Juni 2014 Masukan Kebijakan 89223 Pendidikan Tinggi di Indonesia: Arah Kebijakan Kebijakan sebaiknya berupaya menciptakan peluang bagi lulusan SMA untuk meningkatkan keterampilan mereka melalui opsi jenis pendidikan tinggi. Indonesia telah mencatat kemajuan penting dalam menaikkan tingkat pencapaian di sekolah dasar dan menengah. Dibandingkan tahun 1999, lulusan sekolah menengah atas (SMA) pada tahun 2012 meningkat lebih dari 1 juta siswa, dan tingkat kelulusan diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai upaya besar sedang dilakukan di seluruh sistem untuk meningkatkan hasil pembelajaran dan memastikan lulusan memiliki lebih banyak pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik. Kemajuan di sekolah dasar dan menengah ini meningkatkan permintaan untuk pendidikan tinggi. Sebagian besar siswa (88 persen1) menyatakan keinginan untuk melanjutkan pendidikannya setamat SMA. Namun, sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu secara optimal membantu menciptakan kesempatan yang relevan dan berkualitas bagi lulusan SMA. Mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi mendapatkan bayaran yang tinggi kendati semakin banyak orang yang memasuki pasar tenaga kerja berbekal pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi adalah investasi yang baik di Indonesia, bahkan ketika seseorang kuliah di perguruan tinggi yang dianggap berkualitas rendah. Analisis empiris kondisi pasar tenaga kerja tidak mendukung anggapan bahwa sebagian besar lulusan pendidikan tinggi menganggur dan bergaji rendah. Kenyataan ini adalah kesimpulan utama yang harus membentuk arah kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, hasil positif dari pendidikan tinggi sampai saat ini bukanlah jaminan bahwa akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Bahkan, tren meningkatnya permintaan keterampilan di pasar tenaga kerja akan memberikan tekanan pada perguruan tinggi dan lulusan untuk menawarkan keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik bagi pemberi kerja. Pemerintah harus berusaha untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang dapat meningkatkan tingkat keterampilan dan relevansi sebelum pasar tenaga kerja menjadi jenuh dengan pekerja dengan tingkat keterampilan seperti saat ini dan hasilnya menurun. Kesimpulan umum tulisan ini adalah bahwa pendidikan tinggi merupakan investasi yang baik — bagi individu maupun perekonomian secara keseluruhan. Hal ini berlaku bahkan pada tingkat kualitas dan perguruan tinggi saat ini. Tulisan ini merekomendasikan lima arah kebijakan penting mengacu pada kesimpulan ini. Sejak pertengahan 1990-an, Indonesia telah secara aktif memperdebatkan dan mengimplementasikan reformasi pendidikan tinggi. Pemerintah telah mencoba berbagai kebijakan baru atau yang disesuaikan untuk meningkatkan kualitas, respon, dan akuntabilitas lembaga-lembaga perguruan tinggi-nya. Pilar reformasi bertumpu pada peningkatan otonomi kelembagaan dan mekanisme pendanaan yang kompetitif untuk alokasi sumber daya. “Paradigma baru” yang dipromosikan memberikan peningkatan otoritas bagi lembaga yang paling siap secara akademis untuk mengelola urusan mereka sendiri dan sebagai imbalannya 1 Myriad. (2013). Improving Access and Equity to Indonesian Higher Education for Candidates from Economically Disadvantaged Backgrounds. 2 Masukan Kebijakan bertanggung jawab untuk memberikan hasil yang lebih unggul. Seiring dengan majunya lembaga-lembaga unggulan tersebut, otonomi akan diperluas dan diberikan kepada lembaga-lembaga perguruan tinggi lainnya. Banyak ujicoba dilakukan untuk mewujudkan prakarsa percontohan ini. Pelajaran dari uji coba tersebut membuka jalan bagi kerangka hukum yang baru. Undang-Undang No. 9/2009 menciptakan kerangka hukum baru yang menyediakan dasar untuk meningkatkan otonomi kelembagaan yang luas. Sayangnya, atas nama kemajuan reformasi, UU No. 9/2009 berhasil dipertanyakan di Mahkamah Konstitusi dan dicabut pada tahun 2010. Namun, Undang-Undang Pendidikan Tinggi tahun 2012 membentuk kembali sebagian besar kerangka hukum tersebut. Penolakan terhadap UU No. 12/2012 tidaklah sekuat UU No. 9/2009, tercermin dari seruan pencabutan yang tidak terlalu berarti dan jauh dari sengit. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang mempersiapkan peraturan pelaksanaan UU No. 12/2012. Sebagian besar manfaat dari kerangka baru pendidikan tinggi masih belum tampak dan akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam pelaksanaan di lapangan. Empat perguruan tinggi terkemuka yang otonominya dibatalkan oleh pencabutan UU No. 9/2009 telah mendapatkan kembali hak otonominya. Sementara perguruan tinggi lain menunggu hak istimewa ini, komunitas pendidikan tinggi secara keseluruhan berharap agar perluasan wewenang dan peraturan yang lebih luwes mengenai penggunaan dana akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas perguruan tinggi. Pertimbangan penting menekankan peningkatan kualitas dan efisiensi perguruan tinggi. Asumsi yang penting dan realistis adalah bahwa peningkatan kebebasan bagi perguruan tinggi akan meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih relevan bagi mahasiswa dan efisiensi penggunaan sumber daya perguruan tinggi. Meskipun ada kekhawatiran terkait mekanisme pendanaan yang tidak efisien, proses penganggaran yang rumit dan tidak transparan, sistem penjaminan mutu yang tidak memadai, persyaratan pegawai negeri sipil untuk dosen dan lain-lain, otonomi perguruan tinggi perlu dan harus tetap menjadi bagian penting dari kebijakan secara keseluruhan. Tulisan ini berusaha untuk mengubah sudut pandang perdebatan kebijakan pada kebutuhan calon dan mahasiswa pendidikan tinggi. Tulisan ini bermaksud menggunakan lensa baru dalam melihat kecukupan kebijakan pendidikan tinggi. Tulisan ini dimulai dari asumsi bahwa kebijakan pendidikan tinggi harus menciptakan kesempatan yang relevan dan terjangkau bagi semua lulusan SMA. Tulisan ini berupaya untuk memberi perhatian yang sama kepada mereka yang tersingkir maupun mereka yang berkesempatan mengakses pendidikan tinggi. Selain itu, tulisan ini berusaha untuk memanfaatkan data terbaik yang tersedia untuk mendukung kesimpulannya. Data mengenai pendidikan tinggi di Indonesia kadang-kadang kurang memadai. Namun demikian, kebijakan baru efektif jika kebijakan tersebut mengatasi masalah nyata dan kendala-kendala sektor (seperti terungkap oleh data dan analisis yang akurat). Oleh karena itu, temuan umum dan lima arah kebijakan didukung oleh data yang tersedia. Sehubungan dengan nilai pendidikan tinggi sebagai investasi, data menunjukkan kenaikan dua kali lipat jumlah pekerja berpendidikan tinggi dalam angkatan tenaga kerja antara tahun 2001 dan 2010. Meskipun ada peningkatan besar dalam pasokan, upah pekerja sektor publik berpendidikan tinggi tetap stabil, sementara upah pekerja swasta berpendidikan tinggi meningkat. Permintaan atas pekerja berpendidikan tinggi ini menunjukkan bahwa pemberi kerja menghargai keterampilan mereka, meskipun keterampilan kualitas lulusan perguruan tinggi biasa-biasa saja atau bahkan rendah. Berbagai indikator lainnya dari survei angkatan kerja, seperti tingkat partisipasi angkatan kerja dan permintaan keterampilan dari pertumbuhan sektor lapangan kerja, mendukung pentingnya nilai pendidikan tinggi. Kenyataan bahwa lulusan pendidikan tinggi saat ini bisa mendapatkan bayaran yang tinggi tidak mengurangi perlunya peningkatan kualitas dan relevansi mutu lulusan. Semakin banyak keterampilan dan pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan tinggi, bekal keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki lulusan pendidikan tinggi akan terus menjamin bayaran yang tinggi dan pekerjaan yang baik. Setiap arah kebijakan utama dalam catatan ini dikaitkan dengan temuan utama dan fakta pendukungnya. Pendidikan Tinggi di Indonesia: 3 Arah Kebijakan Gambar 1. Tren Peningkatan Lulusan SMA dan Pendaftaran PT, 1999-2012 6.000.000 5.500.000 5.000.000 4.500.000 4.000.000 3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Lulusan SMA Pendaftaran PT Perkiraan Sumber: Statistik Pendidikan, Kemdikbud, dengan perhitungan tim Tingkat kelulusan SMA telah melampaui tingkat pendaftaran perguruan Temuan Pertama tinggi antara 1999 dan 2012 (lihat Gambar 1). Apa yang tampak seperti perluasan besar ini sebenarnya adalah pangsa lulusan SMA yang lebih kecil Kenaikan tingkat yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Sedikitnya delapan dari sepuluh kelulusan SMA akan terus siswa SMA menyatakan ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi, tetapi mendorong peningkatan hanya sekitar tiga dari sepuluh yang mampu mendaftar (Myriad, 2013). permintaan untuk pendidikan tinggi. Tren Kenaikan jumlah lulusan SMA tahunan diperkirakan akan berlanjut, ini akan berlanjut di dan hal ini akan semakin meningkatkan permintaan untuk pendidikan tahun-tahun mendatang tinggi. Kebijakan Wajib Belajar 12 tahun diperkirakan akan meningkatkan dan menentukan jenis permintaan untuk pendidikan tinggi secara signifikan, terutama untuk lulusan SMA “baru” dari tiga kuintil pendapatan terbawah. Cakupan sistem pendidikan tinggi yang pendidikan tinggi kemungkinan perlu digandakan kapasitasnya — sampai paling dibutuhkan. sekitar 10 juta mahasiswa — sebelum tercapai titik keseimbangan. Peserta paling marginal adalah mahasiswa “generasi pertama”, yaitu anggota keluarga pertama yang mengikuti pendidikan tinggi. Calon mahasiswa ini pada umumnya kurang memiliki bekal dan persiapan yang memadai untuk berhasil menyelesaikan studi perguruan tinggi dan tidak sedikit yang akan mencari keterampilan yang bisa mengarahkan mereka dengan lebih cepat dan langsung ke pekerjaan yang lebih baik. Sejak beberapa tahun yang lalu, Indonesia hampir mencapai angka partisipasi universal bagi pendidikan dasar dan jumlah siswa yang tamat pendidikan dasar terus meningkat. Data terkini menunjukkan lebih dari 2,5 juta siswa menerima ijazah SMA setiap tahunnya. Pada tahun akademik 2000-2001, 1,6 juta siswa lulus SMA. Arah Kebijakan Pertama: Kebijakan pemerintah harus memfasilitasi ekspansi sektor pendidikan tinggi sambil meningkatkan kualitas dan relevansi di setiap tingkatan. Kebijakan sebaiknya tidak hanya memperluas akses, tetapi juga menciptakan kondisi yang memajukan mutu berbagai penyedia layanan pendidikan tinggi, pilihan gelar, dan tingkat keterjangkauan. 4 Masukan Kebijakan Indonesia hampir mencapai cakupan universal tingkat sekolah dasar pada tahun 2009. Jumlah lulusan pendidikan dasar akan terus meningkat. Seiring meningkatnya jumlah lulusan sekolah menengah, demikian pula dengan tingkat pendaftaran ke pendidikan tinggi. Sekitar 75 persen siswa PT berasal dari keluarga di dua kuintil pendapatan Temuan Kedua teratas (lihat tabel 1). Banyak lulusan SMA dari keluarga di tiga kuintil pendapatan terbawah tidak bisa mendapatkan tempat di universitas Hanya 10 persen siswa negeri atau tidak mampu membayar untuk mengikuti kuliah di lembaga pendidikan tinggi berasal swasta (gambar 2). Beasiswa pemerintah langka — hanya mencakup lima dari keluarga dengan persen dari seluruh jumlah pendaftar — dan hanya diberikan kepada siswa distribusi pendapatan 40 tidak mampu yang paling berbakat secara akademis. Tidak ada bantuan persen terendah. keuangan yang tersedia bagi sebagian besar calon mahasiswa. Dengan demikian, meskipun Undang-Undang No. 12/2012 mencakup ketentuan yang mewajibkan 20 persen dari seluruh calon mahasiswa harus merupakan siswa berlatar belakang kurang mampu, program beasiswa Bidik Misi pemerintah, dalam bentuknya yang sekarang, tidak dapat membantu sebagian besar siswa miskin yang mengikuti dan memperoleh gelar PT. Komitmen untuk menaikkan jumlah mahasiswa miskin akan mensyaratkan kebijakan yang secara komprehensif menilai kebutuhan keuangan calon mahasiswa serta menyediakan berbagai alat dan pilihan yang dapat membantu mereka mengikuti pendidikan tinggi. Hal ini dimulai dengan memprioritaskan kebutuhan keuangan di atas prestasi serta pengakuan bahwa bantuan untuk siswa yang paling berbakat secara akademis di antara siswa miskin bukanlah landasan yang memadai untuk kebijakan yang adil. Tabel 1. Pendaftaran Pendidikan Tinggi Bruto berdasarkan Kuintil, 201223 Kuintil % usia terdaftar2 Pangsa pendaftaran3 Jumlah pendaftar 2012 Q1 4,23% 3,3% 172.040 Q2 8,80% 6,9% 358.402 Q3 18,07% 14,1% 735.779 Q4 31,42% 24,5% 1.279.257 Q5 65,68% 51,2% 2.673.956 Total 100,0% 5.219.434 Sumber: Kemdikbud 2 Angka-angka di kolom ini mewakili mahasiswa pendaftar yang berasal dari kuintil tertentu sebagai persentase dari populasi tertentu, dalam kasus ini, kelompok umur 19-23. Sebagai contoh, 1,57% di Kuintil 1 berdasarkan definisi: 1,57% dari semua populasi kelompok usia 19-23 yang terdaftar di LPT. 3 Angka-angka di kolom ini mewakili mahasisa pendaftar yang berasal dari kuintil tertentu sebagai persentase dari total siswa PT yang terdaftar. Sebagai contoh, 1,99% di Kuintil 1 berdasarkan definisi: 1,99% dari semua siswa yang terdaftar di PT berasal dari Kuintil 1. Pendidikan Tinggi di Indonesia: 5 Arah Kebijakan Gambar 2. Pendaftar Perguruan Tinggi berdasarkan Kuintil Konsumsi, 2012 2.200.000 50% 2.000.000 Total Pendaftaran PTN 45% 1.800.000 Total Pendaftaran PTS 40% 1.600.000 35% 1.400.000 30% 1.200.000 25% 1.000.000 20% 800.000 15% 600.000 400.000 10% 200.000 5% 0 0% Termiskin Q-2 Q-3 Q-4 Terkaya Sumber: SUSENAS, Indonesia Arah Kebijakan Kedua: Pemerintah harus mengadopsi kebijakan bantuan keuangan komprehensif yang mendukung tujuan kesetaraan (yaitu menaikkan tingkat aplikasi dan kelulusan siswa dari latar belakang tidak mampu). Sistem baru harus menawarkan bantuan kepada semua pelajar pendidikan tinggi yang kurang mampu secara finansial dan menyediakan dasar untuk meningkatkan akses bagi siswa dari dua kuintil pendapatan terbawah. Di banyak negara, landasan kebijakan pendidikan tinggi adalah tingkat cakupan dan kelulusan. Utamanya terletak pada komitmen membantu mereka yang ingin berinvestasi meningkatkan keterampilannya agar dapat melakukannya dengan baik dan terjangkau. 6 Masukan Kebijakan Mereka yang tidak melanjutkan pendidikan setamat SMA umumnya menghadapi masa depan yang lebih sulit dibanding mereka yang melanjutkan sekolah. Kualitas dan relevansi adalah prioritas abadi dalam pendidikan tinggi. Temuan Ketiga Mahasiswa, orang tua, pemberi kerja, pembuat kebijakan, dan dosen, instruktur dan administrator perguruan tinggi semua ingin agar pendidikan Kualitas dan relevansi yang diberikan berkualitas tinggi. Mereka juga menginginkan agar perlu ditingkatkan pendidikan relevan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan yang di seluruh sistem akan memampukan mahasiswa untuk berhasil sebagai lulusan, terutama pendidikan tinggi. dalam kehidupan bekerja mereka. Definisi dan pemahaman atas kualitas dan Kekhawatiran atas kualitas harus dioperasionalkan dengan kesadaran relevansi harus diubah bahwa saat ini tidak ada pengukuran kualitas yang obyektif, sah dan andal. dan diperluas bersamaan Kualitas harus diukur oleh penerima manfaat. Hal ini merupakan tantangan, tetapi ini hanyalah salah satu dari tantangan yang berhasil diatasi oleh dengan pelaksanaannya. banyak sistem pendidikan tinggi. Salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pemegang gelar tingkat tinggi. Bersamaan dengan banyaknya pemegang gelar S-3 yang bersaing untuk mendapatkan posisi akademik, mahasiswa diuntungkan dari instruktur dengan kualitas yang lebih baik. Gambar 3 menunjukkan bahwa Indonesia telah bergerak ke arah yang benar dengan meningkatkan pangsa tenaga pengajar berkualifikasi pascasarjana. Apa yang dimaksud dengan kualitas dan relevansi? Jawabannya sesungguhnya mengacu pada nilai tambah yang bisa dihasilkan pendidikan terkait keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mahasiswa. Perguruan tinggi menambah nilai dengan secara terukur mendefinisikan target populasi siswa mereka dan kemudian dengan cermat memenuhi kebutuhannya. Perguruan-perguruan tinggi yang melakukan hal ini dengan baik dianggap cocok untuk tujuan para siswa. “Kecocokan dengan tujuan” adalah pilihan definisi terkait kualitas dan relevansi dalam sistem pendidikan tinggi modern. Konsep “nilai” di pendidikan tinggi muncul sebagai sebuah konsep yang terkait erat dengan “kecocokan dengan tujuan.” Nilai biasanya didefinisikan sehubungan dengan kinerja kelembagaan terkait indikator-indikator utama yang dapat dibandingkan di berbagai perguruan tinggi. Indikator utama nilai adalah tingkat putus- kuliah dan tingkat kelulusan, durasi mendapatkan gelar, keberhasilan lulusan di pasar tenaga kerja (waktu antara mendapatkan pekerjaan pertama dan memperoleh gaji), serta total biaya untuk memperoleh gelar. Terlepas dari disiplin ilmu atau program, kinerja perguruan tinggi dapat dibandingkan dengan menggunakan kriteria ini. Sudah bukan jamannya lagi untuk mendefinisikan kualitas, pencapaian akademik tertinggi sebagai alat kebijakan. Kekakuan merupakan hal penting di seluruh sistem, tetapi kekakuan akademis biasanya sangat terkait dengan selektivitas siswa. Selektivitas memang sesuai untuk perguruan tinggi favorit dan unggulan, tapi bukan merupakan fitur sistem pendidikan tinggi yang perlu dilazimkan. Di antara banyak kekurangannya, pendefinisian kualitas sebagai kekakuan akademik cenderung hanya mendukung eselon atas strata sosial ekonomi, khususnya mereka yang mampu mendapatkan pendidikan dasar bermutu tinggi. Pendidikan Tinggi di Indonesia: 7 Arah Kebijakan Gambar 3. Gelar Tertinggi Tenaga Pengajar Perguruan Tinggi Indonesia, 2004-20104 100% 6.794 7.138 12.257 13.181 12.608 9.969 16.523 90% 80% 40.097 68.280 69.627 87.336 93.725 60.524 70% 84.330 60% S3 50% S2 40% 108.222 30% 126.201 135.445 S1 92.046 95.736 77.809 20% 60.774 D4 10% 0% 1.084 875 5.291 6.369 3.364 -- 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 2011/2012 Sumber: Statistik Pendidikan, Kemdikbud, Indonesia Pemerintah telah membuat kemajuan dalam memperkuat sistem akreditasi pendidikan tinggi. UU No. 12/2012 menetapkan bahwa semua perguruan tinggi harus mendapatkan akreditasi yang valid selambat-lambatnya tahun 2015. Peraturan kementerian baru masih memperdebatkan perincian pembentukan lembaga akreditasi mandiri (LAM) yang berfokus hanya pada akreditasi program studi. Akreditasi perguruan tinggi akan menjadi tanggung jawab BAN-PT, dan pemerintah harus mempertimbangkan untuk menciptakan sistem akreditasi terpisah untuk perguruan tinggi non-universitas. Pergerakan ke arah akreditasi kelembagaan berpotensi memajukan tujuan penting pendidikan tinggi di Indonesia: menggunakan pengukuran kualitas dan relevansi yang “generik” dan lintas sektoral yang mengukur kinerja lembaga. Hal ini akan menyeimbangkan dan sebagian menggantikan program akreditasi, yang berdasarkan kecukupan konten tertentu dari suatu program. Sebagian besar lulusan SMA dan calon mahasiswa tidak akan mendapatkan keuntungan dari selektivitas kelembagaan. Meskipun demikian, keluarga dan calon mahasiswa masih sering mendefinisikan sukses sebagai penerimaan dan kelulusan dari perguruan tinggi tradisional. Pendidikan yang berkualitas tinggi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan tinggi Indonesia, tetapi hal ini tidak memberikan kesempatan terbaik bagi rata-rata lulusan SMA. Program non-universitas dengan pilihan studi dan gelar yang lebih erat terkait dengan pekerjaan yang lebih baik harus dianggap “berkualitas” jika program ini meningkatkan prospek pekerjaan dan karier individu. Keunggulan dan “kecocokan dengan tujuan” di semua tingkatan — mulai dari universitas sampai akademi komunitas— harus mendukung pemahaman baru tentang kualitas dan relevansi. Arah Kebijakan Ketiga: “Kecocokan dengan tujuan” — kemampuan perguruan tinggi untuk merespon kebutuhan siswa — harus melengkapi atau mengganti kekakuan akademik yang kerap merupakan definisi utama mutu dalam pendidikan. Mutu dan relevansi harus diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu dan mata pelajaran yang mengacu pada tingkat kemampuan dan aspirasi lulusan SMA secara umum, dan bukan hanya pada yang paling berbakat secara akademis. Akademi Komunitas, program gelar jangka pendek dan studi-studi yang berkaitan dengan keberhasilan jangka pendek bagi lulusan di pasar tenaga kerja harus mendapatkan prioritas untuk pembiayaan pemerintah dan kebijakan- kebijakan lain yang memfasilitasi penciptaannya. 4 Data hanya menunjukkan jumlah dosen purnawaktu untuk PTN dan PTS 8 Masukan Kebijakan Landasan kebijakan yang baik adalah kewajaran target cakupan yang meningkatkan jumlah peserta didik formal dan mengurangi jumlah lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikan. Sebagian besar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diperlakukan seperti Temuan Keempat lembaga pemerintah, bukan lembaga pendidikan. Dosen dan staf PTN adalah pegawai negeri sipil yang kemajuan kariernya didasarkan pada masa Otonomi yang lebih pengabdian mereka dan bukan pada efektivitas mereka sebagai dosen dan besar harus disediakan peneliti. Anggaran PTN secara tidak fleksibel ditetapkan di tingkat mikro di sepanjang kerangka biasanya kurang mengindahkan tujuan yang hendak dicapai dan tidak ada fleksibilitas untuk merespon perubahan keadaan. Sebaliknya, Perguruan pembiayaan dan Tinggi Swasta (PTS) memiliki keleluasaan tetapi juga menghadapi kendala peraturan. otonomi akibat dari pembiayaan publik (subsidi) yang diterima. Tidak adanya otonomi dalam penggunaan sumber daya, kebijakan akademik dan manajemen staf menghalangi perguruan tinggi untuk dapat menawarkan kesempatan belajar yang berkualitas tinggi bagi mahasiswa. Penghematan sumber daya yang dihasilkan dari peningkatan efisiensi harus digunakan untuk mempromosikan kesetaraan melalui bantuan keuangan siswa. Tabel 2. Belanja Pendidikan dan Pendidikan Tinggi di Indonesia Tahun Total Belanja Pendidikan Belanja Pendidikan Tinggi (% Belanja PT (% (%Anggaran Pemerintah) Total Belanja Pendidikan) Anggaran Pemerintah) 2007 18,8% 4,9% 0,92% 2008 15,6% 8,5% 1,33% 2009 22,2% 10,7% 2,38% 2010 21,6% 12,1% 2,61% 2011 20,6% 13,4% 2,76% Sumber: Kemenkeu Pada tahun 2002, Indonesia membuat komitmen yang kuat dan jelas terhadap pendidikan dengan mengamandemen konstitusi dan mewajibkan setidaknya 20 persen dari total anggaran pemerintah dialokasikan untuk pendidikan. Seperti ditunjukkan pada Tabel 2, sejak tahun 2009, pemerintah secara konsisten memenuhi tuntutan “aturan 20 persen.” Selain itu, walaupun pendanaan untuk sebagian besar tingkatan pendidikan umum di Indonesia berasal dari berbagai sumber pemerintahan, sumber pendanaan untuk pendidikan tinggi pada umumnya berasal dari pemerintah pusat (nasional). Dengan demikian, hampir semua pembiayaan umum yang diterima perguruan tinggi tunduk kepada peraturan dan pengendalian yang ketat; perguruan tinggi tidak mempunyai pilihan untuk mendapatkan keleluasaan penggunaan keuangan yang lebih besar, misalnya, melalui penggunaan aliran dana kabupaten dan daerah. Untuk mengarahkan sistem pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia agar sejalan dengan praktik terbaik internasional dapat dimulai dengan mempertimbangkan contoh yang ditawarkan oleh Komisi Pendidikan Tinggi Selandia Baru yaitu dengan meningkatkan jumlah pendanaan berupa hibah yang dapat digunakan sesuai kebijaksanaan dan pertimbangan masing-masing perguruan tinggi untuk memaksimalkan fleksibilitas biaya operasional. Rincian operasional ini dapat menambah atau mengurangi kebebasan lembaga menggunakan dana dalam batas kewajaran. Secara lebih umum, pemerintah dapat mempertimbangkan pemanfaatan dan rekomendasi yang dipublikasikan Singapore University Autonomy, Governance and Funding Steering Committee (UAGFSC) sebagai tujuan untuk meningkatkan otonomi dengan akuntabilitas (lihat Boks 1). Pendidikan Tinggi di Indonesia: 9 Arah Kebijakan Boks 1. Tujuan untuk meningkatkan otonomi dengan akuntabilitas Pemerintah Singapura telah menerbitkan laporan terkait perguruan tinggi negeri (PTN) yang didanai publik pada bulan Januari 2005 dengan empat rekomendasi utama yang menggarisbawahi hubungan ideal antara pemerintah dan pendidikan tinggi. 1. Beri PTN fleksibilitas yang lebih besar dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tata kelola internal, penggunaan anggaran, biaya kuliah, dan persyaratan pendaftaran untuk pencapaian strategi mereka demi keuntungan maksimum para pemangku kepentingan mereka. 2. Lanjutkan dukungan pemerintah untuk perguruan tinggi, sekaligus dorong rasa memiliki dan kebebasan yang akan memampukan pencapaian keunggulan, sehingga para pemangku kepentingan di perguruan tinggi — anggota dewan, manajemen, fakultas, mahasiswa, dan alumni — merasa terdorong untuk berperan lebih aktif dalam membentuk masa depan perguruan tinggi. 3. Pastikan bahwa misi PTN senantiasa selaras dengan strategi nasional dengan mewajibkan pertanggung-jawaban penggunaan dana publik. Penunjukan anggota dewan oleh kementerian pendidikan memungkinkan terlaksananya fungsi pemantauan tersebut, selain kerangka jaminan kualitas serta kesepakatan kebijakan dan kinerja antara kementerian dan perguruan tinggi. 4. Walaupun berkomitmen untuk menjadi sumber utama dana, pemerintah memberikan insentif bagi PTN untuk mencari sumber-sumber pendanaan lain dengan memadankan dana yang berhasil didapatkan secara swadaya. Pendanaan pemerintah dapat digantikan untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada PTN dalam memaksimalkan nilai. Pada saat yang sama, akses ke perguruan tinggi tetap terjangkau dan didasarkan kepada prestasi dengan berbagai rencana untuk orang yang membutuhkan bantuan keuangan. Sumber: Maroun, N., Sumber: Maroun, N., Samman, H., Moujaes, C. N., & Abouchakra, R. (2008). How to Succeed at Education Reform: The Case Studies for Saudi Arabia and the Broader GCC Region, http://boozallen.com/media/file/How_to_Succeed_at_Education_Reform.pdf Arah Kebijakan Keempat: Perguruan tinggi hanya dapat merespon permintaan dan kebutuhan mahasiswa jika mereka memiliki kemampuan dan insentif untuk mengambil keputusan penting bagi lembaganya. Otonomi dan penggunaan sumber daya yang bertanggung jawab perlu mendasari keputusan ini. Otonomi perguruan tinggi adalah langkah yang mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan respon yang diperlukan dalam sistem pendidikan tinggi. Tabel 3. Rangkuman empat sub-sistem informasi utama pada pendidikan tinggi di Kolombia Sistem informasi Fitur  Komprehensif; termasuk data mengenai semua program PT dan perguruan tinggi di Daftar Program Berkualitas Kolombia Sistem Informasi  Mengumpulkan dan mengatur informasi tentang lembaga, program, dosen Nasional dan staf, siswa dan kesejahteraan mereka, lulusan, penelitian, internasionalisasi, Pendidikan Tinggi infrastruktur, keuangan, skor uji standar pelamar, biaya kuliah, serta bantuan keuangan dan pinjaman Sistem Analisis  Alat untuk mengawasi dan menganalisis tingkat putus pendidikan tinggi dan Pencegahan  Menyajikan statistik tentang total aplikasi dan kelulusan. Putus Pendidikan  Mengintegrasikan informasi mengenai karakteristik siswa dari sumber data lain Tinggi untuk meningkatkan kedalaman dan kegunaan Pengawasan  Terfokus pada informasi mengenai pendapatan rata-rata lulusan PT dari tahun Pasar Tenaga 2001 hingga sekarang Kerja untuk  Melacak persentase pemegang gelar (berdasarkan jenis gelar, disiplin ilmu, Pendidikan lembaga dan lokasi geografis) yang aktif di pasar tenaga kerja  Mencatat status akreditasi program Sistem Informasi  Memampukan perguruan tinggi untuk melacak dan memenuhi persyaratan Jaminan Kualitas akreditasi Pendidikan Tinggi  Menunjukkan pengkinian (update) karakteristik kelembagaan dan status hukum  Menyediakan informasi akreditasi langsung ke calon mahasiswa Sumber: Bank Dunia, 2012 10 Masukan Kebijakan Kebijakan untuk meningkatkan mutu dan relevansi butuh waktu. Pemerintah akan diuntungkan dengan kecepatan tanggap meningkatkan kualitas dan relevansi untuk menghindari penurunan tingkat pengembalian ke penddikan tinggi, dan terhindar dari inefisiensi serta peningkatan produktivitas berkat peningkatan keterampilan. Siswa pendidikan tinggi mampu bersaing di pasar tenaga kerja, namun Temuan Kelima tidak sedikit yang masih terpengaruh oleh anggapan terkait sarjana pengangguran atau persepsi bahwa jaminan kerja sektor publik lebih Mahasiswa dan pembuat menjanjikan. Untuk mengambil keputusan yang terkait pilihan bidang kebijakan tidak yang akan dipelajari, mereka memerlukan lebih banyak informasi. memiliki informasi yang Termasuk informasi mengenai ketersediaan dan opsi yang tersedia akurat tentang sistem untuk bantuan keuangan, tingkat pengembalian tenaga kerja terampil, pendidikan tinggi. dan kemungkinan kembali mengenyam pendidikan akan membantu memudahkanpengambilan keputusan yang baik. Pemahaman mengenai potensi nilai gelar pendidikan tinggi di pasar tenaga kerja di masa depan hanyalah salah satu bidang pemanfatan informasi yang dibutuhkan calon mahasiswa. Untuk mengambil keputusan yang tepat, calon mahasiswa juga perlu berupaya mempelajari kualitas perguruan tinggi, seperti misalnya mengetahui tingkat putus kuliah dan tingkat kelulusan, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan gelar, serta keberhasilan lulusan di pasar tenaga kerja (tenggang waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan pertama dan memperoleh gaji), serta total biaya untuk memperoleh gelar. Calon mahasiswa juga perlu mengetahui apakah program yang diminatinya telah terakreditasi serta peringkat program yang diminati dalam kerangka proses penjaminan kualitas. Selain itu, para pembuat kebijakan memerlukan informasi lebih akurat untuk memahami karakteristik sistem serta dampak dan efektivitas kebijakan. Saat ini, kualitas informasi mengenai pendaftaran, karakteristik mahasiswa, kemajuan, dan waktu mendapatkan gelar, serta bagaimana mahasiswa membayar uang sekolah, dan hasil pekerjaannya belumlah optimal. Arah Kebijakan Kelima: Tingkatkan kualitas dan sebarluaskan informasi dan data mengenai sistem pendidikan tinggi (terutama kepada calon mahasiswa) untuk mendukung pengambilan keputusan yang matang. Pendidikan Tinggi di Indonesia: 11 Arah Kebijakan Sebagai bagian dari dukungan terhadap pendidikan tinggi di Indonesia, DFAT (Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, dahulu disebut AusAID) melalui Bank Dunia telah mendanai penelitian untuk mendukung perencanaan strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan masukan kebijakan yang dibutuhkan. Temuan, interpretasi dan kesimpulan yang disajikan dalam publikasi ini tidak mencerminkan pandangan pemerintah Republik Indonesia maupun pemerintah Australia. Sektor Pembangunan Manusia Kantor Bank Dunia Gedung Bursa Efek Indonesia Menara 2, Lantai 12 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52- 53 Tel: (021) 5299 3000 Faks: (021) 5299 3111 www.worldbank.org/id/education