40463 Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1 ­ 31 Maret 2006 World Bank/DSF Sebagai bagian dari program dukungan untuk proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan Masyarakat di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.1 Di bulan Maret, tidak ada insiden baru GAM-RI yang terlapor. Investigasi AMM dari serangan di kantor SIRA Blang Pidie bulan lalu diakhiri dengan penjelasan bahwa RI tidak terlibat. Namun, AMM meminta agar RI memberi konfirmasi dalam bentuk tulisan bahwa semua kelompok atau front ilegal telah dibubarkan. Satu insiden serius atas serangan polisi yang berlebihan yang mengakibatkan satu kematian dan beberapa luka-luka telah terlapor. Insiden ini menekankan pentingnya meningkatkan pengamanan tingkat lokal. Akhirnya, konflik tingkat lokal tampaknya telah stabil (pada tingkat yang masih tinggi) tetapi terdapat sedikit peningkatan pada konflik sumber daya dan politik. Di bulan Maret, Bank Dunia menyajikan temuan dan rekomendasi dari dua penelitian yang berhubungan dengan program pasca-konflik dan tsunami: Kajian mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM dan pemantauan Perjalanan Truk dan Pungutan Liar. Mekanisme institusional untuk mengarahkan dan mengatur progran pasca-konflik menjadi lebih jelas karena pemerintah telah mematangkan struktur Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Tercantum dalam laporan ini adalah sedikit penjelasan terhadap institusi yang baru lahir. Tidak ada insiden GAM-RI yang terlapor di bulan Maret. Di bulan Maret, tidak ada insiden GAM-RI atau yang berhubungan dengan MoU yang terlapor dari dua sumber surat kabar kami, Aceh Kita dan Serambi. Dengan memperhatikan serangan di kantor SIRA Blang Pidie yang terjadi bulan lalu, investigasi AMM menjelaskan bahwa RI tidak terlibat. Namun, AMM meminta agar RI memberikan konfirmasi dalam bentuk tulisan bahwa semua kelompok atau front ilegal telah dibubarkan, sesuai dengan klausa 4.9 dalam MoU. Gambar 1: Insiden GAM-RI berdasarkan bulan 1Adanya keterbatasan dalam pemetaan melalui surat kabar untuk memetakan insiden tingkat provinsi, surat kabar yang secara umum cuma memberitakan tentang berita tingkat daerah, tidak mengankat semua kasus dan pemberitaan miring dalam melaporkan kasus-kasus tertentu. Untuk informasi lebih lanjut atau yang berminat dapat dilihat di: Patrick Barron and Joanne Sharpe (2005)."Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia", Indonesia Social Development paper No. 7, Jakarta: World Bank. Laporan ini merupakan perkembangan pemantauan per bulan, bisa di akses melalui: www.conflictanddevelopment.org data tersedia bagi siapa saja yang berminat, untuk mendapatkan semua dataset tersebut silahkan hubungi Samuel Clark di: sclark@wboj.or.id. 1 AMM menyelidiki satu insiden serius atas seorang polisi menggunakan serangan yang berlebihan Aceh Kita and Serambi melaporkan bahwa pada tanggal 6 Maret 2006 seorang polisi memukuli pedagang ikan hingga mati saat memeriksa identitas pengendara motor (sweeping) di depan pos mereka. Korban tidak berhenti ketika diminta oleh polisi. Kedua surat kabar melaporkan bahwa serangan yang berlebihan ini membuat marah masyarakat setempat, yang secepatnya membentuk kelompok untuk demonstrasi di depan kantor polisi. Pada saat demonstrasi, dua warga terluka karena tembakan dari polisi dan TNI. Untuk menyelesaikan insiden dan membubarkan keramaian, Kapolres datang ke tempat kejadian untuk bertemu dengan pemimpin masyarakat setempat. AMM juga hadir meskipun insiden berada di luar jangkauan MoU. Kemudian AMM meminta RI untuk mendisiplinkan oknum-oknum yang terlibat. Meskipun kejadian dalam kadar seberat ini tidak umum terjadi dalam konteks pasca-MoU, insiden ini menekankan pentingnya memperbaiki institusi keamanan. Konflik tingkat lokal tampaknya menjadi stabil pada tingkat tinggi Jumlah konflik tingkat lokal menurun menjadi 68 insiden di bulan Maret (lihat Gambar 2). Jumlah insiden kekerasan tetap rendah, hanya lima insiden yang terlapor. Ini adalah sedikit peningkatan dari bulan lalu (lihat Gambar 3). Seperti yang dilaporkan di bulan-bulan sebelumnya, insiden konflik tingkat lokal cepat meningkat setelah MoU dan tampaknya telah stabil di 50-80 kasus per bulan. Mayoritas perselisihan konflik tingkat lokal adalah dalam hal administratif dan berhubungan dengan penyaluran layanan dan pemberian bantuan dari pemerintah dan donor (lihat Gambar 4 di bawah). Gambar 2: Konflik GAM-RI tingkat lokal berdasarkan bulan Gambar 3: : Konflik kekerasan dan bukan kekerasan tingkat lokal berdasarkan bulan Sumber: Dataset surat kabar Konflik sumber daya dan politik pelan-pelan meningkat Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, terdapat peningkatan secara pelan-pelan namun teratur pada jumlah konflik sumber daya dan politik sejak MoU. Di bulan Maret, 14 dan 12 perselisihan sumber daya yang terlapor secara berurutan. Ini adalah angka tertinggi sejak dimulainya pemantauan konflik di tahun 2005. Peningkatan konflik sumber daya baru-baru ini terutama berhubungan dengan peningkatan jumlah perselisihan lahan di daerah tsunami. Di bulan Februari dan Maret sekitar 40 persen perselisihan sumber daya berhubungan dengan lahan, sedangkan sebelum ini sedikit sekali yang terlapor. Dari 12 perselisihan politik yang terlapor di bulan Maret, empat terjadi di tingkat desa dan melibatkan pemilihan kepala desa; lima terjadi di tingkat kabupaten, termasuk dua perselisihan antar kabupaten karena perbatasan; dan empat terjadi di tingkat propinsi. Dua insiden melibatkan konflik sesama partai. Ini adalah tanda bahwa akan banyak lagi yang terjadi ketika partai menyelesaikan politik internal sebelum menentukan kandidat di pilkada mendatang. 2 Gambar 4: Jenis konflik administratif berdasarkan bulan Gambar 5: Konflik sumber daya dan politik berdasarkan bulan Di bulan Maret, LSM, politikus lokal, kepala sekolah muslim dan kelompok perempuaan menolak RUU Pemerintahan Aceh yang dirundingkan di Jakarta. Secara positif penolakan ini tidak dilakukan melalui protes di jalan, tetapi melalui lobbying yang terkoordinasi.2 Mudah-mudahan ini adalah indikasi dari masa depan yang damai dan demokratis. Laporan ini akan tetap memantau konflik politik menjelang pilkada dan temuan yang relevan akan dimasukkan ke data lapangan dari penelitian konflik dan pilkada gabungan antar UNDP dan Bank Dunia. Reintegrasi kombatan berjalan dengan mulus tetapi masih ada tantangan ke depan. Di bulan Maret, Bank Dunia menyajikan dan menyelesaikan Kajian mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM.3 Kajian ini menjelaskan bahwa secara umum reintegrasi GAM yang kembali berjalan dengan mulus, tetapi masih ada tantangan ke depan.4 Penelitian menemukan bahwa hampir 75 persen dari GAM yang kembali sekarang menganggur dan mayoritas adalah laki-laki muda. Karena itu, penyediaan bantuan mata pencaharian sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi mereka di masa depan dan menyibukkan mereka. Penelitian juga menemukan bahwa kebutuhan korban konflik dan masyarakat juga tinggi dan mirip dengan GAM yang kembali. Temuan ini memiliki konsekuensi yang penting pada program pasca-konflik dan reintegrasi. Kajian ini mengusulkan tiga rekomendasi yang dapat memberikan kerangka kegiatan untuk membantu reintegrasi dan memperkokoh proses perdamaian. Pertama, program bantuan diperlukan untuk mempertahankan suasana kondusif dari proses reintegrasi, yang meliputi pemantauan yang berkelanjutan, perbaikan peraturan daerah dan lembaga sektor hukum, serta sosialisasi. Kedua, diperlukan bantuan dalam bentuk bantuan individual (barang perorangan ­ private goods) bagi kalangan tertentu dan bantuan masyarakat (barang publik ­ public goods). Bantuan individual perlu diberikan tidak hanya kepada GAM yang kembali, tetapi juga masyarakat "yang terkena dampak" dan kelompok rentan, seperti janda, pengungsi, korban konflik, perempuan dan anak-anak. Ketiga, kajian mengusulkan bahwa mekanisme penyaluran atas dasar masyarakat dapat diigunakan untuk mengidentifikasi masyarakat yang layak menerima bantuan dan memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Rekomendasi ini telah diterima GAM dan BRA (Badan Reintegrasi Aceh) dengan baik (lihat di bawah). Pungutan liar yang dibayar supir truk masih tinggi Di bulan Maret, Bank Dunia dan BRR meluncurkan penelitian bersama yang menemukan bahwa pungutan liar yang di bayar supir truk di rute Banda Aceh - Medan masih tinggi.5 Di bulan Maret 2Lihat ICG, `Aceh: Now for the Hard Part', Asia Briefing No. 48, Jakarta/Brussels, p. 5. 3 Keseluruhan laporan menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif, dan dibagi menjadi 5 bagian: a) karakteristik GAM; b) proses perdamaian dan dinamika reintegrasi saat ini; c) kebutuhan dan aspirasi GAM yang kembali; d) kebutuhan dan aspirasi masyarakat penerima; dan e) penutup dan rekomendasi. Laporan penuh dapat didownload dari www.conflictanddevelopment.org atau bisa dipesan melalui Andi: atama@wboj.or.id. 4Laporan mendefinisikan GAM yang kembali dengan memasukkan kombatan, anggota sipil, polisi, dan pelatihan, juga tahanan politik. 5Laporan ini juga bisa didownload di www.conflictanddevelopment.org. 3 2005, Bank Dunia menyelesaikan penelitian kualitatif yang menemukan bahwa truk membayar sekitar Rp.600.000 di 70 hingga 110 pos keamanan antara Banda Aceh dan Medan. Pada bulan November 2005, Bank Dunia dan BRR mulai memantau pungutan liar dengan menggunakan peneliti yang mendampingi sopir truk selama di jalan. Pemantauan ini menunjukkan penurunan tajam dalam pungutan liar di pos keamanan yang berhubungan dengan penarikan pasukan bersenjata dan polisi sebagai bagian dari kesepakatan damai Helsinki. Untuk perjalanan ke Aceh, jumlah yang dibayarkan adalah Rp.242.500 hungga 50.666 (lihat Gambar 6). Namun pungutan liar di jembatan timbang makin meningkat, mengambil alih posisi pos keamanan sebagai sumber terbesar pembayaran di jalan (on-road payment), sehingga total pungli masih tetap tinggi (lihat Gambar 7). Gambar 6: Jumlah yang dibayar di pos keamanan Gambar 7: Seluruh pungutan liar Institusi untuk mengarahkan dan mengkoordinasi program pasca-konflik menjadi lebih jelas Pelaksanaan MoU menimbulkan tantangan institusional yang signifikan. Komitmen MoU yang berhubungan dengan pengaturan keamanan, bantuan reintegrasi, bantuan bagi korban konflik dan perubahan struktur pemerintahan memerlukan tindakan di sejumlah departemen pemerintah dan partisipasi dari berbagai tokoh. Banyak donor yang tertarik membantu pelaksanaan MoU, dan hal ini membutuhkan koordinasi lebih lanjut. Pemerintah, GAM dan tokoh-tokoh lainnya telah mengetahui dan membentuk berbagai mekanisme formal dan informal. Sejenak setelah MoU, pemerintah dan GAM setuju untuk membentuk Tim Sosialisasi Aceh Damai agar dapat memberikan pesan-pesan secara konsisten dan mengkoordinasi bantuan yang disediakan oleh berbagai donor. Gubernur sebelumnya juga telah membentuk Forum Bersama untuk mengatur masalah dengan jangkauan yang lebih luas yang berhubungan dengan pelaksanaan MoU dan Diagram 1: Struktur Organisasi BRA program pasca-konflik. Mulai Steering Committee bulan Februari, dengan Keputusan Gubernur HEADofBRA No.330/032/2006, pemerintah Mustafa Abu Bakar tingkat propinsi berencana HeadofImplementation Forum Usman Hasan Monitoring mempersatukan dan Bersama DeputyHead ofImplementation Committee Hanif Asmara memperkuat mekanisme sementara (ad hoc) dengan Secretariat membentuk BRA. Gubernur Aceh membentuk ForumInteraksi Economic Politics , Law, Security Socialand Empowerment and Human Rights Badan Reintegrasi Aceh (BRA) CommunityWelfare Data and Finances mula-mula dengan Keputusan Provincial Provincial Provincial Provincial Dinas Dinas Dinas Dinas Gubernur No.330/032/2006 tanggal 11 Februari dan diganti DistrictLevelBRA dengan Keputusan Gubernur No.330/106/2006 tanggal 13 4 April. Badan ini dipantau oleh Gubernur (saat ini Dr Mustafa Abubakar) dengan pelaksanaan didelegasikan kepada Usman Hasan (Kepala) dan Hanif Asmara (Kepala Deputi). Hanif Asmara juga menjabat sebagai kepala propinsi Dinas Sosial (lihat Diagram 1). Terdapat komite pemantauan yang besar, melibatkan GAM, kelompok sipil, dan perwakilan masyarakat, dan struktur saat ini menggunakan Forum Bersama sebagai penasehat. Gubernur juga telah menginstruksikan seluruh kabupaten Aceh untuk membentuk badan koresponden di tingkat kabupaten. BRA dipertimbangkan akan menjadi badan kunci untuk mengkoordinasi program pasca-konflik dari pemerintah dan donor. Strukturnya meliputi kelompok yang bekerja di empat bidang: ekonomi, Polhukam (Politik, Hukum dan Keamanan) dan HAM; Sosial dan Kesra (Kesejahteraan Masyarakat); dan data dan keuangan. Saat ini BRA mengutamakan bantuan penguatan ekonomi kepada GAM yang kembali dan kompensasi dalam bentuk diyat bagi korban konflik. Bantuan ini dilakukan dengan mekanisme di mana kelompok GAM yang kembali mengirim proposal untuk bantuan penguatan ekonomi dan kepala desa mengidentifikasi korban konflik. Pendekatan seperti ini akan dihadapkan dengan berbagai kesulitan, khususnya dalam hal verifikasi kelayakan dan memastikan bahwa bantuan digunakan secara produktif. Karena itu BRA terikat untuk memantau proses saat ini. 5