55194 i UCAPAN TERIMA KASIH Studi Kajian Pengeluaran Publik Papua 2009 ini dilakukan oleh tim peneliti gabungan Uni- versitas Cendrawasih dan STIE Ottow-Geisler. Tim peneliti diketuai oleh Drs. Agustinus Salle, MEc. dan beranggotakan Aaron Simanjuntak,M.Si, Ester Saranga,M.Si, Ida Ayu Purbariani, M.Si, Dr. Yundy Hafiziandra, M.Si, Meiske Sihombing, M.S.E, Transna Putra, M.Si, Paulus Allolayuk, M.Si, Siti Rofingatun, M.M, Robert Marbun, M.A, Charley Michael Bisai, MS, Marsi Adi Purwadi, SE, dan Anthonius Citra, SE. Studi ini merupakan bagian dari program PEACH Papua tahap 2 yang dipimpin oleh Wolf- gang Fengler, Petrarca Karetji, Amin Subekti, dan Caroline Tupamahu. Dukungan teknis dan operasional bagi tim peneliti diberikan oleh tim Bank Dunia yang terdiri atas Adrianus Hendrawan, Erryl Davy, M. Ryan Sanjaya, Bastian Zaini, dan Cut Dian Agustina. Dukun- gan komunikasi dan publikasi juga diberikan oleh tim SOfEI/BAKTi yang terdiri atas Zu- sanna Gosal, Sylvia Roselani Samber, Victoria Ngantung, dan Ichsan Junaed. Secara khusus, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Pap- ua untuk dukungan, saran dan bimbingan yang diberikan selama persiapan laporan ini. Khususnya, tim ingin berterima kasih kepada Bapak Syafruddin Daerlan, Bapak Max Boekorsjom, Bapak Eddy WP Utomo, dan seluruh anggota program management com- mittee (PMC) yang telah mengkoordinasikan dan mengarahkan jalannya studi ini. Dalam kesempatan ini, kami juga sangat mengapresiasi dukungan dan arahan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang diwakili oleh Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA, Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc, dan Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan atas dukungan keuangan, intelektual dan teknis yang diberikan oleh Australian Agency for International Development (AusAID) yang membiayai keseluruhan proyek ini, yang diwakili oleh Jeremy Stringer dan Patricia Bachtiar. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 ii KATA PENGANTAR Kami menyambut baik peluncuran laporan Papua Public Expenditure Analysis 2009 (Papua PEA 2009). Laporan ini merupakan sebuah pembaruan dari laporan pertama yang dibuat pada tahun 2005. Sebagian besar rekomendasi yang dihasilkan dari laporan pertama telah dilaksanakan. Sejauh ini kita pun telah melihat kemajuan dalam berbagai aspek pengelolaan keuangan daerah dan layanan publik di berbagai bidang. Nemun demikian, tentu masih banyak aspek yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki, seperti yang dipaparkan dalam laporan ini. PEA merupakan bagian dari program PEACH (Public Expenditure Analysis And Capacity Harmo- nization). Program ini merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Papua untuk terus memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan daerahnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, analisis yang dilakukan juga mencakup hal-hal khusus yang menjadi fokus utama dari daerah ini. Saat ini Pemerintah Provinsi Papua sedang giat untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai “PAPUA BARU”, yang dilakukan melalui empat agenda pokok yaitu: 1. Menata kembali pemerintahan daerah 2. Membangun Tanah Papua yang sejahtera 3. Membangun Tanah Papua yang aman dan damai 4. Meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dan sarana dasar Melalui keempat agenda itulah, pemerintah daerah di Papua ingin mewujudkan amanat Otonomi Khusus Papua, yaitu meningkatkan kemakmuran rakyat Papua secara adil dan merata, mewu- judkan good governance di semua tingkatan pemerintahan, dan menciptakan suasana aman dan damai bagi rakyat Papua. Terwujudnya dokumen ini, tidak terlepas dari kerja keras berbagai pihak. Pertama-tama, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Pusat Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Pusat KEUDA) Universitas Cenderawasih bersama Kelompok Jaringan Perguruan Tinggi Papua (JPTP) yang telah menjalankan studi dan menulis laporan ini. Kami juga menyampaikan penghargaan atas kinerja PEACH Program Management Committee (PMC), sebagai wakil Pemerintah Provinsi Papua untuk kegiatan PEACH, tim PEACH dan SOfEI (Support Office for Eastern Indonesia) Bank Dunia yang telah bekerja keras dalam menunjang Papua PEA 2009. Kami juga berterima kasih kepada AusAID yang telah mendukung pendanaan studi ini. Sebagai penutup, kami mengharapkan buku ini dapat menjadi referensi bagi setiap pejabat pemerintah daerah di Papua dan juga berbagai pihak yang berkeinginan untuk membantu per- soalan dan pergumulan pemerintah daerah di Papua. Seiring dengan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, kami mengajak semua pihak untuk terlibat dalam berbagai kegiatan tindak lanjut yang dibutuhkan – dengan harapan bahwa suatu saat, Papua dapat menjadi tolak ukur bagi daerah lainnya dalam pengelolaan dana publik secara efektif, efisien, akuntabel, transparan. Jayapura, Desember 2009 Jakarta, Desember 2009 JOACHIM VON AMSBERG BARNABAS SUEBU, SH Kepala Perwakilan, Indonesia Gubernur Bank Dunia Provinsi Papua Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 iii DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................................i KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii RANGKUMAN LAPORAN.................................................................................................v BAB 1 – PROFIL SOSIAL EKONOMI PROVINSI PAPUA...............................................1 1.1. Sejarah Provinsi Papua......................................................................................2 1.2. Geografi, Topografi, dan Demografi....................................................................3 1.3. Struktur Perekonomian.......................................................................................4 1.4. Kesejahteraan Penduduk....................................................................................9 BAB 2 – PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN DAERAH................................................14 2.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah...........................................................15 2.2. Dana Perimbangan dan Otonomi Khusus.......................................................16 2.3. Pendapatan Asli Daerah..................................................................................18 2.4. Pembiayaan.....................................................................................................19 2.5. Rekomendasi...................................................................................................20 BAB 3 – BELANJA DAERAH..........................................................................................21 3.1. Gambaran Umum Belanja...............................................................................22 3.2. Komposisi Belanja Menurut Bidang.................................................................23 3.3. Komposisi Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi.............................................25 3.4. Perkembangan Surplus dan Defisit Anggaran.................................................26 3.5. Efektivitas Belanja Provinsi Papua..................................................................27 3.6. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.................................................27 3.7. Rekomendasi...................................................................................................29 BAB 4 – ANALISIS SEKTORAL.....................................................................................30 4.1. Sektor Pendidikan............................................................................................31 4.2. Sektor Kesehatan............................................................................................37 4.3. Sektor Infrastruktur...........................................................................................45 4.4. Sektor Pertanian..............................................................................................52 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 iv BAB 5 – PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH.........................................................59 5.1. Kondisi Umum Pengelolaan Keuangan Daerah Prov. Papua.........................60 5.2. Perencanaan dan Penganggaran....................................................................60 5.3. Pelaksanaan Anggaran....................................................................................64 5.4. Akuntansi, Pelaporan, Pengawasan Internal, dan Manajemen Aset...............66 5.5. Rekomendasi...................................................................................................68 BAB 6 – DANA OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA..............................................70 6.1. Otonomi Khusus Provinsi Papua.....................................................................71 6.2. Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua..................................72 6.3. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua......................................75 6.4. Rekomendasi...................................................................................................79 BAB 7 – INSTITUSI PEMERINTAHAN DAN SDM.........................................................80 7.1. Analisis Struktur Organisasi.............................................................................81 7.2. Pegawai Negeri Sipil (PNS)............................................................................83 7.3. Reformasi Pemerintahan.................................................................................88 7.4. Rekomendasi...................................................................................................89 LAMPIRAN REFERENSI Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 v RANGKUMAN LAPORAN Pendahuluan Provinsi Papua merupakan salah satu daerah paling strategis di Indonesia dan berstatus otonomi khusus. Papua dikatakan strategis karena merupakan provinsi paling timur di Indonesia dan berbatasan langsung dengan Papua New Guinea dan Australia. Nilai strategis ini merupakan salah satu hal utama ditetapkannya status otonomi khusus bagi Prov. Papua. Pada tahun 2002, Provinsi Papua, yang melingkupi seluruh wilayah Pulau Papua yang menjadi bagian Indonesia, dimekarkan menjadi dua provinsi (Papua dan Papua Barat). Papua memiliki sumber daya alam dan fiskal yang berlimpah sekaligus tantangan pembangunan yang sangat besar. Di satu sisi, saat ini, Papua memiliki kapasitas fiskal per kapita terbesar setelah Papua Barat. Papua juga sangat kaya akan berbagai sumber daya alam, seperti bahan tambang non-migas dan hasil hutan. Di sisi lain, tantangan pembangunan di provinsi Papua sangat besar, baik secara geografi, topografi maupun demografi. Papua jauh tertinggal dalam berbagai bidang sosial dan ekonomi dibanding daerah lain di Indonesia pada umumnya, seperti yang terlihat dalam berbagai indikator kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Perekonomian dan investasi di Provinsi Papua masih didominasi sektor tambang dan, dengan perbedaan yang mencolok, pertanian. Selama 2004-2007, sektor tambang menyumbang lebih dari 50% PDRB provinsi Papua sehingga pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh fluktuasi harga komoditas hasil tambang. Di luar tambang, sektor terbesar adalah pertanian, yang selama periode yang sama menyumbang sekitar 14-18% bagi PDRB. Sektor ini menyerap tenaga kerja terbanyak di provinsi Papua sampai tahun 2008. Sementara, sektor industri terlihat belum berkembang dan hanya berkontribusi di bawah 10% terhadap PDRB. Pendapatan dan Belanja Daerah Pendapatan provinsi Papua sendiri terus meningkat dan selalu didominasi oleh transfer dari pusat. Sampai tahun 2008, lebih dari 90% pendapatan Pemprov dan Pemkab/kota di Papua berupa dana perimbangan atau dana Otsus, yang merupakan transfer dari pemerintah pusat. Kondisi ini tidak akan berubah banyak selama beberapa tahun ke depan mengingat PAD sulit ditingkatkan secara cepat karena basis pendapatan yang sempit. Ketimpangan kapasitas fiskal per kapita antara kab/kota sangat besar yang diperlebar lagi oleh pemekaran kab/kota. Seperti terlihat pada gambar 0.1, kapasitas fiskal per kapita kab. Sarmi hampir delapan kali lipat kab. Jayawijaya. Pemekaran 10 kabupaten pada tahun 2002 memperbesar ketimpangan ini dan kabupaten baru ini secara umum memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dibandingkan kabupaten/kota lama. Belanja publik Prov. Papua meningkat pesat yang ditandai dengan semakin dominannya anggaran Pemkab/kota. Selama 2004-2008, peningkatan belanja secara riil ini terjadi pada semua komponen, yaitu APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota. Dari sisi proporsi, kontribusi Pemkab/kota cenderung meningkat yang disebabkan oleh i) jumlah kab/kota bertambah; ii) DAK semakin besar; dan iii) proporsi dana otonomi khusus yang ditransfer ke APBD kab/ kota semakin besar. Dalam beberapa tahun ke depan, kontribusi Pemkab/kota ini akan membesar lagi karena terbentuknya 9 kabupaten pemekaran selama 2007-2009. Sementara itu, kontribusi APBN menunjukkan kecenderungan yang menurun, terutama karena sebagian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sudah mulai dikonversi menjadi DAK. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 vi Gambar 0.1. Pendapatan Daerah per Kapita untuk Pemkab/kota di Provinsi Papua Tahun 2007 Kab.Jayawijaya 2.4 Kota Jayapura 2.5 Kab.Nabire 3.4 Kab.Biak Numfor 4.4 Kab.Puncak Jaya 4.8 Kab.Paniai 5.2 Kab.Merauke 5.6 Kab.Yapen Waropen 5.8 Kab.Pegunungan Bintang 6.1 Kab.As mat 6.8 Kab.Jayapura 6.9 Kab.Mimika 7.2 Kab.Mappi 8.1 Kab.Tolikara 9.5 Kab.Keerom 11.1 Kab.Supiori 12.5 Kab.Boven Digoel 17.9 Kab.Waropen 18.2 Kab.Sarmi 18.9 Ͳ 5 10 15 20 jutaRp Sumber : APBD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun 2007 Gambar 0.2. Trend Pengeluaran Pemerintah Di Provinsi Papua (APBD dan APBN) 2004-2008 20,000 18,000 16,000 miliar Rp 14,000 12,000 12,201 10,150 10,000 8,000 7,357 6,000 4,674 4,461 4,000 3,823 3,606 1,806 2,269 2,000 1,447 1,103 1,249 1,519 2,137 2,149 - 2004 2005 2006 2007 2008 APBN (Dekon dan TP) APBD Pemerintah Provinsi APBD Kabupaten/Kota Total Belanja Riil APBD+APBN Sumber: APBD Tahun 2004-2008 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 g g gg g Komposisi sektoral belanja Papua sudah membaik, walaupun masih didominasi oleh sektor administrasi umum pemerintahan (AUP). Di satu sisi, baik untuk Pemprov dan Pemkab/ kota, sektor AUP masih merupakan sektor belanja terbesar. Di sisi lain, sektor-sektor prioritas dalam otonomi khusus, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, mendapatkan alokasi yang semakin besar, walupun terasa masih belum optimal. Sayangnya, sektor pertanian, Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 vii yang menyerap tenaga kerja paling banyak dan penyumbang PDRB terbesar kedua, hanya mendapatkan total alokasi APBD sebesar 2-3%. Perbaikan komposisi anggaran juga terjadi pada jenis belanja, dimana belanja modal sekarang merupakan yang paling dominan. Sampai tahun 2005, jenis belanja terbesar adalah belanja pegawai. Trend ini berubah mulai tahun berikutnya dimana belanja modal menjadi komponen yang terbesar. Perbaikan ini sedikit banyak didorong oleh adanya dana Otsus untuk infrastruktur (untuk provinsi) dan peningkatan jumlah DAK (untuk kab/kota). Surplus APBD terus terjadi pada Pemprov dan Pemkab/kota, yang merupakan sumber pendanaan baru. Selama 2004-2007, terjadi surplus anggaran di tingkat Pemprov dan Pemkab/ kota di Papua sebesar 5-10% per tahunnya. Surplus ini sebagian besar digunakan untuk pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal pada perusahaan daerah. Secara akumulasi, surplus anggaran Pemprov dan seluruh Pemkab.kota ini diperkirakan berjumlah lebih dari Rp 7 triliun. Jika bisa dikonsolidasikan, jumlah ini merupakan sumber pendanaan yang tidak kecil bagi pembangunan di Provinsi Papua Analisis Sektoral Meningkatnya alokasi belanja sektor-sektor strategis sudah diikuti dengan perbaikan capaian sektor tersebut walaupun belum maksimal. Selama 2004-2007, seiring dengan semakin besarnya alokasi belanja, terlihat adanya perbaikan indikator-indikator capaian sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hanya saja, perbaikan ini masih belum bisa mengejar ketertinggalan dari rata-rata Indonesia. Hal yang sama juga tampak dari sarana dan prasarana publik, seperti Puskesmas, sekolah, jalan, dan pelabuhan. Permasalahan umum pada sektor strategis ini adalah kesenjangan yang lebar antara daerah perkotaan dan terpencil dan antara berbagai kelompok pendapatan. Pendidikan Berbagai indikator output dan outcome pendidikan menunjukkan perbaikan yang berarti antara 2004-2007. Peningkatan ini tampak dalam angka melek huruf (gambar 0.3), angka partisipasi sekolah murni, dan rasio guru-murid dan ruang kelas-murid. Namun, sampai tahun 2007, capaian Provinsi Papua untuk indikator-indikator tersebut masih di bawah rata-rata nasional. Tantangan terbesar sektor pendidikan adalah pemerataan capaian pada berbagai kelompok masyarakat. Saat ini, kesenjangan yang besar terdapat antara: x Kabupaten/ kota: capaian kabupaten/kota terpencil jauh lebih rendah dibanding yang mudah diakses x Kelompok pendapatan: capaian kelompok pendapatan tinggi lebih baik dari yang rendah. x Gender (gambar 0.3): capaian pria lebih baik dari wanita. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 viii Gambar 0.3 Tingkat Melek Huruf Menurut Kelompok Umur Di Papua Tahun 2003 Dan 2007 89% 88% 100% 80% 78% 78% 77% 76% 71% 70% 67% 67% 80% 64% 63% 61% 53% 51% 60% 40% 20% 0% Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 2003 2007 15-29 30-44 45-59 >60 Sumber : Diolah dari Susenas 2007 Alokasi belanja sektor pendidikan cenderung meningkat dan masih didominasi oleh belanja pegawai. Walaupun secara riil belum mencapai tingkat tahun 2004, belanja per kapita sektor pendidikan memperlihatkan trend meningkat selama 2005-2008 (Gambar 0.4a). Dari komposisi belanja, belanja pendidikan ini masih didominasi oleh belanja pegawai. Diharapkan, belanja per kapita dan komposisi belanja ini akan membaik selama beberapa tahun ke depan dengan adanya program pendidikan gratis bagi penduduk asli Papua. Gambar 0.4. Trend Pengeluaran Pendidikan (a) dan Kesehatan (b) per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008 Belanja pendidikan per kapita (Rp) Belanja kesehatan per kapita (Rp) 1,200,000 800,000 700,000 1,000,000 600,000 800,000 500,000 600,000 400,000 300,000 400,000 200,000 200,000 100,000 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Kesehatan Sektor kesehatan sudah mengalami kemajuan dan masih menghadapi tantangan besar, termasuk HIV/AIDS. Sama dengan sektor pendidikan, trend perbaikan tampak pada berbagai indikator kesehatan, seperti usia harapan hidup (Gambar 0.5a), angka kematian bayi (Gambar 0.5b), dan rasio tenaga medis-penduduk dan Puskesmas-penduduk. Untuk beberapa tahun ke depan, beberapa tantangan masih harus dihadapi, seperti mengejar ketertinggalan dengan nasional, penyediaan tenaga medis dan sarana kesehatan di daerah terpencil dan penanggulangan HIV/AIDS dan malaria. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 ix Gambar 0.5 Perbandingan Indikator Kesehatan Provinsi Papua dengan Beberapa Daerah Lainnya di Indonesia Tahun 2000 dan 2005 [a]. Angka Kematian Bayi Di Indonesia [b]. Angka Harapan Hidup Di Indonesia (per 10.000 bayi) (tahun) Sumber : Booklet BPS, 2008 (diolah) Pengeluaran kesehatan di Provinsi Papua terus mengalami kenaikan setiap tahun, dengan proporsi di bawah 10%. Untuk tahun 2004-2008, terjadi peningkatan alokasi pengeluaran kesehatan secara berarti, yang ditunjukkan oleh kenaikan belanja kesehatan per kapita (Gambar 0.4b). Hanya saja, proporsi belanja kesehatan ini masih di bawah 10% dari total APBD. Dari segi komposisi belanja, belanja barang dan jasa dan belanja modal merupakan komponen belanja kesehatan yang paling besar. Infrastruktur Pembangunan infrastruktur di Papua belum terkoordinasi dengan baik. Seperti diulas panjang dalam WB (2009), belum ada suatu master plan pembangunan infrastruktur di Papua yang handal dan disusun bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota. Rencana- rencana yang ada masih bersifat sepihak dan koordinasi lebih banyak berlangsung secara dadakan. Koordinasi dan master plan ini mutlak diperlukan, mengingat sektor infrastruktur membutuhkan pendanaan yang sangat besar, terlebih lagi dalam konteks Papua. Jaringan prasarana jalan sudah meningkat selama beberapa tahun terakhir dengan penyebaran yang tidak merata dan tidak diikuti dengan perawatan yang memadai. Selama 2004-2007, jaringan prasarana jalan meningkat sampai 5 kali lipat. Tetapi, jaringan prasarana jalan, terutama untuk yang dilapisi aspal, masih terfokus pada daerah perkotaan. Peningkatan jaringan jalan tidak diikuti dengan perbaikan kondisi jalan. Pada tahun 2007, jalan yang mengalami rusak berat mencapai 8.681,79 km atau 56,64% dari total jalan sepanjang 15.327 km. Dan, hanya sekitar 33,27% saja jalan yang dalam keadaan baik. Keterbatasan infrastruktur transportasi di Papua menyebabkan sangat tingginya harga- harga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan. Kondisi topografi yang sangat sulit menjadikan transportasi udara menjadi satu-satunya solusi di banyak wilayah Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 x Papua. Tidak adanya akses ke transportasi darat, laut dan sungai menyebabkan sangat tingginya harga-harga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan karena tingginya biaya transportasi udara. Saat ini, bisa dikatakan kalau harga-harga barang di kabupaten- kabupaten di pegunungan tengah, terutama Puncak Jaya, merupakan yang paling mahal di Papua, dan bahkan di Indonesia. Akses rumah tangga ke infrastruktur dasar di Prov. Papua masih tertinggal dan tidak merata. Kondisi ini tampak dalam akses ke air bersih, listrik, dan sanitasi yang layak, di mana capaian Papua jauh di bawah rata-rata Indonesia. Sama dengan pendidikan dan kesehatan, akses ke fasilitas ini sangat tidak merata dalam hal geografis dan kelompok pendapatan (Gambar 0.6). Gambar 0.6. Akses Air Bersih Dan Fasilitas Sanitasi Berdasarkan Kelompok Pendapatan Sumber: SUSENAS 2007 (diolah) Belanja infrastruktur di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengalami kenaikan yang sangat tinggi setiap tahun dan selalu didominasi belanja modal. Selama 2004-2007, peningkatan riil tahunan belanja sektor infrastruktur mencapai 36%. Belanja infrastruktur per kapita sendiri tumbuh sebesar 24% secara riil (Gambar 0.7a). Peningkatan ini sangat didorong oleh dana Otsus tambahan untuk infrastruktur. Komposisi belanja infrastruktur sendiri sangat didominasi oleh belanja modal, mengingat sektor ini merupakan padat modal. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 xi Gambar 0.7 Trend Pengeluaran Infrastruktur (a) dan Pertanian (b) Per Kapita di Provinsi Papua Belanja pertanian nominal per kapita (Rp) Belanja infrastruktur nominal per kapita (Rp) 300,000 1,800,000 1,600,000 250,000 1,400,000 1,200,000 200,000 1,000,000 150,000 800,000 600,000 100,000 400,000 50,000 200,000 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Pertanian Sektor pertanian bisa dikatakan belum mendapat perhatian sebesar sektor strategis lain. Sampai 2009, Pemprov Papua belum mencanangkan program khusus Otsus bagi sektor pertanian, yang merupakan salah satu unsur ekonomi kerakyatan. Selain itu, alokasi APBD dan Otsus untuk sektor ini masih kecil sekali, padahal sektor ini merupakan dasar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Papua. Pengembangan sektor ini memang lebih kompleks dari sektor lain karena memerlukan beberapa prekondisi, seperti akses ke pasar, jaringan irigasi, penyuluhan yang intensif, dan pengadaan mesin-mesin berat. Produktivitas tanaman pangan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Selama 2004- 2007, terjadi penurunan produktivitas sayuran dan buah-buahan secara drastis. Sedangkan, peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kacang-kacangan bisa dikatakan minimal (Gambar 0.8). Trend yang mengkhawatirkan ini perlu disikapi secara serius oleh Pemprov dan Pemkab/kota yang bersangkutan. Gambar 0.8 Produktivitas Tanaman Pangan Papua Tahun 2004-2007 (dalam ton/ha) 16 14 12.86 12.81 12.32 12.53 12 10.04 9.89 10.04 10.00 10 8 6 4.86 4.51 4.14 4 3.61 3.56 3.18 3.27 1.97 2.32 2.05 1.74 1.93 1.67 1.70 2 1.49 1.01 0 2004 2005 2006 2007 Padi Jagung Kacang Sayur Buah Umbi Sumber : BPS Papua (2004-2008) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 xii Walaupun alokasi belanja pertanian sudah meningkat, jumlahnya masih sangat kecil dan didominasi oleh belanja pegawai. Peningkatan alokasi belanja dalam hal APBD tercermin dari meningkatnya belanja pertanian per kapita selama 2004-2008 (Gambar 0.7b). Tetapi peningkatan ini belum menyelesaikan dua masalah kunci. Pertama, alokasi ini masih sangat minim, yaitu hanya berkisar antara 2-3% dari total APBD. Kedua, belanja sektor pertanian didominasi oleh belanja pegawai. Hal ini sangat ironis, karena seharusnya mayoritas belanja pertanian dialokasikan untuk belanja barang jasa, seperti pengadaan bibit dan pupuk, dan belanja modal, seperti pembangunan pabrik penggilingan padi atau pengemasan makanan dan pengadaan alat- alat berat pertanian. Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah (PKD) di Prov. Papua sudah menunjukkan perbaikan, namun masih perlu dibenahi lebih lanjut. PKD menjadi sangat vital karena besarnya kapasitas fiskal Provinsi Papua yang harus dikelola untuk kemajuan kesejahteraan rakyat. Saat ini, aspek manajemen kas dan akuntansi & pelaporan sudah cukup baik. Hanya saja, beberapa masalah kunci dalam aspek perencanaan dan penganggaran, pengawasan internal, dan pengelolaan aset belum terselesaikan. Dari sisi pelaporan, kualitas LKPD seluruh Pemda di Papua masih belum baik, walaupun sudah ada perbaikan dalam setahun terakhir. Perencanaan dan penganggaran masih belum baik karena koordinasi antara Pemerintah pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota yang belum lancar dan rendahnya kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Aspek perencanaan dan penganggaran merupakan aspek yang paling penting karena menentukan pelaksanaan pembangunan jangka me-nengah dan tahunan. Selama beberapa tahun ini, perencanaan dan penganggaran belum optimal karena koordinasi antar strata pemerintahan yang kurang baik. Beberapa program pembangunan terlihat saling overlap satu sama lain atau tidak saling mendukung. Selain itu, masalah lain dalam perencanaan dan penganggaran adalah rendahnya kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Hampir semua RPJMD, Renstra, RKPD, dan APBD tidak mempunyai indikator terukur. Dan juga, belum terlihat adanya konsistensi antara perencanaan jangka menengah dan tahunan dan antara multi sektor dan sektoral. Kapasitas SDM PKD masih belum cukup, terutama di tingkat kabupaten/kota. Desentraliysasi fiskal meningkatkan tanggung jawab Pemda dalam bidang PKD dalam waktu singkat. Hanya saja, kuantitas dan kualitas SDM PKD masih jauh dari cukup, apalagi sejak dialihkannya sebagian fungsi PKD ke setiap SKPD. Di kebanyakan kab/kota baru, posisi penatausahaan keuangan SKPD sering dijabat oleh PNS yang tidak memiliki latar belakang dan keahlian yang cukup di bidang PKD. Dana Otonomi Khusus Papua Dana Otsus memberikan kontribusi yang signifikan bagi kapasitas fiskal Prov. Papua. Otonomi khusus Papua bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dan untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain di Indonesia. Dana Otsus, yang besarnya 2% dari pool DAU nasional, terbukti memberikan kontribusi nyata bagi kapasitas fiskal, yaitu sebesar 21.6% selama 2004-2008. Apalagi, mulai tahun 2006, pemerintah pusat memberikan dana Otsus tambahan untuk sektor infrastruktur. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 xiii Dalam rangka Otsus, Pemprov Papua mengadakan program RESPEK dan pendidikan dan kesehatan gratis bagi penduduk asli Papua. Pada awal 2007, Pemprov Papua mencetuskan program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat lokal. Dalam program ini, setiap kampung mendapatkan block grant sebesar Rp 100 juta dari Pemprov yng ditambah oleh Pemkab.kota dengan jumlah yang beragam. Pada bulan Mei 2009, Pemprov Papua mencanangkan program pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat asli Papua. Pendanaan program ini sendiri ditanggung bersama oleh Pemprov dan Pemkab/kota terkait. Pengelolaan dana Otsus masih menghadapi sejumlah masalah, terutama dalam hal transparansi alokasi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini, metode alokasi dana Otsus ke kab/kota masih belum transparan. Memang, variabel penghitungan alokasi sudah dimuat dalam suatu Perdasus, tetapi tidak ada informasi tentang pembobotan setiap variabel tersebut. Kurangnya transparansi ini berimbas pada sulitnya menjelaskan ketimpangan alokasi dana Otsus per kapita antar kab/kota yang cenderung “menguntungkan” kabupaten baru. Permasalahan dalam pengelolaan dana Otsus juga terdapat pada monitoring, evaluasi, dan pertanggungjawaban. Walaupun sudah ada Perdasus tentang pengelolaan dana Otsus, ketaatan kab/kota dalam pelaporan dan pertanggungjawaban dana Otsus masih kurang. Pada tahun 2008, kurang dari setengah Pemkab/kota melaporkan penggunaan dana Otsus. Hal ini menyulitkan Pemprov Papua dan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi keseluruhan tentang pelaksanaan Otsus tahunan. Alokasi Otsus untuk sektor pendidikan dan kesehatan belum sesuai dengan ketentuan. Pada tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor pendidikan dan kesehatan, baik di lingkup Pemprov maupun Pemkab/kota, masih di bawah ketentuan 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan (Gambar 0.9). Masalah ini sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya koordinasi dalam proses perencanaan dan penganggaran tahunan antara Pemprov dan pemkab/ kota. Gambar 0.9 Alokasi Sektoral Otsus Pemprov (a) dan Pemkab/kota di Papua Tahun 2008 Pendidikan, Kesehatan, 6.20 % Bidang Pendidikan, 10.96 % Penunjang, 23.56% 34.25% Infrastruk tur,15.37  % Lainnya, Pember Ͳ 65.64 %  dayaan Kesehatan, Ekonomi Perekonomian 14.13% Rakyat,1.8 Rakyat,16.07%  3%  Infrastruktur, 12.00 % Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dana Otsus,BPK, 2009 Institusi dan SDM Pemerintahan Reformasi birokrasi sudah dimulai di beberapa Pemda dengan dampak yang beragam. PP No. 41/ 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mewajibkan seluruh Pemda untuk meninjau ulang struktur organisasi mereka. Di Papua, Pemprov dan sebagian Pemkab/kota telah Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 xiv menyesuaikan struktur organisasi perangkat daerah menurut PP 41/2007. Penerapan struktur OPD yang baru telah berdampak pada struktur pemerintahan yang lebih ramping dan penurunan anggaran belanja pegawai pada Pemerintah Provinsi Papua. Tetapi, pada kedua kabupaten studi kasus, yaitu Jayapura dan Peg. Bintang, dampak baru terlihat pada perampingan struktur Pemda. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat cukup tinggi selama 2004-2007, yang disebabkan oleh perekrutan di kabupaten baru. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat sebesar 31% selama 2004-2007 (Gambar 0.10a), yang didorong oleh peningkatan sebesar 35.1% di lingkup Pemkab/kota. Meningkatnya PNS Pemkab/kota ini terjadi karena perekrutan PNS yang cukup aktif di kabupaten pemekaran tahun 2002 yang tidak diikuti oleh penurunan jumlah PNS di kabupaten induk yang signifikan. Jumlah PNS ini dipastikan akan meningkat lagi sampai beberapa tahun ke depan untuk mengisi struktur 9 kabupaten baru hasil pemekaran tahun 2007- 2009. Komposisi gender dan latar belakang pendidikan PNS menunjukkan kemajuan berarti. Selama 2004-2007, komposisi gender PNS semakin seimbang di mana proporsi PNS perempuan sudah mencapai 41 % di tahun 2007 (Gambar 0.10b). Pada periode yang sama, proporsi PNS dengan latar belakang pendidikan diploma, S1, dan S2 meningkat cukup signifikan. Gambar 0.10 Perkembangan Jumlah (a) dan Komposisi Gender (b) PNS Provinsi Papua 70 31 60000 42.0% n a u 30 b i 60 R 50000 40.0% 29 50 28 40000 38.0% 40 27 30000 36.0% 30 26 25 20000 34.0% 20 24 10000 32.0% 10 23 0 22 0 30.0% 2004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007 Totalkab/kota PemprovPapua Rasioper1000Penduduk LakiͲlaki Perempuan %Perempuan Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009 Pengelolaan SDM PNS belum berjalan optimal. Permasalahan ini tampak pada dua hal berikut. Pertama, belum ada sistem pengelolaan kepegawaian yang terpadu, sehingga keikutsertaan PNS dalam pelatihan internal maupun eksternal masih ditentukan secara ad hoc dan kurang memperhatikan unsur pemerataan dan kaderisasi. Kedua, promosi dan mutasi PNS terkesan kurang sejalan dengan peningkatan kapasitas. Pada beberapa kesempatan, PNS yang sudah diberikan pelatihan untuk posisi tertentu dimutasi atau dipromosikan ke posisi lain yang tidak sejalan dengan pelatihan tersebut. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 1 PROFIL BAB 1 SOSIAL EKONOMI PROVINSI PAPUA Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 2 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Papua merupakan provinsi dengan sumber daya alam dan sumber daya fiskal yang berlimpah dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Namun demikian, tantangan yang dihadapi provinsi Papua sangat besar, baik secara geografi, topografi dan demografi. Kondisi alam, letak wilayah, dan keadaan sosial-ekonomi masyarakat Papua adalah tantangan yang harus dihadapi oleh berbagai pihak. Sejak dimulainya era otonomi khusus, sudah terlihat adanya perbaikan walaupun masih banyak permasalahan yang harus dibenahi. 1.1. Sejarah Provinsi Papua Pulau Papua sudah dikenal sejak abad ke-15 dengan beberapa nama. Dalam sejarahnya nama Papua digunakan pertama kali di tahun 1545 pada peta ekspedisi Inigo Ortiz de Retez yang bertujuan mencari rempah-rempah di kepulauan Maluku. Pada tanggal 17 Maret 1824, melalui Traktat London, kerajaan Inggris dan Belanda sepakat untuk membagi pulau New Guinea menjadi dua, dimana Belanda mendapatkan bagian barat. Papua dikenal sebagai Nederlandsch Nieuw Guinea hingga Oktober 1962, ketika wilayah itu ditempatkan di bawah kontrol otoritas sementara PBB, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Wilayah itu kemudian dinamai Irian Barat. Di tahun 1973, nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya. Bersamaan dengan perubahan ini, pemerintah Indonesia melakukan percepatan dalam kegiatan pembangunan, meski pembangunan yang dimaksud terjadi sangat lamban dan terkonsentrasi di wilayah pantai utara. Nama Papua kembali digunakan setelah diberlakukannya Undang-undang otonomi khusus provinsi Papua, tahun 2001. Papua menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1963 yang kemudian diperkuat melalui Pepera di tahun 1969. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat diserahkan pada Indonesia. Di bulan November 1963, badan PBB untuk Irian Barat (UN Fund for West Irian, FUNDWI) dibentuk untuk membantu pemerintah Indonesia mempercepat proses pembangunan wilayah tersebut. Tahun 1969, resistensi atas kekuasan Indonesia serta tekanan dari dunia internasional mendorong Indonesia melakukan referendum bagi rakyat Papua untuk memlih mendirikan negara sendiri atau tetap menjadi wilayah Indonesia. Dalam referendum yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), perwakilan Papua memilih untuk tetap menjadi bagian Indonesia. Setelah referendum, wilayah Irian Barat secara resmi menjadi bagian Republik Indonesia. Pada tahun 2001, Provinsi Papua mendapatkan status otonomi khusus. Semenjak otonomi daerah digulirkan, konflik laten dan disintegrasi bangsa dalam masyarakat Papua belum dapat diselesaikan dengan baik. Akibat adanya tekanan politik dan tuntutan dari segenap masyarakat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) kemudian mengamanatkan pemerintah untuk memberikan status otonomi khusus bagi Papua. Sekelompok politisi dan akademisi Papua menyusun draft RUU otonomi khusus Papua. Undang-Undang otonomi khusus Papua memberikan wewenang lebih besar pada Provinsi Papua dalam hal finansial, politik serta sosial. Undang-undang ini memberi penekanan lebih banyak pada tingkat provinsi, kontras dengan UU No. 22/1999 yang memberi penekanan pada kabupaten/kota. Penerapan UU No. 21 berjalan lambat dan tidak menyeluruh. Papua dimekarkan menjadi Papua dan Irian Jaya Barat pada tahun 2004. Awalnya, Provinsi Irian Jaya Barat berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Pemekaran Irian Jaya Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 3 Barat kembali dimantapkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah Provinsi Irian Jaya Barat dilengkapi dengan sistem dan aparatur pemerintahan, wilayah yang jelas, penduduk, anggaran, KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh berdiri dan berpisah dengan wilayah induk Provinsi Papua ketika dilantik gurbernur dan wakil gurbernur definitif pada tanggal 24 Juli 2006. Kemudian pada tanggal tahun 2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007. Saat ini, Provinsi Papua terbagi atas 29 kabupaten/kota, yang sebagian besar merupakan hasil pemekaran 10 tahun terakhir. Sampai berakhirnya era Orde Baru (1998) Provinsi Irian Jaya terdiri atas 8 kabupaten dan 2 kota, di mana 5 kabupaten dan 1 kota berada di wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Papua. Selama 10 tahun berikutnya, 5 kabupaten ini dimekarkan menjadi 28 kabupaten dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang sangat beragam1. Pemekaran ini belum bisa dikatakan meningkatkan kesejahteraan rakyat, walaupun membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membentuk struktur pemerintahan. 1.2. Geografi, Topografi, dan Demografi Tanah Papua memiliki wilayah luas dengan topografi yang bervariasi. Papua terdiri atas suatu daratan luas dan beberapa gugusan pulau. Secara fisik, luas Kepulauan Besar Papua (Papua dan Papua Barat) merupakan wilayah terluas ketiga di Indonesia, dengan luas daratan 414 ribu km2 atau 22% dari total luas Indonesia (lihat Annex 1.1.), yang membujur dari barat ke timur (Sorong-Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 mile) dan dari utara ke selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 736 km (456 mile). Bagian tengah Provinsi Papua terdiri atas pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Terdapat sungai-sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Papua juga memiliki pulau yang berjejer di sepanjang pesisirnya. Gambar 1.1 Peta Topografi Papua 1 Wilayah Kab. Jayawijaya per tahun 1998 sekarang telah terbagi menjadi 7 kabupaten. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 4 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk Papua sangat kecil. Kepadatan penduduk di provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS) 1995, jumlah penduduk Papua sebanyak 1.942.627 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan 3,03 % pertahun. Sedangkan pada tahun 2007 sesuai proyeksi penduduk, jumlah tersebut telah berkembang menjadi 2.015.616 jiwa. Dengan luas wilayah 317.062 km2 (tanpa Papua Barat) berarti kepadatan penduduk Papua hanya mencapai 6,36/km2, sehingga menjadikan Provinsi Papua sebagai wilayah kepadatan penduduk terendah di Indonesia2 di tahun 2007. Sebagian besar penduduk Papua adalah penduduk asli, meskipun ada peningkatan jumlah penduduk pendatang. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, 65% penduduk Papua adalah penduduk asli3. Seiring dengan era desentralisasi dan akses transportasi, jumlah penduduk pendatang telah meningkat jika dibandingkan sensus sebelumnya. Konsentrasi penduduk asli Papua lebih banyak di pedesaan yakni sekitar 86,54% dari total penduduk asli, dan sisanya menyebar di perkotaan yakni sebanyak 13,46%. Dengan 312 kelompok etnis yang berbeda satu sama lain dan menggunakan lebih dari 250 bahasa, Papua menjadi salah satu wilayah yang memiliki budaya dan bahasa paling beragam di dunia. 1.3. Struktur Perekonomian Pertambangan merupakan sektor perekonomian terbesar di Provinsi Papua. Papua memiliki sumber daya pertambangan yang sangat besar. Sepanjang tahun 2000- 2007 sektor pertambangan non migas yang dimotori oleh tambang tembaga berkontribusi sebesar 62,04% dari PDRB provinsi Papua. Sektor ini bersama dengan sektor pertanian, yang juga berbasis sumber daya alam, menyumbang secara rata-rata 77% dalam PDRB Papua tahun 2000-2007. Sisanya 23% tersebar ke sektor-sektor ekonomi lainnya, dimana yang cukup tinggi adalah sektor jasa-jasa yang dipimpin oleh sub-sektor pemerintahan, pertahanan dan keamanan, yakni sebesar 6% per tahun (Gambar 1.2). Gambar 1.2. Struktur PDRB Provinsi Papua Menurut Harga Konstan 2000 Periode 2000-2007 Sumber : BPS Papua (2008)  2 Kepadatan penduduk Indonesia adalah 121/km2 3 Definisi penduduk asli Papua adalah berdasarkan UU No. 21/2001. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 5 Ketergantungan terhadap sektor berbasis sumber daya alam menyebabkan sektor industri di Provinsi Papua masih belum berkembang. Selama tahun 2000- 2007 rata-rata kontribusi sektor industri hanya 2% per tahun di dalam menciptakan PDRB Papua. Karena itu, Papua dikategorikan sebagai wilayah non industri (nonindustries region), karena andil sektor industri dalam menciptakan PDRB dibawah 10%4. Pertumbuhan ekonomi provinsi Papua sangat dipengaruhi oleh sektor pertambangan. Selama periode 2001-2007 jika menyertakan sektor pertambangan non migas (tambang tembaga) pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat, rata-rata hanya 0,15% per tahun. Akan tetapi, jika tingkat pertumbuhan ekonominya dihitung tanpa memasukkan sektor pertambangan non migas (tambang tembaga), perekonomian Papua melaju lebih cepat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6,82% per tahun. Adanya perbedaan hasil perhitungan yang cukup mencolok ini menandakan bahwa sektor pertambangan non migas sangat mendominasi struktur perekonomian Papua, akibatnya pertumbuhan ekonomi wilayah sangat dipengaruhi oleh fluktuasi naik turunnya sektor tersebut. Dalam periode 2001-2007 terlihat pertumbuhan ekonomi Papua (tanpa sektor pertambangan) relatif lebih tinggi dibandingkan Indonesia, oleh karena pada periode tersebut laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,06% per tahun (Gambar 1.3). Gambar 1.3. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Papua dan PDB Indonesia Menurut Harga Konstan 2000 Periode 2001-2007 (dalam %) Tahun Papua Indonesia 2001 5,09 3,64 2002 8,20 4,50 2003 6,63 4,88 2004 4,39 5,13 2005 6,47 5,43 2006 8,33 5,51 2007 8,66 6,32 Rata-rata 6,82 5,06 Sumber : BPS dan BPS Papua (2008) Walaupun PDRB didominasi oleh sektor pertambangan, sektor pertanian mendominasi penyerapan tenaga kerja. Kontribusi sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja di Papua untuk tahun 2005-2007 rata-rata melebihi 75%. Sedangkan sektor pertambangan non migas dalam kurun waktu yang sama sedikitpun tidak mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 1%. Bahkan jika dibandingkan dengan sektor industri yang peranannya sangat rendah dalam struktur PDRB, penyerapan tenaga kerja di 4 Menurut kriteria UNIDO (United Nations for Industrial Development Organization) pengelompokan perkembangan industri adalah Kelompok non-industri (non-industrial country) apabila sumbangan sektor industri terhadap PDB kurang dari 10 persen. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 6 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua sektor pertambangan masih jauh dibawah. Sektor industri untuk kurun waktu yang sama dapat menyerap tenaga kerja rata-rata 1.32% per tahun (Gambar 1.4). Gambar 1.4. Struktur Tenaga Kerja Di Provinsi Papua Tahun 2005-2007 (dalam %)  Sektor Utama 2005 2006 2007   Pertanian 75,76 75,22 75,06  Pertamb & Penggln 0,92 0,83 1,66   Industri Pengolahan 0,79 1,20 1,96  Jasa-jasa & lainnya 22,53 22,75 21,33  Total 100,00 100,00 100,00      Sumber : BPS Papua (2008) Tingkat pengangguran terbuka provinsi Papua secara umum lebih rendah dari rata- rata nasional. Jumlah angkatan kerja Papua pada tahun 1999 tercatat sebanyak 988.588 orang dan 93,58 % diantaranya tercatat sebagai pekerja (mempunyai pekerjaan). Kemu- dian di tahun 2007 jumlah angkatan kerja menjadi 990.774 orang yang terdistribusi pada jumlah yang bekerja sebanyak 95% dan sedang mencari pekerjaan sebanyak 5%. Pada tahun 2007, khususnya bulan Agustus, tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Papua tergolong paling rendah dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Tingkat pengang- guran terbuka di Papua hanya mencapai 5,10% pada tahun 2007. Sedangkan Indonesia sebesar 9,11%, dimana yang paling tinggi di Provinsi Banten yakni sebesar 16,11%. Se- bagian besar penduduk Papua bekerja pada sektor pertanian, baik yang bertujuan untuk kegiatan ekonomi maupun untuk konsumsi sendiri. Perdagangan luar negeri Papua didominasi oleh sektor pertambangan. Secara total, nilai ekspor dan impor provinsi Papua cenderung naik selama beberapa tahun terakhir dan neraca ekspor-impor selalu surplus. Pertambangan non-migas menyumbang hampir dari seluruh nilai ekspor Papua. Surplus perdagangan luar negeri Papua berkisar di an- tara Rp2,41 triliun paling rendah di tahun 2007, dan Rp8,19 triliun paling tinggi tahun 2003. Secara rata-rata surplus perdagangan luar negeri Provinsi Papua sepanjang tahun 2003-2007 adalah sebesar Rp4,79 triliun per tahun (Gambar 1.5[a]). Papua masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap daerah lain. Hal ini ter- lihat dari neraca perdagangan dalam negeri selalu dalam posisi defisit selama periode yang sama. Sebagian besar impor dalam negeri dalam bentuk barang konsumsi dan ba- han baku produksi. Diantara periode 2003-2007 misalnya, perkembangan defisit neraca perdagangan antara pulau di Provinsi Papua setiap tahunnya semakin membesar. Hing- ga tahun 2007, defisitnya sudah mencapai Rp3,24 triliun. Rata-rata defisit perdagangan antar pulau diantara tahun 2003-2007 adalah sebesar Rp1,66 triliun (Gambar 1.5[b]). Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 7 Perkembangan Perdagangan Luar Negeri dan Antar Pulau Provinsi Gambar 1.5. Papua Periode 2003-2007 (dalam triliun rupiah) [a]. Perdagangan Luar Negeri [b]. Perdagangan Antar Pulau Sumber : BPS Papua (2008) Arus modal yang didominasi oleh PMDN dan PMA ke Papua terkonsentrasi pada sektor pertanian dan pertambangan. PMDN didominasi oleh sektor pertanian, sedangkan mayoritas PMA adalah di sektor pertambangan. Total realisasi nilai penanaman modal selama periode 2000-2007 kurang lebih mencapai Rp480,67 triliun, dengan komposisi PMA sekitar 94% dan PMDN sebanyak 6%. Contohnya untuk periode 2004-2007, hasrat pihak swasta untuk berinvestasi melalui fasilitas PMDN lebih banyak tercurah pada sektor pertanian dibandingkan pada sektor industri dan jasa-jasa, lihat Gambar 1.6[a]. Realisasi PMDN untuk sektor-sektor berbasis pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan dan industri perkayuan) sangat mendominasi komposisi PMDN di Papua, kurang lebih andilnya terhadap total PMDN sebesar 63,92% per tahun, yang lebih terkonsentrasi pada sektor perkebunan dan industri kayu. Pihak swasta asing lebih memilih investasi di sektor pertambangan dan jasa. Seperti yang direkam dalam komposisi realisasi nilai PMA selama periode 2004- 2007, kontribusi rata-rata PMA pada sektor jasa adalah sebesar 14,45% per tahun. Sedangkan untuk sektor pertambangan (tambang tembaga) mencapai 79,37% per tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.6[b]. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 8 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Gambar 1.6. Struktur Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri Provinsi Papua Periode 2004-2007 (dalam %) [a]. Penanaman Modal Dalam Negeri [b]. Penanaman Modal Asing Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah) Perluasan investasi di Papua terbentur oleh berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain: (1) kondisi infrastruktur yang masih sangat terbatas, (2) letak Provinsi Papua yang jauh dari pasar, (3) kurangnya tenaga kerja yang terdidik dan siap pakai, dan (4) adanya hambatan birokrasi yang panjang dari beberapa instansi teknis. Disamping itu investor masih juga dihadapkan dengan biaya transaksi (transaction cost) yang sangat tinggi, terutama sekali biaya lobi dengan adat dalam hal pengurusan klaim hak ulayat. Selama beberapa tahun terakhir, angka inflasi Provinsi Papua cenderung kurang stabil dan di atas rata-rata nasional. Untuk tahun 2005 dan 2007, tingkat inflasi di Kota Jayapura ada pada posisi tinggi yang dapat menganggu kestabilan perekonomian wilayah. Seperti yang disajikan pada Gambar 1.7, tingkat inflasi di tahun 2005 adalah sebesar 14,15%, kemudian di tahun 2007 sebesar 10,37%. Pemerintah selama ini kurang mampu menekan kenaikan harga dan mengendalikan inflasi. Kenaikan harga- harga umum selama periode tersebut berada pada kisaran yang cukup tinggi dengan rata-rata sekitar 10,37% per tahun. Kondisi ini jauh berbeda dengan kecenderungan inflasi nasional. Untuk periode yang sama rata-rata inflasi nasional adalah sebesar 8,35% per tahun (Gambar 1.7). Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 9 Gambar 1.7. Perkembangan Inflasi di Kota Jayapura dan Indonesia Tahun 2003- 2007 (dalam %)  Tahun Papua Nasional 2003 8,39 5,06 2004 9,45 6,40 2005 14,15 17,11 2006 9,52 6,60 2007 10,35 6,59 2 Rata 10,37 8,35 Sumber : BPS dan BPS Papua (2008) Kecenderungan pada tahun terakhir kelompok bahan makanan merupakan kontributor inflasi terbesar di Provinsi Papua. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 1.1, untuk tahun 2001 dan 2004, kelompok pendidikan, olah raga dan rekreasi menjadi penyumbang terbesar dalam perkembangan inflasi di Provinsi Papua, dimana hal ini disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan di Papua dan cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun 2002 dan 2005 sumber penyebab inflasi paling besar adalah kelompok transportasi dan komunikasi, yang bergerak mengikuti kecenderungan harga BBM. Kemudian di tahun 2006 dan 2007, yang paling besar menciptakan inflasi adalah kelompok bahan makanan, terutama sekali bersumber pada kenaikan harga-harga. Tabel 1.1. Perkembangan Inflasi Kota Jayapura Menurut Komponen Tahun 2001-2007 (dalam %) Komponen Inflasi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Bahan Makanan 10,85 18,13 10,02 5,96 2,66 5,15 7,37 Makanan, Minum, Rokok dll 11,55 8,56 9,48 10,38 6,69 2,86 0,87 Perumahan 18,85 9,34 12,53 13,85 3,39 1,25 1,48 Sandang 8,46 5,07 2,38 1,73 2,53 0,29 0,38 Kesehatan 9,62 4,68 2,31 3,19 3,89 0,08 0,05 Pendidikan & Olah Raga 23,08 12,67 3,18 37,36 4,15 0,42 0,17 Transportasi & Komunikasi 18,19 25,5 1,44 8,01 18,56 -0,25 0,03 Umum 14,00 13,91 8,39 9,45 5,48 9,52 10,35 Sumber : BPS Papua (2008) 1.4. Kesejahteraan Penduduk Tren pendapatan per kapita Papua jika dilihat dengan memasukkan sektor pertambangan terlihat sangat tinggi. Rata-rata selama tahun 2003-2007 adalah Rp10,1 juta per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita Indonesia sebesar Rp8 juta per kapita per tahun untuk periode yang sama. Akan tetapi jika dalam perhitungannya sektor pertambangan di keluarkan, ternyata pendapatan per kapita Provinsi Papua menjadi sangat rendah yakni hanya Rp4,2 juta per kapita per tahun, jauh di bawah pendapatan per kapita Indonesia. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 10 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Tabel 1.2. Perkembangan PDRB Per Kapita Provinsi Papua dan Indonesia Tahun 2003-2007 (rupiah) Provinsi Papua Tahun Indonesia Tambang Tanpa Tambang 2003 11,524,613 3,931,309 7,330,498 2004 8,768,148 4,030,483 7,655,520 2005 11,479,648 4,104,444 7,999,375 2006 9,311,146 4,371,134 8,313,201 2007 9,513,757 4,653,807 8,721,325 Rata-rata 10,119,462 4,218,236 8,003,983 Sumber : BPS Papua (2008) dan BPS (2009) PDRB per kapita non pertambangan cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh untuk tahun 2003-2007, rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita Papua tanpa memasukan sektor pertambangan adalah sebesar 4,33% per tahun. Dimana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 6,50% dan 6,47%, untuk jelasnya lihat Gambar 1.8. Gambar 1.8. Pertumbuhan PDRB Per Kapita Menurut Harga Konstan 2000 Provinsi Papua 2003-2007  Tanpa Tahun Tambang Tambang 2004 Ͳ23,92 2,52 2005 30,92 1,84 2006 Ͳ18,89 6,50 2007 2,18 6,47 RataͲRata Ͳ2,43 4,33 Sumber : BPS Papua (2008) Hanya saja, peningkatan PDRB per kapita ini didominasi oleh kelompok berpenghasilan tinggi. Dimana berdasarkan perkembangan persentase pembagian total pendapatan selama ini lebih banyak dinikmati oleh sebagian kecil atau 20% rumah tangga yang berpendapatan tinggi, yang memperoleh pembagian pendapatan kurang lebih 43,38% per tahun. Sedangkan 40% rumahtangga yang berpendapatan rendah hanya mendapat bagian pendapatan sekitar 18% per tahun. Rata-rata rasio pembagian pendapatan diantara rumahtangga yang berpendapatan tinggi dengan rendah adalah sebesar 2,42 yang menandakan untuk setiap pembagian pendapatan sebesar 1% pada rumahtangga berpendapatan rendah maka rumahtangga berpendapatan tinggi akan memperoleh pembagian pendapatan sebesar 2,42% (BPS Papua, 2006). Dari serangkaian angka persentase tersebut dapat dikatakan bahwa di Provinsi Papua telah terjadi ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga yang cukup tinggi. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 11 Tabel 1.3. Persentase Pembagian Total Pendapatan Per Kapita di Provinsi Papua Tahun 1996-2003 Distribusi Pendapatan 1996 1999 2003 Rata-rata 40% pembagian pendapatan 18,67 17,5 17,6 17,92 rendah 40% pembagian pendapatan 35,79 37,4 42,9 38,70 sedang 20% pembagian pendapatan tinggi 45,54 45,1 39,5 43,38 Rasio pembagian pendapatan tinggi terhadap pembagian 2,44 2,58 2,25 2,42 pendapatan rendah Sumber : BPS Papua (2006) Selain itu, terjadi ketimpangan PDRB per kapita yang besar antara kabupaten/kota di Provinsi Papua. Kondisi ini diakibatkan munculnya kantong-kantong ekonomi yang sangat mendominasi perekonomian Papua. Daerah yang kaya akan sumber daya pertambangan non migas yakni Kabupaten Mimika memiliki pendapatan perkapita yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Pendapatan per kapita Kabupaten Mimika sepanjang tahun 2003 hingga 2007 rata-rata mencapai Rp91,59 juta per tahun, sedangkan untuk daerah lainnya hanya Rp4,45 juta per tahun. Meskipun sektor pertambangan non migas dieliminasi dalam perhitungan PDRB, tetap saja ketimpangan antar wilayah di Provinsi Papua masih terlihat tinggi. Khususnya ketimpangan antar daerah pesisir dengan daerah pedalaman dan pegunungan. Daerah pesisir seperti Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Nabire, Biak Numfor dan sebagainya, rata-rata memiliki pendapatan per kapita kurang lebih sebesar Rp5,34 juta per tahun, lihat Gambar 1.9. Sedangkan di daerah pedalaman dan pegunungan seperti Kabupaten Puncak Jaya, Tolikara, Pegunungan Bintang dan Jayawijaya mempunyai pendapatan per kapita sekitar Rp1,97 juta per tahun. Gambar 1.9. Kesenjangan Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota di Daerah Pesisir dan Pedalaman/Pegunungan Provinsi Papua 2003-2007 (dalam juta rupiah) Tahun Pesisir Dalam/Gunung Range 2003 4,43 1,95 2,48 2004 5,16 1,86 3,29 2005 5,36 1,91 3,45 2006 5,92 2,00 3,92 2007 6,33 2,13 4,20 2 Rata 5,44 1,97 3,47 Sumber : BPS Papua (2008) IPM Provinsi Papua cenderung meningkat akan tetapi masih yang terendah dibanding provinsi-provinsi lain. Papua mengalami peningkatan IPM dari 60,9 di tahun 2004 hingga menjadi 63,4 di tahun 2007 (Tabel 1.4). Namun apabila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, IPM Papua tetap yang terendah dan berada pada urutan paling akhir yakni ke-33. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 12 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Tabel 1.4. Provinsi Papua Dalam Urutan IPM Indonesia Tahun 2004-2006 Sumber : BPS (2009) Angka kemiskinan di Provinsi Papua masih tetap yang tertinggi di Indonesia, walaupun sudah membaik di tahun 2008. Dilihat dari jumlah penduduk, wilayah ini sebenarnya merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terkecil. Masyarakat Papua yang terdiri atas ratusan suku kebanyakan masih hidup di daerah pedalaman. Meskipun Provinsi Papua memiliki kekayaan yang sangat besar, di mana cadangan tembaga dan emas yang dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar pertambangan telah menghasilkan jutaan dolar dan memberi penerimaan pajak yang sangat besar bagi pemerintah pusat, namun kehidupan masyarakat Papua masih teramat miskin, bahkan terus menerus masuk dalam 5 provinsi termiskin di Indonesia. Sebagai contoh untuk periode 2005-2007, berdasarkan headcount index tingkat kemiskinan di Provinsi Papua selalu berada paling atas dalam kelompok wilayah termiskin di Indonesia, perhatikan Gambar 1.10. Gambar 1.10. Lima Provinsi Yang Memiliki Penduduk Miskin Terbesar Di Indonesia Tahun 2003- 2007 (dalam %)  Provinsi 2005 2006 2007 2008  Papua 40,83 41,52 40,78 37,08  Maluku 32,28 33,03 31,14 29,66  NTT 28,19 29,34 27,51 25,65  NTB 25,92 27,17 24,99 23,81 Lampung 21,42 22,77 22,19 20,98 Indonesia 16,69 17,75 16,58 15,42  Sumber:BPSPapua,2008(diolah) Ketimpangan antar kabupaten/ kota di Provinsi Papua juga sangat terlihat dalam hal angka kemiskinan. Seperti yang divisualisasikan dalam Gambar 1.11, dari total penduduk miskin Papua sebanyak 793.400 jiwa, Kabupaten Jayawijaya menempati ranking pertama dengan proporsinya sebesar 13,83%, kemudian Kabupaten Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang yang kedua sebesar 13,22%, ketiga adalah Kabupaten Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua 13 Nabire sebesar 9,57%, Kabupaten Yahukimo diurutan keempat sebesar 8,75%, dan kelima Kabupaten Paniai sebesar 7,68%. Gambar 1.11. Distribusi Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Papua Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 umber : BPS Papua, 2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 14 Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah PENDAPATAN DAN BAB 2 PEMBIAYAAN DAERAH Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah 15 Sejak pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti otonomi khusus Papua, pendapatan transfer pemerintah daerah di Papua terus meningkat dan mendominasi penerimaan daerah, seperti Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, DAU, DAK dan Dana Otsus Papua. Dominasi pendapatan transfer ini mengakibatkan rendahnya kemandirian fiskal daerah. Masalah kemandirian fiskal ini semakin meluas karena tren pemekaran wilayah di Papua. Selain itu besarnya transfer dari pusat banyak disertai dengan lemahnya sistem perencanaan dan penganggaran yang mengakibatkan munculnya Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA). Jumlah SiLPA ini nominalnya relatif besar apabila dibandingkan dengan pendapatan dan PAD daerah. 2.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Papua merupakan provinsi dengan kapasitas fiskal per kapita terbesar kedua di Indonesia. Saat ini, seperti terlihat pada Gambar 2.1, kapasitas fiskal per kapita Provinsi Papua merupakan yang terbesar setelah Papua Barat dan lebih dari tiga kali lipat di atas rata-rata nasional1. Tren ini sudah tampak sejak dimulainya otonomi daerah dan otonomi khusus2. Walaupun kapasitas fiskal per kapita yang besar ini juga disebabkan oleh jumlah penduduk yang relatif sedikit, hal ini mengindikasikan bahwa Pemprov dan Pemkab/kota mempunyai sumber daya fiskal yang cukup untuk mendorong pembangunan. Gambar 2.1 Kapasitas Fiskal per Kapita untuk Seluruh Provinsi di Indonesia (2008) 10 JutaRupiah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Aceh Jawa Barat Average Sulawesi Barat Bengkulu Riau Kepulauan Bali Kalimantan Barat Bangka Belitung Papua Barat Banten Papua Gorontalo Maluku Sumatera Utara Jambi DKI Jakarta Sulawesi Tenggara Jawa Tengah Sumatera Barat Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Lampung Sulawesi Utara Maluku Utara Riau Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur DI Yogyakarta Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sumber: Sistem Informasi Keuangan Daerah yang diolah oleh staf Bank Dunia Pendapatan daerah di Provinsi Papua terus mengalami peningkatan. Meskipun fluktuatif, perkembangan pendapatan Provinsi Papua secara umum mengalami peningkatan di mana pendapatan tertinggi Provinsi Papua terjadi tahun 2008 yaitu sebesar Rp15,8 triliun. Pemerintah kabupaten/kota mengelola sebagian besar pendapatan yang ada di Provinsi Papua. Pada tahun 2008 seluruh kabupaten/kota mengelola 75% dari total pendapatan di provinsi ini. Meskipun nilai nominal pendapatan cenderung naik, nilai riil pendapatan ini menunjukkan tren yang cenderung datar sejak tahun 2006. Perkembangan dan komposisi pendapatan Provinsi Papua selama tahun 2004-2008 dapat dilihat di Tabel 2.1. 1 Jika Otsus dikeluarkan dari estimasi, kapasitas fiscal per kapita Prov. Papua akan menjadi ketiga terbesar. 2 Mengacu pada Laporan Pengeluaran Publik Papua 2005 [WB2005] Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  16 Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah Gambar 1.2 Perkembangan Pendapatan Pemprov dan Pemkab/kota di Papua 2004-2008 Pe me rintah Prov insi Pe me rintah Kab/Kota 4,500 14,000 4,000 3,500 12,000 10,000 miliar Rp 3,000 miliar Rp 2,500 8,000 2,000 6,000 1,500 1,000 4,000 500 2,000 0 0 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 PAD Dana Perimbangan PAD Dana Perimbangan Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah Total pendapatan riil Pemprov Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah Total pendapatan riil Pemkab Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran, angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 Tabel 2.1 Komposisi Pendapatan Provinsi Papua 2004-2008 (miliar Rp) Jenis Pendapatan 2004 2005 2006 2007 2008 Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah 224 192 215 241 231 Retribusi Daerah 68 58 72 68 59 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang 42 47 44 72 79 Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang 177 85 132 208 124 Sah Dana Perimbangan Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan 816 1,170 1,954 1,925 1,810 Pajak Dana Alokasi Umum 4,882 4,370 7,701 7,324 7,121 Dana Alokasi Khusus 504 446 926 1,661 1,780 Lain-Lain Penerimaan Dana Otonomi Khusus 1,350 1,512 2,991 3,432 3,274 Bagian Lain-Lain Penerimaan Yang Sah 317 105 81 273 6 Jumlah 8,380 7,985 14,116 15,204 14,483 Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; semua angka adalah nominal 2.2. Dana Perimbangan dan Otonomi Khusus Kontribusi dana perimbangan dalam APBD Pemprov dan Pemkab/kota sangat dominan. Dana perimbangan untuk pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota selama 2004-2008, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.2, rata-rata menyumbang 74% bagi total pendapatan. Bahkan, bila dana perimbangan ini digabungkan dengan dana Otsus didalamnya, kontribusinya menjadi lebih dari 95%. Adapun komponen dana perimbangan yang terbesar adalah DAU, yang menyumbang 70% dari total dana perimbangan. Dana Otsus meningkatkan kapasitas fiskal Pemprov dan Pemkab/kota secara signifikan. Selama 2004-2008, dana Otonomi Khusus menyumbang sekitar 16-23% bagi kapasitas fiskal Provinsi Papua, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Kontribusi ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah adanya dana otonomi khusus untuk infrastruktur yang dimulai pada tahun 2006. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah 17 Gambar 2.3 Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 2004-2008 Pe me rintah Prov insi Pe me rintah Kab/Kota 2,500 12,000 2,000 10,000 8,000 miliar Rp miliar Rp 1,500 6,000 1,000 4,000 500 2,000 0 0 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 DBH Pajak/Bukan Pajak DAU DBH Pajak/Bukan Pajak DAU DAK Total dana perimbangan riil Pemprov DAK Total dana perimbangan riil Pemkab/kota Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 DAK pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Papua terus mengalami peningkatan. Peran DAK dalam dana perimbangan di tingkat kabupaten/kota terus meningkat dari hanya 9% (2004) menjadi 12% (2008), walaupun secara nominal masih relatif rendah dibandingkan DAU. Namun demikian peran DAK (r37%) hampir sama besarnya dengan DAU (r44%) pada pemerintah provinsi di tahun 2007-2008. Dana Bagi Hasil di Provinsi Papua didominasi oleh pemasukan dari kegiatan pertambangan terutama tembaga dan emas. Provinsi Papua mengalami lonjakan penerimaan dari Dana Bagi Hasil pada tahun 2006 sebesar Rp1,77 triliun, atau hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dan cenderung tidak banyak berubah pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan PP No. 5/2005 daerah menerima kembali sebesar 80% dari penerimaan negara berupa royalti dan land rent untuk kegiatan pertambangan umum, termasuk pertambangan emas dan tembaga. Daerah penghasil tambang utama seperti Kabupaten Mimika mendapatkan Dana Bagi Hasil sebesar Rp599 miliar pada tahun 2007, jauh lebih tinggi daripada kabupaten lain yang bukan penghasil (misalnya Kabupaten Nabire tahun 2007 hanya menerima Dana Bagi Hasil Rp46 miliar)Kesenjangan fiskal antar kab/kota di Papua sangat Box 2.1 Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum Berdasarkan PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan, Dana Bagi Hasil pertambangan umum yang berasal dari kab/kota didapat dari iuran tetap (land rent) dan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dengan pengaturan sebagai berikut: 1. Land rent (80%): a. Untuk provinsi bersangkutan 16% b. Untuk kab/kota penghasil 64% 2. Royalty (80%): a. Untuk provinsi bersangkutan 16% b. Untuk kab/kota penghasil 32% c. Untuk kab/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan 32% (dibagi rata) besar. Seperti terlihat pada gambar 2.4, pendapatan per kapita kab/kota di Prov. Papua berkisar dari Rp2,4 juta (Kab. Jayawijaya) sampai Rp18,9 juta (Kab. Sarmi), atau berbeda hampir delapan kali lipat. Jika kita lihat lebih detil, enam kab/kota dengan angka terbesar merupakan kabupaten-kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2002. Tingginya pendapatan daerah perkapita kabupaten-kabupaten ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang sedikit, namun memiliki pendapatan dari APBD yang relatif di atas rata-rata Papua sebesar Rp647 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  18 Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah miliar. Dana Otsus tidak berpengaruh banyak dalam mengurangi kesenjangan ini, di mana rasio tertinggi-terendah hanya berkurang dari 7.9 ke 7.73. Gambar 2.4 Pendapatan Daerah per Kapita untuk Pemkab/kota di Prov. Papua tahun 2007 Kab.Jayawijaya 2.4 Kota Jayapura 2.5 Kab.Nabire 3.4 Kab.Biak Numfor 4.4 Kab.Puncak Jaya 4.8 Kab.Paniai 5.2 Kab.Merauke 5.6 Kab.Yapen Waropen 5.8 Kab.Pegunungan Bintang 6.1 Kab.Asmat 6.8 Kab.Jayapura 6.9 Kab.Mimika 7.2 Kab.Mappi 8.1 Kab.Tolikara 9.5 Kab.Keerom 11.1 Kab.Supiori 12.5 Kab.Boven Digoel 17.9 Kab.Waropen 18.2 Kab.Sarmi 18.9 Ͳ 5 10 15 20 jutaRp Sumber : APBD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun 2007 2.3. Pendapatan Asli Daerah Kondisi di tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di atas menggambarkan ketergantungan dari transfer pemerintah pusat. Hal ini berdampak pada rendahnya kemandirian fiskal daerah untuk membiayai pembangunan di Papua. Kemandirian fiskal didefinisikan sebagai kemampuan daerah untuk membiayai belanjanya yang ditunjukkan dengan membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pendapatan. Tren pemekaran menjadi tantangan yang harus diseriusi apabila melihat pada rendahnya tingkat kemandirian fiskal Provinsi Papua. Provinsi Papua mengalami penambahan kabupaten/kota dari hanya 20 kabupaten/kota pada 2005 menjadi 29 kabupaten/kota pada 2008. Fenomena pemekaran yang pesat di Papua yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada kenyataannya menghadapi tantangan berupa kemandirian fiskal yang masih rendah. Kemandirian fiskal yang rendah ini tercermin dalam rasio PAD terhadap total pendapatan Provinsi Papua yang hanya sebesar rata-rata 5%. Kemandirian fiskal ini bahkan semakin menurun dari 6,1% di tahun 2004 menjadi 3,5% di tahun 2008. Proporsi PAD terhadap total pendapatan masih rendah. PAD sebagai salah satu unsur pembentuk kemandirian fiskal cenderung fluktuatif selama periode 2004-2008 sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.5 di bawah. 3 Gambaran Otsus per kapita dapat dilihat pada Gambar 6.3. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah 19 Gambar 2.5 Perkembangan PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 2004-2008 Pe me rintah Prov insi Pe me rintah Kabupate n/kota Lain-lain Pendapatan Asli 400 Lain-lain Pendapatan Asli 300 Daerah Yang Sah Daerah Yang Sah 350 250 300 Hasil Pengelolaan Kekayaan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Daerah yang Dipisahkan 200 250 miliar Rp miliar Rp 200 Retribusi Daerah 150 Retribusi Daerah 150 100 100 Pajak Daerah Pajak Daerah 50 50 0 Total PAD riil Pemprov 0 Total PAD riil Pemkab/Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 Pajak daerah sebagai komponen PAD paling dominan untuk Pemerintah Provinsi Papua. PAD Pemerintah Provinsi Papua terutama berasal dari pajak daerah dan berperan sekitar 69% dari total PAD selama 2004-2008. Pajak kendaraan bermotor menjadi penyumbang utama pajak daerah di Pemerintah Provinsi Papua. Kontribusi Lain-Lain PAD Yang Sah terhadap total PAD Kabupaten/Kota relatif besar. Lain-lain PAD yang sah selama periode 2004-2008 berkontribusi sebesar 42% dari total APBD Kabupaten/Kota. Contoh dari komponen ini adalah penerimaan jasa giro (bunga) yang diterima pemerintah daerah. Sumber PAD utama lainnya di kabupaten/kota di Papua adalah Retribusi Daerah dengan kontribusi sebesar rata-rata 23%. Sejumlah kabupaten di Papua menunjukkan indikasi belum memiliki payung hukum pemungutan pajak maupun retribusi daerah. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2008 untuk LKPD tahun 2007 ditemukan bahwa Kabupaten Asmat memungut pendapatan asli daerah (PAD) dengan menggunakan Perda kabupaten induk Merauke. 2.4. Pembiayaan SiLPA merupakan komponen utama penerimaan pembiayaan daerah. Pada tahun 2007 Pembiayaan Penerimaan Provinsi Papua semuanya berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). SiLPA Pemerintah Provinsi pada tahun 2007 mencapai Rp673 miliar atau setara 11% dari total pendapatan dan bahkan hampir dua kali lipat dari PAD Pemerintah Provinsi yang hanya sebesar Rp345 miliar. Meskipun demikian SiLPA gabungan seluruh kabupaten/kota mengalami penurunan dari Rp1,5 triliun (2007) menjadi Rp490 miliar (2008) atau setara dengan 5% total pendapatan kabupaten/kota. Besarnya SiLPA juga disebabkan oleh terlambatnya dana Otsus yang diterima oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai contoh pencairan dana Otsus tahun 2008 tahap III dan IV ke pemerintah provinsi baru terjadi pada bulan November tahun bersangkutan. Keterlambatan pencairan dana Otsus ke provinsi tentu berakibat pada terlambatnya transfer ke pemerintah kabupaten/kota. Sebagian besar Pembiayaan Pengeluaran ditujukan untuk Dana Cadangan. Pada level pemerintah provinsi, alokasi Pembiayaan Pengeluaran sebagian besar adalah untuk Dana Cadangan sebesar sekitar 90 persen. Sementara itu pada tahun 2008 sebagian besar pengeluaran pembiayaan oleh kabupaten/kota didominasi oleh pembentukan dana cadangan Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  20 Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah dan pembayaran pokok utang yang keduanya mencakup 78% dari total pengeluaran pembiayaan. Tabel 2.2 Komposisi Pembiayaan Provinsi Papua 2007-2008 (juta Rp) 2007 2008 Provinsi Kabupaten/Kota Provinsi Kabupaten/Kota Penerimaan Pembiayaan 673,618 1,630,970 623,518 SiLPA 673,618 1,503,631 490,285 Pencairan dana cadangan 23,400 Penerimaan pinjaman daerah 103,939 133,233 Pengeluaraan Pembiayaan 188,692 97,734 339,808 Pembentukan dana cadangan 164,000 88,849 140,652 Penyertaan modal 5,000 8,885 70,679 Pembayaran pokok utang 19,692 124,301 Pemberian pinjaman daerah 4,176 Sumber: Depkeu 2.5. Rekomendasi Pemerintah daerah perlu untuk terus berupaya meningkatkan PAD untuk mencapai kemandirian fiskal. Peran PAD dalam total pendapatan daerah di Provinsi Papua untuk periode 2004-2008 cenderung menurun apabila dibandingkan dengan data beberapa tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah perlu lebih inovatif dalam meningkatkan PAD dengan menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pemungutan pajak dan non-pajak. Selain itu masih rendahnya perkembangan ekonomi lokal berdampak pada kurangnya penerimaan dari pajak dan retribusi daerah. Investasi fisik dan non-fisik serta penciptaan iklim usaha yang dapat menarik investor diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak maupun non-pajak. Payung hukum PAD harus diterbitkan pemerintah daerah. Sejumlah kabupaten di Papua terindikasi belum memiliki payung hukum untuk melaksanakan pemungutan pajak maupun retribusi daerah. Hal ini merupakan bentuk ketidakpatuhan pemda pada aturan bahwa pajak dan retribusi hanya dapat dipungut bila ditetapkan perdanya. Demikian juga bahwa peraturan daerah mengenai pungutan pajak maupun non-pajak harus tidak bersifat distortif agar iklim usaha tetap terjaga. SiLPA yang relatif besar terutama di kabupaten/kota menunjukkan perlunya pengelolaan keuangan yang lebih baik melalui penyusunan anggaran kas. Adanya SiLPA berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan program dan kegiatan SKPD. Penyusunan anggaran kas yang baik akan dapat mengatur jadwal waktu penerimaan dan pembayaran program dan kegiatan terutama yang didanai dari dana otonomi khusus. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 3 Belanja Daerah 21   BELANJA BAB 3 DAERAH Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 22 Bab 3 Belanja Daerah Sejalan dengan meningkatnya pendapatan daerah, belanja Provinsi Papua juga meningkat selama beberapa tahun terakhir. Alokasi belanja menurut sektor, masih memperlihatkan belanja administrasi umum sebagai belanja terbesar; namun ada kecenderungan yang baik dari indikasi peningkatan belanja pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sementara menurut klasifikasi ekonomi, belanja modal merupakan komponen belanja terbesar dalam tiga tahun terakhir (sejak 2006). Juga ditemukan bahwa indikasi kenaikan belanja belum efektif mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Belanja Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Dekon/TP) proporsinya cenderung turun terhadap total belanja di Provinsi Papua. 3.1. Gambaran Umum Belanja Pengeluaran pemerintah di Papua terus berkembang. Semakin bertambahnya kapasitas fiskal dan adanya komitmen pemerintah yang terus berupaya untuk meningkatkan pembangunan berimbas pada pengeluaran pemerintah dari sumber APBN dan APBD yang semakin meningkat. Belanja yang lebih besar diharapkan dapat memacu sektor-sektor ekonomi dan sumber daya yang belum dikelola secara maksimal melalui penyediaan berbagai infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pasar, dan lainnya. Semua ini akhirnya membuat perkembangan pengeluaran pemerintah di Provinsi Papua yang bersumber pada APBD dan APBN selama periode 2004-2008 mengalami pertumbuhan cukup cepat yang secara riil rata-rata tumbuh sebesar 15% per tahun. Gambar 3.1. Tren Pengeluaran Pemerintah Di Provinsi Papua (APBD dan APBN) 2004-2008 20,000 18,000 16,000 miliar Rp 14,000 12,000 12,201 10,150 10,000 8,000 7,357 6,000 4,674 4,461 4,000 3,823 3,606 1,806 2,269 2,000 1,447 1,103 1,249 1,519 2,137 2,149 - 2004 2005 2006 2007 2008 APBN (Dekon dan TP) APBD Pemerintah Provinsi APBD Kabupaten/Kota Total Belanja Riil APBD+APBN Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 Proporsi belanja yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di Papua cenderung menurun terhadap total belanja publik. Kontribusi belanja APBN selama periode 2004-2008 berkisar antara 12-16% dihitung dari total belanja pemerintah pusat dan daerah di Papua. Namun, peran belanja APBN (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) cenderung mengecil karena di tahun 2004 tercatat sebesar Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 3 Belanja Daerah 23 15,7%, dan terus menurun menjadi 12% pada tahun 2008, dengan rata-rata sebesar 14% per tahun. Tiap tahunnya Provinsi Papua menerima dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan mencapai rata-rata Rp1,63 triliun. Total belanja pemerintah kabupaten/kota jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pemerintah provinsi Papua. Selama kurun waktu 2004-2008, proporsi belanja kabupaten/kota mencapai 3/4 dari total belanja pemerintah daerah di Papua. Rata-rata pertumbuhan nominal belanja pemerintah kabupaten/kota adalah sebesar 30% sedangkan rata-rata pertumbuhan riilnya 17% per tahun. Di satu sisi, hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena pemerintah kabupaten/kota memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam penyediaan layanan publik. Di sisi lain, kenyataan ini menuntut pemerintah kabupaten/ kota agar lebih memprioritaskan anggarannya bagi sektor- sektor prioritas. Pertumbuhan belanja di Papua melonjak tinggi tahun 2006 dan 2007. Dalam waktu dua tahun berturut-turut yakni tahun 2006 dan 2007, perkembangan belanja pemerintah (APBD dan APBN) mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dibandingkan tahun sebelumnya hingga mencapai 44% di tahun 2006 dan 45% pada tahun 2007. Fenomena kenaikan ini berskala nasional disebabkan oleh naiknya DAU nasional karena asumsi harga minyak yang lebih tinggi. 3.2. Komposisi Belanja Menurut Bidang1 Alokasi belanja bidang administrasi umum pemerintah daerah sangat mendominasi struktur belanja daerah. Total belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, selama periode 2004 hingga 2008 mencapai Rp51,8 triliun, atau rata- rata sebesar Rp10,4 triliun per tahun. Dari total belanja tersebut, proporsi belanja bidang administrasi umum terhadap total belanja mencapai rata-rata sebesar 50% per tahun, dan tumbuh sebesar 31% per tahun. Namun secara riil pertumbuhan belanja bidang ini hanya sebesar 17% per tahun selama periode 2004-2008. Sesudah belanja bidang adminitrasi umum, pemerintah daerah terlihat memprioritaskan alokasi belanja pada bidang pekerjaan umum (14%), bidang pendidikan dan kebudayaan (14%), serta bidang kesehatan (8%). Tebel 3.1 Tabel 3.1 . Komposisi Belanja Komposisi BelanjaMenurut Bidang Menurut di Provinsi Bidang Papua Tahun di Provinsi 2007 Papua Tahun 2007 Sektor Provinsi Kabupaten/Kota Administrasi umum pemerintahan 56% 54% - RESPEK 11% - Lainnya 45% Pendidikan 5% 13% Kesehatan 6% 8% Pekerjaan umum 17% 11% Perhubungan 7% 3% Pertanian 2% 3% Lainnya 7% 8% Total 100% 100% Sumber: APBD Tahun 2007 Catatan: Dana Otsus dialokasikan ke sejumlah bidang yang ada di tabel di atas 1 Komposisi belanja sektor yang detil dapat dilihat pada tabel A.2, A.3. dan A.4 pada lampiran. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 24 Bab 3 Belanja Daerah Sektor pertanian sebagai salah satu sektor strategis relatif mendapat proporsi belanja yang kecil dibandingkan sektor-sektor strategis lainnya. Peran sektor pertanian sangat dominan dalam menunjang perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja, namun sektor ini hanya memperoleh alokasi belanja antara 2-3% per tahun. Walau demikian pemerintah daerah dapat dinilai telah berusaha untuk meningkatkan belanja pada sektor pertanian yang terlihat dari angka pertumbuhan nominal belanja sebesar 44% per tahun atau secara riil tumbuh sebesar 29%. Belanja bidang administrasi umum pemerintahan masih mendapat porsi yang paling besar, baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Sepanjang tahun 2004-2008, belanja bidang administrasi umum pemerintahan di tingkat provinsi mendapat porsi yang terbesar (rata-rata 51% per tahun), sedangkan di tingkat kabupaten/kota mencapai 50% per tahun. Komponen belanja bidang administrasi umum di tingkat pemerintah provinsi terdiri dari belanja bantuan sosial, hibah, belanja bagi hasil penerimaan, belanja program RESPEK, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal dan belanja lainnya. Di tingkat pemerintah kabupaten/kota, belanja administrasi umum terdiri dari belanja bantuan sosial, hibah, belanja bagi hasil penerimaan, belanja barang dan jasa, belanja pegawai, belanja modal, dan belanja lainnya, Di luar sektor administrasi umum pemerintahan, terdapat perbedaan sektor prioritas belanja antara pemerintah kabupaten/kota berbeda dan pemerintah provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, sepanjang tahun 2004-2008, sektor dengan proporsi belanja terbesar kedua adalah sektor pendidikan dengan proporsi rata-rata 16% dan pertumbuhan rata-rata 20% per tahun (atau secara riil sebesar 8% per tahun). Besarnya belanja oleh kabupaten/kota terhadap program-program pembangunan yang strategis dan lebih dekat berhubungan dengan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum lebih tinggi dibandingkan pemerintah provinsi. Sementara untuk pemerintah provinsi, proporsi belanja kedua terbesar adalah di bidang pekerjaan umum sebesar rata-rata 14% dari total belanja. Gambar 3.2. Tren Proporsi Sektor Strategis di Tingkat Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004-2008 65% 60% 60% 55% 50% 49% 45% 41% 42% 39% 44% 40% 45% 35% 38% 30% 35% 32% 25% 20% 2004 2005 2006 2007 2008 Sektor strategis-Pemprov Papua Sektor strategis-Pemkab/kota Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 3 Belanja Daerah 25 Proporsi belanja pada sektor strategis cenderung naik2. Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa belanja yang dialokasikan ke sektor-sektor strategis oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 43%, hampir sama dengan pemerintah provinsi yang sebesar 42%. Pertumbuhan belanja sektor strategis ini di tingkat kabupaten/kota cenderung mengalami kenaikan sedangkan di tingkat pemerintah provinsi cenderung mengalami penurunan. Untuk pemerintah kabupaten/kota rata-rata tumbuh 34% per tahun (secara riil tumbuh 21%), dan di tingkat pemerintah provinsi Papua rata-rata 24% per tahun (riil 12%) per tahun. 3.3. Komposisi Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi Belanja daerah di Provinsi Papua mengalami perubahan struktur di mana belanja modal mendominasi sejak tahun 2006. Untuk periode 2004-2005, belanja pegawai mendominasi struktur belanja provinsi dengan rata-rata proporsinya sebesar 33% per tahun untuk kemudian digantikan dengan belanja modal yang juga sebesar 33% per tahun, selengkapnya hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sejak tahun 2006, Pemprov Papua mendapatkan tambahan dana Otsus untuk infrastruktur, yang berimbas pada kebutuhan pembangunan dan pengadaan barang-barang fisik yang lebih besar. Sehingga, struktur belanja pemerintah provinsi berubah selama tahun 2006-2008, yang ditandai oleh semakin besarnya proporsi belanja modal. Adapun untuk belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya cenderung proporsinya bergerak stabil selama periode tersebut yang bergerak dikisaran antara 22-25% per tahun untuk belanja barang dan jasa, serta 13-20% per tahun untuk belanja lainnya. Gambar 3.3. Tren Proporsi Belanja Daerah Menurut Klasifikasi Ekonomi Di Tingkat Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004-2008 Pe me rintah Prov insi Pe me rintah Kabupate n/kota 4,500 14,000 Belanja lain-lain 4,000 Belanja lain-lain 12,000 1,255 3,500 1,332 10,000 Belanja modal 942 Belanja modal 1,205 3,000 4,255 miliar Rp 2,500 8,000 miliar Rp Belanja barang & 3,345 Belanja barang & jasa 2,000 1,179 1,083 676 1,215 jasa 6,000 1,500 579 2,617 2,882 133 525 Belanja pegawai 660 747 2,423 Belanja pegawai 682 4,000 1,000 584 398 653 1,205 1,046 603 1,186 1,795 424 448 2,000 847 3,809 500 802 Total belanja riil 3,178 Total belanja riil 380 465 622 Pemprov 1,750 1,695 1,862 0 305 Pemkab/Kota 0 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran Pergeseran struktur belanja terjadi di kabupaten/kota. Pada tahun 2004-2005 belanja terbesar adalah belanja pegawai sebesar 38% namun kemudian belanja modal mendominasi di tahun-tahun berikutnya. Kenaikan belanja modal ini dapat disebabkan karena naiknya dana alokasi khusus (DAK) yang ditujukan untuk belanja prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan dan infrastruktur serta arahan penggunaan dana Otsus di tingkat kabupaten/kota untuk membelanjai aset pelayanan dasar. Sementara di tingkat pemerintah provinsi belanja relatif berimbang namun belanja untuk modal relatif dominan. 2 Sektor strategis adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi kerakyatan (UU No. 21/2001). Termasuk di dalam sektor-sektor strategis ini adalah belanja di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, dan perhubungan. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 26 Bab 3 Belanja Daerah Selama 2004-2007, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sudah menurun, walaupun secara jumlah tetap meningkat. Menyadari komposisi APBD Papua sebagai ”piramida terbalik”3, Gubernur Papua langsung mengupayakan untuk membalik piramida ini sehingga sebagian besar belanja APBD dinikmati oleh publik, dan bukan oleh aparat. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah menurunkan proporsi belanja pegawai. Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, proporsi ini sudah menurun cukup banyak, walaupun secara nominal tetap meningkat. Pada tahun-tahun mendatang, diharapkan proporsi belanja pegawai ini akan terus berkurang seiring bertambahnya alokasi langsung Otsus ke masyarakat dan diterapkannya struktur pemerintahan yang lebih ramping. 3.4. Perkembangan Surplus dan Defisit Anggaran Surplus APBD terjadi pada pemprov dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk Pemprov Papua, yang selalu mengalami surplus selama periode tersebut, rasio surplus terhadap total pendapatan berkisar di bawah 10%. Surplus ini sebagian besar digunakan untuk pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal pada perusahaan daerah. Untuk tingkat pemkab/kota, persentase surplus terhadap total pendapatan mencapai sekitar 10%. Kecenderungan surplus ini terjadi karena unsur kehati-hatian pemerintah daerah dalam memprediksi pendapatan yang belum pasti diterima sehingga bila pendapatan yang diragukan itu benar-benar diterima maka surplus pun terjadi di akhir tahun anggaran. Gambar TrendPendapatan Tren dan Belanja Daerah Pendapatan dan Daerah di DiTingkat Pemerintah Tingkat Provinsi Pemerintah Provinsi Gambar 3.4 3.4. dengan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004 - 2008` 2004-2008 Pe me rintah Prov insi Pe me rintah Kabupate n/Kota 6,000 14,000 miliar Rp miliar Rp 5,000 12,000 12,201 11,861 10,000 10,782 4,000 10,150 9,687 3,968 3,954 8,000 3,823 3,606 3,000 3,246 Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) 7,357 6,000 2,000 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran 2,269 4,000 5,068 4,674 4,544 1,819 4,461 1,806 1,516 1,447 1,000 2,000 0 0 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Pendapatan nominal Belanja nominal Pendapatan nominal Belanja nominal Pendapatan riil Pemprov Belanja riil Pemprov Pendapatan riil Pemkab/Kota Belanja riil Pemkab/Kota 3 PEA Report 2005 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 3 Belanja Daerah 27 3.5. Efektivitas Belanja Provinsi Papua Belanja per kapita Papua terus mengalami kenaikan. Kenaikan belanja per kapita ini seiring dengan bertambahnya transfer dana yang masuk ke Papua baik melalui dana perimbangan (DAU, DAK, Dana Bagi Hasil), APBN (dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan), maupun melalui dana Otsus. Sementara itu di lain pihak pertambahan jumlah penduduk tidak banyak mengalami perubahan. Gambar 3.5. Tren Hubungan Antara Belanja Provinsi Papua dengan Belanja Per Kapita Papua Tahun 2004-2008 16,000 6.9325 8 juta Rp miliar Rp 14,000 7 5.1918 12,000 13,973 6 10,000 3.9753 5 8,000 3.1528 10,387 4 6,000 7,455 3 4,000 5,908 2 2,000 1 - 0 2004 2005 2006 2007 Belanja Provinsi Papua (kiri) Belanja Per Kapita Provinsi Papua (kanan) Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2007 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi; tidak termasuk Dana Otsus Secara umum peranan belanja daerah selama 2005-2007 dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih belum efektif. Elastisitas belanja Provinsi Papua terhadap PDRB tahun 2006 sebesar 0,10 dan tahun 2007 sebesar 0,11. Angka ini menunjukkan bahwa naiknya belanja hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007 kenaikan 1% belanja daerah hanya mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi sebesar 0,11%, sedikit lebih tinggi daripada elastisitas tahun 2006 yang sebesar 0,10. Box 3.1 Mengukur pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Elastisitas dihitung sebagai rasio antara pertumbuhan PDRB dengan pertumbuhan belanja daerah. Pertumbuhan PDRB berdasarkan pada PDRB harga konstan yang sudah mengeluarkan sektor pertambangan. Sementara belanja daerah diukur sebagai total belanja APBD dan APBN (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) riil Provinsi Papua. Angka elastisitas menunjukkan berapa persen pertumbuhan ekonomi berubah akibat dipengaruhi oleh 1% kenaikan belanja daerah. Belanja daerah dianggap efektif apabila elastisitas bernilai diatas 1%. Meskipun demikian elastisitas tidak menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur efektivitas belanja daerah. Selain itu harus dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi belanja daerah saja. 3.6. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat mencapai Rp8,7 triliun dan cenderung turun proporsinya terhadap total belanja daerah. Pertumbuhan maupun perkembangan transfer dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan APBD Provinsi Papua secara keseluruhan. Proporsi dana dekonsentrasi pada masing-masing bidang Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 28 Bab 3 Belanja Daerah mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Proporsi alokasi terbesar tahun 2005- 2007 pada bidang ketertiban dan keamanan dengan rata-rata 33,70% per tahun, sedangkan pada tahun 2008 lebih difokuskan pada bidang pelayanan umum dengan proporsi alokasi sebesar 53,71%. Sementara itu proprosi alokasi pada bidang ekonomi sepanjang periode 2005-2008 menempati posisi kedua dengan rata-rata 25,22% pertahun. Untuk bidang kesehatan proprosi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sepanjang tahun 2004-2008 termasuk kecil yakni rata-rata 2,61% per tahun sedangkan untuk bidang pendidikan proporsi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan rata-rata untuk periode yang sama sebesar 10,09% per tahun. Tabel 3.2. Proporsi Dana Dekonsentrasi Provinsi Papua Tahun 2005-2008 (dalam %) Sektor 2005 2006 2007 2008 Pelayanan Umum 22,02 22,46 14,51 53,71 Pertahanan 3,49 1,66 16,82 0,26 Ketertiban Dan Keamanan 34,47 36,57 30,07 7,55 Ekonomi 16,48 22,27 23,75 25,27 Lingkungan Hidup 0,94 0,89 0,96 1,11 Perumahan Dan Fasilitas Umum 4,73 0,14 0,01 0,04 Kesehatan 1,03 2,49 2,15 0,97 Pariwisata Dan Budaya 0,23 0,24 0,16 0,07 Agama 1,15 1,22 1,19 0,43 Pendidikan 14,55 11,72 10,30 10,52 Perlindungan Sosial 0,91 0,33 0,07 0,10 Sumber : Departemen Keuangan (SIKD) Box 3.2 Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan Sesuai PP No. 7/2008 dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sedangkan tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan instrumen pemerintah pusat dalam melaksanakan program-program pusat di daerah. Laporan keuangan kedua jenis dana ini tidak termasuk dalam pencatatan APBD dan pemerintah provinsi langsung bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Proporsi alokasi dana dekonsentrasi tugas pembantuan tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Berdasarkan data pada Gambar 3.6, nampak bahwa dana tugas pembantuan yang dikucurkan pemerintah pusat juga mengalami fluktuasi, dimana total dana tugas pembantuan sepanjang tahun 2005-2008 secara riil mencapai Rp935 miliar. Alokasi dana tugas pembantuan untuk tahun 2005 terbesar pada bidang perumahan dan fasilitas umum namun kemudian bergeser ke bidang ekonomi yang mencapai 53,03% dari total dana tugas pembantuan pada tahun 2008. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 3 Belanja Daerah 29 Gambar 3.6. Tren Proporsi Dana Tugas Pembantuan Provinsi Papua Periode 2005-2008 (dalam %) 2008 6.89 53.03 3.45 36.4 2007 13.03 39.13 3.82 18.57 25.44 2006 20.06 46.35 2.82 8.95 21.82 2005 2.69 42.29 2.51 52.52 0 20 40 60 80 100 PELAYANAN UMUM EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM KESEHATAN Sumber : Departemen Keuangan (SIKD) 3.7. Rekomendasi Besarnya sumber daya fiskal Provinsi Papua sebaiknya diarahkan ke sektor- sektor strategis yang mendukung program pencapaian rencana pembangunan jangka panjang Papua. Diperkirakan sumber keuangan daerah dalam sepuluh tahun ke depan masih terus meningkat. Peningkatan ini terutama dapat dijamin dari sumber dana Otsus Papua. Namun, kenaikan pendapatan ini direkomendasikan agar diikuti dengan pola pembelanjaan daerah yang lebih mengarah pada pelayanan dasar seperti pendidikan, dan kesehatan, serta infrastuktur. Juga perhatian pada sektor pertanian dan lembaga ekonomi kerakyatan yang berhubungan langsung dengan pendapatan penduduk kebanyakan perlu mendapat perhatian. Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu memfokuskan alokasi belanjanya pada sektor-sektor yang mampu memicu perekonomian lokal. Rendahnya elastisitas belanja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk membelanjakan dana yang lebih besar pada sektor-sektor yang memicu pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga aspek pemerataan dan keadilan bagi sebagian besar penduduk asli Papua yang masih relatif tertinggal. Usaha “membalik piramida” perlu diteruskan untuk memaksimalkan anggaran publik. Dominasi belanja Pegawai, yang sebelumnya mendominasi belanja APBD di Provinsi Papua, dalam beberapa tahun terakhir (2006-2008) beralih ke belanja modal. Hal ini mengindikasikan kebijakan belanja yang makin baik karena dengan memperbesar porsi belanja modal berarti pemerintah daerah terus meningkatkan kapasitas untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 30 Bab 4 Analisis Sektoral   ANALISIS BAB 4 SEKTORAL Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 31 Bela anja sektor m ral terus meningkat , namun belum b rdampak m ber maksimal pada sekt tor- p n, kesehat sektor strategis yakni pendidikan struktur da tan, infras an. Dari sisi an pertania s sara s ana dan prasarana sudah ya perbaik terlihat adany kan akan tetapi mas d sih jauh dari disi yang diharapkan. kond 4.1. Sektor Peendidikan Secaara umum, , kinerja se ektor pendidikan di Provinsi P Papua belum ptimal. Ma m terlihat op asih apat ketim terda p mpangan pendidikan n antara kabupaten/ k n permasa /kota, dan alahan aksses a kualitas pendidikan yang sa serta angat dipeengaruhi oleh kondissi wilayah dan kualitas sumber daya manusia. Sarana dan d prasaarana yang m g tersedia belum memadai d dan penccapaian seektor pend asih dibawah harapa didikan ma an. Meskippun terjadi peningkat tan peng s geluaran sektor penddidikan namun masih belum dapat menjawab perm masalahann di sektor pendidikkan. ndisi Pendidikan Di Provinsi Papua Kon P Provvinsi Papua mener rapkan ke p ebijakan penyediaa an layanan n pendidikan deng gan biay m ya rendah. Hal ini mulai dilak ksanakan pada tahu un 2009 d dengan dik keluarkannnya Peraaturan Gub bernur Nommor 5 Tahu un 2009 Teentang Pem mbebasan Biaya Pen ndidikan Bagi Waji ib Belajar Pendidikaan Dasar, dan Peng gurangan Biaya Pendidikan Bagi B Peseerta k Orang Asli Didik A Papua pada Jen njang Pend didikan Me enengah. Peraturan gubernur ini h member telah ri amanat mengena ai pembeb basan biay ya pendidikan terha adap selurruh peseerta didik pada jenja ang pendi idikan dassar dan te erhadap pe a eserta didik orang asli Papu ua dari keluarga kurang mamp pu pada jenjang pendidikan me P enengah. Pembebas san biaya pendidikan melip puti sumb bangan pe enyelengga araan pen ( ndidikan (SPP), aya bia peneerimaan pe eserta didiik baru/PSSB, biaya buku b aran, biaya pelaja a pembangunan, bia aya ulangan dan ujian, biaya penam matan dan perpisahan, keber rsihan dan n keamana an, kegiatan. Kebij jakan daerrah tersebu ut dimaksu udkan untu uk mengeja ggalan sek ar keterting ktor pend P didikan di Papua, terutama dala am hal me eningkatkan pendidikan n kualitas p n. Gambar 4.1. n Ruang Be Trend Rasio Guru dan dap Jumlah Murid di Provinsi Papu elajar Terhad ua 4-2007 Tahun 2004 [ ] R i G d( M id id ) (a). Rasio Guru-Murid (murid Per Guru) (b). Rasio Ruang Belajar - Murid (murid Per ruangan Belajar Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 32 Bab 4 Analisis Sektoral Dalam hal tenaga pendidik dan prasarana pendidikan, ketersediaan guru dan ruang kelas mulai terlihat membaik. Pada Gambar 4.1, sepanjang periode 2004- 2007, rasio guru-murid di tingkat SLTP dan SMU menunjukkan perbaikan signifikan, sementara pada tingkat SD cenderung stagnan. Pada gambar yang sama, rata-rata rasio jumlah murid per ruang belajar menunjukkan tren yang beragam untuk jenjang SD (meningkat), SLTP (stagnan), dan SLTA (menurun). Jika dikombinasikan dengan APM ketiga jenjang membaik selama periode yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama empat tahun ini ketersediaan tenaga pendidik dan prasarana pendidikan secara umum semakin baik. Meskipun kecenderungan rasio murid per guru sudah membaik, pada kenyataannya Papua masih kekurangan guru. Indikatornya dapat dilihat pada perkembangan kebutuhan guru. Misalkan untuk tingkat SD, idealnya satu gedung SD minimal diawasi oleh 9 guru1. Karena pada tahun 2007 tercatat jumlah gedung SD di Papua adalah 2.330 unit, maka jumlah guru yang ideal seharusnya 20.970 orang. Akan tetapi pada tahun tersebut jumlah guru yang ada hanya 15.572 orang, berarti terdapat kekurangan guru sebanyak 5.398 orang, lihat Tabel 4.1. Tabel 4.1. Trend Rasio Guru Terhadap Jumlah Murid di Provinsi Papua Tahun 2004-2007 Gedung Ketersediaan Guru Kekurangan Tahun Sekolah Dasar Riil Ideal (unit) (orang) (orang) (orang) 2004 2.407 17.984 21.663 3.679 2005 2.428 16.079 21.852 5.773 2006 2.378 15.869 21.402 5.533 2007 2.330 15.572 20.970 5.398 Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah) Indikator capaian pendidikan di Papua masih sangat memprihatinkan. Untuk setiap indikator capaian, Papua masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan rata-rata nasional. Selain sarana dan prasarana pendidikan yang kurang, ketimpangan pendidikan antar kabupaten/kota juga mewarnai sektor pendidikan di Provinsi Papua. Indikator rendahnya akses layanan pendidikan dapat dilihat dari rasio APM di tahun 2008, terutama untuk tingkat SD sebesar 82,9% dan SLTP sebesar 48,56%. Padahal, untuk Indonesia, APM tingkat SD adalah sebesar 93,98% dan SLTP sebesar 66,75%. Kesenjangan antar kabupaten/kota dalam hal rasio guru-murid, lama sekolah, dan melek huruf sangat memprihatinkan. 1. Untuk rasio guru terhadap murid SD, di tahun 2007 tercatat ada 4 kabupaten/kota yang mempunyai rasio di atas 30, kemudian 9 kabupaten/kota dengan rasio antara 20-30, dan 7 kabupaten/kota memiliki rasio di bawah 20. Rasio guru murid SD secara nasional adalah 19 (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Umumnya, rasio guru terhadap murid di tingkat SD, SLTP, maupun SLTA mengalami penurunan antara tahun 2005 dan 2007 di seluruh kabupaten/kota. 2. Dari seluruh kabupaten/kota di Papua, dapat dikatakan hanya Kota Jayapura (10,7 tahun) dan Kabupaten Biak Numfor (9,3 tahun) di mana rata-rata penduduknya sudah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, lihat Tabel 4.2. 1 Renstra Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua tahun 2007-2011 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 33 Sedangkan untuk 18 kabupaten lainnya memiliki rata-rata lama sekolah kurang dari 6 tahun atau tidak menyelesaikan pendidikan SD. Kabupaten-kabupaten ini rata-rata sulit diakses karena berada di wilayah pedalaman atau pegunungan seperti Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Tolikara, Mappi dan Asmat. 3. Kesenjangan antar kabupaten/kota juga sangat terlihat dalam angka melek huruf. Kabupaten/kota yang terletak di daerah yang mudah diakses memiliki angka melek huruf di atas 90%, sedangkan kabupaten/kota yang terletak di daerah yang sulit diakses memiliki angka melek huruf di bawah 50%. Tabel 4.2. Rata-Rata Lama Sekolah, Melek Huruf dan Jumlah Guru Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Tahun 2007 Lama Sekolah Melek Huruf Guru Kabupaten/Kota (tahun) (persen) (orang) Merauke 8,5 87,10 2.266 Jayawijaya 3,4 47,21 2.106 Jayapura 8,0 96,00 2.140 Nabire 6,5 83,20 2.232 Yapen Waropen 6,5 88,12 1.409 Biak Numfor 9,3 97,48 1.961 Paniai 6,2 62,90 1.483 Puncak Jaya 6,1 86,80 418 Mimika 6,7 86,90 1.637 Boven Digoel 3,0 31,70 728 Mappi 3,8 31,30 713 Asmat 3,9 31,00 613 Yahukimo 2,4 31,80 482 Pegunungan Bintang 2,2 31,60 547 Tolikara 2,4 32,86 605 Sarmi 6,4 87,10 628 Keerom 7,3 91,10 915 Waropen 6,3 76,50 443 Supiori 7,7 95,37 319 Kota Jayapura 10,8 98,41 3.007 Papua 6,5 75,41 24.652 Indonesia 7,5 91,87 Sumber : BPS Papua (2008) diolah, www.bps.go.id Kesetaraan gender di Papua sampai saat ini juga masih tergolong rendah dibandingkan Indonesia. Secara rata-rata penduduk Papua hanya dapat menyelesaikan pendidikan SD, yang berarti penduduk Papua secara rata-rata belum dapat menyelesaikan Wajib Belajar 9 tahun. Penduduk laki-laki Papua umumnya menjalankan pendidikan sekolah hanya selama 7,3 tahun, dan untuk perempuan lebih rendah lagi yakni 5,7 tahun. Sedangkan rata-rata Indonesia adalah 8 tahun untuk laki- laki, dan 7 tahun untuk perempuan. Persentase melek huruf penduduk Papua adalah 81,01% untuk penduduk laki-laki, dan 68.78% untuk perempuan. Sangat jauh dibandingkan Indonesia, dimana persentase melek huruf untuk penduduk laki-laki adalah 95,22%, dan penduduk perempuan sebesar 88,62%. Meskipun demikian terlihat harapan ke depan karena tingkat melek huruf penduduk usia muda (15-44 tahun) di Papua lebih tinggi dari penduduk usia tua sebagaimana terlihat di Gambar 4.2 berikut. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 34 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.2. Tingkat melek huruf menurut kelompok umur di Papua tahun 2003 dan 2007 89% 88% 100% 80% 78% 78% 77% 76% 71% 70% 67% 67% 80% 64% 63% 61% 53% 51% 60% 40% 20% 0% Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 2003 2007 15-29 30-44 45-59 >60 Sumber : Diolah dari Susenas 2007 Gambar 4.3. APS Murni berdasarkan Kelompok Pendapatan 100  Q1 90 Q2 APSMurni (dalam %) 80 70 Q3 60 Q4 50 Q5 40 30 20 10 Ͳ SD SLTP SLTA Sumber : Diolah dari Susenas 2007 Kesenjangan akses pendidikan juga terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan tinggi. Gambar 4.3 menunjukkan perbedaan besar pada APS murni antara kelompok pendapatan rendah dan tinggi, terutama pada jenjang SLTP dan SLTA. Pada jenjang SLTA, APS murni kuintil terkaya sekitar 2,5 kali lebh tinggi dari kuintil termiskin (74,9%: 29,7%). Pada jenjang SLTA, kesenjangan yang terjadi lebih lebar lagi, yaitu lebih dari 5 kali lebih besar (65,2%:12,6%). Gambar yang sama secara tersirat menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota baru berhasil memeratakan pendidikan untuk bangku sekolah dasar, di mana perbedaan antara kuintil terkaya (93,2%) dengan kuintil termiskin (72,8%) tidak terlalu lebar. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 35 Pengeluaran Publik Sektor Pendidikan Perkembangan belanja per kapita di bidang pendidikan cenderung meningkat. Walaupun sempat terjadi penurunan belanja pendidikan per kapita pada tahun 2006, namun secara umum terjadi kenaikan belanja dari APBD provinsi maupun kabupaten/kota untuk per kapita penduduk Papua. Kenaikan belanja bidang pendidikan di kabupaten/kota lebih banyak disebabkan karena terjadi kenaikan belanja barang dan jasa, namun belanja untuk gaji guru masih tetap dominan (sekitar 60% dari total belanja pendidikan). Pada tahun 2008 belanja per kapita pendidikan ini adalah yang terbesar di Papua setelah belanja per kapita untuk infrastruktur. Gambar 4.4. Trend Pengeluaran Pendidikan per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008 Belanja pendidikan per kapita (Rp) 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 - 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Porsi belanja pendidikan dalam struktur belanja daerah masih belum sesuai ketentuan, baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Selama tahun 2004-2008, pemerintah provinsi mengalokasikan pengeluaran pendidikan rata-rata hanya 7,43% per tahun dari total belanja daerah. Sedangkan untuk kabupaten/kota sebanyak 16,27% per tahun. Alokasi belanja pendidikan sebesar ini masih dibawah ketentuan anggaran pendidikan yakni 20% dari total belanja. Menurut klasifikasi ekonomi, belanja untuk pegawai porsinya paling tinggi dibandingkan belanja modal, barang dan jasa, dan belanja lainnya baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota untuk bidang pendidikan ini. Untuk tahun 2004-2008 rata-rata proporsi belanja pegawai di pemerintah provinsi adalah sebesar 39,05% per tahun. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota rata-rata proporsi belanja pegawai yang sebagian besar untuk gaji guru adalah sebesar 66,28%. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 36 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.5. Trend Pengeluaran Pendidikan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Pendidikan Pemprov Belanja Pendidikan Pemkab/Kota 300 2,000 Billions Billions 250 1,500 200 150 1,000 100 500 50 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja modal Belanja lain-lain Belanja modal Belanja lain-lain Total belanja pendidikan (riil) Total belanja pendidikan (riil) Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Rekomendasi Khususnya dalam bidang pendidikan, koordinasi yang baik antara Pusat, Pemprov dan Pemkab/kota sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan hasil pembangunan. Adanya dana perimbangan, Otsus, dan APBN yang berjumlah besar merupakan peluang yang patut dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah daerah dan masyarakat Papua dalam upaya meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah, terutama untuk pendidikan SD dan SLTP. Hanya saja, dalam pelaksanaan pembangunan, masih sering terjadi tumpang tindih kewenangan dan koordinasi antara Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Untuk mengatasinya, Depdiknas, Dinas Dikpora Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kab/kota perlu duduk bersama dalam mengkoordinasikan kegiatannya masing-masing. Dengan demikian, anggaran yang besar itu dapat terpakai secara efektif dan efisien dan menghasilkan kemajuan yan diharapkan. Kuantitas dan kualitas guru perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan, agar terjadi pemerataan pendidikan antar daerah. Ketersediaan guru dengan rasio yang cukup ideal sebagian besar ada di daerah-daerah pesisir dan perkotaan. Sedangkan di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan umumnya mengalami kekurangan guru, sehingga rasio guru terhadap murid sangat jauh dibawah ideal. Kondisi ini akhirnya berdampak terhadap rendahnya waktu penyelesaian sekolah, dan masih tingginya buta huruf pada masyarakat Papua yang berada di pedalaman dan pegunungan. Sehingga ketimpangan yang terjadi bukan hanya pada rasio guru saja, tetapi juga untuk lama sekolah dan melek huruf. Peningkatan akses terhadap pendidikan harus difokuskan pada kelompok masyarakat yang masih tertinggal. Pada pembahasan di bagian sebelumnya, terdapat ketimpangan akses pendidikan dalam berbagai dimensi, seperti gender, geografis, dan pendapatan. Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan ini, Pemprov dan Pemkab.kota perlu bekerja sama dalam memfokuskan peningkatan akses pendidikan ke kelompok-kelompok dengan akses pendidikan yang sangat memprihatinkan, seperti anak perempuan, keluarga miskin, dan masyarakat pedalaman. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 37 Pemmprov dan n Pemkab/ P /kota di Papua perrlu berkommitmen untuk men ngalokasikkan miniimal 20% anggaran n untuk be ndidikan. Jumlah alo elanja pen okasi danaa merupakkan salah satu fak ktor pendu ukung dalaam peningkatan kua didikan di Papua, pa alitas pend ada khus d susnya, dan ada umum di indonesia, pa mnya. Olehh karenany a pendidik ya, belanja kan Pemmprov dan Pemkab/k at diharap kota sanga pkan berjummlah minimal sebes d sar 20% dari total APBD settiap tahunn gaimana ya nya, sebag ang diatur oleh UU 2 20/2003 tentang Sisteem Pend asional. didikan Na 4.2. Sektor Ke esehatan Kese ehatan ada alah salahh satu sekt tor priorita as di Papua karena k kondisinyaa yang ma asih nggal dibanding dengan daera tertin ah lain. Pap pua dihadaapkan padda permasa alahan bessar sepu utar penyaakit tertenttu seperti HIV/AIDS, malaria dan ISPA. Dengan pengeluar ran keseehatan yan endah diba ng relatif re andingkan sektor-sektor lainny a kesulit ya, masih ada tan dalam pengem s mbangan sarana dan n prasarana, ketersed aga medis, diaan tena nya , dan adan mpangan antar ketim a daeraah. Walaup pun demik n terlihat ada perbaik kian, secara perlahan kan capa ator keseha aian indika atan. Kon P ndisi Kesehatan di Provinsi Papua Pem p merintah provinsi memberi m prioritas p l layanan kesehatan k n bagi penduduk aslia Papua. Melalu an Gubern ui Peratura nur Papua a No. 6/20 009 tentan ng Pembe ebasan Biaaya Kese agi Orang Asli Papua, Pemp ehatan Ba prov membbebaskan biaya kes sehatan bagi ng asli Pa oran apua pada Rumah U h Sakit Umum Dae erah (RSU UD) yang g ditangguung merintah dalam pem d hun angg tah garan 200 n itu, pe 09. Selain emerintah juga ak kan memmbebaskan robat bagi penduduk asli Papua n biaya ber a di setiap puskemas u. s dan pustu mbar 4.6 Gam esehatan ber Indikator ke elompok pendapatan rdasarkan ke ber: SUSENA Sumb olah) AS 2007 (dio an layanan kesehat Pera tan publik ebih besar k di Prov. Papua le onesia pa r dari Indo ada umuumnya. Gambar 4.6 6 mengind dikasikan bahwa b maasyarakat Papua me ses emiliki aks g lebih ba yang dap fasilita aik terhad as umum kesehata an seperti s i rumah sakit umuum, Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 38 Bab 4 Analisis Sektoral puskkesmas, da d an pustu dibandingk kan dengan Indonesia pada um mumnya (12% vs 7% %). Hal yang sam t ma juga terjadi pada akses ke layan nan keseh hatan grat tis, di maana masyarakat Pa apua mem miliki akse es terhadaap pelayannan kesehatan gratis s lebih tinggi dari pada rata- nesia (26% -rata Indon % vs 14%). Kedua ha mengindika al ini juga m asikan bahwa ketergantunga an masyara akat Papua a terhadap p layanan kesehatan k pemerintaah lebih bessar dibanding rata a-rata nasional, ya ang sedikkit-banyak disebabka an oleh keterbatas san layanan keseh hatan swas sta. Seca ara umum m, targeting layanan n kesehataan di Provv. Papua s sudah pad da arah ya ang bena ar. Masih dari Gambar 4.6. kita k dapat melihat baahwa mas syarakat daari kelomppok penddapatan ya g rendah memiliki ang paling m akses a yangg paling b besar terhaadap fasilitas keseehatan um g mum dan gratis. Han nya saja, untuk u aksees ke laya anan kese ehatan gra atis, k terlihat pe tidak erbedaan besar anta ara kelomppok pendap patan rend dah dan me H enengah. Hal m ini mungkin sa dijelask bis kan dengan n melihat tingginya t a angka miskinan di Papua, ya kem ang men ngindikasikan bahwa sebagian kelompok k pendapat tan menen ngah sebe etulnya ma asih tergoolong misk kin. Kualitas kese P ehatan penduduk Provinsi P Papua suddah memb baik selamma bebera apa tahuun terakhir. Kecenderungan antara a un 2000 dan 2005 d tahu dapat menunjukkan hal terseebut. Dalam Gambar r 4.7, jumlah kematia an bayi di Papua da p apat ditekan dari 44 per 10.0000 bayi di 000 menjad i tahun 20 di 35 per 10.000 bayi pada ta ahun 2005. Begitu ju uga denggan angka a harapan m n hidup mengalami n dari 67 tahun di tahun 20 perbaikan 000 men ningkat me t enjadi 68 tahun padda tahun 2005. 2 Cappaian Papu d ua pada dua ator indika keseehatan uta d ama ini lebih baik dibandingk kan NTB (Nusa ( Tennggara Baarat), Malu uku Utarra, Kaliman ntan Selattan, Sulaw wesi Tenga ah, Bantenn, Maluku, NTT (Nusa Tengga ara Timuur), dan Ka B alimantan Barat, lihat 4 t Gambar 4.7. Gambar 4.7. Perbandinggan Indikatoor Kesehata engan Bebe an Provinsi Papua de ah erapa Daera T Lainnya di Indonesia Tahun d 2005 2000 dan K [a]. Angka Kematian sia Bayi Di Indones dup Di Indon [b]. Angka Harapan Hid nesia (per 10.000 bayi) (tahun) t BPS, 2008 (diolah) ber : Booklet Sumb Messkipun kua ehatan me alitas kese embaik, fa asilitas pe elayanan k kesehatan nsi n di Provin Papua selama a ini cenderung tida ak beruba ah. Gamba ar 4.8a menunjukkan bahwa ra asio jumlah pendudduk per Puskesmas sepanjang periode 2005-200 katakan tid 07 bisa dik dak ubah. Sed beru r dangkan, rasio jumlah pendu uduk per Pustu (P Puskesmas s Pemban ntu) men k nunjukkan kemajuan h signifikan, di mana rata-rata s yang lebih tu menangani setiap Pust 2 penduduk pada tah 2742 d hun 2007 dibandingk an 3184 penduduk p pada tahunn 2005. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 39 Keteersediaan tenaga medis se ecara um mum bisa dikatakan sudah lebih ba aik, walaaupun ma asih jauh dari idea ata jumlah penduduk yang dilayani setiap al. Rata-ra doktter menuru un cukup berarti selama 2005-2007 dan d pada tahun 20 007 rasionnya men ncapai 5.64 p dokter 46 orang per r. Namun demikian d a angka ini masih jauh dari anggka besar 2.50 ideal, yaitu seb 00 orang per dokter. Hal serupa juga terjadipada bidan di ma ana seorrang bidann rata-rata melayani 1169 pend duduk (20007). Namu ng sebalikn un, hal yan nya adi pada ketersedia terja aan peraw wat. Pada tahun 20 007, seora ang perawwat rata-raata melaayani 827 orang per r tahun, ya t naik diba ang sedikit andingkan 796 orang g pada tahhun 20055. Selengkkapnya dap d Gambar 4.8 beriku pat dilihat di ut. Gambar 4.8. Tren Rasio Puskesmas, T P ter, Bidan da Pustu, Dokt P an Perawat Di Provinsi Papua Tahun 2005-2007 2 duk dibuat per 10.000 pendud [a]. RRasio Puskes smas dan Puustu ]. Rasio Dokt [b] an Perawat ter, Bidan da orang/unit) (o aga medis) (orang/tena Sumb ber : BPS Pa diolah) apua, 2008 (d Gambar 4.9. Rasio Dokter Terhad duk Menurut dap Pendud /Kota Di Pro t Kabupaten/ a ovinsi Papua 007 (per orang) Tahun 20 ber Sumb : BPS Papua, 008 20 ah) (diola Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 40 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.10. kesmas Terh Rasio Pusk ut Kabupaten/Kota di Pr hadap Penduduk Menuru a rovinsi Papua 07 (per 10.00 Tahun 200 ) 00 penduduk) ber : BPS Pa Sumb diolah) apua, 2008 (d Permmasalahan n yang paling men ndasar ad dalah pad da ketimpangan jum mlah dok kter antaar kabupat ten/kota di d Provinsi Papua. Pada P daera ah-daerah dengan to ang opografi ya sang an ditempu gat sulit dijangkau da uh transportasi dari pusat p ota Jayapu ibuko ura umumn nya jumlah dokter s r sangat sedikit. ada Gamb Pa bar 4.9, daerah-dae d erah pegu d unungan dan pedaalaman seperti Kabu upaten Yah hukimo, Ja ayawijaya, Puncak Ja P aya dan Paniai, secaara -rata satu orang do rata- ayani sekit okter mela tar 17 ribu u sampai hampir 50 5 ribu (Ka ab. Yahuukimo) ora ang. Sedanngkan untuuk daerah pesisir, se a Jayapura eperti Kota a, Kabupatten Meraauke dan Biak Numfor, rasio jumlah penduduk per sat tu dokter yang relatif menndekati rasio yang ideeal. Ketimpangan antar kab bupaten/kkota juga terjadi paada jumlah puskesmas. Sepe erti yangg disajikan dalam Ga ambar 4.10 en Yapen Waropen 0, di Kota Jayapura, Kabupate W dan d Mera apat 1,5 – 2,4 auke terda 2 Puskes smas per 10.000 1 pen etapi di sebagian bes nduduk. Te sar kabuupaten/ kota, terdapaat kurang dari d satu Puskesmas P 00 pendud s per 10.00 duk. Bahkaan, juh kabupa di tuj apat kurang aten, terda 000 pendu g dari satu Puskesmas per 20.0 uduk. Gambar 4.11. nyakit Terbesar di Pendu Lima Pen T uduk Papua Tahun dalam %) 2006 dan 2007 (d 2.0 2.3 2.5 0.068 2.4 1.6 8. .9 9.8 57.6 n 2006 Tahun 007 Tahun 20 27.2 Sumb apua, 2008 (d ber : BPS Pa diolah) 56.9 28.3 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 41 Mala s adalah jenis aria klinis j pennyakit malaria yang d g paling banyak diderita olleh pend duduk Pa apua selam ma ini. Seepanjang tahun t 4-2007 ditemukan kasus mala 2004 aria s sebanyak 69.000 kasus klinis k t per tahun (Gambar 4.12). Dalam tahun 2005 5 sebenarnnya kasuus malaria klinis dapat ditekan hingga mencapai 26 us. Namun 6.597 kasu n pada parruh wakt tu 2005-20007 terjadi kenaikan terus men us malaria klinis dengan rata-ra nerus kasu ata kena aikan mend % per tahun dekati 90% n. Gambar 4.12. us Penyakit Malaria Tren Kasu M rovinsi Papua Di Pr 004-2007 (or a Periode 20 rang) ber : BPS Pa Sumb diolah) apua, 2008 (d Penyyakit mal P laria di Papua suddah menj jadi perhaatian serius, buka an hanya di onesia me Indo s elainkan seluruh du unia. Pada 2 April 20 a tanggal 25 m 009 saat mempering gati kan semina Hari Malaria sedunia telah dilakuk sional yang ar internas g diselengggarakan oleh yek IPM-5G Proy GF di Kota a. Saat itu dicanangk a Jayapura kan slogan Papua Be ebas Malarria, gan targetn deng nya adalahh pada tah hun 2020 wilayah w apua bersih Pa yakit malar h dari peny ria. uk jangka menenga Untu ah, pemerrintah prov vinsi akan n berupay ya menuru unkan kas sus yakit malar peny ua sebesar ria di Papu r 50% dari tahun seka arang. Ancaman HIV V/AIDS me s eningkat sejak awal 2000. Kaasus HIV d k ditemukan pertama kali P di Papua pad 1 da tahun 1992. Sep jukkan pada Gamba perti ditunj ar 4.13, juumlah kas sus HIV/ m /AIDS ini meningkat sangat peesat sejak tahun 200 00. Sampa kan ai saat ini, diperkirak a HIV/AIDS total penderita S di Papua s a adalah sebanyak ang. Tindak 3.497 ora kan preventif h dilakukan oleh pe telah emerintah provinsi yang diduk kung oleh pemerinta ah pusat dand negaara-negara uatu tren yang a donor. Su y cukup menggembirakan adalah, pe erkembang gan kasu DS per tahu us HIV/AID m un sudah mulai bisa ditekan d jak tahun 2 sej 2005. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 42 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.13. mlah Kasus HIV Tren Jum 007 H dan AIDS di Provinsi Papua Periode 1992-20 ber : Subdin BPP dan PL Sumb vinsi Papua (2008) L Dinkes Prov Belaanja Daeraah Di Sekttor Kesehaatan Di tingkat pro ovinsi maaupun kab bupaten/k kota, alokaasi belanjja bidangg kesehata an, yangg merupa akan salah h satu biidang stra ategis Otssus, dalam APBD rata-rata di bawwah 10% per p p tahun. Untuk pemerintah provinsi, elama tahu se un 2004-2008 rata-ra ata porsi peng prop k geluaran kesehatan terhadap total bela anja sebesar 8,68% % per tahun. Sedaangkan di tingkat kabupaten/ko ata sebesa ota, rata-ra ni masih ja ar 7,41%. Proporsi in auh al yang sep dari rasio idea s patutnya sekitar 15%% dari total APBD yaang diangg garkan setiap un. tahu Gambar 4.14. K Trend Pengeluaran Kesehatan abupaten/Ko Ka vinsi Papua Tahun 2004 ota dan Prov 4- 2008 [a]. Harga Berlaku ga Konstan 2007 [b]. Harg 2 Sumb A ber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 43 Peran Pemkab/kota dalam belanja kesehatan semakin besar. Selama tahun 2004- 2008, perkembangan belanja kesehatan di kabupaten/kota, mencapai rata-rata sebesar 42% per tahun menurut harga berlaku, atau 27,43% per tahun menurut harga konstan 2007. Untuk periode yang sama, pemerintah provinsi mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13,13% per tahun berdasarkan harga berlaku, dan hanya 1,45% per tahun menurut harga konstan 2007. Hal ini menandakan bahwa Pemkab/kota menjalankan peran yang semakin besar dalam penyediaan layanan kesehatan, sesuai dengan amanat otonomi daerah. Selengkapnya hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pengeluaran kesehatan per kapita di Provinsi Papua cenderung meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun 2004-2008 rata-rata kenaikan belanja per kapita kesehatan di provinsi ini menurut harga berlaku adalah sebesar 28% per tahun, sedangkan menurut harga konstan terlihat naik sebesar rata-rata 15% per tahun. Mirip dengan sektor pendidikan, kenaikan terbesar disumbang oleh belanja barang dan jasa. Gambar 4.15. Trend Pengeluaran Kesehatan Per Kapita di Provinsi Papua Tahun 2004-2008 Belanja kesehatan per kapita (Rp) 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 - 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Belanja barang dan jasa dan belanja modal merupakan komponen belanja kesehatan yang paling besar. Jika dipilah menurut klasifikasi ekonomi, belanja barang dan jasa merupakan komponen terbesar dari belanja kesehatan Pemprov Papua periode 2004-2008, yaitu sebesar 46%. Perlu diperhatikan juga bahwa proporsi belanja pegawai menunjukkan tren yang meningkat. Sementara di tingkat kabupaten/kota, komponen terbesar adalah belanja modal (38%), yang pada umumnya digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan. Rata-rata proporsi belanja barang dan jasa relatif rendah yaitu sebesar 26% per tahun. Selengkapnya struktur belanja kesehatan dapat dilihat pada Gambar 4.16 berikut. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 44 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.16. Tren Pengeluaran Kesehatan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Kesehatan Pemprov Belanja Kesehatan Pemkab/Kota 350 1,200 Billions Billions 300 1,000 250 800 200 600 150 100 400 50 200 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja modal Belanja lain-lain Belanja modal Belanja lain-lain Total belanja kesehatan (riil) Total belanja kesehatan (riil) Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2007 dan APBD 2008 (diolah) Rekomendasi Jumlah fasilitas layanan kesehatan, seperti Puskesmas, Pustu, dan RSUD, perlu ditingkatkan secara bertahap dan merata. Akses ke fasilitas kesehatan merupakan komponen penting untuk meningkatkan derajat kesehatan. Akan tetapi, seperti sudah dibahas di atas, jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan masih kurang, terutama untuk daerah pedalaman. Dalam hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu bekerja sama untuk secara bertahap menambah jumlah Puskesmas, Pustu, Pusling, dan Polindes di daerah-daerah terpencil. Selain itu, RSUD di daerah-daerah yang menjadi simpul transportasi, seperti Wamena, Merauke, Timika, dan Biak, perlu ditingkatkan sehingga bisa lebih responsif dalam menangani kondisi darurat. Selain fasilitas, jumlah tenaga medis (dokter, bidan, dan perawat) juga harus ditambah secara merata. Sama dengan fasilitas kesehatan, akses ke tenaga medis proesional sangat menentukan derajat kesehatan2. jumlah dokter di daerah-daerah pedalaman sangat memprihatinkan di mana satu dokter bisa menangani lebih dari 20.000 orang. Untuk hal yang lebih kompleks, jumlah dokter spesialis masih sangat minim, bahkan di kota-kota besar, termasuk Jayapura. Untuk mengatasi hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mengusahakan untuk memastikan adanya satu dokter umum di setiap distrik/kecamatan dan satu bidan dan perawat/mantri di setiap kampung/kelurahan. Selain itu, setiap RSUD di simpul-simpul transportasi perlu memiliki dokter spesialis yang lengkap. Untuk mencapai target ini, Pemprov dan Pemkab/kota dapat merancang suatu paket remunerasi yang baik yang dapat menarik tenaga-tenaga medis tersebut. Pemprov dan Pemkab/kota perlu meningkatkan pencegahan dan penanganan malaria dan AIDS yang lebih intensif dan efektif dengan melibatkan seluruh stakeholder baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penanganan penyakit malaria dan AIDS tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pemda. Untuk itu dibutuhkan bantuan dari pihak-pihak lain baik nasional maupun internasional. Terlebih lagi, malaria dan AIDS di Papua saat ini sudah menjadi perhatian dunia, sehingga sangat memungkinkan bagi pemerintah provinsi untuk meningkatkan kerja sama dengan pihak luar. 2 Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya persalinan yang dibantu bidan/tenaga kesehatan di Papua (52,3% dari total persalinan), lebih rendah dari rata-rata nasional (72,5%) maupun provinsi tetangga Papua Barat (56%), pada tahun 2007. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 45 Pemprov dan Pemkab/kota perlu memperbesar alokasi belanja kesehatan minimal 15% dari APBD. Pemda di Papua bisa dikatakan lebih beruntung dibandingkan daerah lain karena memiliki kapasitas fiskal yang besar. Hanya saja, alokasi untuk sektor kesehatan masih sedikit apalagi jika mengingat ketergantungan masyarakat asli terhadap layanan kesehatan publik. Suatu langkah maju sudah ditempuh dengan adanya Pergub yang membebaskan biaya kesehatan bagi penduduk asli. Namun, hal ini baru bisa berdampak maksimal jika Pemprov dan Pemkab/kota mengalokasikan minimal 15% dari APBD untuk kesehatan. Sumber daya ini dapat digunakan untuk melaksanakan dua rekomendasi pertama di atas dan melakukan terobosan-terobosan lain, seperti memberikan asuransi kesehatan gratis bagi penduduk asli. 4.3. Sektor Infrastruktur Kondisi alam Papua yang unik berimbas pada tantangan yang besar dalam penyediaan sarana infrastruktur3. Sarana dan prasarana infrastruktur yang tersedia masih belum dapat menjangkau seluruh wilayah provinsi Papua. Pengembangan yang yang terjadi belum terkoordinasi dengan baik sehingga timbul ketimpangan antara daerah, khususnya antara wilayah pedalaman/pegunungan dan pesisir. Keterbatasan sarana dan prasarana tersebut berdampak besar terhadap ketimpangan daerah. Pemerintah daerah berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan meningkatkan investasi publik di bidang infrastruktur dengan meningkatkan belanja modal infrastuktur. Akan tetapi, meskipun pengeluaran pemerintah terus meningkat, penyediaan infrastruktur yang ada masih belum mampu menjawab kekurangan permintaan. Ini berarti terjadi financing gap antara kebutuhan dan pembiayaan. Kondisi Infrastruktur di Provinsi Papua Pembangunan infrastruktur di Papua belum terkoordinasi dengan baik. Seperti diulas panjang dalam WB (2009), belum ada suatu master plan pembangunan infrastruktur di Papua yang handal dan disusun bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota. Rencana-rencana yang ada masih bersifat sepihak dan koordinasi lebih banyak berlangsung secara dadakan. Koordinasi dan master plan ini mutlak diperlukan, mengingat sektor infrastruktur membutuhkan pendanaan yang sangat besar, terlebih lagi dalam konteks Papua. 3 Infrastruktur pada laporan ini mencakup perhubungan dan transportasi, air dan sanitasi, irigasi, dan listrik. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 46 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.17. as Jalan Stra Tujuh Rua mpat Ruas Jalan ategis dan Em J ahan di Provinsi Papua Tamba Panjang No s Jalan Ruas (km) egis 7 Ruas Jalan Strate 1 Nabire-Wagete-Enarotali 262 2 Timika-Mapurujaya-Pomako 42 3 -Mulia Serui-Menawi- 49 4 mena-Mulia Jayapura-Wam 733 5 mi Jayapura-Sarm 364 madi-Holtekamp Jayapura-Ham p- 6 53 Batas PNG 7 opko Merauke-Waro 557 bahan 4 Ruas Jalan Tamb 8 yapura-Sentani Ring Road Jay 41 9 ggrang Depapre-Bong 23 Wamena-Habema-Nduga- 10 147 Kenyam 11 aiburu-Enarotali Timika-Potowa 150 al Tota 2.421 an pemeri Pera intah pusaat masih sangat be esar dalamm pengem i mbangan infrastruk tur P di Prov. Papu i terlihat dari proyek ua. Hal ini k pembang hat gunan 11 ruas jalan utama (lih Gammbar 4.17) di Papua yang dida A anai dari APBN. Seddangkan peemerintah daerah lebih banyyak berurusan denga an jalan kab/kota dan raan dan operasional n kegiatan pemelihar l. Pemmbangunan jalan aspala m di Provinsi Papua mengalami i peningkkatan setiiap unnya. Tre tahu en peningkkatan ini sudah s angsung dari berla d tahun 2005. Namun, sampai un 2007, be tahu ngah dari jalan elum seten j yangg ada yangg merupaka spal. Bahk an jalan as kan porsi jalan tanah prop t mas ang paling besar (liha sih tetap ya at Gambarr 4.18) Gambar 4.18. mbangunan Jalan Menurut Jenis Pe Tren Komposisi Pem elama Tahun ermukaan Se n 07 (dalam %) 2005-200 % ber Sumb : BPS Papua, 2008 (diolah) Sumber : BPS, 2008 (diolah) Messkipun jummlah jalann aspal te erus meni ondisi jala ingkat, ko an di Provinsi Pappua banyyak yang dalam ke eadaan rusak berat hun 2007, jalan yang t. Pada tah g mengalaami ak berat me rusa .681,79 km encapai 8. g 15.327 km. m atau 56,64% dari total jalan sepanjang k s Dan, hanya sekitar 33,27% saja jalan yanng dalam keadaan baik. Kondisi ini pa ada akhirnya meny b yebabkan biaya peng gguna (use er costs) meningkat, m menghammbat mobilitas Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 47 ekonomi, meningkatkan harga barang, dan mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penyebaran infrastruktur jalan di Provinsi Papua sangat tidak merata. Sebagian wilayah pedalaman, seperti Kabupaten Paniai, Boven Digul, Waropen, Mappi dan Sarmi, umumnya memiliki rasio aksesibilitas jalan sangat rendah, yaitu di bawah 5 meter per km2. Bahkan untuk Kabupaten Waropen panjang jalan yang dibangun (hanya tersedia jalan provinsi) tidak sampai 1 meter per km2, lihat Tabel 4.3. Kabupaten/kota yang mempunyai rasio aksesibilitas jalan paling tinggi saat ini di Nabire dengan rasio sebesar 0.57 km per km2. Sarana transportasi laut, sungai, dan penyeberangan cukup dominan di sebagian wilayah. Transportasi laut sangat dominan di sepanjang wilayah pesisir utara dan selatan Papua4. Di wilayah ini, terdapat banyak pelabuhan laut atau dermaga, yang mana tiga pelabuhan terbesar adalah Jayapura, Biak dan Merauke (Tabel 4.4). Untuk skala yang lebih kecil, transportasi sungai cukup dominan di beberapa kabupaten yang dilalui oleh Sungai Mamberamo dan Digul, yaitu Mappi, Mamberamo Raya, dan Boven Digoel. Pemprov Papua memberikan perhatian khusus pada moda transportasi air ini dengan membeli dan mengoperasikan enam kapal perintis. Tabel 4.3 Panjang Jalan Menurut Status dan Kabupaten/Kota DI Provinsi Papua Tahun 2007 Nasional Provinsi Kabupaten Total Luas Rasio Kabupaten/Kota 2 2 2 2 2 2 (Km ) (Km ) (Km ) (Km ) (Km ) (km/km ) Merauke 604.91 243.00 1 330.18 2 178.09 43 979 0.0495 Jayawijaya 268.70 61.50 1 693.00 2 023.20 12 680 0.1596 Jayapura 519.13 400.63 597.99 1 517.75 15 309 0.0991 Paniai - - 1 173.46 1 173.46 16 312 0.0719 Puncak Jaya - - 1 439.38 1 439.38 3 131 0.4597 Nabire 314.03 40.00 997.76 1 351.79 2 360 0.5728 Mimika - 38.75 632.58 671.33 14 215 0.0472 Yapen Waropen 53.30 130.50 1 326.25 1 510.05 10 852 0.1391 Biak Numfor 34.88 200.29 737.80 972.97 20 040 0.0486 Boven Digoel - - 402.96 402.96 28 471 0.0142 Mappi - - 693.28 693.28 27 632 0.0251 Sarmi - 164.00 144.54 308.54 25 902 0.0119 Keerom - - 577.25 577.25 9 365 0.0616 Waropen - 31.00 - 31.00 24 628 0.0013 Supiori - 37.96 - 37.96 775 0.0490 Kota Jayapura - 53.00 385.35 438.35 940 0.4663 Total 1 794.95 1 400.63 1 2131.78 15 327.36 317 062 0.0483 Sumber : BPS Papua (2008) diolah 4 Kab/kota yang berbatasan dengan laut adalah Jayapura, Nabire, Biak-Numfor, Sarmi, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Mimika, Asmat, dan Merauke Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 48 Bab 4 Analisis Sektoral Tabel 4.4. Kondisi Pelabuhan Laut Jayapura, Merauke dan Biak Tahun 2005 Fasilitas Jayapura Merauke Biak Panjang Dermaga (m) 132 74 142 3 Daya Dukung (ton/m ) 2.5 2.5 2.5 2 Kolam Labuh (m ) 19 800 19 800 12 900 2 Luas Lantai (m ) 1 200 240 150 2 Lapangan Penumpukan Kontainer (m ) 8 000 2 450 3 600 2 Gudang Lini I 1(satu) unit (m ) 2 200 640 800 Sumber : Dinas Perhubungan (2008) Kondisi topografi yang banyak bukit, jurang, gunung dan kepulauan menjadikan transportasi udara menjadi satu-satunya solusi di banyak wilayah Papua. Seperti sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, akses jalan hanya terdapat di sebagian kecil wilayah Papua dan banyak wilayah pedalaman yang hanya bisa disentuh melalui transportasi udara. Dengan memiliki lebih dari 400 bandara, Papua bisa dikatakan sebagai daerah dengan jumlah bandara terbanyak di Indonesia. Sebagian besar bandara berupa airstrip yang hanya bisa didarati pesawat perintis, seperti DHC-6 dan C.208. Empat bandara yang sudah dapat menampung pesawat dengan jenis Boeing 737/400, sedangkan dua bandara lain sudah bisa didarati pesawat F-27. Tidak adanya akses ke transportasi darat, laut dan sungai menyebabkan sangat tingginya harga-harga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan. Saat ini, bisa dikatakan kalau harga-harga barang di kabupaten- kabupaten di pegunungan tengah, terutama Puncak Jaya, merupakan yang paling mahal di Papua, dan bahkan di Indonesia. Tingginya harga di Puncak Jaya ini terjadi karena pengiriman barang ke ibukota kabupaten maupun ke wilayah-wilayah lain di pedalaman harus dilakukan melalui transportasi udara, sebagaimana yang terjadi pada daerah pegunungan di Puncak Jaya. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi juga diikuti oleh keterbatasan cakupan listrik di Papua. Saat ini kondisi infrastruktur kelistrikan di Papua, khususnya yang dibangun oleh PLN sangat tidak mencukupi kebutuhan masyarkat, sehingga rasio elektrifikasi di Papua saat ini hanya sekitar 32%. Rasio ini sangat jauh dibawah angka cakupan nasional yang sebesar 65%. Hal ini sebetulnya sangat disayangkan mengingat adanya potensi PLTA pada DAS Mamberamo dan Digoel. Selain kurangnya fasilitas listrik PLN yang tersedia, distribusi penyebaran yang tidak merata juga menjadi masalah kelistrikan di Provinsi Papua. Konsentrasi distribusi listrik PLN di Provinsi Papua lebih mengarah kepada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di Kota Jayapura dan Merauke. Kedua daerah ini mendapat sambungan listrik PLN dengan kapasitas terpasang masing-masing sebesar 57.997 kwh (38,38% dari total kapasitas listrik di Papua) untuk Kota Jayapura, dan sebesar 25.444 kwh (16,84%) untuk Kabupaten Merauke. Sedangkan, sebagian daerah yang terletak di bagian pedalaman dan pegunungan seperti Kabupaten Yahukimo, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Asmat, sampai saat ini belum terpasang listrik PLN dan hanya mengandalkan genset atau micro-hydro. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 49 Gambar 4.19. an Fasilitas Akses Air Bersih da kan Kelomp s Sanitasi Berdasark pok Pendapaatan ber: SUSENAS Sumb h) S 2007 (diolah Provvinsi Papua masih h tertinggal dalam hal akse es ke air bersih5 dan d tas fasilit sani perti yang ditunjukk itasi. Sep kan pada gambar 4.19,4 pada tahun 2007, aks ses adap air bersih terha b nya dimiliki oleh 35% han % pendud duk Papuaa, sedangk kan rata-raata onal adala nasio D ah 59%. Demikian ju uga dengan akses te asilitas san erhadap fa nitasi. Secaara -rata, akse rata- es terhadaap fasilitass sanitasi yang layaak hanya didapatka an oleh 56 6% pendduduk Pappua, sedangkan rata- h 74%. -rata nasional adalah Kese enjangan akses air r bersih dan fasilita as sanitas si antara kkelompok masyarak kat kayaa dan mis skin sanga atlah besaar. Pada gambar g 19, kita da 4.1 apat melihaat bahwa jika % kuintil kel 71% lompok ma asyarakat terkaya memiliki aks bersih, han ses ke air b d nya 12% dari kuint akat termis til masyara m skin yang memiliki ak kses yang sama. Beg d gitu pula dengan ses aks f ke fasilitas anitasi yan sa ng layak, yang dimi iliki oleh hampir h seluruh (95%%) kelomp pok masyarakat te erkaya, tetaapi hanya oleh 18% % dari kuin ntil masyar miskin. Hal ini rakat term sekaali lagi meenunjukkan n kurangny ya perhatia an terhada ap masyar rakat miskkin dalam hal penyyediaan fas lik. silitas publ Kete an sektor infrastruk ertinggala ktur di Pa apua suda ah berusaha diresp pons mela alui dana u a Otsus untuk rastruktur infr r. Mulai taahun 2006, Pemprov m v Papua mendapatk kan ambahan dalam alokasi dana ta d O bentuk dana Otsus d untuk infrastruktur yang dimaksudk kan untu uk mengeja ggalan dal ar keterting lam sektor r ini. Hanyya saja, da ak di-earma ana ini tida ark sepe d erti DAK dan penggunaannya ini belum m diatur de engan jelas s. Akan leebih baik jika tambbahan danna ini benar-benar be erfungsi seebagai tambahan atas alokasi APBD A nus (min danaa tambaha r. an ini) untuk sektor infrastruktur 5 Air bersih men emasan, air ledeng, pom ncakup air ke mur terlindun mpa dan sum eter ngi yang berjarak 10 me au lebih dari penampunga ata p nja. an kotoran/tin Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 50 Bab 4 Analisis Sektoral anja Daera Bela ruktur ah di Sektor Infrastr mbar 4.20. Gam frastruktur Tingkat Tren Pengeluaran Inf T a di Provins Provinsi dan Kabupaten/Kota si ahun 2004-20 Papua Ta 008 a]. Harga Be [a erlaku 7 [b]. Harga Konstan 2007 ber: Realisasi APBD Sumb A Tahun 2004-2008 (diolah) anja infras Bela p struktur di tingkat provinsi dan d kabuppaten/kotaa mengalami kenaik kan yangg sangat tinggi se etiap tahu m un. Jika dihitung menurut harga bela ata aku, rata-ra aikan belan kena nja infrastr ruktur di tin ngkat peme ovinsi adala erintah pro p ah sebesar 50,47% per un, sedang tahu gkan menu s urut harga konstan sebesar 35,71% 3 A per tahun. Adapun untuk upaten/kota kabu t a setiap tahunnya rata-rata mengalam m n 51,84% berdasark i kenaikan kan ga berlaku, dan 36,40 harg 0% menuru ut harga koonstan. Perttumbuhan i n belanja infrastrukt tur per ka apita meng galami keenaikan peesat. Belanja astruktur per infra p kapita mengalam mi pertum mbuhan rat ta-rata sebesar 38%% per tah hun men a berlaku. Sementar nurut harga ra menurut onstan seb t harga ko p besar 24%. Belanja per kapit s ta untuk sektor infra astruktur in ni adalah belanja se egis yang paling bes ektor strate sar men p ngalahkan sektor pendidikan, , kesehatan, maup pun pertan nian denggan nominal sebeesar Rp1,66 juta/orangg/tahun pa 2 ada tahun 2008. Gambar 4.21. ngeluaran In Trend Pen P Kapita di Provinsi Pap nfrastruktur Per 004-2008 pua tahun 20 omina l per kapi Belanja infrastruktur no ita (Rp) 1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 - 2004 2005 2006 2007 2008 n Belanja nominal per kapit a r per kapita Belanja riil ber: Realisasi APBD Sumb A Tahun 2004-2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 51 Porsi belanja infrastruktur dalam struktur anggaran belanja daerah terlihat lebih tinggi di pemerintahan provinsi dibandingkan kabupaten/kota. Untuk tingkat provinsi sepanjang tahun 2004-2008 belanja infrastruktur mendapat alokasi belanja sekitar 20% per tahun. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, alokasi belanja infrastruktur sedikit lebih rendah yaitu 15% per tahun dari total belanja daerah. Alokasi provinsi yang lebih besar ini pada umumnya disebabkan oleh dana Otsus untuk infrastruktur yang seluruhnya dikelola oleh Pemprov. Dalam struktur biaya infrastruktur, belanja modal menempati porsi yang paling tinggi diantara seluruh komponen belanja lainnya. Rata-rata porsi belanja modal selama periode 2004-2008 untuk tingkat provinsi adalah sebesar 86,18% per tahun. Untuk tingkat kabupaten/kota, rata-rata belanja modal adalah 76,47% per tahun. Hal ini merupakan suatu kewajaran, mengingat sektor ini bersifat padat modal. Gambar 4.22. Trend Pengeluaran Infrastruktur Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Infrastruktur Pemprov Belanja Infrastruktur Pemkab/Kota 1,000 3,000 Billions Billions 800 2,500 2,000 600 1,500 400 1,000 200 500 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja modal Belanja lain-lain Belanja modal Belanja lain-lain Total belanja infrastruktur (riil) Total belanja inf rastruktur (riil) Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Rekomendasi Pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota perlu segera bersama-sama merumuskan rencana induk pembangunan infrastruktur Prov. Papua yang komprehensif. Rencana induk ini harus menetapkan skala prioritas, mengingat sumber dana yang terbatas, dan memuat hal-hal sebagai berikut: x sistem transportasi multi moda yang mengintegrasikan pembangunan jalan aspal, jalan tanah, angkutan sungai, laut, dan danau, dan transportasi udara x pembangunan sumber energi listrik melalui SDA terbarukan dan tidak bergantung pada BBM, karena biayanya yang tinggi x pembangunan jaringan air bersih dan fasilitas sanitasi, terutama untuk daerah pedalaman x jaringan telekomunikasi, di mana sektor swasta dapat berperan aktif, yang menghubungkan Papua ke Palapa Ring dan mambangun backbone ke setiap kabupaten/kota. Pemprov dan Pemkab/kota perlu memberikan alokasi dana yang lebih untuk pemeliharan dan rehabilitasi infrastruktur yang sudah ada. Pembahasan di bagian sebelumnya menekankan bahwa kondisi infrastruktur di Papua memprihatinkan, terutama untuk jalan raya. Mengingat besarnya dana yang diperlukan untuk membangun infrastruktur baru, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mengalokasikan dana yang cukup untuk pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur yang sudah ada sehingga dapat bertahan selama mungkin. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 52 Bab 4 Analisis Sektoral Selain pemeliharaan dan rehabilitasi, Pemprov dan Pemkab/kota juga dapat meningkatkan fasilitas bandar udara dan pelabuhan yang sudah ada di beberapa simpul transportasi. Salah satu permasalahan di bidang transportasi adalah kurangnya jumlah bandara dan pelabuhan yang dapat didarati pesawat berbadan lebar atau kapal peti kemas. Sembari menunggu selesainya rencana induk, Pemprov dan Pemkab/kota dapat memberikan solusi sementara untuk masalah transportasi dengan meningkatkan fasilitas bandara dan pelabuhan yang menjadi simpul transportasi, seperti bandara Wamena dan Nabire dan pelabuhan Pomako. Melalui program PNPM-RESPEK, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mendorong infrastruktur berbasis masyarakat, seperti pembangkit listrik tenaga microhydro (PLTMH) dan tenaga surya (PLTS). Berbagai pembahasan di atas menekankan bahwa akses masyarakat pedesaan ke infrastruktur publik sangatlah minim. Sembari menunggu berjalannya program pemerintah, masyarakat dapat membangun beberapa infrastruktur sederhana yang difasilitasi oleh PNPM-RESPEK. Dengan bantuan fasilitator lokal, masyarakat dapat membuat PLMTH dan PLTS sederhana, jalan setapak, dan jembatan sederhana. Infrastruktur yang sederhana ini akan dapat berdampak besar dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 4.4. Sektor Pertanian Pertanian adalah sektor ekonomi terbesar kedua di Papua setelah pertambangan dan diyakini memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi masyarakat Papua. Walaupun memiliki potensi alam yang besar, sektor pertanian belum berkembang. Kapasitas produksi pertanian relatif rendah dan peningkatan produktivitas cenderung stagnan. Pemerintah daerah sendiri sudah mulai memberikan perhatian lebih pada sektor ini yang terlihat dari meningkatnya belanja sektor pertanian secara signifikan. Kondisi Pertanian Di Provinsi Papua Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting peranannya di dalam pengembangan ekonomi masyarakat di Provinsi Papua. Ada beberapa pertimbangan mengapa pembangunan pertanian ini menjadi sangat penting yaitu, (1) menguasai kurang lebih 80% penduduk kampung, (2) menyerap lebih dari 70% seluruh tenaga kerja, (3) sumber daya alamnya menyebar merata ke semua daerah, dan (4) pembangunan pertanian mampu mereduksi kemiskinan dan menurunkan ketimpangan pendapatan yang sekaligus juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, sektor perekonomian ini dapat dikatakan sektor dengan multiplier effect terbesar. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 53 Gambar 4.23. han dan Pro Pertumbuh oporsi Sektor D r Pertanian Dalam PDRB H B Menurut Harga an Konsta pa Tambang Di Provinsi Papua 2000 Tanp P un 2000-2007 Tahu 7 ertumbuhan [a]. Pe P [b]. Proporsi angan : Ketera S1 : Sektor Pertan nian S S5 : Sektor gangan, Hotel dan Restoran Perdag n mbangan dan Penggalian S2 : Sektor Pertam S S6 : Sektor Pengan Komunikasi ngkutan dan K S3 : Sektor Industri S S7 : Sektor asa Lainnya Jasa-Ja S4 : Sektor Banguunan Sumbber : BPS Papuua (2008) diolah Sekt nian selam tor pertan ma ini massih diposisikan seb bagai sekt tor komple emen dala am pemmbangunan n wilayah h Papua. Meski dis sadari bahhwa pembangunan pertanian itu meru upakan pe embangun nan yang pro-growth mployment dan pro-p h, pro-em poor, nam mun dalam pereko w onomian wilayah apua pertu Pa umbuhannya sangat t lambat, kalah cep pat dibandingkan sektor pertambang gan, bang gunan, pe erdagangan n dan pe engangkuta an. Keem mpat sekto ma periode or ini selam e 2001-20007 berdasa arkan PDR k RB harga konstan 000 20 (tanppa tamban ng), dapat d atas 8% t tumbuh rata-rata di % per tahun. Sedan ngkan sek ktor pertaanian hanyya mampu tumbuh 4,42% per tahun,t yan p ng bahkan di bawah pertumbuh han ekonnomi Papu ua sebesar 6,82% per p tahun (Gambar 4.23a) . P Padahal da alam strukktur pereekonomian Papua, pe nian paling eranan sektor pertan bandingkan g tinggi dib ang n sektor ya lain. Seperti yaang disajikkan dalam Gambar 5.23[b], ko ontribusi se anian selama ektor perta ode 2000- perio -2007 kur rang lebihh sekitar 39,58% perp tahun, , jauh di atas sek ktor banggunan, per rdagangan ainnya. n maupun jasa-jasa la Sub-sektor ta b anaman bahan maakanan seelama ini menjadi kontribut sar tor terbes dalaam sektor r pertanian di Papu ua. Selam ma tahun 2000-2007 2 si sub-sek , kontribus ktor tanaaman bahaan makanan dalam PDRB sekto an rata-rata or pertania a mencapa p ai 48,12% per tahu p un. Pada periode yaang sama, sub-sektoor perikanaan menunj ang jukkan kontribusi ya men edangkan sub-sekto ningkat, se or kehutanan menu unjukkan hal yang sebaliknya. Seda k angkan, kontirbusi s sub-sektor r perkebun nan dan peternakan p s n masih sangat nim min (lihat Gambar 4.24). Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 54 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.24. P Struktur PDRB Sektor Pertanian Menurut Ha an 2000 arga Konsta Provinsi P ua Papu 000-2007 Periode 20 ber : BPS Pa Sumb d apua (2008) diolah Pada umumn nya rumah h tangga tani di Pr apua meru rovinsi Pa upakan peetani gure em denggan penguasaan la ahan yang d g kurang dari 1 hek ktar. Dalam m Gambar hat r 4.25 terlih bahwwa rumah tangga di Papua se ecara menyeluruh raata-rata hanya menguasasi lah han anian produktif sek perta H kitar 0,61 hektar. Hanya ada 4 kabu mana rum upaten dim mah gganya me tang enguasai lahan lebihh dari 1 hektar h yak d Kabupat kni rumah tangga di ten Mera rom, Sarm auke, Keer mi, dan Nabbire. Prod n tanaman duktivitas pertanian m n pangan masih ren ndah. Data vitas di anta a produktiv ara un 2004-2 tahu 2007 dapa at mengggambarkan n kondisi tersebut. . Sebagaimana ya ang dipaparkan daalam Gambar 4.26, perkemba angan prodduktivitas dari komooditi tanamman bahaan makanan utama yakni pa g, kacang- adi, jagung -kacangan, umbi-um mbian, say yur- uran dan buah-buahan hamp sayu pir sebagiian besar menunjukkan tren yang ter rus men a nurun setiap tahunnya Gambar 4.25. an Lahan Pertanian Per Rumah Tang Penguasaa nian gga Pertan rut Menur n/Kota di Pro Kabupaten a Tahun 2003 ovinsi Papua ktar) 3 (dalam hek 75 1.7 1.52 1.53 50 1.5 1.2 25 1.18 1.02 1.0 00 0.95 0.92 0.77 75 0.7 65 0.6 0.61 0.5 55 0.47 0.50 0.48 0.5 50 0.43 40 0.4 0.39 0.26 25 0.2 0.13 0.14 06 0.0 00 0.0 en ra ya ng l r ya o oe ra ya n K Wa m ya ke a D a ar re fo ua ah at k i A i ee i m ca ia p eg kim Ja e pu ar en ik op Ja pu ro um ta ap Y m ija Ja au ig W bi a rop n ap ar ov im lik un a in a s w ya M u S er P P en N N P B M To B K M Ja k ia P B ot ap Y ber: BPS Papu Sumb ah) ua, 2006 (diola Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 55 Gambar 4.26. Produktivitas Tanaman Pangan Papua Tahun 2004-2007 (dalam ton/ha) 16 14 12.86 12.81 12.32 12.53 12 10.04 9.89 10.04 10.00 10 8 6 4.86 4.51 4.14 4 3.61 3.56 3.18 3.27 1.97 2.32 2.05 1.74 1.93 1.67 1.70 2 1.49 1.01 0 2004 2005 2006 2007 Padi Jagung Kacang Sayur Buah Umbi Sumber : BPS Papua (2004-2008) Pembukaan areal untuk pengembangan padi di Papua merupakan sumber pertumbuhan baru bagi komoditas pangan nasional pada umumnya, dan Provinsi Papua khususnya. Makanan pokok penduduk asli Papua sebenarnya bukan beras, melainkan umbi-umbian seperti ubi jalar dan keladi. Hal ini menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan areal persawahan di propinsi ini. Namun, akhir- akhir ini, sebagian penduduk asli di Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang dan Merauke sudah menanam padi untuk dijual. Hal ini memberi peluang bagi pemberdayaan penduduk asli melalui pengembangan tanaman padi. Daerah penghasil padi yang paling besar saat ini adalah Kabupaten Merauke. Wilayah ini mampu menyumbang sekitar 89.93% terhadap total produksi padi di Provinsi Papua, simak Tabel 4.5. Pusat-pusat produksi padi di Merauke ini umumnya merupakan kawasan transmigrasi yang dibuka semenjak tahun 1980-an. Setelah Kabupaten Merauke, daerah lainnya yang cukup berpotensi menghasilkan padi adalah Kota Jayapura, dimana pada tahun 2007 kontribusinya mencapai 5,16% terhadap total produksi padi Papua. Tabel 4.5. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Produksi Tanaman Bahan Makanan Di Provinsi Papua Tahun 2007 Kabupaten/Kota Padi Jagung Umbi Kacang Sayur Buah Tnm Pangan Merauke 89.93 3.08 0.93 12.48 1.22 10.48 15.06 Jayawijaya 0.36 13.75 37.87 12.76 40.50 4.59 27.63 Jayapura 1.94 8.19 1.65 9.07 13.05 26.93 6.03 Nabire 0.19 11.58 3.57 12.94 1.16 1.38 2.85 Y. Waropen 0.00 5.53 1.84 4.57 0.44 0.46 1.38 Biak Numfor 0.00 5.50 1.74 1.21 4.68 11.45 3.04 Paniai 0.00 8.83 21.11 3.29 9.79 3.64 14.63 Puncak Jaya 0.67 5.39 1.39 3.18 3.86 9.70 2.65 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 56 Bab 4 Analisis Sektoral mika Mim 0 0.00 0.95 0.97 8.59 1.55 6.18 6 1.66 ven Digoel Bov 0.00 0 0.00 0.72 0.00 0.16 1.73 0 0.70 appi Ma 0 0.00 0.44 0.40 0.62 0.12 1.42 6 0.46 mat Asm 0 0.00 0.00 0.07 0.00 0.02 0.11 6 0.06 Yahukimo 0 0.06 13.59 20.62 10.71 0.67 0.40 3 13.43 Peg. Bintang 0.00 0 0.61 1.10 1.29 2.69 0.34 4 0.94 likara Tol 0 0.08 5.78 4.00 5.66 6.06 0.51 6 3.16 Sarmi 0 0.08 3.81 0.66 6.32 1.61 4.97 3 1.33 Keerom 0 0.08 8.31 0.34 3.08 3.71 7.28 0 1.60 aropen Wa 1.45 0.58 0.55 5 2.28 1.91 3.80 2 1.22 Supiori 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.29 0.14 4 0.04 ta Jayapura Kot 5 5.16 4.08 0.46 1.95 6.50 4.48 4 2.14 tal Tot 1 100 100 100 100 100 100 0 100.00 Sumb apua (2008) di ber : BPS Pa d olah m Papua juga memiliki pootensi per rtanian lain selain padi. p Bebeerapa komo man oditi tanam bahaan makana a juga cuk an lainnya kup potenssial dan te ersedia bannyak di Paapua, sepe erti jagung, umbi- -umbian, kacang-ka acangan, sayur-sayuran dan buah-bua ahan. Untuk komoditas ters J sebut, Kabupaten Jayawijaya a merupak kan kawas san paling produktiff di Papu auke, Yahu ua, disusul oleh Mera hat Tabel 4 ukimo dan Paniai (lih 4.5). Bela ah di Sektor Pertani anja Daera ian Trenn pengeluuaran pem merintah di sekto or pertanian baik di provin nsi maup pun kabu ota melaju upaten/ko u cukup pesat. UntukU pem p merintah provinsi pertumbuh han peng p geluaran pertanian selama tahun 200 04-2007 menurut m haarga berlaaku rata-raata men 70%, lihat Gambar 4.27. Sedan ncapai 27,7 ngkan mennurut harga konstan 2007 adalah 73% per ta 14,7 ahun. Sem ota, pertum mentara di tingkat kabupaten/ko mbuhannya a lebih tinggi ata-rata 50, lagi dengan ra t ,46% per tahun menurut harga dan sekitar 35,32% per a berlaku, d p un menurut tahu nstan 2007 t harga kon 7. Gambar 4.27. ktor Pertanian Provinsi dan Kabupate Tren Pengeluaran Sek P en/Kota di Provinsi ua Papu 04-2008 Tahun 200 [a]. u Harga Berlaku [b]. rga Konstan 2007 Har Sumb A(a). Harga ber: Realisasi APBD TahunBerlaku 2004-2008 (diolah) (b). Harga Konstan 2007 Sumber : Realisasi APBD Tahun 2004 - 2008 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 4 Analisis Sektoral 57 Gambar 4.28. Trend Pengeluaran Pertanian Per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008 Belanja pertanian nominal per kapita (Rp) 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 - 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja nominal per kapita Belanja riil per kapita Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Pertumbuhan belanja sektor pertanian per kapita terus naik meskipun sedikit mengalami penurunan di tahun 2005. Sepanjang tahun 2004-2008 pengeluaran per kapita sektor pertanian menurut harga berlaku (nominal) rata-rata tumbuh sekitar 39% per tahun, dan sebesar 25% per tahun menurut harga konstan 2007. Pada tahun 2008 secara nominal belanja untuk sektor pertanian per kapita mencapai Rp250 ribu/orang/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan belanja pendidikan per kapita yang mencapai Rp995 ribu/orang/tahun. Walaupun sektor pertanian saat ini merupakan tulang punggung utama dalam pengembangan ekonomi kerakyatan di Papua, alokasi dana untuk sektor ini terbilang sangat rendah setiap tahunnya. Misalkan untuk tahun 2004-2008, rata-rata alokasi belanja di sektor pertanian di tingkat pemerintah provinsi hanya sebesar 2,62% per tahun, sedangkan di kabupaten/kota hanya sebesar 2,43% per tahun dari total belanja daerah6. Lebih mengkhawatirkan lagi, belanja pegawai merupakan komponen paling dominan pada belanja sektor pertanian Pemprov maupun Pemkab/kota. Seperti yang disajikan pada Gambar 4.29, proporsi belanja pegawai sektor pertanian di provinsi mencapai 39,80% per tahun dan di kabupaten/kota mencapai 43,37% per tahun. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena pengembangan sektor pertanian sangat memerlukan dana untuk pembelian bibit, pupuk, dan pestisida, yang termasuk belanja barang dan jasa, dan untuk pengadaan alat-alat berat dan pembangunan tempat-tempat pengolahan dan penyimpanan hasil pertanian, yang merupakan belanja modal. 6 Lihat bab 3-belanja Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 58 Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.29. Trend Pengeluaran Pertanian Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2004-2008 Belanja Pertanian Pemprov Belanja Pertanian Pemkab/Kota 120 500 Billions Billions 100 400 80 300 60 200 40 20 100 - - 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja pegaw ai Belanja barang & jasa Belanja modal Belanja lain-lain Belanja modal Belanja lain-lain Total belanja pertanian (riil) Total belanja pertanian (riil) Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Rekomendasi Pembangunan agribisnis dan agroindustri dalam pertanian rakyat perlu ditingkatkan. Ketersediaan pasar merupakan masalah yang sangat dominan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang lebih banyak basisnya di sektor pertanian. Oleh karenanya pengembangan agribisnis dan agroindustri untuk usaha rakyat sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah pemasaran, selain juga untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan oleh usaha rakyat di sektor pertanian. Pemprov dan Pemkab/kota perlu memfasilitasi program-program kemitraan yang saling menguntungkan antara petani/nelayan dengan pemilik modal dan teknologi. Keterbatasan modal dan teknologi produksi mengakibatkan produktivitas pertanian rakyat menjadi rendah. Padahal, potensi sumber daya pertanian yang dimiliki rakyat sangat banyak jumlah dan ragamnya. Karena itu, bantuan pendanaan sangat diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dan untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Pendanaan ini dapat diperoleh salah satunya melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan daerah, nasional, swasta, atau lembaga-lembaga ekonomi lainnya. Belanja daerah di bidang pertanian sangat mendesak untuk ditingkatkan, khususnya untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal. Seperti dijelaskan sebelumnya, dua masalah dalam belanja sektor pertanian adalah jumlahnya yang relatif sangat kecil dan proporsi belanja modal dan belanja barang dan jasa yang sangat minim. Padahal, kedua belanja ini sangat mendukung pengembangan dan penguatan ekonomi kerakyatan, yang menjadi amanat Otsus. Peningkatan alokasi belanja secara dramatis dan perbaikan komposisi belanja sektor ini merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan oleh Pemprov dan Pemkab/kota untuk memaksimalkan hasil-hasil pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan di Papua. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 59                                         PENGELOLAAN BAB 5 KEUANGAN DAERAH Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 60 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah Selama beberapa tahun terakhir, pengelolaan keuangan daerah (PKD) di Prov. Papua sudah menunjukkan perbaikan, namun masih perlu dibenahi lebih lanjut. Saat ini, aspek PKD yang paling lemah adalah perencanaan dan penganggaran, kemudian diikuti oleh aspek pengawasan internal dan pengelolaan aset. Dari sisi pelaporan, kualitas LKPD seluruh Pemda di Papua masih belum baik, walaupun sudah ada perbaikan dalam setahun terakhir. KONDISIUmum 5.1. Kondisi UMUMPengelolaan PENGELOLAANKeuangan Daerah KEUANGAN Prov. Papua DAERAH PROV. PAPUA Kapasitas pemerintah daerah di Provinsi Papua secara umum masih lemah dalam beberapa aspek pengelolaan keuangan daerah. Survey kapasitas PKD yang dilakukan di Pemprov dan 14 kab/kota di Prov. Papua menunjukkan bahwa, hampir di semua aspek, kapasitas PKD Pemprov lebih baik dari rata-rata Pemkab/kota. Untuk lingkup Pemprov, beberapa aspek, seperti manajemen kas dan akuntansi & pelaporan, sudah cukup baik. Hanya saja, aspek kerangka perundangan, perencanaan dan penganggaran, eksternal audit, dan manajemen aset masih perlu dibenahi. Pada tingkat kabupaten/kota, secara umum, dapat dikatakan semua aspek masih lemah dan memerlukan rencana aksi dan program pengembangan kapasitas yang komprehensif. Gambar 5.1. Hasil Survey Kapasitas PKD Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota Tahun 2009 PFM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 AuditEksternal ManajemenAset InternalAudit(SistemPemeriksaan…  AkuntansidanPelaporan PengadaanBarangdanJasa ManajemanKas/Penatausahaan PerencanaandanPenganggaran KerangkaPerundanganPerencanaandan … 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% ProvinsiPapua Kabupaten/KotadiProvinsiPapua Sumber: Survey PFM di Kabupaten/Kota dan Provinsi Papua, 2009 5.2. Perencanaan dan Penganggaran Proses perencanaan dan penganggaran di Provinsi Papua selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan. Proses perencanaan dan penganggaran daerah saat ini diatur dalam UU 25/2004, UU 32/2004, dan UU 33/2004 beserta aturan turunannya. Perangkat aturan ini sudah berubah dua kali sejak dimulainya era otonomi daerah. Tahun 2001-2002, proses ini diatur melalui Manual Keuangan Daerah (Makuda) 1981. Pada tahun 2003-2006, proses perencanaan dan penganggaran mengacu pada Kepmendagri No. 29/2002. Sejak tahun 2007, aturan yang diacu adalah Permendagri No. 13/2006, yang kemudian direvisi melalui Permendagri No. 59/2007. Perubahan- perubahan ini (dapat dilihat di Gambar 5.2), walaupun pada dasarnya bertujuan baik, sering menyulitkan Pemda. Sebagai contoh, sistem informasi yang dibuat berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002 harus dirombak total karena Permendagri No. 13/ 2006 mempunyai sistem penganggaran yang sangat berbeda. Selain itu, beberapa Pemda mengalami kesulitan dalam membuat Perda mengenai pengelolaan keuangan daerah Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 61 berdasarkan Permendagri No. 13/ 2006. Sampai tahun 2009, baru sekitar 50% kabupaten/kota di Provinsi Papua yang telah menerbitkan Perda ini dan hanya sekitar 29% kabupaten/kota yang memiliki Peraturan Kepala Daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah. Box 5.1 Pengukuran Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) Komponen PKD apa saja yang diukur? Sembilan komponen: Kerangka perundang-undangan daerah, Perencanaan dan penganggaran; Manajemen kas, Pengadaan; Akuntansi dan pelaporan; Audit internal; Hutang, hibah, dan investasi; Manajemen asset; dan Audit eksternal Bagaimana metodologi penilaian? Setiap komponen terdiri atas sejumlah indikator yang bersifat biner: “1”, jika memenuhi, dan “0”, jika tidak memenuhi atau tidak ada data. Skor suatu komponen merupakan rata- rata dari nilai setiap indikator dan skor keseluruhan merupakan rata-rata dari skor setiap komponen. Total jumlah indikator adalah 134 buah. Bagaimana cara pengumpulan dan verifikasi data? Data diperoleh melalui sumber primer, yaitu wawancara dengan responden kunci, dan sumber data sekunder, seperti RPJMD dan APBD. Yang termasuk responden kunci antara lain adalah jajaran Bappeda, BPKD, Sekretariat DPRD, dan Biro Hukum dan Infokom. Verifikasi terhadap sumber primer dilakukan dengan dokumen-dokumen penunjang. Apakah nilai rendah selalu berarti kapasitas PKD yang rendah? Tidak selalu. Skor PKD mencerminkan rasio indikator yang sudah dipenuhi. Suatu daerah bisa mendapatkan nilai rendah karena tidak memberikan kesempatan wawancara atau akses ke data sekunder yang diperlukan. Sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Papua masih belum memiliki dokumen perencanaan wajib. Sebagaimana yang telah disyaratkan dalam UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa suatu Pemda wajib memiliki RPJPD, RPJMD, dan Renstra-SKPD, yang akan menjadi dasar dalam menyusun prencanaan daerah setiap tahun. Sayangnya, sebagian Pemda bekum memiliki dokumen-dokumen ini. Dari survey kapasitas PKD ditemukan bahwa, hingga tahun 2009, baru sekitar 57% kabupaten/kota di provinsi Papua yang disurvey telah memiliki RPJMD. Survey yang sama juga mengindikasikan bahwa belum ada Pemda di Papua di mana seluruh SKPD-nya memilik Renstra. Kualitas dokumen perencanaan masih memprihatinkan. Analisis tehadap RPJMD yang dikumpulkan melalui survey PKD menunjukkan bahwa hampir semua dokumen multi-tahun tidak memiliki indikator-indikator kuantitatif yang dapat diukur. Selain itu, sedikit sekali dokumen perencanaan jangka menengah dan panjang yang menerapkan multi-term expenditure framework (MTEF). Melihat kondisi demikian, kita dapat mengindikasikan bahwa perencanaan pembangunan di sejumlah Pemda belum bisa menunjukkan konsistensi antara perencanaan jangka pendek dan jangka menengah. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 62 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah Gambar 5.2 1. Perkembangan Format Anggaran Ga ambar 5.3. me Proses Perencanaan Mekanism P n Kabupaten Provinsi dan pua n/Kota di Pap P PEMDA ABUPATEN KA D N/KOTA DPRD PROVINSI PEMDA P ang Kampung (Desa) Musrenba ng Musrenban Musrenba ang Distrik Kabupaten/ /Kota NG JARIN ASMAARA ang Kabupa Musrenba aten ang Musrenba ABUPATE RKPD KA EN/KOTA rovinsi RKPD Pr Ͳ Progr K ram Turun Kampung Ͳ Turun Kampung K Ͳ Talk Show RRI & TV ow Talk Sho ber: Berbaga Sumb an ai Peraturan Perundanga ber : Berda Sumb asarkan hasil wawancar K ra dengan beberapa Kepala PEDA Kabu BAPP upaten/Kota dan nsi Papua (20 Provin 009) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 63 Proses perencanaan dilakukan melalui jalur top-down dan bottom-up, namun belum berjalan baik dan masih cenderung normatif. Jalur top-down didesain untuk menjamin konsistensi antara perencanaan di tingkat daerah dengan pusat. Dengan kata lain, perencanaan provinsi harus mengacu pada perencanaan nasional, sedangkan perencanaan kab/kota harus mengacu pada perencanaan nasional dan provinsi. Jalur bottom-up merupakan perencanaan yang disusun dari masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kampung/kelurahan sampai nasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kolaborasi antara kedua jalur tersebut masih belum berjalan lancar karena berbagai masukan dari bawah seringkali tidak terakomodasi dalam siklus perencanaan dan penganggaran Pemda. Selain itu, implementasi perencanaan bottom-up sendiri masih terkesan normatif dan kurang efektif. Mekanisme perencanaan dan di Provinsi Papua terlihat pada Gambar 5.3. Program turun kampung (turkam) Gubernur dan Bupati/Walikota di Papua membuka peluang lain bagi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Program turkam dilakukan hampir setiap tahun untuk turun langsung ke sejumlah kampung (desa) melihat kondisi pembangunan dan mendengarkan aspirasi pembangunan yang paling dibutuhkan masyarakat. Program ini diakui oleh banyak kalangan sebagai suatu terobosan baru dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Hanya saja, selama ini, tindak lanjut dari hasil turkam belum optimal. Dalam hal ini, diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai instansi pemerintahan untuk bisa menindaklanjuti hasil turkam secara efektif. Proses perencanaan dan penganggaran di Prov. Papua masih sering tidak tepat waktu, terutama untuk tingkat kab/kota. Survey kapasitas PKD menunjukkan bahwa hanya 28% Pemda yang menyelesaikan APBD 2009 sebelum 1 Januari 20091. Keterlambatan ini pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan aparatur perencana dan aksesibilitas yang sulit pada sebagian besar daerah di Papua. Agenda perencanaan dan penganggaran yang sangat padat di era otonomi daerah ini membutuhkan kualitas dan kuantitas SDM yang memadai. Di Prov. Papua, belum terlihat keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran dalam berbagai strata pemerintahan. Selama beberapa tahun terakhir, terdapat indikasi kuat bahwa proses perencanaan dan penganggaran lima tahunan dan tahunan kurang terkait satu sama lain baik di lingkungan Pemprov maupun Pemkab/kota. Permasalahan lain adalah kurang baiknya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota, atau antara SKPD dalam satu strata pemerintahan. Matriks Konsolidasi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP) yang dirancang sebagai alat pengendali konsistensi perencanaan dan penganggaran belum berfungsi secara efektif. Sejak tahun 2008, pemerintah Provinsi Papua telah mengambil terobosan dengan menerapkan alat kendali Matriks Konsolidasi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP) dalam melakukan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. Tujuan utama dari penerapan MKPP adalah 1) terjadinya konsistensi dalam perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan; 2) adanya konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pengendalian, dan pertanggungjawaban; dan 3) terjadinya sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD sehingga tidak terjadi duplikasi program/kegiatan. Namun MKPP ini baru diterapkan 1 4 dari 14 kabupaten/kota Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 64 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah sebatas pada perencanaan program/kegiatan, sedangkan dalam proses penganggaran, pengendalian, dan pertanggungjawaban belum kelihatan fungsinya. Penerapan MKPP masih menemui beberapa kendala. Beberapa kendala utama yang dihadapi antara lain: a. rendahnya kemampuan dan ketrampilan aparatur dalam memahami dan mengisi worksheet MKPP, b. matriks MKPP membutuhkan worksheet yang terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu untuk membaca dan memahaminya, c. dukungan dokumen perencanaan (RPJMD dan Renstra SKPD) yang belum dilengkapi dengan indikator-indikator yang terukur. Tabel 5.1. Jadwal dan Proses Penganggaran Pemerintah Daerah Proses Batas Waktu Pemerintah Daerah menyusun rancangan KUA dan PPAS untuk dibahas Paling lambat 5 bulan sebelum bersama DPRD tahun anggaran dimulai Berdasarkan KUA dan PPAS yang telah disepakati antara Pemerintah Pada bulan September tahun Daerah dan DPRD, Kepala daerah menerbitkan Surat Edaran kepada anggaran sebelumnya seluruh satuan kerja untuk menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Satuan Kerja Satuan Kerja membuat Usulan Program, Kegiatan, dan Anggaran yang dituangkan dalam Rencna Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja Rencana Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja diserahkan kepada Tim Anggaran Eksekutif untuk dinilai kewajaran beban kerja dan biaya kegitannya Hasil pembahasan Tim anggaran Eksekutif dituangkan dalam Rancangan APBD Tim Anggaran Eksekutif membahas Rancangan APBD bersama Panitia Anggaran DPRD Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD untuk Paling lambat 1 bulan sebelum mendapatkan persetujuan anggaran dimulai Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui oleh DPRD disahkan Paling lambat 1 bulan setelah oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah tentang APBD. tahun anggaran dimulai Apabila rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan APBD tersebut Penyempurnaan rancangan APBD tersebut harus disampaikan kembali Paling lambat 1 bulan setelah kepada DPRD tanggal dikembalikan Apabila rancangan APBD setelah dilakukan penyempurnaan ternyata tidak Paling lambat 15 hari kerja. disetujui DPRD, Pemerintah Daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangann Daerah. Sumber : Perda No. 3 Tahun 2004 5.3. Pelaksanaan Anggaran Kapasitas manajemen kas dan penatausahaan keuangan Pemprov Papua cukup baik. Survey kapasitas PKD menunjukkan bahwa kinerja Pemprov Papua sudah di atas 50%. Hal ini antara lain disebabkan oleh dibentuknya kebijakan, prosedur, dan pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien, sistem penagihan dan pemungutan PAD yang efisien, dan peningkatan manajemen pendapatan. Sedangkan aspek pengelolaan dan pengendalian penerimaan kas, pembayaran kas, serta surplus kas temporer secara efisien masih perlu ditingkatkan. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 65 m Sedangkan, manajeme en kas dan penatau k usahaan keuangan n pada kabupaten/k kota massih kurangg baik. Survey kapas sitas PKD menunjukkkan bahwa as manajem a kapasita men kas dan penatausahaan keuangan P n seluruh Pemkab/ko bih rendah bila ota yang disurvey leb dibandingkan dengan Pemprov Pa t Gambar 5.4). Bahk apua (lihat kan, beberapa kab/kkota memmpunyai ka y apasitas yang sangaat buruk. Kurangnya as pada ka a kapasita kota abupaten/k uk bidang in untu mumnya disebabkan oleh kapa ni pada um M keuangan asitas SDM n yang kurrang mem a madai dan belum adanya suatu peratu ndangan d uran perun daerah yaang mengatur ang manajemen kas dan penge tenta enerimaan daerah, se elolaan pe g diamanat esuai yang tkan dalam PP No. 58/2005 te ngelolaan keuangan entang pen k daerah. Kinerja Manajemeen Kas dan euangan Kabupaten n Penatausahaan Ke K / mbar 5.4. Gam . Kota da ntah Provin an Pemerin nsi Papua 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% ber: Survey PFM Sumb P upaten/Kota dan Provinsi di Kabu 09 i Papua, 200 Keteerlambatan penerap N 41/200 pan PP No. 07 tentangg Organis sasi Peran ngkat Dae erah h mengha telah ambat pe elaksanaan anggar ran tahunn 2009 di Provinsi d i Papua dan umlah Kab seju bupaten/K Kota. Provinsi Papua a dan sebaagain besa ar Kabupat elah ten/Kota te mennyusun APB 2 BD tahun 2009 p berdasarkan organisasi perangkat daerah me enurut PP No. 2007. Namun, sebagi 41/2 P ian besar Pemda enerapkan PP No. 41/2007 sam ini belum me mpai bebeerapa bula an setelah APBD A 09 ditetapkan2. Kondi 200 gakibatkan isi ini meng n pelaksanaan APBBD terpaksa harus ditunda kare ena menun olidasi dan nggu konso sasi angga n rasionalis aran bagi SKPD yan ng baru. Mas m salah pertanggungjawaban merupaka n masalah yang paling men nonjol dalam pena atausahaaan keuang gan daera ah di Pappua, baik pada ting gkat provvinsi maup pun kabu upaten/koota. Surat Pertangg gungjawab ban (SPJ)) dari tingkat SKP PD umum mnya ambat, sehingga penyusunan Laporan terla L Kuuangan Peemerintah Daerah (LKPD) men njadi ambat juga terla a. Alasan utama pe a emerintah daerah atas masalah ini paada umum mnya adalah keterb k batasan kualitas SDM pengelola keuangan. B Beberapa daerah te elah beruupaya untuuk mengat tasi keterb batasan ini i dengan meminta m pihak ketig p ga (konsulttan) untuuk menyus sun laporann keuanga annya atauu untuk memberikan n bimbinga b an teknis bagi aparratur penge Namun efe elola keuangan dalam bentuk on the job training. N paya ektivitas up d untuk dinilai. masih terlalu dini d 2 bagian Pemd Seb da belum men s nyesuaikan struktur orga anisasi denga ganisasi Per an Perda Org rah rangkat Daer s yang sebetulnya sudah gian lain seda ditetapkan. Sebag ang dalam proses p esuaian, sepe penye erti pengangkatan peejabat. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 66 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 5.4. Akuntans si, Pelaporran, Penga awasan In an Manajem nternal, da men Aset Kapasitas SD DM akunta ansi dan pelaporan n di tingk m kat pemkab/kota masih sanngat kuraang dalam m kontek ks Permen ndagri No o. 13/2007. Penera apan Perm mendagri No. 2007 mendesentralis 13/2 sasikan fu ungsi aku untansi daan pelapo s oran ke setiap KPD. SK Refoormasi ini bertujuan baik, nam m mun tidak mempertim mbangkan s sangat kurangnya SDMS yangg kompeten terutama t pemkab/k a di tingkat masalahan ini perlu diatasi kota. Perm d dengan segeera, karenaa perhatian terhadap p kualitas laporan keuangan d masi akunta dan inform ansi Pemmda sudah semakin besar. Ma asalah yanng sama juga sebet adi di selu tulnya terja uruh daer onesia. Hanya saja, permasala rah di Indo ahan di Paapua sanga at besar ka tnya arena sulit menndapatkan SDM aku untansi da an marakn nya peme ekaran dae erah. Untu uk menga atasi masalah ini, re p ekrutmen pegawai engan pendidikan ak de lah dimulai, namun baru kuntansi tel b bisa memenuh hi untuk kebutuhan di tingkat PP PKD/BUD dan belum m untuk set tiap SKPD. atian Peme Persentase Perha ovinsi dan Kabupaten erintah Pro n/Kota mbar 5.5. Gam Terhadap Masala nsi dan Pel ah Akuntan laporan 100% Laporan Keuaangan dan anajemen Informasi Ma Lap d poran Keuangan dan ndal, 30% Akuntansi An formasi Manajeme Inf en Ak 5% kuntansi Andal, 35 80% an Saldo Transaksi da Keuangan Akkurat dan 60% Tepat Waktu, 30% Transaksi dan Saaldo Keuangan Akurat dan K Tepat Waktu, 24 4% 40% formasi Sistem Inf Akuntansi dan Manajemen Sistem Informasii Terintegraasi, 30% ntansi dan Manaje Akun emen 20% % Terintegrasi, 26% SDM/Kelem mbagaan n Keuangan Akuntansi dan SDMM/Kelembagaan Memada ai, 10% ansi dan Keuanga Akunta an 0% M Memadai, 16% ovinsiPapua Pro bupaten/Kota Kab adiProvinsiPapua ber: Survey Kapasitas Sumb K KD di Kabupaten/Kota da PK P an Provinsi Papua, 2009 Sistem Peng gendalian Internal (SPI) ma asih mem p merlukan banyak pembenah han. Peneerapan SPPI pada peemerintah provinsi p an kabupaten/kota m da pan. masih jauh dari harap Hal ini sangat disayangkkan karena a SPI sangat dibutuuhkan untu uk menjam aran min kelanca dan tertib pe enyelenggaraan pemerintahan daerah. Permas u salahan utama alah ada angnya kap kura pasitas SDDM audit in nternal, belum adany ya Peratura an Daerah S h tentang SPI, dan kurangnya a a alokasi anggaran. Yang Y ng penting untuk mengatasi pe palin ermaslaahnn ini enarnya ad sebe tical will da dalah polit ari Pemerintah daer rah untuk mendukun ng Inspektorat u Bawasda dalam me atau enjalankan fungsi SP PI secara ef efisien. fektif dan e Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 67 Ga ambar 5.6. ndingan As Perban spek SPI pa paten/Kota ada Kabup insi a dan Provi 100% 1 100% 8 83% 90% 80% 3% 63 70% 54% 60% 50% 40% 29% 29% vinsi Prov 30% 20% Kabupaten/Kotadi 10% 0% vinsiPapua Prov ungsi Fu Standardan Tin ndakLanjut nalaudit pr intern rosedur Temuan yangefektif audiitinternal AuditInternal danefisien d dapat  Dengan iterima di Segera ber: Survey PFM Sumb P upaten/Kota dan Provinsi di Kabu 09 i Papua, 200 andingan Aspek Perba A Man najemen Aset A Kabupaten pada K n/Kota dan ambar 5.7. Ga si Provins Kebijakan, dur , sistem dan prosed 34% encatatan, perolehan, penilaian, pemindahtangan pe n penghapusan dan dan n pelaporan barangg daerah yang 45% efektif 39% rosedu asset terinte Kebijakan dan pr egrasi dengan aten/Kota Kabupa s perencanaan dae proses erah 73% si Provins 25% 2 P Perencanaan p dan pengelolaan angka panjang aset ja 33% % 0% 20% 40% % 60% 80% ber: Survey PFM Sumb P upaten/Kota dan Provinsi di Kabu 09 i Papua, 200 Kapasitas pengelolaan n aset baikk di peme ovinsi ma erintah pro aupun kab bupaten/ko ota, mas d sih perlu diperbaiki.. Survey ka apasitas PKD P 2009 menunjukk kan bahwa a hanya 3 dari k 14 kabupaten/ /kota yangg memiliki Perda tentang penngelolaan b barang daaerah seba agai nan dari Permenda turun 007. Deng agri 17/20 gan tidak adanya Perda ini, baik as spek encanaan dan pere d pengeelolaan as set, maupu an dalam pencatata un kebijaka an, perolehhan, mindahtang penilaian, pem ganan, dan penghapu b usan aset, tidak bisa berjalan baik . Perttanggungj p jawaban pelaksana an angga aran masihh belum b baik. Sepe lihat erti bisa dil G di Gambar 5.7 7, sebagian n besar Laaporan Keeuangan Pemda di P Papua pad da tahun 2007 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 68 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah menndapatkan status ”tid dak memb berikan pe endapat” atau a aimer. Ketepatan wa discla aktu dalam penyam mpaian la aporan keu uangan pemerintah provinsi/k kabupaten/kota kepada pemmeriksa eks lu dilakuka sternal perl an dengan lebih baik lagi. Masa alah status penyelesa aian omendasi atas reko a temuan pihak pemeriksa a eksternal, juga perlu menda apat perha atian h, baik dar lebih ri pemerinttah provinssi, maupun kabupaten/kota. P Persentase e rekomend dasi yang d g belum ditindaklanj juti masih lebih bes da yang telah ditind sar daripad daklanjuti dan yang d g sedang dalam ses, perhat pros tikan Tabel 5.2. Ga ambar 5.8 8. mbangan Opini Perkem O di Ka Kota dan Provinsi Pap abupaten/K pua 19 0 20 8 18 6 16 4 14 12 12 en/Kota/ProvinsiWDP Kabupate 0 10 en/Kota/ProvinsiTW Kabupate 8 6 5 en/Kota/ProvinsiTMP Kabupate 6 3 4 1 2 0 0 0 0 0 0 0 2004 5 2005 06 200 007 20 Sumb P ber: Survey PFM upaten/Kota dan Provinsi di Kabu 09 i Papua, 200 tan: WDP (W Catat Wajar Dengan dak Wajar), TMP n Pengecualian), TW (Tid T n Pendapat) (Tidak Memberikan bel 5.2. Tab enyelesaian Rekome Status Pe K endasi BPK 5.5. Rekomen ndasi Pem P merintah Provinsi dan d Pemka p ab/kota di Papua perlu mem d mperbaiki kualitas dan kons p sistensi perencana aan, monit toring, da an evaluas si jangka pendek, tahunan, t d dan men S nengah. Seperti suddah diketaahui bersam men-dokum ma, dokum men peren ncanaan tiidak memmpunyai in dikator kin ndikator-ind nerja yang terukur dan d MTEF i F. Selain itu, men- dokum dokuumen terssebut kura ang kons sisten satu m u sama lain yang sering menyebab bkan kebingungan dalam pe elaksanaan n, monitoring, dan evaluasi pembang gunan. Un ntuk menngatasi peermasalaha an ini, Peemprov Pa apua dapat melakuukan perb ngka baikan jan pend anjang seb dek dan pa bagai berikut: Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah 69 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 70 Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua DANA OTONOMI KHUSUS BAB 6 PROVINSI PAPUA Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua 71 Setelah 8 tahun berjalan, otonomi khusus (Otsus) Papua masih menghadapi sejumlah masalah yang memerlukan pembenahan. Sampai saat ini, pengelolaan dana ini masih banyak mengundang tanda tanya, antara lain dalam hal perundang-undangan, alokasi, transparansi, monitoring, evaluasi, dan pertanggungjawaban. Permasalahan ini tercermin antara lain dari program RESPEK, yang merupakan program utama Otsus. 6.1. Otonomi Khusus Provinsi Papua Otonomi Khusus Papua ditujukan sebagai jawaban atas ketertinggalan Papua. Bahkan sampai saat ini, secara umum, pembangunan di Papua masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain. Untuk mengatasinya, pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua. Dalam UU ini, disebutkan bahwa diperlukan percepatan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia. Dalam perkembangannya, UU ini kemudian direvisi untuk mengakomodasi terbentuknya Provinsi Papua Barat. Otonomi khusus Papua ini memberikan tambahan dana bagi provinsi Papua. Sesuai dengan pasal 34 UU No. 21/2001, Provinsi Papua menerima dua jenis dana tambahan, yaitu dana Otsus yang besarnya 2 persen dari total DAU nasional dan dana Otsus khusus untuk infrastruktur, yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun anggaran. Mulai tahun 2009, dengan diakomodasinya Provinsi Papua Barat sebagai penerima dana Otsus, Provinsi Papua menerima 70% dari total dana Otsus.1 Implementasi Otsus ini masih terhambat oleh belum selesainya peraturan- peraturan pelaksanaan UU No. 21/ 2001. Untuk mengimplementasikan otonomi khusus, diperlukan serangkaian peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang nantinya akan menjadi peraturan pelaksanaan dari UU No. 21/2001 ini. Akan tetapi, sejauh ini, baru satu Perdasus yang sudah ditetapkan, sedangkan berapa Perdasi/Perdasus kunci belum selesai, seperti yang mengatur kewenangan khusus bagi provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus dan yang mengatur tentang pembangunan sektor prioritas2. Secara umum, hal ini terjadi karena lambannya proses legislasi dan kurangnya koordinasi antara Pemprov, DPRP, dan MRP. Dalam praktiknya, implementasi Otsus ini masih banyak dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang kurang mengikat karena tidak ditetapkan melalui persetujuan DPRP dan MRP. Selain itu, hal yang sangat menghambat pelaksanaan Otsus adalah kurang efektifnya koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Dalam beberapa hal, UU No. 21/2001 ini tidak sejalan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan. Untuk menyelaraskan UU tersebut, diperlukan suatu mekanisme koordinasi yang jelas antara Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Hanya saja, sampai saat ini, belum ada suatu solusi efektif untuk membangun mekanisme koordinasi ini, sehingga sering terjadi tumpang tinding wewenang dan pelaksanaan pembangunan di antara ketiga level pemerintahan 1 Terminologi “dana Otsus” pada umumnya mengarah pada dana Otsus yang besarnya 2% dari total DAU nasional, dan tidak mencakup dana Otsus khusus infrastruktur. 2 Sambutan Gubernur Papua pada acara Sosialisasi Perdasi/Perdasus tanggal 27 Juli 2009, bisa diakses di www.papua.go.id Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  72  Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua ini. Sebagai contoh, Inpres No. 5/2007, tentang percepatan pembangunan di Prov. Papua dan Papua Barat, tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena lemahnya koordinasi antara ketiga strata pemerintahan. 6.2. Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Kecuali tahun 2009, Penerimaan Provinsi Papua dari dana otsus terus meningkat. Secara total, dari tahun 2002 sampai dengan 2009, penerimaan dana Otsus yang masuk ke Pemprov Papua meningkat sebanyak 158% secara nominal atau 20% secara riil. Secara tren, dana ini cenderung meningkat sampai tahun 20083. Namun, di tahun 2009 penerimaan ini turun karena 30% dari dana Otsus diserahkan langsung ke Pemprov Papua Barat. Dana Otsus untuk infastruktur baru mulai diterima sejak tahun 2006 dengan jumlah tahunan yang fluktuatif. Gambar. 6.1 Penerimaan Provinsi Papua dari Otonomi Khusus Tahun 2002- 2009 4 Rp Triliun 3 2 1 - 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Otsus (2%DAU Nasional) Otsus Infrastruktur Total-Riil 2007 Sumber : Pemda Provinsi Papua (2009) Dana otonomi khusus memberikan kontribusi signifikan bagi Pemprov dan Pemkab/kota di Papua. Untuk periode 2004-2008, secara keseluruhan, dana Otsus menyumbang 21,6% dari total pendapatan seluruh Pemda di Prov. Papua. Untuk pemerintah provinsi, jika dikurangi alokasi untuk Pemkab/kota, dana Otsus menyumbang hampir setengah (42%) dari total pendapatan. Untuk pemerintah kab/kota, pada periode yang sama, dana Otsus berkontribusi sebesar 12% terhadap total pendapatan. Pemekaran menyebabkan turunnya penerimaan dana Otsus untuk setiap Kab/Kota. Seperti bisa dilihat di Gambar 6.1, secara umum, alokasi dana Otsus untuk setiap Kab/Kota meningkat secara signifikan sejak 2002. Dari gambar yang sama, 3 Data Otsus ini tidak mengikutsertakan alokasi dana Otsus untuk kabupaten dan kota yang sekarang menjadi bagian dari Prov. Papua Barat. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua  73 terlihat penurunan alokasi Otsus di tahun 2009 yang cukup besar untuk sebagian besar Kab/Kota. Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa daerah tersebut adalah daerah ”induk” yang dimekarkan pada tahun 2008. Dengan kata lain, pemekaran 8 kabupaten di tahun 2008 menurunkan alokasi Otsus di tahun berikutnya. Ketentuan pengalokasian dana otsus ke kabupaten/kota mengalami beberapa kali perubahan. Pertama, untuk periode 2002-2003, 60% dari dana Otsus diperuntukkan bagi Pemprov, sedangkan 40% dialokasikan ke kabupaten/kota. Angka 40% ini akan dikurangi dahulu oleh program dan kegiatan strategis yang ditetapkan oleh provinsi, sebelum dibagikan ke kab/kota. Kedua, selama 2004-2006, proporsi ini dibalik, di mana Pemprov mendapatkan 40% dan kab/kota mendapatkan 60%, sebelum dikurangi oleh program dan kegiatan strategis. Ketiga, periode 2007-2009, sebagian dana Otsus dialokasikan khusus untuk program khusus Otsus. Sisanya kemudian dialokasikan ke Pemprov sebesar 40% dan ke kabupaten/kota sebesar 60%, Pada tahun 2007-2008, program khusus ini berupa Program RESPEK, sedangkan tahun 2009, ditambahkan program pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan. Tabel 6.1. Perubahan Alokasi Dana Otonomi Khusus Ke Kabupaten/Kota Tahun 2002-2009 Periode Provinsi Kabupaten/Kota Program Prioritas 2002-2003 60 persen 40 persen* Pilkada, pengembangan Program Pendidikan Kedokteran 2004-2006 40 persen 60 persen* Program & Kegiatan strategis 2007-2009 40 persen** 60 persen** RESPEK (sejak 2007) & Biaya Pembebasan Pendidikan dan kesehatan (sejak 2009) Sumber : Pemda Provinsi Papua (2009) *: Alokasi kab/kota akan dikurangi dengan program prioritas yang ditetapkan oleh provinsi. **: Alokasi Pemprov dan Kab/kota dilakukan setelah dana Otsus dikurangi dengan program prioritas yang ditetapkan oleh provinsi Gambar 6.2. Alokasi Sektoral Provinsi Papua Tahun 2008 Pendidikan, Kesehatan, 6.20 % 10.96 % Infrastruk tur,15.37  % Lainnya, Pember Ͳ 65.64 %  dayaan Ekonomi Rakyat,1.8 3%  Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dana Otsus,BPK, 2009 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  74  Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Gambar 6.3. Alokasi Sektoral Kabupaten/Kota Tahun 2006 & 2008 Tahun 2006 Tahun 2008 Bidang Pendidikan, Bidang Pendidikan, Penunjang, 19.78 % Penunjang, 23.56% 31.26 % 34.25% Perekono Kesehatan, mian Perekonomian 14.13 % Infrastruk Kesehatan, Rakyat, Rakyat,16.07%  Infrastruktur, tur, 11.93%  11.91 % 25.11 %  12.00% Sumber : Bappeda Provinsi Papua, Tahun 2007 & 2009 Alokasi sektoral dana Otsus dari Pemprov untuk sektor pendidikan dan kesehatan belum sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, pada tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor kesehatan mencapai 10,96%, sedangkan untuk sektor pendidikan hanya 6.2%4. Alokasi untuk kedua sektor ini masih di bawah ketentuan yang diamanatkan UU No. 21/2001, yaitu sebesar 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan. Alokasi sektoral dana Otsus kabupaten/kota untuk sektor pendidikan dan kesehatan masih sedikit di bawah ketentuan. Berdasarkan data Bappeda provinsi Papua tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor kesehatan adalah sebesar 14,13%, sedangkan untuk sektor pendidikan adalah 23.56%. Alokasi untuk kedua sektor ini sudah mendekati ketentuan yang diamanatkan UU No. 21/2001, yaitu sebesar 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan. Selain itu, alokasi untuk kedua sektor ini mengalami kenaikan 3,78% untuk pendidikan dan 2,2% untuk kesehatan selama 2006- 2008. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan perhatian pemerintah kabupaten/kota terhadap pengembangan dua sektor prioritas ini. Dana Otsus berkontribusi pada ketimpangan fiskal antar kab/kota di Prov. Papua. Berdasarkan data Otsus dan penduduk tahun 2007, kita dapat melihat kesenjangan Otsus per kapita yang sangat lebar antara kab/kota di Prov. Papua. Pada tahun itu, Otsus per kapita 70% kab/kota berada di bawah Rp 1 juta. Sedangkan, Otsus per kapita 30% kab/kota yang lain, di mana semuanya adalah kabupaten pemekaran, berkisar antara Rp 1.5-4.2 juta (Kab. Supiori). Kesenjangan Otsus per kapita yang mencolok ini berkontribusi signifikan pada ketimpangan fiskal antar kab/kota secara keseluruhan. Gambar 6.4 Dana otsus per kapita 2007 4 Laporan Hasil Pemeriksaaan (LHP) atas pengelolaan dana Otsus Papua tahun 2008. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009   Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua 75 4,500 Ribuan Rp 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 - y a ra Ya g. ura Ka . As i Ka b. M ke Ka Nu ya Ka . N a b. pen W ng Ka n D i b. en Ka oli t M ire Ke a o b. ca iai i Ka ab. Jay or hu a m l pp ve arm or T a W oe y b. kar Ka Ka kim Ya ik Ja apu m Ka ero f u Ka un an ak a Ka wija Ka op ta b Ka Ma m pi im b. Pe ap ig Ka era Bi k J Ka ro a Bo . S pe Bin Su P ar y a Ka Ja b b. b. b b b. b. ta n K b. b. b. P Ko b. b. Ka Sumber : Pemprov Papua (2009) dan Daerah Dalam Angka 2008 Data Otsus dan Penduduk adalah kondisi pada tahun 2007. 6.3. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Perdasus mengenai pengelolaan dana Otsus masih belum belum berfungsi optimal. Perdasus No. 1/2007, tentang pembagian dan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Papua, belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam Lembaran Daerah. Dan juga, Perdasus ini hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan membutuhkan peraturan-peraturan turunan untuk menjabarkan tata cara alokasi, pengawasan, pengendalian, pelaporan, dan pertanggungjawaban dana Otsus. Belum jelasnya peraturan tentang alokasi dana Otsus memicu perdebatan antara Pemprov dan Pemkab/Kota. Saat ini, Pemerintah Kabupaten/kota menuntut agar 70% dana Otsus, setelah pengurangan program strategis, dialokasikan untuk kabupaten/kota. Alasan tuntutan ini adalah bahwa sebagian besar penyediaan layanan publik untuk sektor prioritas Otsus menjadi tanggung jawab Pemkab/kota. Walaupun sudah ada sosialisasi dari Pemprov, transparansi tentang proses alokasi dana Otsus masih kurang. Sejak tahun 2007, Pemprov Papua sudah berupaya mendorong transparansi alokasi dana Otsus melalui sosialisasi kriteria alokasi dan Otsus dan jumlah yang dialokasikan ke kabupaten/kota. Berdasarkan Perdasus No. 1/2007, dana Otsus dialokasikan ke kab/kota berdasarkan enam kriteria, yaitu: a. luas wilayah b. jumlah penduduk c. kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah d. pendapatan asli daerah e. penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan f. Produk Domestik Regional Bruto Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  76  Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Hanya saja, sampai saat ini, transparansi ini masih dinilai kurang oleh Pemkab/kota dan stakeholder lain karena belum ditetapkannya peraturan gubernur tentang formula alokasi dana Otsus untuk kab/kota. Sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa perhitungan dan data yang digunakan masih relatif menjadi rahasia pemerintah Provinsi Papua. Diperkirakan kurangnya keterbukaan seperti inilah yang menimbulkan sejumlah pernyataan “miring“ dari pimpinan daerah kabupaten/kota bahwa Provinsi Papua masih belum transparan dan akuntabel dalam pembagian dana. Sebagian besar dana Otonomi Khusus yang dialokasikan ke Kabupaten/kota tidak terserap dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Dari data realisasi kegiatan tahun 2008 yang dibiayai dana Otsus untuk kabupaten/kota, angka penyerapan hanya mencapai 41%. Berarti, lebih dari setengah kegiatan yang masih harus dilaksanakan pada tahun anggaran 2009. Rendahnya penyerapan ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan pencairan dana Otsus ke kabupaten/kota. Sampai saat ini, tingkat pelaporan dan akuntabilitas dana otonomi khusus masih sangat rendah. Berdasarkan data Bappeda Provinsi Papua, untuk tahun 2008 hanya 4 daerah (dari 21 kabupaten/kota) yang melaporkan penggunaan dana Otsus untuk 12 bulan (19%). Sisanya hanya melaporkan untuk beberapa bulan, namun ada juga yang sama sekali tidak menyampaikan laporan. Hal ini sebetulnya sudah diidentifikasi dalam laporan Papua PEA 2005, namun masih saja berlanjut sampai sekarang. Berlarutnya masalah pelaporan ini antara lain disebabkan oleh sistem pelaporan hampir tidak pernah dievaluasi, sanksi yang ditetapkan untuk kealpaan dan keterlambatan melapor tidak diefektifkan, dan apresiasi terhadap informasi ini untuk pengambilan keputusan masih sangat rendah. Masalah pelaporan dana Otsus dapat dinilai sebagai salah satu bentuk kurangnya perhatian terhadap aspek akuntabilitas birokrasi yang berdampak pada rendahnya akuntabilitas publik untuk dana Otsus. Gambar 6.5. Persentase Dana Yang Sudah dan Belum Direalisasikan Daerah Per Desember 2008 Sumber : diolah, hasil wawancara, 2009 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua  Bab 77 Gambar 6.6. Persentase Pelaporan Penggunaan Dana Otsus oleh Kabupaten/kota Provinsi Papua Per Desember 2008  Laporan Tidak Ada KurangLima Laporan 3 daerah Laporan Bulan 2  Laporan (14%) Lengkap daerah(9%) KurangEmpat  4 daerah Bulan 1  (19%) daerah(5%) Laporan KurangTiga Laporan Bulan 6  KurangDua Bulan 5  daerah(29%) daerah(24%) Sumber : Bappeda Provinsi Papua, Tahun 2008 Box 6.1 Mekanisme pengendalian pengelolaan dana Otsus Berdasarkan petunjuk Pengelolaan Dana Otsus Papua yang telah ditetapkan sejak tahun 2002 dan terus diperbaharui setiap tahun, mekanisme pengendalian pengelolaan dana otsus ditetapkan sebagai berikut: (1) di tingkat Provinsi, laporan disampaikan oleh pengguna anggaran kepada Gubernur, dengan tembusan kepada Bappeda, Bawasda, dan BPKD, dan (2) di tingkat kabupaten/kota laporan disampaikan oleh pengguna anggaran kepada Bupati/Walikota ditembuskan Bappeda, Bawasda, dan BPKD, untuk selanjutnya disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bappeda, Bawasda, dan BPKD Provinsi Papua. Dengan ketentuan ini berarti Bawasda, Bappeda dan BPKD Provinsi Papua seharusnys memiliki data dan informasi untuk menilai kepatuhan pelaporan dana Otsus. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009  78  Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Gambar 6.7. Mekanisme Pengendalian Pengelolaan Dana Otsus Tahun 2008 SKPD DI PROVINSI Ͳ BAPPEDA - BAWASDA - BPKAD GUBERNUR BUPATI/ WALIKOTA SKPD Ͳ BAPPEDA - BAWASDA KABUPATEN/KOTA - BPKAD Sumber : Petunjuk Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam Rangka Otsus, Tahun 2008 Melalui program RESPEK, Pemerintah Provinsi berusaha untuk menyalurkan dana Otsus langsung ke masyarakat. Pada tahun 2007, Pemprov Papua meluncurkan program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) yang bertujuan agar dana Otsus bisa dinikmati langsung oleh masyarakat. Melalui program ini, setiap kampung memperoleh Rp100 juta per tahun dari Pemprov yang kemudian ditambah oleh Pemkab/kota. Sampai tahun ini, pengeluaran untuk pogram ini meningkat seiring dengan peningkatan jumlah distrik dan kampung. Tabel 6.2. Total Dana RESPEK Untuk Distrik dan Kampung Tahun 2008-2009 Tahun Jumlah Kampung/ Total Dana Jumlah Total Dana Kelurahan (milyar Rupiah) Distrik (milyar rupiah) 2007 2.593 259,3 186 18,6 2008 2.727 272,7 295 29,5 Total 532,0 Total 48,1 Sumber : Laporan Monitoring dan Evaluasi RESPEK, 2009 (diolah) Selama dua tahun pelaksanaannya, implementasi RESPEK menemui beberapa permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan. Setidaknya, ada lima permasalahan utama dalam implementasi RESPEK ini, yaitu: a. Sama seperti hal-hal lain dalam Otsus, pelaksanaan program RESPEK belum dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, seperti dalam hal pengelolaan keuangan. b. Koordinasi antara Pemprov dan kabupaten/kota belum berjalan baik. c. Sinkronisasi program dan kegiatan antara SKPD terkait belum optimal. d. RESPEK belum diikuti dengan program pengembangan ekonomi lokal sehingga sebagian besar dana RESPEK dibelanjakan di luar daerah. e. Kapasitas SDM di tingkat kampung masih sangat kurang, sehingga penyusunan anggaran pendapatan dan belanja kampung (APBK) dan berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran lain masih jauh dari harapan. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009   Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua 79 6.4. Rekomendasi Berbagai permasalahan pelaksanaan Otsus membutuhkan terobosan-terobosan baru. Dari bagian-bagian sebelumnya, terlihat bahwa permasalahan utama Otsus, seperti perundang-undangan dan koordinasi pusat-provinsi-daerah, bukan merupakan masalah baru. Berbagai upaya solusi sudah ditempuh, seperti penerbitan Inpres No. 5/2007, tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Karena itu, menjelang separuh waktu pelaksanaan Otsus, dibutuhkan terobosan-terobosan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas. Solusi terobosan ini dapat berupa evaluasi pelaksanaan Otsus yang dilakukan bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota. Atau, dapat pula berupa pembentukan badan setingkat kementerian untuk mengelola Otonomi Khusus Papua, seperti yang sudah diusulkan oleh sejumlah pihak5. Pengelolaan dana Otonomi Khusus Papua perlu dibenahi, yang mencakup aspek perencanaan, partisipasi, pelaporan, dan transparansi. Proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban dana Otonomi Khusus Papua mengacu pada peraturan yang sama dengan dana dari sumber penerimaan daerah lainnya. Namun, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan yang dibiayai dari sumber otsus, kita perlu memperhatikan empat aspek kunci yaitu perencanaan, partisipasi, pelaporan dan transparansi. a. Perencanaan. Dana Otsus yang jumlahnya terbatas mengharuskan Pemda untuk bersikap selektif dengan mengacu pada prioritas Otsus dalam merencanakan program dan kegiatan yang didanai oleh dana Otsus. Perencanaan juga harus menunjuk sasaran dan target penerima manfaat yang jelas, karena Otsus menghendaki keberpihakan pada kelompok penduduk asli Papua. Saat perencanaan, pembahasan Rencana Definitif (RD) merupakan langkah awal yang sangat menentukan efektivitas dana Otsus. b. Partisipasi. Musrenbang kampung/kelurahan dan kecamatan harus diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Dan juga, sebagian dari usulan dalam Musrenbang harus diakomodasi dalam RD. Untuk memastikan tercapainya hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu menyiapkan fasilitator-fasilitator Musrenbang yang terlatih. c. Pelaporan. Pemerintah provinsi Papua perlu mengkaji sistem pelaporan pelaksanaan Otsus agar pelaporan berjalan efisien dan efektif. Dan juga, Pemprov harus mewajibkan Pemkab/kota dan SKPD Provinsi untuk menyampaikan laporan pelaksanaan Otsus secara tepat waktu dan menerapkan sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya. Di sisi lain, Pemprov harus mengevaluasi laporan-laporan itu dan memberikan feedback yang jelas kepada Pemkab/kota dan SKPD Provinsi. d. Transparansi. Transparansi kebijakan, peraturan, keuangan, dan kegiatan perlu diperbaiki untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Berbagai isu dan wacana publik tentang dana Otsus yang sudah mengganggu kepercayaan kepada pemerintah harus dapat direspons oleh kepala daerah dan/atau kepala SKPD yang memahami permasalahan. Inilah bentuk akuntabilitas publik yang perlu dijaga oleh semua tingkatan manajemen di pemerintah daerah. 5 Lihat “Papua Minta Badan Khusus ke Presiden”, Cenderawasih Pos edisi 2 November 2009. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 80 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM BAB 7 INSTITUSI DAN SDM PEMERINTAHAN Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 81 ktur organis Sampai dengan awal tahun ini, struk ah sudah diterapkan sasi perangkat daera d di sebaggian besar Pemda di Papua. Sebagai con mlah daera ntoh, sejum m ah belum menerapka an m kelembagaan peng sistem k gelolaan keuangan daerah d ang terpadu. Pemeka ya ah aran daera menye umlah PNS ebabkan ju S yang dib butuhkan meningkat. m Namun peenyebaran PNS mas sih belum K cender m merata, Kab bar. Implik rung meramping tapi di kota malah meleb da kasinya pad belanjja pegawaai. Secara umum ma asih belum m memadai, SDM ak m kuntansi masih gat sang kurangg. A 7.1. Analisis Struktur Org ganisasi PP No o. 41/ 20007 tentang g Organisa asi Peranggkat Daer rah (OPD) mewajibk uh kan seluru Pemd da untuk meninjau ulang st truktur or rganisasi mereka. Sampai tahunt 20008, banyaak Pemda di Indonesia memp uktur yang “gemuk” y punyai stru yang mem mbuat APBBD kurangg efisien1. PP ini, yang merupaakan turunan dari UU U No. 32/2004, bermaksud untu uk menga P arahkan Pemda unttuk mempu unyai struktur organ g ramping dan sesu nisasi yang uai dengaan kondisi Pemda ya ang bersanngkutan2. PP P ini men a tentang nomenklat ngatur juga n tur s dari setiap SKPPD dan es selonisasi jabatan j st B truktural. Berdasarkaan PP ini, peyesuaiaan ur organisa struktu akukan maksimal satu tahun se asi daerah harus dila angkannya ejak diunda a. Peme erintah Pr rovinsi Paapua dan n sebagia an Kabup paten/Kota m a telah menetapka an strukttur organi isasi perangkat dae erah menu urut PP 41 alam implementasiny 1/2007. Da ya, p Pemda harus setiap h menyusun Per si daerah berdasarka rda tentang struktur organisas b an PP 4/ 2007. Di Prov. Pap pua, sebag gian Pemda telah me enetapkan Perda ini pada tahuun H 2008 (lihat gambar 7.1). Hanya a, sebagian saja but belum menerapka n dari daerah terseb m an Perdaa ini hingga awal tahun 2009. . Sejumlahh daerah lain belum m m selesai menerapka an Perda m a ini, di mana struk ktur organnisasi telah dibentukk namun belum me enempatka an pejaba al dan peg at struktura gawai, teru utama pada SKPD baru. b m daerah lainnya tida Enam ak didapaatkan inforrmasi kare t ena tidak termasuk dalam surrvei yang dilakukan pada tahuun 2009. bar 7. 1. Gamb Penerap P No. 41/2 pan SOTK menurut PP a Kabupate 2007 pada en/Kota Di Provinsi Papua 6 8 6 Ya Tidak kdisurvei Tidak er : Hasil Surv Sumbe ovinsi Papua vey PFM Pro bupaten/Kota a dan 14 Kab 9) a (Maret 2009 1 ai contoh, pad Sebaga pua mempuny da tahun 2007, Pemprov Pap 5 SKPD. yai lebih dari 50 2 4 Bab V dari PP No. 41/2007 cantumkan for menc rmula perhitun ngan besaran organisasi o rangkat daerah per h. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 82 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM Transisi ke PP. No. 41/2007 mempengaruhi proses perencanaan dan penganggaran. Batas akhir penerapan peraturan ini adalah pada penyusunan anggaran 2009, namun, pada saat itu, sejumlah kabupaten/kota di Papua belum menyesuaikan struktur organisasinya. Akibatnya, proses perencanaan APBD 2009 tidak optimal dan penyerapan anggaran pada semester 2009 lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Penerapan PP. No. 41/2007 merampingkan struktur organisasi di Pemerintah Provinsi Papua, tetapi relatif belum berdampak pada struktur Pemkab/kota. Untuk lingkup Pemprov Papua, Stuktur organisasi Provinsi Papua pada tahun 2008 terdiri dari 37 SKPD dan 2009 menjadi lebih ramping dengan 23 SKPD. Akan tetapi, dampak semacam ini belum terlihat dari 2 pemerintah kabupaten yang diobservasi. Untuk tingkatan yang lebih detil (seperti komposisi pejabat struktural), dampak perampingan organisasi terhadap pengurangan atau penambahan PNS belum dapat didentifikasi karena belum struktur organisasi baru belum sepenuhnya diimplementasikan. Penerapan struktur OPD yang baru telah berdampak pada penurunan anggaran belanja pegawai Pemerintah Provinsi Papua, tetapi hal yang sama tidak terlihat di kedua kabupaten studi kasus. Anggaran belanja pegawai Provinsi Papua pada tahun 2009 sebesar Rp. 591,910,- milyar, lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran belanja pegawai pada tahun 2008 sebesar Rp. 596,452,- milyar. Pada kabupaten studi kasus, anggaran belanja pegawai malah mengalami peningkatan. Anggaran belanja pegawai Kabupaten Jayapura pada tahun 2008 sebesar Rp. 207,169,- milyar meningkat menjadi Rp. 233,2911,- milyar tahun 2009, dan Kabupaten Pegunungan Bintang Rp. 151.320,- milyar tahun 2008 menjadi Rp. 155,882,- milyar pada tahun 2009.. Gambar 7.2. Perbandingan Struktur orgasnisasi pemerintahan dan Anggaran Belanja Pegawai Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2007 – 2009 AnggaranBelanjaPegawaiTahun2007Ͳ2009 StrukturOrganisasiProvinsiPapuadan (MilayarRp.) KabupatenStudiKasusTahun2007Ͳ 2009 60 700 596.452 57 600 50 47 47 500 43 40 38 400 341.36 591.91 37 30 300 207.17 27 28 151.32 23 200 233.291 20 100 196.479 67.05 155.882 10 0 0 ProvinsiPapua Kabupaten Kabupaten Jayapura Pegunungan 2007 2008 2009 Bintang ProvinsiPapua Kab.Jayapura 2007 2008 2009 Kab.Peg.Bintang Sumber : APBD Provinsi Papua, Kabupaten Jayapura dan Pegunungan Bintang, 2009 (diolah) Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 83 7.2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kapasitas aparatur pemerintah daerah sangat menentukan kualitas pelayanan pemerintah. Dengan dilimpahkannya sebagian besar tanggung jawab pelayanan publik ke pemerintah kab/kota, kapasitas aparatur pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Hanya saja, sampai saat ini, belum ada suatu pedoman yang jelas mengenai kapasitas aparatur yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik di suatu daerah. Setiap daerah mempunyai keunikannya masing-masing sehingga kebutuhan kapasitas aparatur tentu saja berbeda. Saat ini, penilaian kapasitas masih terbatas pada indikator-indikator kuantitas dan kualitas umum, seperti jumlah PNS per 1000 penduduk dan komposisi menurut golongan dan pendidikan dari tahun ke tahun. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat cukup tinggi selama 2004-2007. Secara total, jumlah PNS di seluruh Pemda di Prov. Papua meningkat sebanyak 31% selama 2004-2007. Peningkatan ini, seperti bisa dilihat di Gambar 7.3, sangat didorong oleh bertambahnya PNS di Pemkab/kota yang secara rata-rata mencapai 35.1%. Di lingkup pemerintah provinsi sendiri, peningkatan yang terjadi termasuk wajar, yaitu sebesar 5,90%. Peningkatan ini juga tampak dalam hal rasio PNS per 1000 penduduk. Pada tahun 2004 terdapat sekitar 25 PNS per 1000 perduduk, sedangkan pada tahun 2007, terdapat 29.8 PNS per 1000 penduduk. Pemekaran kab/kota mendorong kenaikan jumlah PNS Provinsi Papua selama 2004-2007. Analisis yang lebih detil menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten yang dimekarkan tahun 2002 dan 2003 merupakan kontributor utama meningkatnya jumlah PNS di Prov. Papua. Selama 2004-2007, peningkatan jumlah PNS di kabupaten- kabupaten ini secara rata-rata mencapai 236%. Sayangnya, jumlah PNS pada kabupaten-kabupaten induk juga ikut meningkat, walaupun hanya sebesar 8.2%. Gambar 7. 3. Perkembangan Jumlah PNS Provinsi Papua Tahun 2004 – 2007 70 31  60 30  29  50 28  40 27  30 26  25  20 24  10 23  0 22  2004 2005 2006 2007 Totalkab/kota PemprovPapua Rasioper 1000Penduduk Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 84 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM Gambar 7. 4. Jumlah PNS Provinsi Papua dan Kabupaten / Kota dan Rasio PNS per 1000 penduduk Tahun 2007 JumlahPNSProv.Papuadan Rasio PNSper100Penduduk Kabupaten/KotaTahun2007 Kabupaten/Kota diProv. Papua Tahun 2007 ProvinsiPapua Jayapura Yahukimo 6.7 Merauke PegununganBintang 12.6 KotaJayapura PuncakJaya 13.8 Nabire Tolikara 14.8 BiakNumfor Paniai 17.1 Jayawijaya Mappi 19.5 YapenWaropen Mimika 19.8 Mimika Jayawijaya 20.4 Asmat 21.3 Paniai Sarmi 24.6 PuncakJaya KotaJayapura 24.7 Asmat Nabire 30.5 BovenDigoel Keerom 32.8 Keerom Merauke 34.4 Mappi Waropen 38.8 PegununganBintang BovenDigoel 41.5 Yahukimo Supiori 44.1 Waropen BiakNumfor 45.0 Sarmi YapenWaropen 51.3 Tolikara Jayapura 61.1 Supiori 0 20 40 60 80 0 2000 4000 6000 8000 Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009 Jumlah PNS dan rasio PNS terhadap penduduk di setiap kabupaten/kota di Provinsi Papua sangat bervariasi. Dari 20 Kabupaten di Provinsi papua pada tahun 2007, Kabupaten Jayapura merupakan kabupaten yang memiliki jumlah pegawai paling banyak, dan paling sedikit terdapat di kabupaten Supiori. Bisa dikatakan bahwa kabupaten/ kota induk relatif memiliki jumlah PNS yang lebih besar dari kabupaten- kabupaten pemekaran, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 7.4a. Perbedaan besar juga terlihat pada rasio PNS terhadap jumlah penduduk juga bervariasi. Dari Gambar 7.4b, terlihat bahwa seorang PNS di Kab. Yahukimo melayani sembilan kali penduduk lebih banyak dibanding satu orang PNS di kab. Jayapura. Selama 2004-2007, secara umum, latar belakang pendidikan PNS Pemprov dan Pemkab/kota di Prov. Papua meningkat. Seperti bisa dilihat di tabel 7.6b, pada tahun 2007, proporsi PNS dengan latar belakang pendidikan diploma, S1, dan S2 meningkat cukup signifikan, jika dibandingkan dengan tahun 2004. Sebaliknya, proporsi PNS berpendidikan SLTA ke bawah mengalami penurunan. Sebab utama perbaikan ini ada dua. Pertama, selama periode tersebut Pemda di Prov. Papua mendorong PNS untuk mengambil tugas belajar. Kedua, selama periode ini, PNS yang berpendidikan SLTA ke bawah yang memasuki masa pensiun digantikan oleh PNS baru dengan pendidikan minimal D1, D2, atau D3. Fenomena ini, secara umum, terjadi baik di lingkup Pemprov Papua dan Pemkab/kota di Papua. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 85 Perubbahan kom g mposisi golongan juga terjadi pada periode yang sam ma. Sejalaan denga ahan positif pada komposisi an peruba i latar be elakang ppendidikan,, komposisi gan PNS di Pempro golong ov dan Pe emkab/kota a di Prov. Papua jug ga meninggkat. Secaara umum 2 7, terjadi pe m, selama 2004-2007 enurunan proporsi PNSP golong I dan terja gan I dan II adi gkatan PNS golonga pening V, seperti yang an III dan IV y jukkan oleh gambar 7.5. ditunj angan Kom mbar 7. 5. Perkemba Gam NS Provinsi Papua Ta mposisi PN ahun 2004 – 2007 % 80% % 60% 2004 % 40% 2005 % 20% 2006 0% % 2007 OL.II GOL. GOL. GOL.I GO G  III IV vinsi Papua, 2009 er : BPS Prov Sumbe Komp posisi gennder PNS di Prov. PapuaP meenjadi semmakin seim mbang se elama 20004- 2007. Selama empat tahun terakhir, komposis P si gender PNS dari se mda di Pro eluruh Pem ov. Papua a semakin seimbang g (lihat gambar 7.6). Jika pad da tahun 2 2004 hanya a 32% PNNS wanita p a di Prov. Papua, pada tahunn 2007 haampir 41% % PNS di P Papua adaalah wanitta. Komposisi gend der yang semakin se eimbang in kup Pemprov maupu ni terjadi baik di lingk un Pemkab/kota se ecara keseluruhan. Di p D lingkup pemprov, rasio PNS w rtambah da wanita ber ari 34% ke P k 37%. Di lingkup Pemkab/ko ta, secara keseluruhhan rasio PPNS wanitaa bertambaah b lebih banyak gi, yaitu dari 32% menjadi 41%. lag . Untuk 2 k tahun 2007, s di sebagian kab/kota, , kompos sisi gende er sudah mendeka ati seimbbang atau u bahkan didomina w asi PNS wanita . Se eperti terlih hat gamba ar 7.7, Kaab. Yapenn Waropen n, Mimika, Biak-Num K mfor, dan Kota Jayap pura memi b iliki lebih banyak PNNS a dibandin wanita ng laki-lakki. Meskipuun begitu, , beberapaa kab/ ko ota pemek karan mas sih at didomina sanga P asi oleh PNS aki. Di kab laki-la b. Tolikara a, Yahukim B mo, Peg. Bintang, an da Puncaak Jaya, lebih dari ¾ PNS adala ah laki-laki. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 86 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM Gambar 7. 6. Trend Komposisi Gender PNS se-Provinsi Papua Tahun 2004 – 2007 60000 42.0% 50000 40.0% 40000 38.0% 30000 36.0% 20000 34.0% 10000 32.0% 0 30.0% 2004 2005 2006 2007 LakiͲlaki Perempuan %Perempuan Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009 Gambar 7. 7. Komposisi Gender PNS Pemda di Provinsi Papua Tahun 2007 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Keerom BovenDigoel Supiori Mappi PuncakJaya Peg.Bintang Paniai Merauke PemprovPapua YapenWaropen Sarmi Waropen  BiakNumfor Mimika Kab.Jayapura Nabire  Asmat Yahukimo Tolikara KotaJayapura Jayawijaya LakiͲlaki Perempuan Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 87 mbar 7. 8. Gam abupaten / Kota Tahu Komposisi PNS Ka un 2007 6000 5000 4000 S3 3000 S2 2000 S1 DIPLOMA 1000 SLTA 0 … SLTP Pegunungan Jayawijaya Keerom Merauke Asmat Nabire Paniai Sarmi BiakNumfor Mappi PuncakJaya Waropen YapenWaropen Jayapura KotaJayapura Mimika Supiori Yahukimo BovenDigoel Tolikara SD ovinsi Papua, 2009. Sumber : BPS Pro Keters P sediaan PNS denggan kema ampuan profesiona p al yang pe enting ma asih belum merat i sudah dij ta. Seperti d Bab 5, penyebaran jelaskan di p n PNS dengan profe esi pengajar atau tenaga medis masih belum me m erata dan masih sang gat minim di daerah pedalama an. b Pemprov dan beberapa P Pemkab sebetulnya sudah be erupaya mengeluarka an berbaggai kebijakan khusu m us untuk menarik naga penga ten ajar dan medis m k bekerja pada untuk p ah daera pedalaaman, sep perti memmberikan tuunjangan daerah te erpencil daan tunjang gan kinerjja. Hanya k a saja, kebijakan-k kebijakan itu sepe ertinya be elum berd b dampak banyak an da meme ang inovatif dan efek erlukan solusi baru ya ktif seperti yang y suda an di Bab 5. ah dijelaska 5 Gambar 7.9 Gamb bar 7.8. P Belanja Pegawai Per P PNS (k kiri) dan Be S Perkapita elanja PNS a (kanan) n Kabupaten/Kota Ta Provinsi Papua dan 7 ahun 2007 0 180 4 0 160 0 140 3 0 120 JutaRupiah Jutarupiah 0 100 2 0 80 0 60 40 0 1 0 20 Ͳ Ͳ Asmat Sarmi Paniai Jayawijaya BiakNumfor Sarmi Jayawijaya Nabire Waropen Asmat BiakNumfor Mimika Supiori Nabire Waropen Tolikara PuncakJaya Keerom Mimika Peg.Bintang Tolikara YapenWaropen Merauke Mappi Paniai Peg.Bintang YapenWaropen Kab.Jayapura Mappi Merauke BovenDigoel Supiori BovenDigoel KotaJayapura PuncakJaya Keerom KotaJayapura Pemprov Papua Kab.Jayapura A K er : BPS, APB Sumbe P BD Provinsi Papua K Kota, 2007 dan Kabupaten/K Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 88 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 7.3. Reformasi Pemerintahan Reformasi birokrasi pemerintahan merupakan salah satu agenda utama Gubernur Provinsi Papua periode 2006-2011. Perbaikan kualitas pelayanan publik di daerah merupakan salah satu tujuan dari desentralisasi pemerintahan. Dalam rangka memperbaiki citra birokrasi pemerintahan, Gubernur Provinsi Papua menjadikan reformasi birokrasi sebagai salah satu agenda dalam menjalankan tugas di bawah kepemimpinannya. Agenda tersebut diwujudkan dalam bentuk 8 program dan sejumlah kegiatan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 7.2. Reformasi birokrasi di Provinsi Papua dilakukan melalui reformasi sistem dan SDM. Reformasi SDM dalam sistem dilakukan pada dua tingkatan, yaitu tingkatan provinsi dan kabupaten/kota dan tingkatan paling bawah (staff). Pada tingkatan atas dilakukan penciutan atau efisiensi. Sedangkan pada level bawah dilakukan capacity building dan management building melalui perampingan struktur dan pemberdayaan fungsi-fungsi pelayanan. Namun, reformasi birokrasi ini belum berjalan sistematis, seperti dalam hal pengembangan kapasitas PNS. Agenda reformasi birokrasi (tabel 7.2) tidak dilengkapi dengan rencana implementasi yang lebih detil. Ketiadaan rencana detil ini sering membuat pelaksanaan reformasi ini kehilangan arah. Contoh yang cukup nyata bisa pada dua hal dalam peningkatan kapasitas PNS. Pertama, belum ada sistem pengelolaan kepegawaian yang terpadu, sehingga keikutsertaan PNS dalam pelatihan internal maupun eksternal masih ditentukan secara ad hoc dan kurang memperhatikan unsur pemerataan dan kaderisasi. Kedua, promosi dan mutasi PNS terkesan kurang sejalan dengan peningkatan kapasitas. Pada beberapa kesempatan, PNS yang sudah diberikan pelatihan untuk posisi tertentu dimutasi atau dipromosikan ke posisi lain yang tidak sejalan dengan pelatihan tersebut. 2004-2007, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sudah menurun , walaupun secara jumlah tetap meningkat. Menyadari komposisi APBD Papua sebagai ”piramida terbalik”3, Gubernur Papua langsung mengupayakan untuk membalik piramida ini sehingga sebagian besar belanja APBD dinikmati oleh publik, dan bukan oleh aparat. Salah langkah penting yang dilakukan adalah menurunkan proporsi belanja pegawai. Seperti yang sudah dijelaskan di Bab 3, proporsi ini sudah menurun cukup banyak, walaupun secara nominal tetap meningkat4. Pada tahun-tahun mendatang, diharapkan proporsi belanja pegawai ini akan berkurang mengingat bertambahnya alokasi langsung Otsus ke masyarakat dan diterapkannya struktur pemerintahan yang lebih ramping. 3 PEA Report 2005 4 Penjelasan lebih detil dapat dilihat di bab 3. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM 89 Tabel 7. 2 Agenda Reformasi Birokrasi Pemerintahan di Provinsi Papua Agenda Program Kegiatan 1. Penataan Peraturan 1. Kordinasi kerjasama Peraturan Perundang-undangan Tata Pemerintahan Perundang-undangan Perdasi yang Baik: Menata 2. Penataan kelembagaan 2. Penyusunan rancangan Perdasi dan Perdasus Kembali dan dan ketatalaksanaan 3. Kajian UU No.21 tahun 2001, Perdasi dan Perdasus Memperkuat 3. Penataan organisasi terhadap semua peraturan perundang-undangan Pemerintahan pada distrik dan kampung yang lebih tinggi dan keserasian antar peraturan Seluruh Jajaran dan 4. Penerapan daerah lainnya Tingkatan Pemerintahan yang 4. Peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota MRP baik dan DPRP 5. Peningkatan kualitas 1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, pelayanan ramping dan Fleksibel berdasarkan struktur piramidal 6. Pengembangan data dan prinsip-prinsip good governance dan Informasi 2. Menyempurnakan struktur jabatan struktural dan 7. Kerjasama mekanisme jabatan fungsio pembangunan 3. nal 8. Peningkatan kapasitas 4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja kelembagaan antar SKPD di Provinsi dan antar Provinsi, perencanaan kabupaten/kota sampai ke tingkat distrik/kampung pembangunan 1. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang organisasi dan manajemen distrik dan Kampung 2. Konsultasi dan kesepakatan dengan Stakeholder (pemangku kepentingan) 3. Penataan organisasi dan tata kerja pemerintahan distrik dan kampung Sumber : RPJM Provinsi Papua Tahun 2006-2011 7.4. Rekomendasi Rasionalisasi (perampingan) organisasi perlu dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan pemerintahan dan patuh pada aturan. Struktur organisasi yang ramping ini perlu ditekankan pada wilayah-wilayah pemekaran, terutama dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil. Daerah induk juga perlu melakukan perampingan karena berkurangnya wilayah pemerintahan dan jumlah penduduk akan menurunkan jumlah DAU yang diterima. Manajemen sumber daya pegawai negeri sipil sangat perlu mempertimbangkan aspek kebutuhan nyata, kompetensi, dan profesionalisme, disamping kondisi lokal Papua. UU No. 21/ 2001 berupaya untuk mendorong peran penduduk asli Papua dalam berbagai bidang, termasuk pemerintahan5. Akan tetapi, manajemen sumber daya PNS di Prov. Papua tetap harus berpedoman pada aspek kebutuhan nyata, kompetensi, dan profesionalisme, melalui: 1. Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dengan dukungan Kementerian Negara PAN perlu mengembangkan suatu sistem manajemen sumber daya PNS secara komprehensif. 2. Pengembangan SDM yang sistimatis perlu dibuat, baik melalui penjenjangan karier maupun capacity building, sehingga dapat mengatasi permasalahan kualitas dan kuantitas PNS yang dihadapi oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Sistem promosi jabatan perlu dilakukan secara kompetitif agar dapat diperoleh pejabat yang memiliki kompetensi optimal dalam melaksanakan bidang tugasnya. 5 Kebijakan memprioritaskan penduduk asli ini biasa dikenal dengan istilah affirmative action. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009 90 Lampiran LAMPIRAN Lampiran 91 Tabel A.1 Pendapatan per Kapita Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua 2007 Pendapatan APBD Jumlah penduduk Pendapatan APBD Kabupaten/Kota per kapita (ribu (orang) (Rp) rupiah/kapita) Kab. Biak Numfor 107,351 469,205,460,391 4,371 Kab. Jayapura 98,028 680,517,175,463 6,942 Kab. Jayawijaya 224,572 548,623,092,709 2,443 Kab. Merauke 168,513 940,651,566,827 5,582 Kab. Mimika 139,036 998,269,938,948 7,180 Kab. Nabire 171,422 582,263,378,755 3,397 Kab. Paniai 120,622 631,155,810,094 5,233 Kab. Puncak Jaya 120,307 576,459,350,915 4,792 Kab. Yapen Waropen 76,168 441,490,935,783 5,796 Kota Jayapura 215,609 547,378,487,459 2,539 Kab. Sarmi 34,326 647,979,823,473 18,877 Kab. Keerom 42,582 470,965,500,159 11,060 Kab. Pegunungan Bintang 94,780 578,921,387,901 6,108 Kab. Yahukimo 147,935 - - Kab. Tolikara 48,021 457,564,155,355 9,528 Kab. Asmat 66,580 455,372,460,087 6,839 Kab. Boven Digoel 33,995 609,315,284,127 17,924 Kab. Mappi 70,123 569,904,481,652 8,127 Kab. Waropen 23,022 417,918,260,688 18,153 Kab. Supiori 12,624 158,326,434,246 12,542 Sumber : APBD 2007 (diolah) ( ) Tabel A.2 Komposisi Belanja Riil APBD Provinsi Papua Menurut Bidang 2004-2008 Bidang 2004 2005 2006 2007 2008 Administrasi Umum Pemerintahan 43.6% 55.9% 52.8% 54.6% 44.4% Pertanian 2.4% 2.0% 2.1% 2.7% 3.3% Perikanan Dan Kelautan 0.9% 0.8% 0.9% 1.1% 1.1% Pertambangan Dan Energi 0.4% 0.4% 0.5% 0.8% 1.0% Kehutanan Dan Perkebunan 2.1% 1.1% 0.8% 0.6% 0.9% Perindustrian Dan Perdagangan 0.8% 0.8% 1.3% 0.8% 1.3% Perkoperasian 0.5% 0.2% 0.2% 0.3% 0.4% Penanaman Modal 0.2% 0.1% 0.1% 0.1% 0.1% Ketenagakerjaan 0.5% 0.4% 0.7% 0.8% 0.6% Kesehatan 7.8% 7.7% 7.2% 7.3% 8.7% Pendidikan Dan Kebudayaan 19.8% 14.3% 12.5% 10.6% 12.9% Sosial 1.1% 1.3% 2.2% 1.2% 1.4% Penataan Ruang 0.0% 0.3% 0.1% 0.2% 0.2% Permukiman 1.2% 0.6% 0.3% 0.5% 0.8% Pekerjaan Umum 14.0% 11.4% 16.1% 12.8% 17.6% Perhubungan 1.5% 1.2% 1.1% 3.9% 3.5% Lingkungan Hidup 0.8% 0.3% 0.3% 0.5% 0.4% Kependudukan 1.0% 0.3% 0.2% 0.4% 0.4% Olah Raga 1.1% 0.6% 0.3% 0.4% 0.7% Kepariwisataan 0.4% 0.4% 0.3% 0.3% 0.3% Pertanahan 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007  92 Lampiran Tabel A.3 Proporsi belanja Pemerintah Provinsi Papua menurut bidang tahun 2004-2008 Bidang 2004 2005 2006 2007 2008 Administrasi Umum Pemerintahan 31.0% 61.5% 58.0% 56.1% 49.3% Pertanian 3.2% 2.1% 2.5% 2.1% 3.1% Perikanan Dan Kelautan 1.5% 0.9% 1.2% 0.8% 0.9% Pertambangan Dan Energi 0.9% 0.7% 0.9% 1.4% 1.4% Kehutanan Dan Perkebunan 3.3% 1.3% 1.5% 0.6% 1.0% Perindustrian Dan Perdagangan 1.2% 0.6% 0.7% 0.4% 0.7% Perkoperasian 1.0% 0.4% 0.5% 0.3% 0.4% Penanaman Modal 0.3% 0.2% 0.3% 0.2% 0.3% Ketenagakerjaan 0.9% 0.6% 0.8% 0.5% 0.8% Kesehatan 12.6% 9.3% 7.7% 5.9% 8.0% Pendidikan Dan Kebudayaan 13.5% 6.2% 8.3% 4.8% 4.3% Sosial 1.6% 1.5% 1.9% 0.6% 1.3% Penataan Ruang 0.0% 0.0% 0.0% 0.3% 0.0% Permukiman 0.0% 1.1% 1.0% 0.7% 0.8% Pekerjaan Umum 21.7% 9.7% 11.5% 16.7% 18.2% Perhubungan 3.9% 2.1% 2.1% 7.2% 8.1% Lingkungan Hidup 0.8% 0.5% 0.4% 0.5% 0.5% Kependudukan 1.6% 0.1% 0.0% 0.3% 0.0% Olah Raga 0.4% 0.8% 0.5% 0.5% 0.7% Kepariwisataan 0.3% 0.3% 0.4% 0.3% 0.4% Pertanahan 0.1% 0.1% 0.0% 0.0% 0.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran Tabel A.4 Proporsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua menurut bidang tahun 2004- 2008 Bidang 2004 2005 2006 2007 2008 Administrasi Umum Pemerintahan 47.7% 53.8% 51.2% 54.0% 42.9% Pertanian 2.1% 1.9% 1.9% 3.0% 3.3% Perikanan Dan Kelautan 0.7% 0.7% 0.8% 1.3% 1.1% Pertambangan Dan Energi 0.3% 0.2% 0.4% 0.7% 0.9% Kehutanan Dan Perkebunan 1.6% 1.1% 0.6% 0.6% 0.9% Perindustrian Dan Perdagangan 0.7% 1.0% 1.4% 0.9% 1.5% Perkoperasian 0.4% 0.2% 0.2% 0.3% 0.4% Penanaman Modal 0.2% 0.0% 0.1% 0.1% 0.1% Ketenagakerjaan 0.3% 0.3% 0.6% 0.9% 0.5% Kesehatan 6.2% 7.1% 7.0% 7.8% 9.0% Pendidikan Dan Kebudayaan 21.8% 17.4% 13.7% 12.8% 15.5% Sosial 0.9% 1.2% 2.4% 1.5% 1.4% Penataan Ruang 0.0% 0.4% 0.1% 0.1% 0.2% Permukiman 1.7% 0.4% 0.1% 0.4% 0.8% Pekerjaan Umum 11.5% 12.1% 17.6% 11.4% 17.5% Perhubungan 0.7% 0.9% 0.7% 2.6% 2.1% Lingkungan Hidup 0.8% 0.2% 0.2% 0.5% 0.4% Kependudukan 0.8% 0.4% 0.3% 0.4% 0.5% Olah Raga 1.3% 0.4% 0.3% 0.4% 0.7%  Lampiran 93 Kepariwisataan 0.5% 0.5% 0.3% 0.3% 0.3% Pertanahan 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; tidak termasuk Dana Otsus Tabel A.5 Perkembangan Regulasi Pengelolaan Keuangan di Provinsi Papua PERATURAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 UU UU38/00 UU  UU17/03 UU1/04    21/01 UU/15/04 UU25/04 UU32/04 UU33/04 PP PP   PP23/03 PP20/04 PP14/05 PP6/06 PP58/07 104/00  PP23/04 PP8/06 PP PP24/05 105/00 PP23/05 PP PP37/05 108/00 PP54/05 PP 109/00 PP55/05 PP56/05 PP58/05 PERPRES       PERPRES3/06  PERPRES8/06 PERPRES12/06 PERMEN   KEPMENDAGRRI   PERMENDAGRI PERMENDAGRI  29/02 12/05 13/06 PERDA     PERDA    2/04    APBD2002 APBD APBD2004 APBD2005 APBD2006 APBD 2003 2007 Sumber : Depdagri.go.id 94 Lampiran Tabel A.6 Alokasi Dana Otonomi Khusus Kabupaten/Kota Tahun 2002-2009 (dalam milyar rupiah) Tahun Anggaran No Kabupaten / Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rerata 1 Kabupaten Jayapura 35.95 28.30 54.47 57.17 60.82 52.66 48.23 2 Kabupaten Yapen Waropen 32.97 27.50 54.08 56.76 60.38 52.29 47.33 3 Kabupaten Biak Numfor 35.19 28.50 55.77 58.53 62.27 53.92 49.03 4 Kabupaten Nabire 35.67 29.00 53.11 55.74 59.30 51.35 47.36 5 Kabupaten Merauke 33.93 28.50 55.31 58.05 61.76 53.48 48.51 6 Kabupaten Jayawijaya 36.28 29.00 61.60 64.66 68.78 59.56 53.31 7 Kabupaten Paniai 36.50 30.30 59.79 62.75 66.75 57.80 52.32 8 Kabupaten Puncak Jaya 38.72 30.30 61.15 64.18 68.27 59.12 53.62 9 Kabupaten Mimika 37.19 28.60 55.77 58.53 62.27 53.92 49.38 10 Kota Jayapura 33.41 27.10 52.66 55.26 58.79 50.91 46.35 11 Kabupaten Waropen 30.93 30.10 56.09 58.87 62.63 54.23 48.81 12 Kabupaten Asmat 38.85 31.50 61.80 64.86 69.00 59.75 54.29 13 Kabupaten Boven Digoel 32.97 30.10 59.98 62.95 66.97 57.99 51.83 14 Kabupaten Mappi 32.97 30.10 59.72 62.68 66.68 57.74 51.65 15 Kabupaten Sarmi 33.23 30.25 57.58 60.44 64.29 55.67 50.24 16 Kabupaten Keerom 31.41 30.00 57.00 59.82 63.64 55.11 49.50 17 Kabupaten Tolikara 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.75 53.41 18 Kabupaten Peg. Bintang 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.75 53.41 19 Kabupaten Yahukimo 38.62 31.50 61.80 64.86 69.00 59.75 54.25 20 Kabupaten Supiori 29.29 29.50 50.71 53.22 56.62 49.03 44.73 21 Kabupaten Mamberamo Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 57.96 50.19 18.02 22 Kabupaten Mamberamo Tengah 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 23 Kabupaten Yalimo 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 24 Kabupaten Lanny Jaya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 25 Kabupaten Nduga 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 26 Kabupaten Puncak 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 27 Kabupaten Dogiyai 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 28 Kabupaen Intan Jaya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 29 Kabupaten Deiyai 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 Jumlah 692.18 592.15 1,152.01 1,209.07 1,344.18 1,265.88 1,042.58 Sumber : Pemerintah Provinsi Papua  Lampiran 95 Box A.1 Pendapat Responden mengenai Transparansi Dana Otsus 1. Indikator pembagian dana otsus bagi sebagian responden update PEA tahun 2009, sudah transparan. Dari hasil kuesioner terhadap responden di 20 kabupaten dan kota ditemukan 40 persen responden menyatakan bahwa indikator pembagian dana Otsus sudah transparan. Sisanya 38 persen menyatakan tidak transparan dan 22 persen menyatakan tidak tahu. Gambar: Persepsi Masyarakat Terhadap Transparansi Pembagian Dana Otsus Indikator Yang Digunakan Utk Pembagian Dana Otsus ke Kab/Kota Sudah Transparan 22% 40% Setuju 38% Tidak setuju Tidak Tahu Sumber : Hasil wawancara, 2009 (diolah) Responden menilai pembagian dana sudah baik. Dari hasil kuesioner responden di 20 kabupaten dan kota ditemukan bahwa 49 persen menyatakan indikator tersebut adil, 32 persen responden menyatakan belum adil dan 19 persen menyatakan tidak tahu. Gambar: Persepsi Masyarakat Terhadap Transparansi Pembagian Dana Otsus Yang Sudah Adil Indikator Yang Digunakan Utk Pembagian Dana Otsus ke Kab/Kota Sudah Adil 19% 32% Setuju 49% Tidak Setuju Tidak Tahu Sumber : diolah, hasil wawancara, 2009   REFERENSI Badan Pemeriksa Keuangan (2007), Peraturan BPK Nomor 02 tahun 2007 tentang Kode Etik Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta. _________(2007), Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Jakarta. _________(2009), Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2007 Dan 2008, www.bpk.go.id Badan Perencana Pembangunan Daerah Provinsi Papua (2007), Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun Otonomi Khusus Papua, kerjasama dengan Universitas Cenderawasih, manuskrip. Biro Pusat Statistik Papua (2008), Daerah Dalam Angka Provinsi Papua, Kabupaten, dan Kota (berbagai tahun) . _________(2008), Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua, Kabupaten, dan Kota, berbagai tahun. Departemen Keuangan RI (2006), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua (2004), Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2 tahun 2004 tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua, Jakarta. _________(2007), Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 tahun 2007 ten- tang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua, Jayapura. Pemprov Papua, Sofei, WB (2005), Analisis Pengeluaran Publik Papua, Sebuah Tinjauan Umum. Keuangan Daerah dan Pelayanan Publik pada Wilayah Tertinggal di Indo- nesia. Setneg RI (2001), Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2003), Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Neg- ara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Penge- lolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae- rah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuan- gan, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akun- tansi Pemerintahan, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang Sistem Infor- masi Keuangan Daerah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2006), Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuan- gan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2007), Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 Laporan Penyelengga- raan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggung- jawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2008) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 Tentang Sistem Pengen- dalian Intern Pemerintah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sum- ber Otonomi Khusus Papua Tahun 2004 , Jayapura. _________(2005), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sum- ber Otonomi Khusus Papua Tahun 2005, Jayapura. _________(2006), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sum- ber Otonomi Khusus Papua Tahun 2006, Jayapura. _________(2007), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sum- ber Otonomi Khusus Papua Tahun 2007, Jayapura. _________(2008), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sum- ber Otonomi Khusus Papua Tahun 2008, Jayapura. Solossa, Y.P. (2005), Otonomi Khusus Papua Dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa, Disertasi Doktor, Univerista Pajajaran, Bandung. Suebu, B (2007), Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah Yang Menumbuhkan, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009a), Pembangunan Kampung, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009b), Mencapai Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Mewujudkan Kapa- sitas Fiskal yang Tangguh di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009c), Konsisten Bekerja bagi Papua Baru, Pemerintah Provinsi Papua. Sumule, Agus, ed. (2003), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. World Bank (2009), Berinvestasi untuk Masa Depan Papua dan Papua Barat: Infrastruk- tur untuk pembangunan berkesinambungan, Jakarta