93636 INDONESIA Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) Program Percontohan Lingkungan Hidup (PNPM-LMP) Evaluasi Hasil: Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Analisa Mata Pencaharian / Penghidupan Masyarakat Perdesaan Canadian International Development Agency PSF Office Jakarta World Bank Satellite Office - PNPM Support Facility Jl. Diponegoro No. 72 Jakarta 10310 Indonesia Phone: (62 21) 314 8175 Fax: (62 21) 3190 3190 Dicetak Bulan September 2013 Evaluasi Hasil: Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP ini disusun oleh staf Bank Dunia. Temuan, tafsiran, dan kesimpulan yang disampaikan dalam laporan ini tidak harus mencerminkan pandangan Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia ataupun Pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data yang dicantumkan dalam laporan ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang diperlihatkan pada setiap peta dalam laporan ini tidak menyiratkan penilaian Bank Dunia mengenai status hukum wilayah mana pun atau dukungan atau penerimaan terhadap perbatasan tersebut. Kredit foto: PNPM Green Evaluation Team. INDONESIA Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) Program Percontohan Lingkungan Hidup (PNPM-LMP) Evaluasi Hasil: Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Analisa Mata Pencaharian / Penghidupan Masyarakat Perdesaan Vivianti Rambe Steffen Johnsen November 2012 Daftar Isi Ucapan Terima Kasih iv Glosarium & Singkatan v Ringkasan Eksekutif 1 Bab 1 Pendahuluan 5 1.1 Tujuan Umum dan Indikator Keberhasilan 5 1.2 Latar Belakang PNPM-LMP (PNPM Green) 5 1.3 Kerangka Teoritis untuk Evaluasi 6 1.4 Susunan Laporan 7 Bab 2 Desain dan Metodologi 9 2.1 Lingkup Evaluasi dan Keterbatasan 9 2.2 Pertanyaan Riset 9 2.3 Studi Evaluasi 11 Bab 3 Hasil Utama 15 3.1 Kelayakan Ekonomi 15 3.2 Restorasi dan Peningkatan Aset Alam 18 3.3 Akseptabilitas Sosial 21 Bab 4 Kesimpulan dan Rekomendasi 31 4.1 Kesimpulan 31 4.2 Rekomendasi 33 Referensi 34 Lampiran 35 Lampiran 1. Ringkasan Eksekutif Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian 35 Lampiran 2. Ringkasan Eksekutif Studi Mhp-Roi 37 Lampiran 3. Ringkasan Eksekutif Studi Efek Limpahan 39 Lampiran 4. Matriks Evaluasi Hasil 41 Lampiran 5. Lokasi Studi 43 Lampiran 6. Metodologi Transfer Manfaat 47 Evaluasi Hasil: ii Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Daftar Gambar Gambar 1. Rumpon dari Sulawesi Tenggara, Wakambura. 16 Gambar 3. Manfaat dari Penanaman Mangrove 19 Gambar 4. Manfaat dari Penanaman Pohon 19 Gambar 5. Perubahan jumlah ikan yang dilaporkan sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; sub-proyek DPL) 21 Gambar 6. Perubahan bibit ikan dan biota laut lainnya sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; subproyek DPL) 21 Gambar 7. Perubahan kondisi terumbu karang sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; subproyek MPA) 21 Gambar 8. Persentase Kategori Subproyek 22 Gambar 9. Penerima bantuan proyek 23 Gambar 10. Komposisi penerima bantuan proyek 24 Gambar 11. Tingkat keterampilan yang diperoleh melalui partisipasi dalam kelompok-kelompok subproyek 28 Daftar Tabel Tabel 1. Pertanyaan riset dan hubungannya dengan unsur-unsur keberlanjutan 10 Tabel 2. Ringkasan nilai pendapatan rumah tangga yang diharapkan, dihitung dengan metode transfer manfaat 17 Tabel 3. Total pendapatan yang diharapkan (Rp Juta) dari semua subproyek, berdasarkan laporan responden dalam wawancara dengan rumah tangga*. 17 Tabel 4. Pengurangan Emisi GRK dari Penggantian Bahan Bakar Fosil 20 Tabel 5. Kategori Subproyek dan Kegiatan PNPM LMP 22 Tabel 6. Kategori subproyek sebagai persentase dari responden ‘yang masih aktif’ 23 Tabel 7. Kontribusi swadaya masyarakat untuk kategori subproyek 26 Tabel 8. Kontribusi natura subproyek MHP 26 Tabel 9. Peranan tokoh masyarakat dalam pertemuan subproyek 27 Tabel 10. Peningkatan Kapasitas PNPM-LMP 27 Tabel 1. Lokasi – Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian 43 Tabel 2. Lokasi Studi MHP-ROI 45 Tabel 3. Lokasi Studi Efek Limpahan 46 Daftar Kotak Kotak 1. 24 Kotak 2. 25 iii Ucapan Terima Kasih Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Chloe Olliver (Task Team Leader PNPM-LMP) dan Susanne Holste (Task Team Leader PNPM-MP) yang secara konsisten telah memberikan bimbingan dan dukungan dalam penyusunan laporan evaluasi ini. Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada Timothy Brown (EAP, Bank Dunia), Comfort Olatunji (SASDI, Bank Dunia), Damayanti Buchori (PSF, AusAid) dan Soeryo Adiwibowo (Fakultas Ekologi Manusia, IPB) yang dengan murah hati mencurahkan waktunya untuk meninjau dan memberikan komentar tentang draft laporan ini. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Dalam Negeri, telah memberikan dukungan yang sangat besar untuk program ini dan evaluasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna (SDATTG) atas dukungan mereka yang besar untuk PNPM-LMP dan evaluasi ini. Laporan evaluasi hasil ini didasarkan pada tiga studi terpisah: Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian/ Penghidupan (oleh LPM Equator), Studi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro – Tingkat Pengembalian Investasi (MHP-ROI) (oleh Castlerock), dan Studi Efek Limpahan (oleh CARDS-IPB). Banyak pihak yang meresensi laporan ini telah memberikan masukan berharga yang mendukung penyelesaian studi-studi tersebut, antara lain para kolega dari Unit Lingkungan Hidup (Bank Dunia Jakarta), Tim Kerja PNPM-LMP di PSF (Damayanti Buchori, Prianto Wibowo dan Soren Moestrup), Tim Monev-PSF (Lily Hoo dan Yulia Herawati), Sekretariat PNPM-LMP dari PMD, para mitra CSO dan NGO (Operation Wallacea Trust dan Wildlife Conservation Society), serta staf dari National Management Consultant (NMC). Dukungan keuangan untuk program PNPM-LMP secara keseluruhan dan pelaksanaan evaluasi akhir ini berasal dari Pemerintah Kanada dan PNPM Support Facility yang beranggotakan donor-donor dari Australia, Denmark, Belanda dan Inggris. Temuan, analisis dan kesimpulan yang dinyatakan dalam laporan ini sepenuhnya merupakan temuan, analisis dan kesimpulan dari para penulis dan tidak mencerminkan pandangan apapun dari Bank Dunia, organisasi yang berafiliasi dengan Bank Dunia, anggota Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau negara-negara yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang tercantum dalam publikasi ini dan tidak bertanggung jawab atas akibat apapun yang ditimbulkan dari penggunaannya. Evaluasi Hasil: iv Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Glosarium & Singkatan Bt Transfer value (nilai transfer, nilai manfaat obyek sebenarnya saat ini) CDD Community-driven Development (Pembangunan Berbasis Masyarakat) CO2 Carbon Dioxide (Karbondioksida) CSO Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat Sipil) DAS Daerah Aliran Sungai DPL Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area - MPA) GHG Green-House Gas (Gas Rumah Kaca – GRK) GOI Government of Indonesia (Pemerintah Indonesia) Ha Hektar IDR Indonesia Rupiah (Rp) IGA Income-Generating Activity (Kegiatan yang Menghasilkan Pendapatan) KDP Kecamatan Development Project (Proyek Pengembangan Kecamatan) KPMD Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa kWh Kilo-Watt hour (kilowat jam) LMP Lingkungan Mandiri Perdesaan MDST Musyawarah Desa Serah Terima MHP Micro Hydro Power (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro – PLTMH) MIS Monitoring information system (Sistem informasi pemantauan) MPA Marine Protected Area (Daerah Perlindungan Laut - DPL) NGO Non-government organization (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) NMC National Management Consultant (Konsultan Manajemen Nasional) NRM Natural Resource Management (Pengelolaan Sumber Daya Alam) NVP Net present value (Nilai Netto Sekarang) PLN Perusahaan Listrik Negara PMD Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PSF PNPM Support Facility REDD Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) RJPMDes Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa ROI Return on Investment (Tingkat Pengembalian Investasi) SDATTG Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna TP3 Tim Pelaksana Pemelihara Prasarana TPK Tim Pelaksana Kegiatan TPU Tim Penulis Usulan TSU Technical Support Unit (Unit Pendukung Teknis) UPK Unit Pelaksana Kegiatan UPT Unit Pelaksana Teknis USD Dolar AS v PNPM-LMP bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan (NRM) serta tata kelolanya seraya meningkatkan pendapatan rumah tangga dari masyarakat miskin dan memberdayakan kelompok-kelompok lokal yang mempersiapkan dan melaksanakan vi subproyek dan kegiatan Evaluasi Hasil: Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Ringkasan Eksekutif Program PNPM Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP) telah dilaksanakan selama empat tahun. Studi- studi yang dilaporkan secara ringkas dalam laporan ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi manfaat- manfaat program dan memeriksa sampai sejauh mana program berhasil mencapai tujuannya untuk membuat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat perdesaan berkelanjutan. PNPM-LMP bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan (NRM) serta tata kelolanya seraya meningkatkan pendapatan rumah tangga dari masyarakat miskin dan memberdayakan kelompok-kelompok lokal yang mempersiapkan dan melaksanakan subproyek dan kegiatan. Untuk menilai efek dan outcome PNPM-LMP dalam mencapai tujuannya maka Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian/ Penghidupan menerapkan konsep aset keuangan, alam, manusia dan sosial serta ‘pengaruh dan akses’. Studi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro – Tingkat Pengembalian Investasi (MHP – ROI) menganalisis skema-skema Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH atau MHP) dengan menggunakan metodologi penilaian usaha. Studi ini diperluas dengan mencakup manfaat-manfaat yang bersifat tidak berwujud dan sosial dari skema-skema MHP. Studi Efek Limpahan (Spillover Effect) mengukur jangkauan manfaat bagi masyarakat yang belum menjadi peserta program. Ketiga studi tersebut memperlihatkan bahwa partisipasi penerima bantuan dalam subproyek dan kegiatan PNPM-LMP kemungkinan akan meningkat jika subproyek: (a) sesuai dengan kebutuhan prioritas mata pencaharian peserta; (b) memberikan manfaat langsung kepada masyarakat; (c) secara langsung meningkatkan pendapatan rumah tangga; (d) didukung oleh nilai-nilai daerah, peraturan daerah atau kearifan lokal; dan (e) turut difasilitasi oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah daerah. Subproyek dengan karakteristik seperti ini juga lebih besar kemungkinannya direplikasi oleh desa-desa lain. Subproyek yang masih aktif mendatangkan hasil-hasil yang positif dalam arti layak secara ekonomi. Hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan langsung rumah tangga, terutama dari penjualan produk-produk yang berkaitan dengan subproyek dan penghematan yang berkaitan dengan penurunan pengeluaran. Hasil telaah dengan menggunakan metode pengukuran ekonomi lingkungan atau pendapatan rumah tangga menunjukan bahwa peningkatan kelayakan ekonomi diperkirakan akan terus berlanjut. Beberapa subproyek dan kegiatan PNPM-LMP mendukung kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat (income-generating activities). Apabila berhasil, peningkatan ekonomi terutama terjadi di tingkat rumah tangga di mana rumah tangga dapat melaporkan peningkatan pendapatan dari penjualan produk seperti buah-buahan atau ikan. Subproyek pengembangan energi terbarukan (renewable energy) dapat mengurangi pengeluaran sehingga meningkatkan aset keuangan rumah tangga. Hal ini memungkinkan beberapa usaha kecil memperpanjang jam dagang mereka atau memperluas lingkup operasi mereka. Produktivitas ekonomi yang lebih baik diharapkan akan meningkat seraya waktu berjalan sehingga pendapatan masyarakat 1 akan bertambah secara signifikan. Sebagian besar skema MHP tampaknya berjalan dengan baik dan menyediakan pelayanan yang berharga bagi masyarakat. Biaya modal per kapasitas terpasang sebanding dengan skema-skema MHP yang lain, dan seluruh masyarakat memungut iuran (pendapatan) lebih banyak daripada yang mereka bayar untuk biaya operasional. Dari perspektif bisnis yang sederhana, MHP kurang layak dalam mendatangkan laba keuangan. Namun, skema-skema MHP di masyarakat perdesaan memang tidak diharapkan menjadi investasi yang menghasilkan laba; nilai utama dari skema-skema MHP adalah manfaat sosial lebih luas yang tampaknya berkelanjutan. Subproyek dan kegiatan PNPM-LMP kemungkinan mendatangkan manfaat yang signifikan sehubungan dengan restorasi dan perbaikan aset alam (lingkungan dan sumber daya alam), dan jasa-jasa ekosistem yang lebih baik. Ketika pohon dan mangrove yang ditanam bertumbuh menjadi tanaman dewasa, sebagian besar manfaat tersebut akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Manfaat yang diperoleh berasal dari pengendalian erosi yang lebih baik, perlindungan yang lebih baik terhadap badai, meningkatnya produktivitas jaring makanan laut, dan perbaikan kesuburan tanah. Banyak skema MHP menghasilkan manfaat lingkungan tambahan, misalnya masyarakat terdorong untuk mengelola hutan di daerah hulu atau mengembangkan waduk berskala kecil yang dapat meningkatkan ketersediaan ikan atau mendukung pariwisata lokal. Perbaikan jasa ekosistem juga dapat menghasilkan manfaat ekonomi bagi rumah tangga, komunitas dan masyarakat yang lebih luas. Nilai yang dihitung cukup signifikan; jika nilai ini disertakan dalam analisis yang akan datang maka hasil ekonomi positif yang ada akan semakin besar. Sambutan masyarakat terhadap subproyek dan kegiatan PNPM-LPM akan baik hanya apabila ada investasi dari masyarakat yang berkaitan dengan prioritas mata pencaharian mereka secara individu. Karena manfaat ekonomi dan lingkungan dari kebanyakan subproyek baru dapat dirasakan dalam jangka menengah dan panjang maka masyarakat peserta program perlu menunjukan kemamputan untuk dapat memelihara sebagian besar investasi mereka. Kapasitas untuk memelihara dan mengelola investasi masih lemah; opsi- opsi utama untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal terbatas pada partisipasi dalam kelompok- kelompok pelaksana dan rapat-rapat formal yang diadakan oleh fasilitator. Selain itu, tata kelola sumber daya alam masih belum berhasil diperkuat dengan pelaksanaan subproyek; kurangnya jaringan atau penghubung dengan kelompok masyarakat yang ada tampaknya menjadi penyebab hal tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat aset sosial untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam (NRM) yang berkelanjutan. Evaluasi ini memperlihatkan bahwa PNPM-LMP telah meningkatkan produktivitas investasi masyarakat yang berkaitan dengan NRM. Investasi tersebut telah menciptakan manfaat ekonomi dan keuangan bagi masyarakat peserta. Manfaat jangka pendek masih kecil tetapi manfaat akan semakin bertambah dalam jangka panjang. PNPM-LMP juga telah menciptakan manfaat ekonomi dan sumber daya alam bagi masyarakat non-peserta. Temuan-temuan positif memperlihatkan cakupan manfaat yang dapat diberikan PNPM LMP kepada masyarakat. Namun, tanpa keterlibatan yang lebih luas dari masyarakat dalam mengelola investasi, keberlanjutan subproyek dan kegiatan yang berkaitan dengan NRM masih belum dapat dipastikan. Dengan kata lain, sulit mempertahankan keuntungan ekonomi dan peningkatan aset alam yang berasal dari NRM jika aset sosial tidak diperkuat. Evaluasi Hasil: 2 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Ringkasan Eksekutif 3 Evaluasi Hasil: 4 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 1 Pendahuluan 1.1 Tujuan Umum dan Indikator Keberhasilan Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah PNPM-LMP telah mencapai maksud tujuannya. Tujuan pengembangan PNPM-LMP adalah untuk membuat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat perdesaan berkelanjutan. Indikator utama untuk mengukur keberhasilan program adalah: 1. Peningkatan investasi masyarakat dalam subproyek ‘hijau’ dan perbaikan pengelolaannya; 2. Peningkatan kesadaran masyarakat penerima bantuan program (beneficiary) dan pejabat pemerintah daerah tentang manfaat perbaikan mata pencaharian yang berkaitan dengan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam (NRM) yang lebih baik; 3. Peningkatan kapasitas perwakilan dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk memasukkan unsur kelestarian lingkungan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan daerah. 1.2 Latar Belakang PNPM-LMP (PNPM Green) Sektor Pembangunan Sosial Bank Dunia di Indonesia saat ini memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia (GOI) untuk melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). PNPM-LMP adalah program percontohan (pilot program) di bawah PNPM-MP. PNPM-LMP dirancang untuk mengintegrasikan permasalahan lingkungan ke dalam proses perencanaan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) lokal. Secara operasional, PNPM-LMP menerapkan pendekatan yang sama dengan PNPM-MP, yaitu bantuan langsung masyarakat (investasi) dicairkan melalui anggaran belanja nasional di tingkat kecamatan untuk mendanai sejumlah subproyek dan kegiatan. Subproyek dan kegiatan tersebut dipilih oleh masyarakat melalui suatu proses yang menggunakan prinsip kesetaraan dan keadilan gender, kompetisi dan partisipasi. PNPM-LMP berbeda dengan PNPM-MP karena PNPM-LMP hanya aktif di lokasi sasaran tertentu di Pulau Sulawesi dan Sumatra (78 kecamatan di 27 kabupaten/kota dari 8 provinsi). Bantuan langsung masyarakat/ BLM (block grants) dialokasikan untuk mendukung investasi masyarakat dalam subproyek ‘hijau’. Ada empat jenis subproyek utama yang didukung oleh Investasi PNPM-LMP: Peningkatan Sumber Daya Alam (SDA); Peningkatan Ekonomi Masyarakat (IGA); Pengembangan Energi Terbarukan; dan Peningkatan Kapasitas. 5 PNPM-LMP tidak membatasi pemberian BLM untuk jenis subproyek ‘hijau’ tertentu saja. Subproyek yang memenuhi syarat diharapkan dapat membuktikan dampak lingkungan positif secara langsung maupun tidak langsung dengan penekanan pada praktek SDA yang lebih baik, konservasi ekologi, kegiatan mata pencaharian yang sensitif terhadap lingkungan dan/atau peningkatan penggunaan energi terbarukan. Selain itu, PNPM-LMP juga membiayai (a) fasilitator/konsultan yang dikontrak Pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan teknis kepada masyarakat peserta, dan (b) hibah kepada Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) lokal yang peduli terhadap masalah lingkungan dan memberikan pelatihan kepada masyarakat penerima bantuan dan pejabat pemerintah daerah. Sampai saat ini, dengan pembiayaan dari BLM yang sudah 4 kali diberikan setiap tahun (2008, 2009, 2010, dan 2011), masyarakat peserta telah memilih untuk melaksanakan lebih dari 2.200 subproyek dan kegiatan yang berbeda. PNPM Mandiri Perdesaan (MP) (dan pendahulunya, Program Pengembangan Kecamatan/PPK atau KDP) telah dilaksanakan selama sepuluh tahun yang terakhir. Sejumlah studi telah mengkaji outcomes dari program tersebut, dengan mengukur tingkat pengembalian ekonomi dari proyek-proyek infrastruktur berskala kecil dan menengah yang dibiayai oleh BLM dan mensurvei pendapatan rumah tangga di seluruh lokasi sasaran program. Tetapi, mengukur tingkat pengembalian ekonomi untuk jenis kegiatan yang dibiayai oleh BLM dari program PNPM LMP adalah lebih rumit. Sebagai contoh, banyak subproyek yang dibiayai melibatkan penanaman pohon (misalnya wanatani, pengembangan kebun bibit, dan sebagainya) atau kegiatan peningkatan kapasitas. Subproyek seperti ini tidak selalu menunjukkan tingkat pengembalian ekonomi jangka pendek. Dalam situasi seperti ini, kecil kemungkinannya untuk dapat melihat manfaat ekonomi secara keseluruhan dalam jangka panjang jika pengkajian dilakukan dengan mengukur pendapatan masyarakat dalam bentuk penerimaan uang tunai. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka evaluasi ini tidak hanya berfokus pada pendapatan uang tunai melainkan juga pada bagaimana mata pencaharian dan penghidupan masyarakat lokal dipengaruhi oleh keikutsertaan mereka dalam program. 1.3 Kerangka Teoritis untuk Evaluasi Tiga konsep utama yang mendasari kerangka teoritis untuk evaluasi ini adalah: sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan, mata pencaharian dan penghidupan masyarakat perdesaan yang berkelanjutan dan unsur-unsur dari konsep ‘keberlanjutan’. Pertama-tama, SDA yang berkelanjutan mengacu kepada praktek-praktek yang mendukung produktivitas, jasa dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mata pencaharian dan penghidupan. Agar dapat berkelanjutan, praktek-praktek yang diterapkan bukan hanya harus layak secara ekonomi melainkan juga layak secara lingkungan dan sosial (Chambers dan Conway, 1992; Conway, 1985; Holling, 1993; Scoones, 1998). Kerangka Mata Pencaharian dan Penghidupan Masyarakat Perdesaan yang Berkelanjutan merupakan pendekatan untuk menganalisis hubungan antara mata pencaharian dan penghidupan dengan pemanfaatan sumber daya alam (Carney, 1998; Scoones, 1998). Gagasan inti kerangka ini adalah bahwa keberlanjutan mata pencaharian bergantung pada akses, penggunaan dan pengembangan berbagai jenis aset. Aset- aset tersebut dianggap sebagai jenis-jenis modal yang berbeda, yang dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk menghasilkan mata pencaharian. Kerangka ini mengidentifikasi beberapa jenis modal atau aset dasar: alam, keuangan, manusia dan sosial (Carney dkk., 1999). Pendekatan ini memastikan bahwa seluruh analisis deskriptif menghubungkan praktek-praktek SDA dengan keberlanjutan ekonomi dan sosial yang memetakan manfaat dan hasil investasi yang didanai oleh PNPM-LMP. Untuk mengembangkan tujuan dan indikator dalam konsep SDA yang berkelanjutan di masyarakat perdesaan (prinsip inti PNPM-LMP), tiga unsur utama dari proses yang berkelanjutan diidentifikasi dan digunakan untuk mengembangkan evaluasi ini. Ketiga unsur tersebut adalah: a. Kelayakan ekonomi: ini mengacu kepada aset ekonomi atau keuangan yang penting bagi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat perdesaan. Beberapa aset ekonomi berasal dari aset alam, seperti pohon yang ditanam untuk menghasilkan buah-buahan atau kayu (Indikator 1 & 2); b. Restorasi dan peningkatan aset alam: ini mencakup mencegah degradasi aset alam dan memperkuat jasa-jasa ekosistem yang mendukung mata pencaharian dan sumber daya alam (Indikator 1 & 2); Evaluasi Hasil: 6 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP c. Akseptabilitas sosial: ini mengacu kepada aset atau sumber daya sosial yang memungkinkan setiap orang atau masyarakat melakukan pekerjaan yang membutuhkan tindakan bersama. Unsur ini juga mencakup aset manusia seperti keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka agar berhasil melakukan pekerjaan (Indikator 1, 2, & 3). Ketiga unsur SDA yang berkelanjutan tersebut digunakan dalam evaluasi ini untuk mengukur efektivitas PNPM-LMP dalam mengintegrasikan SDA yang berkelanjutan ke dalam program pemberdayaan masyarakat. 1.4 Susunan Laporan Pertama-tama, laporan ini akan menguraikan desain evaluasi dengan mengacu pada pendekatan- pendekatan metodologis untuk mengukur manfaat program dan menjelaskan kerangka analisis multi- dimensi yang telah digunakan di negara-negara berkembang lain, terutama di daerah perdesaan. Selanjutnya, laporan ini akan menyampaikan temuan-temuan berdasarkan ketiga unsur keberlanjutan yang diuraikan dalam bagian 1.3 di atas. Akhirnya, laporan ini akan menyampaikan kesimpulan dari evaluasi terhadap hasil yang dicapai dan memberikan rekomendasi praktis untuk desain PNPM-LMP tahap berikutnya dan mengintegrasikan SDA ke dalam program yang menggunakan pendekatan CDD di masyarakat perdesaan. Bab 1 Pendahuluan 7 Evaluasi Hasil: 8 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 2 Desain dan Metodologi 2.1 Lingkup Evaluasi dan Keterbatasan Fokus dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah program telah mencapai tujuan utamanya, dan mengidentifikasi manfaat dan biaya program. Tim Kerja PNPM-LMP memutuskan untuk tidak melaksanakan evaluasi sepenuhnya terhadap dampak yang lebih luas karena adanya kesulitan metodologi. Kesulitan yang dihadapi mencakup: kurangnya data dasar/awal untuk menilai perubahan; hubungan yang kompleks antara ketersediaan dan penggunaan SDA yang beragam; dan keterbatasan dalam hal evaluasi hasil dan biaya yang mancakup skala spasial yang luas. 2.2 Pertanyaan Riset Berdasarkan keempat unsur dalam prinsip keberlanjutan SDA, evaluasi ini dirancang untuk menjawab sejumlah pertanyaan riset. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tercantum dalam Tabel 1. 9 Tabel 1. Pertanyaan riset dan hubungannya dengan unsur-unsur keberlanjutan Unsur Pertanyaan Riset Aset Keuangan Aset Alam Aset Sosial/Manusia Keberlanjutan Kelayakan 1. Apa saja manfaat  Mengidentifikasi Ekonomi ekonomi dan manfaat ekonomi mata pencaharian maupun mata yang dicapai oleh pencaharian bagi investasi? berbagai kelompok pemangku kepentingan dan memeriksa pentingnya manfaat tersebut bagi mata pencaharian pemangku kepentingan secara keseluruhan  Membuat estimasi penghasilan dari pendapatan langsung peserta dan pendapatan kolektif masyarakat yang diperoleh dari kegiatan yang dapat dibagikan sebagai dividen rumah tangga Restorasi & 2. Bagaimana investasi  Dengan menggunakan  Kaji efektivitas  Identifikasi perbaikan peningkatan aset dapat meningkatkan penilaian ekonomi, investasi kapasitas, penggunaan alam jasa ekosistem? hitung manfaat masyarakat keterampilan baru dan 3. Bagaimana jasa ekosistem dengan pengetahuan yang investasi dapat dan bagaimana meningkatkan dibutuhkan untuk mempengaruhi manfaat tersebut jasa ekosistem mengelola investasi dan kapasitas untuk meningkatkan lokal mempertahankan jasa memelihara pendapatan ekosistem dan mengelola rumah tangga dan subproyek dan masyarakat mengoptimalkan jasa ekosistem? Akseptabilitas 4. Siapa penerima  Tentukan jenis dan  Identifikasi  Identifikasi orang atau Sosial bantuan program? taraf manfaat yang kenaikan kelompok penting Berapa tingkat dicapai tingkat yang dipengaruhi oleh produktivitas produktivitas investasi dan bagaimana dan partisipasi untuk investasi mereka mendapatkan dalam investasi masyarakat manfaat masyarakat?  Identifikasi  Tentukan efektivitas 5. Apa saja manfaat hubungan peningkatan kapasitas sosial dari partisipasi antara investasi bersama penerima dalam subproyek masyarakat bantuan proyek dalam dan kegiatan? dengan mengelola investasi 6. Apakah investasi prioritas mata masyarakat dan bermanfaat bagi pencaharian mempertahankan warga desa yang produktivitas berada di luar  Kaji tata kelola NRM, masyarakat peserta pemberdayaan program? masyarakat lokal dan identifikasi manfaat mata pencaharian.  Identifikasi potensi manfaat ‘limpahan’ bagi non-penerima bantuan Evaluasi Hasil: 10 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP 2.3 Studi Evaluasi Untuk mengukur seberapa besar hasil (outcome) yang dicapai oleh investasi PNPM-LMP pada ketiga unsur utama SDA yang berkelanjutan maka tiga evaluasi telah dirancang dan dilaksanakan oleh tiga perusahaan konsultasi yang berbeda. Laporan untuk setiap studi tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, melalui perpustakaan PNPM Support Facility (PSF) (www.psflibrary.org). 2.3.1 Pendekatan umum evaluasi Evaluasi ini menggunakan sejumlah metode yang disesuaikan dengan fokus evaluasi dan konteks (jenis subproyek, karakteristik desa, kelompok penerima bantuan, manfaat yang diharapkan, dan sebagainya). Teknik kualitatif maupun kuantitatif digunakan untuk lebih memastikan temuan evaluasi. Ketiga studi ini menerapkan beberapa metode untuk pengumpulan data. Survei rumah tangga diadakan di tingkat desa, dengan total 1.273 rumah tangga dari 86 desa yang diwawancarai. Diskusi yang dilakukan melalui kelompok-kelompok yang ter-fokus, wawancara dengan narasumber utama dan pengamatan langsung dari para peneliti adalah metode-metode yang digunakan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Karena kompleksnya unsur-unsur yang ingin dievaluasi, maka lokasi-lokasi yang dikaji dipilih secara spesifik untuk memastikan agar analisis data dilakukan secara komprehensif. Semua studi bertujuan untuk memastikan agar lokasi studi mewakili keragaman investasi dan lokasi geografis. Selain itu, setiap studi menggunakan metoda yang khusus dalam memilih lokasi studi, berdasarkan kebutuhan tertentu dari masing-masing studi. Lokasi studi tercantum dalam Lampiran 5. Penelitian di lapangan berlangsung dari bulan Juli sampai Agustus 2012. Ini adalah periode selama Ramadhan ketika sebagian besar responden berpuasa. Di setiap desa, pewawancara dapat memilih waktu wawancara yang paling cocok dengan responden, melalui koordinasi dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Bagi warga desa yang beragama Islam, sebagian besar wawancara diadakan pada sore hari ketika responden sedang menunggu untuk berbuka puasa. Jawaban yang diberikan dalam wawancara pada bulan suci tersebut khususnya dianggap dapat dipercaya. 2.3.2 Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian/Penghidupan dilakukan oleh LPM Equator di lima provinsi: Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bengkulu dan Sumatra Utara. Di provinsi-provinsi tersebut, 50 desa telah diidentifikasi untuk dievaluasi. Ke-50 desa tersebut dipilih untuk memastikan bahwa keragaman geografis desa terwakili dalam kelompok dan juga memastikan bahwa ke-empat jenis subproyek (SDA, IGA, Pengembangan Energi Terbarukan dan Peningkatan Kapasitas) terwakili dengan tepat dalam sampel. Untuk wawancara dengan rumah tangga, sebanyak 913 rumah tangga telah dipilih secara acak dan diwawancarai. Selain kerangka Mata Pencaharian dan Penghidupan Masyarakat Perdesaan yang Berkelanjutan, evaluasi ini juga memanfaatkan kerangka ekologi sosial (Ostrom, 2009). Kombinasi holistik ini menggabungkan analisis keuangan dan ekonomi, penilaian lingkungan/SDA, dan kajian sosial. Ringkasan Eksekutif untuk studi ini dapat dilihat dalam Lampiran 1. 2.3.3 Studi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro – Tingkat Pengembalian Investasi (MHP – ROI) Evaluasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro – Tingkat Pengembalian Investasi (MHP–ROI) dilaksanakan oleh CastleRock. Karena sifat teknis dari subproyek khusus ini maka hanya 15 desa yang diikutsertakan dalam studi. Desa-desa tersebut memenuhi kriteria pemilihan berikut ini:  Skema-skema PLTMH (MHP) harus sudah mencapai tahap Musyawarah Desa Serah Terima (MDST). Hal ini memastikan agar data operasional tersedia (pendapatan bulanan, data realisasi sambungan listrik ke rumah tangga, data kinerja) untuk mengukur tingkat pengembalian investasi/menganalisis efektivitas biaya. Bab 2 Desain dan Metodologi 11  Skema-skema yang mendapatkan bantuan dari Unit Pendukung Teknis (TSU, ‘lokasi TSU’) dan lokasi- lokasi yang tidak menerima dukungan dari TSU (lokasi non-TSU) diikutsertakan.  Rentang skala keluaran diperhitungkan (diukur berdasarkan biaya/kW/jumlah rumah tangga), sehingga studi dapat memeriksa apakah skema-skema yang ada membutuhkan skala minimum agar efektif.  Skema-skema dipilih untuk mencakup skema-skema yang dianggap berjalan dengan baik, tidak berjalan begitu baik dan berjalan dengan buruk. Dengan demikian, studi dapat mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi oleh skema-skema yang mengalami kinerja yang buruk, dan faktor apa saja yang berkaitan dengan kinerja yang positif.  Sejumlah wilayah geografis diikutsertakan, termasuk beberapa lokasi terpencil.  Desa-desa dengan ketersediaan berbagai sumber energi lain (misalnya, sambungan jaringan listrik) diikutsertakan. Untuk wawancara dengan rumah tangga, sedikitnya 120 rumah tangga (8 responden di setiap desa) sengaja dipilih dan diwawancarai untuk studi ini. Analisis data yang dilakukan mencakup: (a) analisis keuangan – analisis biaya dan manfaat aktual; (b) analisis dampak ekonomi – pemodelan ekonomi (economic modeling) untuk menghitung nilai netto sekarang (net present value - NPV) dan tingkat pengembalian ekonomi; dan (c) evaluasi terhadap operasi dan manajemen (kinerja dan efektivitas teknis yang sebenarnya). Informasi teknis, sosial ekonomi dan data commissioning serta lokasi yang didukung oleh TSU diperoleh melalui kunjungan lapangan dan bersumber dari data yang ada melalui TSU dan Konsultan Manajemen Nasional (NMC). Untuk lokasi terpilih yang tidak mendapatkan dukungan dari TSU (‘lokasi non-TSU’), sistem informasi (MIS)/data monitoring NMC dan distribusi kuesioner menjadi alat utama. Ringkasan Eksekutif untuk studi ini dapat dilihat dalam Lampiran 2. 2.3.4 Studi Efek Limpahan (Spillover Effects) Studi Efek Limpahan dilaksanakan oleh CARDS-IPB. Evaluasi ini difokuskan di tingkat desa di lokasi penerima bantuan (beneficiaries) maupun non-penerima bantuan (non-beneficiaries) di empat provinsi (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara). Lokasi studi yang dipilih adalah lokasi yang mewakili keragaman subproyek dan kategori subproyek, dan juga memastikan bahwa lokasi tersebut mempunyai pengalaman dalam waktu yang cukup sejak pelaksanaan subproyek agar dampak limpahannya dapat dinilai. Untuk memastikan bahwa evaluasi difokuskan khusus pada outcome PNPM-LMP maka studi ini tidak mencakup lokasi-lokasi yang menerima intervensi atau bantuan program lain yang berkaitan dengan SDA selama periode pelaksanaan proyek. Sebanyak 21 desa yang terdiri dari 8 penerima bantuan dan 13 non-penerima bantuan dipilih untuk studi ini. Untuk wawancara dengan rumah tangga, sebanyak 240 rumah tangga dipilih secara acak dan diwawancarai. Analisis data untuk studi ini terutama menggunakan ukuran kualitatif untuk mengidentifikasi bagaimana dan mengapa manfaat limpahan terjadi. Ukuran manfaat limpahan mencakup manfaat ekonomi, lingkungan/SDA dan sosial. Ringkasan Eksekutif untuk studi ini dapat dilihat dalam Lampiran 3. Evaluasi Hasil: 12 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 2 Desain dan Metodologi 13 Evaluasi Hasil: 14 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 3 Hasil Utama 3.1 Kelayakan Ekonomi 3.1.1 Aset keuangan Ketiga studi di atas memperlihatkan bahwa program PNPM-LMP telah menambah aset keuangan masyarakat peserta dengan berbagai cara, melalui manfaat keuangan langsung, manfaat keuangan tidak langsung dan berkurangnya pengeluaran. Subproyek dan kegiatan yang dilaksanakan memberikan berbagai manfaat keuangan langsung kepada masyarakat. Manfaat tersebut berasal dari penjualan produk seperti ikan atau buah-buahan, atau pemberian kesempatan kerja seperti pekerjaan kontrak untuk kegiatan penanaman pohon atau pekerjaan tetap dalam kelompok. Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian/Penghidupan memperlihatkan bahwa manfaat langsung dari pelaksanaan subproyek dan kegiatan hanya dinikmati oleh sebagian kecil responden (kurang dari 20%). Ukuran dari manfaat langsung ini pun masih kecil. Bagi mereka yang bekerja untuk kegiatan seperti penanaman pohon, pendapatan harian mereka biasanya mencapai Rp 60.000. Pendapatan hasil bekerja tidak terbatas pada penerima bantuan; setiap orang di desa dapat bekerja untuk kegiatan PNPM-LMP. Kurang dari sepertiga responden mengatakan bahwa partisipasi mereka dalam kegiatan atau subproyek PNPM- LMP telah menambah pendapatan rumah tangga mereka. Namun, bagi seluruh responden, pendapatan tahunan rata-rata dari partisipasi mereka dilaporkan mencapai Rp 630.000. Untuk masyarakat yang berpartisipasi dalam IGA atau subproyek terkait, pendapatan rumah tangga saat ini dilaporkan mencapai dua kali lipat. Misalnya, salah satu investasi masyarakat pesisir yang paling terkenal adalah rumpon. Bangunan panggung ini (lihat Gambar 1) ditempatkan di lautan terbuka. Bangunan ini awalnya menarik ikan-ikan kecil, yang kemudian mengundang datangnya ikan-ikan yang lebih besar seperti tuna. Ikan-ikan yang lebih besar menjadi sasaran tangkapan warga desa. Penerima bantuan menyatakan bahwa tangkapan ikan mereka mencapai hampir dua kali lipat dan hasil tangkapan ini diharapkan akan terus meningkat. 15 Gambar 1. Rumpon dari Sulawesi Tenggara, Wakambura. Daun kelapa diletakkan di bawah pelampung untuk memberikan perlindungan kepada ikan-ikan kecil dan menjadi tempat bertumbuhnya ganggang. Akhirnya, perangkat ini membuat ikan-ikan yang lebih besar tertarik untuk datang, yang kemudian dapat ditangkap oleh warga desa. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa beberapa manfaat ekonomi tidak dapat langsung dinikmati, misalnya pendapatan dari penjualan kayu. Manfaat seperti ini dievaluasi sebagai ‘manfaat yang diharapkan di masa depan’ (expected future benefits) dan berpotensi menjadi signifikan dalam jangka menengah dan panjang. Jangka waktu untuk mendatangkan manfaat akan berbeda-beda sesuai dengan jenis subproyek dan kegiatan. Misalnya, manfaat keuangan dari panen buah-buahan hanya dapat dinikmati setelah buah-buahan tersebut siap untuk dipanen. Seraya panenan mencapai hasil maksimum, manfaat akan bertambah; setelah melewati titik maksimum, manfaatnya akan berkurang secara bertahap. Pendapatan dari hasil panen kayu akan berbeda-beda sesuai dengan jenis pohon dan musim panen. Diperlukan waktu untuk dapat melihat hasil peningkatan jumlah tangkapan ikan, yang merupakan manfaat secara tidak langsung dari kegiatan penanaman hutan bakau (mangrove), tetapi hasil dan manfaat tersebut dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama ketika pohon bakau telah bertumbuh menjadi tanaman dewasa. Tabel 2 menguraikan pendapatan rumah tangga yang diharapkan berasal dari dua kegiatan utama dalam jangka menengah dan panjang. Untuk kegiatan dan subproyek yang melibatkan penanaman pohon dan bakau/mangrove, manfaat masa depan utama yang diharapkan dapat dihasilkan dari berbagai sumber. Untuk subproyek penanaman pohon bakau/mangrove, pendapatan utama berasal dari peningkatan jumlah tangkapan ikan atau kerang. Hasil yang diperoleh diperkirakan mencapai sekitar Rp 15 juta per subproyek per tahun. Perkiraan pendapatan dari penjualan kayu mendekati separuh dari jumlah ini. Perkiraan pendapatan langsung terbesar (kira-kira Rp 200 juta per subproyek per tahun) yang dihasilkan dari penanaman pohon berasal dari penjualan buah-buahan (meskipun tidak semua subproyek berkaitan dengan pohon buah). Pendapatan yang berasal dari penjualan kayu dan kayu bakar hampir 10 kali lebih rendah daripada perkiraan penjualan buah-buahan. Manfaat keuangan dari penanaman pohon buah diperlihatkan oleh tiga subproyek awal. Penanaman pohon jeruk menghasilkan pendapatan dua kali biaya operasionalnya. Penanaman pohon kelapa untuk produksi minyak menghasilkan pendapatan 11 kali biaya operasionalnya, dan penanaman pohon lemon menghasilkan pendapatan 16 kali biaya operasionalnya. Wawancara dengan rumah tangga meminta responden untuk menghitung pendapatan yang akan datang dari semua jenis subproyek dan kegiatan. Total pendapatan yang diharapkan dapat dilihat dalam Tabel 3. Total investasi untuk subproyek-subproyek PNPM-LMP yang dikaji mencapai Rp 3,99 miliar, dan kontribusi dari masyarakat mencapai Rp 350 juta. Nilai-nilai yang diperlihatkan dalam Tabel 3 menunjukkan kemungkinan kelayakan ekonomi dari subproyek yang disurvei. Patut diperhatikan bahwa (a) tabel ini hanya menyebutkan pengembalian langsung atas investasi, dan realisasi manfaat untuk masyarakat dapat melebihi angka-angka ini, dan (b) hanya subproyek yang lebih lama yang disurvei di mana kelangsungan hidup pohon yang ditanam sudah dapat dipastikan. Evaluasi Hasil: 16 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Tabel 2. Ringkasan nilai pendapatan rumah tangga yang diharapkan, dihitung dengan metode transfer manfaat Pendapatan yang Diharapkan (Rp) Jangka menengah Jangka panjang Kegiatan/Subproyek (2-5 tahun) (di atas 5 tahun) Penanaman Mangrove 687.000 239 juta Penanaman Pohon 25 juta 236 juta Sumber: PNPM-LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian/Penghidupan, 2012 Tabel 3. Total pendapatan yang diharapkan (Rp Juta) dari semua subproyek, berdasarkan laporan responden dalam wawancara dengan rumah tangga*. Laporan yang lalu Sekarang Jangka menengah Jangka panjang (2009 sampai 2011) (2012) (2013 sampai 2017) (setelah 2017) 33 73 483 899 * Tabel ini mengkombinasikan berbagai jenis pendapatan misalnya panen buah-buahan tahunan (yang dapat berlanjut selama 10-20 tahun), dan pendapatan yang diharapkan dari penjualan kayu jati setelah 10 tahun (yang dibagi dengan 10 tahun). Sumber: PNPM-LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian/Penghidupan 2012 Selain manfaat ekonomi langsung dan tidak langsung, Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian/Penghidupan juga mengukur manfaat keuangan yang bersumber dari berkurangnya pengeluaran atau penghematan lainnya. Diperkirakan total penghematan tahunan untuk semua subproyek atau kegiatan yang dikaji mencapai Rp 676.000 per tumah tangga. Penghematan utama yang teridentifikasi berasal dari berkurangnya kebutuhan untuk membeli minyak tanah atau kayu bakar. Subproyek dan kegiatan yang dilakukan menghasilkan sejumlah manfaat lain seperti berkurangnya risiko tanah longsor, kerusakan akibat badai atau erosi bantaran sungai, serta peningkatan kesuburan tanah atau sumber air tanah. Hal-hal tersebut dievaluasi sebagai manfaat bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk aset alam (bukan manfaat bagi individu atau rumah tangga), dan diukur dengan menggunakan pendekatan transfer manfaat. Catatan: Bagian terbesar dari ‘biaya yang terhindari” (seperti biaya pembangunan kembali infrastruktur masyarakat dan modal setelah kerusakan akibat badai) tidak dimasukkan dalam analisis ini. 3.1.2 Manfaat netto setelah biaya pemeliharaan dan operasional Untuk subproyek yang tidak berkaitan dengan energi terbarukan, biaya pemeliharaan dan operasional terutama dikelola oleh rumah tangga masing-masing. Perkecualian untuk ini adalah rumpon di mana pemeliharaan dilakukan secara gotong royong dan dibiayai dengan pungutan yang dibebankan kepada penggunanya. Tarif (pembayaran listrik) untuk subproyek pengembangan energi terbarukan dan MHP harus menutupi biaya operasional dan juga menyediakan tabungan untuk pemeliharaan dan peningkatan kualitas peralatan di masa mendatang. Semua masyarakat yang disurvei melaporkan bahwa mereka memungut pendapatan yang lebih besar daripada yang mereka keluarkan untuk biaya operasional. Secara rata-rata, laba usaha yang dilaporkan masyarakat mencapai 35% dari total pendapatan yang mereka pungut. Dalam semua kasus, surplus ini disimpan sebagai dana cadangan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang telah diprediksi maupun tidak terduga di masa mendatang. Secara bersama-sama, temuan-temuan ini menunjukkan adanya potensi keberlanjutan subproyek. Evaluasi MHP juga mengukur NPV. Analisis ini menemukan nilai NPV negatif apabila penghematan biaya BBM tidak dimasukkan dalam perhitungan. Dari segi keuangan murni, hal ini berarti bahwa biaya modal yang dikeluarkan untuk mengembangkan skema-skema MHP di masyarakat tidak menghasilkan laba yang layak. Karema skema-skema MHP untuk masyarakat perdesaan tidak dimaksudkan menjadi investasi yang menghasilkan laba (profitable) maka pemerintah atau badan-badan lain perlu menyediakan dana untuk mendukung penerapan skema-skema tersebut. Yang penting, ketika penghematan biaya BBM dimasukkan Bab 3 Hasil Utama 17 dalam analisis, nilai NPV umumnya menjadi positif. Hal ini menunjukkan bahwa, bagi kebanyakan masyarakat, skema MHP memberikan manfaat signifikan yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. 3.1.3 Efek limpahan ekonomi Studi Efek Limpahan menyingkapkan bahwa manfaat ekonomi bagi non-penerima bantuan di lokasi proyek maupun non-proyek secara umum berkaitan dengan dua subproyek: Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Protected Area (MPA) di Sulawesi Utara dan konservasi sungai (Lubuk Larangan) di Sumatra Utara. Manfaat ekonomi bagi non-penerima bantuan yang berasal dari subproyek MPA adalah meningkatnya hasil tangkapan ikan sebanyak 68% (peningkatan ukuran tangkapan dan variasi tangkapan). Di lokasi proyek, pendapatan rata-rata rumah tangga non-penerima bantuan dari hasil tanggapan ikan telah meningkat dari sekitar Rp 2 juta per tahun menjadi Rp 19 juta per tahun, kenaikan hampir 10 kali lipat. Sebagai kontras, di lokasi-lokasi non-proyek, pendapatan rata-rata rumah tangga non-penerima bantuan dari hasil tangkapan ikan telah meningkat dari sekitar Rp 7 juta per tahun menjadi Rp 10 juta per tahun. Inisiatif konservasi sungai (Lubuk Larangan) mendatangkan manfaat bagi non-penerima bantuan dengan meningkatnya hasil panen ikan. Seiring berjalannya waktu, ukuran ikan meningkat dari 0,5kg menjadi 1,0- 1,5kg per tahun (dengan harga Rp 10.000-15.000 per kg ikan), dengan total penjualan Rp 25.000-40.000. Manfaat tambahan yang dinikmati oleh non-penerima bantuan adalah meningkatnya efisiensi biaya karena berkurangnya waktu panen (dari satu tahun menjadi tiga bulan), dan berkurangnya jarak tempuh perjalanan sehingga biaya BBM berkurang hingga 38%. Hasil analisis menunjukkan minimnya manfaat ekonomi dari subproyek-subproyek lain yang dapat dinikmati non-penerima bantuan. 3.2 Restorasi dan Peningkatan Aset Alam Secara keseluruhan, aset alam dan jasa ekosistem dianggap telah meningkat secara signifikan. Peningkatan jasa ekosistem menghasilkan manfaat bagi rumah tangga, masyarakat peserta dan perekonomian lokal. Karena adanya jeda antara waktu dimulainya kegiatan seperti penanaman pohon dengan manfaat yang dihasilkan oleh pohon yang telah menjadi tanaman dewasa maka manfaat penuh dari beberapa kegiatan baru bisa dinikmati setelah beberapa waktu. Banyak jasa ekosistem, termasuk pengendalian erosi, perlindungan terhadap badai, peningkatan produktivitas jaring makanan laut dan perbaikan kesuburan tanah, akan terus bermanfaat bagi masyarakat setelah subproyek berakhir. Dua metode utama digunakan untuk mengevaluasi manfaat ekonomi dari subproyek aset alam dan jasa ekosistem: metode transfer manfaat (lihat Lampiran 6) digunakan untuk subproyek pengembangan hutan bakau/mangrove dan penanaman pohon; pemodelan ekonomi (economic modeling) digunakan untuk subproyek MHP dan DPL/MPA. Kontribusi jasa ekosistem di tingkat desa/komunitas dimasukkan dalam penilaian ekonomi sebagai bagian dari manfaat subproyek dan kegiatan. 3.2.1 Nilai jasa ekosistem dari pengembangan mangrove Penanaman bakau/mangrove menghasilkan sejumlah manfaat atas aset alam. Manfaat yang berbesar adalah pencegahan erosi pantai (lihat Gambar 3). Stabilisasi jaring makanan laut menghasilkan manfaat yang lebih kecil secara angka tetapi diperkirakan memberikan dampak langsung terbesar kepada rumah tangga. Hutan bakau akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat di luar lokasi studi: karena pohon bakau menyediakan habitat yang dibutuhkan untuk perkembangbiakan dan pengembangan awal banyak spesies laut maka pohon bakau dapat meningkatkan biomassa ikan yang sebagian besar akan bermigrasi dari lokasi studi dan mendukung usaha perikanan lokal di desa tetangga dan daerah-daerah lain. 3.2.2 Nilai jasa ekosistem dari penanaman pohon Perkiraan manfaat lingkungan dari penanaman pohon berbeda-beda sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 4. Banyak dari manfaat tersebut, termasuk perlindungan terhadap erosi, perlindungan terhadap Evaluasi Hasil: 18 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP banjir dan peningkatan sumber air tanah, juga akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas. Sebagai kontras, peningkatan unsur hara dalam tanah kemungkinan akan menghasilkan manfaat di lokasi yang lebih terbatas. Keanekaragaman hayati yang lebih baik akan menciptakan manfaat lokal dan global. Gambar 3. Manfaat dari Penanaman Mangrove Perkiraan Nilai Rata-Rata Setiap Proyek Jasa Lingkungan dari Penanaman Mangrove (per Tahun, harga tahun 2012) Rp. 60.000.000 Rp. 40.000.000 Rp. 20.000.000 Rp. Perlindungan Stabilisasi Penyerapan Perlindungan Perbaikan terhadap jaring karbon terhadap keanekaragaman erosi pantai makanan laut intrusi air laut hayati Sumber: PNPM LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian, 2012 Gambar 4. Manfaat dari Penanaman Pohon Perkiraan Nilai Rata-Rata Setiap Proyek Jasa Lingkungan dari Penanaman Pohon (per Tahun, harga tahun 2012) Rp. 10,000,000.00 Rp. 8,000,000.00 Rp. 6,000,000.00 Rp. 4,000,000.00 Rp. 2,000,000.00 Rp. - Perlindungan Perlindungan Sumber air Penyimpanan Unsur hara Perbaikan terhadap erosi terhadap banjir tanah karbon tanah keanekaragaman hayati Sumber: PNPM LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian, 2012 3.2.3. Nilai jasa ekosistem dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) atau Micro-Hydropower (MHP) Skema PTHMH (MHP) memberikan energi ‘alternatif’ yang bersih dan tidak memproduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dengan mengganti penggunaan bahan bakar fosil (minyak tanah, solar dan bensin) untuk tenaga listrik, skema-skema PLTMH mengurangi emisi GRK. Tabel 4 menyampaikan perkiraan pengurangan GRK setiap bulan karena mengganti minyak tanah, solar dan bensin dengan MHP, dan perkiraan pengurangan GRK setiap tahun untuk setiap desa. Ini termasuk lokasi TSU dan non-TSU. Dari semua lokasi, pengurangan emisi GRK terbesar mencapai 3,901 kg karbondioksida (CO2) per tahun di Desa Buangin (Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan), sedangkan pengurangan terkecil (32 kg CO2 per tahun) terjadi di Desa Orabua Selatan (Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat). Perkiraan pengurangan GRK rata-rata setiap tahun untuk lokasi-lokasi yang didukung oleh TSU karena mengganti penggunaan bahan bakar fosil mencapai 2.144 kg CO2 per tahun; sedangkan untuk lokasi-lokasi non-TSU, pengurangan GRK rata-rata setiap tahun mencapai 565 kg CO2 per tahun. Secara keseluruhan, lokasi TSU memperlihatkan pengurangan emisi GRK yang lebih besar daripada lokasi non-TSU. Hal ini terutama karena lokasi-lokasi TSU juga menggunakan generator solar atau bensin (genset). Penggunaan generator berhubungan dengan emisi dasar yang lebih tinggi; jadi, desa-desa yang menggunakan generator mempunyai kapasitas yang Bab 3 Hasil Utama 19 lebih besar untuk mengurangi emisi GRK dengan menggunakan energi alternatif seperti PLTMH (MHP). Sebaliknya, lokasi-lokasi non-TSU hanya menggunakan PLTMH untuk mengganti penggunaan minyak tanah sehingga membatasi cakupan pengurangan GRK. Tabel 4. Pengurangan Emisi GRK dari Penggantian Bahan Bakar Fosil Pengurangan Pengurangan Pengurangan Perkiraan Pengurangan Nama Lokasi/ No. GRK dari Minyak GRK dari Solar/ GRK dari bensin/ GRK tahunan dari bahan Desa Tanah/ bulan (kg) bulan (kg) bulan (kg) bakar fosil (kg CO2/tahun TSU 1 Alur Kejrun 40,4 82,1 N.a. 1469 2 Marapan 9,8 145,9 N.a. 1869 3 Batu Basa 14,5 206,5 N.a. 2652 4 Mesakada 40,4 N.a. 271,3 3739 5 Masoso 53,8 N.a. N.a. 646 6 Salutambun Barat 43,0 N.a. 22,6 788 7 Orabua Selatan 2,7 N.a. N.a. 32 8 Bokin 13,5 N.a. 203,4 2603 9 Buangin 53,8 N.a. 271,3 3901 10 Kare Penanian 40,4 N.a. 271,3 3739 Perkiraan pengurangan GRK rata-rata setiap tahun 2144 Perkiraan pengurangan GRK maksimum setiap tahun 3901 Perkiraan pengurangan GRK minimum setiap tahun 32 Non-TSU 1 Timpuseng 40,4 N.a. N.a. 484 2 Barugae 53,8 N.a. N.a. 646 3 Saluburonan* 80,7 N.a. N.a. 969 4 Leppan 13,5 N.a. 0,0 161 Perkiraan pengurangan GRK rata-rata setiap tahun 565 Perkiraan pengurangan GRK maksimum setiap tahun 969 Perkiraan pengurangan GRK minimum setiap tahun 161 Sumber: PNPM LMP – Studi MHP ROI 2012 3.2.4 Nilai jasa ekosistem dari Daerah Perlindungan Laut (DPL) Warga desa di lokasi percontohan melaporkan bahwa DPL yang dilaksanakan dalam program PNPM-LMP telah memberikan sejumlah manfaat. Nelayan lokal mengamati adanya peningkatan jumlah dan jenis ikan. Gambar 5 memperlihatkan bahwa mayoritas responden di desa percontohan melaporkan bahwa jumlah ikan telah meningkat sejak tahun 2010; sebaliknya, mayoritas responden di non-desa percontohan menunjukkan penurunan jumlah ikan. Selain itu, dengan meningkatnya tangkapan ikan di desa-desa percontohan, jarak tempuh perjalanan dan waktu kerja yang dibutuhkan juga telah berkurang sehingga ada lebih banyak waktu untuk melakukan interaksi sosial atau kegiatan-kegiatan lain. Perbaikan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah bibit ikan dan biota laut lainnya serta membaiknya kondisi terumbu karang (lihat Gambar 6 dan 7). Evaluasi Hasil: 20 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Gambar 5. Perubahan jumlah ikan yang dilaporkan sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; sub-proyek DPL) 40% 30% Tidak berubah 20% Lebih baik 10% Lebih buruk Tidak tahu 0% Desa Percontohan Non-Desa Percontohan Sumber: PNPM-LMP – Studi Efek Limpahan, 2012 Gambar 6. Perubahan bibit ikan dan biota laut lainnya sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; subproyek DPL) 50% 40% Tidak berubah 30% Lebih baik 20% Lebih buruk 10% Tidak tahu 0% Desa Percontohan Non-Desa Percontohan Sumber: PNPM-LMP – Studi Efek Limpahan, 2012 Gambar 7. Perubahan kondisi terumbu karang sejak tahun 2010 (studi kasus di Sulawesi Utara; subproyek MPA) 50% 40% 30% Tidak berubah 20% Lebih baik Lebih buruk 10% Tidak tahu 0% Desa Percontohan Non-Desa Percontohan Sumber: PNPM-LMP – Studi Efek Limpahan, 2012 3.3 Akseptabilitas Sosial Akseptabilitas sosial mengacu kepada aset dan sumber daya sosial atau manusia yang memungkinkan setiap orang melakukan mata pencaharian yang berbeda-beda, khususnya di suatu masyarakat atau lingkungan kolektif. Dalam rangka evaluasi ini, akseptabilitas sosial ditunjukkan dengan tingginya angka partisipasi dan keterlibatan masyarakat, eratnya keterkaitan antara jenis investasi dengan prioritas mata pencaharian, meningkatnya kapasitas (melalui pemberdayaan) untuk menjaga/memelihara dan mengelola investasi, serta diperkuatnya tata kelola SDA. Bab 3 Hasil Utama 21 3.3.1 Peserta dan penerima bantuan subproyek Sejak tahun 2008, PNPM-LMP telah menghasilkan peningkatan 90% jumlah investasi yang berkaitan dengan SDA awal di desa-desa peserta. Pada tahun 2012, ada 2.926 investasi masyarakat. Tetapi, selama periode ini, kontribusi masyarakat dalam bentuk swadaya (in-kind) masih lemah yang rata-rata mencapai 8% dari total biaya subproyek (data MIS PNPM-LMP, NMC). Berdasarkan wawancara secara mendalam dengan penerima bantuan, kontribusi masyarakat masih rendah karena dua alasan utama. Pertama, sebagian besar masyarakat peserta dianggap miskin (sebagai kelompok sasaran PNPM-LMP) sehingga tidak mampu memberikan kontribusi dalam jumlah besar. Kedua, responden berpendapat bahwa tanggung jawab untuk mendanai pelaksanaan subproyek terletak pada pemerintah. Meskipun terbatasnya kapasitas untuk memberikan kontribusi mungkin membatasi cakupan kontribusi masyarakat, namun persepsi tentang tanggung jawab atas pendanaan subproyek dan kegiatan dapat membatasi keberlanjutan investasi. Tabel 5 menguraikan dan mengilustrasikan kategori-kategori subproyek dan kegiatan. Hasil temuan memperlihatkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap kategori-kategori subproyek beragam. Misalnya, sebagian besar subproyek berkaitan dengan SDA (45%), yang diikuti dengan subproyek IGA (31%), subproyek Pengembangan Energi Terbarukan (14%) dan subproyek Peningkatan Kapasitas (10%) (lihat Gambar 8). Hal ini mencerminkan prioritas mata pencaharian peserta di mana 69% responden adalah petani. Penilaian kualitatif memperkuat temuan ini di mana kegiatan SDA adalah yang paling umum dilaksanakan oleh masyarakat peserta. Misalnya, kegiatan-kegiatan SDA yang melibatkan penanaman pohon memungkinkan masyarakat menerima upah tambahan atas pekerjaan mereka (yang diuraikan dalam bagian 3.1) dan pengadaan benih. Selain manfaat keuangan jangka pendek, masyarakat peserta juga dapat melihat manfaat ekonomi yang akan datang dari penanaman pohon (yaitu panen kayu). Tabel 5. Kategori Subproyek dan Kegiatan PNPM LMP Kategori Tujuan Utama Subproyek atau Kegiatan Contoh Pengelolaan Melindungi, melestarikan dan Pengelolaan hutan, pengelolaan sumber daya Sumber Daya merehabilitasi kondisi sumber daya air, pengelolaan daerah pesisir, pengelolaan Alam (SDA) lingkungan dan alam daerah limbah, DPLs Peningkatan Memanfaatkan sumber daya alam daerah Peternakan ikan, budidaya rumput laut, Ekonomi secara berkelanjutan untuk memperoleh perangkat pengumpul ikan (FAD, seperti Masyarakat (IGA) pendapatan atau memperbaiki rumpon), wanatani, pembibitan pohon buah- perekonomian daerah buahan, penanaman pohon buah-buahan, produksi pupuk organik Pengembangan Menggunakan atau menghasilkan energi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Energi Terbarukan terbarukan dan mengurangi polusi dan Pembangkit listrik tenaga surya (sel surya), bio- emisi gas rumah kaca gas, produksi kompor hemat bahan bakar Peningkatan Meningkatkan kapasitas dan keterampilan Pelatihan bagi masyarakat dan pejabat Kapasitas dalam mengelola dan memelihara sumber pemerintah daerah daya alam daerah. Gambar 8. Persentase Kategori Subproyek 10% 14% NRM 45% Peningkatan Ekonomi Masyarakat Pengembangan Energi Terbarukan (RE) Peningkatan Kapasitas 31% Sumber: PNPM-LMP – MIS Evaluasi Hasil: 22 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Untuk semua investasi, mayoritas responden (76%; 696 dari total 913 responden) melaporkan masih aktif dalam subproyek. Dari responden yang masih ‘aktif’ itu, sebagian besar terlibat dalam subproyek SDA (54%); hanya 10% subproyek aktif berkaitan dengan peningkatan kapasitas (lihat Tabel 6). Dari responden yang sudah tidak aktif dalam subproyek mereka (24%), sepertiganya (34%) menyatakan bahwa subproyek tidak sesuai dengan prioritas mata pencaharian mereka. Alasan lain yang disampaikan mencakup penyebab alam (12%) dan kesalahan manusia (4%), sedangkan separuhnya (50%) merasa tidak pasti. Tabel 6. Kategori subproyek sebagai persentase dari responden ‘yang masih aktif’ Kategori Subproyek Jumlah Responden ‘Aktif’ Persentase (N=696) (%) SDA 375 54 Peningkatan Ekonomi 155 22 Masyarakat (IGA) Energi Terbarukan 94 14 Peningkatan kapasitas 72 10 TOTAL 696 100 Sumber: PNPM LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian, 2012 Mayoritas responden (54%) setuju bahwa subproyek telah sesuai dengan prioritas mata pencaharian langsung mereka. Persentase ini mencakup jawaban dari responden yang ‘sudah tidak aktif’; persentase sebenarnya dari responden ‘yang aktif’ kemungkinan lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, investasi yang dilakukan telah cukup sesuai dengan prioritas mata pencaharian dan bahwa subproyek yang masih aktif lebih berhasil dalam memenuhi prioritas mata pencaharian. Subproyek dan kegiatan yang berhasil bisa jadi sebenarnya melampaui prioritas mata pencaharian karena ada banyak manfaat jangka panjang atau manfaat ‘yang tersembunyi’ seperti jasa ekosistem yang lebih baik. Perbaikan pengelolaan investasi masyarakat tampaknya cukup kuat selama beberapa tahun pelaksanaan proyek. Studi juga mengidentifikasi para penerima bantuan proyek yang utama. Berdasarkan hasil survei terhadap responden ‘aktif’ (yaitu 76% dari total responden, berdasarkan asumsi bahwa responden aktif lebih terinformasi tentang penerima bantuan), kelompok utama masyarakat yang terlibat dalam subproyek adalah: warga desa secara umum (63%); tokoh masyarakat, termasuk pegawai pemerintah (20%); dan fasilitator proyek (17%). Para fasilitator proyek terdiri dari Tim Penulis Usulan (TPU), Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), Team Pemelihara (TP), Organisasi Masyarakat Sipil (CSOs), dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Gambar 8 menyoroti para penerima bantuan proyek yang utama. Jumlah laki-laki dan perempuan yang sebanding terwakili sebagai penerima bantuan (lihat Gambar 9). Gambar 9. Penerima bantuan proyek Penerima Bantuan Proyek: Persepsi peserta ‘aktif’ (N=696) 10% e abat desa Kepala desa atau pej 13% CSO atau KPMD 7% Tokoh Masyarakat TPU, TPK atau TP 7% 63% Penerima bantuan secara umum Bab 3 Hasil Utama 23 Gambar 10. Komposisi penerima bantuan proyek Penerima Bantuan Proyek Perempuan 54% Laki-Laki 46% Sumber: Data MIS; NMC 2012 Hasil temuan menunjukkan bahwa seperlima penerima bantuan proyek adalah tokoh masyarakat. Karena tokoh masyarakat mungkin dipersepsikan sebagai ‘elit lokal’, maka dilakukan analisis kualitatif yang mengkaji sifat keterlibatan tokoh masyarakat. Hasil temuan menunjukkan bahwa para tokoh masyarakat biasanya terlibat dalam bagian-bagian ‘yang menonjol’ dari pelaksanaan proyek, seperti memfasilitasi pertemuan atau mendorong kehadiran warga masyarakat di pertemuan. Hal ini mungkin telah mempengaruhi persepsi responden mengenai lingkup keterlibatan tokoh masyarakat, sebaliknya daripada menunjukkan bahwa tokoh masyarakat telah merebut keuntungan dengan berpartisipasi dalam subproyek (elite capture). 3.3.2 Manfaat limpahan (spillover benefits) bagi non-penerima bantuan proyek Hasil analisis kualitatif menyingkapkan bahwa investasi PNPM-LMP memberikan manfaat, bukan hanya untuk masyarakat peserta, melainkan juga untuk masyarakat non-peserta. Manfaat limpahan ini teridentifikasi di bidang-bidang berikut: a. Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan: Peningkatan pengetahuan dilaporkan di sejumlah daerah yang berkaitan dengan konservasi sungai (lubuk larangan) dan SDA. Khususnya, hal ini berkaitan dengan manfaat: tidak menggunakan racun untuk menangkap ikan; tidak membuang sampah sembarangan; produksi dan penggunaan pupuk dan pestisida organik; konservasi hulu untuk memastikan debit air (untuk skema PLTMH); dan pencegahan kerusakan kawasan pantai dan daerah mangrove; dan rehabilitasi hutan untuk mendukung konservasi sumber air (mata air). Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan dilaporkan oleh kira-kira separuh non-penerima bantuan di dalam lokasi proyek (53%) dan di luar lokasi proyek (47%). Outcome ini tampaknya lebih menonjol di desa- desa di mana kegiatan atau subproyek yang dilakukan sejalan dengan pengetahuan/kearifan lokal atau hukum adat (lihat Kotak 1). Kotak 1. Tingkat efektivitas dan keberhasilan beberapa subproyek mungkin bergantung pada adat lokal yang mempengaruhi pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hal ini ditonjolkan oleh pendekatan adat untuk melakukan rehabilitasi hutan di Desa Lapodi, Sulawesi Tenggara. Warga desa menaati adat lokal untuk tidak menebang pohon atau mengolah tanah di daerah aliran sungai. Sanksi sosialnya disebut Pondole Sie Wata, artinya setiap orang yang melanggar tidak akan diakui oleh masyarakat selama jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan adat. Contoh lain dari kearifan lokal terdapat di Sulawesi Selatan. Tradisi lokal melindungi hutan mereka melalui piknik (Manre Maccurung) dan pertemuan masyarakat (Todang Sipulung). Tradisi-tradisi ini juga memberikan manfaat sosial melalui penguatan interaksi sosial dan kolaborasi antar warga masyarakat. Sumber: PNPM-LMP – Studi Efek Limpahan, 2012 Evaluasi Hasil: 24 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP b. Meningkatnya angka adopsi subproyek PNPM-LMP: Hasil evaluasi menyingkapkan bahwa beberapa lokasi non-proyek telah mengadopsi kegiatan atau keluaran PNPM-LMP. Misalnya, penetapan peraturan desa (Perdes) di lokasi proyek telah mendorong desa-desa tetangga (yang bukan lokasi proyek) untuk mengadopsi Perdes serupa yang menetapkan aturan dan sanksi sehubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Diamati terjadi peningkatan jumlah kegiatan yang berkaitan dengan SDA yang dimasukkan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). Hasil analisis kualitatif dalam Studi Efek Limpahan menonjolkan pentingnya pejabat pemerintah desa untuk memfasilitasi penerapan kegiatan atau subproyek PNPM-LMP di lokasi-lokasi non-proyek. Kotak 2 menonjolkan situasi di mana kesempatan pelatihan dan manfaat-manfaat terkait diulurkan kepada masyarakat non-peserta proyek. Kotak 2. Di Kelurahan Borong (Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan), PNPM-LMP telah melatih 6 orang untuk memproduksi furniture dari bambu. Orang-orang ini sekarang menjalankan usaha kelompok yang bekerja sesuai dengan pesanan yang diterima. Mereka mampu memproduksi dan menjual sekitar 5-12 set furniture (kursi dan meja) setiap tahun. Biaya produksi satu set sebesar Rp 2 juta; harga jualnya Rp 4 juta. Jika 5 set dijual dalam setahun maka pendapatan tahunan mereka mencapai lebih dari Rp 10 juta. Iklan yang diberikan oleh televisi nasional (Televisi Republik Indonesia) membantu mempromosikan produk dan kelompok usaha ini telah diundang oleh pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam pameran provinsi. Sejak itu, kelompok ini telah melatih 13 orang dari desa-desa lain (2 orang dari Kelurahan Borong, 1 orang dari Desa Allaere, 4 orang dari Desa Lekopancing, dan 6 orang dari Desa Parangbanuang). Sumber: PNPM-LMP – Studi Efek Limpahan, 2012 3.3.3 Pemberdayaan PNPM-LMP dirancang sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan subproyek merupakan konsep inti dari PNPM-LMP. Hasil evaluasi ini mengkaji pemberdayaan sebagai proses di tingkat masyarakat, yang ditunjukkan dengan (a) partisipasi, sebagaimana diukur dengan kehadiran masyarakat dalam pertemuan-pertemuan, (b) partisipasi, sebagaimana diukur dengan kontribusi natura masyarakat, (c) peningkatan kapasitas melalui fasilitasi dan (d) peningkatan tata kelola. Pengkajian outcomes pemberdayaan memerlukan kerangka waktu yang lebih lama, dan dianggap berada di luar lingkup evaluasi ini. a. Partisipasi (kehadiran dan keikutsertaan): Tingkat kehadiran masyarakat dalam pertemuan berbeda- beda di setiap tahap subproyek. Pada tahap perencanaan awal (‘sosialisasi’), angka partisipasi tinggi di tingkat dusun, di mana mayoritas responden telah berpartisipasi dua kali atau lebih. Di tingkat desa, angka partisipasi rendah, terutama dalam pertemuan musyawarah perencanaan (musdes perencanaan) ketika desa memutuskan suatu usulan untuk pendanaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh desain subproyek dan kegiatan yang mengizinkan konstituen desa diwakili oleh orang-orang tertentu. Pada tahap pengelolan/pelaksanaan proyek, angka partisipasi juga rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh harapan bahwa manfaat hanya akan dapat terlihat dalam jangka panjang (yaitu pasca pelaksanaan), sehingga hal ini menghambat keterlibatan berkelanjutan dalam subproyek yang telah diselesaikan. Diperkirakan bahwa masyarakat menganggap beberapa subproyek (seperti penanaman pohon atau rehabilitasi mangrove) tidak memerlukan tingkat keterlibatan atau pemeliharaan yang sama dibandingkan dengan subproyek-subproyek yang lain (seperti subproyek infrastruktur). Dalam situasi seperti ini, angka partisipasi mungkin rendah tetapi masyarakat dapat tetap aktif sebagai penerima bantuan proyek. Meskipun demikian, angka partisipasi yang rendah menandaskan pentingnya peningkatan kapasitas yang efektif, terutama dalam musyawarah desa serah terima (MDST). Bab 3 Hasil Utama 25 b. Partisipasi (kontribusi masyarakat dalam bentuk swadaya atau in-kind): Kajian secara keseluruhan memperlihatkan bahwa kontribusi in-kind (swadaya) berbeda-beda di setiap jenis subproyek. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Bagian 3.3.1), masyarakat memberikan kontribusi rata-rata sebesar 8% dari total biaya subproyek. Dari persentase ini, kegiatan dan subproyek SDA mendapatkan angka kontribusi tertinggi yaitu 48% (lihat Tabel 7), sedangkan kegiatan peningkatan kapasitas mendapatkan kontribusi terendah. Sebagian besar kegiatan SDA membutuhkan sumbangan lahan dan tenaga kerja sehingga memberikan lingkup yang lebih luas untuk kontribusi masyarakat dalam bentuk swadaya (in-kind). Tabel 7. Kontribusi swadaya masyarakat untuk kategori subproyek Kategori Subproyek dan Kegiatan Total kontribusi natura Persentase dari total masyarakat untuk setiap kategori kontribusi masyarakat (%) (Rp Juta) Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDA) 11.000 48 Peningkatan Ekonomi Masyarakat (IGA) 5.700 25 Energi Terbarukan 5.500 24 Peningkatan Kapasitas 710 3 TOTAL 23.000 (dibulatkan) 100 Sumber: PNPM-LMP – Data MIS, NMC Tabel 8. Kontribusi natura subproyek MHP Kontribusi Natura Rata-rata Minimum Maksimum (sebagai bagian dari Total Biaya Modal) TSU 2% 0% 6% Non-TSU 9% 1% 28% Sumber: PNPM-LMP – Studi MHP ROI, 2012 Subproyek Energi Terbarukan (termasuk skema MHP dan tenaga surya) hanya mendapatkan 22% dari total kontribusi masyarakat. Yang menarik, untuk skema MHP, jumlahnya berbeda-beda bergantung pada apakah lokasi subproyek mendapatkan dukungan dari TSU atau tidak. Sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 8, pendanaan subproyek rata-rata yang diterima melalui kontribusi natura masyarakat adalah sebesar 2% untuk lokasi TSU dan 9% untuk lokasi non-TSU. Hal ini memperlihatkan bahwa lokasi non-TSU menerima dukungan yang lebih besar dari masyarakat dibandingkan dengan lokasi TSU. PNPM-LMP perlu mempertimbangkan temuan ini ketika akan merencanakan investasi MHP di waktu mendatang. c. Fasilitasi (peranan tokoh masyarakat): ada keterkaitan yang erat antara tokoh masyarakat yang aktif dengan fasilitasi proyek yang efektif. Hal ini tidak berarti bahwa tokoh-tokoh tersebut (elit lokal) mendominasi pengambilan keputusan atau mengendalikan manfaat subproyek (elite capture). Sebaliknya, hal itu menonjolkan pentingnya peranan mereka sebagai fasilitator di desa dengan berupaya membina hubungan antar warga masyarakat. Misalnya, para tokoh masyarakat mendorong warga desa untuk menghadiri pertemuan-pertemuan subproyek. Tabel 9 memperlihatkan bahwa semakin banyak tokoh masyarakat yang hadir maka semakin tinggi pula kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan subproyek. Sejalan dengan hal tersebut, analisis kualitatif terhadap diskusi kelompok fokus dan wawancara dengan narasumber utama memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh masyarakat (adat dan/atau pemerintah) dihormati dan/atau dipercaya oleh warga desa. Mereka memainkan peranan penting dalam interaksi masyarakat secara formal dan informal yang berfungsi sebagai penghubung di tingkat desa. Agar subproyek dan kegiatan dapat dilaksanakan secara efektif maka penting untuk memahami dan menghormati peranan para tokoh yang ada di masyarakat desa. Para tokoh masyarakat juga cocok untuk menjadi target inisiatif peningkatan kapasitas guna memastikan agar peranan mereka sebagai penghubung dapat memberdayakan seluruh warga masyarakat. Evaluasi Hasil: 26 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Tabel 9. Peranan tokoh masyarakat dalam pertemuan subproyek Kehadiran dalam acara Warga desa Tokoh Fasilitator proyek Total Sosialisasi masyarakat (n=913) Tidak berpartisipasi 115 1 0 116 Sekali 223 3 5 231 Dua kali 206 4 2 212 Lebih dari dua kali 326 21 7 354 Sumber: PNPM-LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian, 2012 d. Fasilitasi (peningkatan kapasitas dan pengembangan keterampilan): Fasilitasi juga mencakup inisiatif peningkatan kapasitas yang disesuaikan dengan pelaksanaan subproyek dan kegiatan tertentu. Dua per tiga responden (66%) melaporkan bahwa peningkatan kapasitas yang diadakan oleh tim subproyek atau kegiatan mempunyai dampak positif terhadap keterlibatan mereka. Demikian pula, 65% responden melaporkan bahwa mereka telah memanfaatkan keterampilan yang mereka peroleh dari inisiatif peningkatan kapasitas (lihat Tabel 10). Untuk membantu subproyek dan kegiatan baru maka PNPM-LMP telah membentuk kelompok- kelompok pelaksanaan secara spesifik. Kelompok-kelompok yang dipilih di tingkat desa adalah TPK (Tim Pengelola Kegiatan), TPU (Tim Penulis Usulan), dan TP (Team Pemelihara). Kelompok-kelompok di tingkat kecamatan terdiri dari TV (Tim Verifikasi) dan UPK (Unit Pengelola Kegiatan). Tetapi, temuan-temuan memperlihatkan bahwa masyarakat peserta telah mendapatkan keterampilan baru khususnya melalui kegiatan peningkatan kapasitas, bukan melalui partisipasi dalam kelompok- kelompok pelaksana tersebut. Malahan, sebagian besar responden (70%) melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan keterampilan baru apapun melalui kelompok-kelompok ini (Gambar 10). Hasil analisis kualitatif memperlihatkan bahwa pertemuan-pertemuan kelompok pelaksana terlalu jarang atau kurang intensif untuk mentransfer keterampilan baru. Temuan ini menyoroti potensi untuk mengadakan pertemuan yang lebih sering atau lebih intensif, dan menghubungkannya dengan kelompok-kelompok lokal yang ada untuk memastikan agar manfaat bagi peserta dapat dioptimalkan. Tabel 10. Peningkatan Kapasitas PNPM-LMP Responden yang mengikuti prosedur yang mereka ketahui dari kegiatan Total Percentage (%) peningkatan kapasitas Menggunakan keterampilan, tetapi keterampilannya masih belum memadai 9 1,0% Belum menggunakannya – menemukan cara lain 312 34,2% Keterampilan cukup berguna 195 21,4% Keterampilan langsung digunakan 397 43,5% TOTAL 913 100% Bab 3 Hasil Utama 27 Gambar 11. Tingkat keterampilan yang diperoleh e. Peningkatan tata kelola SDA: Tiga per empat melalui partisipasi dalam kelompok-kelompok responden melaporkan bahwa PNPM-LMP subproyek mempunyai efektivitas yang rendah dalam memperkuat kelompok atau institusi lokal yang embelajaran Keterampilan Baru melalui Partisipasi ada. Temuan ini kemungkinan berkaitan dengan dalam Kelompokk (pasca peningkatan kapasitas) fakta bahwa sebagian besar kelompok pelaksana PNPM-LMP dibentuk secara eksplisit untuk 30% melaksanakan subproyek-subproyek, dan mereka (peroleh tidak selalu berkolaborasi dengan kelompok lokal keterampilan baru) yang ada. Hal ini mungkin juga telah mempengaruhi rendahnya angka partisipasi yang diamati di tingkat desa pada tahap perencanaan di mana 70% pertemuan diadakan oleh Kader Pemberdayaan (tidak Masyarakat Desa (KPMD) dan fasilitator kecamatan. memperoleh pembelajaran) Pertemuan tingkat desa merupakan domain utama bagi kelompok-kelompok pelaksana untuk Sumber: PNPM-LMP – Studi Ekonomi & Mata Pencaharian, 2012 bertemu dan membahas kemajuan subproyek dan kegiatan yang telah dilaksanakan. Hasil analisis kualitatif memperlihatkan bahwa orang-orang tertentu seperti pejabat pemerintah desa dan CSO memainkan peranan penting dalam memasukkan isu-isu lingkungan dan SDA ke dalam agenda pembangunan desa melalui RPJMDes. Selain itu, mereka mempunyai peranan utama dalam memperkuat peraturan desa yang ada dengan mencantumkan agenda NRM dalam peraturan tersebut. Evaluasi Hasil: 28 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 3 Hasil Utama 29 Evaluasi Hasil: 30 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Bab 4 Kesimpulan dan Rekomendasi Hasil evaluasi yang dilaporkan di sini bertujuan untuk menilai apakah: (a) PNPM-LMP mencapai maksud tujuannya; dan (b) PNPM-LMP secara strategis relevan dan efektif untuk mengintegrasikan SDA ke dalam agenda pembangunan daerah melalui pendekatan CDD (PNPM-MP). Tiga studi telah diadakan oleh tiga tim yang terpisah dan independen. Evaluasi – yang merangkum ketiga studi tersebut – menggunakan kerangka analisa Mata Pencaharian (atau penghidupan) Masyarakat Perdesaan yang Berkelanjutan. Analisis terhadap outcomes difokuskan pada tiga unsur keberlanjutan utama – kelayakan ekonomi, restorasi dan peningkatan aset alam, dan akseptabilitas sosial. 4.1 Kesimpulan Sebagian besar subproyek dan kegiatan PNPM-LMP adalah layak secara ekonomi dalam rangka mendukung mata pencaharian dan penghidupan masyarakat perdesaan. Subproyek-subproyek tersebut mempunyai dampak positif langsung terhadap rumah tangga peserta program; dalam hal peningkatan panenan buah-buahan, kayu atau sumber daya air. Subproyek energi terbarukan mempunyai dampak positif dengan berkurangnya pengeluaran energi rumah tangga. Namun, dari sudut pandang business yang terbatas, sangat sedikit subproyek yang mampu meberikan keuntungan sehingga kurang menarik bagi investor jangka pendek. Jika manfaat jangka panjang bagi rumah tangga, komunitas dan masyarakat diperhitungkan maka PNPM-LMP serta investasinya untuk subproyek-subproyek sangat menguntungkan secara ekonomi. PNPM-LMP juga dapat menghasilkan manfaat positif untuk restorasi dan peningkatan aset alam. Mengingat sebagian besar subproyek dan kegiatan tersebut melibatkan penanaman pohon dan bakau/ mangrove maka manfaat yang dihasilkan akan meningkat dari waktu ke waktu seraya tanaman menjadi dewasa. Manfaat yang diperoleh mencakup pengendalian erosi, peningkatan perlindungan pesisir terhadap badai, peningkatan produktivitas jaring makanan laut dan perbaikan kesuburan tanah. Beberapa dari kegiatan-kegiatan tersebut mempunyai dampak positif terhadap perekonomian lokal sehingga bermanfaat bagi rumah tangga, komunitas dan masyarakat secara umum. Subproyek dan kegiatan tersebut bukan hanya telah bermanfaat bagi masyarakat peserta melainkan juga telah menciptakan sejumlah manfaat ‘limpahan’ bagi masyarakat sekitarnya yang bukan penerima bantuan (non-beneficiaries). Manfaat-manfaat tersebut dapat dinikmati baik oleh masyarakat sasaran ataupun yang bukan penerima bantuan program. Penggerak utama untuk manfaat limpahan ini adalah dimasukkannya 31 subproyek atau pendekatan PNPM-LMP ke dalam pembangunan lokal oleh para tokoh masyarakat di masyarakat non-beneficiaries. Ini dapat mencakup melaksanakan jenis subproyek atau kegiatan serupa atau mengesahkan peraturan desa yang mencantumkan ketentuan tentang pengelolaan sumbar daya alam (SDA). Akseptabilitas Sosial PNPM-LMP tampaknya kuat dan lebih berhasil di lokasi-lokasi di mana investasi masyarakat berkaitan dengan prioritas mata pencaharian individu atau komunitas. Beberapa contoh yang baik adalah penanaman pohon bakau, DPL, skema PLTMH/MHP dan penanaman pohon lainnya. Kegiatan- kegiatan ini bukan hanya melindungi dan meningkatkan aset alam melainkan juga mendukung mata pencaharian masyarakat perdesaan. Sebagian besar subproyek memerlukan keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan untuk memelihara dan mengoptimalkan manfaat jangka panjang. Karena alasan ini maka peranan aset sosial sangat penting dalam pengelolaan dan pemeliharaan subproyek-subproyek. Kapasitas masyarakat untuk memelihara dan mengelola investasi masih lemah. Dengan model yang ada saat ini, peluang utama untuk peningkatan kapasitas adalah melalui partisipasi dalam kelompok pelaksanaan dan pertemuan formal yang diadakan oleh para fasilitator proyek. Akan tetapi, frekuensi dan intensitas pertemuan serta angka partisipasi masih terlalu rendah untuk menghasilkan manfaat peningkatan kapasitas yang signifikan. Strategi yang akan datang dapat memperkuat pertemuan-pertemuan masyarakat dengan mengembangkan penghubung formal dan informal dengan kelompok-kelompok lokal yang ada. Pendekatan untuk memperbaiki peningkatan kapasitas hendaknya juga mencakup tahap pemeliharaan subproyek dan kegiatan (pasca serah terima, MDST). Penerapan pembayaran berbasis kinerja atas pemeliharaan subproyek berbasis kelompok (misalnya SDA di lahan publik) dapat meningkatkan kinerja kelompok. Tata kelola sumber daya alam belum berhasil diperkuat melalui pelaksanaan program ini, penyebabnya tampaknya adalah kurangnya jaringan atau tidak memadainya hubungan dengan kelompok sosial yang ada di masyarakat. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat tampaknya memperbaiki proses pelaksanaan subproyek, terutama dalam mendorong dan turut memfasilitasi pertemuan-pertemuan subproyek. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mayoritas penerima bantuan proyek adalah warga desa biasa. Dengan demikian, keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat tidak harus mencerminkan dominasi elit atas manfaat (elite capture). Sebaliknya, para tokoh hendaknya dipandang sebagai agen potensial untuk mengembangkan hubungan dan turut memfasilitasi pemberdayaan masyarakat. PNPM-LMP mempunyai kesempatan untuk mengoptimalkan outcomes dengan memperkuat tokoh-tokoh masyarakat dalam penyelenggaraan tata kelola SDA yang berbasis kesetaraan masyarakat melalui berbagai kegiatan peningkatan kapasitas. Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa PNPM-LMP telah berkontribusi untuk peningkatan produktivitas dan keluaran (output) melalui investasi masyarakat di bidang akses dan pengelolaan sumber daya alam lokal. Peningkatan investasi yang berkaitan dengan SDA telah memperkuat kesejahteraan ekonomi dan keuangan masyarakat peserta. Selain itu, PNPM-LMP telah memperkuat restorasi dan peningkatan aset alam. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan investasi PNPM-LMP menghasilkan sejumlah manfaat bagi masyarakat. Banyak manfaat ekonomi dan lingkungan yang berasal dari subproyek dan kegiatan tersebut akan meningkat dan bertambah seraya waktu berjalan. Oleh karena itu, keberlanjutan subproyek dan manfaat terkait bergantung pada komitmen masyarakat peserta untuk mengelola dan memelihara investasi. Hal ini menandaskan pentingnya (a) pengelolaan dan pemeliharaan yang efektif terhadap investasi masyarakat, dan (b) penguatan tata kelola sumber daya alam melalui pemberdayaan lembaga-lembaga formal dan informal lokal. Singkatnya, PNPM-LMP sebagian telah memenuhi maksud tujuannya, yaitu membuat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat perdesaan berkelanjutan. Untuk memastikan agar pengelolaan sumber daya alam lokal berkelanjutan dalam jangka panjang maka sangat penting untuk memperkuat dan memberdayakan tata kelola sumber daya alam. Misalnya, investasi pengembangan mangrove menghasilkan manfaat jangka pendek bagi perekonomian desa peserta dengan menyediakan tempat untuk berkembang biak Evaluasi Hasil: 32 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP bagi ikan dan kepiting. Namun, penanaman mangrove tidak akan menghasilkan manfaat jangka panjang (perlindungan garis pantai, pengurangan erosi pantai, pembentukan tempat perkembangbiakan ikan) jika masyarakat lokal tidak secara bersama-sama mengelola dan menjaga investasi ini. Dengan kata lain, tanpa penguatan aset sosial, banyak keuntungan ekonomi yang berasal dari sumber daya alam dan perbaikan aset alam mungkin akan sulit dipertahankan. 4.2 Rekomendasi PNPM-LMP dapat dianggap sangat relevan dan efektif untuk mengintegrasikan SDA ke dalam agenda pembangunan lokal melalui pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (CDD) PNPM-MP. Hal ini juga berlaku apabila unsur-unsur keberlanjutan aset ekonomi, alam dan sosial menjadi fokus utama subproyek. 1. PNPM-LMP perlu berfokus pada kegiatan atau subproyek dengan manfaat ekonomi yang cocok untuk masyarakat dan memenuhi kebutuhan mata pencaharian prioritas mereka. Penilaian kebutuhan mata pencaharian di setiap masyarakat peserta hendaknya diadakan sejak awal, sebelum dimulainya kegiatan atau subproyek tersebut. 2. Manfaat yang sangat besar bagi komunitas dan masyarakat yang lebih luas, yang dihasilkan oleh PNPM-LMP (terutama yang berkaitan dengan peningkatan jasa ekosistem, lihat Bagian 3.2) hendaknya dipertahankan dan diperluas ke lokasi-lokasi lain. Manfaat-manfaat tersebut dapat menjadi titik awal untuk penilaian yang lebih baik dan pencantuman nilai modal alam dalam perencanaan dan tata kelola lokal dan regional. 3. PNPM-LMP perlu menjajaki cara-cara untuk memperkuat tata kelola SDA lokal, dengan memanfaatkan peraturan desa (perdes), atau kearifan lokal atau adat. Misalnya, PNPM-LMP dapat bekerja sama dengan pejabat pemerintah daerah dengan menetapkan nota kesepahaman dan perdes yang mendukung kegiatan atau subproyek yang diusulkan sebagai salah satu persyaratan dalam usulan desa. Studi ini mendapati bahwa perdes kebanyakan digunakan untuk subproyek PLTMH (MHP) dan pembangkit listrik tenaga surya; namun perdes jarang digunakan untuk subproyek SDA dan IGA. Selain itu, penerapan adat yang ada dapat diperkuat. Mungkin bermanfaat bagi PNPM-LMP untuk mengkaji adat yang ada di masyarakat peserta sebelum pelaksanaan subproyek guna memastikan agar adat tersebut sesuai dengan pendekatan PNPM-LMP. Program ‘Komunitas Kreatif’ merupakan program percontohan (pilot) dalam PNPM-MP, dan kolaborasi antara PNPM-MP dan PNPM-LMP dapat membantu meningkatkan pendekatan tradisional ini. 4. Untuk memperkuat kelompok masyarakat dan tim pemelihara maka evaluasi ini merekomendasikan agar fasilitasi subproyek berlanjut melampaui musyawarah desa serah terima (MDST). Di sini, fasilitasi berfokus pada peningkatan kapasitas ‘kelompok penerima bantuan’ agar dapat menjadi ‘kelompok mandiri’. Untuk mencapai tujuan ini maka pelru bekerja sama dengan LSM atau CSO lokal, atau memberikan bantuan teknis tambahan. Bantuan teknis dapat ditingkatkan dengan menetapkan dan mendukung champions lokal dan membentuk jaringan dengan produsen pasar. Pembelajaran sejawat (peer learning) perlu didorong. 5. Akan bermanfaat bagi PNPM-LMP untuk menerapkan pendekatan ‘pembayaran berbasis kinerja’ dalam kegiatan dan subproyek pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hal ini bertujuan untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dalam jangka panjang, yang kemudian akan memperkuat kelompok-kelompok dan meningkatkan penggunaan peraturan lokal dalam SDA maupun distribusi manfaat. Sumber dana dapat berasal dari pembayaran atas jasa ekosistem. Subproyek SDA menghasilkan jasa ekosistem yang bernilai besar, bagi komunitas itu sendiri maupun masyarakat luas. Jika komunitas yang menghasilkan manfaat tersebut menerima remunerasi dan dukungan yang diperlukan untuk mengelola sistem pembayaran maka hal ini dapat menjadi situasi yang saling menguntungkan. Chapter 4 Conclusions and Recommendations 33 Referensi Carney, D. (1998). Sustainable Rural Livelihoods: What Contribution Can We Make? DFID, London. Carney, D. (1999). Livelihood Approaches compared: a brief comparison of the livelihoods approaches of the UK Department for International Development (DFID), CARE, Oxfam dan United Nations Development Programme (UNDP). Chambers, R. (1987). Sustainable livelihoods, environment and development: putting poor rural people first. Makalah Diskusi IDS 240, Brighton: IDS Chambers, R. (1989). Vulnerability, coping and policy. IDS Bulletin 20(2): 1-8 Chambers, R., and Conway, G. (1992). Sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21st century. Makalah Diskusi IDS 296, Brighton: IDS Conway, G. (1985). Agroecosystems analysis. Administrasi Pertanian 20:31-55 Ellis, F. (1999). Rural Livelihood Diversity in Developing Countries: Analysis, Methods, Policy. OUP. Holling, C. (1993). Investing in research for sustainability. Ecological Applications 3: 552-5 Ostrom, E. (2009). A General Framework for Analyzing Sustainability of Social-Ecological Systems. Science (325): 419-422 Scoones, I. (1998). Sustainable Rural Livelihoods: A Framework for Analysis. Kertas Kerja 72, Sustainable Livelihoods Programme, IDS, Sussex. Shiferaw, B., dan Freeman H.A. (eds.) (2003). Methods for assessing the impacts of natural resource management research. Sebuah ringkasan notulensi Lokakarya Internasional, 6-7 Des 2002, International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT), Patancheru 502 324, India. Smyth, A.J. dan Dumanski, J. (1993). FESLM: An international framework for evaluating sustainable land management. Laporan Sumber Daya Tanah Dunia 73. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, Roma, Itali. Swift, J. (1989). Why are rural people vulnerable to famine? IDS Bulletin 20(2): 8-15 WCED (1987). Our Common Future. Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia, Oxford: Oxford University Press Woodhouse, P. Howlett, D. dan Rigby, D. (2000). Sustainability Indicators for Natural Resource Management and Policy: A Framework for Research on Sustainability Indicators for Agriculture and Rural Livelihoods. Kertas Kerja 2. Evaluasi Hasil: 34 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Lampiran Lampiran 1. Ringkasan Eksekutif Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian Studi ini ditugaskan untuk mengidentifikasi (a) manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial yang dihasilkan oleh PNPM LMP yang telah dilaksanakan selama 4 tahun; dan (b) apakah PNPM LMP mencapai tujuannya untuk membuat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat perdesaan berkelanjutan. PNPM LMP bermaksud akan meningkatkan praktek dan tata kelola NRM secara berkelanjutan seraya menciptakan pertumbuhan pendapatan rumah tangga dan masyarakat miskin serta memberdayakan kelompok-kelompok lokal yang melaksanakan subproyek dan kegiatan. Studi evaluasi ini menggunakan konsep mata pencaharian yang terdiri dari aset keuangan, alam, manusia dan sosial serta ‘pengaruh dan akses’. Evaluasi ini memanfaatkan hasil penelitian lapangan yang ekstensif. Metode yang digunakan mencakup wawancara dengan rumah tangga dari penerima bantuan proyek (beneficiaries), diskusi kelompok fokus dan wawancara dengan narasumber utama di tingkat desa, kecamatan dan provinsi. Selain sumber-sumber ini, data dikumpulkan melalui sistem pemantauan PNPM LMP. Manfaat masa depan yang diharapkan diperhitungkan sesuai dengan praktek-praktek terbaik Pemerintah Indonesia (GOI) dan yang bersifat ilmiah, dan dilaporkan bersama-sama dengan temuan-temuan lainnya. Subproyek-subproyek yang aktif mendatangkan hasil-hasil yang positif bagi aset keuangan rumah tangga, dalam hal pendapatan langsung (yang terutama diperoleh dari penjualan produk-produk yang berkaitan dengan subproyek) dan penghematan yang berkaitan dengan pengurangan pengeluaran yang biasa dilakukan. Diharapan akan ada hasil-hasil positif yang bahkan lebih besar lagi bagi rumah tangga di masa mendatang sebagaimana yang dilaporkan oleh rumah tangga dan yang diperhitungkan dengan metode ilmu ekonomi lingkungan. Tingkat partisipasi penerima bantuan kemungkinan akan lebih tinggi jika subproyek: (a) sesuai dengan kebutuhan utama mata pencaharian peserta; (b) memberikan manfaat langsung kepada masyarakat; (c) mendukung peningkatan pendapatan langsung rumah tangga di masyarakat; (d) didukung oleh nilai-nilai lokal, peraturan lokal atau pengetahuan lokal; dan (e) turut difasilitasi oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah setempat. Beberapa subproyek PNPM LMP mendukung kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat (IGA). Walaupun seringkali berhasil, keberhasilan umumnya terlihat di tingkat rumah tangga di mana rumah tangga menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dari penjualan produk seperti buah-buahan atau ikan. Tampaknya beberapa usaha yang layak telah dibentuk. Aset rumah tangga juga telah meningkat melalui subproyek energi terbarukan yang mengurangi pengeluaran untuk energi. Kegiatan peningkatan kapasitas PNPM LMP dianggap cukup efektif. Kegiatan ini diapresiasi oleh penerima bantuan yang umumnya menerapkan metode dan keterampilan yang telah mereka pelajari dan melaporkan bahwa materi yang mereka terima cukup instruktif. Aset manusia seperti pengetahuan dan keterampilan penerima bantuan dan pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan subproyek dan kegiatan ditingkatkan melalui partisipasi, pertukaran pengetahuan dan peningkatan kapasitas formal. Studi ini mendapati bahwa dua per tiga (66%) rumah tangga melaporkan bahwa peningkatan kapasitas PNPM LMP mempunyai dampak positif terhadap keterlibatan mereka dalam subproyek lokal, dan 65% 35 rumah tangga menggunakan keterampilan yang mereka peroleh selama kegiatan peningkatan kapasitas di mana 44% di antaranya telah langsung menggunakan keterampilan baru tersebut. Salah satu sasaran penting PNPM adalah pemberdayaan masyarakat lokal, atau perbaikan aset sosial dan ‘pengaruh dan akses’. Studi ini mendapati bahwa pemberdayaan terutama terjadi melalui partisipasi selama tahap sosialisasi (85% responden telah berpartisipasi dalam sosialisasi), dan lebih sedikit terjadi selama tahap pemilihan proposal dan pemeliharaan. Interaksi dengan instansi pemerintah dan pemerintah daerah sehubungan dengan NRP dilaporkan meningkat. Tata kelola yang lebih baik terutama terjadi di lokasi-lokasi dengan pengetahuan lokal yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan NRM. Di lokasi-lokasi seperti itu, subproyek biasanya lebih berhasil dan pemeliharaan subproyek diselenggarakan dengan lebih efektif. Walaupun dominasi elit rendah, keterlibatan tokoh-tokoh setempat dalam mobilisasi penting. Studi ini mendapati bahwa lebih dari 33% responden menyatakan ada perubahan positif pada peranan wanita dalam masyarakat lokal, dan umumnya mereka menghubungkan perubahan ini dengan PNPM LMP. Dampak positif terhadap aset alam (sumber daya lingkungan dan alam) berupa perbaikan jasa ekosistem sangat signifikan. Manfaat akan terus meningkat seraya pohon dan mangrove yang ditanam menjadi dewasa. Manfaat tersebut mencakup pengendalian erosi, perlindungan yang lebih baik terhadap badai, peningkatan produktivitas jaring makanan laut, peningkatan kesuburan tanah dan lain-lain. Sebagian besar dari manfaat ini menghasilkan manfaat ekonomi bagi rumah tangga dan komunitas lokal serta masyarakat luas. Karena alasan-alasan di atas, temuan-temuan yang ada membuktikan bahwa PNPM LMP telah mencapai tujuan utamanya untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat miskin perdesaan seraya memperbaiki sumber daya lingkungan dan alam perdesaan. Evaluasi Hasil: 36 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Lampiran 2. Ringkasan Eksekutif Studi Mhp-Roi Laporan ini menyampaikan hasil studi tingkat pengembalian investasi dan efektivitas biaya skema MHP di bawah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Lingkungan Mandiri Perdesaan (selanjutnya disebut PNPM LMP), sebuah program percontohan dalam PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MP). Ini adalah program Pemerintah Indonesia (GOI) yang bertujuan untuk membantu warga desa terpencil guna mendapatkan kondisi sosial ekonomi dan tata kelola lokal yang lebih baik, yang dilaksanakan sebagai Bantuan Teknis oleh Pemerintah Indonesia. Lingkup studi Studi ini mencakup (a) skema-skema PLTMH (MHP) yang dikembangkan sebagai bagian dari bantuan langsung masyarakat (block grants) spesifik dengan bantuan dari TSU, dan (b) skema-skema PLTMH (MHP) yang dikembangkan dengan bantuan langsung tunai untuk pengelolaan sumber daya alam (NRM) tanpa dukungan dari TSU. Ada 155 lokasi PLTMH (MHP) yang dikembangkan di bawah PNPM LMP, dengan kapasitas antara 2 kW sampai 78 kW. Empat puluh lokasi di antaranya telah diselesaikan dan diserah-terimakan kepada masyarakat. Studi ini difokuskan pada tingkat pengembalian investasi (ROI) dan efektivitas biaya dari skema-skema yang telah dioperasikan. Lima belas lokasi dipilih untuk studi ini; ini mencakup 10 lokasi yang mendapatkan dukungan TSU dan 5 lokasi yang tidak mendapatkan dukungan TSU. Sebelas lokasi terletak di Sulawesi dan 4 lokasi di Sumatra. Pada waktu kunjugan ke lokasi studi dilakukan, lokasi-lokasi tersebut berada di tangan masyarakat rata-rata selama 2 tahun 2 bulan. Temuan-Temuan Utama  Dalam sampel studi, biaya modal rata-rata per instalasi PLTMH (MHP) sebesar Rp 545,1 juta (kira-kira 54.500 USD). Biaya rata-rata per kW adalah sebesar Rp 33,6 juta (kira-kira 3.500 USD/kW). Dari segi biaya modal saja, dan melalui perbandingan dengan studi-studi serupa, program PNPM secara keseluruhan dapat dinilai sangat menguntungkan. Rata-rata biaya modal per kW untuk skema PLTMH dalam PNPM LMP sebanding dengan rentang biaya modal per kapasitas terpasang PLTMH yang dikembangkan dalam skema-skema lain (USD 2000 per kW sampai USD 10.000 per kW untuk kapasitas terpasang antara 5kW sampai 30kW). Biaya modal per kW untuk lokasi TSU sedikit lebih tinggi daripada biaya modal untuk lokasi Non-TSU.  Jumlah rumah tangga yang tersambung dengan PLTMH lebih sedikit daripada yang direncanakan di daerah-daerah di mana terdapat bentuk pasokan energi lain (khususnya di daerah-daerah yang mempunyai akses ke listrik PLN.  Untuk lokasi-lokasi TSU, kontribusi natura dari masyarakat rata-rata mencapai 2% dari total biaya modal; dan untuk lokasi-lokasi non-TSU, kontribusinya mencapai 9%.  Kebanyakan skema PLTMH dalam PNPM LMP menggunakan tim operasi dan pengelolaan yang terdiri dari manajer (kepala tim), sekretaris, bendahara dan operator. Seluruh masyarakat yang disurvei melaporkan telah memungut iuran lebih banyak daripada yang mereka keluarkan untuk biaya operasional. Secara rata-rata, laba usaha yang dibukukan oleh masyarakat mencapai 35%.  Desa-desa yang telah membentuk tim pengelolaan dan tarif (unit pelaksana teknis/UPT) menyadari pentingnya menyimpan catatan keuangan tetapi tidak menyadari pentingnya menyimpan catatan teknis.  Sebuah kajian terhadap status operasional skema-skema PLTMH yang disurvei menunjukkan outcomes yang positif. Outcomes tersebut berkaitan dengan jumlah rumah tangga yang telah mendapatkan sambungan, pola konsumsi listrik, rencana dan realisasi sambungan listrik, kapasitas terpasang dan pengiriman output tenaga listrik. Sebagian besar skema tersebut tampaknya berjalan dengan baik dan memberikan pelayanan yang berharga kepada masyarakat. Beberapa komunitas melaporkan bahwa mereka mengalami kesulitan teknis dan ada sejumlah sambungan yang direncanakan namun tidak pernah terselesaikan. Survei yang dilakukan mengidentifikasi sejumlah persoalan operasional yang penting, antara lain: ketidakcocokan desain dengan kapasitas debit air sebenarnya yang mengakibatkan Lampiran 37 rendahnya pengiriman output tenaga listrik; kurangnya pemantauan dan pencatatan kinerja teknis seperti besarnya kWh yang dihasilkan; dan pemeliharaan rutin prasarana PLTMH (misalnya, gardu, bendungan, akses ke bendungan dan waduk).  Hasil analisis arus kas yang sederhana memperlihatkan bahwa, di luar penghematan bahan bakar dan biaya perbaikan yang besar, kebanyakan skema PLTMH (dengan dukungan TSU maupun tidak) mempunyai NPV negatif. Jika penghematan dari biaya bahan bakar dimasukkan dalam perhitungan maka 13 dari 14 lokasi mendapatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa PLTMH tidak layak dalam menghasilkan keuntungan finansial. Secara umum, skema-skema PLTMH di masyarakat perdesaan tidak diharapkan akan menjadi investasi yang mendatangkan laba. Hal ini menandaskan pentingnya keterlibatan pemerintah dan pemberian pendanaan hibah.  Banyak rumah tangga dapat menikmati penghematan biaya bahan bakar yang signifikan ketika desa mereka dialiri listrik. Selain itu, listrik juga telah mendatangkan manfaat ekonomi lain melalui jam buka toko yang lebih lama, atau peluncuran usaha baru (misalnya toko roti, penyewaan game). Produktivitas ekonomi diharapkan akan meningkat dari waktu ke waktu dan menambah pendapatan masyarakat secara signifikan. Patut diperhatikan bahwa skema ini juga membutuhkan biaya ekonomi meskipun tidak terlalu besar. Misalnya, rumah tangga yang sebelumnya menjual minyak tanah dan bahan bakar lain mengalami dampak negatif terhadap pendapatan mereka. Namun, rumah tangga yang sama biasanya akan menikmati manfaat yang lebih besar daripada biaya tersebut. Manfaat keseluruhan jauh lebih besar daripada biaya keseluruhan skema PLTMH.  Skema PLTMH telah menghasilkan banyak manfaat lain bagi desa-desa peserta. Misalnya, pasokan listrik yang lebih baik telah meningkatkan kualitas penerangan yang tersedia bagi rumah tangga yang telah menerima sambungan listrik; hal ini meningkatkan interaksi sosial di masyarakat dan memungkinkan anak-anak belajar lebih lama. Evaluasi Hasil: 38 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Lampiran 3. Ringkasan Eksekutif Studi Efek Limpahan Studi Efek Limpahan mempunyai tiga tujuan: 1. Mengidentifikasi jenis perbaikan yang dihasilkan oleh PNPM LMP, khususnya yang berkaitan dengan kinerja sosial ekonomi, sumber daya alam, pengelolaan lingkungan dan kualitas kehidupan masyarakat. Studi ini juga bertujuan untuk mempromosikan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes); 2. Menganalisis bagaimana PNPM LMP mendatangkan manfaat bagi masyarakat; dan 3. Mengkaji dampak keseluruhan dari subproyek dan kegiatan PNPM LMP dan memberikan rekomendasi sehubungan dengan investasi PNPM LMP yang akan datang. Dalam studi ini, non-penerima bantuan program (non-beneficiaries) di lokasi-lokasi percontohan dan non- percontohan diundang untuk mengisi kuesioner. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Lingkup dampak limpahan ekonomi terhadap aset keuangan dari non-penerima bantuan ditentukan dengan pengadopsian praktek-praktek PNPM LMP dan keterlibatan non-penerima bantuan dalam subproyek dan kegiatan. Keterlibatan mereka dalam konservasi sungai (Lubuk Larangan) memberikan pendapatan tambahan kepada rumah tangga dan menyediakan sumber protein tambahan yang berasal dari ikan bagi keluarga. Daerah perlindungan laut (MPA) menghasilkan peningkatan populasi ikan serta pengurangan biaya penangkapan ikan, jarak tempuh perjalanan dan waktu untuk menangkap ikan. Skema- skema PLTMH (MHP) mendatangkan manfaat yang minim bagi non-penerima bantuan karena terbatasnya kapasitas turbin yang ada. Program-program pelatihan tidak mendatangkan manfaat ekonomi karena program-program tersebut dihentikan. Studi ini mendapati bahwa efek limpahan ekonomi menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga yang relatif sedikit. Dari segi aset alam, berbagai manfaat dinikmati oleh non-penerima bantuan: peningkatan jumlah dan jenis ikan (subproyek konservasi sungai dan MPA), perbaikan ekosistem hulu dengan lebih banyak penanaman pohon (subproyek MHP), peningkatan kualitas terumbu karang (subproyek MPA), dan berkurangnya erosi pantai (penanaman mangrove). Studi ini juga menyingkapkan bahwa PNPM LMP telah meningkatkan aset sosial bagi non-penerima bantuan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan pengetahuan tentang konservasi lingkungan, keberlanjutan dan NRM. Lingkup peningkatan pengetahuan bagi non-penerima bantuan dapat ditingkatkan jika PNPM LMP menghubungkan subproyek dan kegiatannya dengan pengetahuan atau kearifan lokal yang ada, atau kegiatan masyarakat yang ada. Peningkatan pengetahuan juga bergantung pada pendekatan pemberdayaan dan efektivitas tokoh-tokoh dan fasilitator desa. Dari segi tata kelola sumber daya alam, studi ini menyingkapkan bahwa manfaat yang dihasilkan bagi non-penerima bantuan masih terbatas. Hanya dua lokasi studi yang menunjukkan perbaikan dalam tata kelola sumber daya alam mereka. Penerapan peraturan desa di masyarakat peserta (penerima bantuan) telah mendorong non-penerima bantuan untuk menerapkan peraturan serupa. Keberhasilan subproyek konservasi sungai, MPA dan PLTMH bagi masyarakat peserta telah mendorong diadopsinya subproyek- subproyek tersebut oleh non-penerima bantuan. Selain itu, analisis kualitatif memperlihatkan bahwa pendekatan unit ekosistem dapat meningkatkan angka pemanfaatan subproyek oleh non-penerima bantuan dan mendorong kolaborasi antar desa. Keberlanjutan PNPM LMP bergantung pada keberhasilan dalam memperkuat lembaga-lembaga di tingkat desa dan kabupaten. Lampiran 39 Akhirnya, studi ini merekomendasikan agar:  Faktor-faktor sosial dan lingkungan dipertimbangkan ketika akan memutuskan jenis subproyek dan lokasinya;  Kearifan dan pengetahuan lokal mengenai subproyek terkait diidentifikasi dan didukung selama pelaksanaan;  Pertemuan informal tingkat desa lebih sering diadakan untuk mendorong pertukaran informasi dan ide antara penerima bantuan dan non-penerima bantuan;  Aset keuangan dipertimbangkan selama merancang dan melaksanakan subproyek;  Subproyek dan kegiatan yang membutuhkan dukungan teknis berfokus pada penguatan masyarakat lokal (bukan mengandalkan fasilitasi dari luar); dan  Inisiatif peningkatan kapasitas ditargetkan di tingkat kabupaten dan provinsi. Evaluasi Hasil: 40 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Lampiran 4. Matriks Evaluasi Hasil UNSUR ASET ALAM ASET KEUANGAN ASET MANUSIA ASET SOSIAL KEBERLANJUTAN Kelayakan N/A Tema: Biaya dan manfaat ekonomi N/A N/A Ekonomi Temuan: Sebagian besar subproyek tampaknya layak secara ekonomi dalam mendukung mata pencaharian masyarakat perdesaan. Subproyek menciptakan manfaat langsung bagi rumah tangga peserta, berupa peningkatan panen buah-buahan, kayu atau sumber daya air. Subproyek energi terbarukan menciptakan manfaat berupa pengurangan pengeluaran. Sangat sedikit subproyek yang menguntungkan dari perspektif usaha yang sempit sehingga kurang menarik bagi investor jangka pendek. Apabila manfaat jangka panjang bagi rumah tangga dan masyarakat diperhitungkan maka investasi PNPM LMP akan sangat menguntungkan secara ekonomi. Restorasi dan Tema: Jasa ekosistem melalui Tema: Penilaian jasa ekosistem N/A N/A Peningkatan Aset investasi masyarakat. secara ekonomi. Alam Temuan: Temuan: Perkiraan manfaat  Manfaat bagi aset alam berupa tahunan bagi masyarakat dalam perbaikan jasa ekosistem jangka menengah-panjang (dengan (misalnya pengendalian erosi, asumsi pemeliharaan memadai): perlindungan terhadap badai,  Penanaman pohon: Rp 267.000- peningkatan produktivitas 42 juta. jaring makanan laut,  Penanaman Mangrove: Rp 12 perbaikan kesuburan tanah) juta-107 juta. sangat signifikan dan akan  Peningkatan jumlah benih ikan berlanjut hingga penyelesaian dan biomassa laut lainnya serta subproyek (waktu perbaikan kondisi terumbu pendewasaan mangrove >5 karang. tahun).  Perkiraan pengurangan GRK Lampiran tahunan untuk skema PLTMH MENCAPAI 565kg CO2 (lokasi non-TSU) dan 2.144kg CO2 (lokasi TSU). 41 42 UNSUR ASET ALAM ASET KEUANGAN ASET MANUSIA ASET SOSIAL KEBERLANJUTAN Akseptabilitas Tema: Investasi masyarakat, N/A Tema: Penerima bantuan Tema: Tata kelola NRM, pemberdayaan sosial prioritas mata pencaharian, dan proyek dan kapasitas dan efek limpahan. Evaluasi Hasil: penerima bantuan proyek. untuk memelihara dan Temuan: Temuan: mengelola investasi.  Partisipasi: kehadiran dalam  Peningkatan 90% jumlah Temuan: pertemuan maupun kontribusi investasi yang terkait dengan  Pemanfaatan natura (rata-rata hanya 8% NRM sejak tahun 2008, peningkatan kapasitas dari total biaya) masih rendah; mencapai 2.926 investasi melalui pertemuan Persoalan utama yang membatasi masyrakat pada tahun 2012. formal untuk penerima keberlanjutan mencakup  76% responden masih bantuan proyek pendekatan yang representatif dan aktif dalam subproyek dan mencapai 44%. terlalu bergantung pada dukungan kegiatan; tetapi mungkin  Para tokoh masyarakat pemerintah. tidak aktif memelihara mempunyai peranan  Keikutsertaan: 54% penerima investasi. Masyarakat fasilitasi yang bantuan adalah perempuan; menganggap bahwa penting dalam keterlibatan tokoh masyarakat subproyek NRM memerlukan mendorong partisipasi hanya 20% dari penerima bantuan. pemeliharaan minimum dan dan mendukung  Tata kelola NRM: peranan kelompok memperlihatkan fasilitasi yang pelaksanaan proyek pelaksana terbatas pada anggota tidak memadai pada tahap yang efektif. kelompok, dengan manfaat yang pasca MDST. terbatas pada mereka yang berada Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP  54% responden di luar kelompok; kelompok ini tidak memperlihatkan bahwa berkaitan dengan kelompok lokal investasi berkaitan dengan yang ada dan tidak mendapatkan prioritas mata pencaharian. manfaat dari lembaga-lembaga lokal. Lampiran 5. Lokasi Studi Tabel 1. Lokasi – Studi Ekonomi dan Mata Pencaharian Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa Subproyek dan kegiatan 1 Watubangga Peoho Penanaman pohon (pohon jati) 2 Watubangga Watubangga Pelatihan pembuatan briket 3 Watubangga Lamunde Pembuatan minyak sayur 4 Kolaka Watubangga Gunung Sari Pembuatan biogas 5 Sulawesi Ladongi Raraa Penanaman pohon (jati putih, pohon durian) 6 Tenggara Ladongi Pembiyoha Pemurnian air 7 Ladongi Gunung Jaya Penanaman pohon (jati, mahoni, durian) 8 Mawasangka Mawasangka Rumpon 9 Buton Mawasangka Oengkolaki Penanaman pohon (mangroves) 10 Mawasangka Banga Penanaman pohon (mangroves) 11 Mallawa Ulu Daya Penanaman pada Lahan Kritis/Reforestasi 12 Tanralili Kurusumange Pelatihan Biogas dan pembuatan kompos 13 Mallawa Samaenre Agrowisata mata air panas 14 Mallawa Wanua waru Pengembangan sistem pembuangan air 15 Maros Camba Timpuseng Pembangkit listrik tenaga mikro hidro/surya Sulawesi 16 Selatan Tanralili Toddopolia Pelatihan pembuatan kompos 17 Tanralili Purnakarya Pelatihan Biogas Camba Cempaniga Pembangunan tembok penahan di bantaran 18 sungai 19 Bola Pasir Putih Penanaman pohon (mangroves) Wajo 20 Tanasitolo Wajoriaja Penanaman pohon (buah-buahan, sitrat) 21 Wori Tiwoho Briket 22 Wori Budo Rehabilitasi mangrove 23 Wori Darunu Rehabilitasi mangrove Dimembe Laikit Perlindungan sumber air (tanaman buah, 24 bambu) Dimembe Pinilih Perlindungan sumber air (tanaman buah, 25 Sulawes Minahasa bambu) dan Energi Terbarukan Utarai Utara Dimembe Warukapas Pengolahan limbah (ramah lingkungan) dan 26 Pengelolaan Sumber Daya Alam Dimembe Klabat Pengolahan limbah (ramah lingkungan) dan 27 Pengelolaan Sumber Daya Alam 28 Likupang Barat Palaes Rehabilitasi daerah aliran sungai (durian) 29 Likupang Barat Maliambo Reforestasi sumber air (pala) 30 Likupang Barat Bahoy Pengelolaan DPL dan ekowisata Lampiran 43 Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa Subproyek dan kegiatan 31 Putri Hijau Pasar Sebelat Penanaman pohon di sepanjang pantai 32 Lais Balam Penghijauan dan Ekowisata Air Terjun 33 North Putri Hijau Air Putih Penanaman pohon di lahan desa 34 Bengkulu Putri Hijau Air Muring Pelatihan pengelolaan limbah pasar Putri Hijau Suka Baru Penanaman pohon di sepanjang bantaran 35 Bengkulu sungai 36 Nasal Ulak Pandan Tanggul penahan longsor 37 Kaur Utara Padang Manis Peralihan pupuk kimia ke organik 38 Kaur Nassal Pasar Baru Penanaman pohon di sepanjang pantai 39 Kaur Utara Guru Agung I Pelatihan komoditas pertanian 40 Kaur Utara Guru Agung II Pembuatan biogas 41 Kerajaan Pardamuan Sel surya 42 Salak Salak 1 Sel surya 43 Salak Salak 1 Penanaman Jeruk dan Durian Pakpak Barat Salak Singgabur Penghijauan das (mahoni , sengon, aren, 44 pinus) 45 Salak Boang Manalu Penanaman Jeruk dan Durian North 46 Sumatra Batangtoru Hutabaru Kolam ikan deras 47 Tapanuli Batangtoru Hapesong lama Biogas Selatan Batangtoru Padang Lancat Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik dan 48 Sisoma Pestisida Organik Muara batang Sundutan Tigo Rehabilitasi terumbu karang (lintas-kab untuk 49 Mandailing gadis menanggung biaya bersama) Natal 50 Natal Setia Karya Perlindungan mata air Evaluasi Hasil: 44 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Tabel 2. Lokasi Studi MHP-ROI Kapasitas terpasang dan Non- Provinsi Kabupaten Lokasi Proyek Tanggal MDST TSU jumlah R.T. yang tersambung TSU Kec. Mehalaan/ Desember 78kW, 305 rumah tangga 1 Mesakada 2010 Kec. Sesena padang/ November Sedang beroperasi, 14kW, 99 2 Sulawesi Orabuan Selatan 2011 rumah tangga Mamasa Barat Kec. Bambang/ Januari 2012 Sedang beroperasi, 22kW, 70 3 Masoso rumah tangga Kec. Aralle/ Oktober 2011 Sedang beroperasi, 20kW, 40 4 Salutambun Barat rumah tangga Kec. Rantebua/ Maret 2012 Sedang beroperasi, 6kW, 46 5 Bokin rumah tangga Toraja Kec. Rentebua/ Maret 2012 10 kW, 63 rumah tangga 6 Utara Buangin Kec. Nanggala/Kare Juni 2012 12 kW, 20 rumah tangga 7 Pennanian Sulawesi Kec. Saluputti/ November 30 kW, 77 rumah tangga 1 Selatan Saluburonan 2010 Tana Toraja Kec. Malimbang Desember 30 kW, 168 rumah tangga 2 Balepe/Leppan 2010 Kec. Camba/ April 2010 20 kW, 66 rumah tangga 3 Timuseng Maros Kec. Mallawa/ Maret 2011 20 kW, 77 rumah tangga 4 Barugae Aceh Kec. Kluet Tengah/ Juni 2012 6,7 kW, 50 rumah tangga 8 Aceh Selatan Alur Kejrun Kec. IV Koto Aur Juni 2012 10 kW, 10 rumah tangga 9 Padang Malintang / Batu Pariaman Sumatra Basa Barat Kec. Mapat Tunggul/ Mei 2012 11 kW, 70 rumah tangga 10 Pasaman Mapunapan/ Marapan Kec. Padang Bano/ Juli 2012 Beroperasi hanya 6 bulan 5 Benteng Besi setelah MDST, sekarang Bengkulu Lebong dijalankan dengan Diesel, 5 kW, 30 rumah tangga Lampiran 45 Tabel 3. Lokasi Studi Efek Limpahan Lokasi studi percontohan Desa non- Percontohan/ No Provinsi percontohan Pilot Kab. Kec. Desa 1 Sumatra Lubuk Larangan Tapanuli Batang Toru Padang Lancat Hutabaru Siagian Utara Selatan (n=40) Sisoma Batu hula Sianggunan Pupuk organik Tapanuli Batang Toru Padang Lancat Wek I (pelatihan) Selatan (n=30) Sisoma Batu hula 2 Sulawesi Mikro Hidro Maros Camba Timpuseng Pattiro Deceng Selatan (n=35) Baji Pa’mai Mangrove Wajo Takkalala Pantai Timur Soro (n=35) Lagoari 3 Sulawesi Pelatihan Buton Pasar Wajo Saragi Wasaga Tenggara (n=35) Kahulungaya Wanatani Buton Pasar wajo Lapodi Warinta (n=35) Waangu-angu 4 Sulawesi Daerah Minahasa Likupang Bahoi Munte Utara Perlindungan Laut Utara Barat Mubune (DPL) (n=30) Total N=240 9 13 Evaluasi Hasil: 46 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Lampiran 6. Metodologi Transfer Manfaat Pendekatan umum Penilaian ekonomi diadakan dengan menggunakan dua metode: a. Manfaat ekonomi dengan metode wawancara rumah tangga: Manfaat ekonomi, yang dapat dinilai dengan menggunakan kuesioner, merupakan analisis pendapatan dan penghematan yang sederhana. Pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada responden yang terlibat dalam subproyek dan kegiatan IGA atau energi terbarukan. Semua responden ditanya tentang peningkatan pendapat yang berkaitan dengan subproyek dan kegiatan, tidak soal apapun jenisnya. Manfaat ekonomi masa depan dihitung sebagai manfaat masa depan yang diharapkan dari subproyek, dan didasarkan pada estimasi yang disampaikan oleh responden. b. Penilaian ekonomi lingkungan dan sumber daya alam dengan menggunakan metode transfer manfaat: Penilaian ekonomi subproyek dan kegiatan NRM bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh investasi PNPM LMP. Penilaian ini mencakup sumber daya alam yang dapat dipanen dan dipasarkan maupun jasa ekosistem yang disediakan oleh aset alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian ekonomi lingkungan dan sumber daya alam disebut transfer manfaat. Dasar Pemikiran metode transfer manfaat Metode transfer manfaat memperkirakan nilai ekonomi dari jasa ekosistem. Metode ini dilakukan dengan mentransfer informasi yang ada dari studi yang telah diselesaikan di lokasi atau konteks lain. Tujuan dasar transfer manfaat adalah memperkirakan manfaat untuk satu konteks dengan memperkirakan manfaat dari konteks lain. Transfer manfaat sering digunakan ketika dibutuhkan ukuran manfaat padahal keuangan atau waktu yang tersedia terlalu terbatas untuk mengadakan studi penilaian yang lengkap. Patut diperhatikan bahwa perhitungan transfer manfaat hanya akan sama keakuratannya dengan studi semula atau data sumber, dan membutuhkan kondisi yang serupa untuk lokasi maupun konteks (http://www.ecosystemvaluation.org/ benefit_transfer.htm#over). Menghitung transfer manfaat Perhitungan transfer manfaat ini menggunakan mata uang Rupiah (Rp). Untuk menghitung manfaat ekonomi dari PNPM LMP di desa-desa terpilih, peneliti mengalikan nilai transfer (Bt) dengan ukuran proyek sebenarnya (W) dan faktor diskonto (1+r)n, di mana r adalah tingkat diskonto dan n adalah banyaknya tahun. Bt didefinisikan sebagai nilai manfaat obyek sebenarnya saat ini (yang langsung berasal dari obyek di lokasi subproyek). Jika ‘nilai manfaat obyek saat ini” tidak dapat ditemukan atau terlalu sulit untuk dihitung maka nilai berbagai Bt yang digunakan untuk studi ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 tahun 2011. Namun, peraturan ini tidak mencakup seluruh manfaat jasa ekosistem yang diberikan oleh investasi PNPM LMP. Dalam hal demikian maka nilai Bt diperoleh dengan menggunakan nilai manfaat di tempat lain sebagai nilai acuan. Hal ini berarti menggunakan hasil studi dari peneliti terpercaya yang telah menghitung manfaat langsung dan tidak langsung dari produksi hutan sekunder dan rehabilitasi mangrove di beberapa provinsi di Indonesia seperti Sulawesi Tenggara, Sumatra atau Jawa Barat. Jika harga yang dihasilkan berasal dari tahun-tahun sebelumnya maka faktor diskonto (inflasi) digunakan untuk mendapatkan nilai Bt saat ini. Nilai manfaat sumber daya lingkungan dan alam yang akan datang biasanya dihitung selama 5 tahun ke depan; suku bunga yang digunakan adalah laju inflasi rata-rata selama 10 tahun terakhir, yang dalam hal ini sama dengan 6%. Lampiran 47 Rumus untuk menghitung transfer manfaat adalah: Vm=Bt(1+r)n.W Catatan: Vm = Nilai Manfaat Bt = Nilai transfer (nilai manfaat obyek saat ini atau nilai manfaat di tempat lain sebagai nilai acuan) R = bunga N = tahun W = luas wilayah subproyek PNPM LMP Jenis subproyek yang dihitung transfer manfaatnya Dalam studi ini, metode transfer manfaat digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi dari jasa ekosistem yang terkait dengan adanya subproyek NRM. Penilaian ekonomi ini berfokus pada penanaman pohon dan mangrove. Pendekatan ini digunakan untuk memperkirakan manfaat sekarang dan yang akan datang dari pohon dan mangrove yang ditanam. Data yang dibutuhkan untuk penghitungan transfer manfaat Data utama yang digunakan untuk perhitungan ini adalah jumlah/volume aktual pohon yang telah ditanam. Sesuai dengan data yang tersedia, volume/jumlah diukur dalam hektar (Ha) atau jumlah pohon. Data dikumpulkan dengan dua cara: (a) pengamatan langsung di lapangan diadakan jika lokasi mudah dijangkau dan wawancara dapat dilakukan. Peneliti memperkirakan jumlah/volume pohon yang ditanam dan memverifikasi perkiraan ini dengan bertanya kepada penduduk setempat mengenai penilaian tersebut; dan (b) jika lokasi sulit untuk dijangkau maka data diperoleh dari wawancara dengan narasumber penting. Di beberapa daerah, pohon buah-buahan yang ditanam membuat harga-harga terukur untuk buah dan barang yang dipasarkan. Dalam kasus ini, metode wawancara dengan narasumber utama digunakan untuk memperkirakan produksi pohon buah yang ditanam sebagai bagian dari subproyek dan kegiatan PNPM LMP. Demikian pla dengan rehabilitasi mangrove, wawancara dengan narasumber utama memberikan informasi tentang harga ikan dan produksi ikan, yang digunakan untuk mengecek silang informasi yang diperoleh dari wawancara dengan rumah tangga. Keakuratan perhitungan Keakuratan perhitungan ditentukan oleh keakuratan data di atas dan nilai transfer (Bt) yang digunakan. Jika Bt adalah nilai manfaat obyek sebenarnya saat ini atau Bt berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13/2011, maka keakuratannya akan tinggi. Jika Bt yang digunakan berasal dari nilai manfaat di tempat lain sebagai nilai acuan maka datanya bisa jadi kurang akurat. Hal ini karena kondisi di lokasi studi yang darinya nilai Bt diperoleh (misalnya spesies, kepadatan penanaman, tanah, curah hujan, persaingan) mungkin berbeda dengan kondisi di lokasi subproyek PNPM LMP. Misalnya, nilai Bt yang digunakan berasal dari suatu studi (Nurfatriani F, 2005) di mana pohon yang ditanam secara umum adalah mahoni. Namun, jika nilai ini digunakan untuk menghitung nilai kayu jati, maka nilainya akan diperhitungkan lebih rendah karena harga jati lebih tinggi daripada harga mahoni. Sebaliknya, nilai Bt dapat diperhitungkan lebih tinggi jika Bt yang sama digunakan untuk menghitung nilai kayu dari pohon buah-buahan seperti durian di mana harga kayu durian lebih rendah daripada harga kayu mahoni. Nilai Jasa Ekosistem yang diciptakan oleh Penanaman Pohon Penggunaan Langsung:  Kayu: Nilai manfaat kayu diperoleh dari hasil penelitian Nurfatriani F (2005) di Daerah Rehabilitasi (Hutan dan Lahan), Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta. Nilai yang dihasilkan melalui teknik nilai produksi adalah sebesar Rp 3.933.294.737 per panen atau USD 3.070.487,69 per Ha.  Kayu Bakar: Nilai kayu bakar dihitung berdasarkan hasil penelitian Roslinda, E (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kab. Sukabumi, di mana nilai yang dihasilkan melalui teknik nilai produksi adalah sebesar Rp 683.338.887,40 per panen atau USD 1.903.450,94 per Ha.  Pakan ternak dari pohon: Nilai pakan ternak dihitung berdasarkan hasil penelitian Roslinda, E (2002) Evaluasi Hasil: 48 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kab. Sukabumi, di mana nilai yang dihasilkan melalui teknik nilai produksi adalah sebesar Rp 229.354.144,80 per tahun atau USD 638.869,48 per Ha.  Nilai untuk sumber air rumah tangga: Dalam penelitian yang dilakukan oleh Roslinda, E (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kab.Sukabumi, nilai penanaman pohon untuk sumber air rumah tangga diperkirakan mencapai Rp 2.084.018.810,00 per tahun atau 5.805.066 per Ha.  Nilai untuk pengairan pertanian (irigasi): Dalam penelitian yang dilakukan oleh Roslinda, E (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kab.Sukabumi,nilai penanaman pohon untuk pengairan pertanian diperkirakan mencapai Rp 190.227,85 per tahun atau USD 3.112,00 per Ha.  Burung liar: Nilai burung liar dihitung berdasarkan penelitian Normawati M. Said (2006), di mana nilai ini diperoleh melalui teknik nilai produksi yang mencapai Rp 2.233.000,00 per tahun atau USD 5.071,00 USD/Ha. Penggunaan Tidak Langsung:  Pencegaan erosi: Penanaman pohon dan hutan dapat mencegah erosi tanah. Nilainya diperoleh berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011, yaitu sebesar Rp 1.225.000,00 per Ha.  Pencegahan banjir: Hutan juga dapat mencegah banjir. Nilainya berasal dari hasil penelitian Sumangunsong, B (2002), yang melaporkan nilai sebesar USD 316,56 per Ha untuk hutan sekunder.  Penyerapan karbon: Nilai penyerapan karbon yang disediakan hutan diperoleh berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011, yaitu sebesar Rp 90.000,00 per Ha.  Unsur hara alami: Nilai hutan dalam mendukung unsur hara tanah diperoleh berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011. Nilainya mencapai Rp 4.610.000,00 per Ha.  Penguraian limbah: Nilai hutan sebagai pengurai limbah diperoleh berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011, di mana penguraian limbah di hutan dinilai sebesar Rp 435.000,00 per Ha.  Keanekaragaman hayati: Nilai hutan dalam mendukung keanekaragaman hayati diperoleh berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011. Nilainya ditetapkan sebesar Rp 435.000,00 per Ha.  Nilai bibit alami: Nilai hutan sebagai penyedia bibit alami didasarkan pada hasil penelitian Roslinda, E (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kab. Sukabumi. Nilai bibit alami dihitung mencapai Rp 75.000.000,00 per tahun atau USD 600.000.00 per Ha. Nilai Jasa Ekosistem yang diciptakan oleh Rehabilitasi Mangrove Penggunaan Langsung:  Kayu: Nilai kayu mangrove diperoleh berdasarkan hasil penelitian Aprilwati, S. (2001) yang diadakan di ekosistem mangrove di daerah Batu Ampar, kabupaten Pontianak. Acuan ini memberikan nilai Rp 855.141.900,00 per tahun atau USD 61.521,00 per Ha.  Kayu bakar: Nilai kayu bakar mangrove dihitung oleh Alfian, M (2004) dalam konservasi hutan mangrove di Kabupaten Tinanggea, Sulawesi Tenggara. Nilainya mencapai Rp 9.504.000,00 per tahun atau USD 1.441,00 per Ha.  Perikanan: Mangrove mendukung usaha perikanan dengan meningkatkan hasil tangkapan ikan. Data perkiraan nilai ini diperoleh dari wawancara dengan narasumber kunci.  Burung liar: Nilai burung liar didasarkan pada hasil penelitian Normawati M.Said (2006) di mana nilainya diperoleh melalui teknik nilai produksi yang diperkirakan mencapai Rp 2.233.000,00 per tahun atau USD 5.071,00 per Ha. Penggunaan Tidak Langsung:  Keanekaragaman hayati: nilai keanekaragaman hayati didasarkan pada hasil temuan Aprilwati, S (2001) di Ekosistem Mangrove, Batu Ampar, Kabupaten Pontianak. Di sini, nilai keanekaragaman hayati dihitung dalam penelitian Ruitenbeek (1991) di Bintuni, Papua, dengan menggunakan teknik transfer manfaat. Nilai keanekaragaman hayati diperkirakan mencapai USD 15 per Ha/tahun (Rupiah terhadap Dolar: 1 USD = Rp 8.250) dan nilai penelitian mencapai Rp 1.720.125.000,00 per tahun atau USD 123.750,00 per Ha. Lampiran 49  Unsur hara: Nilai perbaikan unsur hara dihitung dari temuan penelitian Alfian, M (2004) untuk konservasi hutan mangrove di kabupaten Tinanggea, Sulawesi Tenggara, dengan teknik transfer manfaat. Nilainya mencapai Rp 5.105.007.722,00 per tahun atau USD 773.955,00 per Ha.  Penurunan erosi: penurunan erosi pantai dinilai berdasarkan penelitian Husni, S (2001) di kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Nilai penurunan erosi dan biaya perbaikan akibat erosi mencapai Rp 2.286.687.500,00 per tahun atau Rp 5.095.123,00 per Ha.  Perlindungan terhadap gelombang air laut dan badai: Nilai ini dihitung oleh Normawati M. Said (2006), di mana nilai diperoleh melalui teknik nilai biaya pengganti dengan membangun dinding penahan yang mencapai Rp 30.870.873.596,00 per tahun atau Rp 70.111.520,00 per Ha.  Pencegahan intrusi air laut: Nilai pencegahan intrusi air laut dihitung berdasarkan acuan penelitian oleh Alfian, M (2004) sehubungan dengan konservasi hutan mangrove di kabupaten Tinanggea Sulawesi Tenggara, dengan menggunakan teknik biaya oportunitas , yang mencapai Rp 11.728.219.620,00 per tahun atau USD 1.778.081,00 per Ha.  Penyerapan karbon: Nilai penyerapan karbon dihitung berdasarkan acuan penelitian Suryono, T. (2006), di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara, dengan menggunakan teknik transfer manfaat yang diperoleh dari Hilmi (2003) mengenai potensi penyerapan karbon untuk Rhizophora mucronata. Penyerapan karbon diperkirakan mencapai 3258.34 - 3957.44 kg per ha, dengan nilai Rp 103.722.011,00 per tahun atau Rp 1.486.415,00 per Ha. Evaluasi Hasil: 50 Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan melalui Investasi PNPM-LMP Canadian International Development Agency