasikan guru ke kabupaten dan menyediakan tambahan gaji guru melalui DAU. Dengan sistem ini, sekolah dan kabupaten memiliki insentif yang besar untuk meminta sumber daya lebih banyak (dimana kebanyakan akan menganggur), dan sedikit sekali insentif untuk menggunakan sumber daya guru secara efisien. Walaupun penerapan kebijakan pengaliran dana yang efektif akan mendistribusi guru secara lebih adil, tantangan terbesar saat ini adalah mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru. Karena guru adalah pegawai negeri sipil, hanya ada beberapa pilihan untuk mengurangi jumlahnya, selain pensiun atau “pensiun dini”, dan solusi yang terakhir akan sangat mahal dalam jangka pendek. Strategi pendamping yang penting adalah bagaimana mengurangi masuknya calon guru ke institusi pelatihan dan mengorientasikan kembali guru-guru sekolah dasar ke Program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), bidang yang hanya menerima sedikit sekali perhatian saat ini. Gaji Guru dan Undang-undang Guru yang baru Gaji guru lebih rendah dari pekerja dan pegawai negeri sipil dengan tingkat pendidikan yang sama dan tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi guru sekolah menengah dan guru yang bekerja di daerah terpencil. Walaupun kesenjangan gaji menjadi lebih kecil bila dianalisa dengan menggunakan skema gaji per jam, guru mendapatkan gaji lebih kecil daripada rekan mereka pegawai negeri sipil non guru. Sebagai tambahan, praktik perekrutan guru honorer yang tersebar luas dengan gaji yang ditetapkan di tingkat kabupaten/kota menimbulkan kesenjangan di daerah dalam hal tingkat gaji guru, selain itu juga mempersulit upaya penempatan ulang tenaga guru. Program sertifikasi guru yang baru, sedikit banyak mengatasi sebagian masalah-masalah ini dengan meningkatkan gaji pokok guru bagi mereka yang memiliki tingkat kualifikasi lebih tinggi, kinerja yang lebih baik dan/atau ditempatkan di daerah terpencil. Akan tetapi, undang-undang guru yang baru akan meningkatkan belanja pendidikan secara substansial, karena pengeluaran yang baru untuk lima tahun kedepan akan kurang lebih dua kali lipat daripada anggaran pendidikan nasional yang sekarang. Pengeluaran yang besar yang timbul sebagai akibat dari undang-undang baru ini bisa ditutupi sebagian dengan mengurangi kelebihan ketersediaan tenaga guru dan jumlah guru paruh waktu secara bersamaan. Hal tersebut berarti mempersiapkan tenaga guru berijazah secara bertahap selama lima sampai sepuluh tahun kedepan untuk menggantikan sejumlah besar tenaga guru yang akan pensiun di kemudian hari.