60959 Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Februari 2011 Mengidentifikasi Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan yang Inklusif di Provinsi Terbesar Kedua di Indonesia KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II Lt. 12-13 Jln. Jenderal Sudirman, Kav. 52-53 Jakarta - 12190 Telp. (+6221) 5299 3000 Faks (+6221) 5299 3111 BANK DUNIA The World Bank 1818 H Street N.W Washington, D.C. 20433 USA Telp. (202) 458-1876 Faks (202) 522-1557/1560 Email: feedback@worldbank.org Website: www.worldbank.org Dicetak pada Bulan Februari 2011 Foto-foto pada halaman sampul dan tiap bab merupakan Hak Cipta © Maulina Cahyaningrum untuk foto tengah di halaman sampul; REDI untuk foto di Bab 1, Bab 2, Bab 3, dan Bab 5; foto sebelah kanan atas dan kanan bawah pada halaman sampul dan pada Bab 4 merupakan Koleksi Foto Bank Dunia. Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur:Mengidentifikasi Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan yang Inklusif di Provinsi Terbesar Kedua di Indonesia merupakan hasil kerja staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada setiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Mengidentifikasi Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan yang Inklusif di Provinsi Terbesar Kedua di Indonesia Il DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun oleh tim dari Bank Dunia yang dipimpin oleh Cut Dian Agustina, bersama-sama dengan Ahmad Zaki Fahmi dan Harry Hasan Masyrafah. Dukungan dalam bentuk asistensi penelitian dan analisis data diberikan oleh Indira Maulani Hapsari dan Sukmawah Yuningsih. Tim Bank Dunia mengucapkan terimakasih dan apresiasinya atas kontribusi yang bermanfaat dari Regional Economic Development Institute (REDI), sebagai lembaga penelitian yang berlokasi di Surabaya, yang juga merupakan mitra lokal Bank Dunia dalam mempersiapkan laporan ini. Tim REDI dipimpin oleh Indra N. Fauzi dan Ilmiawan Auwalin bersama-sama dengan anggota tim yang terdiri atas Winifred L. Wirkus, Rumayya, Abdul Mongid, Bondan Satriawan, Rifai Afin, dan Wahyu Wibowo telah mempersiapkan laporan latar belakang Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur, melakukan pengumpulan data dan survei kualitatif terhadap sektor swasta dan lembaga perbankan, serta membantu dalam menyelenggarakan lokakarya untuk memfasilitasi masukan dan umpan balik dari pemangku kepentingan dan publik. Tim yang lebih besar yang telah memberikan kontribusi bagi penyusunan laporan ini terdiri atas Fahmi Wibawa yang memberikan dukungan operasional, Rizki Atina dan Sandra Buana Sari yang telah membantu dalam hal logistik, Bastian Zaini untuk dukungan peta-peta GIS, dan Ryan Sanjaya untuk dukungan data tambahan. Terima kasih khusus untuk Diane Zhang yang telah membantu penyuntingan laporan dan Maulina Cahyaningrum yang telah membantu dalam proses formatting dan produksi laporan. Tanggapan dan masukan yang berharga telah diterima dari Amin Subekti, Enrique Blanco Armas, Gregorius D.V. Pattinasarany, Diane Zhang, Shubham Chaudhury, dan William Wallace dari pihak Bank Dunia; dan Soebagyo dari Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga. Penelitian ini juga mendapatkan banyak bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan The Asia Foundation pada tahun 2007. Terima kasih terutama ditujukan untuk Romawaty Sinaga and Erman Rahman dari The Asia Foundation yang telah bermurah hati untuk berbagi data survei kepada kami dan memberikan beberapa klarifikasi berkaitan dengan data. Tim juga ingin mengucapkan apresiasinya atas wawasan yang dibagikan dan masukan bermanfaat yang diterima dari konsultasi dan diskusi individu dengan pemerintah daerah dan lembaga swasta terutama kepada Dr. Ir. H. Sambari Halim Radianto (Bupati Gresik), Drs. H. Moh. Qosim, M.Si (Wakil Bupati Gresik) dan staf di lingkungan Kab. Gresik, Ir. Tri Rismaharini, MT (Walikota Surabaya) dan staf, Wibisono (Bank Indonesia, Surabaya) dan staf, Dr. Ir. Jamhadi, MBA (Kadin Surabaya), Dr. Sigit Sardjono, M.Ec (Kadin Surabaya) dan anggota KADIN lainnya, Djarwo Surjanto (PT Pelindo III), Drs. H. Sangkala (Administrasi Pelabuhan Tanjung Perak) dan staf, Hoedy Pramono Moedjiardjo (PLN Jawa Timur) dan staf, Yoke C. Katon (SIER), Joko Triono (SIER), M. Kunto Abirowo (SIER), Drs. Anton Subagiyanto, MBA (APINDO), Ariyanto (APINDO), Gunawan (APINDO), dan Reswanda (perwakilan UKM). Penghargaan juga kami sampaikan kepada para peserta dalam lokakarya konsultasi publik atas tanggapan-tanggapan dan umpan balik yang diberikan kepada kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, M.Hum, dan staf di kantor Bappeprov Jawa Timur untuk dukungan yang secara konsisten diberikan kepada kami sejak persiapan, implementasi, dan penyelesaian laporan. Terima kasih khusus kepada Dr. Ir. Zainal Abidin, MM (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur), Ir. Budi Setiawan, MMT, ME (Kepala Biro Administrasi Perekonomian Setda Provinsi), Ir. Jumadi, MMT (Kepala Bidang Perekonomian Bappeda Provinsi), dan Ir. Hadi Prasetyo, ME (Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan) untuk bimbingan dan masukan yang diberikan kepada kami. Terakhir, tim ingin berterima kasih kepada Amin Subekti (Ekonom Senior) dan Shubham Chaudhury (Ekonom Utama) atas bimbingan dan pengawasan selama proses penelitian ini berlangsung. Dukungan finansial diberikan oleh Multi-Donor Diagnostic Facility on Shared Growth (DFSG) sebagai bagian dari program Poverty Reduction and Environmental Management (PREM) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi bersama. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR III Daftar Istilah ADB Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia AUSAID Lembaga Bantuan International Australia (The Australian Government Overseas Aid) BBM Bahan Bakar Minyak BI Bank Indonesia BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal BOR Rasio Hunian Dermaga (Berth Occupancy Ratio) BOS Bantuan Operasional Sekolah BPN Badan Pertanahan Nasional BPR Bank Perkreditan Rakyat BPS Badan Pusat Statistik BPWS Badan Pengembangan Wilayah Suramadu EKP/ PEG Elastisitas kemiskinan atas pertumbuhan (Poverty Elasticity to Growth) Gerdu-Taskin Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan HRV Hausmann, Rodrik and Velasco IDB Bank Pembangunan Antar-Amerika (Inter-American Development Bank) IFC Lembaga Keuangan Internasional (International Finance Corporation) ILO Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization) IPP Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer) ISO Organisasi Standar Internasional (International Organization for Standardization) Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat KIM Kawasan Industri Maspion KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KUS Komputer Untuk Sekolah LDR Rasio Pinjaman Terhadap Deposito (Loan to Deposit Ratio) LKM Lembaga Keuangan Mikro LNG Pengolahan Gas Alam Cair (Liquefied Natural Gas) LPI Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index) MICI Survey Pemantauan Iklim Investasi di Indonesia (Monitoring Investment Climate in Indonesia) MMT Makanan, Minuman dan Tembakau MW Mega Watt NER Tingkat Partisipasi Murni (Net Enrollment Ratio) NIP Ngoro Industri Persada NPL Kredit Macet Perbankan (Non Performing Loan) NTT Nusa Tenggara Timur OECD Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development) PDB Produk Domestik Bruto PDRB Produk Domestik Regional Bruto PIER Kawasan Industri Rembang Pasuruan (Pasuruan Industrial Estate Rembang) PKH Program Keluarga Harapan PLN Perusahaan Listrik Negara Podes Potensi Desa PPP Kemitraan Pemerintah Swasta (Public Private Partnership) PTSP Pelayanan Terpadu Satu Pintu Raskin Beras untuk Masyarakat Miskin REDI Lembaga Pengembangan Ekonomi Daerah (Regional Economic Development Institute) SAIDI Indeks Rata-rata Lamanya Gangguan Listrik (System Average Interruption Duration Index) SAIFI Indeks Rata-rata Frekuensi Gangguan Listrik (System Average Interruption frequency index) Sakernas Survey Tenaga Kerja Nasional SD Sekolah Dasar SIER Kawasan Industri Rungkut Surabaya (Surabaya Industrial Estate Rungkut) SMK Sekolah Menengah Khusus SMP /SLTP Sekolah Menengah Pertama /Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMU /SLTA Sekolah Menengah Umum/ Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Susenas Survey Sosial Ekonomi Nasional SUTT Saluran Udara Tegangan Tinggi TDP Tanda Daftar Perusahaan TEU Unit Padanan Duapuluh Kaki (Twenty-foot Equivalent Unit) UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah WDI Indikator Pembangunan Dunia (World Development Indicators) WEF Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) lV DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Daftar Isi 1. PENDAHULUAN 7 1.1. Latar belakang 8 1.2. Kerangka diagnosa pertumbuhan ekonomi yang inklusif 9 1.3. Susunan laporan ini 12 2. SEKILAS PANDANG PERTUMBUHAN EKONOMI, INVESTASI DAN KEMISKINAN DI JAWA TIMUR 13 2.1. Kinerja ekonomi Jawa Timur 14 2.2. Pola spasial dalam pertumbuhan 22 2.3. Tren kemiskinan 25 2.4. Profil ekonomi masyarakat miskin di Jawa Timur 28 3. MENELUSURI HAMBATAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI YANG INKLUSIF DI JAWA TIMUR 35 3.1. Analisis kelayakan kerja (Employability) 36 3.2. Analisis lingkungan bisnis 44 3.2.1. Akses terhadap kredit 44 3.2.2. Tingkat pengembalian aktivitas ekonomi 54 4. HAMBATAN SEKTORAL 79 4.1. Pertanian 80 4.2. Manufaktur 83 4.3. Perdagangan, hotel dan restoran 86 5. MATRIKS HAMBATAN UTAMA ATAS PERTUMBUHAN INKLUSIF DI JAWA TIMUR DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 91 5.1. Ringkasan masalah utama dan identifikasi hambatan 92 5.2. Faktor pendukung dan usulan pilihan kebijakan 93 6. DAFTAR REFERENSI 99 Daftar Gambar Gambar 1.1: Kerangka analisis pertumbuhan ekonomi yang inklusif 10 Gambar 1.2: Lingkungan bisnis (Kerangka HRV) 11 Gambar 2.1: Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 14 Gambar 2.2: Pertumbuhan ekonomi di berbagai provinsi lain di pulau Jawa 14 Gambar 2.3: PDB per kapita Jawa Timur vs. beberapa provinsi yang terkenal di Asia Timur 15 Gambar 2.4: PDB Regional dibandingkan keseluruhan PDB nasional, 1976-2008 16 Gambar 2.5: Kontribusi sektoral Indonesia vs. Jawa Timur 17 Gambar 2.6: Pertumbuhan sektoral di Jawa Timur, 1977-2008 18 Gambar 2.7: Proporsi investasi pada beberapa provinsi di pulau Jawa (% dari PDB) 20 Gambar 2.8: Investasi swasta di beberapa provinsi di Jawa 21 Gambar 2.9: Proporsi realisasi investasi dalam negeri dan asing di Jawa Timur, 2009 (% terhadap total investasi swasta) 22 Gambar 2.10: Ukuran geografis aktual per kab/kota 22 Gambar 2.11: Ukuran ekonominya (sebagaimana diukur dari PDB) 23 Gambar 2.12. PDB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur, 2008 24 Gambar 2.13. Pertumbuhan tahunan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Timur 25 Gambar 2.14: Tingkat kemiskinan di Jawa Timur, 2000-2009 26 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR V Gambar 2.15: Kemiskinan perkotaan dan pedesaan di Jawa Timur, 2000-2009 26 Gambar 2.16: Peta tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Jawa Timur 2008 27 Gambar 2.17: Kesempatan kerja berdasarkan sektor dan desil rumah tangga, 2009 28 Gambar 2.18: Status tenaga kerja dari para pekerja pertanian 30 Gambar 2.19: Tingkat kemiskinan & proporsi tenaga kerja di sektor pertanian, 2008 30 Gambar 2.20: Tingkat kemiskinan & produktivitas tenaga kerja pertanian, 2008 31 Gambar 2.21: Kesempatan kerja di perkotaan vs. pedesaan per sektor, 2008 31 Gambar 2.22: Jumlah tenaga kerja di sektor ekonomi utama 32 Gambar 2.23: Jumlah setengah pengangguran di Jawa Timur dan provinsi lain di Jawa, 1996-2009 33 Gambar 3.1: Angkatan kerja sesuai tingkat pendidikan, 2009 36 Gambar 3.2: Angkatan kerja perkotaan di Jawa Timur sesuai tingkat pendidikan, 2009 36 Gambar 3.3: Angkatan kerja per kelompok umur dan tingkat pendidikan 37 Gambar 3.4: Angkatan kerja per kelompok umur 37 Gambar 3.5: Tingkat Partisipasi Murni (APM) untuk berbagai tingkat pendidikan di Jawa Timur, 2002-2009 38 Gambar 3.6: Tingkat partisipasi sekolah menengah pertama dan atas per kabupaten di Jawa Timur, 2009 38 Gambar 3.7: Tingkat partisipasi murni di Jawa Timur per kuintil pendapatan, 2009 39 Gambar 3.8: Angkat Partisipasi Murni di tingkat SLTA dan persentase desa tanpa SLTA, 2008 40 Gambar 3.9: Beberapa indikator kesehatan di Jawa Timur, berbagai tahun 41 Gambar 3.10: Perilaku mencari pengobatan bagi yang sakit, 2006 dan 2009 42 Gambar 3.11: Perilaku mencari pengobatan per desil, 2009 42 Gambar 3.12: Kelahiran berdasarkan tipe layanan dan per kuintil tingkat pendapatan, 2009 43 Gambar 3.13: Porsi Kredit terhatap PDRB di Jawa Timur, dan provinsi lain di Indonesia, 2007 45 Gambar 3.14: Tingkat suku bunga pinjaman riil 47 Gambar 3.15: Tingkat suku bunga pinjaman nominal 47 Gambar 3.16: Tingkat suku bunga dan pertumbuhan PDB 48 Gambar 3.17: Rasio simpanan per PDRB di Jawa Timur dan provinsi lain di Indonesia (%) 48 Gambar 3.18: LDR Jawa Timur dan beberapa provinsi lain di Indonesia 49 Gambar 3.19: Kredit Macet Perbankan (NPL) di Jawa Timur dan di provinsi lain di Indonesia 50 Gambar 3.20: Alokasi kredit berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi (%) 51 Gambar 3.21: Tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan, 2009 54 Gambar 3.22: Upah minimum dan rata-rata upah bulanan 55 Gambar 3.23: Tingkat pengembalian pendidikan-upah premium bagi pekerja yang lebih berpendidikan 55 Gambar 3.24: Perbandingan tenaga kerja Jawa Timur dengan pendidikan teknis, 2009 56 Gambar 3.25: Indeks Daya Saing Global 2009-2010: kualitas infrastruktur (pilar ke-2) 58 Gambar 3.26: Akses ke infrastruktur penting per provinsi, 2008 59 Gambar 3.27: Perbandingan jalan yang kondisinya buruk atau sangat buruk berdasarkan jenis jaringan, 2008 60 Gambar 3.28: Jumlah kendaraan /km jalan, 2008* 60 Gambar 3.29: Persentase Perusahaan yang menggunakan genset sendiri 64 Gambar 3.30: Indikator-indikator makroekonomi Indonesia 67 Gambar 3.31: Inflasi di empat kota besar wilayah Jawa Timur secara umum sama dengan tingkat inflasi nasional 67 Gambar 3.32: Peringkat dalam melakukan usaha di 14 kota Indonesia di tahun 2010 69 Gambar 3.33: Nilai tengah (median) retribusi dan pajak daerah yang dibayar perusahaan per karyawan (2007) 71 Gambar 3.34: Proporsi desa yang melaporkan kriminalitas perampokan, 2003-08 73 Gambar 3.35: Proporsi desa yang melaporkan kriminalitas pencurian, 2003-08 74 Gambar 3.36: Perbandingan desa yg melaporkan konflik, 2003-2008 74 Gambar 3.37: Sebab konflik di Jawa Timur, 2003-2008 74 Gambar 3.38: Persepsi Pemilik Usaha Mengenai Frekuensi Perselisihan Buruh 75 Gambar 3.39: Kontribusi margin ekstensif dan intensif bagi pertumbuhan ekspor Jawa Timur 1998-2009 76 Gambar 4.1: Luas daerah panen, produksi, dan produktivitas padi di Jawa Timur, 1996-2009 80 Gambar 4.2: Kesulitan utama petani padi dalam menjual produk mereka 81 Vl DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 4.3: Hambatan utama bisnis petani 82 Gambar 4.4: Pangsa Produk Ekspor Manufaktur Utama di Jawa Timur, 2009 85 Gambar 4.5: Kandungan impor dari produk-produk manufaktur, 2007 85 Daftar Tabel Tabel 2.1: PDB per kapita Jawa Timur vs. provinsi lain di Indonesia 15 Tabel 2.2: Kontribusi sektoral terhadap PDB Jawa Timur, 1975-2008 (%) 17 Tabel 2.3: Rata-rata kontribusi PDB berdasarkan penggunaan di Jawa Timur dan Indonesia, 1985-2008 19 Tabel 2.4: Investasi swasta di Indonesia sesuai provinsi (% dari total investasi swasta keseluruhan) 21 Tabel 2.5: Perbandingan PDB kab/kota ke total PDB Jawa Timur, 1984-1996-2008 23 Tabel 2.6. Proyeksi angka kemiskinan di Jawa Timur dalam lima tahun 27 Tabel 2.7: Produktivitas tenaga kerja per sektor di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan nasional, 2008 (%) 29 Tabel 2.8: Rata-rata jam kerja per minggu dan rata-rata upah per bulan per sektor 29 Tabel 2.9: Proporsi tenaga kerja per sektor di Jawa Timur, 2000-2009 32 Tabel 3.1: Ketersediaan sekolah per kabupaten di Jawa Timur, 2008 40 Tabel 3.2: Ketersediaan fasilitas layanan kesehatan dan pekerja medis di Jawa Timur, 2000-2008 (populasi/fasilitas layanan kesehatan atau pekerja medis) 41 Tabel 3.3: Perbandingan Sektor Keuangan Negara-Negara di Kawasan Asia 45 Tabel 3.4: Alokasi Kredit Investasi dan Modal kerja per Total Kredit 46 Tabel 3.5: Cabang Bank per 100 km2 50 Tabel 3.6: Cabang Bank per 10.000 penduduk 50 Tabel 3.7: Hambatan terpenting bagi operasi bisnis, 2007 57 Tabel 3.8: Masalah yang dianggap hambatan penting bagi kegiatan bisnis 57 Tabel 3.9: Perkiraan keseimbangan permintaan-pasokan listrik Jawa-Bali, th 2009-2014 (tanpa kapasitas tambahan) 63 Tabel 3.10: Permintaan pemasangan listrik baru, terpasang, dan daftar tunggu 2008 63 Tabel 3.11: Indikator Listrik Padam, Jawa Timur dan di subsistem lainnya (2008) 64 Tabel 3.12: Proporsi jumlah perusahaan yang sudah memiliki izin usaha (TDP), 2007 (%) 70 Tabel 3.13: Kemudahan menjalankan usaha, 2010 70 Tabel 3.14: Masalah pertahanan dilihat dari kacamata pelaku usaha 71 Tabel 3.15: Indeks Persepsi Korupsi di kota-kota besar di Indonesia, 2008 72 Tabel 3.16: Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berdasarkan bidang kebijakan 73 Tabel 4.1: Perbandingan tenaga kerja terampil dan tidak terampil per sektor di Jawa Timur (%) 82 Tabel 4.2: Jawa Timur: Pangsa produksi barang manufaktur skala besar & menengah per kelompok industri (%) 84 Daftar Kotak Kotak 3.1: Akses keuangan (pendanaan) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 52 Kotak 3.2: Semburan lumpur panas porong: tantangan tambahan bagi infrastruktur Jawa Timur 61 Kotak 3.3: Jembatan Suramadu 62 Kotak 4.1: Kawasan industri di Jawa Timur 86 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Vll Ringkasan Eksekutif X DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Ringkasan Eksekutif Meskipun memiliki laju pertumbuhan yang stabil dan moderat, Jawa Timur masih belum mampu menaikkan tingkat pertumbuhan perekonomiannya kembali ke tingkat sebelum krisis, sementara tingkat kemiskinan berada di atas angka nasional. Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia dengan tingkat pertumbuhan setara dengan tingkat nasional dan provinsi-provinsi besar lainnya di Jawa. Namun, untuk provinsi yang diharapkan menjadi salah satu pusat ekonomi utama di negara ini, provinsi ini mengalami hanya sedikit perubahan struktur ekonomi dalam 10 tahun terakhir. Sejak tahun 1995, kontribusi sektor industri dan pertanian dalam perekonomian hampir tidak berubah. Selain itu, pertumbuhan kedua sektor ini juga rendah, padahal sektor industri pernah menjadi penggerak utama perekonomian Jawa Timur di masa lampau. Penyerapan tenaga kerja di sektor dengan produktivitas tinggi juga lambat dalam tahun-tahun belakangan ini dimana sebagian besar tenaga kerja masih berada di sektor pertanian yang merupakan sektor dengan produktivitas paling rendah dibandingkan sektor-sektor ekonomi lain di provinsi ini. Investasi swasta yang diharapkan dapat mendorong dan menggerakkan perekonomian menuju sektor-sektor dengan pertumbuhan yang lebih tinggi ternyata proporsinya relatif kecil di Jawa Timur dibanding dengan Jakarta dan Jawa Barat. Kondisi secara keseluruhan mempengaruhi jumlah penduduk miskin di provinsi ini, yang tetap tertinggi di Indonesia meskipun selama beberapa tahun terakhir ini tingkat kemiskinan mengalami penurunan. Hasil analisis dari sisi lingkungan bisnis menunjukkan bahwa akses dan biaya keuangan bukan merupakan kendala bagi pertumbuhan perekonomian Jawa Timur. Rasio kredit terhadap PDB di Jawa Timur memang sedikit lebih rendah daripada angka nasional, namun hal ini lebih karena diakibatkan kurangnya permintaan kredit. Sebagian besar dari kredit yang tersedia dialokasikan bagi investasi dan modal kerja. Lembaga keuangan yang ada di Jawa Timur telah menjalankan DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 1 Ringkasan Eksekutif fungsi intermediasi dengan cukup baik, hal itu ditunjukkan dengan rasio pinjaman terhadap deposito yang relatif tinggi dan rendahnya proporsi kredit macet (non-performing loans). Satu- satunya keprihatinan utama adalah bahwa Usaha Mikro, Kecil dan Menengah masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit. Ketersediaan dan biaya tenaga kerja , prospek ekonomi makro, dan isu keamanan tampaknya tidak menjadi kendala bagi pengembalian investasi dan pertumbuhan. Jawa Timur memiliki jumlah angkatan kerja terbesar sekaligus upah minimum terendah di Indonesia. Nilai pengembalian yang dibayarkan untuk pekerja terampil juga lebih rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia, menunjukkan bahwa Jawa Timur tidak kekurangan pekerja terampil. Dari sisi stabilitas makro, selama lima tahun terakhir keadaan ekonomi makro Indonesia relatif stabil, kondisi neraca pembayaran, utang luar negeri, dan indikator keuangan lainnya, tidak menunjukkan bahwa Indonesia memiliki risiko terhadap perubahan kurs valuta asing yang tinggi atau bentuk-bentuk krisis keuangan lainnya, yang dapat menguras tabungan dan menyebabkan investor bangkrut. Tingkat inflasi relatif stabil baik untuk seluruh Indonesia maupun Provinsi Jawa Timur, sehingga risiko hilangnya keuntungan karena kenaikan inflasi yang berkelanjutan cukup rendah. Angka konflik dan kejahatan juga relatif rendah dan setara dengan daerah lain di Indonesia. Kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat diidentifikasi adalah dalam hal kemampuan untuk memperoleh tingkat pengembalian investasi, terutama berkaitan dengan infrastruktur dan iklim investasi. Permasalah-permasalahan utama pada sektor infrastruktur yang mempengaruhi kegiatan bisnis adalah buruknya kualitas jalan kabupaten, rendahnya efisiensi pengoperasian pelabuhan, dan pasokan listrik untuk usaha. Kondisi jalan kabupaten yang buruk dan kemacetan di pusat perekonomian utama dapat mengakibatkan biaya transportasi yang tinggi dan tingkat pengembalian investasi yang lebih rendah. Pelabuhan utama di Jawa Timur, Tanjung Perak, masih belum sepenuhnya efisien dalam pengoperasiannya. Lebih jauh lagi, Tanjung Perak telah hampir mencapai kapasitas maksimumnya, yang mana hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri untuk kegiatan perdagangan yang lebih besar di wilayah ini. Meskipun pasokan listrik untuk rumah tangga tidak dianggap bermasalah, pasokan listrik untuk usaha dianggap menjadi persoalan. Permasalahan lebih terletak pada kehandalan pasokan listrik dibanding ketersediaan listrik secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya jumlah perusahaan yang memiliki generator cadangan dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa. Selain itu, tingginya jumlah daftar tunggu untuk mendapatkan sambungan listrik baru juga mengindikasikan masalah pada bidang ini. Dari perspektif iklim investasi, proses pendaftaran usaha yang rumit dan tingginya persepsi akan tingkat korupsi di Jawa Timur dipandang sebagai kendala utama dalam membuka dan menjalankan usaha. Pendaftaran formal untuk usaha dan properti masih berbelit dan mahal. Tanpa dokumen kepemilikan lahan yang resmi, perusahaan akan kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank; dan kurang lengkapnya dokumen pendaftaran perusahaan yang resmi akan menghambat perusahaan tersebut untuk mengakses pasar utang dan ekuitas di dalam dan luar negeri. Selain itu provinsi ini juga masih memiliki tingkat persepsi korupsi yang tinggi di pusat ekonomi utamanya, seperti Surabaya, yang dapat berpotensi menaikkan biaya dalam menjalankan usaha. Analisis kelayakan kerja menunjukkan tingginya proporsi angkatan kerja di Jawa Timur yang tidak memiliki keterampilan yang mana hal ini dapat menjadi kendala untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Hambatan utama untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja (seperti memiliki lebih banyak tenaga kerja terampil) adalah rendahnya akses ke pendidikan menengah, yang menyebabkan provinsi ini memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang rendah. Terdapat kesenjangan yang besar antara masyarakat kaya dan miskin juga antara penduduk pedesaan dan perkotaan dalam mengakses pendidikan menengah. Kesenjangan ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya jumlah sekolah menengah, distribusi sekolah yang tidak merata dan relatif tingginya biaya pendidikan menengah. Sebaliknya, karena perluasan fasilitas dan tenaga kesehatan di Jawa Timur selama dekade terakhir, kalangan masyarakat miskin dapat menikmati akses pelayanan 2 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR kesehatan yang setara dengan masyarakat kaya. Dengan demikian bisa dibilang bahwa dibandingkan akses terhadap pendidikan, akses kesehatan bukan merupakan kendala utama bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia di Jawa Timur. Mayoritas tenaga kerja tidak terampil yang ada di Jawa Timur bekerja di sektor pertanian, yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah. Jawa Timur memiliki proporsi tenaga kerja tidak terampil yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, dimana mayoritas bekerja di sektor pertanian yang tingkat produktivitasnya rendah. Pekerja di sektor ini memiliki upah yang paling rendah. Sekitar 52 persen dari pekerja di sektor pertanian termasuk pada kelompok usia tua (> 40 tahun) dan memiliki tingkat pendidikan maksimal sekolah dasar. Untuk mengurangi kemiskinan di Jawa Timur, pemerintah provinsi tidak hanya membutuhkan strategi untuk memfasilitasi transisi ke sektor yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi untuk pekerja usia muda, tetapi juga strategi untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian, meningkatkan nilai produk tambah pertanian, dan mempromosikan lapangan kerja bagi usaha non-tani di pedesaan (rural non-farm), seperti misalnya agro-industri dan industri pedesaan skala kecil untuk mengakomodasi penduduk yang memiliki sedikit kesempatan (seperti kelompok angkatan kerja yang lebih tua dan bependidikan rendah) berpindah ke sektor-sektor non-pertanian. Sejumlah faktor utama penyebab rendahnya pertumbuhan produksi di sektor pertanian antara lain adalah rasio lahan per petani yang rendah, keterbatasan akses kepada layanan kredit, nilai tambah produk pertanian yang rendah, dan tingginya proporsi tenaga kerja tidak terampil. Karena 74 persen dari lahan yang ada di Jawa Timur telah digunakan untuk pertanian, hanya tersisa sedikit ruang untuk meningkatkan pasokan lahan pertanian. Perbaikan rasio lahan per petani hanya dapat dilakukan jika jumlah petani dapat dikurangi dengan membantu mereka untuk pindah ke pekerjaan non-tani lainnya. Oleh karena itu, pemerintah mungkin perlu berfokus pada upaya memfasilitasi diversifikasi ke produk pertanian yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, seperti hortikultura, peternakan, dan pertanian organik; meningkatkan keterampilan melalui penyuluhan dan pelatihan non-formal; dan menyediakan akses yang lebih luas ke pelayanan kredit. Industri manufaktur, yang dulu sempat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, masih belum pulih ke tingkat sebelum krisis untuk menciptakan kesempatan kerja yang memadai di Jawa Timur. Banyak industri yang bersifat mudah berpindah (footloose industry) meninggalkan Jawa Timur setelah krisis keuangan tahun 1997 untuk mencari basis produksi yang lebih kompetitif. Sektor ini menghadapi persaingan ketat dari negara-negara Asia lainnya seperti Cina, India dan Vietnam, dan akibatnya produksi dari sektor manufaktur menurun terutama di sektor padat karya. Tingginya ketergantungan Jawa Timur pada produk Makanan, Minuman, dan Tembakau, juga menempatkan provinsi ini pada posisi yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar. Kerentanan ini lebih diperburuk dengan kurangnya diversifikasi produk dan penemuan produk baru untuk ekspor, ditambah dengan ketergantungan pada input bahan mentah impor dan barang setengah jadi, yang secara keseluruhan berkontribusi pada lambatnya perkembangan dan pertumbuhan sektor manufaktur. Secara spasial, pola pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur menunjukkan adanya wilayah yang maju dan yang tertinggal. Daerah-daerah yang sudah maju adalah kabupaten/kota yang terletak di pusat area Jawa Timur, antara lain kawasan industri seperti Gresik, Kediri, Sidoarjo dan Surabaya. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal yang ditandai dengan rendahnya PDB per kapita secara konsisten sepanjang waktu terletak di wilayah selatan Jawa Timur dan di pulau Madura seperti Pacitan, Trenggalek, Pamekasan, dan Sampang. Dalam kasus Jawa Timur di mana hanya terdapat sedikit hambatan untuk mobilitas tenaga kerja dan modal, pola pertumbuhan yang tidak seimbang ini tidak memeerlukan intervensi khusus untuk memindahkan kegiatan ekonomi ke daerah-daerah tertinggal. Sebaliknya, pemerintah sebaiknya menerapkan program pembangunan yang bersifat DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 3 Ringkasan Eksekutif umum dan netral secara spasial , seperti misalnya dengan meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan untuk memungkinkan penduduk daerah tertinggal memanfaatkan dan bergerak ke arah peluang yang lebih baik selain juga membangun infrastruktur penghubung spasial untuk meningkatkan arus barang, orang, dan informasi ke pusat-pusat ekonomi. Peningkatan infrastruktur tersebut juga dapat memperluas perdagangan antar- dan dalam-provinsi. Usulan kebijakan: Sepuluh gagasan untuk mendukung pertumbuhan yang inklusif di Jawa Timur 1. Menyediakan akses kredit yang lebih luas bagi UMKM dengan cara (i) memfasilitasi formalisasi usaha bagi UMKM, termasuk registrasi usaha dan tanah. Fasilitasi dapat dilakukan melalui pengembangan program khusus untuk sertifikasi tanah oleh BPN (Badan Pertanahan Negara), menyederhanakan proses pendaftaran usaha, dan memberikan keringanan biaya pendaftaran usaha bagi UMKM, (ii) memperkuat program skema jaminan kredit. Skema tersebut berfungsi sebagai jaminan bagi lembaga perbankan untuk sektor berisiko tinggi seperti sektor pertanian, (iii) memperkuat kapasitas UMKM untuk mengakses pembiayaan melalui pemberian bantuan teknis yang disponsori pemerintah. Bantuan teknis tersebut dapat berbentuk pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai dan bagaimana cara mengajukan permintaan kredit. Program pelatihan dapat disampaikan melalui fasilitas pelatihan pemerintah atau melalui pusat pelatihan di desa-desa atau menggunakan jasa Konsultan Keuangan Mitra Bank, dan (iv) memperkuat hubungan antara bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sudah dilakukan beberapa upaya untuk menyalurkan dana dari bank umum ke lembaga keuangan mikro seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat) untuk selanjutnya disalurkan ke usaha kecil. Pendekatan ini dapat lebih diperkuat, terutama karena LKM memiliki peran yang signifikan dalam menangani UMKM dan sektor informal lainnya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melalui sosialisasi yang lebih luas mengenai LKM kepada masyarakat UMKM (misalnya melalui bazar informasi mengenai perum pegadaian, modal ventura, dll). 2. Meningkatkan pasokan dan sambungan listrik ke perusahaan dengan cara (i) memfasilitasi PLN dalam memperoleh ijin yang diperlukan untuk memperluas fasilitas transmisi dan distribusi listrik, seperti gardu induk dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), (ii) memfasilitasi dan mempercepat investasi di sumber alternatif listrik rendah biaya seperti panas bumi, angin dan tenaga surya, melalui skema kemitraan swasta-pemerintah (PPP) khususnya di daerah yang memiliki potensi tinggi untuk pengembangan industri. Hal ini akan memungkinkan PLN untuk membeli energi dengan harga yang lebih rendah dan mengurangi biaya transmisi dan distribusi, dan (iii) agar pemerintah pusat menyediakan sumber daya keuangan yang memadai untuk mempercepat investasi dibidang sistem transmisi dan distribusi, yang saat ini membutuhkan perluasan dan peremajaan. 3. Meningkatkan kualitas jalan kabupaten dengan cara (i) mengkaji alokasi belanja daerah di sektor infrastruktur untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang bagaimana dana dibelanjakan, (ii) mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pemeliharaan jalan agar Dinas Pekerjaan Umum di daerah dapat menjaga kualitas jalan, (iii) memberikan insentif kepada daerah untuk memelihara jalan antara lain dengan memberikan hibah pendamping, dan, (iv) memperkuat pengawasan penggunaan jalan, termasuk optimalisasi jembatan timbang. Kerusakan jalan seringkali disebabkan oleh kelebihan beban kendaraan berat seperti truk kontainer. Dengan mengoptimalkan fungsi jembatan timbang, pemerintah dapat mengurangi kemungkinan kelebihan beban. 4 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 4. Penguatan fungsi pelabuhan laut di Jawa Timur dengan cara (i) menghilangkan hambatan lalu lintas laut ke pelabuhan Tanjung Perak. Inisiatif untuk memperluas Alur Perairan Barat Surabaya perlu dilaksanakan secepat mungkin dengan dukungan pemerintah. Rencana untuk menghilangkan dan merelokasi pipa yang mengganggu lalu lintas laut juga perlu dipercepat untuk menghindari dampak yang berkepanjangan, (ii) melaksanakan rencana untuk membangun pelabuhan baru di Teluk Lamong, dan (iii) mengoptimalisasi pemanfaatan pelabuhan kecil di Jawa Timur melalui pembentukan jaringan transportasi laut intra-propinsi. 5. Meningkatkan iklim usaha bagi sektor swasta dengan cara (i) menyederhanakan prosedur pendaftaran usaha. Penyederhanaan prosedur tidak hanya akan mengurangi beban bagi pengusaha swasta, tetapi juga mengurangi peluang pungutan liar, (ii) memantau dan mengevaluasi secara rutin kinerja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di propinsi dan kabupaten. PTSP merupakan salah satu inisiatif pemerintah untuk mempercepat layanan perijinan usaha. Namun, pendirian PTSP saja tidak akan cukup tanpa pemantauan secara rutin atas kinerja PTSP dan penetapan standar pelayanan yang jelas untuk memastikan bahwa lembaga ini berfungsi dengan efektif. Salah satu cara untuk memantau dan menjaga kinerja PTSP adalah dengan melibatkan secara langsung pihak pengendalian mutu eksternal seperti ISO, (iii) meningkatkan orientasi bisnis dan profesionalisme instansi pemerintah yang berinteraksi dengan sektor usaha seperti dinas tenaga kerja, perdagangan, industri, dan koperasi, dan (iv) memperluas peluang pasar sektor swasta melalui pameran dagang dan membangun kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta untuk strategi promosi perdagangan. 6. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dengan cara (i) mengkajii alokasi anggaran saat ini di sektor pendidikan dan meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan menengah, (ii) memperluas dan mengoptimalkan pemanfaatan lembaga pendidikan non-formal seperti pusat-pusat belajar masyarakat atau lembaga pelatihan informal untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada mereka yang berada di luar usia sekolah. Lembaga pendidikan non-formal ini harus menawarkan program khusus bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal misalnya program pemberdayaan perempuan, pendidikan kecakapan hidup, pelatihan kerja, dan sebagainya, (iii) memperkuat dan memperluas sekolah-sekolah kejuruan untuk menghasilkan keterampilan kerja yang lebih spesifik, (iv) mengoptimalisasi pusat-pusat pelatihan kerja pemerintah propinsi untuk meningkatkan dan melakukan diversifikasi keterampilan kerja; (v) menyusun sertifikasi standar kompetensi untuk tenaga terampil dan profesional, dan (vi) mengembangkan kantor fasilitasi pekerjaan yang disponsori pemerintah. Pemerintah berfungsi sebagai jembatan untuk memenuhi permintaan dan penawaran tenaga kerja. 7. Revitalisasi sektor pertanian dengan cara (i) merumuskan inisiatif baru untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Sebagai contoh, melalui layanan penyuluhan, penguatan litbang pertanian, dan menyediakan akses dan informasi untuk teknologi baru yang lebih baik, (ii) peningkatan kesempatan kerja non-tani di pedesaan seperti misalnya usaha kecil dan menengah di pedesaan untuk mengakomodir sejumlah besar tenaga kerja sektor pertanian yang memiliki peluang kecil untuk pindah ke sektor manufaktur dan jasa, (iii) mendukung diversifikasi produksi pertanian ke produk yang bernilai lebih tinggi seperti hortikultura, peternakan, dan pertanian organik, (iv) mengembangkan mekanisme untuk memperkuat hubungan produksi hasil pertanian ke pengecer besar dan industri pengolahan hasil pertanian seperti melalui sistem kontrak petani, (v) memperluas akses pasar bagi hasil pertanian melalui jaringan pasar induk di Jawa Timur dan menghubungkannya ke pasar induk di propinsi lain; (vi) mengembangkan koperasi pemasaran masyarakat, dimana para petani yang menjadi anggotanya bersama-sama menjual kelebihan produksi mereka di pasar induk. Hal ini dapat meningkatkan daya tawar anggota untuk memperoleh harga yang lebih baik bagi produk mereka. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 5 Ringkasan Eksekutif 8. Memulihkan investasi di bidang manufaktur dengan cara (i) perbaikan iklim investasi Jawa Timur untuk menarik investasi asing dan domestik di daerah dengan menggunakan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya (lihat rekomendasi kebijakan 5), (ii) menciptakan pusat fasilitasi investasi Jawa Timur, yang berfungsi untuk menyebarkan dan memberikan informasi tentang peluang investasi di propinsi ini, dan memberikan informasi pasar bagi industri di Jawa Timur, (iii) mengoptimalkan fungsi dan penggunaan kawasan industri, (iv) mempromosikan hubungan industrial antara UKM dan perusahaan yang lebih besar, (v) memfasilitasi koordinasi unit penelitian dan pengembangan di berbagai institusi seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah untuk mempromosikan diversifikasi produk industri; dan (vi) mengembangkan mekanisme dialog publik-swasta untuk melakukan kolaborasi dalam hal daya saing internasional, proses teknologi, dan pengembangan keterampilan. 9. Meningkatkan kinerja logistik perdagangan. Saat ini, perdagangan merupakan pendorong terbesar bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat merangsang kegiatan ekonomi lainnya. Posisi Surabaya yang strategis sebagai pintu gerbang ke Indonesia timur menyimpan potensi yang besar untuk meningkatkan kegiatan perdagangan antara Jawa Timur dan daerah lain. Namun, masih terdapat beberapa hambatan pada sistem logistik baik pada jaringan di dalam propinsi maupun antar propinsi. Hal ini dapat ditingkatkan dengan (i) mengurangi kepadatan (kemacetan) dan antrian di pelabuhan utama, (ii) meningkatkan efisiensi layanan truk dan pengiriman barang, dan (iii) meningkatkan konektivitas darat antara kawasan industri dan pelabuhan utama. 10. Mendukung integrasi antara daerah-daerah maju dan daerah-daerah tertinggal dengan cara (i) mengembangkan suatu program pembangunan bersifat umum yang netral spasial seperti misalnya investasi sumber daya manusia di sektor pendidikan dan kesehatan yang memungkinkan penduduk daerah tertinggal untuk bergerak kearah pemanfaatan peluang ekonomi yang lebih baik, (ii) mengembangkan infrastruktur penghubung spasial untuk meningkatkan arus barang, orang, perdagangan, dan informasi ke pusat-pusat ekonomi. Pembangunan Jembatan Suramadu merupakan salah satu contoh yang baik dari infrastruktur yang menghubungkan daerah-daerah tertinggal di Pulau Madura dengan pusat ekonomi di Surabaya dan sekitarnya. 6 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 1. Pendahuluan DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 7 Pendahuluan 1.1. Latar belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dengan PDB per kapita sebesar Rp 16,7 juta (nominal) di tahun 2008. Provinsi ini ditempati oleh 16 persen penduduk Indonesia dan hampir 50 persen penduduknya tinggal di wilayah perkotaan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi ini mencapai 5,2 persen antara tahun 2001 dan 2009, setara dengan tingkat pertumbuhan rata-rata nasional. Jawa Timur menyumbang sekitar 15 persen dari keseluruhan perekonomian Indonesia, terbesar kedua setelah DKI Jakarta yang merupakan ibukota negara. Perekonomian provinsi ini secara garis besar bergantung pada sektor manufaktur, perdagangan, dan pertanian, yang menyumbangkan 74 persen dari perekonomian Jawa Timur. Ketersediaan tenaga kerja dan kondisi infrastruktur fisik di Jawa Timur relatif baik.1 Provinsi ini memiliki upah minimum terendah di Indonesia yaitu sebesar Rp 570.000 per bulan pada tahun 2009. Upah rata-rata per bulan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, kecuali Jawa Tengah. Beberapa indikator menunjukkan bahwa infrastruktur di Jawa Timur berada pada tahap yang sama seperti di DKI Jakarta, Jawa Barat atau Banten, yang dianggap cukup maju dalam hal fasilitas infrastruktur di Indonesia. Hampir semua rumah tangga di Jawa Timur sudah memiliki sambungan listrik (97 persen), serupa dengan Jawa Barat (97 persen) serta sedikit di bawah DKI Jakarta (99 persen). Jawa Timur juga memiliki persentase yang lebih tinggi untuk kondisi jalan yang baik (33 persen) dibandingkan dengan Jawa Barat (17 persen) dan Banten (24 persen). Terlepas dari jumlah penduduk yang besar, perekonomian yang kuat, dan infrastruktur yang baik, Jawa Timur masih belum dipandang secara luas sebagai poros pertumbuhan perekonomian daerah seperti halnya DKI Jakarta. Meskipun pertumbuhan ekonominya cukup baik selama lima tahun terakhir dengan kisaran 5,8-6,1 persen, angka tersebut masih di bawah tingkat sebelum krisis yang rata-rata sebesar 8,3 persen selama periode 1990-1996. Investasi di Jawa Timur juga masih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Investasi hanya menyumbangkan 18 persen terhadap PDB Jawa Timur, sementaraI investasi menyumbang sekitar 25 persen terhadap total PDB Indonesia. Investasi swasta, yang penting untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan, masih rendah di Jawa Timur. Sekitar 61 persen investasi swasta di Indonesia terkonsentrasi di DKI Jakarta dan Banten, diikuti oleh 15 persen di Jawa Barat. Sebagai perbandingan, hanya 5 persen dari total investasi swasta tersebut diinvestasikan di Jawa Timur. Selain itu, tren kemiskinan dan lapangan kerja di Jawa Timur menunjukkan bahwa hasil dari pertumbuhan ekonomi perlu lebih jauh menjangkau masyarakat miskin. Sebagai contoh, meskipun tingkat kemiskinan secara umum menurun, pada tahun 2009 angka kemiskinan di Jawa Timur masih sebesar 16,7 persen, di atas rata-rata nasional sebesar 14,1 persen dan jauh lebih tinggi dari DKI Jakarta (3,6 persen) atau Banten (7,6 persen). Tingkat pengangguran di Jawa Timur juga meningkat pesat selama krisis ekonomi Asia sejak tahun 1997 dan sampai saat ini belum pulih ke tingkat sebelum krisis. Tingkat pengangguran di tahun 2009 adalah sebesar 6 persen, dibandingkan dengan hanya 3 persen sebelum tahun 1997. Pada kelompok penduduk yang bekerja, masih terdapat angka setengah-pengangguran yang tinggi dan sebagian besar tenaga kerja terserap di sektor pertanian, yang merupakan sektor dengan produktivitas paling rendah di provinsi tersebut. 1 Lihat laporan KPPOD, Asia Foundation, dan USAID (2008) berjudul "Local Economic Governance in Indonesia: A Survey of Businesses in 243 Regencies/Cities in Indonesia". Jakarta. 8 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Berkaitan dengan hal tesebut, penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami faktor- faktor pendukung dan penghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur, yang merupakan salah satu daerah yang paling dinamis serta memiliki posisi penting secara ekonomi di Indonesia dengan ibukota provinsi yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Studi ini mencoba untuk lebih memahami faktor apa saja yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi di Jawa Timur. Diharapkan melalui kajian ini dukungan dan masukan dapat diberikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten agar dapat meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah ada kendala yang terkait dengan pendanaan atau dari faktor pengembalian investasi itu sendiri yang menghambat Jawa Timur sehingga sulit mencapai investasi dan pertumbuhan yang lebih tinggi. Studi ini juga berupaya untuk mengatasi masalah dalam pertumbuhan ekonomi dalam kerangka luas antar sektor dan inklusif menjangkau sebagian besar tenaga kerja dan masyarakat miskin di wilayah ini. Temuan kajian ini akan menjadi masukan juga bagi pemerintah pusat untuk berinteraksi dalam pembangunan ekonomi di tingkat daerah, selain menjadi bagian yang lebih luas untuk perencanaan pembangunan daerah di Indonesia. Hasil temuan tidak hanya akan berguna bagi Jawa Timur, tetapi juga untuk daerah lain di Indonesia yang belum memaksimalkan potensi mereka menjadi poros pertumbuhan regional. 1.2. Kerangka diagnosa pertumbuhan ekonomi yang inklusif Kajian diagnosa pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur ini akan lebih melihat pada kendala yang menghambat masyarakat miskin dan mayoritas angkatan kerja untuk berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Inklusivitas tersebut lebih mengacu pada kesetaraan peluang yang mereka miliki dalam hal akses kepada pasar, sumber daya, dan lingkungan peraturan yang tidak bias bagi kalangan bisnis dan individu. Laporan Bank Dunia (2008) menyatakan bahwa analisa pertumbuhan ekonomi yang inklusif berfokus pada cara-cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan dengan memanfaatkan atau mendayagunakan bagian dari angkatan kerja yang masih terperangkap dalam kegiatan produktivitas rendah atau sama sekali tidak diikutsertakan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Konsep tersebut menekankan pada penciptaan lapangan pekerjaan yang produktif yang mencakup baik `pertumbuhan peluang kerja' untuk menghasilkan pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan bagi para individu tersebut dan juga `pertumbuhan produktivitas' yang dapat meningkatkan upah para pekerja itu serta tingkat pengembalian bagi para wirausahawan. Hal tersebut mencakup kajian untuk melihat tingkat kelayakan seorang individu untuk dipekerjakan (employability), serta peluang yang tersedia bagi mereka untuk dipekerjakan. Penilaian kelayakan kerja individu seperti itu membutuhkan suatu analisis modal manusia (dalam hal pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk memperoleh keterampilan dan kemampuan mereka untuk mengakses pasar tenaga kerja di mana mereka bisa mendapatkan penghasilan menggunakan keahlian mereka. Sedangkan penilaian atas kesempatan kerja dilakukan melalui studi yang sifatnya lebih klasik terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pada pertumbuhan sektor swasta yang dapat menawarkan kesempatan kerja. Dengan demikian, mempelajari pertumbuhan ekonomi yang inklusif berarti melihat kemampuan individu untuk dapat secara produktif dipekerjakan (sisi penawaran angkatan kerja) dan kesempatan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sepenuhnya sumber daya yang tersedia pada saat kondisi ekonomi semakin berkembang dari waktu ke waktu dari perspektif lingkungan bisnis (sisi permintaan angkatan kerja). DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 9 Pendahuluan Analisis dari perspektif lingkungan bisnis akan dilakukan mengikuti kerangka diagnostik pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik dan Velasco (HRV, th 2005). Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemungkinan terdapat banyak alasan mengapa ekonomi tidak tumbuh, tapi masing-masing alasan itu menghasilkan satu kumpulan gejala yang sifatnya khas. Gejala-gejala tersebut bisa menjadi dasar atas berbagai macam diagnostik di mana kemudian analis mencoba untuk membedakan diantara penjelasan-penjelasan tersebut mana yang lebih berpotensi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi yang diamati. Pendekatan ini mengakui pentingnya peran sektor swasta bagi pertumbuhan ekonomi. Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktivitas dan berinvestasi dalam industri tradisional dan non-tradisional, yang pada akhirnya membentuk dan memperkuat sektor produktif menuju ke arah ekonomi yang modern. Pendekatan ini mengakui fakta bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik terbatas, yang mana membatasi mereka untuk dapat menjalankan suatu reformasi total, dan karenanya diperlukan suatu strategi kebijakan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, pembuat kebijakan lebih baik diarahkan untuk mengatasi hambatan-hambatan utama daripada mencoba mencapai terlalu banyak target sekaligus. Diperlukan suatu pertimbangan prioritas untuk membuat strategi pertumbuhan berfungsi dengan baik. Diagnostik pertumbuhan menyediakan suatu strategi yang bertujuan mengidentifikasi kendala mana yang sifatnya paling mengikat pada kegiatan ekonomi dan kemudian membuat seperangkat kebijakan yang mana bila diarahkan pada kendala-kendala tersebut pada satu waktu tertentu akan paling memungkinkan untuk memberikan dampak terbesar pada reformasi tersebut.2 Tidak ada metode kuantitatif yang bisa dipakai untuk menilai tingkat pengikatan atas kendala-kendala yang mempunyai potensi tersebut, namun kombinasi dari analisis ekonomi dan pengetahuan tentang situasi ekonomi di daerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi kendala mana yang paling mengikat. Pemahaman tentang konteks sosial-politik lokal juga dapat membantu dalam menetapkan prioritas rekomendasi untuk reformasi. Hal tersebut akan menjadi sebuah tantangan karena kajian ini perlu memahami bentuk reformasi mana yang kemungkinan akan paling berhasil untuk mengembangkan dan menumbuhkan sektor swasta. Gambar 1.1: Kerangka analisis pertumbuhan ekonomi yang inklusif Meningkatnya Penghasilan Penanggulangan Pertumbuhan melalui Tenaga Kerja yang Kemiskinan Ekonomi Produktif Usaha Sendiri Pekerja upah Analisis Lingkungan bisnis Analisis kelayakan kerja Sumber: Elena Ianchovichina dan Susanna Lundstrom pada "Inclusive Growth Analytics" (2009). 2 Pendekatan ini didasarkan pada argumen bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan sifatnya adalah komplemen (saling melengkapi) bukan substitusi. Jadi, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki efek yang sama pada pertumbuhan, karena beberapa faktor pertumbuhan lebih terbelakang daripada yang lain. Kendala yang dianggap paling menghambat pertumbuhan adalah faktor penentu yang pertumbuhannya paling terbelakang. Jika kendala dan hambatan ini direnggangkan (diuraikan), maka akan dihasilkan suatu dampak positif tertinggi yang langsung kena dan mendorong kinerja pertumbuhan. 10 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 1.2 : Lingkungan bisnis (Kerangka HRV) Permasalahan: Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha Rendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi Biaya keuangan yang besar Rendahnya Keuangan lokal Rendahnya pendapatan sosial Rendahnya appropriability yang kurang baik tabungan domestik & Keuangan internasional yang kurang baik Kegagalan Kegagalan pasar pemerintah Rendahnya kompetisi Geografis Buruknya Bagian Bagian yang tidak baik infrastruktur luar informasi: luar koordinasi "self-discovery" Biaya besar Resiko besar Rendahnya SDM Resiko Mikro: Resiko Makro: Hak bangunan, Keuangan, Moneter, Korupsi, Perpajakan Ketidakstabilan Fiskal Sumber: Hausmann, Rodric dan Velasco (2005). Analisis HRV mengikuti suatu pendekatan yang sistematis untuk mengidentifikasi hal- hal yang dianggap menghambat pertumbuhan dan investasi dengan menggunakan pertumbuhan pohon diagnostik (lihat Gambar 1.2). Analisis HRV ini dimulai dari bagian atas pohon dan kemudian terus ke bawah, berupaya untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang menghambat investasi sektor swasta pada setiap tahapnya. Setiap cabang mewakili gejala potensial atau `penyakit' ekonomi yang dapat menjelaskan rendahnya tingkat investasi swasta dan kewirausahaan. Analisa ini juga mempertanyakan apakah kendala yang mengikat disebabkan oleh rendahnya tingkat pengembalian investasi untuk kegiatan ekonomi atau tingginya biaya keuangan. Jika kendala yang mengikat adalah tingkat keuntungan yang rendah, apakah tingkat pengembalian sosial penyebabnya? (karena kurangnya faktor pelengkap seperti aspek geografis yang baik, modal manusia atau infrastruktur) atau kesulitan pihak swasta untuk memastikan adanya nilai keuntungan kembali dari investasi (akibat kegagalan pemerintah atau pasar)? Jika masalahnya terletak di tingginya biaya kredit perbankan, apakah itu karena tabungan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk dimana fungsi intermediasi tidak berjalan efisien? Untuk mengidentifikasi kendala paling mengikat itu, maka kita harus melalui proses yang iteratif: diagnostik pertumbuhan itu sendiri. Kajian diagnostik pertumbuhan Jawa Timur secara inklusif ini mengeksplorasi analisis kelayakan dipekerjakan (employability) yang akan menjelaskan sumber daya individu- individu serta hambatan dari dalam lingkungan bisnis. Pohon diagnostik akan dibahas dari sudut pandang perusahaan atau investor, sedangkan pendekatan kelayakan pekerja akan melihat masalah dari sudut pandang pendidikan individu dan kondisi kesehatan yang mereka bawa ke pekerjaan. Analisis hambatan yang dihadapi angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja akan dilengkapi dengan analisis kendala dari dalam sektor itu sendiri untuk menyediakan akses terhadap pekerjaan yang produktif. Analisis semacam itu perlu membedakan pekerjaan berdasarkan karakteristik sektor, pedesaan/perkotaan, formal/informal dan, dan karakteristik-karakteristik lainnya yang relevan serta meninjau kendala yang mempengaruhi mobilitas angkatan kerja lintas sektor dan daerah, kendala pasar angkatan kerja, serta akses terhadap pendidikan, keuangan, dan infrastruktur. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 11 Pendahuluan Penelitian ini menggunakan sumber data kuantitatif dan kualitatif untuk mengidentifikasi kendala yang menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam hal data kuantitatif, penelitian ini bergantung pada data standar yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sumber untuk sebagian besar indikator ekonomi makro, keuangan, dan sosial. Data khusus mengenai akun daerah, kredit, tabungan, suku bunga, perbankan, kondisi geografis, tingkat kemiskinan, tata pemerintahan, infrastruktur, dan modal manusia serta data pada tingkat mikro seperti data konsumsi rumah tangga, survei pasar angkatan kerja, survei industri, survei pertanian, dan survei desa juga digunakan untuk melakukan analisis ini. Penelitian ini juga menggunakan dataset khusus tentang tata kelola ekonomi daerah di Indonesia yang berasal dari dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan survei oleh The Asia Foundation (2007), yang berisi informasi pada tingkat perusahaan dan persepsi mereka tentang lingkungan bisnis di Indonesia. Data kualitatif yang digunakan bersumber dari survei lapangan yang dilakukan oleh Regional Economic Development Institute (REDI). Survei ini dilakukan melalui wawancara mendalam dengan responden kunci, misalnya para pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten, sektor swasta, pejabat bank, dan badan usaha milik negara di Jawa Timur. 1.3. Susunan laporan ini Laporan ini disusun dalam lima bab. Setelah pendahuluan, Bab 2 akan memberikan gambaran umum tentang pola pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, membahas faktor pendorong pertumbuhan termasuk investasi, dimensi tata ruang, dan secara singkat menilai kemajuan penanggulangan kemiskinan dan profil masyarakat miskin di Jawa Timur yang mencakup uraian mengenai tenaga kerja, produktivitas, serta kegiatan yang menghasilkan pendapatan yang dibedakan menurut sektor, jenis, distribusi pendapatan, dan wilayah geografis. Bab 3 menguraikan hambatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur menggunakan analisis kelayakan dipekerjakan (employability) yang menilai kapasitas modal manusia dan kerangka lingkungan bisnis dengan cara mengeksplorasi tiga faktor penentu utama investasi dan pertumbuhan yang bisa bertindak sebagai kendala, yaitu: biaya pendanaan, pengembalian sosial atas investasi, dan kemampuan memperoleh tingkat pengembalian investasi. Bab 4 menilai isu dalam tiga sektor ekonomi utama di Jawa Timur, yaitu pertanian, manufaktur, serta perdagangan, restoran dan hotel. Akhirnya, Bab 5 merangkum semua temuan dan memberikan beberapa rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil temuan tersebut. 12 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 2. Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 13 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur 2.1. Kinerja ekonomi Jawa Timur Produk domestik bruto (PDB) Jawa Timur meningkat hampir tiga kali lipat antara tahun 1984 dan 2009 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 4,7 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi di daerah ini berada di atas tingkat nasional pada pertengahan 1980-an dan di bawah tingkat nasional ketika ekonomi mengalami kontraksi di akhir 1980-an.3 Jawa Timur menikmati tingkat pertumbuhan yang tinggi dan relatif stabil berkisar antara 7 sampai 10 persen pada awal dan pertengahan 1990-an sampai krisis keuangan Asia terjadi pada tahun 1997, yang menyebabkan penurunan tajam atas pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Kinerja ekonomi Jawa Timur mulai pulih pada tahun 2000 dan telah meningkat perlahan sejak saat itu dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 5,2 persen. Laju pertumbuhan Jawa Timur masih di atas DKI Jakarta dan Jawa Barat pada tahun 2004 dan relatif sama dengan kedua provinsi itu antara tahun 2005 dan 2008. Tingkat pertumbuhan juga setara dengan nasional sejak krisis ekonomi, meskipun masih belum kembali ke tingkat sebelum krisis. Gambar 2.1: Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 20 15 10 5 Persen 0 -5 -10 -15 -20 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tingkat pertumbuhan riil Jawa Timur Tingkat pertumbuhan per kapita Jawa Timur Indonesia Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Gambar 2.2: Pertumbuhan ekonomi di berbagai provinsi lain di pulau Jawa 7 6 5 4 Persen 3 2 1 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 DKI jakarta Jawa Barat Jawa Timur Nasional Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. 3 Beberapa kontraksi yang terjadi di perekonomian Jawa Timur pada periode 1980-an sebagian besar mengikuti tren pertumbuhan nasional pada periode yang sama. Hal Hill (1996) mengindikasikan bahwa penurunan ekonomi Indonesia pada periode tersebut disebabkan oleh kombinasi turunnya harga minyak dan meningkatnya utang luar negeri yang jatuh tempo pada saat itu. Kondisi secara keseluruhan mengakibatkan menurunnya tingkat pertumbuhan yang mana mulai pulih kembali pada awal 1990-an. Pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional diikuti oleh daerah-daerah termasuk Jawa Timur sampai dengan tahun 1997 dimana krisis keuangan menghantam Indonesia. 14 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Pendapatan per kapita Jawa Timur secara konsisten berada pada posisi tertinggi kedua di Jawa dan di antara sepuluh besar di Indonesia. Pertumbuhan penduduk di Jawa Timur telah meningkat rata-rata 0,8 persen per tahun dari 29,3 juta orang pada tahuan 1980 ke 37,1 juta orang pada tahun 2008. Dalam periode yang sama PDB per kapita Jawa Timur telah meningkat hampir 400 persen atau rata-rata 5,0 persen per tahun dari Rp 2,2 juta pada tahun 1980 menjadi Rp 8,2 juta pada tahun 2008, secara riil. PDB per kapita Jawa Timur adalah tertinggi kedua di Jawa setelah Jakarta, yang memiliki PDB per kapita empat kali lebih tinggi dibandingkan Jawa Timur dengan Rp 38,6 juta pada tahun 2008 dan pertumbuhan tahunan rata-rata 6,5 persen. Untuk Jawa Timur mencapai tingkat PDB per kapita seperti DKI Jakarta, tingkat pertumbuhan perlu didorong lebih tinggi dan dipertahankan sebesar 10 persen selama 15 tahun ke depan. Tabel 2.1: PDB per kapita Jawa Timur vs. provinsi lain di Indonesia 1984 1994 2008 Jawa Timur 3.093.726 5.614.056 8.216.757 DKI Jakarta 13.483.764 23.840.070 38.654.201 Banten - - 7.168.067 Jawa Barat 2.938.746 5.276.835 7.091.476 Jawa Tengah 1.625.897 3.460.403 5.142.779 DI Yogyakarta 2.279.718 4.153.028 5.538.111 Sumatera Utara 2.591.355 5.246.510 8.140.616 Sulawesi Utara 1.968.514 3.296.961 5.707.857 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. PDB per kapita Jawa Timur tumbuh relatif lebih lamban dibandingkan dengan beberapa daerah di Asia Timur yang dikenal sebagai pusat ekonomi di negara mereka. Jawa Timur dengan ibukotanya yaitu Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, diharapkan dapat menjadi suatu pusat pertumbuhan di Indonesia. Dengan demikian ekonominya akan dapat dibandingkan dengan tempat-tempat seperti Shanghai, Mumbai, Beijing, New Delhi atau Bangkok, yang secara luas diakui sebagai pusat ekonomi di negara mereka sendiri. Pada tahun 1985, PDB per kapita Jawa Timur masih dalam tingkat yang sama dengan kota-kota tersebut , kecuali Bangkok. Pada tahun 1990, akan tetapi, PDB per kapita di Beijing dan Shanghai melebihi Jawa Timur dan dua provinsi di India. Sepanjang sisa dekade tersebut, PDB per kapita dari New Delhi juga melampaui Jawa Timur. Pada tahun 2008, PDB per kapita di Bangkok, Beijing dan Shanghai adalah sekitar 5 sampai 6 kali lebih tinggi daripada di Jawa Timur. PDB per kapita Jawa Timur sebesar USD 1.717 sedikit lebih rendah daripada New Delhi (USD 1973) dan di atas Mumbai (USD 1.265). Gambar 2.3: PDB per kapita Jawa Timur vs. beberapa provinsi yang terkenal di Asia Timur 12.000 10.000 PDB per kapita (USD) 8.000 Jawa Timur Beijing 6.000 Shanghai Mumbai 4.000 New Delhi 2.000 Bangkok 0 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Sumber: Jawa Timur: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS; Beijing: Beijing statistical year and CEIC; Shanghai: CEIC; Mumbai and Delhi: Directorate of Economic and Statistic and CEIC; Bangkok: Office of the National Economic and Social Development Board. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 15 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Di dalam negeri, kontribusi Jawa Timur terhadap PDB Indonesia secara keseluruhan telah menurun. Antara tahun 1976 dan 1983, proporsi PDB Jawa Timur dari total nasional PDB lebih tinggi daripada provinsi lainnya di Indonesia, dengan rata-rata 16,1 persen dari total nasional PDB selama periode ini. DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang juga merupakan pusat ekonomi di Indonesia, sebagai perbandingan hanya menyumbang masing-masing sekitar 14,0 dan 14,8 persen dari total nasional PDB. Pada pertengahan 1980-an, akan tetapi, baik DKI Jakarta dan Jawa Barat melampaui Jawa Timur dalam hal kontribusinya ke perekonomian Indonesia. Selama periode antara tahun 1992 dan 1999, kontribusi Jawa Timur terhadap total national PDB masih sekitar 16,1 persen, sementara Jawa Barat telah meningkat menjadi 17,4 persen dan Jakarta meningkat menjadi 18,2 persen. Besarnya investasi domestik dan asing di DKI Jakarta dan Jawa Barat, diikuti dengan pesatnya perkembangan sarana dan prasarana membuat kedua provinsi tumbuh lebih cepat dari Jawa Timur. Pemekaran Jawa Barat menjadi dua provinsi (Jawa Barat dan Banten) pada tahun 2000 telah menempatkan Jawa Timur kembali ke posisi kontributor tertinggi kedua, meskipun dengan pangsa menurun dibandingkan dengan periode 1990-an.4 Secara rata-rata pencapaian Jawa Timur mengalami penurunan dari 16,1 persen pada 1990 menjadi 15,1 persen di tahun 2000-an. Gambar 2.4: PDB Regional dibandingkan keseluruhan PDB nasional, 1976-2008 20 18 16 14 12 Persen 10 1976-1983 8 1984-1991 6 1992-1999 2000-2008 4 2 0 Sumatera Barat Papua Barat DI Yogyakarta Sulawesi Utara Aceh Jawa Tengah Gorontalo Kalimatan Barat Papua Sulawesi Barat Kep Bangka Belitung Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Maluku Utara Jambi Sulawesi Tenggara Jawa Timur Bali Riau NTB Lampung Maluku NTT Jakarta Sumatra Selatan Kep. Riau Sumatra Utara Bengkulu Banten Jawa Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Transisi perekonomian di Jawa Timur dari ekonomi yang sangat bergantung pada pertanian ke ekonomi yang mengarah ke manufaktur terjadi pada periode 1975 sampai 1995, walaupun prosesnya terlihat melambat setelah itu. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Timur menurun dari 43 persen pada tahun 1975 menjadi 17 persen pada tahun 1995, sedangkan kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian meningkat dari 12 persen menjadi 28 persen pada periode waktu yang sama. Kontraksi di sektor pertanian dan perluasan di sektor manufaktur terjadi secara konsisten dengan proses industrialisasi yang saat itu berlangsung di seluruh Indonesia. Momentum perubahan struktur ekonomi di Jawa Timur ini akan tetapi tidak berkelanjutan. Sejak 4 Jika Banten dianggap masih bagian dari Jawa Barat selama periode tahun 2000-2008, maka bagian Jawa Barat masih lebih besar daripada Jawa Timur, menempatkan Jawa Timur pada posisi ke-3 dengan rata-rata 15.1 persen, di bawah Jawa Barat dan DKI Jakarta yang rata-ratanya masing-masing 17.8 dan 17.3 persen. 16 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR tahun 1995, proporsi sektor manufaktur dan pertanian ke perekonomian terlihat bergerak relatif konstan. Di lain sisi sektor perdagangan, hotel, dan restoran telah meningkat secara perlahan dan pada tahun 2009, menjadi sektor terbesar di Jawa Timur. Tabel 2.2: Kontribusi sektoral terhadap PDB Jawa Timur, 1975-2008 (%) 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009 Pertanian 42,9 37,7 30,7 25,5 16,9 19,7 17,2 16,4 Industri 12,6 16,4 22,9 27,0 36,9 35,9 35,6 35,4 Pertambangan & penggalian 0,2 0,4 0,5 0,6 1,8 2,1 2,0 2,2 Manufaktur 11,7 15,1 16,8 21,0 28,4 29,8 30,0 28,0 Listrik, gas dan air 0,4 0,5 0,9 1,0 1,8 1,5 1,9 1,8 Konstruksi 0,7 0,9 5,6 5,4 6,7 4,0 3,6 3,4 Jasa 44,5 46,0 46,4 47,6 46,0 44,3 47,1 48,2 Perdagangan, hotel & restoran 20,7 23,7 19,6 22,6 21,0 24,4 27,2 29,4 Perhubungan & komunikasi 6,3 5,9 6,9 6,1 6,2 5,2 5,5 5,7 Keuangan 3,7 3,1 4,8 6,1 6,7 4,6 4,5 4,8 Jasa lainnya 13,4 12,8 14,2 11,8 10,3 8,6 8,0 8,3 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Gambar 2.5: Kontribusi sektoral Indonesia vs. Jawa Timur Indonesia 60 50 40 Persen 30 20 10 0 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009 Pertanian Manufaktur Jasa Jawa Timur 60 50 40 Persen 30 20 10 0 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009 Pertanian Manufaktur Jasa Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan WDI Bank Dunia. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 17 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Semua sektor-sektor utama di Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang moderat di awal 2000-an ketika ekonomi mulai pulih dari krisis keuangan tahun 1997. Tingkat pertumbuhan sektor pertanian, industri, dan jasa, berfluktuasi secara signifikan antara tahun 1977 dan 1987, sebelum menjadi relatif lebih stabil (meskipun sedikit menurun) pada tahun 1997. Semua sektor mengalami penurunan tingkat pertumbuhan selama krisis keuangan, dengan penurunan yang lebih besar terlihat pada sektor industri dan jasa dibandingkan dengan sektor pertanian. Dari tahun 2000, tingkat pertumbuhan mulai pulih untuk sektor-sektor ini dan meningkat secara stabil. Gambar 2.6: Pertumbuhan sektoral di Jawa Timur, 1977-2008 50 40 30 20 Persen 10 0 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1993 1994 1995 1996 1998 1999 2000 2002 2003 2004 2006 2007 2008 1992 1997 2001 2005 2009 -10 -20 -30 Pertanian Manufaktur Jasa Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Secara umum, sektor pertanian di Jawa Timur mengalami tingkat pertumbuhan paling lambat, dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Pertumbuhan sektor pertanian cukup tinggi pada tahun 1980 menyusul peningkatan pesat dalam produksi padi, jagung, dan ketela. Pengecualian terjadi pada tahun 1983 ketika terdapat serangan parah wereng coklat yang mengakibatkan menurunnya panen padi tahun itu.5 Selama krisis keuangan tahun 1997, sektor pertanian di Jawa Timur termasuk dalam sektor yang terkena dampak paling sedikit dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Sektor ini dipandang sebagai jaring pengaman tidak hanya bagi Jawa Timur tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan selain juga karena mayoritas dari tenaga kerja terserap di sektor ini.6 Pemulihan pertumbuhan di sektor pertanian mulai kembali terjadi pada tahun 1999, meskipun dengan gerak yang lebih lambat dibandingkan sektor lain. Walaupun demikian, dengan pertumbuhan yang rendah, sektor pertanian tetap memainkan peranan penting untuk daerah tersebut dan juga secara nasional karena Jawa Timur merupakan salah satu lumbung beras utama bangsa dimana sebagian besar lahan ditanami dengan tanaman pangan, khususnya padi.7 Sejak krisis keuangan tahun 1997, pertumbuhan sektor industri terus menurun, terlampaui oleh sektor jasa yang menjadi penyumbang terbesar PDB Jawa Timur. Sektor industri di Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh sub-sektor manufaktur dengan pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan pada pertengahan 1970-an. Pertumbuhan di bidang manufaktur dipimpin oleh perusahaan skala besar dan menengah yang membawa nilai-tambah terbesar untuk sektor ini. Namun demikian, dalam hal penyerapan tenaga kerja, sebagian besar terjadi pada usaha manufaktur mikro dan kecil yang mana berkontribusi jauh lebih kecil terhadap penciptaan nilai- 5 Lihat Mackie Jamie berjudul `The East Java Economy: From Dualism to Balanced Development" in South-East Asian Social Science Monographs on Balanced Development, 1993. 6 Lihat ADB, ILO, IDB on "Indonesia Growth Diagnostic', 2010. 7 Lihat publikasi Bank Dunia and Asia Foundation berjudul `Improving Business Environment in East Java', 2004. 18 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR tambah. Sub-sektor manufaktur secara geografis cukup terkonsentrasi, dengan mayoritas industri terletak di dekat Surabaya (Gresik, Pasuruan, Mojokerto, dan Sidoarjo). Sektor industri adalah yang paling terpukul dan menderita akibat krisis keuangan dan sampai saat ini belum pulih kembali ke tingkat sebelum krisis. Walaupun demikian, sektor ini tetap sangat penting dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian Jawa Timur, khususnya sub-sektor manufaktur dengan kontribusi yang hampir sepertiga dari PDB provinsi ini. Sektor jasa telah menunjukkan tingkat pertumbuhan tertinggi di Jawa Timur selama dekade terakhir. Meskipun krisis ekonomi pada tahun 1997 berdampak cukup signifikan pada sektor jasa, sektor ini bangkit lebih cepat dari sektor-sektor lainnya dan telah pulih kembali ke tingkat sebelum krisis. Sektor jasa didominasi oleh sub-sektor hotel, perdagangan dan restoran. Dalam sub- sektor ini, nilai terbesar berasal dari perdagangan. Pertumbuhan pesat di sektor ini kemungkinan dikarenakan hambatan masuk yang relatif rendah, serta membutuhkan modal yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sub-sektor manufaktur. Sebagian besar pertumbuhan di sektor ini berlokasi di kawasan perkotaan seperti Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan, dan Probolinggo. Selama dekade terakhir, pesatnya pembangunan pusat perbelanjaan dan rumah toko sebagai tempat perdagangan tampak jelas di kota-kota besar, khususnya di Surabaya. Konsentrasi sektor jasa di perkotaan dapat disebabkan oleh beberapa faktor termasuk, permintaan yang tinggi karena konsentrasi penduduk yang tinggi, fasilitas infrastruktur yang lebih baik di kawasan perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan, dan akses yang lebih baik ke sumber daya keuangan. Peranan sub-sektor perdagangan penting dalam mendorong perkembangan sektor- sektor yang lain.8 Meningkatnya sektor perdagangan sejalan dengan peningkatan pangsa konsumsi swasta terhadap PDB. Susunan PDB berdasarkan penggunaan di Jawa Timur relatif sama dengan Indonesia secara keseluruhan. Kontribusi konsumsi swasta terhadap PDB di Jawa Timur rata-rata sekitar 59,5 persen selama pertengahan hingga akhir periode 1980-an dan sedikit menurun menjadi 57,0 persen pada semester pertama tahun 1990-an. Kontribusi konsumsi menunjukkan tren yang terus meningkat sejak saat itu, bersamaan dengan saat kontribusi perdagangan terhadap perekonomian juga mulai meningkat, dan mencapai 63,5 persen selama periode 2005-2008. Tabel 2.3: Rata-rata kontribusi PDB berdasarkan penggunaan di Jawa Timur dan Indonesia, 1985-2008 1985-1989 1990-1994 1995-1999 2000-2004 2005-2008 Jawa Timur Belanja/konsumsi swasta 59,5 57,0 60,7 68,6 63,5 Belanja/konsumsi pemerintah 11,6 9,8 6,3 6,5 6,7 Pembentukan modal tetap 19,6 24,5 23,6 18,6 17,7 domestik bruto Net ekspor 4,6 2,4 3,7 0,9 1,4 Indonesia Belanja/konsumsi swasta 58,9 58,7 65,5 65,5 62,8 Belanja/konsumsi pemerintah 9,7 8,6 6,9 7,4 8,4 Pembentukan modal tetap 24,6 27,0 26,4 20,2 25,1 domestik bruto Net ekspor 2,1 2,1 3,1 7,4 3,7 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Catatan: Angka di tabel adalah dalam persen. Angka-angka tersebut merupakan rata-rata penggunaan pada masing-masing periode. 8 Lihat publikasi Bank Dunia and Asia Foundation berjudul `Improving Business Environment in East Java', 2004. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 19 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Sementara itu, proporsi investasi di Jawa Timur relatif konstan selama dekade terakhir dan secara konsisten tertinggal di belakang Jakarta, Banten dan rata-rata Indonesia. Tingkat investasi di Jawa Timur memang terus meningkat sejak awal 1990-an dan mencapai hampir 25 persen dari PDB Jawa Timur pada tahun 1995. Meskipun demikan, tingkat investasi mengalami penurunan akibat krisis keuangan tahun 1997 dan belum pulih ke tingkat sebelum krisis. Kontribusi investasi di Jawa Timur secara konsisten berada pada kisaran 18 sampai 19 persen terhadap PDB pada periode 2000 sampai 2007. Sebagai provinsi terbesar kedua, tingkat investasi secara keseluruhan di Jawa Timur juga selalu tertinggal dibandingkan DKI Jakarta, Banten, dan Indonesia secara keseluruhan. Pada tahun 2008, kontribusi investasi secara keseluruhan di DKI Jakarta dan Banten tercatat 36 persen dan 25 persen dari PDB masing-masing, sedangkan tingkat investasi di Jawa Timur hanya 17 persen, sedikit di bawah Jawa Barat di angka 18 persen. Gambar 2.7: Proporsi investasi pada beberapa provinsi di pulau Jawa (% dari PDB) 40 35 30 25 Jawa Timur Jawa Barat Persen 20 Jakarta 15 Banten 10 Indonesia 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS Catatan: Investasi adalah investasi keseluruhan dibawah pembentukan modal dalam negeri bruto. Sangat kecilnya proporsi investasi swasta di Jawa Timur merupakan salah satu faktor di balik stagnasi pembentukan modal di Jawa Timur. Menarik investasi swasta agar masuk ke Jawa Timur merupakan kunci untuk meningkatkan produktivitas dan modernisasi ekonomi di provinsi ini. Investasi swasta di Jawa Timur terus berfluktuasi dengan tingkat tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar Rp 17,2 triliun. Investasi swasta di Jawa Timur hampir setiap tahunnya tertinggal dibandingkan DKI Jakarta dan Jawa Barat, bahkan sudah dilampaui oleh Banten dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini juga tercermin dalam proporsi investasi swasta yang berlokasi di Jawa Timur terhadap total investasi swasta secara nasional. Pada tahun 2009, meskipun hampir 80 persen dari total investasi swasta terletak di Jawa, Jawa Timur hanya menerima 5 persen dari total investasi swasta secara nasional, jauh lebih rendah daripada provinsi lain di Jawa seperti Jakarta (48 persen), Jawa Barat (15 persen) dan Banten (13 persen). 20 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 2.8: Investasi swasta di beberapa provinsi di Jawa 100 90 80 70 60 Triliun 50 40 30 20 10 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur Jawa Barat Jakarta Banten Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BKPM. Catatan: Angka adalah harga konstan 2007=100 (Triliun Rupiah). Tabel 2.4: Investasi swasta di Indonesia sesuai provinsi (% dari total investasi swasta keseluruhan) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jakarta 27 25 48 28 29 22 36 60 48 Jawa Barat 16 45 20 24 24 27 18 18 15 Jawa Tengah 3 2 1 2 1 5 1 2 2 Jawa Timur 6 2 4 4 9 5 13 4 5 Banten 16 14 8 7 9 11 6 4 13 Lainnya 31 12 16 35 28 30 26 13 17 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BKPM. Porsi Jawa Timur terhadap total investasi asing di Indonesia adalah sangat kecil. Pada tahun 2009, investasi dalam negeri di Jawa Timur menyumbang sekitar 7,5 persen dari total investasi dalam negeri nasional, sedangkan investasi asing hanya menyumbang 0,1 persen dari total investasi swasta asing di Indonesia. Telah terjadi penurunan yang signifikan dalam jumlah investasi asing pada tahun 2008, secara riil berkurang dari Rp 15 triliun di tahun 2007 menjadi Rp 4 triliun di tahun 2008. Dari sisi investasi dalam negeri, penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2006, dari Rp 5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 0,5 triliun pada tahun 2006. Namun demikian, investasi dalam negeri sendiri telah meningkat sejak 2007 dan mencapai Rp 2 triliun pada tahun 2009 (secara riil). Dalam kedua hal yakni modal asing dan dalam negeri, kinerja Jawa Timur lebih buruk dibandingkan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pada tahun 2009, DKI Jakarta dan Jawa Barat menyumbang 28 dan 9 persen untuk investasi dalam negeri, dan 54 dan 16 persen dari total investasi asing, masing- masing. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 21 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Gambar 2.9: Proporsi realisasi investasi dalam negeri dan asing di Jawa Timur, 2009 (% terhadap total investasi swasta) Investasi Dalam Negeri Investasi Asing Jakarta Lainnya Lainnya 25,1% 28,2% 34,4% Banten Jakarta 3,7% 54,0% Jawa Barat Jawa Timur 8,7% 0,1% Jawa Barat Banten Jawa Tengah 16,4% 13,3% Jawa 0,6% Timur 7,5% Jawa Tengah 7,9% Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BKPM. 2.2. Pola spasial dalam pertumbuhan Kegiatan ekonomi di Jawa Timur sebagian besar terkonsentrasi di 5 dari 38 kabupaten/kota di provinsi ini. Kota Surabaya menyumbang sekitar 26 persen dari total PDB provinsi, dan kalau dikombinasikan dengan PDB dari Kab. Sidoarjo, Kota Kediri, Kab. Gresik, dan Kab. Malang, secara total mencapai sekitar 52 persen dari PDB Jawa Timur secara keseluruhan. Dari waktu ke waktu, kelima kabupaten itu telah secara konsisten memberikan kontribusi terbesar terhadap total PDB Jawa Timur. Peningkatan porsi PDB di kabupaten/kota tersebut terutama terlihat antara tahun 1984 dan 1996, sedangkan porsinya antara tahun 1996 dan 2008 relatif sama. Kelima kabupaten/ kota ini juga dikenal sebagai kawasan industri dan pusat kegiatan ekonomi di provinsi Jawa Timur. Sementara, 48 persen sisa dari total PDB di provinsi ini berasal dari gabungan 33 kabupaten/kota lainnya di provinsi ini. Gambar 2.10: Ukuran geografis aktual per kab/kota Sumber: Penghitungan staf BankDunia berdasarkan data BPS 22 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 2.11: Ukuran ekonominya (sebagaimana diukur dari PDB) Sumber: Penghitungan staf BankDunia berdasarkan data BPS Tabel 2.5: Perbandingan PDB kab/kota ke total PDB Jawa Timur, 1984-1996-2008 1984 1996 2008 1984 1996 2008 (%) (%) (%) (%) (%) (%) WILAYAH PUSAT 47 64 63 WILAYAH BARAT 27 19 19 Kab. Gresik 4 6 5 Kab. Blitar 2 2 2 Kab. Kediri 3 2 2 Kab. Bojonegoro 2 2 2 Kab. Malang 6 4 4 Kab. Jombang 2 2 2 Kab. Mojokerto 2 2 2 Kab. Lamongan 3 2 1 Kab. Pasuruan 5 3 2 Kab. Madiun 2 1 1 Kab. Sidoarjo 4 6 8 Kab. Magetan 2 1 1 Kota Kediri 5 9 9 Kab. Nganjuk 2 2 1 Kota Malang 4 4 4 Kab. Ngawi 2 1 1 Kota Mojokerto 0,5 0,3 0,4 Kab. Pacitan 1 1 0 Kota Pasuruan 0,7 0,5 0,4 Kab. Ponorogo 2 1 1 Kota Surabaya 13 26 26 Kab. Trenggalek 1 1 1 MADURA 6 5 4 Kab. Tuban 2 2 2 Kab. Bangkalan 2 1 1 Kab. Tulungagung 2 2 2 Kab. Pamekasan 1 1 1 Kota Blitar 0 0 0 Kab. Sampang 1 1 1 Kota Madiun 1 0 0 Kab. Sumenep 2 2 2 Kota Batu - - 0 WILAYAH TIMUR 20 13 13 TOTAL PDB semua kab/kota 100 100 100 di Jawa Timur Kab. Banyuwangi 4 3 3 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan Kab. Bondowoso 2 0 1 data BPS. Kab. Jember 6 4 3 Kab. Lumajang 3 2 2 Kab. Probolinggo 3 2 2 Kab. Situbondo 2 1 1 Kota Probolinggo 1 1 1 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 23 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Disparitas dalam hal PDB per kapita antar kabupaten/kota di Jawa Timur tinggi, dimana beberapa kabupaten/kota secara konsisten kaya, beberapa kabupaten/kota lain secara konsisten sangat miskin, dan beberapa kabupaten/kota tergeser mundur. Pada tahun 2008, PDB per kapita di tingkat kabupaten/kota di Jawa Timur berkisar antara Rp 2,2 juta di Kab. Pamekasan hingga Rp 79,9 juta di Kota Kediri. Kota Surabaya dan Kota Malang memiliki PDB per kapita terbesar kedua dan ketiga (setelah Kota Kediri) dengan Rp 27,3 juta dan Rp 14,8 juta. Dari kabupaten/kota di Jawa Timur, ada dua daerah yang secara konsisten dianggap sangat kaya di Jawa Timur, yaitu Kota Kediri dan Kota Surabaya. Kota Kediri lebih dikenal sebagai penghasil utama rokok (PT. Gudang Garam). Sekitar 16.000 orang di kota ini bekerja di industri rokok. Sebagai ibukota Jawa Timur, Kota Surabaya juga dikategorikan sebagai sangat kaya dengan kegiatan-kegiatan perdagangan besar yang terjadi di kota ini. Sebagian besar dari daerah kaya lainnya terletak di wilayah Tengah. Sebaliknya, Kab. Pacitan, Kab. Pamekasan, Kab. Sampang, dan Kab. Trenggalek secara konsisten dikategorikan sangat miskin dengan PDB per kapita berkisar Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Kabupaten/ kota dalam kategori ini terletak di bagian selatan provinsi dan di Pulau Madura (Madura juga memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Timur). Selain dua kategori itu, ada juga kabupaten yang mundur kondisinya seperti Kab. Lumajang, Kab. Mojokerto, dan Kab. Probolinggo. Gambar 2.12. PDB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur, 2008 Kota Kediri Kota Surabaya Kota Malang Kab. Sidoarjo Kab. Gresik Kota Mojokerto Kota Probolinggo Kab. Tulungagung Kab. Banyuwangi Kota Madiun Kab. Probolinggo Kota Pasuruan Kab. Tuban Kab. Lumajang Kab. Bojonegoro Kab. Malang Kab. Mojokerto Kota Blitar Kab. Situbondo Kab. Sumenep Kab. Blitar Kab. Magetan Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Jember Kab. Pasuruan Kab. Kediri Kab. Lamongan Kab. Madiun Kab. Ponorogo Kab. Ngawi Kab. Bangkalan Kab. Trenggalek Kab. Bondowoso Kab. Sampang Kab. Pacitan Kab. Pamekasan 0 10.000.000 20.000.000 30.000.000 40.000.000 50.000.000 60.000.000 70.000.000 80.000.000 90.000.000 2008 1996 1984 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Catatan: Angka dalam table adalah dalam Rupiah. Hanya terdapat sejumlah kecil kabupaten/kota yang secara konsisten tercatat memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dari rata-rata kabupaten/kota pada periode sebelum dan sesudah krisis keuangan. Kab. Gresik, Kab. Pasuruan, Kab. Sidoarjo, Kota Surabaya, dan Kab. Banyuwangi adalah daerah yang secara konsisten memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata kabupaten di provinsi ini secara keseluruhan. Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, dan Kota Surabaya merupakan pusat konsentrasi kegiatan ekonomi. Sebaliknya, Kab. Pacitan, Kab. Sumenep, dan Kab. Sampang secara konsisten tercatat memiliki laju pertumbuhan di bawah rata-rata semua kabupaten/kota. Dari daerah-daerah ini, kabupaten Pacitan dan Sampang juga dipandang sebagai kabupaten yang konsisten miskin dilihat dari PDB per kapita mereka yang rendah. 24 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 2.13. Pertumbuhan tahunan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Timur 35 30 1985-1996 25 2001-2008 20 Rata-rata kabupaten/kota Rata-rata kabupaten/kota Persen 1985-1996 2001-2008 15 10 5 0 Kab. Blitar Kota Blitar Kab. Kab. Mojokerto . Kab. Gresik Kota Mojokerto Kab. Kediri Kab. Madiun Kota Kediri Kab. Pacitan Kota Madiun Kab. Magetan Kab. Malang Kab. Pasuruan Kota Pasuruan Kab. Sidoarjo Kota Surabaya Kota Malang Kab. Jember Kab. Tuban Kab. Pamekasan Kab. Ngawi Kab. Sumenep Kab. Nganjuk Kab. Bojonegoro Kab. Bondowoso Kab. Bangkalan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Sampang Kab. Banyuwangi Kab. Situbondo Kab. Lumajang Kab. Lamongan Kab. Jombang Kab. Probolinggo Kota Probolinggo Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Pola spasial pertumbuhan di Jawa Timur menunjukkan adanya daerah yang unggul dan yang tertinggal. Kabupaten/kota yang unggul terletak di wilayah pusat Jawa Timur termasuk kawasan industri seperti Gresik, Kediri, Sidoarjo, dan Surabaya. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal yang ditandai dengan PDB per kapita yang rendah secara konsisten dari waktu ke waktu terletak di bagian selatan provinsi dan di Pulau Madura seperti Pacitan, Trenggalek, Pamekasan, dan Sampang. Dalam kasus Jawa Timur di mana hanya terdapat beberapa hambatan atas mobilitas tenaga kerja dan modal, pola ketidakseimbangan pertumbuhan tidak memerlukan intervensi khusus untuk memindahkan kegiatan ekonomi ke daerah-daerah tertinggal. Sebaliknya, pemerintah harus menerapkan program pembangunan spasial yang menyeluruh atau universal seperti memberikan akses yang lebih baik untuk kesehatan dan pendidikan sehingga memungkinkan masyarakat bergerak menuju peluang yang lebih baik, disamping juga mengembangkan infrastruktur penghubung secara spasial untuk meningkatkan arus barang, orang, dan informasi ke pusat-pusat perekonomian. 2.3. Tren kemiskinan Jawa Timur memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009, angka kemiskinan di Jawa Timur adalah 17 persen, menduduki peringkat sepuluh besar provinsi termiskin di Indonesia, berada di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional (14 persen) dan secara signifikan lebih tinggi dari DKI Jakarta (4 persen). Dalam angka absolut, nilai ini mewakili sekitar 6,2 juta orang di Jawa Timur yang hidup di bawah garis kemiskinan, lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Namun demikian, persentase penduduk miskin di Jawa Timur sudah menurun dari 23 persen di tahun 2000 menjadi 17 persen pada th 2009, walaupun terjadi kenaikan pada tahun 2002 dan 2006 akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tren kemiskinan di Jawa Timur sangat mirip dengan tingkat nasional, di mana tingkat kemiskinan berkurang sebesar 4 poin persentase pada periode yang sama. Sejak tahun 2002, pemerintah Jawa Timur melaksanakan program yang disebut Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Prioritas Program (Gerdu-Taskin) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan.9 Program ini melengkapi program pemerintah lainnya seperti Raskin, PKH, KUS, dan Jamkesmas. 9 Gerdu-Taskin bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui proses pendekatan berbasis masyarakat, termasuk Tridaya, atau pemberdayaan manusia, bisnis dan lingkungan, yang didukung oleh program pembangunan Zona Ekonomi dan program model pembangunan Perlindungan Desa dalam Gerdu-Taskin. Program ini didanai oleh pemerintah provinsi dan kabupaten, dengan perbandingan 3:7 dari keseluruhan dana. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 25 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Gambar 2.14: Tingkat kemiskinan di Jawa Timur, 2000-2009 25 20 15 Persen 10 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur Jakarta Nasional Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Sama halnya dengan kebanyakan provinsi di Indonesia, kemiskinan di Jawa Timur sebagian besar merupakan fenomena pedesaan. Selama dekade terakhir, angka kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Pada tahun 2002, rasio tingkat kemiskinan pedesaan terhadap perkotaan adalah 1,3 dengan 24 persen penduduk di daerah pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan 19 persen penduduk di wilayah perkotaan. Rasio masyarakat miskin pedesaan terhadap perkotaan meningkat ke 1,7 pada tahun 2009. Walaupun demikian angka kemiskinan baik di kawasan perkotaan dan pedesaan telah menurun. Pada tahun 2009, tingkat kemiskinan di daerah pedesaan di Jawa Timur tercatat 21 persen, turun dari 26 persen pada tahun 2006, sedangkan di kawasan perkotaan turun dari 16 persen menjadi 12 persen dalam periode waktu yang sama. Gambar 2.15: Kemiskinan perkotaan dan pedesaan di Jawa Timur, 2000-2009 30 25 20 Persen 15 10 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Urban Rural Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Tingkat kemiskinan sangat bervariasi antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Pada tahun 2008, tingkat kemiskinan di Jawa Timur berkisar dari 4 persen di Kota Madiun sampai 40 persen di Kab. Sampang. Konsentrasi kemiskinan tertinggi sebagian besar terdapat di Pulau Madura. Daerah termiskin, selain Kab. Sampang, adalah Kab. Pamekasan, Kab. Bangkalan dan Kab. Sumenep, yang semuanya berlokasi di pulau tersebut. Sebaliknya, sebagian besar `Kota' memiliki tingkat kemiskinan yang relatif lebih rendah, dengan persentase kurang dari 10 persen. Variasi dalam tingkat kemiskinan kemungkinan disebabkan sebagian oleh perbedaan yang relative besar besar dalam hal akses ke pendidikan, kesehatan, dan fasilitas pelayanan dasar lainnya. 26 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 2.16: Peta tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Jawa Timur 2008 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data pemerintah provinsi Jawa Timur dan data BPS. Kemiskinan dapat dikurangi secara substansial dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, terutama jika pertumbuhan ini adalah inklusif dan bermanfaat bagi mayoritas masyarakat di Jawa Timur. Sembilan skenario atas berbagai tingkat pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan atas pertumbuhan (EKP)10 sebagaimana terdapat pada tabel 2.6 akan mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi diterjemahkan ke pengurangan kemiskinan. Tabel itu menunjukkan nilai EKP Jawa Timur saat ini (-0,7) sebagai skenario dasar yang rendah, dan nilai tertinggi EKP yang dicapai oleh Indonesia (-2,6) sebagai skenario dasar terbaik, sedangkan rata-rata dari dua nilai itu menjadi skenario dasar menengah. Mulai dari tingkat kemiskinan sebesar 18,5 persen, jika tingkat pertumbuhan rata-rata 5 persen per tahun, dan PEG adalah -0,7, maka skenario ini akan mengurangi angka kemiskinan ke 15,4 persen dalam 5 tahun. Angka kemiskinan akan turun lebih jauh dalam lima tahun menjadi 10,9 jika pertumbuhan mencapai 6 persen dan PEG- nya -1,7. Sementara untuk pertumbuhan menjadi inklusif tergantung pada bagaimana akses yang merata terhadap peluang ekonomi dimaksimalkan. Inklusivitas dapat dicapai dengan memperluas investasi pada sumber daya manusia, modal fisik, dan perubahan teknologi; mempromosikan akses pasar, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan peluang ekonomi bagi mereka yang selama ini terperangkap di sektor dengan produktivitas rendah atau tereksklusi dari kegiatan ekonomi. Tabel: 2.6. Proyeksi angka kemiskinan di Jawa Timur dalam lima tahun Tingkat pertumbuhan 5% 6% 7% EKP -0,7 15,41 14,84 14,29 -1,7 12,00 10,95 9,98 -2,6 9,23 7,93 6,78 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. 10 EKP merupakan rasio persentasi perubahan pada tingkat kemiskinan relatif terhadap persentasi perubahan di perndapatan per kapita. EKP A -0,7 mengindikasikan bahwa satu poin persentasi pertumbuhan diartikan sebagai 0,7 persen penurunan tingkat kemiskinan. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 27 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur 2.4. Profil ekonomi masyarakat miskin di Jawa Timur Menelaah dinamika ekonomi penduduk miskin dan bagaimana mereka berpartisipasi serta mengambil manfaat dari pertumbuhan akan membantu untuk memberikan gambaran latar belakang masalah pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur. Analisis dalam sub-bagian ini akan dapat memberikan perspektif sejauh mana penduduk miskin di provinsi ini menerima manfaat dari sektor yang tumbuh atau bergantung pada sektor yang stagnan. Bagian ini akan melihat profil kesempatan kerja penduduk miskin, memperkirakan produktivitas tenaga kerja serta penciptaan lapangan kerja per sektor Sebagian besar penduduk miskin di Jawa Timur bekerja di sektor pertanian. Lebih dari 60 persen rumah tangga termiskin di Jawa Timur mengandalkan penghidupan mereka dari sektor ini. Sebaliknya, hanya 7 persen dari rumah tangga terkaya yang bekerja di sektor ini. Sebagian besar rumah tangga terkaya bekerja dalam sektor perdagangan dan jasa (63 persen), sementara hanya 17 persen dari rumah tangga miskin bekerja di kedua sektor tersebut. Rumah tangga menengah sebagian besar bekerja dalam sektor perdagangan (27 persen) dan pertanian (29 persen). Gambar 2.17: Kesempatan kerja berdasarkan sektor dan desil rumah tangga, 2009 100 Lainnya 90 Jasa 80 Keuangan 70 Transportasi 60 Persen Perdagangan 50 Konstruksi 40 30 Manufaktur 20 Pertambangan 10 Pertanian 0 1 (termiskin) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (terkaya) Desil (termiskin sampai dengan terkaya) Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Sementara mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor pertanian, sektor itu sendiri memiliki produktivitas tenaga kerja paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya di Jawa Timur.11 Pada tahun 2008, produktivitas tenaga kerja dari sektor pertanian kurang dari Rp 6 juta, sementara sektor itu menyerap 44,8 persen pekerja di provinsi itu. Sebagai perbandingan, produktivitas tenaga kerja sektor utilitas adalah Rp 248 juta, sementara yang diserap hanya 0,2 persen dari total tenaga kerja. Produktivitas yang rendah, tren kesempatan kerja yang tinggi di sektor pertanian di Jawa Timur serupa dengan tren nasional (Tabel 2.7). Secara keseluruhan, produktivitas di semua sektor Jawa Timur sedikit lebih rendah daripada rata-rata nasional. 11 Produktivitas tenaga kerja diukur dengan menghitung PDB per sektor sebagai output dibagi dengan jumlah tenaga kerja per sektor. 28 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Tabel 2.7: Produktivitas tenaga kerja per sektor di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan nasional, 2008 (%) Jawa Timur DKI Jakarta Nasional Produktivitas % dari tenaga Produktivitas % dari tenaga Produktivitas % dari tenaga tenaga kerja kerja tenaga kerja kerja tenaga kerja kerja Pertanian 5.997.955 44,8 16.944.836 0,5 6.886.256 40,3 Pertambangan 44.540.593 0,6 79.335.780 0,3 161.080.109 1,0 Industri 32.960.023 12,7 92.947.355 16,1 44.445.588 12,2 Utilitas 248.317.860 0,2 219.068.025 0,3 74.552.741 0,2 Konstruksi 9.720.114 4,1 219.789.280 4,3 24.076.566 5,3 Perdagangan 25.397.045 20,3 49.354.374 37,1 17.143.431 20,7 Transportasi 19.407.095 4,4 86.419.920 9,9 26.847.709 6,0 Keuangan 71.043.421 1,2 354.788.078 7,2 136.165.509 1,4 Jasa 11.435.897 11,7 36.855.462 24,3 14.734.885 12,8 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas dan PDRB, BPS. Rendahnya produktivitas angkatan kerja di bidang pertanian tercermin tingkat pengembalian yang rendah dari sektor ini.12 Rendahnya tingkat pengembalian untuk tenaga kerja di sektor pertanian tercermin melalui upah rata-rata upah dan jam kerja yang rendah di sektor tersebut. Rata- rata, pekerja sektor pertanian bekerja hanya 27 jam per minggu, paling rendah dibandingkan rata- rata jam kerja pada sektor ekonomi lainnya (sekitar 40-50 jam). Tenaga kerja di sektor pertanian juga menerima upah rata-rata terendah (Rp 522.075 per bulan). Sebagai perbandingan, sektor dengan produktivitas tinggi seperti utilitas dan keuangan memiliki upah bulanan rata-rata masing-masing 4 dan 3 kali lebih tinggi dari sektor pertanian. Tabel 2.8: Rata-rata jam kerja per minggu dan rata-rata upah per bulan per sektor Rata-rata jam kerja per minggu Rata-rata upah per bulan Pertanian 27,98 522.075 Pertambangan 41,32 1.117.811 Industri 43,49 877.961 Utilitas 46,24 1.985.847 Konstruksi 46,86 1.064.046 Perdagangan 49,04 829.147 Transportasi 49,18 1.214.510 Keuangan 43,46 1.540.312 Jasa 42,39 1.166.497 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas dan PDB, BPS. Kenyataan bahwa banyak dari pekerja yang bekerja di sektor pertanian tidak diupah juga mengakibatkan tingkat pengembalian yang rendah di sektor ini. Sekitar 34 persen dari mereka yang bekerja di sektor pertanian tidak menerima upah dan imbalan nominal. Dan sekitar 34 persen dari pengusaha di sektor ini dibantu oleh pekerja sementara/tidak diupah. Alasan mengapa sebagian besar pekerja di sektor ini tidak diupah mungkin karena mayoritas output pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak dijual, sehingga daripada membayar pekerja dengan upah, mereka diberikan hasil pertanian untuk dikonsumsi sendiri. 12 Deskripsi dari produktivitas tenaga kerja yang rendah di bidang pertanian akan dibahas di Bab 4 pada bagian masalah- masalah sektoral. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 29 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Gambar 2.18: Status tenaga kerja dari para pekerja pertanian 100 90 80 70 Pekerja tak dibayar 60 Pekerja bebas Persen 50 Buruh/karyawan/pegawai 40 Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar 30 20 Berusaha sendiri 10 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas, BPS. Tingkat produktivitas dan tingkat pengembalian yang rendah di sektor pertanian menjelaskan mengapa kabupaten/kota dengan proporsi tenaga kerja yang lebih besar di sektor pertanian cenderung memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi. Sebagai contoh, Kota Malang, di mana hanya 4 persen dari tenaga kerja bekerja di sektor pertanian memiliki tingkat kemiskinan 4 persen. Sebaliknya, Kab. Sampang, dimana sekitar 68 persen dari tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, memiliki tingkat kemiskinan 40 persen. Selain itu, tingkat kemiskinan juga berkorelasi dengan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Artinya, semakin rendah produktivitas mereka, semakin tinggi tingkat kemiskinan di daerah itu. Gambar 2.19: Tingkat kemiskinan & proporsi tenaga kerja di sektor pertanian, 2008 90 Proporsi tenaga kerja di sektor pertanian (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Tingkat kemiskinan (%) Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. 30 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 2.20: Tingkat kemiskinan & produktivitas tenaga kerja pertanian, 2008 35.000.000 30.000.000 (Rp/ 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 ( Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Hal ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi di daerah pedesaan dimana sebagian besar kesempatan kerja di pedesaan bekerja di sektor pertanian. Mengingat lebih dari 80 persen tenaga kerja sektor pertanian di Jawa Timur berada di daerah pedesaan, maka sebagian besar rumah tangga miskin juga terdapat di daerah pedesaan. Meskipun sebagian besar kesempatan kerja pertambangan dan konstruksi juga di daerah pedesaan, kedua sektor ini menyerap kurang dari 5 persen dari total tenaga kerja (lihat tabel 2.7), sehingga tidak memberikan banyak kesempatan kerja yang lebih produktif untuk penduduk pedesaan. Sebaliknya, sebagian besar kesempatan kerja di sektor-sektor dengan produktivitas tinggi seperti keuangan dan utilitas ditemukan di perkotaan. Namun, sektor produktivitas yang tinggi itu hanya menyerap kurang dari 2 persen tenaga kerja. Kelangkaan pekerjaan di sektor dengan produktivitas tinggi dan kenyataan bahwa mereka kebanyakan berada di kawasan perkotaan merupakan kendala bagi penduduk miskin pedesaan untuk mendapatkan kesempatan bekerja di pekerjaan yang produktivitasnya tinggi (yang diperkirakan tinggi bayarannya). Gambar 2.21: Kesempatan kerja di perkotaan vs. pedesaan per sektor, 2008 100 90 80 70 60 Persen 50 Rural 40 Urban 30 20 10 0 Pertanian Pertambangan Manufaktur Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa Lainnya Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas, BPS. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 31 Sekilas Pandang Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Kemiskinan di Jawa Timur Sementara terdapat ekspektasi atas pergerakan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain terutama yang produktivitasnya lebih tinggi, hal ini tidak terjadi dalam konteks Jawa Timur. Pada tahun 2009, sektor pertanian menyerap sekitar 44,8 persen dari tenaga kerja di Jawa Timur, sedikit menurun dari 46,1 persen pada tahun 2000. Sektor perdagangan merupakan sektor terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja, yaitu sebesar 20,3 persen dari total tenaga kerja, diikuti oleh industri (12,7 persen) dan jasa (11,7 persen). Tabel 2.9 menunjukkan bahwa antara tahun 2001-2009, hanya terjadi perubahan minor dalam struktur ketenagakerjaan: pertanian dan industri mengalami sedikit penurunan, perdagangan tidak berubah, dan sektor jasa mengalami sedikit peningkatan. Meskipun urbanisasi diharapkan dapat meningkatkan lapangan kerja di sektor non-pertanian, peningkatan urbanisasi di Jawa Timur dari 40,5 persen pada tahun 2000 menjadi 48,9 persen pada tahun 2009 ternyata tidak mendorong terciptanya lebih banyak kesempatan kerja di sektor non-pertanian. Struktur ketenagakerjaan yang relatif stabil di Jawa Timur ini konsisten dengan struktur ekonomi secara keseluruhan di provinsi ini dimana tidak terlihat perubahan selama hampir satu dekade (lihat Bab 2.1). Gambar 2.22: Jumlah tenaga kerja di sektor ekonomi utama 25 20 15 Miliar 10 5 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian Manufaktur Jasa Total Jawa Timur Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas, BPS. Tabel 2.9: Proporsi tenaga kerja per sektor di Jawa Timur, 2000-2009 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian 46,1 45,5 45,0 45,1 44,1 46,0 44,8 45,7 43,6 44,8 Pertambangan 0,7 0,6 0,8 0,6 0,9 0,9 0,7 0,6 0,8 0,6 Industri 14,5 13,5 14,3 13,8 13,0 13,1 13,6 13,8 12,8 12,7 Utilitas 0,01 0,1 0,2 0,1 0,3 0,2 0,2 0,2 0,1 0,2 Konstruksi 3,9 4,3 4,7 4,3 5,4 4,6 5,1 4,2 5,1 4,1 Perdagangan 20,0 18,5 19,4 19,1 20,3 19,1 19,8 19,2 20,0 20,3 Transportasi 4,7 4,6 4,2 5,2 5,0 4,8 4,4 4,4 4,9 4,4 Keuangan 0,8 1,1 0,8 1,2 0,6 1,2 1,0 1,1 1,2 1,2 Jasa 9,2 11,6 10,6 10,6 10,4 10,0 10,4 10,6 11,5 11,7 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas, BPS. Catatan: Angka dalam tabel adalah dalam persen. 32 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Selain dari terbatasnya perpindahan angkatan kerja, Jawa Timur juga memiliki angka setengah pengangguran yang relatif tinggi di antara penduduk yang bekerja tersebut. Angka setengah pengangguran mencapai 40 persen pada tahun 1998 sebelum perlahan menurun ke rata-rata 34 persen antara tahun 2001-2009. Setengah pengangguran di Jawa Timur secara konsisten terus berada di atas provinsi-provinsi lain di Jawa dan rata-rata Indonesia (Gambar 2.23). Pada tahun 2009, angka setengah pengangguran di Jawa Timur sudah mencapai 33,5 persen, dibandingkan dengan hanya 8 persen di DKI Jakarta dan 26 persen di Jawa Barat. Gambar 2.23: Jumlah setengah pengangguran di Jawa Timur dan provinsi lain di Jawa, 1996-2009 45 40 35 30 25 Persen 20 15 10 5 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (Feb) Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Nasional Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas, BPS. Kondisi secara keseluruhan ini membutuhkan analisa lebih lanjut untuk mengetahui faktor- faktor yang menghambat Jawa Timur untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Fakta bahwa sebagian besar dari tenaga kerja termasuk penduduk miskin bekerja di sektor dengan produktivitas yang paling rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan di Jawa Timur masih belum menjangkau seluruh sektor dan inklusif ke sebagian besar penduduk yang bekerja. Investasi swasta yang diharapkan dapat membantu Jawa Timur meningkatkan produktivitas, pertumbuhan, dan pembangunan, ternyata sangat terbatas dan tidak bisa membantu provinsi ini untuk mengembalikan pertumbuhannya ke tingkat sebelum krisis. Apakah masalah ini secara keseluruhan terjadi akibat kurangnya kapasitas individu disebabkan karena keterbatasan akses ke pendidikan dan kesehatan atau karena lingkungan bisnis itu sendiri memiliki hambatan-hambatan untuk menyediakan pekerjaan, meningkatkan investasi, dan pertumbuhan yang lebih tinggi akan dibahas pada bagian berikutnya. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 33 Ringkasan Eksekutif 34 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 3. Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 35 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur 3.1. Analisis kelayakan kerja (Employability) Apakah rendahnya kelayakan kerja menjadi hambatan utama atas produktivitas? Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat menjadi salah satu kendala terhadap produktivitas tenaga kerja di Jawa Timur.13 Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dapat meningkatkan kesempatan masyarakat miskin untuk mengakses peluang ekonomi secara lebih luas, sementara kapasitas yang lemah dapat menghambat kesempatan mereka untuk sepenuhnya meraih manfaat dari pertumbuhan. Kapasitas manusia itu sendiri bergantung pada dua faktor dasar utama, yaitu, pencapaian dan akses ke pendidikan dan layanan kesehatan. Mayoritas angkatan kerja di Jawa Timur berketrampilan rendah. Pada tahun 2009, lebih dari setengah (55 persen) dari angkatan kerja di Jawa Timur hanya lulusan SD atau lebih rendah, termasuk sekitar 21 persen dari total angkatan kerja yang belum pernah ke sekolah atau tidak menyelesaikan sekolah dasar. Hanya sekitar 6 persen dari angkatan kerja menikmati pendidikan sekolah pasca SLTA. Gambar 3.1: Tenaga kerja sesuai tingkat pendidikan, 2009 Indonesia Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta 0% 20% 40% 60% 80% 100% SD atau lebih rendah SMP SMU/SMK DI-DIII Sarjana Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, Februari 2009. Gambar 3.2: Tenaga kerja perkotaan di Jawa Timur sesuai tingkat pendidikan, 2009 SMU Keatas 10% SD atau Lebih Rendah 36% SMU/SMK 34% SMP 20% Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, Februari 2009. Kawasan perkotaan umumnya memiliki tenaga kerja yang lebih terdidik daripada daerah pedesaan, dan kelompok demografis muda juga umumnya lebih terdidik daripada kelompok usia yang lebih tua. Di kawasan perkotaan, hampir 44 persen dari tenaga kerja di sana minimal merupakan lulusan SLTA, dibandingkan hanya 15 persen di daerah pedesaan. Tenaga kerja dengan 13 Pertanyaan mengenai apakah ketersediaan dan biaya tenaga kerja merupakan kendala bagi investasi perusahaan dibahas pada bagian analisis lingkungan usaha/bisnis dibawah judul pengembalian bidang sosial. 36 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR keterampilan rendah kebanyakan ditemukan di antara kelompok umur yang lebih tua, dikarenakan di setiap generasi berikutnya terdapat angkatan kerja yang semakin terdidik. Gambar 3.3 menunjukkan bahwa mereka yang berusia 30 tahun atau di bawah merupakan kelompok tenaga kerja yang paling terdidik dan dengan demikian berpotensi untuk memiliki keterampilan yang lebih baik. Gambar 3.3: Tenaga kerja per kelompok umur dan tingkat pendidikan 60+ 85.4 10.2 3.0 1 50-60 76.2 12.3 8.0 3.5 40-50 63.8 14.2 15.8 6.1 30-40 47.8 20.6 24.4 7.2 <30 31.0 27.3 34.9 6.8 0% 20% 40% 60% 80% 100% SD atau lebih rendah SMP SMU/SMK SMU keatas Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, Februari 2009. Gambar 3.4: Tenaga kerja per kelompok umur 10% 27% <30 16% 30-40 40-50 50-60 60+ 23% 24% Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, Februari 2009. Indikator-indikator pencapaian pendidikan di Jawa Timur, seperti tingkat melek huruf dan rata-rata tahun bersekolah, pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa dan rata-rata nasional. Pada tahun 2008, tingkat melek huruf orang dewasa pria dan wanita di Jawa Timur adalah 92 dan 83 persen, lebih rendah dari tingkat melek huruf nasional yaitu 95 dan 89 persen atau DKI Jakarta dengan 99,6 dan 97,9 persen. Demikian pula, rata-rata tahun bersekolah di Jawa Timur adalah 7,5 tahun untuk pria dan 6,4 tahun untuk wanita, yang secara signifikan lebih rendah daripada DKI Jakarta (10,7 tahun untuk pria dan 9,7 tahun untuk wanita) dan tingkat nasional (8,0 tahun untuk laki-laki dan 7.1 tahun untuk wanita). Melalui indikator rata-rata tahun bersekolah ini juga dapat dilihat bahwa pencapaian pendidikan untuk wanita lebih rendah daripada laki-laki. Meskipun akses terhadap pendidikan dasar di Jawa Timur cukup besar, namun akses ke pendidikan menengah masih rendah dan menjadi persoalan di banyak kabupaten. Pada tahun 2009, angka partisipasi murni di Jawa Timur adalah 95 persen untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), 70 persen untuk tingkat menengah pertama (SLTP), dan 48 persen untuk tingkat menengah atas (SLTA). Tren ini serupa dengan angka partisipasi murni di Indonesia, dimana tingkat partisipasi SLTP dan SLTA masih jauh dari tingkat partisipasi murni yang optimum. Di tingkat kabupaten, tingkat partisipasi murni (NER) untuk tingkat SD pada sebagian besar kabupaten mencapai 90 persen. Variasi yang lebih besar atas tingkat partisipasi terjadi di tingkat menengah pertama (SMP). DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 37 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Sebagai contoh, rata-rata tingkat partisipasi SMP di Kab. Magetan adalah 85 persen, sedangkan di Kab. Sampang, hanya 45 persen. Variasi ini bahkan terlihat lebih signifikan pada tingkat SLTA. Sebagai contoh, Kota Madiun memiliki rata-rata tingkat partisipasi SLTA tertinggi di Jawa Timur yang mencapai 80 persen, sedangkan rata-rata partisipasi SLTA di Kab. Sampang hanya 18 persen, dan menjadikannya sebagai kabupaten terburuk di provinsi Jawa Timur. Gambar 3.5: Tingkat Partisipasi Murni (APM) untuk berbagai tingkat pendidikan di Jawa Timur, 2002-2009 120 100 80 Persen 60 40 20 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Gambar 3.6: Rata-rata tingkat partisipasi murni sekolah menengah pertama dan atas per kabupaten di Jawa Timur Kab. Magetan Kab. Kediri Kab. Pacitan Kab. Mojokerto Kab. Ponorogo Kota Blitar Kab. Tulungagung Kota Kediri Kota Madiun Kab. Sidoarjo Kab. Ngawi Kab. Gresik Kota Mojokerto Kab. Jombang Kab. Lamongan Kab. Blitar Kota Surabaya Kota Malang Kab. Tuban Kab. Trenggalek Kota Batu Kab. Banyuwangi Kab. Nganjuk Kota Probolinggo Kab. Situbondo Kab. Bojonegoro Kab. Madiun Kab. Sumenep Kab. Pasuruan Kota Pasuruan Kab. Pamekasan Kab. Jember Kab. Malang Kab. Bondowoso Kab. Lumajang Kab. Probolinggo Kab. Bangkalan Kab. Sampang 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 SLTA/Sederajat SLTP/Sederajat Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. 38 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Sejalan dengan tren di tingkat nasional, tingkat partisipasi untuk pendidikan menengah juga lebih rendah pada rumah tangga berpenghasilan rendah dibandingkan dengan keluarga berpenghasilan tinggi.14 Meskipun tingkat partisipasi pendidikan dasar di Jawa Timur relatif sama di seluruh kuintil pendapatan, namun di tingkat pendidikan yang lebih tinggi terlihat variasi yang lebih besar. Pada tingkat SLTP, angka partisipasi lebih dari 70 persen terdapat pada kuintil pendapatan tertinggi, dan hanya 62 persen pada kuintil berpenghasilan rendah. Variasi lebih besar terdapat pada tingkat SLTA, dimana kuintil keluarga berpenghasilan tertinggi memiliki tingkat partisipasi sebesar 67 persen dan kuintil terendah memiliki tingkat partisipasi hanya sekitar 27 persen. Rendahnya akses ke pendidikan menengah untuk segmen termiskin ini mungkin merupakan alasan mendasar atas rendahnya tingkat partisipasi ke pendidikan menengah di beberapa kabupaten di Jawa Timur secara keseluruhan. Gambar 3.7: Tingkat partisipasi murni di Jawa Timur per kuintil pendapatan, 2009 120 100 80 Persen 60 40 20 0 Sekolah Dasar Tingkat Menengah Pertama Tingkat Menengah Atas Termiskin Kui l1 2 3 4 Terkaya Kui l5 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Meskipun perbedaan antara angka partisipasi laki-laki dan wanita bisa diabaikan, perbedaan yang lebih signifikan terlihat pada wilayah perkotaan dan pedesaan. Angka partisipasi murni antara murid laki-laki dan perempuan terlihat hampir sama di Jawa Timur. Angka partisipasi baik laki- laki dan wanita terlihat semakin meningkat, dimana tingkat partisipasi laki-laki sedikit lebih tinggi di tingkat SD dan SLTP, sedangkan wanita memiliki angka partisipasi lebih tinggi pada tingkat SLTA. Sebaliknya, tingkat partisipasi murid di daerah pedesaan secara signifikan lebih rendah daripada kawasan perkotaan, dan mencerminkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 2009, tingkat partisipasi murni di tingkat SMP di daerah pedesaan tercatat 66 persen, sedangkan di daerah perkotaan tercatat sebesar 74 persen. Kesenjangan tingkat partisipasi murni ini di tingkat SLTA bahkan terlihat lebih besar, dimana daerah perkotaan mempunyai tingkat partisipasi sebesar 60 persen dan daerah pedesaan mempunyai tingkat partisipasi sebesar hanya 37 persen. Lebih sedikitnya tingkat partisipasi pada pendidikan menengah mungkin disebabkan oleh terbatasnya sekolah dan tingginya biaya sekolah menengah. Lebih dari 50 persen desa di Jawa Timur tidak memiliki SLTP di daerah mereka dan hampir 76 persen desa tidak memiliki SLTA. Di tingkat kabupaten, Kab. Magetan tercatat sebagai kabupaten dengan jumlah SLTP paling sedikit, dan Kab. Tulungagung dengan jumlah SLTA paling sedikit. Biaya sekolah juga tampak menjadi penghalang yang signifikan terhadap akses pendidikan bagi masyarakat miskin, terutama di tingkat SLTP. Menurut data Susenas, 34 persen rumah tangga di kuintil termiskin yang menyekolahkan anaknya melaporkan kesulitan mereka dalam pembiayaan biaya sekolah di tingkat SD dan 44 persen melaporkan kesulitan di tingkat SLTP.15 14 Situasi yang serupa terjadi juga di berbagai kabupaten di Indonesia, seperti yang tercermin dari laporan Bank Dunia berjudul "Investing in Indonesia's Education at the District Level", Bank Dunia, 2009b. 15 Bank Dunia 2008, Assessment of Bantuan Operasional Sekolah (BOS) in Preparation of BOS KITA Project. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 39 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.8: Angkat Partisipasi Murni di tingkat SLTA dan persentase desa tanpa SLTA, 2008 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 % Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes dan Susenas, BPS. Tabel 3.1: Ketersediaan sekolah per kabupaten di Jawa Timur, 2008 % desa % desa Jarak Jarak % desa % desa Jarak Jarak yang tidak yang tidak rata-rata rata-rata yang tidak yang tidak rata-rata rata-rata Kabupaten/kota Kabupaten/kota memiliki memiliki ke SMP ke SMA memiliki memiliki ke SMP ke SMA SMP SMA (km) (km) SMP SMA (km) (km) Pacitan 59,6 80,1 2,31 15,96 Ngawi 65,0 82,0 2,13 12,60 Ponorogo 61,6 78,0 1,49 12,26 Bojonegoro 67,9 84,4 2,23 13,49 Trenggalek 57,3 81,5 1,96 18,14 Tuban 58,2 82,9 2,26 14,83 Tulungagung 67,5 85,6 1,97 12,83 Lamongan 58,4 77,0 1,69 9,23 Blitar 59,3 83,9 1,90 13,08 Gresik 53,7 71,9 1,38 16,09 Kediri 64,0 81,7 1,88 10,07 Bangkalan 55,2 79,7 2,40 23,07 Malang 29,2 72,3 0,78 10,04 Sampang 37,1 75,8 1,83 30,87 Lumajang 52,2 83,4 2,09 16,61 Pamekasan 38,1 64,0 1,22 14,62 Jember 26,7 61,9 1,07 13,14 Sumenep 46,7 74,1 2,13 36,71 Banyuwangi 39,2 68,2 0,99 9,46 Kota Kediri 39,1 63,0 0,74 2,60 Bondowoso 52,5 76,3 2,49 12,06 Kota Blitar 38,1 38,1 0,70 2,87 Situbondo 45,6 72,1 2,14 14,44 Kota Malang 14,0 26,3 0,24 2,19 Probolinggo 47,0 77,3 1,57 18,85 Kota Probolinggo 34,5 51,7 0,51 3,60 Pasuruan 54,8 80,0 1,81 11,65 Kota Pasuruan 52,9 52,9 0,89 3,29 Sidoarjo 59,8 75,9 1,16 5,38 Kota Mojokerto 27,8 38,9 0,69 1,74 Mojokerto 58,9 75,0 1,44 8,24 Kota Madiun 44,4 40,7 0,66 2,53 Jombang 49,7 71,6 1,24 7,83 Kota Surabaya 22,7 40,5 0,49 2,70 Nganjuk 67,3 78,2 2,01 12,56 Kota Batu 33,3 62,5 0,83 5,16 Madiun 66,0 85,0 2,07 11,99 JAWA TIMUR 53,4 75,8 1,68 13,39 Magetan 72,8 84,3 1,78 8,29 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. Faktor kelayakan kerja (employability) penting lainnya adalah tingkat kesehatan, dimana menunjukkan peningkatan selama dekade terakhir. Sejak tahun 2000, baik angka kematian bayi dan angka kematian balita telah menurun. Tingkat kematian bayi telah menurun dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000 menjadi 25 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka kematian balita juga menurun dari 59 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 45 per 1.000 kelahiran hidup selama periode waktu yang sama. Selain itu, angka harapan hidup di Jawa Timur juga meningkat, dari 65 pada tahun 1997 menjadi 71 pada tahun 2007. Dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, angka kematian di Jawa Timur berada di bawah rata-rata nasional dan beberapa provinsi lainnya di Jawa (termasuk Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta), tetapi serupa dengan Jawa Barat. 40 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 3.9: Beberapa indikator kesehatan di Jawa Timur, berbagai tahun 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Angka 2000 2003 2007 Sumber: Survei kualitas kesehatan dan demografi berbagai tahun. Sebagian besar peningkatan kualitas kesehatan masyarakat kemungkinan disebabkan oleh penambahan jumlah fasilitas layanan kesehatan dan tenaga kesehatan di Jawa Timur. Pada tahun 2000, satu rumah sakit umum di Jawa Timur melayani lebih dari 200.000 orang. Pada tahun 2008, angka ini menurun menjadi sekitar 170.000 orang. Peningkatan akses ke rumah sakit bersalin terlihat lebih signifikan. Pada tahun 2000, sebuah rumah sakit bersalin rata-rata melayani sekitar 213.000 orang. Pada th 2008, turun menjadi hanya 76.000 orang. Jumlah dokter dan bidan di provinsi ini juga telah meningkat. Pada tahun 2003, ada 6.928 orang yang harus dilayani satu orang dokter dan pada tahun 2008, rasio ini menurun menjadi 5.518 orang. Demikian pula, pada tahun 2003 ada 5.544 pasien per bidan di Jawa Timur dan turun menjadi 3.030 pasien per bidan pada tahun 2008. Jumlah tenaga kesehatan (dokter dan bidan) di provinsi ini lebih tinggi dari angka nasional dan sebanding dengan sebagian besar provinsi di Jawa, kecuali Jawa Barat, yang memiliki tenaga kesehatan lebih banyak. Tabel 3.2: Ketersediaan fasilitas layanan kesehatan dan pekerja medis di Jawa Timur, 2000-2008 (populasi/fasilitas layanan kesehatan atau pekerja medis) 2000 2003 2005 2008 Populasi/rumah sakit 204.277 194.656 165.293 169.383 Populasi/rumah sakit bersalin 212.892 45.830 44.750 76.327 Populasi/Puskesmas 35.625 36.351 37.254 39.006 Populasi/bidan n/a 5.544 3.565 3.030 Populasi/dokter n/a 6.928 5.725 5.518 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. Akses ke pelayanan kesehatan masih belum merata di seluruh kabupaten di Jawa Timur. Distribusi dokter di seluruh kabupaten di Jawa Timur berkisar antara 76 dokter per 100.000 orang di Kota Surabaya dan 4 orang dokter per 100.000 orang di Kab. Sampang. Variasi ini memang lebih kecil untuk distribusi bidan, dimana sejumlah besar bidan berpraktek di wilayah kabupaten dibandingkan kota. Demikian pula halnya untuk distribusi rumah sakit yang juga sangat bervariasi antar kabupaten. Sebagai contoh, di Kab. Bangkalan, satu rumah sakit rata-rata melayani sekitar 950.000 orang di daerah tersebut, sedangkan di Kota Mojokerto, rumah sakit rata-rata hanya melayani 18.000 orang. Distribusi Puskesmas juga bervariasi di setiap kabupaten. Di Kota Mojokerto, suatu Puskesmas rata- rata melayani 22.000 orang, sedangkan di Kab. Sidoarjo suatu Puskesmas melayani sekitar 68.000 orang. Daerah yang memiliki dokter dan rumah sakit lebih sedikit adalah daerah-daerah yang relatif lebih tertinggal dibandingkan dengan yang lain di provinsi ini. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 41 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Peningkatan akses ke fasilitas layanan kesehatan dan pekerja medis berdampak pada peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan oleh masyarakat. Pada tahun 2006, hanya 34 persen dari mereka yang jatuh sakit mencari perawatan di fasilitas layanan kesehatan. Lebih dari 55 persen mereka yang sakit bergantung pada perawatan sendiri, membeli obat di apotik atau toko obat, dibandingkan mencari perawatan di fasilitas layanan kesehatan, dan 16 persen sisanya memilih tidak mencari perawatan sama sekali. Pada tahun 2009, pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh masyarakat telah meningkat dimana sekitar 45 persen dari mereka yang sakit sudah mencari perawatan di fasilitas layanan kesehatan, dan perawatan sendiri turun menjadi 47 persen. Peningkatan pemanfaatan ini terjadi baik untuk fasilitas layanan kesehatan publik dan pelayanan swasta. Tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan pada segmen masyarakat termiskin serupa dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan pada segmen populasi terkaya. Sekitar 50 persen penduduk yang sakit di desil termiskin berobat ke fasilitas layanan kesehatan, sedikit lebih tinggi dari tingkat pemanfaatan mereka yang ada di tingkat terkaya (lihat Gambar 3.11). Dari orang-orang yang berobat ke pelayanan kesehatan, 49 persen pergi ke penyedia layanan kesehatan swasta, 30 persen mencari pengobatan dari pusat kesehatan masyarakat umum (Puskesmas), dan sisanya pergi ke rumah sakit publik dan swasta, poliklinik, dan mantri. Sekitar 11 persen masyarakat miskin memilih untuk tidak melakukan pengobatan, hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan desil lain. Gambar 3.10: Perilaku mencari pengobatan bagi yang sakit, 2006 dan 2009 120 100 80 60 P 40 20 0 2006 2009 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Gambar 3.11: Perilaku mencari pengobatan per desil, 2009 100 90 80 70 60 Persen Tidak mencari perawatan 50 Perawatan sendiri 40 Perawatan di fasilitas 30 kesehatan, apapun 20 10 0 1 2 3 4 5 Termiskin Terkaya Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. 42 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Untuk proses melahirkan, mayoritas masyarakat miskin maupun kaya memilih dibantu oleh tenaga kesehatan terampil (baik dokter maupun bidan). Rumah tangga miskin lebih bergantung pada bidan untuk membantu proses kelahiran. Pada tahun 2009, untuk kuintil pendapatan terendah, sekitar 66 persen kelahiran dibantu oleh bidan, 24 persen oleh dukun dan hanya 7,4 persen dari kelahiran yang dibantu oleh dokter. Sebaliknya, rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, lebih banyak menggunakan dokter dibandingkan keluarga berpenghasilan rendah, dan jarang sekali menggunakan dukun. Pada tahun 2009, dalam kuintil terkaya, sekitar 45 persen kelahiran didampingi oleh dokter, dan 52 persen dibantu oleh bidan. Gambar 3.12: Kelahiran berdasarkan tipe layanan dan per kuintil tingkat pendapatan, 2009 100 90 80 70 Lain-lain 60 Keluarga Persen 50 Dukun 40 Tenaga Kesehatan lain 30 Bidan 20 Dokter 10 0 Termiskin 1 2 3 4 Terkaya 5 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. Kesimpulan Secara keseluruhan, tidak meratanya akses terhadap pendidikan menengah yang berdampak pada rendahnya pencapaian pendidikan cenderung menjadi kendala bagi kapasitas sumber daya manusia di Jawa Timur. Perbedaan tingkat partisipasi murni sekolah menengah antara keluarga kaya dan miskin, dan antara penduduk pedesaan dan perkotaan; masih tetap besar. Kesenjangan akses tersebut mungkin disebabkan oleh terbatasnya jumlah sekolah menengah, distribusi sekolah menengah yang yang tidak merata serta biaya pendidikan menengah yang relatif tinggi. Di lain sisi, adanya perluasan fasilitas layanan kesehatan dan pekerja medis di Jawa Timur selama dekade terakhir berdampak pada meratanya akses terhadap pelayan kesehatan bagi kelompok penduduk miskin dan kelompok penduduk kaya.Dengan demikian kondisi akses terhadap kesehatan nampaknya tidak terlalu menjadi kendala terhadap kualitas sumber daya manusia di Jawa Timur. Rekomendasi Memberikan akses lebih luas untuk mendapatkan pendidikan menengah guna meningkatkan jumlah pekerja terampil di provinsi tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan: · Mengkaji ulang alokasi anggaran sektor pendidikan saat ini dan meningkatkan alokasi tersebut khususnya untuk pendidikan tingkat menengah. · Memperluas dan mengoptimalkan pemanfaatan lembaga pendidikan non-formal seperti pusat kegiatan belajar masyarakat atau lembaga pelatihan informal untuk menyediakan kesempatan belajar bagi mereka yang sudah berada di luar usia sekolah. Lembaga-lembaga non-formal harus DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 43 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur menawarkan program khusus bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal, contohnya pelatihan pemberdayaan wanita, kursus ketrampilan hidup, pelatihan kerja, dll · Memperkuat dan memperbanyak sekolah kejuruan untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang lebih spesifik. 3.2. Analisis lingkungan bisnis Hambatan di lingkungan bisnis juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur. Kurangnya kesempatan bekerja bagi individu dapat disebabkan oleh terbatasnya permintaan untuk tenaga kerja di kalangan bisnis. Keterbatasan tersebut dapat dikarenakan oleh kurangnya investasi swasta di provinsi tersebut yang mana dapat menghambat tercapainya pertumbuhan yang tinggi dan mengarah kepada terbatasnya lapangan pekerjaan serta penciptaan lapangan kerja baru. Beberapa faktor yang dapat menjadi kendala peningkatan investasi swasta adalah akses, ketersediaan, dan biaya pendanaan serta nilai pengembalian kegiatan ekonomi tersebut. Sub bagian berikut ini akan dimulai dengan membahas tentang ketersediaan, akses, dan biaya pendanaan sebagai faktor yang mungkin menjadi hambatan-hambatan untuk investasi dan peningkatan pertumbuhan di Jawa Timur. 3.2.1. Akses terhadap kredit Akses terhadap pendanaan telah dipandang sebagai salah satu faktor pendorong penting bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi untuk suatu negara. Akses yang lebih baik terhadap pendanaan (kredit) dapat membantu perusahaan baru pada saat memasuki pasar, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan distribusi pendapatan dan produktivitas mereka, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pertumbuhan secara makro. Sebaliknya, pasar keuangan yang lemah dan akses yang terbatas terhadap sumber-sumber keuangan tersebut mungkin dapat menghambat perusahaan mencapai kapasitas maksimum mereka dan pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penurunan laju pertumbuhan. Dasar pikiran ini telah diakui oleh banyak literatur empiris yang membahas isu-isu tentang pertumbuhan ekonomi. Sub-bagian 3.2.1 ini akan membahas secara lebih dalam apakah akses dan biaya pendanaan (kredit) merupakan kendala pada pertumbuhan di Jawa Timur. Apakah pendanaan merupakan masalah bagi Jawa Timur? Meskipun terdapat perubahan kebijakan yang cukup signifikan sejak krisis keuangan tahun 1997, sektor keuangan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain di wilayah Asia. Secara porsi dari PDB, total aset keuangan di Indonesia, apabila dibandingkan dengan negara lain di wilayah Asia, masih relatif lebih kecil. Total aset keuangan Indonesia sebagai persentase dari PDB tercatat sebesar 103,6 persen, lebih rendah daripada Filipina (128,7 persen), dan jauh di bawah Cina (542,5 persen), Malaysia (383,5 persen) dan India (298,3 persen). Demikian pula, porsi kredit untuk sektor swasta terhadap total PDB juga relatif rendah yaitu sebesar 25 persen; jauh di bawah Cina (114,5 persen) dan Malaysia (108,8 persen), serta sedikit di bawah India (47,4 persen), Sri Lanka (34 persen) dan Bangladesh (37,7 persen). 44 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Tabel 3.3: Perbandingan Sektor Keuangan Negara-Negara di Kawasan Asia Total Aset Keuangan Kredit ke Sektor Swasta (% dari PDB) (% dari PDB) Cina 542,5 114,5 Malaysia 383,5 108,8 India 298,3 47,4 Thailand 210,6 84,2 Brazil 205,1 49,8 Pakistan 150,2 29,4 Filipina 128,7 23,8 Indonesia 103,6 25,4 Sri Lanka 60,8 34,0 Banglades 54,8 37,7 Sumber: World Development Indicators, 2008. Di level domestik, rasio kredit di Jawa Timur terhadap PDB masih relatif rendah dibandingkan dengan provinsi besar lainnya di Indonesia. Pada tingkat 19 persen dari PDRB, proporsi kredit di Jawa Timur masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional sebesar 31 persen. Rasio ini juga lebih rendah dibandingkan provinsi lain di Jawa seperti Banten (23 persen) dan jauh di bawah DKI Jakarta dimana porsi kreditnya mencapai 99 persen, yang merupakan porsi kredit tertinggi terhadap PDB di Indonesia. Meskipun kredit yang rendah terhadap PDB dapat mengesankan adanya masalah dalam akses terhadap pembiayaan, namun hal tersebut belum tentu merupakan hambatan terhadap pertumbuhan karena rasio rendah dapat saja mencerminkan kurangnya permintaan kredit atau sistem perbankan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sektor swasta. Gambar 3.13: Porsi Kredit terhatap PDRB di Jawa Timur, dan provinsi lain di Indonesia, 2007 1,2 Jakarta Kredit terhadap PDRB 2008 1,0 0,8 0,6 0,4 Nasional Jawa Timur 0,2 0,0 0 20 40 60 80 100 120 Juta PDRB per kapita 2008 (harga berlaku) Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan BI. Kurangnya permintaan terhadap kredit di Jawa Timur terlihat dari fakta dimana banyak perusahaan di Jawa Timur mengindikasikan bahwa mereka lebih sering mengandalkan pembiayaan sendiri atau dana dari kantor pusat perusahaan mereka. Wawancara dengan beberapa perusahaan menengah dan besar di Jawa Timur16 menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan umumnya tidak mengandalkan kredit dari perbankan untuk membiayai kegiatan bisnis mereka, termasuk produksi dan ekspansi. Perusahaan skala menengah di Jawa Timur mengandalkan 16 Wawancara dengan sektor swasta dilakukan oleh Regional Economic Development Institute (REDI). DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 45 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur pembiayaan sendiri dari laba yang diperoleh atau dari mitra usaha dalam bentuk joint venture. Di sisi lain, perusahaan multinasional mengandalkan dana dari kantor pusat mereka yang sebagian besar berbasis di Jakarta. Sedangkan bagi pengecer dan pedagang yang terlibat dalam kegiatan perdagangan, sumber pembiayaan mereka berasal dari para pemasok, di mana pabrik atau distributor menyediakan stok barang dengan sistem pembayaran ditangguhkan atau diangsur yang disesuaikan dengan pendapatan penjualan pedagang atau pengecer tersebut. Selain itu, bank- bank di Jawa Timur memiliki keterbatasan dalam memberikan jumlah maksimum pinjaman yang umumnya berkisar antara Rp 14 miliar sampai Rp 40 miliar. Apabila suatu perusahaan membutuhkan pinjaman yang lebih besar, maka mereka harus mengajukannya ke kantor pusat bank di Jakarta, yang mana akan memperpanjang waktu persetujuan. Meskipun porsi kredit terhadap PDRB relatif rendah, namun alokasi pangsa kredit yang digunakan untuk investasi dan modal kerja di Jawa Timur relatif tinggi. Antara tahun 2005 dan 2009, rata-rata proporsi kredit yang dialokasikan untuk investasi dan modal kerja di Jawa Timur mencapai 76 persen dari total kredit. Rasio ini lebih tinggi dari rata-rata nasional dan sebagian besar provinsi lainnya di Jawa, dan hanya sedikit di bawah DKI Jakarta (78 persen). Secara singkat, ini menunjukkan pembiayaan sebenarnya bukan merupakan kendala untuk pertumbuhan di Jawa Timur jika dilihat dari pangsa kreditnya yang sebagian besar dialokasikan pada investasi dan modal kerja. Tabel 3.4: Alokasi Kredit Investasi dan Modal kerja per Total Kredit 2005 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta 76,8 79,1 79,4 79,6 77,3 Jawa Barat 52,3 52,9 54,6 57,0 56,8 Banten 33,7 37,4 38,2 39,2 36,7 Jawa Tengah 68,5 67,3 64,6 65,0 64,6 Yogyakarta 53,5 55,9 55,5 55,2 52,8 Jawa Timur 75,7 76,0 76,8 77,4 76,1 Sumatera Utara 77,1 77,7 78,0 75,6 65,0 Sulawesi Utara 56,6 55,9 54,4 54,6 44,7 Seluruh Jawa 72,0 73,5 74,1 74,7 72,6 Nasional 70,3 71,4 71,8 71,9 69,6 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Bank Indonesia. Apakah biaya investasi tinggi? Biaya investasi di Jawa Timur sedikit lebih tinggi dari tingkat nasional, namun trennya secara keseluruhan serupa dengan tren nasional. Sebagai contoh, antara tahun 2005 dan 2008, tingkat bunga pinjaman, baik Jawa Timur dan seluruh Indonesia, mencapai puncaknya pada bulan November 2006 yaitu sekitar 10-11 persen, naik dari 7-8 persen di tahun 2005. Kenaikan tingkat suku bunga ini didorong oleh penurunan tingkat inflasi. Karena kenaikan inflasi pada akhir tahun 2005, suku bunga kredit baik untuk Jawa Timur dan Indonesia mencapai titik terendah pada akhir tahun 2005. Pada bulan Desember 2008, suku bunga pinjaman riil untuk pinjaman di Jawa Timur tercatat sebesar 4,2 persen, sedikit lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 3,3 persen (Gambar 3.14). Adanya sedikit perbedaan biaya modal antara Jawa Timur dengan tingkat nasional terutama disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi diantara keduanya. Tingkat suku bunga nominal yang relatif sama juga terlihat antara Jawa Timur dan nasional. Selain itu, perbedaan suku bunga pinjaman antara Jawa Timur dengan tingkat nasional juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan biaya operasional perbankan. 46 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 3.14: Tingkat suku bunga pinjaman riil 12 10 Tingkat suku bungan pinjamamn riil (%) 8 6 4 2 0 Nov-05 Nov-06 Nov-07 Nov-08 Jan-05 Mar-05 May-05 Jul-05 Sep-05 Jan-06 Mar-06 May-06 Jul-06 Sep-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 -2 -4 Tingkat suku bunga pinjaman Jawa Timur Tingkat suku bunga pinjaman nasional Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data dari Bank Indonesia. Gambar 3.15: Tingkat suku bunga pinjaman nominal Tingkat suku bunga pinjaman nominal (%) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Jan-05 Mar-05 May-05 Jul-05 Sep-05 Nov-05 Jan-06 Mar-06 May-06 Jul-06 Sep-06 Nov-06 Jan-07 Mar-07 May-07 Jul-07 Sep-07 Nov-07 Jan-08 Mar-08 May-08 Jul-08 Sep-08 Nov-08 Tingkat suku bunga pinjaman nominal Jawa Timur Tingkat suku bunga pinjaman nominal nasional Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data dari Bank Indonesia. Tidak terdapat korelasi negatif antara suku bunga dan pertumbuhan di Jawa Timur. Antara tahun 2004 dan 2006, tingkat pertumbuhan di Jawa Timur relatif konstan pada kisaran 6 persen, sedangkan dalam periode ini suku bunga riil telah berkisar antara 9,7 persen di tahun 2004 dan 3,5 persen di tahun 2006. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan umumnya tidak responsif terhadap perubahan suku bunga. Tidak terdapatnya pola yang jelas antara tingkat pertumbuhan dan tingkat suku bunga ini menunjukkan bahwa biaya modal bukanlah kendala yang mengikat terhadap pertumbuhan di Jawa Timur. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 47 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.16: Tingkat suku bunga dan pertumbuhan PDB 0,07 2008 2007 0,06 2004 Tingkat pertumbuhan riil 2006 2005 0,05 2003 0,04 0,03 2001 2002 0,02 0,01 0,00 0 2 4 6 8 10 12 Tingkat suku bunga riil Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data dari Bank Indonesia. Apakah simpanan yang rendah dan tidak adanya akses ke pembiayaan eksternal? Rasio simpanan terhadap PDB di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Salah satu penyebab rendahnya rasio kredit ini adalah rendahnya persediaan dana di daerah tersebut atau terbatasnya akses terhadap pembiayaan eksternal. Tingkat persediaan dana tersebut dapat dilihat melalui tingkat deposito bank atau simpanan bank. Rasio total simpanan Jawa Timur terhadap PDRBnya hanya berkisar 28 persen, lebih rendah daripada rasio nasional sebesar 42 persen. Penjelasan anekdotal atas rendahnya tingkat tabungan di Jawa Timur ini adalah dimana banyak perusahaan di provinsi ini berkantor pusat di DKI Jakarta, sehingga dana untuk perusahaan tersebut juga banyak yang ditempatkan di DKI Jakarta.17 Gambar 3.17: Rasio simpanan per PDRB di Jawa Timur dan provinsi lain di Indonesia (%) 1,4 Jakarta 1,2 Simpanan per PDRB 2008 1,0 0,8 Indonesia 0,6 Jawa Timur 0,4 0,2 0,0 0 50 100 150 Juta PDRB per kapita (harga berlaku) 2008 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia dan data BPS. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persentase. 17 Sementara hanya 28 perusahaan tercatat sebagai perusahaan publik dari Jawa Timur, banyak perusahaan manufaktur menengah dan besar di sana berkantor pusat di Jakarta, sebagian besar perusahaan yang berorientasi ekspor. Hal ini terutama disebabkan administrasi pemerintah lebih terpusat di bea cukai, ekspor-impor dan masalah administrasi. 48 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Simpanan yang relatif rendah di Jawa Timur, akan tetapi, tidak mengurangi akses terhadap pembiayaan karena sistem arus modal domestik yang ada memungkinkan dana untuk bergerak secara bebas. Dengan demikian, kurangnya simpanan di Jawa Timur akan tertutup oleh simpanan dari provinsi lain. Oleh karena itu, walaupun tingkat tabungan di provinsi ini rendah, hal ini tidak akan selalu menimbulkan kesulitan dalam akses terhadap pembiayaan. Rasio simpanan terhadap PDB nasional Indonesia, sebesar 42 persen, yang relatif tinggi tersebut menunjukkan bahwa simpanan bukan merupakan kendala utama bagi bank untuk menyediakan pendanaan bagi kalangan usaha di Jawa Timur. Apakah fungsi intermediasi perbankan yang kurang baik? Rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) di Jawa Timur sudah relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia; ini menunjukkan bahwa bank sudah melakukan fungsi intermediasi yang memadai. LDR yang rendah dapat menunjukkan bahwa sistem perbankan tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai lembaga perantara keuangan dalam menyalurkan dana simpanan menjadi kredit. Sebaliknya, LDR yang tinggi menunjukkan pemanfaatan kredit yang lebih besar oleh korporasi dan konsumen. Tingkat LDR di Jawa Timur sendiri dapat dianggap berada dalam kisaran yang sesuai. LDR Jawa Timur terus meningkat setelah krisis ekonomi 1998, naik dari 43 persen di tahun 2000 menjadi 75 persen pada tahun 2009. LDR Jawa Timur secara konsisten menyerupai tingkat nasional, tetapi lebih rendah daripada Jawa Barat dan lebih tinggi dari DKI Jakarta. Gambar 3.18: LDR Jawa Timur dan beberapa provinsi lain di Indonesia 1,4 1,2 1,0 0,8 LDR 0,6 0,4 0,2 0,0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur Jawa Barat Jakarta Sumatera Utara Nasional Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan Bank Indonesia dan data BPS. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persentase. Kredit Macet Perbankan (NPL) di Jawa Timur juga rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. NPL merupakan indikator penting bagi kinerja perbankan. Sementara LDR mencerminkan efisiensi bank dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana, NPL menunjukkan risiko keuangan bagi perbankan.18 Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat NPL yang terlalu tinggi bisa menjadi penyebab runtuhnya lembaga perbankan. NPL di Jawa Timur terus menurun dalam tiga tahun terakhir ini. Pada tahun 2008, NPL di Jawa Timur adalah 2,39 persen, lebih rendah daripada nasional (2,45 persen) dan Jakarta (3,82 persen). 18 Pada tataran yang lebih luas, NPL seringkali diidentifikasikan sebagai salah satu faktor penyebab stagnasi perekonomian. NPL pada sektor keuangan dipandang sebagai cerminan perusahaan yang tidak sehat (Hou, 2005). Jika NPL terus terjadi dan bergulir, sumber daya yang ada akan terkunci di sektor-sektor yang tidak membawa keuntungan,sehingga menghambat pertumbuhan perekonomian dan mengganggu efisiensi perekonomian. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 49 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.19: Kredit Macet Perbankan (NPL) di Jawa Timur dan di provinsi lain di Indonesia Non Performing Loan (%) 25 20 15 10 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Nasional Jawa Barat Jakarta Jawa Timur Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia dan data BPS. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persentase. Jawa Timur memiliki jumlah bank yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2008, Jawa Timur memiliki 5,9 bank untuk setiap seratus km². Meskipun angka ini secara signifikan kurang dari DKI Jakarta yang memiliki 372 bank per seratus km², namun angka itu secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata provinsi di Indonesia (0,5 bank per 100 km²) dan mirip dengan provinsi-provinsi lain di Jawa seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Rasio bank per 10.000 orang di Jawa Timur juga lebih tinggi dari rata-rata nasional. Tabel 3.5: Cabang Bank per 100 km2 Tabel 3.6: Cabang Bank per 10.000 penduduk Provinsi 2008 Provinsi 2008 DKI Jakarta 372,3 DKI Jakarta 3,0 Jawa Barat 7,0 Jawa Barat 0,6 Jawa Tengah 8,7 Jawa Tengah 0,9 Yogyakarta 15,8 Yogyakarta 1,4 Jawa Timur 5,9 Jawa Timur 0,8 Sumatera Utara 1,2 Sumatera Utara 0,7 Nasional 0,5 Nasional 0,5 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia dan data BPS. berdasarkan data Bank Indonesia dan data BPS. Rendahnya NPL dan relatif tingginya LDR dari perbankan di Jawa Timur menunjukkan bahwa sektor perbankan telah melakukan fungsi intermediasi keuangan yang memadai, sehingga ini bukan menjadi kendala bagi pertumbuhan. Selain itu, wawancara dengan sektor perbankan mengindikasikan bahwa bank-bank di Jawa Timur memiliki keyakinan akan perkembangan pasar keuangan di Jawa Timur, terutama di pusat-pusat ekonomi seperti Surabaya, Gresik, Pasuruan, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Malang, dan juga Banyuwangi. 50 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Apakah terdapat pembatasan kredit (credit rationing) oleh bank? Meskipun sektor manufaktur menyerap bagian terbesar dari alokasi kredit perbankan, jumlah total kredit yang dialokasikan ke sektor manufaktur semakin sedikit. Dari tahun 2000 sampai 2008, pangsa dari total kredit dialokasikan ke sektor manufaktur mengalami penurunan dari 44 persen menjadi 31 persen dari total portofolio kredit. Sebaliknya, kredit dialokasikan ke sektor perdagangan telah meningkat dari 18 persen di tahun 2000 menjadi 28 persen pada tahun 2008. Tren ini sejalan dengan perubahan struktur perekonomian Jawa Timur, di mana sektor manufaktur bekontraksi sedangkan sektor perdagangan tumbuh secara signifikan. Gambar 3.20: Alokasi kredit berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi (%) 140 120 Lain-lain (termasuk konsumsi) 100 23% Jasa sosial Jasa 11% Miliar Rupiah 80 Transportasi Perdagangan 60 28% Konstruksi 25% U litas 5% 40 Manufaktur 27% Pertambangan 24% 31% Pertanian 20 18% 32% 44 % 4% 4% 0 2000 2005 2008 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Bank Indonesia. Pertanian masih tetap dianggap sebagai sektor yang berisiko oleh bank. Pangsa kredit yang dialokasikan untuk sektor pertanian masih rendah, hanya 4 persen selama tiga tahun terakhir. Proporsi kredit yang rendah untuk sektor pertanian ini mirip dengan tren di provinsi lain di Indonesia. Risiko gagal di bidang pertanian dipandang tinggi dibandingkan dengan sektor manufaktur dan perdagangan. Meski masih dalam tahap awal, beberapa upaya telah diperkenalkan oleh beberapa institusi keuangan seperti pelatihan bagi petugas perbankan dalam melakukan penilaian risiko di sektor pertanian dan melakukan perlindungan resiko dengan menggunakan instrumen asuransi. Memberikan akses yang lebih besar terhadap kredit untuk sektor pertanian akan penting untuk merevitalisasi sektor yang menyerap angkatan kerja terbesar di Jawa Timur ini khususnya dalam meningkatkan produktivitasnya.19 Secara umum, bank masih tampak enggan untuk memberikan pinjaman ke usaha pertanian serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Kurangnya keahlian dan biaya overhead yang lebih besar dari pihak bank adalah salah satu alasan di balik kredit yang terbatas yang disediakan untuk sektor ini. Di sisi lain, masih ada kesenjangan dari sektor pertanian dan UMKM khususnya di bidang persyaratan formalisasi dan jaminan yang menambah masalah secara keseluruhan dalam pembiayaan kredit mikro. 19 Hal ini lebih banyak dibahas pada bagian 4. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 51 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Kotak 3.1: Akses keuangan (pendanaan) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) secara luas sudah diakui fungsinya sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi di banyak negara berkembang dan telah terbukti ketahanannya selama krisis. Pada tingkat nasional, UMKM menyumbang sekitar 70% dari total lapangan kerja di Indonesia dan sekitar 90% dari perusahaan diklasifikasikan sebagai UMKM (OECD, th 2008). Di Jawa Timur, UMKM sebagian besar terkonsentrasi di sektor pertanian dan perdagangan. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa struktur kredit untuk UMKM di Jawa Timur didominasi oleh kredit untuk usaha menengah dengan sekitar 65 persen dari total kredit untuk UMKM dialokasikan untuk segmen ini, kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan kecil dengan 29 persen dari total kredit UMKM yang diberikan kepada mereka. Sementara itu, usaha mikro yang memiliki skala kredit kurang dari Rp 50 juta hanya menerima sekitar 6 persen dari total kredit dialokasikan untuk UMKM. Proporsi kredit yang rendah untuk usaha mikro masih memiliki potensi untuk dikembangkan mengingat bahwa ada banyak usaha mikro yang potensial dan menguntungkan di Jawa Timur yang dapat dikembangkan lebih lanjut, walaupun sayangnya banyak yang kurang bankable. Pada tahun 2005, sebuah survei UMKM oleh Bank Indonesia menemukan bahwa bagi sebagian besar UMKM ada tiga isu utama dalam akses keuangan, yaitu: masalah badan hukum karena sebagian besar UMKM tidak memiliki status hukum resmi, meskipun mereka telah menggunakan jasa perbankan; persyaratan agunan yang sesuai kapasitas mereka, dan relatif tingginya suku bunga. Temuan ini mirip dengan wawancara yang dilakukan dengan beberapa bank di Jawa Timur. Bank-bank di Jawa Timur lebih memilih untuk lebih fokus pada kredit korporasi dan bukan kredit mikro. Memasuki pasar kredit mikro akan memerlukan investasi yang besar dan akan menyebabkan biaya overhead yang tinggi baik dalam sumber daya manusia maupun infrastruktur pendukung. Hal ini akan diterjemahkan ke dalam suku bunga yang lebih tinggi untuk kredit mikro. Tingkat bunga untuk kredit mikro dari perbankan-bank komersial berkisar dari 21 persen menjadi 24 persen per tahun, jauh lebih tinggi daripada kredit ritel yang berkisar dari 13 persen menjadi 15 persen per tahun. Jumlah pinjaman dan formalisasi adalah salah satu keterbatasan yang dihadapi oleh UMKM dalam memperoleh kredit. Ada kesenjangan antara jumlah pinjaman yang diminta oleh UMKM dan ukuran di mana bank komersial bersedia meminjamkan. Bank cenderung lebih enggan dalam memberikan pinjaman senilai kurang dari Rp 100-200 juta. Untuk urusan formalisasi, UMKM sering tidak dapat memenuhi persyaratan bank untuk memenuhi syarat untuk pinjaman, terutama yang berkaitan dengan kepemilikan tanah secara legal untuk agunan, izin usaha, dan NPWP. Untuk bisa membantu UMKM mengakses kredit ini, beberapa bank telah menyiapkan beberapa kebijakan khusus terhadap UMKM seperti pelatihan bagi analis kredit untuk lebih menilai risiko bagi UMKM, pengembangan hukum alternatif khususnya di bidang perizinan lebih mudah serta link ke institusi penjamin kredit (yaitu kantor, premi, dan prosedur klaim). Sumber: Laporan Pendahuluan REDI tentang Diagnosa Pertumbuhan Jawa Timur (East Java Growth Diagnostic) (2010) dan Laporan Bank Indonesia tentang Analisa Ekonomi Regional (2010). Kesimpulan Pasokan, biaya, dan akses terhadap sumber daya keuangan tampaknya tidak menjadi kendala bagi investasi swasta di Jawa Timur. Rasio kredit terhadap PDB di Jawa Timur sedikit lebih rendah dibandingkan angka nasional, tapi ini lebih mungkin disebabkan karena kurangnya permintaan bukan karena kurangnya akses. Dari kredit yang dialokasikan, mayoritas kredit telah dialokasikan terhadap investasi dan modal kerja. Korelasi antara perubahan suku bunga dan laju pertumbuhan tidak terlihat kuat di Jawa Timur. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan tidak responsif terhadap perubahan suku bunga dan dengan demikian mungkin bukan kendala pada pertumbuhan. Tingkat pinjaman di Jawa Timur juga sama dengan tingkat rata-rata nasional, menunjukkan bahwa bank tidak mengenakan biaya premi untuk resiko bisnis yang dihadapi. Selanjutnya, LDR yang tinggi dan NPL yang rendah serta ketersediaan bank di Jawa Timur menunjukkan bahwa bank-bank sudah melakukan peran yang memadai sebagai perantara keuangan 52 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Meskipun biaya dan akses keuangan di Jawa Timur tampaknya tidak menjadi kendala yang mengikat bagi pertumbuhan, akses keuangan untuk UMKM masih merupakan suatu tantangan. UMKM masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan kredit karena mereka sering tidak dapat memenuhi persyaratan utama seperti pencapaian status hukum formal dan jaminan, sebelum pinjaman diberikan. Lebih jauh, dikarenaka biaya yang lebih tinggi bagi bank dalam pengelolaan kredit mikro (termasuk biaya overhead dan kegagalan yang lebih tinggi serta memerlukan investasi yang spesifik dari perbankan), UMKM juga menghadapi suku bunga yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, akses ke pembiayaan bagi UMKM masih menjadi persoalan dan membutuhkan dukungan pemerintah serta lembaga keuangan. Rekomendasi Meskipun terdapat pasokan dana yang memadai dan ketersediaan lembaga perbankan dan keuangan, masih diperlukan jembatan untuk menghubungkan lembaga pemberi pinjaman (dan kredit) dengan pelaku ekonomi (seperti UMKM). Tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten untuk membangun hubungan ini antara lain adalah: · Memfasilitasi proses registrasi tanah dan usaha untuk UMKM. Banyak UMKM masih enggan dalam mengajukan proposal untuk mendapatkan kredit dari perbankan karena biaya tinggi yang dikeluarkan untuk mendapatkan pinjaman. Salah satu biaya yang harus dikeluarkan adalah untuk pendaftaran usaha dan tanah UMKM secara resmi. Dalam hal ini, pemerintah bisa membantu UMKM dengan mengembangkan program-program khusus untuk sertifikasi tanah lewat BPN (Badan Pertanahan Negara), menyederhanakan proses registrasi usaha, dan mengurangi biaya registrasi untuk UMKM. · Meningkatkan skema penjaminan kredit. Bank masih enggan menyediakan pinjaman kepada sektor-sektor tertentu yang dianggap memiliki risiko kegagalan lebih tinggi, seperti sektor pertanian. Pada saat yang sama, Jawa Timur telah dikenal secara nasional sebagai lumbung bangsa dan sebagian besar dari angkatan kerja bekerja di sektor ini, sehingga keberlanjutan sektor ini adalah sangat penting untuk provinsi ini dan sebagian besar tenaga kerja. Untuk membantu meminimalkan resiko; pemerintah dapat memperkuat program skema penjaminan kredit untuk menjamin resiko lembaga perbankan atas sektor dengan resiko yang lebih tinggi. Dasar pemikiran dari skema penjaminan kredit adalah untuk mengatasi pembatasan kredit (credit rationing) oleh bank terutama karena tidak tersedianya jaminan. · Memperkuat kapasitas UMKM dalam mengakses pembiayaan melalui penyediaan bantuan teknis oleh pemerintah. Kurangnya pengetahuan sebagian besar UMKM mengenai prosedur dan proses mendapatkan kredit usaha bisa menjadi faktor di balik terbatasnya akses bagi UMKM untuk mendapatkan pinjaman. Untuk meningkatkan pengetahuan dalam proses dan cara mengajukan permohonan kredit, pemerintah dan lembaga keuangan dapat memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapasitas UMKM. Program pelatihan dapat disampaikan melalui fasilitas pelatihan pemerintah atau melalui pusat pelatihan desa menggunakan layanan mitra bank untuk konsultasi keuangan (Konsultan Keuangan Mitra Bank). · Memperkuat hubungan antara perbankan dengan lembaga keuangan mikro (LKM). Ada beberapa upaya yang bisa diambil untuk menyalurkan dana dari perbankan komersial ke lembaga keuangan mikro seperti BPR (Bank Kredit Mikro) untuk selanjutnya disalurkan ke usaha mikro. Pendekatan ini dapat lebih diperkuat terhadap jenis LKM lainnya terutama karena LKM memiliki peran yang signifikan dalam menangani UMKM dan anggota lain dari sektor informal. Salah satu pendekatan adalah melalui sosialisasi tentang LKM yang lebih luas (seperti melalui bazar informasi atas pegadaian, modal ventura) kepada kalangan UMKM. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 53 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur 3.2.2. Tingkat pengembalian aktivitas ekonomi 3.2.2.1. Tingkat pengembalian sosial terhadap investasi Rendahnya investasi swasta juga bisa disebabkan oleh tingkat pengembalian yang rendah dalam kegiatan ekonomi, yang disebabkan oleh tingkat pengembalian sosial yang rendah atas investasi atau tingkat kemampuan untuk mengambil hasil investasi (appropriability) yang rendah. Pengembalian sosial dapat dipengaruhi oleh biaya dan ketersediaan modal manusia, infrastruktur, dan barang-barang publik lainnya yang melengkapi investasi swasta. Investasi yang tidak memadai pada faktor-faktor pelengkap ini dapat menyebabkan pengembalian sosial yang rendah melalui produktivitas yang rendah dan tingginya biaya melakukan bisnis, dan karena itu mengurangi insentif bagi pengusaha untuk berinvestasi. Sub-bagian ini membahas apakah kemampuan untuk menarik tingkat investasi yang lebih tinggi di Jawa Timur dibatasi oleh kurangnya faktor pelengkap produksi seperti modal manusia, infrastruktur, dan pengetahuan teknis, dengan membandingkan Jawa Timur dengan negara lain atau provinsi lain di Indonesia. Bagian 3.2.2.2 akan membahas masalah kemungkinan rendahnya kemampuan untuk menarik keuntungan (appropriability) Ketersediaan dan biaya sumber daya manusia Pasokan tenaga kerja dan biayanya nampaknya bukan menjadi hambatan bagi investasi yang lebih tinggi di Jawa Timur, khususnya di industri padat karya. Jawa Timur memiliki jumlah tenaga kerja tertinggi di Indonesia, dan masih dapat dianggap sebagai sebuah provinsi yang "surplus tenaga kerja", terutama untuk industri padat karya berketrampilan rendah. Investasi padat karya dapat memanfaatkan jumlah pekerja yang cukup besar dengan keterampilan tingkat menengah, yaitu mereka yang setidaknya berpendidikan sekolah menengah atas. Tingkat pengangguran angkatan kerja dengan pendidikan minimal SMA saat ini yaitu 11,3 persen, menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja masih jauh dari jenuh. Selain itu, pasokan tenaga kerja dengan keterampilan menengah itu kemungkinan akan meningkat, dengan kenaikan rasio partisipasi murni baik untuk murid SMA dan SMP selama 10 tahun terakhir. Gambar 3.21: Tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan, 2009 25 20 15 Persen 10 5 0 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Indonesia SMP kebawah SMU/SMK D1/D2/D3 S1/S2/S3 Sumber: Penghitungan oleh staf Bank Dunia, berdasarkan data Sakernas (Februari 2009). Biaya mempekerjakan tenaga kerja di Jawa Timur relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain, yang sebagian mungkin dikarenakan besarnya pasokan angkatan kerja. Biaya yang rendah ditunjukkan oleh upah minimum regional dan upah bulanan rata-rata di 54 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Jawa Timur. Pada tahun 2009, Jawa Timur memiliki upah minimum provinsi terendah (Rp 570.000 per bulan) di Indonesia. Pada tahun 2009, provinsi ini juga memiliki upah terendah bulanan rata- rata (Rp 1.090.000) di negara ini. Ada atau tidaknya kelangkaan tenaga kerja dapat ditunjukkan oleh indikator "tingkat pengembalian pendidikan" (returns to education), yang antara lain menunjukkan upah premi yang dinikmati oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan kelompok mereka yang berpendidikan lebih rendah. Indikator ini mencerminkan "harga bayangan" untuk yang memiliki keterampilan, yaitu seberapa besar perusahaan menilai keterampilan pekerjanya. Tingkat "pengembalian pendidikan" yang tinggi berarti perusahaan harus membayar upah lebih tinggi untuk mempekerjakan seorang pekerja terampil, yang dapat mendorong perusahaan untuk mengambil pekerja terampil dari provinsi lain dengan upah yang lebih rendah. Pada tahun 2008, upah premium Jawa Timur untuk seorang "pekerja terampil", contohnya seseorang dengan gelar sarjana, adalah sekitar 72 persen lebih tinggi dari upah seorang pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Tingkat pengembalian pendidikan Jawa Timur sama dengan provinsi lain di Jawa tetapi secara signifikan lebih rendah daripada rata-rata nasional (105 persen, lihat gambar 3.23 di bawah). Hal ini menunjukkan bahwa pasar bagi pekerja terampil belum jenuh di Jawa Timur, yang berarti bahwa perusahaan dapat terus mempekerjakan pekerja terampil tanpa perlu membuat peningkatan upah yang signifikan bagi pekerja terampil itu. Gambar 3.22: Upah minimum dan rata-rata upah bulanan 2000 1800 1600 1400 Ribu Rupiah 1200 1000 800 600 400 200 0 DKI Jakarta Banten Sumatera Sulawesi D I Yogyakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Utara Selatan Rata-rata upah bulanan 2009 Upah minimum provinsi 2009 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas Februari 2009, BPS, dan Bank Dunia (publikasi yang akan datang). Gambar 3.23: Tingkat pengembalian pendidikan-upah premium bagi pekerja yang lebih berpendidikan 120 105 100 94 80 80 80 76 72 60 Persen 60 40 20 0 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Indonesia SMA vs. pendidikan lebih rendah SMA & keatas vs. pendidikan lebih rendah (D4/S1) vs. pendidikan lebih rendah Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas Februari 2009, BPS, dan Bank Dunia (publikasi yang akan datang). DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 55 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Secara umum, tingkat pendidikan tenaga kerja di Jawa Timur masih rendah. Lebih dari setengah (55 persen) dari tenaga di Jawa Timur adalah lulusan SD atau lebih rendah. Sebagian besar tenaga kerja berpendidikan rendah ini adalah dari kelompok demografis yang lebih tua dan bertempat tinggal di daerah pedesaan. Sekitar 82 persen dari angkatan kerja berumur 40 tahun atau lebih di daerah pedesaan memiliki tingkat pendidikan SD atau lebih rendah. Secara total, proporsi tenaga kerja yang berumur lebih dari 40 tahun dan hanya pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar adalah 35 persen dari seluruh tenaga kerja di provinsi ini. Kelompok tenaga kerja ini punya kemungkinan lebih kecil untuk memenuhi syarat kerja dari sektor manufaktur, dan kemungkinan besar mereka juga sulit untuk dapat beralih dari sektor pertanian yang produktivitasnya rendah. Peningkatan produktivitas pada segmen tenaga kerja ini akan membutuhkan pendekatan yang berbeda, misalnya dengan mempromosikan usaha pedesaan non-pertanian atau manufaktur berbasis pertanian. Jawa Timur juga menghadapi tantangan untuk meningkatkan keterampilan teknis tenaga kerjanya. Perbandingan antara tenaga kerja yang memiliki latar belakang pendidikan teknis (SMK atau Politeknik) masih di bawah tingkat provinsi tetangga, kecuali Jawa Tengah (lihat gambar 3.24). Kurangnya standardisasi kompetensi profesional dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan juga menjadi perhatian dari asosiasi pengusaha (APINDO) di Jawa Timur. Gambar 3.24: Perbandingan tenaga kerja Jawa Timur dengan pendidikan teknis, 2009 25 20 15 Persen 10 5 0 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Sekolah Kejuruan Politeknik Sekolah Kejuruan & Politeknik Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas (Februari 2009). Infrastruktur Buruknya infrastruktur telah menjadi salah satu hambatan utama untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Indonesia secara nasional. Kondisi infrastruktur di Indonesia telah menurun dalam dua dekade terakhir. Menurut laporan Daya Saing Global (World Competitiveness Report), pada tahun 1996, kondisi infrastruktur di Indonesia lebih baik dari Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka. Pada tahun 2002, semua negara itu telah menyusul Indonesia dalam kualitas infrastruktur secara keseluruhan (World Bank, 2005). Pada tahun 2009, Indonesia menempati peringkat ke-84 dalam hal kualitas infrastruktur secara keseluruhan dalam indeks daya saing global, di bawah negara-negara tetangganya kecuali Filipina dan Kamboja (WEF, 2009). Infrastruktur dirasakan oleh sektor swasta sebagai kendala yang paling penting bagi operasi mereka. Menurut survei KPPOD dan Asia Foundation (2007), sebagian besar perusahaan mengidentifikasi (buruknya) infrastruktur sebagai kendala utama operasi mereka. Secara nasional, 34,6 persen perusahaan percaya infrastruktur yang buruk sebagai kendala utama, sementara di Jawa Timur 23,2 persen perusahaan menganggap hal tersebut sebagai hal utama yang perlu perhatian. 56 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Demikian pula, Survey Pemantauan Iklim Investasi di Indonesia (MICI) yang dilakukan LPEM FEUI (2006) mengidentifikasi masalah infrastruktur, terutama listrik dan transportasi sebagai salah satu faktor yang merupakan kendala besar untuk kegiatan usaha dan ekspansi, bersama-sama dengan ketidakstabilan ekonomi makro, dan korupsi. Tabel 3.7: Hambatan terpenting bagi operasi bisnis, 2007 Hambatan Utama Jawa Timur Indonesia Ketersediaan Lahan 9,77 11,54 Kepastian Hukum 2,42 2,12 Perijinan Bisnis 8,38 8,57 Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota 1,56 1,95 Interaksi pemerintah kabupaten dengan kalangan bisnis 14,95 9,74 Regulasi 1,47 1,00 Biaya transaksi 7,61 7,22 Transparansi dan Akses ke Informasi 3,63 2,60 Infrastruktur 23,16 34,55 Pajak pemerintah daerah 2,16 2,38 Masalah tenaga kerja 0,35 0,50 Masalah keuangan 10,89 8,32 Masalah pemasaran dan distribusi 8,82 5,59 Keamanan 3,80 3,04 Penyelesaian konflik/sengketa 1,04 0,87 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei KPPOD dan The Asia Foundation, 2007. Catatan: Angka dalam tabel merupakan persentase perusahaan. Tabel 3.8: Masalah yang dianggap hambatan penting bagi kegiatan bisnis Masalah Indonesia Jawa Timur Telekomunikasi 15 11 Listrik 32 24 Transportasi 28 23 Biaya Keuangan 25 22 Ketidakpastian dalam Kebijakan Ekonomi dan Peraturan Hukum 39 37 Ketidakstabilan Makroekonomi 45 42 Korupsi Pemerintah Daerah 35 32 Keterampilan Tenaga Kerja 19 15 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei LPEM-FEUI Monitoring Investment Climate in Indonesia, 2006. Catatan: Angka dalam tabel merupakan persentase perusahaan. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 57 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Buruknya kondisi infrastruktur merupakan salah satu kunci yang menyebabkan tingginya biaya logistik dan rendahnya daya saing perekonomian Indonesia. Logistics Performance Index (LPI)20 Indonesia terus menurun antara tahun 2007 dan 2010. Pada tahun 2007, LPI Indonesia masih berada pada tingkat 47 dari negara-negara yang disurvei, tetapi pada tahun 2010, menurun di posisi 75. Kinerja Indonesia di bidang LPI tertinggal dalam 3 tahun terakhir - yang diukur dengan skor 2,76 pada tahun 2010 dibandingkan dengan 3,01 pada tahun 2007 (World Bank, th 2010). Sebuah studi oleh LPEM-FEUI menemukan bahwa biaya logistik Indonesia adalah sekitar 14 persen dari total biaya produksi, dibandingkan praktek terbaik di Jepang yang hanya 4,88 persen (Patunru, et.al, th 2009). Studi lain oleh LPEM FEUI (2009) memperkirakan bahwa rata-rata biaya operasi kendaraan di provinsi yang disurvey di Indonesia adalah Rp 3.093 per kilometer, atau USD 0,34 per kilometer. Ini lebih tinggi daripada rata-rata Asia, yaitu sekitar Rp 0,22 per kilometer. Rendahnya kualitas jalan juga merupakan hambatan untuk mengintegrasikan daerah-daerah miskin dan terpencil dengan pasar yang lebih besar. Tingginya biaya dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai pasar secara signifikan mengurangi laba perusahaan dan mungkin secara signifikan mengurangi peluang mendapatkan keuntungan ekonomi. Gambar 3.25: Indeks Daya Saing Global 2009-2010: kualitas infrastruktur (pilar ke-2) Vietnam (rank 94) Philipines (rank 98) Indonesia (rank 84) India (rank 76) China (rank 46) Thailand (rank 40) Malaysia (rank 26) 0 1 2 3 4 5 6 7 Indices (scale 0-7 ; 7 is being the best) Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum. Terlepas dari berbagai masalah yang tercermin dalam indikator infrastruktur tersebut, kinerja Jawa Timur masih dipandang relatif cukup baik dalam menyediakan akses ke infrastruktur penting bagi masyarakat umum, dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Jawa Timur memiliki akses yang lebih baik untuk listrik, air bersih dan saluran telepon permanen dibandingkan daerah lain, yang mungkin mengindikasikan bahwa penduduknya menikmati standar hidup yang tinggi. Sekitar 99 persen rumah tangga di Jawa Timur memiliki akses listrik dibandingkan dengan 94 persen secara nasional. Sekitar 67 persen rumah tangga memiliki akses ke air bersih, lebih tinggi dari rata-rata nasional (58 persen). Meskipun hanya 12 persen rumah tangga Jawa Timur memiliki akses ke saluran telepon permanen, tingkat ini sama dengan di provinsi lain di Indonesia, kecuali DKI Jakarta (59 persen). 20 Logistik adalah pengaturan atau manajemen arus barang, informasi dan sumber daya lain, termasuk energi dan manusia, antara titik asal (point of origin) dan titik konsumsi (point of consumption) untuk memenuhi permintaan konsumen. 58 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 3.26: Akses ke infrastruktur penting per provinsi, 2008 100 Persentase rumah tangga 75 50 25 0 Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Sulawesi Nasional Utara Selatan Listrik (PLN & Non-PLN) Air bersih Proper sanit on Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas 2008. Meskipun demikian, kualitas jaringan jalan dan pelabuhan serta pasokan listrik untuk perusahaan tetap menjadi keprihatinan yang signifikan untuk bisnis di Jawa Timur. Kalangan bisnis mempertimbangkan isu-isu ini sebagai hambatan yang signifikan untuk meningkatkan kinerja perusahaan mereka dan dapat menghambat potensi Jawa Timur untuk mencapai tingkat investasi dan pertumbuhan yang lebih besar. Kondisi jaringan jalan nasional di Jawa Timur masih lebih baik dibandingkan daerah lain di Indonesia dan sebanding dengan provinsi-provinsi tetangga lainnya di Jawa. Jaringan jalan nasional meliputi jalan penghubung ibukota provinsi ini dengan ibukota provinsi lain, tempat- tempat strategis (seperti pelabuhan dan bandara) dan jalan tol. Pada tahun 2008, hanya 4,4 persen dari jaringan jalan nasional di Jawa Timur dianggap dalam kondisi buruk atau sangat buruk, dan angka ini jauh lebih rendah daripada rata-rata nasional (16,8 persen). Meskipun kondisi jalan Jawa Timur menempati peringkat kedua dari bawah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Jawa, kondisi di Jawa Timur masih jauh lebih baik dari Banten di tempat terakhir, di mana 15,7 persen jalan nasional mereka berada dalam kondisi buruk atau sangat buruk. Sementara itu, kondisi jaringan jalan kabupaten dan provinsi di Jawa Timur terlihat lebih buruk daripada jaringan jalan nasional. Jaringan jalan kabupaten adalah jalan arteri sekunder yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan pusat-pusat ekonomi di kecamatan, sedangkan jaringan jalan provinsi menghubungkan semua ibukota kabupaten satu sama lain. Sekitar 10 persen dari seluruh jalan provinsi dan 33 persen dari seluruh jalan kabupaten di Jawa Timur berada dalam kondisi buruk atau sangat buruk. Buruknya kualitas jalan provinsi dan kabupaten ini dapat meningkatkan biaya transportasi karena mayoritas usaha kecil di sektor manufaktur dan pertanian menggunakan jalan tersebut untuk mengangkut produk mereka ke pasar utama di kota-kota besar. Jalan-jalan ini sering digunakan untuk membawa bahan baku dan menengah untuk diproses lebih lanjut di pusat-pusat industri utama. Sebuah studi oleh LPEM (2005) menemukan bahwa kontributor utama dalam masalah tingginya biaya logistik di Indonesia adalah biaya input logistik (dari vendor ke produsen), yang memberikan kontribusi sekitar 7 persen dari biaya produksi (atau sekitar 50 persen dari biaya logistik). Hal ini dapat meningkatkan biaya input dan kadang-kadang mengurangi ketersediaan input. Jalan-jalan provinsi dan kabupaten yang buruk bisa menjadi penyebab utama untuk biaya logistic yang tinggi secara keseluruhan dan merupakan persoalan bagi provinsi yang ingin menjadi pusat ekonomi di negara ini. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 59 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.27: Perbandingan jalan yang kondisinya buruk atau sangat buruk berdasarkan jenis jaringan, 2008 100 80 70.7 60 53.0 Persen 49.0 40.6 40 32.9 35.4 25.2 20 0.0 0 Jawa Timur Jakarta Jawa Tengah Jawa Barat DI Yogyakarta Banten Papua Indonesia Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum 2008. Gambar 3.28: Jumlah kendaraan /km jalan, 2008* Jakarta 8317 Hanoi 2679 Surabaya 1590 Mumbai 791 Jawa Timur 330 Shanghai 163 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai data (lihat daftar referensi). Selain kualitas jalan, faktor lain untuk tingginya biaya transportasi adalah kemacetan jalan. Kemacetan akan terjadi jika terdapat terlalu banyak kendaraan di jalan. Kepadatan kendaraan di Jawa Timur adalah 330 kendaraan (termasuk sepeda motor) per km jalan, dan ini masih lebih baik daripada DKI Jakarta (8.317 kendaraan per km). Namun, kepadatan kendaraan yang relatif tinggi terdapat di Surabaya (1.590 kendaraan per km), yaitu ibukota dan pusat kegiatan ekonomi di provinsi ini. Meskipun kepadatan kendaraan di Surabaya masih di bawah Hanoi (2.679 kendaraan per km), secara signifikan tetap lebih tinggi daripada Mumbai dan Shanghai, yang dipadati kurang dari 1.000 kendaraan per km. Faktor lain yang mempengaruhi biaya pengangkutan barang di Jawa Timur adalah gangguan yang disebabkan oleh bencana semburan lumpur di salah satu koridor industri utama Jawa Timur. Lokasi bencana semburan lumpur berada tepat di persimpangan jalan utama yang menghubungkan Malang, Pasuruan dan Surabaya, yaitu pusat-pusat ekonomi di Jawa Timur. Aliran lumpur telah menyebabkan penutupan jalan tol utama antara Porong dan Gempol dan relokasi 18 km rel kereta api antara Surabaya dan Malang. Bappenas (2007) memperkirakan bahwa sedikitnya 3.614 pekerja industri harus menganggur akibat bencana ini. Saat laporan ini dipublikasikan, jalan antara Malang dan Surabaya dan Pasuruan masih cukup padat akibat bencana ini. 60 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Kotak 3.2: Semburan lumpur panas porong: tantangan tambahan bagi infrastruktur Jawa Timur Pada tanggal 28 Mei 2006, semburan campuran uap gas dan lumpur panas tiba-tiba meletus 200 meter di selatan dari eksplorasi sumur minyak yang dibor di tengah kawasan pemukiman di kota Kecamatan Porong, Kab. Sidoarjo. Seminggu kemudian, dua letusan kembali terjadi, 800 dan 1000 meter di utara dari sumur, masing-masing. Pada bulan Juni 2006, lumpur menutupi area seluas 111 ha, termasuk jalan arteri utama Selatan-Utara dan bagian dari ruas jalan pantai utara Jawa dari pelabuhan Merak di ujung barat Jawa ke pelabuhan Banyuwangi di ujung timur. Jalan tol Surabaya-Gempol ditutup sementara selama seminggu pada Juni 2006. Pada bulan September aliran lumpur yang menyembur keluar sudah hampir tiga kali lipat dari 50.000 m3/hari menjadi 125.000 m3/hari dan mengakibatkan beberapa tanggul runtuh, menyebabkan penutupan kembali jalan tol. Lumpur tersebut juga merusak jalur kereta api, mengganggu layanan sistem kereta api termasuk kereta api ke daerah-daerah selatan dari Tengah dan Barat Jawa. Amblesan juga terjadi dan meretakkan akses jalan tol Porong dan membongkar jaringan pipa LNG yang terletak di samping jalan tol, menyebabkan ledakan besar. Pada bulan November 2006, jalan tol tersebut ditutup secara permanen. Lama perjalanan darat dari Surabaya ke Malang, yang seharusnya 90 menit dengan jalan tol, sekarang mencapai 4 jam pada hari normal dan sampai 8 jam jika bagian Porong yang terhambat dibanjiri dengan air yang bocor dari tanggul atau hujan. Laporan audit BPK memperkiraan kerugian aset fisik mewakili sekitar 59 persen dari total kerusakan yang disebabkan oleh geyser lumpur. Sementara 37 persen terhitung dalam bentuk hilangnya pendapatan dari tambak ikan, dan 4 persen sisanya dari berkurangnya jasa perdagangan dan transportasi di area tersebut. Sumber: Laporan Pendahuluan REDI tentang Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur (East Java Growth Diagnostic), 2010. Infrastruktur pelabuhan laut di Jawa Timur lemah. Pelabuhan dianggap sangat penting bagi perekonomian Jawa Timur karena peran pentingnya sebagai titik pengirim dan penerima barang ke- dan dari luar provinsi. Pelabuhan utama di Jawa Timur adalah pelabuhan Tanjung Perak, yang merupakan salah satu dari empat pelabuhan laut komersial terpenting di Indonesia (selain Belawan di Sumatera Utara, Tanjung Priok di Jakarta, dan Soekarno Hatta di Makassar). Pelabuhan Tanjung Perak berfungsi sebagai pintu gerbang ke Indonesia Timur, dan karena itu menjadi kunci perdagangan antar pulau. Pelabuhan ini juga gerbang utama untuk mengangkut barang-barang ke daerah lain di Indonesia maupun ke luar negeri bagi industri kecil, menengah dan besar di Jawa Timur, seperti Rambipuji Industrial Estate (200 km jauhnya dari Tanjung Perak), Surabaya Industrial Estate Rungkut, dan Pasuruan Industrial Estate Rembang (60 km). Tanjung Perak terundung masalah inefisiensi umum yang sama dengan pelabuhan-pelabuhan laut lainya di Indonesia, dan ini tercermin dari kinerjanya yang rendah dinilai dari beberapa indikator pelabuhan penting. Rasio hunian dermaga (BOR), yang merupakan persentase waktu bersandar kapal di pelabuhan adalah 53 persen, relatif tinggi dibandingkan, misalnya, untuk Westport di Port Klang, Malaysia, dengan BOR sekitar 35 persen, sedangkan maksimum yang dapat diterima standar internasional adalah 40 persen (Patunru et.al, 2009). Studi Patunru menunjukkan bahwa kelemahan utama dari pelabuhan Tanjung Perak terletak pada infrastrukturnya. Beberapa contoh yang ada termasuk terbatasnya ruang dan sedikitnya dermaga, kedangkalan jalur, area penumpukan yang kurang memadai, ketersediaan kapal penarik dan operator untuk melayani kapal. Dangkalnya laut di sekitar pelabuhan mengurangi efisiensi kapal untuk mengirimkan kargo ke pelabuhan, khususnya untuk kapal besar, karena mereka harus beroperasi dengan ruang kargo yang kosong untuk menjaga agar kapal aman ketika melewati jalur masuk. Kelemahan ini bisa berarti lebih banyak waktu yang dibutuhkan di pelabuhan, sehingga mengakibatkan biaya pengiriman lebih tinggi untuk perusahaan pelayaran dan pengguna akhir. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 61 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Kotak 3.3: Jembatan Suramadu Pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura diawali tahun 1990 dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55/1990 tentang Pengembangan Suramadu (Keputusan Presiden Nomor 15/2002 berikutnya mengenai pembangunan berkelanjutan dari Jembatan Suramadu diterbitkan pada th 2002 . Konstruksi jembatan ini selesai pada bulan Juni 2009. Jembatan Suramadu adalah jembatan terpanjang di Indonesia dengan panjang 5.438 meter panjang dan lebar 30 meter. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu/BPWS dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden dan melapor langsung kepada Presiden. BPWS mengusulkan agar Pulau Madura dimasukkan dalam Gerbang Kertasusila (GKs), yaitu wilayah pembangunan daerah yang menjadi pusat industri utama di Jawa Timur. Saat ini, GK termasuk Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya Sidoarjo dan Lamongan. BPWS percaya bahwa jembatan yang menghubungkan Jawa dengan Madura akan meningkatkan pembangunan ekonomi Madura. Hubungan Jembatan Suramadu dan Pelabuhan Tanjung Perak Tanjung Perak sebagai pelabuhan utama Jawa Timur saat ini hanya memiliki kapasitas total 1,3 juta TEUs. Saat ini pelabuhan tersebut sudah hampir beroperasi pada kapasitas mendekati optimal, sebesar 1,1 juta TEUs. Pelabuhan Tanjung Perak juga menyediakan akses laut yang kurang memadai karena dasar lautnya yang dangkal. Diperkirakan ada 12-14 kecelakaan laut per tahun di pelabuhan Tanjung Perak. Madura memiliki potensi untuk menjadi lokasi pelabuhan internasional karena pantai utara memiliki kedalaman 12-16 m, dimana hal ini dianggap unik di Jawa Timur. Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura membuat ide pembangunan pelabuhan internasional di Madura lebih layak dan menarik. Manfaat Primer Jembatan Suramadu Manfaat utama dari Jembatan Suramadu adalah memperbaiki arus transportasi barang dan penduduk. Dengan meningkatnya lalu lintas, waktu perjalanan dan biaya dari Madura ke pulau utama akan diminimalkan, sehingga meningkatkan efisiensi kegiatan ekonomi. Manfaat langsung lainnya adalah pendapatan dari tol jembatan. Volume lalu lintas kendaraan yang lebih tinggi juga akan menghasilkan pendapatan tol yang lebih tinggi. Manfaat Sekunder Jembatan Suramadu Manfaat Jembatan Suramadu yang kedua adalah beberapa efek turunan dari keberadaan jembatan itu sendiri. Beberapa efek potensial meliputi: (i) peningkatan kegiatan ekonomi yang akan mengarah pada pengembangan agribisnis, perdagangan, manufaktur, dan jasa di Madura, (ii) peningkatan permintaan untuk perumahan dan fasilitas yang dapat menyebabkan kebutuhan yang lebih tinggi untuk infrastruktur, (iii ) peningkatan jumlah penduduk yang akan mendorong peningkatan permintaan untuk barang dan jasa. Sumber: Laporan Pendahuluan REDI berdasarkan interview REDI dengan Kepala BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Suramadu), dokumen BPWS, dan www.suramadu.com. Infrastruktur lainnya yang penting dan sangat relevan bagi operasi bisnis adalah pasokan listrik. Jawa Timur merupakan bagian dari sistem inter koneksi Jawa-Bali yang dioperasikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Secara keseluruhan, jaringan ini masih surplus dalam produksi listrik karena banyak dari pembangkit tenaga listrik besar yang melayani sistem Jawa-Bali terletak di daerah Jawa Timur seperti Paiton, Grati, dan pembangkit listrik tenaga uap dan gas Gresik. Selain itu, beberapa pembangkit listrik baru baik milik PLN maupun Independent Power Producer (IPP) telah mulai dibangun pada tahun 2010 sejalan dengan pembangunan proyek listrik sebesar 10.000 MW. Tabel 3.9 di bawah ini mengilustrasikan keseimbangan kapasitas pasokan listrik dan permintaan di Jawa Timur. 62 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Tabel 3.9: Perkiraan keseimbangan permintaan-pasokan listrik Jawa-Bali, th 2009-2014 (tanpa kapasitas tambahan) 2009 2010 2011 2012 2013 Permintaan Peak Load (MW) 3.581 3.840 4.159 4.548 4.978 Pasokan Total Produksi (MW) 23.175 24.887 26.997 29.557 32.442 Sumber: PLN (2009b). Masalah utama dalam penyediaan listrik di Jawa Timur terletak pada kapasitas jaringan transmisi dan distribusi yang mempengaruhi kehandalan pasokan listrik. PLN 2009(c) menyebutkan masalah berikut sehubungan dengan transmisi dan distribusi tenaga listrik: (i) kelebihan beban dari trafo inter bus dan trafo utama stasiun relay; (ii) jaringan transmisi yang tidak sesuai dengan kriteria kehandalan, (iii) tegangan di bawah standar; (iv) jaringan dan peralatan yang sudah lama, dan (v) terbatasnya jumlah stasiun relay utama. Memperbaiki masalah ini akan memerlukan investasi baru yang saat ini terkendala dengan kemampuan keuangan PLN untuk meningkatkan belanja modal. Tambahan atas masalah ini adalah adanya permasalahan operasional PLN yaitu tersendatnyanya pasokan minyak dan batubara. Penurunan pasokan gas alam, serta penurunan dan gangguan pada stasiun pembangkit. Masalah-masalah operasional ini telah menyebabkan PLN untuk terkadang melakukan pemadaman listrik demi menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan (PLN 2009a). Namun, sistem Jawa-Bali secara umum belum mengalami defisit pasokan listrik seperti yang dialami pulau-pulau lain di Indonesia yang menyebabkan terjadinya pemadaman reguler. Terbatasnya transmisi utama dan jaringan distribusi membatasi kemampuan PLN untuk memenuhi seluruh permintaan instalasi listrik baru. Persentase pelanggan daftar tunggu oleh PLN adalah 20 persen di Jawa Timur, sedangkan di DKI Jakarta dan Sumatera Utara tidak ada permintaan pelanggan yang harus masuk daftar tunggu. Meskipun tidak ada rincian tentang berapa banyak dari pelanggan ini berasal dari segmen perumahan atau industri, indikator ini merujuk bahwa listrik menjadi perhatian bagi mereka yang ingin memulai bisnis baru. Tabel 3.10: Permintaan pemasangan listrik baru, terpasang, dan daftar tunggu 2008 Permintaan Baru Jumlah pelanggan Jumlah calon (Jumlah yang sudah pelanggan di % daftar tunggu pelanggan) terhubung daftar tunggu Jawa Timur 201.450 161.429 39.988 20% Jawa Tengah dan Yogya 381.146 239.996 141.150 37% Jawa Barat dan Banten 588.208 413.559 172.058 29% Jakarta Metropolitan & 104.400 104.390 0 0% Tangerang Jawa 1.275.204 919.374 353.196 28% Aceh 87.772 80.123 7.649 9% Sumatera Utara 83.218 83.218 0 0% Luar Jawa 1.403.088 590.983 809.223 58% Indonesia 2.678.292 1.510.357 1.162.419 43% Sumber: PLN 2008. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 63 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Secara umum, perusahaan-perusahaan swasta menggunakan generator sebagai cadangan untuk mengantisipasi masalah dengan pasokan listrik PLN. Menurut KPPOD, sekitar 22 persen dari 1.927 bisnis yang disurvei mempersiapkan generator sendiri, dan ini membuat Jawa Timur sebagai provinsi dengan penggunaan generator swasta tertinggi kedua untuk perusahaan di Jawa. Indikator ini mengindikasikan masih rendahnya kepercayaan dunia usaha terhadap kehandalan pasokan listrik dari PLN. Gambar 3.29: Persentase Perusahaan yang menggunakan genset sendiri 70 60 50 40 Persen 30 20 10 0 DI Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jawa-Bali Luar Jawa Kalimantan Riau Sulawesi Yogyakarta Timur Selatan Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survey KPPOD and Asia Foundation 2007. Terlepas dari permasalahan yang ada, sub-sistem Jawa Timur masih menjadi satu yang lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan sub-sistem PLN lainnya. Hal ini terlihat dari indikator operasional SAIDI (System Average Interruption Duration Index) yang mengukur rata-rata lama gangguan listrik yang dialami oleh pelanggan, dan SAIFI (Sistem Average indeks Interruption Frequency) yang mengukur rata-rata frekuensi gangguan yang dialami oleh pelanggan. Sub-sistem Jawa Timur diukur dengan SAIFI dan SAIDI masih lebih rendah daripada daerah lain di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Survei Pemantauan Iklim Investasi LPEM FEUI (2006) juga menunjukkan bahwa Jawa Timur mengalami gangguan listrik rata-rata 7 kali selama periode enam bulan pada tahun 2006, sedangkan rata-rata seluruh Indonesia masih 26 kali. Tabel 3.11: Indikator Listrik Padam, Jawa Timur dan di subsistem lainnya (2008) System Average Interruption System average Interruption Duration Index Frequency Index (SAIDI dalam jam per pelanggan) (SAIFI dalam jumlah per pelanggan) Sistem Distribusi Jawa Timur 2,9 3,8 Jawa Tengah dan Yogya 365,3 21,7 Jawa Barat dan Banten 13,4 7,0 Jakarta Metropolitan & Tanggerang 14,4 7,4 Jawa 103,7 10,0 Aceh 5,4 10,0 Sumatera Utara 144,0 59,6 Luar Jawa 33,7 20,2 Indonesia 80,9 13,3 Sumber: PLN 2008. 64 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Kondisi geografis Posisi geografis Jawa Timur menawarkan keunggulan strategis dan bukannya hambatan bagi pertumbuhan ekonomi provinsi ini. Dengan lokasinya yang strategis di ujung timur pulau Jawa, Jawa Timur mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi yang relatif padat di pulau ini, dengan menjadi pintu gerbang penting untuk perdagangan antar-pulau dengan bagian timur Indonesia. Topografi Jawa Timur yang relatif datar juga tampaknya menguntungkan. Sebuah anekdot dari sebuah studi LPEM (2005) menunjukkan bahwa satu perusahaan eksportir furniture yang berlokasi di Boyolali (sebuah kota kecil di provinsi Jawa Tengah) lebih memilih menggunakan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, meskipun Boyolali lebih dekat dengan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Hal ini karena jalan menuju Pelabuhan Tanjung Emas berbukit-bukit sedangkan jalan ke Surabaya lebih datar, sehingga memberikan akses yang lebih mudah. Eksportir memilih Pelabuhan Tanjung Perak karena mereka tidak ingin furnitur mereka menjadi rusak di tengah perjalanan karena kondisi jalan yang sulit. Posisi geografis Jawa Timur telah memberikan keunggulan strategis dan seharusnya tidak menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi di provinsi ini. Kesimpulan Ketersediaan dan biaya tenaga kerja bukanlah merupakan kendala bagi investasi dan pertumbuhan di Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah tenaga kerja terbesar di Indonesia dengan 20,3 juta pekerja. Dengan tingkat pengangguran sebesar 6 persen dan 19 persen dari tenaga kerja masih muda dan lebih berpendidikan (yaitu dibawah 30 tahun dengan minimal pendidikan SLTA), pasar tenaga kerja di Jawa Timur masih belum terlihat jenuh. Jawa Timur juga merupakan provinsi dengan tingkat upah minimum regional dan rata-rata upah bulanan terendah dibandingkan dengan semua provinsi di Indonesia. Upah premi untuk mempekerjakan pekerja terampil di Jawa Timur juga lebih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kondisi infrastruktur dapat menjadi salah satu kendala untuk pertumbuhan yang lebih tinggi di Jawa Timur, seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia. Untuk usaha, kondisi jalan kabupaten yang buruk dan kemungkinan kemacetan di pusat-pusat ekonomi utama adalah dua faktor utama atas biaya transportasi yang tinggi, yang pada gilirannya mengakibatkan tingkat pengembalian investasi yang lebih rendah. Fasilitas pelabuhan utama yang beroperasi di Jawa Timur hampir mencapai kapasitas penuh yang mana diperparah oleh sistem operasional yang tidak efisien. Pasokan listrik juga dapat menjadi masalah serius bagi sektor swasta di Jawa Timur, terutama karena kurangnya kapasitas dalam jaringan transmisi dan distribusi yang mempengaruhi kehandalan pasokan listrik. Rekomendasi · Meskipun ketersediaan dan biaya tenaga kerja bukan menjadi kendala bagi investasi dan pertumbuhan di Jawa Timur, kualitas tenaga kerja masih dapat ditingkatkan melalui cara menyediakan beberapa program seperti (i) mengoptimalkan unit pusat pelatihan kerja oleh pemerintahan provinsi untuk meningkatkan dan mendiversifikasi keterampilan kerja, (ii) mengembangkan kompetensi sertifikasi standar untuk pekerja terampil dan profesional, dan (iii) membentuk kantor yang memfasilitas lowongan pekerjaan yang disponsori oleh pemerintah. Pemerintah bertindak sebagai jembatan yang mempertemukan permintaan dan penawaran pekerjaan. · Ketersediaan dan kualitas infrastruktur adalah sangat penting untuk mempromosikan investasi dan pertumbuhan di Jawa Timur. Di antara hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta untuk memperbaiki kondisi infrastruktur di provinsi ini, antara lain: DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 65 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur - Meningkatkan pasokan dan koneksi listrik ke perusahaan-perusahaan dengan cara (i) memfasilitasi PLN dalam mendapatkan izin yang diperlukan untuk memperluas transmisi listrik dan fasilitas distribusi seperti stasiun relay utama (Gardu Induk) dan jaringan transmisi tegangan tinggi (SUTT), (ii) memfasilitasi dan mempercepat investasi melalui kemitraan publik swasta untuk mendapatkan sumber energi alternatif berbiaya rendah misalnya panas bumi, angin, dan tenaga surya, khususnya di lokasi yang berpotensi tinggi untuk pengembangan industri. Hal ini akan memungkinkan PLN untuk membeli energi dengan harga yang lebih rendah dan mengurangi biaya transmisi dan distribusi; (iii) pemerintah pusat perlu menyediakan sumber daya keuangan yang memadai untuk mempercepat investasi dalam sistem transmisi dan distribusi, yang saat ini sangat memerlukan perluasan dan peningkatan. - Meningkatkan kualitas jalan kabupaten dengan (i) mengkaji alokasi belanja sektor infrastruktur untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang bagaimana dana tersebut dibelanjakan, (ii) mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pemeliharaan jalan. Anggaran untuk operasi dan pemeliharaan harus dialokasikan secara tepat agar Dinas Pekerjaan Umum di kabupaten dapat menggunakannya untuk memelihara kualitas jalan; (iii) memberikan insentif kepada kabupaten untuk pemeliharaan jalan seperti melalui hibah pendamping provinsi; dan; (iv) memperkuat pengawasan pemanfaatan jalan, termasuk optimalisasi jembatan timbang. Kerusakan jalan yang terjadi sering disebabkan oleh truk- truk kontainer yang kelebihan beban. Dengan mengoptimalkan fungsi jembatan timbang, pemerintah dapat berpotensi mengurangi beban dan kerusakan jalan. - Memperkuat fungsi pelabuhan laut di Jawa Timur dengan (i) mengurangi hambatan lalu lintas laut ke pelabuhan Tanjung Perak. Inisiatif untuk memperluas Alur Perairan Barat Surabaya perlu dilaksankan secepat mungkin dengan dukungan pemerintah. Rencana untuk menghilangkan dan merelokasi pipa yang mengganggu lalu lintas laut juga perlu dipercepat untuk menghindari dampak yang berkepanjangan, (ii) melaksanakan rencana untuk mengembangkan pelabuhan baru di Teluk Lamong, dan (iii) mengoptimalisasi pemanfaatan pelabuhan kecil di Jawa Timur melalui pembentukan jaringan transportasi laut intra-provinsi. 3.2.2.2. Kemampuan untuk mengambil hasil investasi Investasi kemungkinan rendah, bukan hanya karena tingkat pengembalian sosial untuk investasi yang rendah, tapi juga karena investor tidak dapat menarik hasil investasinya. Ada banyak masalah yang mungkin menghalangi investor untuk memetik manfaat sepenuhnya dari investasi mereka. Hal ini terutama terjadi ketika perusahaan-perusahaan, meskipun menghasilkan keuntungan, tidak mendapatkan keuntungan dari investasi mereka karena mekanisme tertentu yang mencegah mereka melakukannya. Ketidakmampuan untuk hasil investasi itu bisa berasal dari kondisi makroekonomi, seperti inflasi yang tinggi, volatilitas nilai tukar yang mengikis profitabilitas, atau terjadinya krisis makro (misalnya utang, bank) yang menyebabkan hilangnya simpanan swasta dan investor bangkrut. Selain itu, juga mungkin berasal dari kondisi mikro, seperti tingginya tingkat korupsi, tingginya tingkat pajak (legal maupun ilegal), ketidakpastian peraturan, lemahnya penegakan hukum, lemahnya hak cipta, dan kegagalan pasar (World Bank 2009). Faktor-faktor ini bersifat eksternal dari fungsi produksi perusahaan, namun dapat menyebabkan sektor swasta yang sebenarnya bisa menguntungkan menjadi perusahaan yang merugi. Resiko Makroekonomi Kondisi ekonomi makro yang mempengaruhi operasi sektor swasta di Jawa Timur serupa dengan yang ada di provinsi lainnya di Indonesia. Indonesia menikmati kondisi ekonomi makro yang relatif stabil selama lima tahun terakhir. PDB per kapitanya telah melebihi tingkat saat sebelum krisis dan pertumbuhan ekonomi kembali pada tingkat menjelang krisis ekonomi global. PDB riil telah tumbuh sebesar 5 sampai 6 persen per tahun sejak tahun 2002. Pertumbuhan 66 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Indonesia telah mengalami peningkatan dengan cepat hingga mencapai yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yakni 6,3 persen pada tahun 2007, dan 6,1 persen pada tahun 2008 terlepas dari penurunan tajam pada ekonomi global. Manajemen makroekonomi yang baik telah menghasilkan defisit anggaran yang lebih rendah, rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih rendah, dan untuk bagian yang penting, inflasi yang terkendali. Sektor keuangan umumnya telah pulih dari krisis 1998 dan secara keseluruhan rasio keuangan tetap sehat atau bahkan membaik selama krisis keuangan global. Kondisi surplus neraca pembayaran secara berturut-turut telah memungkinkan cadangan devisa asing terakumulasi, dan walaupun cadangan ditarik ketika tekanan pada rupiah mencapai puncaknya pada kuartal terakhir tahun 2008, hal ini telah pulih kembali setelah tekanan itu surut. Ekspor Indonesia telah tumbuh kuat, sedangkan utang luar negeri terhadap PDB telah turun (World Bank, 2009c). Gambar 3.30: Indikator-indikator Makroekonomi Indonesia Defisit anggaran rendah, dan rasio utang Surplus neraca pembayaran secara berturut-turut terhadap PDB terus menurun menyebabkan cadangan devisa asing terakumulasi 60.0 120 3,0 50.0 100 2,5 40.0 80 2,0 Miliar USD 30.0 60 1,5 102,5 20.0 40 80,0 1,0 65,4 10.0 76,4 55,2 38,6 20 58,3 0,5 34,9 32,9 0.0 45,6 0 0 -10.0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1999 2001 East 1998 R i a u 2000 South 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Utang publik (% PDB ) (LHS) anggaran (% PDB)(RHS) Kalimantan Neraca modalSulawesiNeraca berjalan Cadangan devisa Sumber: World Bank, 2009c. Angka inflasi di Jawa Timur juga serupa dengan indikator harga konsumen nasional. Inflasi pada tingkat daerah dapat bervariasi dari tingkat nasional. Inflasi mempengaruhi keputusan usaha investasi karena mencerminkan berbagai tingkat pajak implisit atau pengambilalihan, dan dapat mempengaruhi tingkat suku bunga riil yang harus dibayar oleh sektor usaha. Antara tahun 2001- 2008, tingkat harga di empat kota besar di Jawa Timur (Jember, Kediri, Malang, dan Surabaya) sebagian besar mendekati tingkat harga nasional (lihat Gambar 3.31). Dengan demikian, perbedaan tingkat harga antara beberapa kota utama di Jawa Timur dengan tingkat harga nasional tidak harus menjadi kendala untuk investasi dan pertumbuhan. Gambar 3.31: Inflasi di empat kota besar wilayah Jawa Timur secara umum sama dengan tingkat inflasi nasional Tingkat in asi (YoY) 20 18 16 14 12 Persen 10 8 6 4 2 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jember Kediri Malang Surabaya Indonesia Sumber: Data BPS data, selama beberapa tahun. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 67 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Prospek ekonomi makro yang kondusif secara keseluruhan di dalam negeri menunjukkan bahwa risiko makroekonomi untuk mampu menarik hasil investasi di Jawa Timur bukan menjadi kendala untuk investasi dan pertumbuhan yang lebih tinggi. Prospek ekonomi makro jangka menengah untuk Indonesia tetap kuat. Lembaga-lembaga pemeringkat kredit utama secara bertahap telah mengangkat peringkat Indonesia di bidang investasi, misalnya Standard dan Poors menaikkan peringkat Indonesia untuk utang jangka panjang dari CCC+ pada tahun 1998 menjadi B pada tahun 2003 dan BB untuk tahun 2008, sementara Fitch menaikkan peringkat Indonesia ke BB pada awal 2008. Pada saat peringkat ekonomi negara lainnya diturunkan atau ditempatkan pada daftar negatif yang perlu diwaspadai, lembaga-lembaga pemeringkat tersebut memindahkan Indonesia ke status peningkatan (upgrade) yang potensial selama gejolak ekonomi tahun 2009 (World Bank, 2009c). World Bank (2009d) memproyeksikan bahwa defisit anggaran masih akan tetap rendah dalam lima tahun ke depan dan rasio utang terhadap PDB akan terus menurun. Mengingat prospek menguntungkan tersebut, kondisi ekonomi makro seharusnya tidak menjadi kendala untuk meningkatkan investasi yang lebih tinggi di Jawa Timur. Resiko mikro untuk pengembalian hasil investasi Beberapa aspek dari lingkungan usaha dapat mengakibatkan hambatan potensial yang mengikat untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, seperti proses registrasi usaha, kepemilikan lahan dan korupsi di sektor publik. Pelaku usaha di Jawa Timur secara umum masih menghadapi kesulitan mendaftarkan usaha mereka secara resmi, dan hal ini dapat menghambat kemampuan perusahaan tersebut untuk memperoleh pendanaan dari sektor keuangan formal, atau untuk mengakses utang yang lebih besar dan pasar saham. Meskipun kemungkinan penggusuran lahan rendah di Jawa Timur, proses registrasi lahan secara formal masih bermasalah, dan hal ini mempersulit konversi aset lahan menjadi modal usaha. Selain itu, korupsi pada sektor publik dianggap masih tinggi di Kota Surabaya, yang merupakan wilayah pusat ekonomi utama di Jawa Timur. · Izin Usaha Sistem regulasi Indonesia dipandang kurang kompetitif dibandingkan negara lain dan dapat mempengaruhi tingkat pengembalian investasi. Laporan tahunan IFC berjudul "Doing Business", yang mengulas dampak regulasi di sektor usaha, telah menemukan bahwa peraturan investasi di Indonesia secara konsisten dianggap kurang kompetitif dibandingkan negara lain. Survei mereka yang terbaru pada tahun 2010 menempatkan Indonesia di peringkat 122 dari 183 negara yang disurvei. Kesulitan melakukan usaha di Indonesia adalah karena rumitnya prosedur dalam memulai usaha; peraturan yang kaku terkait dengan mempekerjakan pekerja; dan kesulitan memberlakukan kontrak komersial. Surabaya juga dianggap memiliki sistem regulasi yang lebih rumit dibandingkan daerah lain di Indonesia. Survei dilakukan di 14 kota di Indonesia untuk melihat tiga aspek yang berkaitan dengan regulasi yaitu kemudahan memulai usaha, kemudahan berkaitan dengan izin konstruksi, dan kemudahan mendaftarkan properti. Surabaya menempati peringkat ke-11 untuk kemudahan memulai usaha, peringkat terakhir untuk kemudahan berurusan dengan izin konstruksi, dan ke-6 untuk registrasi properti. 68 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 3.32: Peringkat dalam melakukan usaha di 14 kota Indonesia di tahun 2010 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Kemudahan memulai usaha (ranking) Kemudahan mengurus ijin konstruksi (ranking) (ranking) Sumber: Doing Business, IFC, 2010. Beberapa aspek regulasi bisnis, misalnya pendaftaran izin usaha dan izin konstruksi perlu ditingkatkan. Proses pendaftaran usaha di Surabaya (sebagai proxi untuk Jawa Timur) masih harus melewati prosedur yang rumit dan lebih mahal dibandingkan kota lainnya di Indonesia. Seperti contoh, proses registrasi usaha di Surabaya memiliki 10 prosedur, lebih banyak dibandingkan DKI Jakarta (9 prosedur) dan 8 prosedur untuk rata-rata kota di Asia Timur dan Pasifik. Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan 10 prosedur (50 hari) tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kota peringkat terbaik, yaitu, Bandung dan Yogyakarta (43 hari), walaupun Surabaya lebih cepat dibandingkan DKI Jakarta (60 hari). Biaya pendaftaran sebuah perusahaan di Surabaya setara dengan 32 persen dari pendapatan per kapita dan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Jumlah hari yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin konstruksi di Surabaya adalah 230 hari, lebih tinggi dari rata- rata Indonesia (160 hari) dan jauh lebih tinggi daripada Yogyakarta, yang dianggap sebagai kota terbaik yaitu hanya memerlukan waktu 43 hari (lebih rendah daripada rata-rata di Asia Timur dan Pasifik). Biaya untuk mendapatkan izin konstruksi di Surabaya sebesar 190,4 persen dari pendapatan per kapita, dan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Bagi sebagian besar perusahaan di Jawa Timur, tidak memiliki registrasi resmi dapat menjadi kendala untuk memperluas usaha. Hanya 47 persen dari semua perusahaan di Jawa Timur yang telah memiliki registrasi perusahaan resmi, angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional21 (Tabel 3.12). Proporsi usaha kecil yang resmi terdaftar di pemerintah bahkan lebih rendah (40 persen). Usaha kecil mempunyai transaksi dan interaksi yang lebih sedikit dengan lembaga- lembaga formal, sehingga mereka mungkin merasa tidak perlu untuk mendaftar secara resmi (KPPOD 2008). Namun demikian, tidak adanya registrasi resmi dapat menghambat kemampuan perusahaan untuk memperoleh pembiayaan dari sektor keuangan formal, akses utang yang lebih besar dan dana dari pasar saham, yang mana hal ini dapat membatasi kemampuan untuk ekspansi usaha. Pendaftaran perusahaan adalah sumber informasi utama bagi pemerintah atas usaha, dan data yang tidak komprehensif dapat menghambat pemerintah dalam membuat kebijakan yang efektif untuk mendukung sektor usaha. 21 Berdasarkan Undang-undang, semua usaha harus mendaftarkan perusahaan mereka secara resmi kepada pemerintah melalui sebuah proses yang disebut Tanda Daftar Perusahaan atau TDP. Proses pendaftaran tersebut berfungsi sebagai ajang untuk mengumpulkan informasi bagi pemerintah (KPPOD dan Asia Foundation 2007). DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 69 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Tabel 3.12: Proporsi perusahaan yang sudah memiliki izin usaha (TDP), 2007 (%) Indonesia Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Perusahaan skala kecil 47 40 45 35 32 Perusahaan menengah 58 49 61 49 61 Perusahaan skala besar 85 80 90 85 87 Semua perusahaan 54 47 55 44 49 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei KPPOD and Asia Foundation (2007). Tabel 3.13: Kemudahan menjalankan usaha, 2010 Asia Rata- Indikator Surabaya Yogyakarta DKI Jakarta Denpasar Timur & rata Pasifik OECD Memulai Usaha Baru Prosedur (berapa kali) 10 8 9 10 8,1 5,7 Waktu (jumlah hari) 50 43 60 58 41 13 Biaya (% dari PDB per kapita) 32 29 25,1 29,1 25,8 4,7 Mengurus Perizinan Konstruksi Prosedur (berapa kali) 14 8 14 13 18,6 15,1 Waktu (jumlah hari) 230 67 160 112 168,6 157 Biaya (% dari PDB per kapita) 190,4 133,7 194,8 183,7 139,6 56,1 Mendaftarkan Properti Prosedur (berapa kali) 6 6 6 6 5 4,7 Waktu (jumlah hari) 39 36 22 39 97,5 25 Biaya (% dari PDB per kapita) 10,8 10,9 10,7 10,9 3,9 4,6 Sumber: Doing Business, IFC, 2010. · Jaminan kepemilikan lahan dan akses ke lahan Masalah dalam kepemilikan lahan berpotensi menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Berdasarkan survei IFC Doing Business (2010), dibutuhkan 6 prosedur dalam 39 hari untuk melengkapi proses registrasi properti di Surabaya. Hal ini relatif lama dibandingkan dengan Yogyakarta, DKI Jakarta, dan rata-rata nasional. Survei juga melaporkan bahwa biaya registrasi properti di Surabaya adalah sekitar 10,8 persen dari nilai properti. Meskipun rasio ini sebanding dengan kota-kota lain di Indonesia, seperti Balikpapan (10,9 persen) atau Semarang (10,9 persen) tetapi jauh lebih besar dibandingkan kota-kota internasional lainnya seperti Thailand (1,1 persen) dan Singapura (2,8 persen). Survei KPPOD/Asia Foundation (2007) menemukan bahwa diperlukan waktu 36 minggu bagi perusahaan untuk mendapatkan sertifikat tanah di Surabaya, dan ini merupakan salah satu proses sertifikasi tanah yang paling lambat di Indonesia. Dua kabupaten lain di Jawa Timur, termasuk Kab. Sampang dan Kab. Sumenep, juga disebutkan oleh survei tersebut sebagai wilayah dengan kinerja terburuk dalam sertifikasi tanah. Sebagai perbandingan, kabupaten seperti Timor Tengah Utara di NTT dan Pinrang di Sulawesi Selatan hanya butuh empat minggu untuk mengeluarkan sertifikat tanah. Pelaku usaha di Jawa Timur memerlukan rata-rata 16 minggu untuk 70 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR mendapatkan sertifikat tanah, setara dengan provinsi lain di Pulau Jawa, tetapi masih dibawah rata- rata nasional (12 minggu) dan provinsi-provinsi lainnya di luar Jawa. Memperoleh sertifikat tanah di kota-kota yang terdapat di area Jawa dan Bali biasanya memakan waktu hampir dua kali lebih lama daripada di tempat lain. Banyak pelaku usaha masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan lahan investasi usaha. Sekitar 39 persen dari perusahaan yang disurvei beranggapan sulitnya memperoleh tanah untuk tujuan usaha di Jawa Timur (tabel 3.14). Tren ini mungkin mencerminkan meningkatnya kelangkaan tanah, khususnya di kawasan perkotaan dan masalah tersebut dapat menjadi lebih serius dalam jangka panjang. Sebaliknya, mayoritas pelaku usaha tidak melihat resiko yang tinggi dalah hal pengambilalihan tanah oleh pemerintah daerah di Jawa Timur, terutama dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa. Tabel 3.14: Masalah pertahanan dilihat dari kacamata pelaku usaha % perusahaan yang disurvei Jawa Jawa Jawa Indonesia Barat Tengah Yogyakarta Timur Status Kepemilikan Tanah (HM, 92,97 93,71 91,13 89,24 89,88 HGU, atau HGB) Persepsi tinggi tentang pengambilalihan tanah 10,83 16,65 10,86 17,53 7,32 Persepsi tinggi sulitnya mendapatkan tanah 42,67 41,09 44,52 44,62 39,08 untuk investasi usaha Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei KPPOD and Asia Foundation (2007). · Pajak serta Retribusi Daerah Tingkat pungutan dan pajak daerah di Jawa Timur yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain tidak dianggap sebagai beban oleh sektor usaha. Pada tahun 2007, nilai tengah (median) pengeluaran para pemilik usaha di Jawa Timur untuk retribusi (misalnya, pengumpulan sampah, parkir) sekitar Rp 8.000 per tahun per karyawan. Selain itu, perusahaan membayar lagi Rp 8.000 per tahun per karyawan untuk pajak daerah. Angka ini adalah salah satu yang terendah di Jawa dan juga lebih rendah daripada rata-rata nasional. Selain itu, hanya 11 persen dari perusahaan yang disurvei menyatakan bahwa jumlah pajak dan biaya retribusi daerah memberatkan pelaku usaha. Sebagai perbandingan, secara nasional, 13 persen perusahaan menganggap retribusi sebagai beban dan 15 persen perusahaan menilai pajak daerah sebagai beban (KPPOD, 2008). Gambar 3.33: Nilai tengah (median) retribusi dan pajak daerah yang dibayar perusahaan per karyawan (2007) 40 30 Ribu Rupiah 20 10 0 Retribusi Pajak Total Pungutan Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Indonesia Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei KPPOD and Asia Foundation. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 71 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Walaupun 21,4 persen perusahaan di Jawa Timur yang disurvei oleh KPPOD/Asia Foundation, menyatakan bahwa mereka mengeluarkan biaya ekstra untuk keamanan, hanya 5 persen yang menyatakan biaya ini mempengaruhi kinerja usaha mereka. Pelaku usaha yang membayar biaya keamanan tambahan umumnya membayar ke berbagai aktor; mulai dari petugas negara seperti militer dan polisi sampai ke kelompok sektor swasta, dan petugas keamanan swasta. Tercatat 67 persen perusahaan membayar biaya keamanan tambahan hanya untuk petugas negara, 31 persen lainnya dibayar hanya ke sektor swasta dan petugas keamanan swasta, dan 2 persen sisanya dibayarkan kepada kedua belah pihak. · Korupsi Surabaya ditempatkan sebagai kota paling korup di Jawa Timur, menurut indeks persepsi korupsi yang dilakukan oleh Transparency International. Pada tahun 2008, Transparency International merilis sebuah survei terhadap sektor swasta di 50 kota besar di Indonesia (33 ibukota wilayah dan 17 kota besar lainnya). Hasil survei menunjukkan bahwa Surabaya dianggap memiliki tingkat korupsi yang relatif tinggi, menduduki peringkat 20 dari nilai terendah dari 50 kota dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan nilai 4,26. Tiga kabupaten lainnya yang berpartisipasi di Jawa Timur adalah, Kediri, Jember, dan Malang; ketiga wilayah tersebut lebih rendah tingkat korupsi, dengan peringkat masing-masing di 36, 37 dan 38.22 Tabel 3.15: Indeks Persepsi Korupsi di kota-kota besar di Indonesia, 2008 Ranking Kota IPK Ranking Kota IPK 1 Kupang 2,97 36 Kediri 4,90 2 Tegal 3,32 37 Jember 4,96 3 Manokwari 3,39 38 Malang 5,00 4 Kendari 3,43 39 Ternate 5,01 5 Purwekerto 3,54 40 Jayapura 5,01 6 Pakan Baru 3,55 43 Banjarmasin 5,11 7 Padang Sidempuan 3,66 44 Tasikmalaya 5,12 8 Bandung 3,67 45 Surakarta 5,35 9 Pontianak 3,81 46 Mataram 5,41 19 Sibolga 4,25 47 Jambi 5,57 20 Surabaya 4,26 48 Banda Aceh 5,87 21 Ambon 4,32 49 Palangkaraya 6,10 35 Balikpapan 4,86 50 Yogyakarta 6,43 Sumber: Transparency International, 2009. Di Surabaya, insiden korupsi tertinggi terjadi di prosedur birokrasi, keputusan hukum, dan pengadaan publik. Tabel 3.16 menunjukkan bahwa Surabaya memiliki persepsi indeks korupsi yang rendah, yang berarti bahwa praktek korupsi di daerah ini dianggap relatif meyebar secara luas. Korupsi di bidang pengadaan publik dapat mempengaruhi efektivitas belanja publik dengan mendistorsi mekanisme aliran dana daerah yang dialokasikan dan dengan menghasilkan sesuatu yang lebih sedikit atas pengeluaran yang ditentukan. Hal ini dapat mempengaruhi investasi melalui kualitas infrastruktur yang tidak memadai. Kedua, hal itu dapat menyebabkan kelemahan dalam lingkungan peraturan, seperti pengawasan dari tender kontrak, menaikkan biaya dan mencegah perusahaan memasuki pasar (World Bank 2009a). 22 IPK berkisar antara angka 0 sampai 10, dimana 0 berarti korupsi sangat umum terjadi, dan 10 berarti korupsi tidak umum terjadi dikota itu. 72 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Tabel 3.16: Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berdasarkan bidang kebijakan Kota Area Surabaya Malang Kediri Jember Jogjakarta Kupang Izin Usaha 3,65 4,58 4,43 4,88 6,68 2,86 Utilitas Publik 6,32 7,40 7,48 7,14 7,80 4,07 Pembayaran Pajak 5,95 6,55 7,10 6,74 7,23 5,68 Pengadaan Publik 3,73 4,80 4,02 4,67 6,48 2,05 Keputusan Pengadilan 3,44 5,47 4,29 4,14 6,81 2,00 Mempengaruhi Kebijakan 3,92 5,24 4,21 4,57 6,53 2,70 Mempercepat Birokrasi 3,32 4,11 4,29 3,71 5,84 1,98 Ketidakteraturan Pemerintah 3,70 4,22 4,05 4,14 5,50 2,61 Konflik Kepentingan 3,48 4,36 4,05 4,12 5,23 2,09 Upaya Pemerintah Daerah 4,62 4,16 5,24 5,26 6,43 3,27 Penegakan Hukum 4,68 4,09 4,76 5,21 6,16 3,36 IPK 2008 4,26 5,00 4,90 4,96 6,43 2,97 Ranking (dari nilai tertinggi) 31 13 15 14 1 50 Sumber: Transparency International, 2009. · Tingkat kejahatan dan konflik Di Jawa Timur insiden perampokan relatif lebih sering terjadi dibandingkan dengan di provinsi lain di Jawa. Meskipun desa-desa di provinsi ini lebih jarang mengalami kejadian pencurian, perbandingan desa-desa yang mengalami perampokan relatif cukup tinggi dibandingkan provinsi lain.23 Tingkat kriminalitas di Jawa Timur, bagaimanapun, tidak tampak mengkhawatirkan. Insiden perampokan sebenarnya menurun dari 7,3 persen dari desa-desa di tahun 2003 menjadi 5,2 persen pada tahun 2008. Gambar 3.34: Proporsi desa yang melaporkan kriminalitas perampokan, 2003-08 8 7 Ease of star ng a business (rank) Ease of dealing with construc on permits (rank) Ease of registering property (rank) 6 5 Persen 4 3 40 35 2 30 Rp thousands 1 25 20 0 15 10 2008 2005 2003 5 0 Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Indonesia Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. 23 Tindak pencurian biasanya didefinisikan sebagai mengambil segala sesuatu yang berharga tanpa sepengetahuan pemilik, sementara perampokan didefinisikan sebagai pengambilan barang atau uang dengan cara kekerasan fisik atau ancaman bagi si korban. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 73 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.35: Proporsi desa yang melaporkan kriminalitas pencurian, 2003-08 80 70 60 50 Persen 40 30 20 10 0 2008 2005 2003 Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Indonesia Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. Insiden kekerasan dari konflik komunal di Jawa Timur tidak terlihat berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Kekerasan dari konflik komunal relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan telah menurun sejak tahun 2003. Sebagian besar insiden adalah konflik horizontal antara orang atau kelompok orang. Konflik antar individu tercatat 49 persen dari total konflik, sedangkan konflik antar-desa tercatat 31 persen dari seluruh insiden. Konflik vertikal dengan pejabat negara hanya menyumbang kurang dari 5 persen dari semua kejadian konflik. Gambar 3.36: Perbandingan desa yg melaporkan konflik, 2003-2008 16 14 12 10 Persen 8 6 4 2 0 Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Indonesia 2008 2005 2003 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. Gambar 3.37: Sebab konflik di Jawa Timur, 2003-2008 Tawuran pelajar Antar suku 3,4% 1,1% Dengan aparat pemerintah Lain-lain 1,9% 11,3% Dengan petugas keamanan 2,6% Perorangan/Kelompok 48,9% Antar-desa 30,8% Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Podes, BPS. 74 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Kondisi hubungan industrial tidak dianggap sebagai kendala bagi sektor swasta di Jawa Timur. Survei KPPOD dari persepsi pemilik usaha (2007) menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen dari pemilik usaha melihat mogok kerja menuntut perlindungan sosial dan peningkatan upah merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan dengan demikian bukan menjadi masalah yang relevan bagi mereka. Hanya kurang dari 1 persen pemilik usaha yang khawatir bahwa mogok kerja akan sering terjadi. Gambar 3.38: Persepsi Pemilik Usaha Mengenai Frekuensi Perselisihan Buruh 0,3 Sering & Sangat Sering Nasional 0,5 Kadang-kadang 99,2 Jarang & Tidak Relevan 0,4 Sering & Sangat Sering Jawa Timur 0,3 Kadang-kadang 99,3 Jarang & Tidak Relevan 0% 20% 40% 60% 80% 100% Mogok kerja menuntut perlindungan sosial Mogok kerja menuntut kenaikan upah Perselisihan buruh Sumber: Survei KPPOD dan Asia Foundation, 2007. Inovasi produk dan peragaman ekspor Kemampuan daerah untuk mengidentifikasi dan menghasilkan produk kompetitif yang baru dapat diindikasikan dari keragaman komoditas ekspornya selama bertahun-tahun. Produk ekspor dapat dilihat sebagai produk yang dipertahankan oleh suatu daerah karena mempunyai keunggulan komparatif dalam produksinya dibandingkan dengan daerah lain. Dengan demikian, keragaman komoditas ekspor selama bertahun-tahun, dapat juga menunjukkan apakah para pelaku usaha di daerah tersebut dapat secara terus menerus mengetahui atau mengidentifikasi sendiri apa yang dapat diunggulkan, dari sekian banyak produk dan proses yang sudah ada (Hausmann, Rodrick, Velasco, 2005). Komposisi produk yang diekspor dari Jawa Timur juga menunjukkan sedikitnya produk- produk baru. Dekomposisi pertumbuhan ekspor Jawa Timur selama periode 1998-2009 seperti yang terlihat pada gambar 3.39 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekspor di Jawa Timur, berasal dari suatu set produk yang sama yang mana telah diekspor sebelumnya ("margin intensif"). Meskipun Timur Jawa tampaknya mampu mempertahankan daya saing dari produk-produk ini seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan negatif dari produk yang menghilang (vanishing product) kontribusi dari pertambahan komoditas ekspor yang baru ("margin ekstensif") ternyata jauh lebih kecil.24 24 Dekomposisi dari pertumbuhan ekspor ke margin "intensif" dan "ekstensif" mengikuti kerangka yang digunakan oleh Brenton dand Newfarmer (2009) untuk mendekomposidi pertumbuhan ekspor di Asia Timur dan Pasifik. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 75 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur Gambar 3.39: Kontribusi margin ekstensif dan intensif bagi pertumbuhan ekspor Jawa Timur 1998-2009 140 120 100 80 60 Persen 40 20 0 -20 -40 Ekspor Intensif Ekspor yang menghilang Ekspor Ekstensif Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan para pelaku ekonomi di Jawa Timur untuk menghasilkan komoditas kompetitif yang baru untuk pasar ekspor masih rendah dan hal ini mengindikasikan kemampuan secara umum pelaku ekonomi di wilayah tersebut untuk mengidentifikasi dan menghasilkan komoditas kompetitif yang baru. Hausmann, Rodrick dan Velasco (2005) berpendapat bahwa kurangnya ide-ide untuk komoditas baru dapat menjadi alasan mengapa pengembalian yang diharapkan untuk investasi saat ini rendah, dan mengapa investasi dan pertumbuhan rendah. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya tingkat "penemuan sendiri (self discovery)" adalah rendahnya ekspetasi pengembalian swasta untuk inovasi dikarenakani ketidakmampuan para "inovator" untuk menarik keuntungan penuh dari inovasi mereka. Terutama karena ide-ide baru yang berharga pada tingkat pembangunan yang rendah pada umumnya tidak dapat dipatenkan dan pengusaha perlu berinvestasi di wilayah-wilayah baru di mana profitabilitas secara inheren bersifat tidak pasti dan bergantung pada investasi komplementer dari pihak lain di sektor swasta dan publik (Hausmann dan Rodrik, 200525). Oleh karena itu, peran sektor publik sangat penting dalam hal ini untuk memberikan perlindungan yang memadai untuk hak milik, dan menyediakan investasi pelengkap. Kesimpulan Prospek ekonomi makro Jawa Timur, yang secara umum sama dengan daerah lain di Indonesia tidak menimbulkan risiko tinggi untuk mendapatkan pengembalian hasil investasi. Kondisi ekonomi makro Indonesia dapat dianggap relatif stabil selama lima tahun terakhir. Kondisi neraca pembayaran, utang luar negeri, dan beberapa indikator keuangan kunci ekonomi makro lainnya tidak menunjukkan bahwa negara ini terpapar risiko nilai tukar asing yang tinggi atau krisis keuangan yang akan mengurangi simpanan dan membuat bangkrut para investor. Inflasi yang relatif stabil baik untuk tingkat nasional maupun Jawa Timur membuat risiko hilangnya keuntungan karena inflasi rendah. Tingkat pajak dan pungutan daerah di Jawa Timur tidak dianggap sebagai beban bagi sektor usaha. Pungutan dan pajak daerah di Jawa Timur relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain. Pajak daerah di Jawa Timur adalah salah satu yang terendah di Jawa dan juga lebih rendah daripada rata-rata nasional. Selain itu, hanya sebagian kecil dari perusahaan yang disurvei menyatakan bahwa jumlah pajak dan biaya pungutan memberatkan mereka. 25 Hausmann, and Rodrik (2005) "Self-Discovery in a Development Strategy for El Salvador" Economia, Fall 2005 76 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Konflik dan kejahatan juga tidak dipandang sebagai risiko utama untuk pengembalian hasil investasi di Jawa Timur. Keberadaan konflik dan kegiatan kriminal yang tinggi dapat membahayakan keamanan usaha dan menghalangi investor mendapatkan manfaat penuh dari investasi mereka. Namun, berdasarkan analisis data Podes 2008, tampak bahwa tingkat konflik dan kejahatan baik komunal dan industrial di Jawa Timur sebanding dengan daerah lain di Indonesia, dan tidak menunjukkan pola yang sangat berbeda. Proses registrasi usaha yang berbelit dan korupsi di Jawa Timur dapat menghambat investasi dan pertumbuhan. Pendaftaran usaha dan properti secara formal masih rumit dan mahal. Hal ini menunjukkan bahwa hanya beberapa perusahaan yang mampu, atau bahkan tidak tertarik untuk, secara resmi mendaftarkan perusahaan dan properti mereka. Ketiadaan surat registrasi secara resmi bisa menjadi kendala bagi perusahaan untuk tumbuh. Selain itu, tidak adanya registrasi tanah secara resmi dapat menghambat kemampuan pengusaha untuk mendapatkan pinjaman dari perbankan, dan hal ini juga membatasi kemampuan perusahaan untuk berinterakasi dalam hubungan bisnis yang menguntungkan di pasar. Provinsi ini juga memiliki persepsi korupsi yang tinggi pusat ekonomi utamanya Kota Surabaya. Korupsi dapat menyebabkan peningkatan biaya dalam melakukan usaha dan meningkatkan risiko atas tindakan sewenang-wenang oleh birokrat yang merugikan sektor usaha. Rekomendasi Lingkungan usaha di Jawa Timur masih menghadapi beberapa kendala yang menghambat investasi di provinsi ini. Beberapa kendala terutama berkaitan dengan proses pendaftaran dan izin usaha. Beberapa langkah bagi pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha, termasuk: · Menyederhanakan prosedur pendaftaran izin usaha. Penyederhanaan prosedur tidak hanya akan mengurangi beban sektor swasta, tetapi juga mengurangi kemungkinan adanya biaya ilegal yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha; · Memantau dan mengevaluasi secara rutin kinerja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di provinsi dan kabupaten. PTSP adalah salah satu inisiatif pemerintah untuk mempercepat pelayanan perizinan usaha. Namun, membangun PTSP saja tidak akan cukup tanpa pemantauan kinerja yang rutin dan patokan yang jelas mengenai standar pelayanan satu pintu untuk memastikan bahwa lembaga ini berfungsi efektif. Salah satu alternatif pendekatan untuk ini adalah dengan melibatkan agen eksternal/independen untuk kontrol kualitas seperti ISO; · Meningkatkan orientasi bisnis dan profesionalisment dari berbagai instansi pemerintah terkait yang berinteraksi dengan sektor usaha seperti tenaga kerja, perdagangan, industri, dan koperasi. · Memperluas peluang pasar sektor swasta melalui pameran perdagangan dan mengembangkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta lewat strategi promosi dagang. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 77 Menelusuri Hambatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Jawa Timur 78 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 4. Hambatan Sektoral DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 79 Hambatan Sektoral Masalah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Jawa Timur tidak semata- mata akibat rendahnya kemampuan sumber daya manusia atau hambatan di iklim usaha, tapi juga karena adanya keterbatasan yang melekat di dalam sektor ini. Terdapat beberapa alasan dibalik rendahnya pertumbuhan dan produktivitas sektor pertanian dan juga beberapa penjelasan atas kendala yang dihadapi sektor utama lainnya untuk tumbuh dan menghasilkan kesempatan kerja. Sub-bagian ini akan membahas kendala di tiga sektor terbesar yang memberikan kontribusi hampir 75 persen terhadap perekonomian Jawa Timur, yaitu: sektor pertanian, manufaktur, dan perdagangan, hotel, dan restoran. 4.1. Pertanian Sebagai sektor yang menyerap jumlah tenaga kerja terbanyak, tingkat pertumbuhan dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang relatif rendah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi provinsi ini. Lambatnya pertumbuhan atas hasil utama pertanian di Jawa Timur dalam beberapa dekade terakhir bisa menjadi faktor penyebab rendahnya pertumbuhan di sektor pertanian. Lambatnya pertumbuhan dalam produksi ini disumbang oleh banyak faktor yang antara lain meliputi rasio lahan-petani yang rendah (terlalu banyak petani untuk tanah yang jumlahnya terbatas), kurangnya akses terhadap kredit, harga yang rendah, dan ongkos produksi yang tinggi. Produksi yang lambat digabung dengan jumlah petani yang secara konstan terus tinggi dapat menyebabkan rendahnya produktivitas di sektor pertanian ini. Inefisiensi dalam menggunakan faktor produksi seperti tanah dan tenaga kerja juga bisa menjelaskan mengapa produktivitas tenaga kerja rendah. Bagian ini akan membahas kendala rendahnya pertumbuhan produksi pertanian yang dapat mempengaruhi produktivitas di sektor ini. Terbatasnya ketersediaan lahan pertanian relatif terhadap banyaknya jumlah petani di Jawa Timur mungkin menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi di sektor ini. Dengan lahan pertanian yang sudah mengambil sekitar 74 persen tanah di Jawa Timur, para petani di provinsi ini tidak bisa lagi berharap pada perluasan lahan pertanian. Ini diartikan dengan rendahnya rasio lahan- tenaga kerja (0,4 Ha per petani) dibandingkan dengan negara-negara dengan produksi pertanian yang signifikan seperti Brasil (19 Ha per petani), Australia (45 Ha per petani), Kanada (47 Ha per petani), dan Amerika Serikat (20,4 Ha per petani). Sebagai akibat dari rasio tanah-tenaga kerja yang relatif rendah, pertumbuhan produksi pertanian relatif stabil sejak 1996. Sebagai contoh, meskipun Jawa Timur adalah satu produsen padi utama di Indonesia dan berkontribusi 17 persen dari total produksi padi nasional, total volume padi yang dihasilkan relatif tidak meningkat secara mencolok, dengan pengecualian pada beberapa tahun terakhir. Antara tahun 2001-2008, pertumbuhan tahunan rata-rata produksi padi hanya sekitar 2,3 persen. Pada tahun-tahun tertentu, produksi padi bahkan menurun. Gambar 4.1: Luas daerah panen, produksi, dan produktivitas padi di Jawa Timur, 1996-2009 12000000 7 10000000 6 Daerah Panen dan produksi 5 8000000 Produk vitas 4 6000000 3 4000000 2 2000000 1 0 0 1990 1992 1994 1996 1991 1993 1995 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Produksi (Ton) Daerah panen (Ha) Produk vitas (Ton/Ha) Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas, BPS. 80 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Akses ke kredit masih menjadi kendala bagi petani di Jawa Timur untuk meningkatkan produksinya. Kredit untuk petani penting guna mendapatkan input produksi yang memadai seperti pupuk dan teknologi yang lebih canggih (traktor, mesin). Sekitar 43 persen petani di Jawa Timur menyebutkan bahwa mahalnya input pertanian dan kurangnya modal adalah hambatan utama dalam bertani. Namun kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua petani di Jawa Timur (94,7 persen) tidak pernah mendapat kredit. Rasio ini mirip dengan petani di provinsi lain yang sebanding seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari mereka yang memperoleh kredit, hanya 14 persen yang menerima kredit dari perbankan. Mayoritas (62 persen) menerima kredit dari kreditur perorangan dan 24 persen lainnya dari pemberi pinjaman melalui lembaga non-bank. Data sensus pertanian menunjukkan bahwa kurangnya jaminan, proses persetujuan yang rumit dan tingkat bunga yang tinggi adalah alasan mengapa begitu sedikit petani memperoleh kredit dari perbankan. Pandangan ini konsisten dengan temuan pada bagian 3.1 mengenai alokasi kredit dimana kredit sektor pertanian memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain karena pertanian dianggap memiliki risiko kegagalan yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan beban bunga yang lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko itu. Selain itu, persyaratan perbankan berkaitan dengan formalitas (seperti pencatatan resmi usaha) menjadi kendala lain bagi petani untuk mendapatkan pinjaman bank karena sebagian besar kegiatan pertanian digolongkan sebagai kegiatan sektor informal. Rendahnya nilai tambah sebagian besar produk pertanian akibat dari kombinasi harga yang rendah dan ongkos produksi yang tinggi adalah faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan pertanian di Jawa Timur. Setengah dari petani di Jawa Timur adalah petani subsisten yang memilih untuk mengkonsumsi produk mereka sendiri. Namun, 90 persen dari petani yang menjual produk mereka menunjukkan bahwa mereka sering menghadapi harga jual yang rendah. 26 Terlepas dari harga jual yang rendah, ongkos produksi termasuk tinggi di Jawa Timur. Rata-rata total ongkos produksi untuk padi di Jawa Timur sekitar Rp 1,3 juta untuk satu musim panen, sedikit di atas Jawa Barat (Rp 1,2 juta) dan Jawa Tengah (Rp 1,0 juta).27 Tingginya ongkos produksi, output yang stagnan, dan harga jual rendah juga tercermin dalam rasio nilai tukar petani petani.28 Rasio nilai tukar petani di Jawa Timur adalah 98, menunjukkan bahwa harga jual produk mereka tidak mampu menutupi ongkos produksi yang dikeluarkan. Gambar 4.2: Kesulitan utama petani padi dalam menjual produk mereka Masalah keterbatasan transportasi Lain-lain 1,4% 2,0% Kualitas rendah 3,1% Produksi terlalu banyak 3,2% Harga jual rendah 90,2% Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei pertanian, BPS. 26 Sensus Pertanian tahun 2003. 27 Dari total biaya produksi, sewa lahan dianggap komponen terbesar yang harus dibayar oleh petani (kira-kira 29% dari total biaya), diikuti oleh pupuk urea (10%) dan perawatan lahan (9 %). 28 Nilai tukar petani adalah istilah yang umum digunakan dalam ekonomi perdagangan yang didefinisikan sebagai rasio dari harga yang diterima negara untuk suatu produk ekspor tertentu terhadap harga impor yang dibayarkan. Dalam hal ini, nilai tukar petani merupakan rasio dari harga yang diterima petani untuk produk yang dijual (yaitu panen) dengan harga yang mereka bayarkan untuk memproduksi tanaman itu. Nilai tukar petani yang tinggi menunjukkan harga yang lebih tinggi yang diterima petani dibandingkan dengan ongkos produksinya. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 81 Hambatan Sektoral Gambar 4.3: Hambatan utama bisnis petani Lain-lain Modal tak 17% memadai Hama/penyakit 19% 6% Mahalnya Biaya produksi input pertanian yang rendah 24% 33% Kekurangan input pertanian 1% Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan survei pertanian, BPS. Rendahnya keterampilan tenaga kerja bisa menjadi kendala produktivitas di sektor pertanian. Pendidikan bisa meningkatkan produktivitas pertanian karena petani dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengadopsi teknologi, yang kemudian akan meningkatkan kemampuan mereka untuk menghasilkan output yang lebih besar dari sumber daya yang ada melalui penggunaan teknologi yang lebih efisien. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dengan meningkatkan kemampuan berproduksi dari semua petani dengan mengenalkan mereka pada sistem berproduksi yang lebih sistematis dan dinamis, dan dengan meningkatkan kemampuan mereka untuk memilih tingkat input dan output yang optimal (Alene dan Manyong, 2007). Seperti yang dibahas sebelumnya, rendahnya pencapaian pendidikan di Jawa Timur menunjukkan mayoritas tenaga kerja pertanian terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil. Delapan puluh lima persen tenaga kerja di daerah pedesaan di Jawa Timur memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari sekolah dasar dan pada tahun 2009, 94 persen tenaga kerja di sektor pertanian adalah tenaga kerja tidak terampil. Rendahnya keterampilan ini mengurangi kemampuan petani untuk mengadopsi penerapan teknik bertani yang baru yang bisa mengoptimalkan output yang dihasilkan. Tabel 4.1: Perbandingan tenaga kerja terampil dan tidak terampil per sektor di Jawa Timur (%) 2001 2003 2006 2009 Tidak Tidak Tidak Tidak Terampil Terampil Terampil Terampil terampil terampil terampil terampil Pertanian 4 96 5 95 5 95 6 94 Pertambangan 22 78 9 91 3 97 12 88 Industri 27 73 29 71 35 65 37 63 Utilitas 58 42 74 26 89 11 74 26 Konstruksi 17 83 19 81 17 83 26 74 Perdagangan 22 78 23 77 31 69 35 65 Transportasi 23 77 23 77 26 74 37 63 Keuangan 60 40 80 20 86 14 80 20 Jasa 49 51 56 44 60 40 56 44 Total 18 82 19 81 22 78 25 75 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Sakernas data, BPS. 82 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Secara singkat, rasio lahan terhadap petani yang rendah, terbatasnya akses mendapatkan kredit, rendahnya nilai tambah produk-produk pertanian, dan tidak proporsionalnya jumlah tenaga kerja tidak terampil merupakan beberapa faktor utama penyebab rendahnya pertumbuhan produksi pertanian. Karena 74 persen lahan di provinsi ini telah digunakan untuk pertanian, hanya sedikit ruang untuk meningkatkan pasokan lahan pertanian. Peningkatan rasio lahan-jumlah petani ini hanya dapat terjadi jika jumlah petani dikurangi dengan memfasilitasi mereka agar pindah ke pekerjaan non-pertanian lainnya. Oleh karena itu, pemerintah mungkin perlu berfokus pada penyediaan akses terhadap kredit, memfasilitasi diversifikasi ke produk pertanian yang memiliki nilai tambah lebih tinggi seperti hortikultura, pembiakan ternak, dan pertanian organik, dan meningkatkan keterampilan melalui penyuluhan dan pelatihan non-formal. 4.2. Manufaktur Sektor manufaktur masih belum sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan tahun 1997. Sektor manufaktur di Jawa Timur terkonsentrasi di Kota Surabaya, Kota Kediri, Kab. Sidoarjo dan Kab. Gresik. Empat kabupaten/kota ini jika digabungkan menyumbang 72 persen dari total sektor manufaktur di provinsi ini. Sektor manufaktur sebelumnya merupakan sektor unggulan di provinsi ini dengan pertumbuhan yang secara konsisten tinggi. Antara tahun 1991 dan 1996, sektor ini tumbuh rata-rata 13,1 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional (11,7 persen) selama periode yang sama. Namun krisis keuangan telah memukul sektor manufaktur cukup parah dan menyebabkan penurunan pertumbuhan sebesar 22 persen pada tahun 1998. Meskipun berangsur- angsur membaik sejak tahun 2001, namun sektor ini masih belum kembali ke tingkat sebelum krisis. Lambatnya pemulihan dalam sektor manufaktur menciptakan kekhawatiran baik pada kinerja sektor sebagai mesin pendorong pertumbuhan maupun pada kemampuan sektor ini untuk menghasilkan kesempatan kerja. Turunnya pangsa produksi manufaktur padat karya (seperti makanan, minuman dan tembakau) dan naiknya pangsa produk padat modal menyebabkan turunnya permintaan tenaga kerja di sektor manufaktur. Pada tahun 1990, produksi Makanan, Minuman dan Tembakau (MMT) mencapai lebih dari 50 persen total produksi sektor manufaktur di Jawa Timur. Pada tahun 2006, MMT turun menjadi hanya 43 persen. MMT merupakan industri padat karya dan karena itu penurunan produksi juga menyebabkan penurunan permintaan terhadap tenaga kerja. Pada saat yang sama, pertumbuhan produksi barang padat modal seperti peralatan listrik, transportasi, dan daur ulang juga ikut menambah kecenderungan penurunan kesempatan kerja manufaktur di Jawa Timur (Tabel 4.2). Banyaknya jumlah industri yang mudah berpindah (footloose industries), seperti pengolahan kulit dan alas kaki, yang telah merelokasi basis produksi mereka ke negara lain seperti China, India dan Vietnam, turut mengakibatkan turunnya permintaan atas tenaga kerja di sektor ini. Pola industri manufaktur di Jawa Timur sangat mirip dan mengikuti pola nasional. Studi oleh Islam dan Chowdury (2009) menunjukkan bahwa banyak produsen manufaktur padat karya di Indonesia telah memindahkan pabrik dan basis produksi mereka ke negara-negara produsen berbiaya rendah -- terutama karena ongkos tenaga kerja yang lebih rendah -- seperti Cina, India, dan Vietnam. Seperti dikutip dari Santosa dan McMichael (2004), di antara industri yang kurang berhasil yang telah meninggalkan serta menutup pabrik-pabrik mereka di Jawa Timur adalah industri pengolahan kulit dan alas kaki yang dulunya berpusat di Sidoarjo dan Mojokerto. Menurut Asosiasi Pabrikan Sepatu Indonesia, pada akhir tahun 2002, 10 produsen besar telah meninggalkan Jawa Timur untuk membangun pabrik lain di luar negeri dengan alasan ongkos buruh yang makin DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 83 Hambatan Sektoral mahal yang membuat produk mereka tidak kompetitif. Sementara itu industri sepatu kulit di Jawa Timur mengklaim bahwa produsen di Cina dan Vietnam telah menggerus daya saing mereka dan bahwa ekspor ke Hong Kong dan Singapura telah jatuh secara dramatis. Lebih jauh lagi, terbitnya UU 13/2003 yang mengatur pemutusan hubungan kerja, pembayaran pesangon, dan pemogokan menambah beban industri. Salah satu produsen sepatu kulit di Sidoarjo telah menutup enam dari tujuh pabriknya di Surabaya, dan pada tahun 2003 hanya mengoperasikan satu pabrik. Pabrik mebel juga mengalami penurunan serupa, walaupun ini lebih disebabkan oleh kenaikan harga harga bahan baku yang menyebabkan pengurangan jumlah pengrajin, dan berujung pada penurunan kualitas mebel jadi.29 Tabel 4.2: Jawa Timur: Pangsa produksi barang manufaktur skala besar & menengah per kelompok industri (%) Sektor 1990 1996 2001 2003 2006 Makanan & Minuman 22,3 18,0 17,2 17,6 19,9 Tembakau 28,2 27,0 26,9 29,9 23,0 Tekstil, Garmen, dan Alas Kaki 5,2 7,1 4,9 4,3 4,6 Kayu dan Mebel 4,4 5,8 5,4 5,6 6,2 Kertas dan Percetakan 10,4 9,1 11,4 9,6 8,1 Minyak dan Kimia 11,3 8,2 9,3 11,0 13,1 Karet 3,2 4,7 3,6 3,5 4,5 Non-logam 2,9 4,0 4,2 4,3 4,6 Logam dan Mesin 9,3 11,9 10,5 10,8 9,9 Alat listrik, Peralatan Transportasi & Produk Daur Ulang 2,8 4,3 6,6 3,5 6,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan Survey Industri, berbagai tahun, BPS. Catatan: Angka dalam table adalah dalam persen. Terbatasnya jenis produk ekspor dapat membatasi potensi pertumbuhan sektor manufaktur. Hesse (2008) menyebutkan bahwa banyak negara yang bergantung pada komoditas tertentu atau yang memiliki keterbatasan pilihan produk ekspor sering menderita akibat ketidakstabilan ekspor karena permintaan global yang sifatnya inelastis dan tidak stabil. Diversifikasi ekspor adalah salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan dan kelemahan itu. Masalah lainnya terkait dengan daya saing ekspor suatu negara yang dikarenakan globalisasi dan percepatan perdagangan antar negara telah membuat ekspor suatu negara berhadapan langsung dengan persaingan global. Untuk berhasil dalam diversifikasi ekspor, ekspor suatu negara harus mempunyai daya saing global agar bisa mengambil keuntungan dari pasar dunia yang makin meningkat. Ekspor manufaktur Jawa Timur cukup terkonsentrasi hanya pada beberapa produk. Selama lima tahun terakhir, ekspor manufaktur non-migas Jawa Timur didominasi secara rata-rata oleh non-logam (20 persen), lahan kimia (16 persen), kayu dan mebel (15 persen), dan kertas dan percetakan (12 persen). Semua ekspor komoditas ini rentan terhadap perubahan permintaan di pasar internasional yang relatif terbatas. Selain itu, struktur sektor manufaktur di Jawa Timur yang sebagian besar terus bergantung pada MMT, yang rata-rata pangsanya sebesar 56 persen dari total nilai-tambah di sektor industri manufaktur besar dan menengah, tidak akan membantu provinsi ini untuk mencapai daya saing internasional. 29 Lihat Santosa dan McMichael (2004) dan Kompas Edisi Jawa Timur, 1 November 2002. 84 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Gambar 4.4: Pangsa Produk Ekspor Manufaktur Utama di Jawa Timur, 2009 Non logam Lain-lain 24% 36% Kertas & percetakan 11% Kayu & Bahan Kimia mebel 16% 13% Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data perdagangan BPS. Sektor manufaktur Jawa Timur juga sangat tergantung pada bahan baku impor. Konsentrasi produk ekspor juga diikuti oleh ketergantungan pada bahan baku industri yang harus diimpor. Nilai bahan baku impor, input antara dan komponen lain berkisar dari 48 persen dalam industri logam dan mesin, 44 persen dalam makanan, minuman, dan tembakau, dan 40 persen di industri kimia. Hal ini disebabkan kurangnya pemasok domestik dan lemahnya hubungan industrial di dalam negeri. Gambar 4.5: Kandungan impor dari produk-produk manufaktur, 2007 Sektor Manufaktur Padat Karya 50 Sektor Manufaktur Padat Modal 60 45 40 50 35 40 30 Persen Persen 25 30 20 20 15 10 10 5 0 0 Industri Kimia Mesin Listrik dan Non logam Makanan, minuman Teks l Kayu dan Kertas dan peralatan dan tembakau mebel percetakan transportasi Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan data perdagangan BPS. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sektor manufaktur Jawa Timur perlu untuk lebih terdiversifikasi agar bisa meningkatkan permintaan tenaga kerja dan daya saing global. Sektor manufaktur padat karya mengalami penurunan produksi dalam tahun-tahun terakhir. Selain itu, banyak industri mudah berpindah (footloose) yang mampu menciptakan banyak kesempatan kerja juga telah kehilangan daya saingnya dan kemudian pergi meninggalkan provinsi ini. Di sisi lain, kurangnya beragamnya struktur industri dan produk ekspor yang terbatas sepertinya akan terus membatasi arus investasi dan pertumbuhan di sektor manufaktur. Untuk menjadi lebih kompetitif secara global di masa depan, industri Jawa Timur harus memperjelas orientasi ekspor mereka dan lebih responsif terhadap perubahan permintaan global. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 85 Hambatan Sektoral Kotak 4.1: Kawasan industri di Jawa Timur Kawasan industri (kadang-kadang disebut Taman Industri) didirikan untuk mendukung sektor manufaktur dalam proses produksi mereka. Kawasan industri sering dipandang sebagai instrumen untuk memastikan bahwa lokasi dari industri yang berhubungan secara vertikal maupun horizontal dibangun di lokasi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Anggraini, th 2000). Diantara manfaat memiliki kawasan industri adalah: (i) fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi yang dapat mengurangi biaya produksi seperti biaya jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dll, (ii) lebih mudah dalam pengurusan perijinan dan registrasi serta menyediakan fasilitas bagi karyawan seperti kompleks perumahan, fasilitas olahraga, fasilitas layanan kesehatan, dll, dan (iii) relatif lebih mudah dalam hal pengendalian dampak lingkungan karena kawasan industri terkonsentrasi di daerah tertentu Namun demikian, ada beberapa kritik yang dilemparkan atas pembentukan kawasan industri, termasuk: (i) kawasan industri menggunakan lebih banyak lahan sehingga dapat mengurangi ketersediaan lahan pertanian, (ii) kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh intensitas mobilitas tenaga kerja dan barang ke dan dari kawasan industri, terutama jika kawasan industri didirikan di kawasan perkotaan atau dalam kota. Di Jawa Timur, kawasan industri pertama kali dibentuk lebih karena alasan `kendala informal' seperti pungutan ilegal yang dibebankan ke bisnis oleh banyak kabupaten di Jawa Timur. Oleh karena itu, pemerintah daerah berupaya untuk menarik investor dengan menempatkan kelompok industri di satu tempat untuk mengurangi biaya bagi produsen yaitu pungutan, bea dan biaya transportasi. Sampai sekarang, Jawa Timur memiliki empat kawasan industri besar yaitu: SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut), Ngoro Industri Persada (NIP) di Mojokerto, PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) di Pasuruan, dan, KIM (Kawasan Industri Maspion), yang terletak antara Surabaya dan Gresik. Yang terakhir ini dikembangkan oleh Maspion Group, sebuah produsen Indonesia yang sebagian besar memproduksi barang plastik dan aluminium Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). SIER berlokasi di Surabaya dan dikembangkan oleh PT. SIER (sebuah Badan Usaha Milik Negara). Lokasi SIER ditempati sekitar 300 perusahaan yang mempekerjakan ribuan pekerja. Berbagai macam produk manufaktur diproduksi di sini termasuk makanan, minuman dan tembakau, produk kayu, dan bahan kimia. Ngoro Industri Persada (NIP). NIP terletak 45 kilometer sebelah selatan Kota Surabaya. Pelabuhan Tanjung Perak, Bandar Udara Juanda, dan kawasan perkotaan dapat dicapai dengan menggunakan jalan tol dan jalan provinsi. Kawasan ini menghasilkan beragam produk manufaktur dari kertas dan plastik hingga instrumen musik. Para investor juga beragam, dari Indonesia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, dan Inggris. Diperkirakan akan lebih banyak perusahaan asal Korea yang membangun pabrik mereka di NIP (Santosa dan Michael, 2002). Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). PIER adalah kawasan industri seluas 500 hektar yang terletak di Pasuruan, dikelola oleh PT. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Berbagai produsen mendirikan pabrik mereka di kawasan ini, mulai dari produk MMT seperti Coca Cola, Nestle dan Sampoerna, serta beberapa produsen elektronik seperti Masushita (Panasonic). Kawasan Industri Maspion (KIM). KIM terletak di Gresik, 10 km dari pelabuhan Tanjung Perak yang dibangun dengan konsep integrasi vertikal dalam industri, didukung oleh fasilitas seperti tempat tinggal dan fasilitas olah raga. Industri yang ada di sini kebanyakan perusahaan-perusahaan di bawah Grup Maspion yang memproduksi barang-barang konsumen seperti plastik, aluminium dan bahan kimia. Sumber: Santosa & Michael (2002), Anggraini (2000), website Wikipedia, Maspion, Ngoro Industrial Park, dan SIER- PIER. 4.3. Perdagangan, hotel dan restoran Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang paling cepat berkembang di Jawa Timur. Serupa dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga terpengaruh oleh krisis ekonomi pada tahun 1997. Namun sektor ini mampu pulih dengan cepat dan pada tahun 2008 tingkat pertumbuhannya sudah mencapai 8,3 persen. Kontribusi sektor ini terhadap total PDB Jawa Timur juga meningkat dari 24,6 persen pada tahun 2001 menjadi 29,4 persen pada tahun 2008. Kontribusi PDB Jawa Timur dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran terhadap total PDB nasional di sektor ini juga tercatat sebagai yang tertinggi 86 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR dengan 28,3 persen, dibandingkan Jawa Barat (14,1 persen) dan Jakarta (19,1 persen) pada tahun 2008. Tingkat pertumbuhan yang tinggi di sektor ini dihasilkan oleh subsektor perdagangan dan eceran. Sekitar 82 persen dari total output sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah dari sub- sektor perdagangan dan eceran, diikuti oleh restoran (15 persen) dan hotel (2 persen). Infrastruktur jalan perlu ditingkatkan agar dapat meningkatkan perdagangan antar provinsi maupun dalam provinsi. Perdagangan dalam kawasan perkotaan di Jawa Timur merupakan pendorong utama pertumbuhan di sektor perdagangan. Sebagai contoh, Kota Surabaya menyumbang sekitar 32 persen dari total perdagangan di provinsi ini. Untuk meningkatkan kinerja di sektor ini, perlu dilakukan peningkatan permintaan baik dari kabupaten lain dalam provinsi atau melalui perdagangan antar provinsi. Dalam rangka meningkatkan perdagangan dalam provinsi dan antar provinsi, infrastruktur logistik yang baik diperlukan untuk menjamin kelancaran arus barang dan komoditas. Seperti disebutkan dalam Bab 3, kualitas jalan yang buruk masih menjadi masalah di Jawa Timur. Rendahnya kualitas jalan dapat mengurangi pergerakan barang input dan output dan kenaikan biaya distribusi, yang dapat berdampak buruk bagi proses permintaan dan penawaran barang. Terbatasnya kapasitas pelabuhan utama di Jawa Timur, Tanjung Perak, juga mengurangi mobilitas barang dan komoditas provinsi ini. Sekitar 17 persen dari perdagangan antar- pulau secara nasional berasal dari Jawa Timur. Sekitar 70 persen dari perdagangan antar-pulau tersebut diangkut melalui laut. Dalam konteks ini, ada ketergantungan besar pada kapasitas dan kualitas pelabuhan laut di Jawa Timur, terutama Tanjung Perak yang terletak di Kota Surabaya. Namun seperti disebutkan dalam Bab 3 kapasitas Tanjung Perak sudah mendekati maksimum dan perairan dangkal di dekat pelabuhan mempersulit jalur keluar-masuk untuk kapal-kapal besar. Selain itu, kemacetan di jalan utama di Kota Surabaya yang menghubungkan dengan pelabuhan utama juga dapat mempengaruhi waktu dan arus barang dari pabrik ke pelabuhan. Kemacetan ini dapat menyebabkan keterlambatan perpindahan barang di dalam kontainer ke kapal yang dapat mengakibatkan penumpukan barang dan makin banyaknya waktu yang terbuang di pelabuhan. Seluruh masalah ini dapat menghambat upaya provinsi dalam memajukan aktivitas perdagangannya. Kesulitan yang dihadapi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam memperoleh kredit juga dapat menghambat pertumbuhan di sektor perdagangan. UMKM sejak dulu merupakan pemain utama dalam kegiatan perdagangan dalam negeri, khususnya sebagai penyedia kesempatan kerja, dan karenanya menjadi penghasil pendapatan utama atau sekunder bagi banyak rumah tangga. Kredit bagi UMKM akan signifikan tidak hanya untuk memperluas usaha tetapi juga untuk memperbaharui peralatan dan fasilitas kerja mereka. Namun demikian, untuk memperluas bisnis dan memperbarui peralatan, UMKM di Jawa Timur masih menghadapi masalah dalam kemudahan mendapatkan kredit perbankan (seperti dibahas dalam Bab 3.1). Secara khusus, permasalahan yang banyak dihadapi UMKM misalnya adalah suku bunga yang lebih tinggi untuk kredit mikro, kurangnya minat perbankan untuk memberi pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, dan kesenjangan formalisasi (seperti persyaratan untuk mendaftarkan usaha secara resmi). Keterbatasan akses UMKM terhadap kredit dapat menghambat prospek sektor ini untuk tumbuh berkembang di masa mendatang. Kesimpulan Besarnya jumlah petani dibandingkan dengan lahan yang terbatas, kurangnya akses terhadap kredit, nilai tambah produk pertanian yang rendah, dan pasokan angkatan kerja tidak terampil yang tidak proporsional adalah beberapa faktor utama di balik rendahnya pertumbuhan produksi pertanian. Hanya ada sedikit ruang untuk memperluas lahan pertanian DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 87 Hambatan Sektoral mengingat 74 persen tanah di Jawa Timur telah digunakan untuk pertanian. Perbaikan rasio lahan- jumlah petani ini hanya dapat terjadi jika jumlah petani dikurangi dengan mempermudah mereka untuk pindah kerja ke kegiatan non-pertanian lainnya. Oleh karena itu, untuk sektor ini pemerintah mungkin dapat berfokus pada peningkatan akses kredit ke bank, memfasilitasi diversifikasi ke produk-produk pertanian yang nilai tambahnya lebih tinggi seperti hortikultura, pembiakan ternak, dan pertanian organik, serta meningkatkan keterampilan pekerja melalui penyuluhan dan pelatihan non-formal. Angkat kakinya beberapa footloose industri dari Jawa Timur, kurangnya diversifikasi ekspor, dan ketergantungan pada bahan baku impor adalah beberapa kendala yang dihadapi oleh industri manufaktur Jawa Timur saat ini dalam meningkatkan kinerja pertumbuhannya. Sektor manufaktur padat karya mengalami penurunan produksi dalam beberapa tahun terakhir yang mengakibatkan penurunan permintaan tenaga kerja. Hal ini sebagian disebabkan oleh relokasi beberapa industri yang memang tidak tergantung tempat (footloose) yang telah kehilangan daya saingnya. Di sisi lain, kurang terdiversifikasinya industri dan terbatasnya jenis produk ekspor kemungkinan akan terus membatasi arus investasi dan pertumbuhan di sektor manufaktur. Untuk menjadi lebih kompetitif secara internasional di masa depan, industri Jawa Timur harus memperjelas orientasi ekspornya dan lebih responsif terhadap perubahan permintaan global. Kualitas jalan yang buruk dan keterbatasan kapasitas pelabuhan dapat menjadi penghalang untuk memperluas perdagangan antar dan dalam provinsi. Selain itu, kendala yang dihadapi UMKM dalam memperoleh kredit juga bisa menjadi kendala bagi pertumbuhan dari sektor perdagangan Rekomendasi Provinsi ini membutuhkan suatu strategi untuk meningkatkan kinerja sektor-sektor yang memberi kontribusi utama dalam pertumbuhan ekonomi. Strategi ini dapat berkontribusi dalam mengangkat banyak orang di Jawa Timur keluar dari kemiskinan dan menciptakan pertumbuhan yang sifatnya lebih inklusif bagi penduduk. Di antara strategi yang dapat digunakan adalah: · Revitalisasi sektor pertanian dengan - Merumuskan inisiatif baru untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Sebagai contoh, melalui penyediaan layanan penyuluhan pertanian, penguatan penelitian dan pengembangan pertanian, dan penyediaan akses serta informasi bagi teknologi baru pertanian yang lebih baik; - Mempromosikan pekerjaan non-pertanian seperti usaha kecil dan menengah berbasis pedesaan untuk mengakomodasi sejumlah besar pekerja pertanian yang hanya memiliki sedikit kesempatan (kelompok umur yang lebih tua) untuk berpindah ke sektor manufaktur dan jasa; - Mendukung diversifikasi produksi pertanian ke produk yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi seperti hortikultura, pembiakan ternak, dan pertanian organik; - Mengembangkan mekanisme untuk memperkuat hubungan produksi antara hasil pertanian ke pengecer besar dan industri pengolahan pertanian misalnya lewat kontrak petani (contract farming); - Memperluas akses pasar bagi hasil pertanian melalui pembangunan jaringan pasar grosir di Jawa Timur dan menghubungkannya ke pasar grosir di provinsi-provinsi lainnya; 88 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR - Mengembangkan pemasaran koperasi, di mana para petani anggotanya secara kolektif menjual kelebihan produksi mereka di pasar grosir. Hal ini dapat meningkatkan daya tawar para anggota untuk mendapatkan harga yang lebih baik untuk hasil pertanian yang dihasilkan. · Memulihkan Investasi di Sektor Manufaktur - Meningkatkan iklim investasi di Jawa Timur dalam rangka menarik minat para investor asing dan domestik dengan menggunakan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya (lihat rekomendasi iklim usaha); - Menciptakan pusat fasilitasi investasi Jawa Timur yang menyebarkan dan menyediakan informasi mengenai peluang investasi di provinsi tersebut, dan memberikan informasi pasar bagi industri di Jawa Timur; - Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan kawasan industri; - Mempromosikan hubungan industrial antara UKM dan perusahaan yang lebih besar; - Memfasilitasi koordinasi unit penelitian dan pengembangan di berbagai institusi seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah untuk mempromosikan diversifikasi produk industri; dan - Mengembangkan mekanisme dialog publik-swasta untuk berkolaborasi dalam meningkatkan daya saing global, proses teknologi, dan pengembangan keterampilan. 11. Mempromosikan sektor perdagangan sebagai stimulan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Perdagangan saat ini adalah faktor pendorong terbesar bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat merangsang kegiatan ekonomi lainnya. Posisi Surabaya yang strategis sebagai pintu gerbang ke Indonesia Timur memberi potensi lebih lanjut bagi peningkatan kegiatan perdagangan antara Jawa Timur dan daerah lain. Namun, masih ada kemacetan dalam sistem logistik di provinsi ini baik di jaringan dalam-provinsi maupun jaringan antar-provinsi. Masalah ini bisa diperbaiki dengan - Mengurangi kemacetan dan antrian kendaraan di pelabuhan laut utama; - Meningkatkan efisiensi layanan truk dan pengiriman barang, dan - Meningkatkan konektivitas jalur darat antara kawasan industri dan pelabuhan utama. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 89 Ringkasan Eksekutif 90 Conclusion matrix of key constraints and policy actions DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 5. Matriks Hambatan Utama atas Pertumbuhan Inklusif di Jawa Timur dan Rekomendasi Kebijakan DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 91 Matriks Hambatan Utama atas Pertumbuhan Inklusif di Jawa Timur dan Rekomendasi Kebijakan 5.1. Ringkasan masalah utama dan identifikasi hambatan Hambatan Identifikasi Masalah Hambatan terhadap Inklusifitas terhadap Pertumbuhan · Tingkat pertumbuhan yang stabil dan · Akses yang terbatas · Kualitas Infrastruktur moderat akan tetapi masih berada di terhadap sumber dana yang rendah: bawah tingkat sebelum krisis. ­ Pasokan listrik untuk untuk UMKM. · Minimnya perubahan yang terjadi pada perusahaan yang masih · Porsi populasi yang struktur ekonomi Jawa Timur selama kurang handal. sebagian besar bekerja satu dekade terakhir. ­ Kualitas jalan kabupaten pada sektor pertanian · Lambatnya perpindahan tenaga kerja yang buruk. (sektor dengan antar sektor. Terbatasnya investasi ­ Kegiatan operasional produktivitas dan tingkat pelabuhan yang kurang swasta untuk mendorong sektor efisien dan kapasitas pengembalian investasi tradisional dan non-tradisional ke arah yang hampir mencapai yang paling rendah). sektor modern. maksimal. · Kurangnya kapasitas · Tingkat kemiskinan sudah menurun sumber daya manusia namun tidak secepat yang diperkirakan. · Rendahnya investasi: karena akses terhadap Tingkat kemiskinan tersebut pun masih ­ Biaya pendaftaran usaha tergolong tinggi. yang cukup tinggi. pendidikan tingkat · Jawa Timur berada di posisi teratas ­ Prosedur yang rumit pada menengah yang masih saat memulai usaha. rendah dalam jumlah penduduk miskin ­ Prosedur yang panjang terbanyak di Indonesia. Hambatan Sektoral: Pertanian Manufaktur Perdagangan, Hotel dan Restoran · Rasio lahan-tenaga kerja · Penurunan tingkat yang rendah. produksi. · Kurangnya dukungan · Pasokan lahan yang · Penurunan daya saing infrastruktur. terbatas. yang menyebabkan perginya industri- · Rendahnya · Akses terhadap kredit industri footloose. keterhubungan antar yang terbatas. · Produk ekspor yang daerah di Jawa Timur. · Rendahnya nilai-tambah kurang terdiversifikasi. produk-produk pertanian. · Ketergantungan yang · Rendahnya keahlian cukup tinggi pada tenaga kerja di sektor bahan-bahan input pertanian. impor. 92 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 5.2. Faktor pendukung dan usulan pilihan kebijakan Faktor pendukung pertumbuhan inklusif di Jawa Timur · Letak geografis yang strategis. · Ketersediaan dan akses terhadap pendanaan yang mencukupi. · Biaya pendanaan investasi yang kompetitif. · Pasokan tenaga kerja yang berlimpah dengan biaya yang cukup rendah. · Kondisi makroekonomi yang stabil dan kondusif. Isu Utama Tindakan Kebijakan Institusi Terkait Kualitas infrastruktur yang rendah Pasokan Memfasilitasi PLN dalam memperoleh ijin yang diperlukan untuk Pemerintah Pusat, listrik untuk memperluas fasilitas transmisi dan distribusi listrik seperti Gardu Propinsi dan perusahaan Induk serta Saluran Udara Tekanan Tinggi (SUTT); Kabupaten/kota Memfasilitasi dan mempercepat investasi di sumber alternatif listrik rendah biaya seperti geothermal, tenaga angin dan tenaga Pemerintah Pusat, surya, khususnya di daerah yang potensial untuk pengembangan Propinsi dan industri. Hal ini akan memungkinkan PLN untuk membeli energi Kabupaten/kota (listrik) dengan harga yang lebih rendah dan mengurangi biaya transmisi dan distribusi. Pemerintah pusat diharapkan dapat menyediakan sumber dana yang mencukupi untuk mempercepat investasi pada sistem Pemerintah Pusat transmisi dan distribusi yang saat ini membutuhkan perluasan dan peningkatan kualitas. Buruknya Mengkaji alokasi belanja daerah untuk sektor infrastruktur untuk Pemerintah Provinsi kualitas jalan mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang bagaimana dan Kabupaten/kota kabupaten dana tersebut dibelanjakan. Mengalokasikan dana yang cukup untuk pemeliharaan jalan. Anggaran untuk operasi dan pemeliharaan jalan agar diberikan Pemerintah dengan proporsi yang sesuai agar Dinas Pekerjaan Umum di level Kabupaten kabupaten dapat menjaga kualitas jalan; Pemberian insentif pada kabupaten untuk pemeliharaan Pemerintah Pusat contohnya melalui hibah pendamping dari provinsi; dan dan Provinsi Memperkuat supervisi penggunaan jalan termasuk optimalisasi penggunaan jembatan timbang. Kerusakan jalan sering Pemerintah Provinsi disebabkan oleh kelebihan beban kendaraan berat seperti truk dan Kabupaten/kota peti kemas. Dengan optimalisasi pos tersebut, pemerintah dapat mengurangi beban kerusakan jalan. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 93 Matriks Hambatan Utama atas Pertumbuhan Inklusif di Jawa Timur dan Rekomendasi Kebijakan Isu Utama Tindakan Kebijakan Institusi Terkait Fasilitas Menghilangkan hambatan lalu lintas laut ke pelabuhan Tanjung infrastruktur Perak. Inisiatif untuk memperluas Alur Pelayaran Barat Surabaya pelabuhan yang harus diimplementasikan secepatnya dengan dukungan Pemerintah Provinsi Lemah pemerintah. Rencana untuk mengangkat dan merealokasi pipa dan Pelindo yang mengganggu lalu lintas kapal-kapal menuju pelabuhan juga perlu dipercepat untuk menghidari dampak yang berkepanjangan. Melaksanakan rencana untuk membangun pelabuhan baru di Pelindo Teluk Lamongan; Mengoptimalisasi penggunaan pelabuhan-pelabuhan kecil di Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui pembentukan jaringan transportasi laut dan Kabupaten/ dalam provinsi tersebut. kota Iklim usaha yang tidak mendukung Proses pendaftaran Menyederhanakan prosedur pendaftaran usasaha. Pemerintah Provinsi usaha dan Penyederhanaan prosedur tidak hanya akan meringankan dan Kabupaten/ sertifikasi tanah beban pengusaha swasta, tetapi juga mengurangi potensi kota yang rumit dan adanya pengenaan biaya-biaya ilegal; memakan biaya Memonitor dan secara berkala mengevaluasi kinerja sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PSTP) di provinsi dan kabupaten. PTSP merupakan salah satu inisiatif pemerintah untuk mempercepat pelayanan perizinan usaha. Namun, mendirikan Pemerintah Provinsi PTSP saja tidak akan cukup tanpa pemantauan terus menerus dan Kabupaten/ atas kinerja PTSP dan penetapan acuan yang jelas atas standar kota pelayanan untuk memastikan bahwa lembaga ini beroperasi secara efektif. Salah satu cara untuk memantau kinerja PTSP adalah dengan melibatkan lembaga pengendali mutu eksternal seperti ISO; Meningkatkan orientasi bisnis dan profesionalisme instansi Pemerintah Provinsi pemerintah yang berinteraski erat dengan sektor usaha seperti dan Kabupaten/ dinas tenaga kerja, perdagangan, industri, dan koperasi; kota Memperluas peluang pasar sektor swasta melalui pameran Pemerintah Provinsi dagang dan membangun kerjasama antara pemerintah dan dan Kabupaten/ sektor swasta untuk menyusun strategi promosi perdagangan. kota Kurangnya akses terhadap kredit bagi UMKM Ketidakmampuan Memfasilitasi formalisasi usaha bagi UMKM, termasuk UMKM untuk pendaftaran usaha dan sertifikasi tanah. Fasilitasi dapat dilakukan memenuhi Pemerintah Pusat, melalui pengembangan program khusus untuk sertifikasi tanah persyaratan kredit Provinsi dan oleh BPN (Badan Pertanahan Negara), penyederhanaan proses Kabupaten/kota pendaftaran usaha, dan pengurangan biaya pendaftaran bagi UMKM; 94 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Isu Utama Tindakan Kebijakan Institusi Terkait Memperkuat program skema penjaminan kredit. Skema Pemerintah Pusat, penjaminan kredit ini akan bertindak sebagai jaminan bagi bank Provinsi dan untuk menyalurkan kredit ke sektor yang berisiko tinggi seperti Kabupaten/kota pertanian; Penguatan kapasitas UMKM untuk mengakses pembiayaan melalui penyediaan bantuan teknis dari pemerintah. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam aplikasi proses kredit, pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan Pemerintah Provinsi dapat menyediakan bantuan teknis untuk memperkuat dan Kabupaten/kota kapasitas UMKM. Program pelatihan dapat disampaikan melalui fasilitas pelatihan pemerintah atau melalui pusat pelatihan desa dengan bantuan dari mitra bank dalam hal konsultasi keuangan (Konsultan Keuangan Mitra Bank); Memperkuat hubungan antara bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Ada beberapa upaya yang sudah dilakukan untuk menyalurkan dana dari bank komersial ke lembaga keuangan mikro seperti BPR (Bank Kredit Mikro) yang selanjutnya disalurkan Pemerintah Provinsi, ke usaha mikro. Pendekatan ini dapat diperkuat, terutama karena Kabupaten/kota LKM memiliki peran yang penting dalam menangani UMKM dan Bank Indonesia dan sektor informal lainnya. Salah satu pendekatannya adalah melalui sosialisasi yang lebih komperehensif mengenai LKM (misalnya: bazaar informasi mengenai perum pegadaian, modal ventura, dll) untuk komunitas UMKM Kapasitas SDM yang Rendah Keahlian tenaga kerja dan tingkat Mengkaji alokasi anggaran sektor pendidikan saat ini dan pendidikan Pemerintah Provinsi meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan tingkat yang rendah dan Kabupaten/kota menengah; serta kurangnya akses terhadap pendidikan Memperluas dan mengoptimalkan fungsi lembaga pendidikan tingkat non-formal seperti pusat belajar masyarakat atau lembaga menengah pelatihan informal dalam rangka memberikan kesempatan pendidikan kepada mereka yang berada di luar usia sekolah. Pemerintah Provinsi Lembaga pendidikan non-formal harus menawarkan program dan Kabupaten/ khusus bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk kota mengikuti pendidikan formal seperti misalnya pelatihan pemberdayaan perempuan, konseling keterampilan, pelatihan kerja, dan lainnya. Memperkuat dan memperluas sekolah-sekolah kejuruan untuk Pemerintah Provinsi menghasilkan tenaga kerja dengan keterampilan yang lebih dan Kabupaten/ spesifik; kota Mengoptimalkan unit kerja pusat pelatihan pemerintah provinsi untuk meningkatkan dan menciptakan keterampilan- Pemerintah Provinsi keterampilan kerja baru (diversifikasi keterampilan tenaga kerja); DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 95 Matriks Hambatan Utama atas Pertumbuhan Inklusif di Jawa Timur dan Rekomendasi Kebijakan Isu Utama Tindakan Kebijakan Institusi Terkait Menciptakan sertifikasi untuk standar kompetensi bagi tenaga Pemerintah Provinsi kerja ahli dan profesional; Pusat Membentuk pusat fasilitasi penyaluran kerja yang disponsori Pemerintah Provinsi oleh pemerintah. Pemerintah berperan sebagai penghubung dan Kabupaten/ antara permintaan pekerjaan dengan penyedia lapangan kerja. kota Hambatan sektoral Rendahnya Membentuk inisiatif baru untuk meningkatkan produktivitas produktivitas pertanian. Contohnya melalui penyuluhan, penguatan penelitian Pemerintah Provinsi sektor pertanian dan pengembangan pertanian, dan penyediaan akses dan dan Kabupaten/kota informasi mengenai teknologi pertanian baru dan lebih baik; Pe n i n g k a t a n k e s e m p a t a n k e r j a n o n - t a n i d i p e d e s a a n seperti usaha kecil dan menengah berbasis pedesaan untuk Pemerintah Provinsi mengakomodasi sejumlah besar pekerja pertanian yang dan Kabupaten/kota memiliki sedikit peluang untuk pindah ke sektor manufaktur dan jasa; Mendukung diversifikasi produk pertanian khususnya pada Pemerintah Provinsi produk-produk bernilai tinggi seperti hortikultura, peternakan, dan Kabupaten/kota dan pertanian organik; Mengembangkan mekanisme untuk memperkuat hubungan produksi hasil pertanian dari produsen ke pengecer besar dan Pemerintah Provinsi industri pengolahan hasil pertanian misalnya melalui sistem dan Kabupaten/kota kontrak petani; Memperluas akses pasar untuk produk pertanian melalui Pemerintah Provinsi p e n c i p t a a n j a r i n g a n p a s a r i n d u k d i J a w a T i m u r d a n dan Kabupaten/ menghubungkannya ke pasar induk di provinsi lainnya; kota . Mengembangkan koperasi pemasaran masyarakat, dimana para anggotanya (petani) dapat secara bersama-sama menjual Pemerintah kelebihan produksi mereka di pasar induk. Hal ini dapat Kabupaten/kota . meningkatkan daya tawar anggota untuk memperoleh harga yang lebih baik atas hasil produksinya. Mendorong Memperbaiki iklim investasi di Jawa Timur untuk menarik Pemerintah Provinsi pertumbuhan investasi asing dan domestik di daerah dengan menggunakan dan Kabupaten/ sektor mek anisme yang telah disebutk an sebelumnya (lihat kota. manufaktur rekomendasi kebijakan 5); Membangun pusat fasilitasi investasi Jawa Timur yang menyebarkan dan memberikan informasi tentang peluang Pemerintah Provinsi. investasi di provinsi tersebut; dan memberikan informasi kondisi pasar bagi industri di Jawa Timur; Pemerintah Pusat, Mengoptimalisasi fungsi kawasan industri; Provinsi dan Kabupaten/kota. 96 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Isu Utama Tindakan Kebijakan Institusi Terkait Memperkuat hubungan industrial antara usaha mikro dengan Pemerintah Pusat perusahaan-perusahaan/industri besar; dan Provinsi. M e m f a s i l i t a s i k o o rd i n a s i p u s a t - p u s a t p e n e l i t i a n d a n pengembangan di berbagai institusi seperti perguruan tinggi Pemerintah Pusat dan badan penelitian pemerintah untuk mendorong adanya dan Provinsi. diversifikasi produk-produk industri; M e c i p t a k a n m e k a n i s m e d i a l o g p u b l i k - s w a s t a u n t u k Pemerintah Pusat, berkolaborasi dalam hal peningkatan daya saing internasional, Provinsi dan proses teknologi, dan pengembangan keterampilan. Kabupaten/kota. Kurangnya Mengurangi kepadatan dan jalur antrian kapal-kapal di Kantor Otoritas konektifitas/ pelabuhan utama; Pelabuhan keterhubungan Meningkatkan efisiensi pelayanan pengiriman barang dan truk; Asosiasi Bisnis dalam bidang Meningkatkan konektivitas darat yang menghubungkan antara Pemerintah Provinsi perdagangan kawasan industri dan pelabuhan laut utama. dan Kabupaten/kota Isu Spasial Mengembangkan program pembangunan bersifat umum yang netral spesial seperti misalnya investasi sumber daya manusia di sektor pendidikan dan kesehatan yang dapat memungkinkan Pemerintah Provinsi penduduk daerah tertinggal tertinggal untuk bergerak ke arah dan Kabupaten/kota Terdapatnya pemanfaatan peluang ekonomi yang lebih baik di pusat-pusat perbedaan ekonomi; antara daerah maju dan Mengembangkan infrastruktur penghubungan spasial untuk tertinggal meningkatkan arus barang, orang, perdagangan, dan informasi ke pusat-pusat ekonomi. Pembangunan jembatan Suramadu Pemerintah Provinsi adalah contoh pembangunan infrastruktur yang baik untuk dan Kabupaten/kota menghubungkan daerah-daerah tertinggal di Pulau Madura dengan pusat ekonomi Surabaya dan sekitarnya. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 97 98 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 6. Daftar Referensi Alene, Arega D. and V.M. Manyong. 2007. "The effects of education on agricultural productivity under traditional and improved technology in northern Nigeria: an endogenous switching regression analysis". Publised in Empirical Economics. Anggraini, Rini. 2000. "INDONESIA INDUSTRIAL ESTATE." Paper presented on International Symposium of GP in Industrial Estates in Penang. Asia Productivity Organization, Tokyo. Asian Development Bank, International Labor Organization and Islamic Development Bank. 2010. "Indonesia Growth Diagnostic". Indonesia. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2007. "Laporan awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan Lumpur Lapindo." Processed Report. Bappenas, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Various Years. Statistik Industri Menengah dan Sedang. BPS, Jakarta. ________________. Various Years. Survey Potensi Desa/Kelurahan. BPS, Jakarta. ________________. Various Years. Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS, Jakarta. ________________. Various Years. Survey Angkatan Kerja Nasional. BPS, Jakarta. Bank Indonesia. 2010. "Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Timur Triwulan II-2010", Jawa Timur. Bisnis Indonesia. 2010. "Opini: Efisiensi Sistem Logistik Tak Bisa Ditunda." Jakarta. Dick, Howard. 1993. "Manufacturing." Book section of Balanced Development, East Java in the New Order, a book edited by Howard Dick. Oxford University Press, New York. Hausmann, Ricardo; Dani Rodrik, and Andre's Velasco. 2005. "Growth Diagnostics." Mimeo, Inter-American Development Bank. Hausmann, Ricardo, Klinger Bailey, and Wagner Rodrigo. 2008. "Doing Growth Diagnostics in Practice: A `Mindbook'." CID Working Papers Series No. 177. Harvard University. Cambridge. Hesse, Heiko. 2008. "Export Diversification and Economic Growth" in Commission of Growth and Development's working paper no. 21. Washington DC. Hill, Hal. 1996. "The Indonesian Economy Since 1996: South East Asia's Emerging Giant" Cambridge University Press, United Kingdom. International Finance Corporation. 2010. "Doing Business in Indonesia 2010. Comparing Regulations in 14 Cities and 183 economies" IFC's Doing Business Survey Report. IBRD dan World Bank. ________________. 2010. "Doing Business 2010: Indonesia. Comparing regulation in 183 Economies" IFC's Doing Business Survey Report. IBRD and World Bank. Islam, I., and A. Chowdhury. 2009. "Growth, Employment and Poverty Reduction in Indonesia" ILO, Geneva. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah and the Asia Foundation. 2008. "Local Economic Governance in Indonesia: A Survey of Business in 243 Regencies/Cities in Indonesia, 2007", Jakarta. ________________ . 2007. "Local Economic Governance in Indonesia: A Survey of Business in 243 Regencies/ Cities in Indonesia" Survey, Jakarta. Lewis, W., Arthur. 2003. "The Theory of Economic Growth." Taylor and Francis, London LPEM FEUI. 2005. "Inefficiency in the Logistics of Export Industries: The Case of Indonesia" LPEM FEUI, Jakarta. ________________ . 2008. "The Cost of Moving Goods Road Transportation, Regulations and Charges in Indonesia." The Asia Foundation, Jakarta. Mackie, Jamie. 1993. "The East Java Economy: From Dualism to Balanced Development" in Balanced Development, East Java in the New Order, a book edited by Howard Dick. Oxford University Press, New York. Ministry of Public Works. 2008. Transportation Statistics 2008. Ministry of Public Works, Jakarta. Patunru, A., Nurridzki, N., and Rivayani. 2009. "Port competitiveness: a case study of Semarang and Surabaya, Indonesia" in Douglas Brooks and David Hummel Infrastructure's Role in Lowering Asia's Trade Costs Building for Trade. Edward Elgar and ADB Institute, Manila. DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR 99 Daftar Referensi Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2009a. "Ensuring Electricity in Java-Bali" Presentation by PT. PLN (Persero) for Business Forum West Java International Expo 2009. PT. PLN, Jakarta. ______________. 2009b. "Statistik PT PLN Distribusi Jawa Timur". Indonesia. ______________. 2009c. "RUPTL PT PLN Distribusi Jawa Timur ". Indonesia. ______________. Statistik PLN 2008. PT. PLN, Jakarta. Regional Economic Development Institute (REDI). 2010. Background report on "East Java Growth Diagnostic: Identifying the binding constraints to accelerate sustainable growth". Surabaya. Santosa, Bambang Heru, and Heath McMichael. 2004. "Industrial Development in East Java: A Special Case?" The Australia National University Working Paper. Australia. Simanjuntak, Frenky. 2008. "Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap." TI Indonesia, USAID and MCC, Jakarta. Transparency International. 2009. Transparency International Corruption Perceptions Index 2009. A Survey in 180 Economies. Transparency International, Berlin. Transparency International Indonesia, USAID, and Millennium Challenge Corporation. 2009. "Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap." Presentasi hasil survey pengukuran korupsi TI-Indonesia di 50 kota di seluruh Indonesia untuk Pemda Kota Surabaya. TI Indonesia, Jakarta. World Bank dan the Asia Foundation. 2004. "Improving Business Environment in East Java". World Bank dan TAF, Jakarta. World Bank. 2005. "Indonesia Policy Briefs - Ideas for the Future: Averting an Infrastructure Crisis." World Bank, Jakarta. ______________. 2008a. "World Development Report 2008: Agriculture for Development." World Bank. Washington DC. ______________. 2008. Bantuan Operational Sekolah (BOS) Assessment in Preparation of BOS KITA Project. World Bank. Jakarta. ______________. 2009. "World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography." World Bank. Washington DC. ______________. 2009a. "Aceh Growth Diagnostic: Identifying the Binding Constraints to Growth in A Post- Conflict and Post-Disaster Environment." World Bank, Jakarta. ______________. 2009b. "Investing in Indonesia's Education at the District Level: An Analysis of Regional Public Expenditure and Financial Management" Education Public Expenditure Report. World Bank, Jakarta. ______________. 2009c. "Indonesia development policy review: Enhancing government effectiveness in a democratic and decentralized Indonesia". World Bank, Jakarta. ______________. 2009d. "Indonesia Economic Quarterly: Building Momentum". World Bank, Jakarta. ______________. 2010. "Connecting to Compete in Indonesia." Logistic Performance Index 2010. World Bank, Jakarta. World Economic Forum. 2009. "The Global Competitiveness Report 2009-2010." World Economic Forum, Davos. 100 DIAGNOSA PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR