Edisi Launching Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Mengoptimalkan Potensi Bonus Demografi di Papua Melalui Peningkatan Kualitas Belanja Publik Sektor Pendidikan dan Kesehatan KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II, Lt. 12-13 Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta – 12190 Telp. (+6221) 5299 3000 Faks (+6221) 5299 3111 Dokumen ini dicetak pada bulan Juni 2014. Foto-foto pada halaman sampul dan halaman bab merupakan hak cipta © Bank Dunia, Mohon untuk tidak digunakan tanpa ijin. Laporan Analisis Keuangan Publik Papua 2014: Mengoptimalkan Potensi Bonus Demografi di Papua Melalui Peningkatan Kualitas Belanja Publik Sektor Pendidikan dan Kesehatan ini merupakan hasil kerja mitra dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia, maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi Gregorius D.V. Pattinasarany (gpattinasarany@worldbank.org) dan Bastian Zaini (bzaini@worldbank.org). Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Mengoptimalkan Potensi Bonus Demografi di Papua Melalui Peningkatan Kualitas Belanja Publik Sektor Pendidikan dan Kesehatan Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Ucapan Terima Kasih Laporan Kajian PEA Papua 2014 ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Provinsi Papua, Pusat Keuangan Daerah Universitas Cenderawasih (Pusat Keuda UNCEN), dan Bank Dunia, dengan dukungan dari Department of Foreign Affairs, Trade, and Development Pemerintah Kanada, dan The Australian Department of Foreign Affairs and Trade. Laporan ini disusun oleh tim peneliti dari Pusat Keuda UNCEN yang diketuai oleh Mesak Lek dengan anggota tim, Ida Ayu Purba Riani, Agustinus Salle, Yundy Hafizrianda, Anthonius H. Citra Wijaya, Agustina Sanggrangbano, Ivanna K. Wamafma, dan Marsi Adi Purwadi. Tim Bank Dunia dipimpin oleh Ihsan Haerudin dan C. Desta Pratama dengan anggota tim Diding Sakri, Andhika Nurwin Maulana, dan Indira Hapsari. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Project Management Committee (PMC) program PEACH di Papua serta segenap SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang telah secara aktif dan responsif berkontribusi sejak proses persiapan, pengumpulan data, penelitian, penulisan laporan, sampai peluncuran. Ucapan terimakasih secara khusus diberikan kepada Kepala Bappeda/Ketua PMC program PEACH Pemerintah Provinsi Papua, Bapak Muhammad Musaad, dan kepala Bappeda periode sebelumnya Bapak Alex Rumaseb, serta kepada jajaran Bappeda, bapak Adolf Kambuaya, Bapak Edison Howay, Bapak Andry, Bapak Protasius Lobya, Bapak Freddy Illolle, dan Bapak Edy W.P. Utomo yang telah mendukung kelancaran seluruh proses penelitian ini. Ucapan terimakasih juga perlu kami sampaikan kepada Kepala BPKAD Pemerintah Provinsi Papua, Bapak Benyamin Arisoy, beserta jajarannya, Ibu Wara Kustini Wulan, dan Bapak Istiyoso, yang telah memberi akses kepada data-data fiskal daerah seluruh pemerintah daerah di Provinsi Papua. Penghargaan juga patut diberikan kepada ibu Agnes Ang., Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Papua, dan Bapak Prostasius Lobya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, yang juga telah memberi masukan selama proses penyusunan laporan ini berlangsung. Proses pembuatan laporan ini diarahkan oleh Gregorius D.V. Pattinasarany (Ekonom Senior Bank Dunia) dan James A. Brumby (Ekonom Utama dan Manajer Sektor Bank Dunia untuk Indonesia) serta mendapat masukan dari Bastian Zaini (Ekonom Bank Dunia). Terimakasih kami sampaikan kepada Erryl Davy dan Marsi Purwadi atas koordinasi pelaksanaan berbagai kegiatan di Papua selama penelitian berlangsung; Maulina Cahyaningrum atas bantuan lay-out dan format laporan; serta Nola Safitri atas dukungan administrasi dan logistik. ii Kata Pengantar Sejak tahun 2004, Bank Dunia telah bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Pusat Keuda UNCEN dalam melakukan analisis belanja publik di Provinsi Papua. Laporan Analisis Belanja Publik (selanjutnya disebut PEA) Provinsi Papua yang pertama terbit pada tahun 2006, kemudian diikuti oleh PEA Provinsi Papua 2009. Keduanya menitikberatkan pada kajian belanja publik dalam kerangka Otonomi Khusus. Sementara, PEA Provinsi Papua 2009 menyoroti berbagai perbaikan dalam alokasi dan penggunaan dana Otsus. Program-program seperti Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) serta pendidikan dan kesehatan gratis bagi orang asli Papua merupakan beberapa contoh program yang mencoba mengarahkan alokasi dana Otsus langsung ke penerima manfaatnya. Sebagai kelanjutan dari dua PEA sebelumnya, Bank Dunia, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pusat Keuda UNCEN kembali bekerja sama untuk menyusun laporan PEA Papua 2014 ini. Laporan ini mencakup tiga Bab, yakni Kajian Umum Anggaran atau Broad Budget Analysis (BBA) dan dua bab Kajian tentang tantangan pembangunan dan belanja sektoral atau Sector Wide Expenditure Analysis (SWEA) untuk dua sektor prioritas provinsi, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan merupakan dua sektor yang memperoleh perhatian khusus dalam UU Otsus. Penentuan dua sektor prioritas ini dilakukan melalui proses konsultasi antara Bank Dunia dengan tim peneliti dari Pusat KEUDA UNCEN, dan Project Management Committee (PMC) Provinsi Papua, serta berdasarkan masukan dari para pemangku kepentingan di Provinsi Papua. Beberapa isu yang menarik dibahas dalam laporan ini adalah : (i) Dalam 15 tahun ke depan, provinsi Papua akan menghadapi potensi bonus demografi yakni kondisi ketika penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding penduduk usia yang tidak produktif (0- 14 tahun dan 65 tahun ke atas); (ii) Hal ini merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan di Papua terutama dengan mengatasi tiga tantangan utama, yakni kualitas pendidikan khususnya penduduk usia sekolah (7-18 tahun) dan penduduk usia muda (15-24 tahun), kualitas kesehatan masyarakat, serta peningkatan lapangan kerja; dan (iii) Belanja pemerintah provinsi serta belanja pemerintah kabupaten/kota harus sedapat mungkin diarahkan pada upaya menjawab tantangan peningkatan kualitas SDM baik dari sisi pendidikannya maupun tingkat kesehatannya. Kami berharap laporan ini dapat memberi kontribusi khususnya bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan umumnya bagi seluruh pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, pemerintah pusat, serta para stakeholder dan pemerhati keuangan dan pembangunan daerah di Sulawesi Tenggara. DR.Drs. Muhammad Musaad, M.Si James A. Brumby Kepala BAPPEDA Ekonom Utama/ Provinsi Papua Manajer Sektor Bank Dunia untuk Indonesia iii Analisis Keuangan Publik Papua 2014 iv Daftar Istilah dan Singkatan AMH Angka Melek Huruf APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APK Angka Partisipasi Kasar APM Angka Partisipasi Murni APS Angka Partisipasi Sekolah BAKD Badan Aset dan Keuangan Daerah Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bawasda Badan Pengawasan Daerah BKD Badan Keuangan Daerah BLUD Badan Layanan Umum Daerah BOS Bantuan Operasional Sekolah BOSDA Bantuan Operasional Sekolah Daerah BPHTB Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPK Badan Pemeriksa Keuangan BPS Badan Pusat Statistik DAK Dana Alokasi Khusus DAU Dana Alokasi Umum DBH Dana Bagi Hasil Dekon/TP Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan DJPK Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan DMA Daerah Mudah Akses DP/Peg. Daerah Pegunungan DPPKAD Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DSA Daerah Sulit Akses HDI Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) v Analisis Keuangan Publik Papua 2014 HPS Harga Perkiraan Sendiri IPM Indeks Pembangunan Manusia atau HDI KD Kantor Daerah KER Kajian Ekonomi Regional KP Kantor Pusat KPJP Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan KUA Kebijakan Umum Anggaran MP3EI Master Plan Perluasan dan Percepatan Ekonomi di Indonesia Otsus Otonomi Khusus PAD Pendapatan Asli Daerah PBB Pajak BUmi dan Bangunan PDB Produk Domestik Bruto PDRB Produk Domestik Regional Bruto PEA Public Expenditure Analysis PEACH Public Expenditure and Capacity Harmonization Pemda Pemerintah Daerah Perda Peraturan Daerah Pergub Peraturan Gubernur Perkada Peraturan Kepala Daerah Perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PFM Public Financial Management (Pengelolaan Keuangan Publik) PHR Perdagangan, Hotel, dan Restoran PKBM Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKD Pengelolaan Keuangan Daerah PMC Program Management Committee Pokja Kelompok Kerja PP Peraturan Pemerintah PPK Pejabat Penatausahaan Keuangan Pusat Keuda Uncen Pusat Keuangan Daerah Universitas Cenderawasih RAD-PTBA Rencana Aksi Percepatan Tuntas Buta Aksara Renstra Rencana Strategis RESPEK Rencana Strategis Pembangunan Kampung vi Daftar Istilah dan Singkatan RKA Rencana Kerja dan Anggaran RLS Rata-rata Lama Sekolah Rp Rupiah RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengan Daerah RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang RT Rumah Tangga SD Sekolah Dasar SD Sekolah Dasar SDA Sumber Daya Alam SDM Sumber Daya Manusia Sekda Sekretaris Daerah SKPD Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPKD Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah SMA Sekolah Menengah Atas SMK Sekolah Menengah Kejuruan SMP Sekolah Menengah Pertama SPM Standar Pelayanan Minimum ST Sekolah Tinggi STR Student Teacher Ratio (Rasio Guru terhadap Murid) Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh BPS TK Formal Tenaga Kerja Formal TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPT Tingkat Pengangguran Terbuka UB Urusan Bersama UMR Upah Minimum Regional Uncen Universitas Cendrawasih UNDP United Nations Development Program Unipa Universitas Negeri Papua UUD Undang-undang Dasar WB World Bank (Bank Dunia) vii Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Daftar Isi Contents Ucapan Terima Kasih ii Kata Pengantar iii Daftar Istilah dan Singkatan v Daftar Isi viii Ringkasan Eksekutif xii Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 6 1.1. Beberapa Tantangan Pembangunan di Provinsi Papua 7 1.2. Analisis Belanja Pemerintah di Papua 22 1.3. Analisis Pendapatan 33 1.4. Kesimpulan dan Rekomendasi 39 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan 42 2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Provinsi Papua 43 2.2. Perlambatan Kinerja Pendidikan di Provinsi Papua Seiring dengan Perlambatan Angka Partisipasi Sekolah 44 2.3. Distribusi Fasilitas Pendidikan dan Guru yang Belum Optimal Menjadi Penghambat Upaya Peningkatan Kinerja Pendidikan di Provinsi Papua 53 2.4. Tantangan untuk Meningkatkan Efektivitas Belanja Barang, Jasa, dan Pegawai di Daerah Pegunungan (DP) dan Sulit Akses (DSA) di Tengah Besarnya Tingkat Belanja Urusan Pendidikan di Provinsi Papua 59 2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 68 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang 70 3.1. Kesehatan Ibu dan Anak Sebagai Masalah Prioritas dalam Pembangunan Kesehatan Provinsi Papua 71 3.2. Capaian Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak Provinsi Papua 72 3.3. Sumber Daya Kesehatan di Provinsi Papua 78 3.4. Belanja Kesehatan Provinsi Papua 81 3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 90 Daftar Pustaka 93 Lampiran 94 Lampiran I.1. Status Pendidikan dan Pendidikan Tertinggi Berdasarkan Kelompok Usia 94 viii Daftar Gambar Gambar 1.1. Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Klasifikasi Geografis 8 Gambar 1.2. Bonus Demografi Papua : Proyeksi Rasio Penduduk Usia Produktif dan Rasio Ketergantungan Provinsi Papua dan Nasional 2010-2035 9 Gambar 1.3. Struktur Ekonomi Papua 2000-2012 10 Gambar 1.4. Rata-rata Kontribusi Sektor terhadap PDRB Tanpa Pertambangan 11 Gambar 1.5. Rata-rata Pertumbuhan Sektor dan PDRB Tanpa Pertambangan 12 Gambar 1.6. Rata-rata Kontribusi Pertumbuhan Sektor terhadap Pertumbuhan PDRB Tanpa Pertambangan 12 Gambar 1.7. TPAK, TPT, Pekerja Penuh, dan Pekerja Paruh Waktu di Provinsi Papua 13 Gambar 1.8. Penduduk Usia Muda (15-24 Tahun) Berdasarkan Status, Tahun 2012 15 Gambar 1.9. Penduduk Usia Muda yang bekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan,Tahun 2012 16 Gambar 1.10. Perkembangan IPM, IPG, dan IDG Provinsi Papua 18 Gambar 1.11. Perkembangan IPM, IPG, dan IDG Kabupaten/Kota di Provinsi Papua 18 Gambar 1.12. PDRB per Kapita dan Tingkat Kemiskinan antar Provinsi di Indonesia, 2012 19 Gambar 1.13. Perkembangan Penurunan Kemiskinan di Beberapa Provinsi di KTI dan Nasional 19 Gambar 1.14. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Papua (2011) 20 Gambar 1.15. Pemerataan Kemakmuran Kabupaten/Kota se Indonesia 2007-2010 21 Gambar 1.16. Perkembangan Belanja Pemerintah di Provinsi Papua, 2007-2012 22 Gambar 1.17. Belanja Daerah (Konsolidasi Provinsi dan kabupaten/kota) per Kapita dan per Luas Wilayah 23 Gambar 1.18. Perkembangan Belanja Pemerintah Provinsi Berdasarkan Klasifikasi Langsung dan Tidak Langsung 24 Gambar 1.19. Perkembangan Belanja Langsung Pemerintah Provinsi Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 25 Gambar 1.20. Perkembangan Belanja Pemerintah Provinsi Berdasarkan Urusan 26 Gambar 1.21. Belanja Pemerintah kabupaten/kota per kapita Tahun 2007-2012 26 Gambar 1.22. Belanja Kabupaten/Kota per Kapita dan Per Luas Wilayah di Provinsi Papua 27 Gambar 1.23. Komposisi Belanja Pemerintah kabupaten/kota Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 28 Gambar 1.24. Komposisi Belanja Pemerintah kabupaten/kota Berdasarkan Klasifikasi Urusan 29 Gambar 1.25. Komposisi alokasi Dana Otsus Pemerintah Provinsi Papua, 2007--2011 29 Gambar 1.26. Komposisi belanja Dana Otsus Pemerintah Provinsi Papua 2010 32 Gambar 1.27. Alokasi Dana Otsus berdasarkan wilayah, 2002-2011 33 Gambar 1.28. Komposisi Pendapatan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 35 Gambar 1.29. Perkembangan DAU di Provinsi Papua 36 Gambar 1.30. Perkembangan DAK Provinsi dan Kabupaten/kota 2007-2012 36 Gambar 1.31. Rata-rata alokasi DAK Kabupaten/Kota berdasarkan wilayah 37 Gambar 1.32. Komposisi PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di Papua 38 Gambar 2.1. Persentase AMH Provinsi Papua dan Indonesia 2007-2012 44 Gambar 2.2. Angka Melek Huruf (AMH) di Kabupaten/Kota Provinsi Papua, 2012 45 Gambar 2.3. Perkembangan AMH Provinsi Papua: Target RPJMD Provinsi Papua 2013-2018 dan Estimasi Linier 2013-2018 45 Gambar 2.4. Persentase Penduduk Melek Huruf Berdasarkan Kelompok Usia: Perbandingan P apua dan Indonesia (2012) 46 Gambar 2.5. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Provinsi Papua* dan Indonesia 2007-2012 47 ix Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 2.6. RLS kabupaten/kota di Provinsi Papua 2012 47 Gambar 2.7. Perkembangan RLS Provinsi Papua: Target RPJMD Provinsi Papua 2013-2018, dan Linier Estimasi 2013-2018 48 Gambar 2.8. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Formal di Provinsi Papua 49 Gambar 2.9. Cakupan APS Berdasarkan Usia Provinsi Papua dan Indonesia, tahun 2012 50 Gambar 2.10. PerbandinganAPS antar Kelompok usia 7-15 Tahun di Kabupaten/Kota Provinsi Papua 2012 51 Gambar 2.11 a. APK Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 53 Gambar 2.11 b. APM Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 53 Gambar 2.12. Rata-rata Jarak ke Fasilitas Pendidikan per Daerah di Papua 2011 54 Gambar 2.13. Perkembangan Rasio Sekolah Terhadap Murid di Provinsi Papua 2008-2012: SD-SMP-SMA 54 Gambar 2.14. Tingkat Penggunaan Kelas di Papua 2011 55 Gambar 2.15. Rasio Pendidikan di Provinsi Papua: SD, SMP, dan SMA (2011). 56 Gambar 2.16. Perkembangan Belanja Pendidikan di Provinsi Papua 2007-2012 60 Gambar 2.17. Perkembangan Belanja Pendidikan Langsung, Proporsi, dan Perkapitanya di Papua 2011 61 Gambar 2.18. Perkembangan Belanja Pendidikan per Penduduk Usia Sekolah: Konsolidasi Pusat dan Daerah, dan Khusus Belanja Daerah di Papua 2011 61 Gambar 2.19. Belanja Langsung untuk Pendidikan Kabupaten/Kota di Papua 2011 62 Gambar 2.20. Besarnya Belanja Modal Pendidikan di Kabupaten/Kota Seiring dengan Peningkatan Jumlah SD-SMP-SMA/SMK 63 Gambar 2.21. Kumulatif Belanja Pegawai untuk Sejalan dengan Peningkatan Jumlah Guru dan Murid di Kabupaten/Kota di Papua 64 Gambar 2.22. Belanja Barang dan Jasa Pendidikan Seiring dengan Peningkatan Jumlah Guru namun Tidak Seiring Dengan Peningkatan Jumlah Murid 65 Gambar 2.23. Belanja Program Pendidikan Kabupaten/Kota di Papua, 2012 66 Gambar 3.1. Persentase Komplikasi Kehamilan vs. Melahirkan dengan C-Section, 2012 74 Gambar 3.2. Persentase K4 dan Melahirkan Didampingi Tenaga Kesehatan di Provinsi Papua (2012) 76 Gambar 3.3. AKB dan AKABA per 1000 Kelahiran Hdup, 2012 77 Gambar 3.4. Cakupan Layanan Kesehatan Bayi dan Balita (2012) 77 Gambar 3.5. Cakupan Layanan Kesehatan Bayi dan Balita, 2012 78 Gambar 3.6. Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Papua, 2007-2011 79 Gambar 3.7. Belanja Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Proporsi Terhadap Total Belanja, 2007 - 2012 81 Gambar 3.8. Proporsi Jenis Belanja Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, 2007-2012 82 Gambar 3.9. Kumulatif Belanja Kesehatan 2007-2012 oper Kabupaten/Kota dan Rata-rata Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi: Perbandingan Anatar Wilayah 83 Gambar 3.10. Korelasi Belanja Kumulatif Kesehatan 2007-2012 Berdasarkan Klasifikasi 84 Ekonomi Terhadap Tingkat Ketersediaan Fasilitas Kesehatan, 2012 84 Gambar 3.11. Korelasi Belanja Kumulatif Kesehatan 2007-2012 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi terhadap Tingkat Ketersediaan Tenaga Kesehatan, 2012 85 Gambar 3.12. Dekon/TP Program Gizi dan KIA yang diterima Kabupaten/Kota, 2012-2013 87 Gambar 3.13. DAK Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2012 87 x Gambar 3.14. Pengeluaran Tahunan Rumah Tangga Per Kapita untuk Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2012 88 Gambar 3.15. Efisiensi Teknis Belanja Sektor Kesehatan: Posisi Relatif Kabupaten/Kota di Provinsi Papua terhadap Kabupaten/Kota lain di Indonesia 90 Daftar Tabel Tabel 1.1. Kondisi Ketenagakerjaan pada Sembilan Sektor Perekonomian di Provinsi Papua, 2012 14 Tabel 1.2. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dengan Nasional 16 Tabel 1.3. Sepuluh SKPD dan lembaga pemerintah provinsi yang menerima alokasi Dana Otsus 2010 terbesar 30 Tabel 1.4. Duapuluh LIma program penerima Dana Otsus terbesar pemerintah provinsi Papua 2010 31 Tabel 1.5. Penerimaan Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur 2002 – 2011 34 Tabel 1.6. Aturan Dana Bagi Hasil dalam Otonomi Khusus 37 Tabel 1.7. Dana Bagi Hasil Provinsi dan Kabupaten/Kota 37 Tabel 2.1. Indikator Pendidikan 2012 dan Target Pemerintah Provinsi Papua 2013-2018 43 Tabel 2.2. Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 49 Tabel 2.3. Cakupan APS kabupaten/kota di Provinsi Papua 2012 Berdasarkan Kelompok Pendapatan 52 Tabel 3.1. Perkembangan AKI, AKB, dan AKABA 2002-2012 71 Tabel 3.2. Angka Kematian Ibu 2012 73 Tabel 3.3. Indikator Terkait Upaya Perencanaan Kehamilan (2012) 74 Tabel 3.4. Persentase Ibu Hamil yang Melakukan K1 dan K4 di Provinsi Papua (2012) 74 Tabel 3.5. Persentase Persalinan Berdasarkan Tenaga Pendamping dan Tempat Melahirkan (2012) 75 Tabel 3.6. Persentase Jenis Layanan yang Diterima Bayi dan Balita (2012) 77 Tabel 3.7. Jumlah dokter dan bidan per 100.000 penduduk di Papua, KTI dan Indonesia, 2011 79 Tabel 3.8. Rasio Tenaga Kesehatan dan fasilitas kesehatan terhadap Jumlah Penduduk di Kabupaten/Kota, 2012 80 Tabel 3.9. Alokasi Belanja Kesehatan Pemerintah Pusat (Dekon/TP) di Provinsi Papua, 2011-2012 86 Tabel 3.10. Statistik Deskriptif: Variabel Input dan Output untuk DEA Sektor Kesehatan 89 Daftar Kotak Kotak 1.1. Tenaga Kerja Usia Muda di Provinsi Papua 15 Kotak 2.1. APK dan APM Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 53 Kotak 2.2. Ketidakhadiran guru adalah tantangan dalam pelayanan pendidikan di Provinsi Papua 57 Kotak 2.3. Efisiensi Teknis Belanja Pendidikan Pemerintah Dearah di Papua, 2010-2011 67 xi Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Provinsi Papua harus mampu mengoptimalkan kesempatan emas berupa bonus demografi dalam 15 tahun ke depan. Berdasarkan proyeksi BPS, pada tahun 2015, Papua diperkirakan akan mulai memperoleh bonus demografi karena penduduk usia kerja/produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding usia non-produktif (usia 0-14 dan usia 65 tahun ke atas). Proporsi penduduk usia produktif akan terus meningkat sampai puncaknya tahun 2030. Pada tahun 2030 tersebut rasio ketergantungan (dependency ratio) akan mencapai titik terendah sebesar 41,6 persen. Empat provinsi dengan rasio ketergantungan terendah pada tahun tersebut adalah Kep. Riau (38,1), DKI Jakarta (40,1), dan Kalimantan Tengah (40,3). Ini merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah di Papua. Untuk mengoptimalkan manfaat dari bonus demografi tersebut, pemerintah di Provinsi Papua perlu mengatasi tantangan kualitas SDM. Manfaat dari bonus demografi tentu tidak datang secara otomatis. Diperlukan prasyarat agar bonus demografi tersebut memberi manfaat optimal. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah di Papua harus bekerja keras untuk: (i) meningkatkan wajib belajar 12 tahun sebab penduduk usia sekolah (7-19 tahun) yang jumlahnya cukup besar di Papua akan menentukan kualitas SDM ke depan; (ii) meningkatkan akses pendidikan penduduk usia muda (15-24 tahun) yang saat ini, karena tekanan ekonomi dan rendahnya akses ke pendidikan, terjebak menjadi tenaga kerja tidak terampil (pendidikan SMP kebawah); dan (iii) meningkatkan pemberantasan buta aksara pada penduduk usia muda, mengingat tingginya proporsi penduduk usia muda yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Disamping itu, untuk mempersiapkan generasi selanjutnya, pemerintah di Provinsi Papua juga perlu memberi perhatian lebih pada peningkatan nutrisi anak balita mengingat pada periode tersebut merupakan masa perkembangan otak yang paling signifikan. Pemerintah di Provinsi Papua juga perlu mendorong kebijakan ketenagakerjaan yang seiring dengan arah transformasi ekonomi. Papua mengalami dua tahap transformasi ekonomi. Tahap pertama adalah tumbuhnya sektor ekonomi diluar pertambangan hingga 4,5 kali lipat sepanjang tahun 2001-2012. Kondisi ini secara perlahan telah mengurangi ketergantungan ekonomi Papua pada sektor pertambangan yang hanya menyerap 2,1 persen tenaga kerja. Transformasi ekonomi tahap kedua ditandai dengan semakin meningkatnya ekonomi non-pertanian terutama konstruksi dan sektor jasa (terutama jasa-jasa dan perdagangan). Namun tantangannya adalah, meskipun perekonomian sudah secara bertahap mengarah pada sektor non-pertanian, komposisi tenaga kerja belum mengalami pergeseran signifikan. Sampai taun 2012, lebih dari 72 persen tenaga kerja masih bekerja di sektor pertanian yang bersifat informal dengan nilai tambah yang rendah. Kondisi ini perlu diperbaiki dengan upaya meningkatkan kualitas SDM disertai dengan penyediaan lapangan kerja. Salah satunya adalah melalui peningkatan industri pengolahan padat karya berbasis sumber daya lokal seperti industri pengolahan pertanian, perikanan, kehutanan, dll. Menjadikan IPM, pengurangan kemiskinan, dan pengurangan ketimpangan sebagai tolok ukur penting dalam pembangunan. Meskipun setiap tahun mengalami kenaikan, namun saat ini Papua masih terhitung sebagai provinsi dengan IPM terendah di Indonesia. Salah satu penyumbangnya adalah masih rendahnya rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Di sisi lain, tingkat kemiskinan juga masih yang tertinggi di Indonesia juga disertai dengan angka ketimpangan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pendapatan per kapita secara umum juga masih jauh dibawah PDB per kapita nasional yang sudah diatas 10 juta per tahun. Diluar sektor pertambangan, Kota Jayapura merupakan kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tertinggi, sementara jika dengan sektor pertambangan, Mimika memiliki PDRB tertinggi hingga mencapai Rp. 43,7 juta per tahun. Sementara yang terendah di Nduga sebesar Rp. 1,2 juta per kapita per tahun. Pemerintah Daerah di Papua perlu mengelola tekanan kebutuhan antara Belanja Sosial (Kesehatan dan Pendidikan) serta Belanja Infrastruktur. Jika diukur secara per kapita, belanja pemerintah daerah di Papua termasuk tertinggi di Indonesia. Namun, jika diukur berdasarkan luas wilayah, termasuk yang terendah di Indonesia. Padahal Papua memiliki tantangan tidak hanya SDM yang rendah, tapi juga aksesibilitas yang sulit dengan penduduk yang terfragmentasi, belum masalah tingkat kemahalan konstruksi yang bisa mencapai dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Kondisi ini seharusnya dapat mendorong pemerintah daerah untuk mendorong efisiensi dan efektivitas penggunaan belanjanya baik pada tingkat provinsi 1 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 maupun kabupaten/kota. Salah satu hal yang perlu diatasi dalam efisiensi belanja pemerintah adalah mengurangi Belanja Pemerintahan Umum dan juga Belanja Perjalanan Dinas. Penggunaan indikator keberhasilan yang jelas serta penguatan mekanisme monitoring dan evaluasi perlu ditingkatkan dalam mengelola belanja transfer ke daerah bawahan dalam komponen belanja pemerintah provinsi. Lebih dari 35 persen belanja pemerintah provinsi setiap tahunnya dialokasikan untuk belanja bantuan ke daerah bawahan. Hal ini merupakan bagian dari amanat dana otsus yang mengharuskan 60 persen belanja otsus dialokasikan untuk kabupaten/kota. Capaian keberhasilan indikator pembangunan serta pengendaliannya yang dicanangkan pemerintah provinsi akan sangat tergantung pada bagaimana mengelola hubungan keuangan provinsi dan pemerintah dibawahnya baik kabupaten/kota maupun distrik. Memperjelas indikator keberhasilan yang harus dicapai dari setiap rupiah yang disalurkan, memperkuat mekanisme montoring serta evaluasi menjadi kuncinya. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan efisiensi belanja pemerintahan umum harus menjadi perhatian. Lebih dari 30 persen belanja pemerintah kabupaten/kota habis untuk Belanja Pemerintahan Umum, sementara alokasi Belanja Pendidikan dan Kesehatan rata-rata belum mencapai sesuai dengan yang dicanangkan dalam UU, yakni 20 persen untuk pendidikan dan 10 persen untuk kesehatan, kecuali untuk Daerah Mudah Akses (DMA). Di sisi lain, tekanan kebutuhan pembangunan infrastruktur juga masih tinggi terutama di Daerah Pegunungan (DP) dan Daerah Sulit Akses (DSA), sehingga perlu disusun suatu rencana prioritas antar-sektor yang baik. Bantuan pemerintah pusat sebaiknya difokuskan ke DP dan DSA mengingat kapasitas fiskal yang masih kecil serta tingkat kemahalan konstruksi yang masih tinggi (bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat). Pemerintah Daerah di Papua harus mengoptimalkan peluang peningkatan PAD sesuai Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemampuan pemerintah provinsi untuk mengumpulkan pendapatan dari PAD semakin menurun baik secara proporsional maupun riil. Sumber PAD terbesar pemerintah provinsi adalah Pajak Kendaraan Bermotor. Sementara itu pada tingkat kabupaten, meskipun PAD-nya mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun sumber PAD terbesar berasal dari Pendapatan Lain-lain yang Sah yang umumnya bersumber dari Bantuan Keuangan Pemerintah Provinsi. Pendapatan dari sumber pajak dan retribusi masih sangat terbatas. Beberapa potensi yang bisa dikembangkan antara lain: (i) pemerintah daerah memperbaiki infrastruktur dan kualitas pelayanan publik yang memungkinkan investasi untuk berkembang sehingga potensi pajak dan retribusi daerah juga meningkat; (ii) pemerintah daerah memperbaiki sistem pelaporan dan pencatatan pajak daerah, misalnya pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak air permukaan1 untuk pemerintah provinsi; serta Pajak Bumi dan Bangunan untuk pemerintah kabupaten/kota. Pembangunan Sektor Pendidikan Provinsi Papua perlu untuk melakukan pendekatan yang luar biasa dan bebeda dari sebelumnya jika ingin mengejar ketertinggalan dalam hal kinerja hasil, keluaran, dan akses pada bidang pendidikan. Indikator hasil pendidikan Papua mengalami perlambatan sebagaimana ditunjukan oleh perubahan yang sangat minimal dalam angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH). Hal ini sejalan dengan perlambatan bahkan penurunan pada Angka Partisipasi Sekolah (APS). Kondisi ini terjadi baik di Papua secara keseluruhan maupun terutama yang sangat tertinggal adalah kabupaten/kota yang berada di Daerah Sulit Akses (DSA) dan Daerah Pegunungan (DP). Kinerja tersebut tidak terlampau mengherankan karena pada kenyataannya terdapat ketimpangan distribusi sekolah dan guru di DSA dan DP dibandingkan dengan Daerah Mudah Akses (DMA). Tidak hanya kendala geografis yang dicerminkan oleh apa yang 1 Strategi peningkatan pendapatan pajak ini disampaikan oleh Dinas Penerimaan Daerah Provinsi Papua dalam FGD. 2 Ringkasan Eksekutif terjadi di DP dan DSA, namun terdapat pula tantangan dari sisi kemampuan ekonomi sebagaimana ditunjukan oleh tertinggalnya tingkat APS masyarakat yang termasuk kategori kelompok 40 persen termiskin dibandingkan dengan tingkat APS kelompok yang lebih sejahtera. Setiap rencana pembangunan yang tertuang dalam RPJMD maupun RENSTRA terkait pembangunan sektor pendidikan harus mampu memperhitungkan kondisi geografis dan kebutuhan yang berbeda antar daerah. RPJMD dan Renstra telah mencanangkan target yang sebenarnya memadai dalam hal AMH dan RLS untuk dicapai dalam periode 2013-2018. Namun demikian jika memperhatikan kecenderungan yang telah terjadi pada periode sebelumnya (2007- 212), target periode 2013 dan 2018 tersebut menuntut kerja yang jauh lebih keras dan terfokus melebih tahun-tahun sebelumnya. Pendekatan inovatif perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut, misalnya dengan menyediakan pelayanan pendidikan yang memperhatikan tingkat konsentrasi penduduk yang cenderung terfragmentasi. Secara khusus dalam hal AMH, Provinsi Papua perlu memperhatikan aspek demografis untuk mengefektifkan upayanya. Penduduk yang melek huruf di Provinsi Papua sudah meningkat namun masih lambat, titik lemah terutama di daerah pegunungan, dan juga kolompok usia 30-44 tahun, sedangkan berdasarkan jenis kelamin yang terendah adalah wanita. Pemerintah sudah memberantas buta aksara melalui program pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, namun diperlukan strategi khusus untuk memberantas buta aksara di usia 30-44 tahun, dan juga buta aksara di wanita. Untuk meningkatkan melek huruf wanita dapat meningkatkan kegiatan kursus-kursus atau kegiatan sosialisasi yang lain sehingga wanita di Papua terutama di usia 30-44 tahun yang masih strategis untuk meningkatkan kemampuan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan ekonomi. Demikian pula dalam hal upaya meningkatkan APS, Papua perlu menyasar kelompok strategis yakni usia 7-18 tahun. APS di Papua meningkat selama 2007-2012 dan peningkatan tersebut juga berdampak pada RLS yang meningkat, namun peningkatannya melambat dikarenakan APS di kelompok usia strategis (7-18 tahun) mengalami penurunan. Minimnya anak yang masuk SD (31,6%) pada usia 6 tahun, baru pada usia 7 tahun APS meningkat (68,9%) juga menghambat peningkatan RLS dalam periode yang sama, dan bisa dimanfaatkan karena untuk APS di usia 8-10 tahun masih ada peningkatan APS di Papua sama seperti angka nasional. Program pendidikan dasar 9 tahun harus lebih dipromosikan agar para anak tidak terlambat mendapat pendidikan, termasuk jenjang setelah SD, SMP, maupun ke SMA dan akademi atau perguruan tinggi. Perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kemudahan transportasi anak-anak sekolah menuju sekolah terutama di DP dan DSA. Rata-rata untuk menjangkau ke fasilitas pendidikan di Papua terutama di DP dan DSA masih cukup jauh, hal tersebut membuat transportasi untuk menjangkau pendidikan relatif lebih mahal. Pemerintah provinsi dapat berkerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota menyediakan daerah pusat fasilitas umum khususnya pendidikan agar masyarakat lebih mudah menjangkau akses pendidikan, terutama disediakan fasilitas pendidikan yang berjenjang, sehingga orang tua murid tidak perlu sulit lagi memindahkan lokasi untuk sekolah anak-anaknya. Pemerintah juga dapat menyediakan sekolah dengan fasilitas asrama sehingga para murid tidak kesulitan untuk masuk kelas dalam kegiatan belajar mengajar. Termasuk tenaga pengajar dan administrasi sekolah bisa disediakan juga di asrama tersebut sehingga tenaga pengajar dan administrasi juga tidak terkendala masalah infrastruktur dan juga terjadi proses pendidikan tidak hanya di jam belajar, tapi pendidikan kemasyarakatan di luar jam belajar. Pada periode paska 2012 Papua perlu mempertimbangkan untuk lebih meningkatkan lagi Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Pegawai pada urusan Pendidikan. Pola belanja pada periode sebelumnya menunjukan titik berat pada Belanja Modal dan hal ini telah berhasil dengan adanya peningkatan kecukupan fasilitas sekolah. Namun demikian ke depannya, yang perlu mendapat perhatian adalah distribusi sekolah dan guru di DMA dan DSA. Belanja barang dan jasa dapat diarahkan kepada insentif kepada guru yang bersedia mengajar di DMA dan DSA. Sedangkan 3 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 belanja pegawai jika diperlukan dapat digunakan untuk merekrut tenaga pengajar tambahan di daerah tersebut. Pembangunan Sektor Kesehatan Pemerintah Daerah perlu mendorong optimalisasi potensi Bonus demografi yang akan mungkin diraih Papua dalam 15 tahun dengan meningkatkan upaya generasi anak dan penduduk usia muda yang sehat. Upaya tersebut perlu dimulai dengan cara memberikan perhatian yang serius terhadap kualitas kesehatan ibu hamil, bayi, dan balita, karena bayi dan balita yang lahir pada periode 2013-2018 ini akan menjadi generasi tulang punggung pada periode 15-16 tahun yang akan datang. Upaya meningkatkan kualitas layanan terkait kesehatan ibu, bayi, dan balita perlu dimulai dengan mengetahui penyebab tingginya AKI, AKB, dan AKABA yang dialami Papua selama ini. Perlu upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu hamil dengan cara memperbaiki perencanaan kehamilan, penanganan selama hamil, dan pendampingan proses melahirkan oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga akan menurunkan risiko tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Dari pengamatan terhadap indikator-indikator yang disampaikan dalam laporan ini berupa tingginya jumlah kematian ibu menjelang dan saat melahirkan antara lain perlu diatasi dengan pendampingan masyarakat untuk perencanaan kehamilan, disiplin pemeriksaan selama periode kehamilan, dan meningkatkan aksesibilitas dan kualitas penangan proses persalinan. Pengetahuan dan penggunaan alat kontrasepsi baik pria maupun wanita juga perlu ditingkatkan mengingat masih tingginya persentase ibu hamil berusia muda (15-19 tahun). Upaya peningkatan akses terhadap fasilitas persalinan juga perlu ditingkatkan mengingat masih cukup banyak proses persalinan yang tidak berlangsung di fasilitas kesehatan dan atau yang tanpa didampingi oleh tenaga kesehatan. Perlu upaya untuk memastikan bahwa rangkaian pelayanan dasar bagi bayi dan balita dapat diterima oleh semua bayi dan balita di Papua. Pelayanan kesehatan bayi, terutama untuk cakupan Kunjungan Neonatal 1 (KN1), atau perawatan bayi pada usia 2 kali 24 jam, perlu ditingkatkan. Kondisi ini terjadi karena peningkatan Angka Kematian Bayi (AKB) pada periode 2007- 2012, berdasarkan survey SDKI disebabkan oleh rendahnya cakupan pelayanan khusus bagi bayi. Di Papua, lebih dari 80 persen bayi baru lahir tidak mendapat KN1. Di sisi lain, vaksinasi terhadap balita juga perlu terus diupayakan. Sampai tahun 2012, terdapat hampir 40 persen balita yang sama sekali tidak mendapatkan imunisasi. Dari sisi supply fasilitas dan tenaga kesehatan, perlu dipastikan bahwa kecukupannya tidak hanya dari sisi jumlah melainkan juga dari sisi distribusi terutama dengan memperhatikan karakteristik kewilayahan. Rendahnya tingkat aksesibilitas terhadap layanan kesehatan bagi ibu hamil, bayi, dan balita di Papua juga merupakan akibat dari rendahnya tingkat supply fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Papua. Secara jumlah, memang supply fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Papua cukup berimbang jika dibandingkan dengan provinsi lain maupun rata-rata nasional. Namun demikian persoalannya adalah distribusi yang tidak merata di dalam wilayah Papua sendiri. Secara umum terdapat pola bahwa DMA memiliki tingkat ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih tinggi daripada DSA dan DP. Dengan demikian, Pemerintah Pusat dan khususnya Pemerintah Daerah perlu untuk menitikberatkan pemenuhan supply dan distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan di DSA dan DP. Pemerintah perlu memperhatikan distribusi dan alokasi belanja sektor kesehatan yang mempertimbangkan pula kondisi aksesibilitas geografis berdasarkan kewilayahan. Tingginya kebutuhan DSA dan DP terhadap tingkat supply fasilitas dan tenaga kesehatan ternyata tidak sebanding dengan pola distribusi belanja kesehatan baik yang bersumber dari APBD maupun pemerintah pusat. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara nilai dan porsi belanja kesehatan 4 Ringkasan Eksekutif per kapita antara DMA, DSA, dan DP, padahal jelas tingkat aksesibilitas layanan kesehatan di berbagai daerah tersebut berbeda. Oleh karena itu, pada proses perencanaan dan penganggaran tahun- tahun mendatang, perbedaan kondisi geografis ini perlu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat dan Provinsi dalam menentukan alokasi anggaran. Perlu peningkatkan program-program promotif dalam belanja program sektor kesehatan. Patut diapresiasi bahwa upaya peningkatan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan bagi ibu hamil, bayi, dan balita di Papua memang telah menjadi perhatian pemerintah daerah maupun pusat sebagaimana ditunjukkan oleh jenis program kesehatan yang dijalankan. Namun demikian, program promotif masih perlu ditingkatkan lagi selain tetap mempertahankan program lain yang telah ada. Program promosi kesehatan ibu dan anak perlu didasarkan pada pengetahuan budaya setempat dan pemahaman terhadap permasalahan dari sudut pandang masyarakat. Pemahaman terhadap budaya setempat bisa berupa penggunaan bahasa atau tata cara lokal, sementara sudut pandang masyarakat berarti mencari tahu apa saja alasan, di luar biaya atau jarak tempuh, para ibu tidak memeriksakan kehamilannya atau anak-anaknya pasca persalinan. Memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih kewenangan atau tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota dalam pelayanan kesehatan. Tumpang tindih program atau kegiatan menyebabkan pelayanan yang diberikan menjadi tidak efektif dan tidak dapat menjangkau kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Tanggung jawab terbesar pelayanan kesehatan berada pada pemerintah kabupaten/kota, sehingga sangat layak apabila upaya-upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan dikoordinasikan oleh pemerintah kabupaten/ kota yang bersangkutan. Program yang ada dapat terus dipertahankan dengan disertai peningkatan skala belanja pada program tersebut dengan tetap memperhatikan kualitas pelaksanaannya. Belanja kesehatan sepatutnya sudah mulai diprioritaskan pada distribusi tenaga kesehatan dan pemanfaatan tenaga kesehatan informal. Melihat luas wilayah dan keterpencilan banyak kampung di Papua, maka sangat wajar apabila biaya pelayanan kesehatan menjadi amat mahal, baik untuk pemerintah yang memberikan pelayanan maupun bagi masyarakat yang akan mengaksesnya. Dengan anggaran yang terbatas, maka pembangunan fasilitas kesehatan baru di berbagai pelosok menjadi amat mahal. Alternatif yang bisa diambil adalah redistribusi tenaga kesehatan dari kota-kota besar ke lokasi-lokasi di kabupaten/kota yang masih kekurangan2. Langkah lainnya adalah melatih dan memberdayakan orang-orang lokal sebagai tenaga kesehatan untuk menjalankan fungsi-fungsi dasar seperti pencatatan ibu hamil dan bayi dan balita, pelaporan kondisi kesehatan ibu dan anak secara umum, antar jemput ibu dan anak dari dan ke fasilitas kesehatan terdekat, atau memberikan informasi-informasi terkait pemeriksaan berkala, asupan gizi dan imunisasi. Tenaga lokal ini akan memperkuat pelayanan Posyandu atau pelayanan kesehatan formal lainnya yang sudah dijalankan di lokasi tersebut. Menjalin kemitraan secara aktif dengan organisasi masyarakat sipil dan gereja dalam memberikan pelayanan kesehatan. Organisasi masyarakat sipil dan gereja memiliki data, informasi, daya jangkau serta kedekatan dengan masyarakat, yang seringkali tidak dimiliki oleh pemerintah daerah. Menjalin kemitraan akan memudahkan pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi kesehatan ibu dan anak, mencari dan melatih tenaga-tenaga kesehatan informal dan memperoleh data atau informasi baru untuk memperkaya basis data yang sudah dimiliki. 2 Cara ini memiliki potensi ketidakberhasilan karena orang-orang ‘pendatang’, yaitu yang bukan berasal dari suku setempat cenderung tidak dihormati oleh suku setempat. Redistribusi tenaga kesehatan sangat mungkin menempatkan orang-orang yang berasal dari satu suku ke wilayah suku lainnya, sehingga menimbulkan berbagai potensi dampak negatif. Oleh karenanya redistribusi tenaga kesehatan ini perlu bekerjasama dengan orang-orang lokal. 5 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 1.1. Beberapa Tantangan Pembangunan di Provinsi Papua 1.1.1. Tantangan Demografi di Provinsi Papua Papua merupakan provinsi dengan wilayah daratan terluas dan dengan tingkat kepadatan penduduk kedua terendah di Indonesia. Luas daratan Provinsi Papua mencapai 319 ribu km2 atau hampir 3 kali lipat Pulau Jawa, sementara jumlah penduduk Papua hanya 2,8 juta orang (Sensus Penduduk 2010) atau setara 2,1 persen penduduk Jawa atau 1,2 persen penduduk Indonesia. Kondisi ini membuat tingkat kepadatan penduduk Papua terhitung kedua terendah di Indonesia setelah Papua Barat (masing-masing 9 dan 8 orang per km2), sementara kepadatan penduduk secara nasional sudah mencapai 124 orang per km2. Di satu sisi rendahnya tingkat kepadatan penduduk merupakan hal positif karena potensi sumber daya lahan masih sangat besar. Namun di sisi lain, kondisi tersebut juga merupakan tantangan karena berakibat pada banyaknya potensi lahan tidak termanfaatkan dengan optimal. Secara geografis, wilayah Provinsi Papua juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas yang sangat tinggi dengan sebaran penduduk yang sangat terfragmentasi. Berdasarkan data BPS Provinsi Papua, sebanyak 13 kabupaten/kota merupakan daerah pegunungan dengan aksesibilitas yang sulit, sementara 7 dari 16 daerah kabupaten/kota yang berada di dataran rendah juga masih terkategori daerah sulit akses3. Dari sisi sebaran penduduk, sebanyak 74 persen penduduk Papua masih tinggal di pedesaan4 dengan sebaran penduduk yang sangat terfragmentasi. Berdasarkan RTRW Provinsi Papua tahun 2012, sekitar 80 persen tutupan lahan di provinsi tersebut masih berupa hutan, terutama Hutan Primer (45 persen). 3 Berdasarkan saran dari PMC (project management committe) PEACH Provinsi Papua, laporan akan banyak menggunakan pembagian daerah kabupaten/kota di apua berdasarkan klasifikasi geografis diatas, yakni : Daerah Mudah Akses (DMA), Daerah Sulit Akses (DSA), dan Daerah Pegunungan (DP). Klasifikasi ini juga digunakan dalam RPJMD Papua periode 2013- 2018. 4 Merujuk pada kriteria BPS, daerah pedesaan merupakan satuan desa/kelurahan dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah, akses ke fasilitas umum (seperti sekolah, pasar, pertokoan, rumah sakit, akses ke listrik dan telepon) yang minim, serta karakteristik mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh pertanian. 7 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.1. Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Klasifikasi Geografis Jumlah Luas Wilayah Kepadatan Penduduk Legenda Penduduk (Kmh2) (Orang/10 KM2) Karakteristik Daerah 1 Merauke 195,716 4,324,095 4.5 Daerah Mudah Akses 2 Jayawijaya Daerah Pegunungan 3 Jayapura Daerah Sulit Akses 4 Nabire 5 Yapen Waropen Mamberamo Tengah 6 Biak Numfor 6,798 6, 126,798 64.5 Kota Jayapura 7 Paniai 53 43 153,432 13.4Kep. Yapen 8 Puncak Jaya 0 , 48 101,148 19.0 9 Mimika 182,001 Mamberamo Sarmi 10 Boven Digoel 55,784 Waropen 11 Mappi 81,6 81,658 Puncak Jayapura 12 Asmat 76,577 76,5 Intan Keerom Nabire Tolikara 13 Yahukimo 164,512 164 Paniai Puncak Lanny 14 Pegunungan Bintang 65,4 65,434 Dogiyai 15 Tolikara 114,427 , 517,642 1 22.1 22 1 .1 Nduga Yahukimo 16 Sarmi 32,9 32,971 1,070,498 3.1 Mimika 17 Keerom 8,53 48,536 876,758 5.5 Deiyai Pegunungan 18 Waropen ,6 24,639 1,525,578 1.6 Asmat 19 Supiori 5,874 15,874 969,260 1.6 i Jayawijaya 20 Mamberamo Raya 8,3 18,365 21 Nduga 79,053 9,05 16.6 Yalimo Boven 22 Lanny Jaya 8,5 148,522 50.2 23 Mamberamo Tengah 39,537 910,001 Mappi 24 Yalimo 3,673,930 25 Puncak 1,042,183 26 Dogiyai 525,867 16.0 27 Intan Jaya 40,490 3,922,020 1.0 Merauke 28 Deiyai 62,119 6 , 537,390 11.6 29 Kota Jayapura 56, 256,705 786,180 32.7 Jumlah 2,833,381 3,224,760 87.9 Pertumbuhan penduduk yang tinggi serta potensi bonus demografi dalam 15 tahun ke depan merupakan dua faktor yang bisa membantu mengatasi tantangan umum diatas. Papua merupakan provinsi dengan rata-rata pertumbuhan penduduk tertinggi di Indonesia, yakni 5,4 persen per tahun pada kurun 2000-2010. Berdasarkan hasil proyeksi BPS, jumlah penduduk di Papua akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2035, yakni dari 2,8 juta tahun 2010 menjadi 4,1 juta orang. Provinsi Papua juga memiliki median umur penduduk kategori menengah sebesar 22,8 tahun. Pada tahun 2010, proporsi penduduk bukan usia kerja didominasi oleh kelompok usia anak (0-14 tahun) dibanding usia tua (65 tahun ke atas). Dengan gambaran tersebut, pertumbuhan penduduk di Papua dalam 15 tahun ke depan akan diikuti dengan meningkatnya proporsi penduduk usia kerja/produktif 5(15-64 tahun). 5 Kategori median penduduk terdiri dari media penduduk muda < 20 tahun; median penduduk menengan 20-30 tahun; dan median penduduk tua > 30 tahun. Median penduduk Indonesia sebesar 26,9 tahun (Sensus 2010). 8 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.2. Bonus Demografi Papua : Proyeksi Rasio Penduduk Usia Produktif dan Rasio Ketergantungan Provinsi Papua dan Nasional 2010-2035 53.8 54 70.4 70.6 71 70.3 69.6 70 52 50.5 50 67.8 69 50 48.6 48 8.6 68 47.7 48 47.2 46.9 47.3 47. 67 47.5 47 5 .5 46 66 65.0 65 44 43.7 43.7 42.2 2 64 42. 42.0 41 6 41.6 42 63 40 62 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Rasio Ketergantungan Provinsi Papua (%) (Aksis Kiri) Rasio Ketergantungan Indonesia (%) (Aksis Kiri) Sumber : Diolah oleh staff Bank Dunia dari Proyeksi Penduduk Indonesia, BPS, Bappenas, dan UNDP, Oktober 2013 Bonus demografi di Papua akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Bonus demografi terjadi pada saat struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia produktif sehingga rasio ketergantungan (dependency ratio) berkisar pada angka terendah6. Di Papua, pada tahun 2015, proporsi penduduk usia produktif diperkirakan meningkat dari 65 persen tahun 2010 hingga mencapai puncaknya mencapai 70,6 persen pada tahun 2030, dan akan kembali menurun seiring semakin bertambah usia. Sebagai dampaknya, rasio ketergantungan di Papua juga diperkirakan menurun dari 53,8 persen tahun 2010 hingga titik terendah 41,6 persen pada tahun 2030. Namun demikian, salah satu tantangan terbesar Provinsi Papua untuk memanfaatkan bonus demografi tersebut adalah masih rendahnya taraf pendidikan masyarakat. Bonus demografi tidak dengan sendirinya memberi keuntungan. Diperlukan pemenuhan beberapa prasyarat untuk dipenuhi, salah satunya kualitas SDM yang baik terutama kelompok penduduk usia sekolah (7-18). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk usia sekolah yang tidak/ belum pernah mengenyam pendidikan SD di Papua masih diatas 27 persen, sementara pada tingkat nasional sudah hampir mencapai universal (dibawah 98 persen). Demikian juga dengan proporsi penduduk usia sekolah yang melek huruf di Papua masih kurang dari 74 persen sementara pada tingkat nasional sudah diatas 98 persen. Untuk mengoptimalkan potensi bonus demografi, Pemerintah (baik provinsi,kabupaten/ kota, maupun pusat) di Provinsi Papua perlu bekerja lebih keras untuk meningkatkan taraf pendidikan. Pemanfaatan bonus demografi tidak bisa terlepas dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM sehingga penduduk usia produktif dapat terlibat dalam aktivitas ekonomi baik karena terserap dalam lapangan kerja yang ada atau bahkan menciptakan lapangan kerja baru. Program 6 Berarti: setiap 10 penduduk usia produktif memiliki beban tanggungan 4-5 orang penduduk usia tidak produktif. Penduduk usia tidak produktif terdiri dari penduduk usia anak (0-14 tahun) atau usia tua (diatas 65 tahun) 9 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 pendidikan dasar 12 tahun perlu terus digalakkan sehingga mencapai taraf universal (100 persen). Kelompok penduduk usia muda yang saat ini terlanjur bekerja atau “tidak bekerja dan juga tidak sekolah”, perlu diberi akses terhadap pendidikan atau pelatihan yang tepat guna. Slogan “tidak ada kata terlambat untuk belajar” perlu digalakkan. Pemberantasan buta aksara juga harus maksimal terutama ditargetkan pada kelompok usia muda yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Prasyarat penting lain dalam memaksimalkan bonus demografi 15 tahun ke depan adalah kualitas kesehatan masyarakat serta lapangan kerja. Tingkat kesakitan masyarakat (morbidity rate) perlu ditekan semaksimal mungkin melalui pelayanan pencegahan dan penanganan kesehatan yang baik. Selain itu, Program pemberian nutrisi pada anak Balita (terutama 0-3 tahun sejak kelahiran) perlu digalakkan karena pada saat itu perkembangan otak yang paling signifikan terjadi. Selain itu, upaya meningkatkan lapangan kerja juga menjadi agenda penting. Pembangunan ekonomi terutama yang terkait dengan aktivitas ekonomi rakyat dan peningkatan infrastruktur perlu terus didorong. Berikut akan dijelaskan tiga hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah di Papua, yakni transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan, kualitas SDM, dan pemerataan pembangunan. 1.1.2. Tantangan Transformasi Ekonomi dan Ketenagakerjaan di Papua Gambar 1.3. Struktur Ekonomi Papua 2000-2012 PDRB 25 Dengan Pertambangan 20 B PDRB pa Tanp bangan Pertamb Rp. Triliun 15 Pertambangan & Penggalian Pertanian 10 Jasa Jasa-jasa Konstruksi Kons 5 Trasportasi Tr portasi & Ko asi Komunikasi PHR* Industri Olahan KPJP** 0 Utilitas*** 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Diolah oleh staff Bank Dunia dari BPS Catatan: Berdarkan Harga Konstan (ADHK=2000) * PHR : Perdagangan, Hotel, dan Resotran **KPJP : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan ***Utilitas : Listrik, Gas, dan Air Bersih Perekonomian Papua mengalami transformasi signifikan selama 12 tahun terakhir. Transformasi tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya peran sektor ekonomi non- pertambangan. Pada tahun 2001, hampir 70 persen perekonomian Papua masih bersumber dari sektor pertambangan. Dua belas tahun kemudian (2012), perekonomian non-pertambangan secara riil tumbuh 4,2 kali lipat, sementara produksi riil sektor pertambangan cenderung menurun dari 10 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 12,3 triliun tahun 2001 menjadi tinggal 6 triliun tahun 20127. Kondisi ini menghasilkan perubahan struktur ekonomi. Pada tahun 2012, sebesar 71,6 persen perekonomian Papua sudah disumbang oleh sektor non-pertambangan, sementara sumbangan sektor pertambangan tinggal 28,4 persen. Semakin tumbuhnya perekonomian non-tambang bernilai positif bagi masyarakat Papua karena lebih dari 97 persen tenaga kerja di Papua tidak bekerja di sektor pertambangan. Setelah berhasil meningkatkan besaran ekonomi non-pertambangan, Provinsi Papua akan menghadapi tantangan transformasi ekonomi tahap kedua, yakni bergesernya struktur ekonomi ke sektor non-pertanian. Pada periode pertama otonomi daerah (2001- 2006), kontribusi rata-rata sektor pertanian terhadap PDRB tanpa pertambangan masih sebesar 40,4 persen. Dengan tumbuhnya aktivitas ekonomi non-pertanian, rata-rata peran sektor pertanian mengalami penurunan menjadi 30,1 persen pada periode 2007-2012. Disamping secara kontribusi terhadap PDRB menurun, rata-rata pertumbuhan sektor pertanian juga mengalami perlambatan dari 5,1 persen per tahun (2001-2006) menjadi 3,7 persen (2007-2012). Perlambatan ini juga berdampak pada peran pertanian dalam menciptakan pertumbuhan yang juga semakin menurun dari 31,7 persen menjadi 11,1 persen dalam rentang periode yang sama. Sementara kontribusi, angka pertumbuhan, maupun perannya dalam menciptakan pertumbuhan di beberapa sektor seperti kontruksi, perdagangan (PHR), transportasi, keuangan (KPJP), dan jasa-jasa (terutama sektor jasa pemerintahan) semakin meningkat. Tingginya peran sektor konstruksi dan sektor jasa pemerintahan tidak terlepas dari peran investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan belanja pemerintahan lainnya. Gambar 1.4. Rata-rata Kontribusi Sektor terhadap PDRB Tanpa Pertambangan Jasa-jasa, Jasa-jasa, 16.2 17.8 KPJP3 0 KPJP, 3.0 KPJP, 5.7 Transportasi,10.0 Transportasi, PHR, 12.5 13.2 PHR, 13.0 Konstruksi, 11.5 Industri Konstruksi, 15.3 Olahan, 5.9 Industri Olahan, 4.4 Pertanian, 40.4 Pertanian, 30.1 2001-2006 2007-2012 Sumber: Diolah oleh staff Bank Dunia dari Sakernas, Berbagai Tahun. Ketika pendorong utama pertumbuhan bergeser ke sektor non-pertanian, pertumbuhan PDRB tanpa pertambangan secara rata-rata tumbuh lebih cepat dibanding pada saat pendorong utama pertumbuhan masih sektor pertanian. Pada periode 2001-2006, saat pertumbuhan sebagian besar disumbang oleh pertumbuhan sektor pertanian, tingkat pertumbuhan 7 Kajian Ekonomi Regional (KER) Triwulan IV 2009, Bank Indonesia, Penurunan ini antara lain dipengaruhi oleh menurunnya produksi konsentrat tembaga dan emas dari PT Freeport yang berlokasi di Kabupaten Mimika sepanjang tahun 2010- 2012 11 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 PDRB Papua secara rata-rata hanya sebesar 6,5 persen. Namun pada saat penggerak pertumbuhan bergeser ke sektor non-pertanian, tingkat pertumbuhan PDRB Papua diluar tambang rata-rata meningkat menjadi 10,3 persen per tahun (lihat gambar I.5). Ini menggambarkan pergeseran ekonomi ke sektor non-pertanian pada dasarnya bisa mendorong produktivitas lebih tinggi. Hal yang patut menjadi perhatian dalam proses transformasi ini adalah masih rendahnya peran sektor industri pengolahan. Dengan potensi sumber daya lahan dan alam yang melimpah, industri pengolahan, terutama yang berbasis SDA, selain dapat meningkatkan nilai tambah, juga dapat dilaksanakan secara padat karya sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja. Gambar 1.5. Rata-rata Pertumbuhan Sektor dan PDRB Tanpa Pertambangan 25 21.5 2001-2006 20 2007-2012 17.8 15 14.0 13.8 12.9 1 Persen 10.4 10.3 10 8.6 8.6 7.4 6.0 6.5 5.1 5.1 5.6 5 3.7 3.8 1.4 0 Pertanian Industri Olahan Utilitas PHR KPJP Jasa-jasa Pertambangan Konstruksi Transportasi PDRB tanpa Sumber: Diolah Staff Bank Dunia berdasarkan data BPS. Catatan: Berdasarkan Harga Konstan (ADHK 2000). Gambar 1.6. Rata-rata Kontribusi Pertumbuhan Sektor terhadap Pertumbuhan PDRB Tanpa Pertambangan 35 31.7 2001-2006 30 26.2 2007-2012 25 21.4 21.0 20 16.9 16.3 1 Persen 15.2 2 3 15.3 13.7 15 1 11.1 9.5 10 4.8 5 1.6 0.6 0.2 0 -5.5 Pertanian Utilitas PHR Transportasi Jasa-jasa Industri Olahan Konstruksi -5 KPJP -10 Sumber: Diolah Staff Bank Dunia berdasarkan data BPS. Catatan: Berdasarkan Harga Konstan (ADHK 2000) 12 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.7. TPAK, TPT, Pekerja Penuh, dan Pekerja Paruh Waktu di Provinsi Papua 70 82 66.1 64.6 60 60.6 81 58.9 59.6 Pekerja 54.8 Penuh Partisipasi 80 50 a Angkatan Kerja 78.9 Pekerja Paruh (TPAK) 45.2 78.4 79 Waktu 40 36.8 78.0 37.6 Persen Persen 35.3 78 31.4 30 29.5 77 81.0 20 77.7 76.7 76 10 75 4.4 4.1 3.6 3.9 3.6 3.2 Pengangguran 0 74 Terbuka (TPT) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: Diolah oleh staff Bank Dunia dari Sakernas, Berbagai Tahun. Meskipun perekonomian Papua sudah mengalami transformasi ke arah yang makin positif, namun struktur ketenagakerjaan Papua masih menghadapi tantangan yang perlu segera dibenahi. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tertinggi secara nasional8. Dalam 6 tahun terakhir, angka TPAK Papua stabil diatas 76 persen, sementra nasional masih 66,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk usia produktif di Provinsi Papua umumnya terhitung sebagai angkatan kerja, sehingga memiliki potensi untuk aktif secara ekonomi (baik karena sedang tidak sekolah, tidak mengurus rumah tangga, atau alasan lainnya). Disamping memiliki nilai TPAK yang tinggi, provinsi Papua juga memiliki tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang rendah, tercermin dari angka TPT yang konsisten dibawah TPT nasional, dan cenderung menurun hingga tinggal 3,2 persen tahun 2013. Ini menunjukkan angkatan kerja di Papua umumnya bekerja (tidak menganggur). Hal yang masih perlu dibenahi di Papua adalah menyangkut ketersediaan dan kualitas lapangan kerja serta kualitas tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja di Provinsi Papua masih didominasi oleh tenaga kerja paruh waktu (underemployment) dan bekerja di sektor pertanian yang memiliki nilai tambah yang rendah. Proporsi tenaga kerja setengah penganggur (underemployment) di Papua masih sangat tinggi dan cenderung meningkat hingga mencapai 45,2 persen tahun 2013, padahal rata-rata provinsi secara nasional 33,3 persen. Tenaga kerja setengah penganggur adalah tenaga kerja yang bekerja dibawah waktu normal bekerja (kurang dari 35 jam seminggu) dengan upah rata-rata setengah dari pekerja penuh. Dilihat dari sektornya, 72,8 persen tenaga keja di Papua masih bekerja di sektor pertanian dengan nilai produktivitas hanya 3,6 juta/tahun, jauh dibawah produktivitas tenaga kerja sektor-sektor lainnya. Sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi adalah 8 Penduduk usia kerja/produktif (15-64) terbagi ke dalam dua kategori, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk usia produktif yang bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi (BPS). 13 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 sektor pertambangan & penggalian, dengan produktivitas per tenaga kerja mencapai 53 kali lipat sektor pertanian, namun hanya menyerap 2,1 persen saja dari total tenaga kerja. Sektor yang cukup tinggi produktivitasnya setelah pertambangan adalah konstruksi yang mencapai 101,1 juta per tahun atau 28 kali lipat sektor pertanian. Transformasi ketenagakerjaan di Papua berjalan sangat lambat.9 Transformasi ketenagakerjaan bisa dilihat baik dari transformasi antar-sektor maupun transformasi di dalam sektor. Transformasi antar sektor adalah pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian yang bernilai tambah rendah ke sektor non-pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi. Pada tahun 2012, tenaga kerja di sektor pertanian masih sebesar 72,8 persen. Kondisi ini tidak banyak berubah dari enam tahun lalu sebesar 75,1 persen (2007). Padahal, pada tingkat nasional, proporsi tenaga kerja pertanian sudah semakin mengecil, yakni tinggal 35 persen tahun 2012 (turun dari 41 persen tahun 2007). Di sisi lain, transformasi di dalam sektor pertanian pun terlihat tidak banyak terjadi, salah satunya tercermin dari masih tingginya tenaga kerja informal di sektor tersebut. Meskipun secara nasional tenaga kerja informal di sektor pertanian juga masih cukup tinggi, yakni sebesar 88,3 persen, namun tenaga kerja informal di Papua jauh lebih tinggi lagi, yakni 98,0 persen. Kedua hal ini mencerminkan bahwa meskipun struktur ekonomi mengalami transformasi ke sektor non- pertanian, namun struktur tenaga kerja masih terjebak di sektor pertanian yang hampir seluruhnya bersifat informal.10 Tabel 1.1. Kondisi Ketenagakerjaan pada Sembilan Sektor Perekonomian di Provinsi Papua, 2012 Komposisi Komposisi Produktivitas Besaran Besaran Tenaga PDRB (%) (Rp. Sektor Tenaga Kerja (%) Juta/Tahun) Informal Kerja Tidak (%)1 Terampil (%)2 Pertanian 72,8 18,7 3,6 98,0 92,9 Pertambangan & Penggalian 2,1 28,4 189,4 24,5 42,2 Industri Manufaktur 1,1 2,8 35,4 35,3 54,0 Utilitas (Listrik, Gas, & Air Bersih) 0,1 0,3 27,2 - 16,5 Konstruksi 1,8 13,1 101,1 11,5 38,8 Perdagangan, Hotel, & Restoran 7,5 9,5 17,7 52,1 49,5 (PHR) Transportasi & Komunikasi 3,4 9,8 40,7 56,8 45,9 Keuangan dan Jasa Perusahaan 0,8 4,3 75,6 6,3 6,7 Jasa-jasa 10,4 13,3 18 5,0 11,8 Total Produktivitas Dengan Pertambangan  14,0 78,9 76,4 Total Produktivitas Tanpa Pertambangan 10,3 Sumber : Diolah oleh staff Bank Dunia dari Sakernas Agustus 2012 Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pembangunan industri olahan padat karya dan berbasis sumberdaya alam (resource based industry) perlu menjadi perhatian di masa depan. Berdasarkan paparan di atas secara umum dapat difahami bahwa transformasi ekonomi di Papua belum seiring dengan transformasi ketenagakerjaan. Sebanyak 72,8 persen tenaga kerja di Papua masih bertumpu pada sektor pertanian dengan nilai tambah yang rendah. Di sisi lain, sektor pertanian bukan saja mengalami penurunan kontribusi, melainkan juga perlambatan angka pertumbuhan. Untuk bisa mendorong tenaga kerja memiliki produktivitas lebih tinggi, selain 9 Definisi sektor informal 10 Tenaga kerja tidak terampil adalah tenaga kerja dengan pendidikan SMP ke bawah. 14 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua mendorong pertumbuhan dan produktivitas sektor pertanian, juga diperlukan pembangunan sektor industri pengolahan yang disamping mampu memanfaatkan kekayaan alam terutama terkait sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan), juga mampu menyerap tenaga kerja dengan keterampilan yang masih rendah. Disamping itu, diperlukan suatu strategi pembangunan SDM di masa depan sehingga mampu memenuhi tuntutan perkembangan ekonomi yang mulai mengarah ke sektor non-pertanian. Kotak 1.1. Tenaga Kerja Usia Muda di Provinsi Papua Sebagian besar penduduk usia produktif di Papua adalah penduduk usia muda (15- 24 tahun) dan umumnya sudah bekerja. Penduduk usia muda merupakan kunci dari keberhasilan bonus demografi karena penduduk pada usia inilah yang akan lebih lama berada pada periode bonus demografi dalam 15 tahun ke depan. Diantara penduduk usia produktif, lebih dari 50,5 persen merupakan penduduk usia muda (15-24 tahun). Disisi lain, kondisi penduduk usia muda di Papua lebih banyak yang bekerja dibanding yang sekolah. Dalam jangka pendek, tingginya partisipasi tenaga kerja mungkin akan memberi nilai tambah terhadap ekonomi, namun jika tenaga kerja tersebut memiliki keterampilan rendah, maka dalam jangka panjang, potensi bonus demografi tersebut akan terus terjebak dalam ekonomi produktivitas rendah. Di Papua, karena alasan ekonomi maupun masih sulitnya akses terhadap pendidikan, lebih dari 56,5 persen dari penduduk usia muda tersebut bekerja (Lihat Gambar I.8). Di sisi lain, lebih dari 85 persen penduduk usia muda yang bekerja tersebut merupakan tenaga kerja tidak terampil, yakni tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMP atau lebih rendah (lihat Gambar I.9). Gambar 1.8. Penduduk Usia Muda (15-24 Tahun) Berdasarkan Status, Tahun 2012 NAD 26.7 38.6 34.6 Sulawesi Utara 29.4 29 41.7 28 9 28.9 Maluku 29.4 42.2 Sumatera Barat 30.8 42.8 26.4 Papua Barat 33.9 45.4 20.7 Kalimantan Timur 34.9 36.2 29.0 Jawa Barat 35.7 32.5 31.8 Riau 36.1 39.6 24.3 Gorontalo 36.3 12.7 51.0 DIY 36.3 45.5 18.1 Sulawesi Selatan 36.8 24.9 38.2 NTB 37.1 32.3 30.6 Jambi 37.3 36.8 25.8 Lampung 38.8 33.4 27.8 Banten 39.3 32.3 28.3 Bengkulu 39.5 38.6 21.9 Maluku Utara 39.9 23.5 36.5 Sulawesi Tenggara 40.3 21.2 38.5 Jawa Timur 40.7 35.5 Sumatera Selatan 41.3 33.8 24.9 Kep. Riau 41.5 29.1 29.4 Sulawesi Tengah 41.8 10.2 48.0 Jawa Tengah 41.8 32.3 25.9 NTT 42.4 38.0 19.6 Kalimantan Tengah 44.2 29.9 25.9 DKI Jakarta 44.6 38.2 17.2 Kalimantan Barat 45.5 31.5 23.0 Sumatera Utara 45.6 32.3 22.2 Bangka Belitung 47.2 27.0 25.8 Kalimantan Selatan 48.1 14.4 37.6 Sulawesi Barat 48.7 6.6 44.7 Bali 50.2 38.2 11.6 Papua 56.5 27.4 - 20 40 60 80 100 Bekerja Sekolah Tidak Sekolah dan Tidak Bekerja 15 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.9. Penduduk Usia Muda yang bekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2012 DKI Jakarta DIY Bali Kalimantan Timur NAD Banten Sulawesi Utara Riau Sumatera Utara Sumatera Selatan Bangka Belitung INDONESIA Maluku Utara Jambi kl Bengkulu Maluku Sumatera Barat Jawa Timur Jawa Barat Sulawesi Tenggara NTB Jawa Tengah Sulawesi Selatan Lampung Sulawesi Tengah Papua Barat Kalimantan Sl Selatan Sulawesi Barat Kalimantan Tengah Gorontalol Kalimantan Barat NTT Papua 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 r a Tidak Terampil Pekerj Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD SD SMP SMA SMK Dip I/II Dip. III Dip IV/S1 Sumber : Diolah oleh staff Bank Dunia dari Sakernas 2012 Keterangan: Angka dalam persen 1.1.3. Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Tabel 1.2. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dengan Nasional 2007 2012 Indikator Provinsi Papua Indonesia Provinsi Papua Indonesia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 63,41 70,59 65,86 73,29 Angka Harapan Hidup (Tahun) 67,90 68,70 69,12 69,87 Angka Melek Huruf (%) 75,41 91,87 75,83 93,25 Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 6,52 7,47 6,87 8,08 Pengeluaran per Kapita yang 593,42 624,37 611,99 641,04 Disesuaikan (Rp. 000 per bulan) Sumber: BPS, angka 2012 dari Estimasi BPS dari Booklet Sosial Ekonomi Indonesia 2013. 16 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Di tahun 2007 dan 2012, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua masih berada pada urutan terendah secara nasional dengan laju peningkatan yang masih sedikit lebih lambat dari tingkat nasional. Peningkatan kualitas SDM merupakan masalah kompleks yang harus segera dibenahi di Papua untuk menyongsong bonus demografi dalam 15 tahun ke depan. Oleh karena itu indikator IPM Menjadi sangat penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan. Masih lambatnya peningkatan IPM di Provinsi Papua tercermin dari perkembangan beberapa indikator IPM. Dalam kurun 2007-2012, IPM Provinsi Papua meningkat 2,5 poin indeks, yakni dari 63,41 menjadi 65,86. Kenaikan tersebut sedikit lebih lambat dibanding kenaikan IPM nasional yang mencapai 2,7 poin indeks. Kenaikan IPM Papua lebih banyak didorong oleh peningkatan angka harapan hidup (AHH) dan konsumsi per kapita yang disesuaikan yang meningkat relatif setara dengan kenaikan pada tingkat nasional. Sementara itu, indikator pendidikan, yakni rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH) di Papua belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Indikator RLS hanya meningkat 0,4 tahun, dibawah kenaikan nasional sebesar 0,6 tahun. Peningkatan yang lebih lambat terjadi pada AMH yang hanya meningkat 0,4 poin persen, sementara AMH secara nasional meningkat lebih cepat sebesar 1,4 poin persen. Berbagai indikator tersebut menujukkan bahwa akselerasi peningkatan IPM masih perlu didorong terutama di sektor pendidikan. Dengan peningkatan angka harapan hidup dan konsumsi per kapita yang relatif setara dengan kenaikan pada tingkat nasional, maka peningkatan indeks pendidikan akan dengan sendirinya mengakselerasi kenaikan IPM yang lebih cepat dibanding nasional. Selama periode 2005 – 2012, kesenjangan gender dalam IPM semakin berkurang. Kenjangan gender dalam IPM dihitung dengan menggunakan selisih antara IPM dan IPG (Indeks Pembangunan Gender). IPG pada dasarnya merupakan IPM yang menggunakan data terpilah antara penduduk laki-laki dan perempuan. Berdasarkan perhitungan, secara konsisten selisih antara IPM dan IPG semakin berkurang, yakni dari 3,5 poin indeks tahun 2005 menjadi 2,8 poin indeks. Penurunan selisih IPM dan IPG ini menunjukkan bahwa perbedaan IPM laki-laki dan perempuan semakin menurun. Secara rata-rata, daerah mudah akses (DMA) memiliki capaian IPM lebih tinggi, namun dengan tingkat kesenjangan gender yang juga tinggi. Daerah DMA secara rata-rata memiliki IPM diatas 70, diikuti oleh daerah sulit akses (DSA) dengan rata-rata IPM sekitar 57, dan terakhir daerah pegunungan sebesar 52,9. Meskipun demkian, jika dilihat dari selisih IPM dan IPG-nya, daerah mudah akses memiliki kesenjangan gender yang sangat tinggi hingga mencapai 4,4 poin persen, sementara di DSA hanya 3,6 dan di daerah pegununangan lebih kecil lagi sebesar 1,9. Kondisi ini menggambarkan adanya potensi semakin tingginya kesenjangan gender pada daerah- daerah dengan IPM tinggi. 17 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.10. Perkembangan IPM, IPG, dan IDG Provinsi Papua 70 65.9 64.0 64.5 64.9 65.4 62.1 62.8 63.4 61.1 61.4 61.9 62.0 6 6 62.7 63.1 6 5 58.6 5 59.3 60 50 40 30 20 10 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 IPM IPG Gambar 1.11. Perkembangan IPM, IPG, dan IDG Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Puncak Jaya Paniai Pi ii i i Jayawijaya T lik lkk Tolikara Di Dogiyai i DP Yahukimo hk ki Yhhkk i Lanny Jaya unungan Bintang Pegunungan i Deiyai Di ii i Pk Puncak k Yl i Yalimo IntanJaya Nd d Nduga Mi ii ik Mimika k W Waropen Membramo Raya DSA Asmat A Mappi Boven Digoel BD il l mberamo Tengah Mamberamo h Kota Jayapura Jayapura Yapen Y DMA Biak Bi kNNamfor f K Keerom Supiori Nbbi Nabire Si Sarmi Merauke Mk 0 10 20 30 40 50 60 70 80 IPM/IPG IPM IPG Sumber : Diolah oleh Staff Bank Dunia dari BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2014 18 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 1.1.4. Tantangan Pemerataan Hasil Pembangunan Provinsi Papua memiliki tantangan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan PDRB per kapita yang masih rendah. Sampai tahun 2012, dengan sektor pertambangan, PDRB per kapita di Papua mencapai Rp 6,8 juta, sementara jika tanpa pertambangan sebesar Rp. 4,9 juta. Angka ini masih dibawah PDB per kapita nasional sebesar 10 juta pada tahun yang sama. PDRB per kapita Papua tanpa sektor pertambangan lebih mewakili pendapatan mayoritas masyarakat mengingat hanya 2,1 persen tenaga kerja di Papua yang bekerja di sektor tersebut dan hanya berpusat di kabupaten Mimika. Di sisi lain, meski mengalami penurunan tajam dalam 5 tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Papua masih diatas 30 persen, atau tertinggi di Indonesia. Penurunan tingkat kemiskinan di Papua berlangsung lebih cepat dibanding beberapa pulau di KTI seperti di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara yakni dari 40,8 persen tahun 2007 menjadi 31,1 persen tahun 2012. Kondisi ini menggambarkan meskipun tingkat kemiskian tinggi, namun Papua memiliki potensi untuk melakukan percepatan dalam hal pengurangan kemiskinan. Gambar 1.12. PDRB per Kapita dan Tingkat Kemiskinan antar Provinsi di Indonesia, 2012 35 Papua Tingkat Kemiskinan (%) 30 Papua Barat 25 NTT Maluku 20 15 10 DKI Jakarta 5 0 - 10 20 30 40 50 PDRB per Kapita (Rp. Juta/tahun) Sumber: Diolah oleh staff Bank Dunia dari BPS. Gambar 1.13. Perkembangan Penurunan Kemiskinan di Beberapa Provinsi di KTI dan Nasional 50 40.8 37.1 37.5 36.8 40 32.0 31.1 29.2 8. 28.3 30 27.3 26.6 27.1 26.3 26 44 24.4 23.3 33 23 22.9 22.3 22 3 28 22 22.8 1 21.6 21.7 17 21 19.9 99 19 20.5 20 05 19 933 19.3 9 9. 19.3 19.3 1 9 20 16.5 15.3 14.1 3 13.1 12.5 11.7 10 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Papua Sulawesi Maluku Nusa Tenggara Nasional Sumber: Diolah oleh staff Bank Dunia dari BPS 19 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.14. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Papua (2011) Nduga Yahukimo Paniai Lanny Jaya Non-Pertambangan Yalimo Dengan Pertambangan Tolikara Deiyai Puncak Puncak Jaya Mamberamo Tengah Intan Jaya Jayawijaya Dogiyai Asmat Mappi Peg. Bintang Yapen Waropen Waropen b Nabire Biak Numfor Mamberamo Raya Keerom Sarmi Supiori Merauke Jayapura Boven Digoel Kota Jayapura Mimika 0 10 20 30 40 50 Sumber: DIolah oleh staf Bank Dunia berdasarkan data BPS, 2014. Kesenjangan PDRB per kapita antar kabupaten/ kota di Provinsi Papua masih sangat tinggi. Pada tahun 2012, dengan mengikutsertakan sektor pertambangan dan penggalian, daerah yang masuk dalam daerah sulit akses (DSA) secara rata-rata memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dibanding daerah mudah akses (DMA), yakni sebesar Rp. 10,5 juta per kapita. Namun demikian, jika sektor pertambangan dan penggalian dikeluarkan, maka nilai PDRB per kapita rata-rata di DSA lebih kecil dibanding rata-rata di DMA, yakni hanya Rp. 6,2 juta per orang. Rata-rata PDRB per kapita daerah DMA baik dengan maupun tanpa pertambangan sudah diatas Rp. 8,5 juta, sementara daerah pegunungan rata-rata memiliki PDRB per kapita terkecil yakni hanya Rp. 2,2 juta. Dengan pertambangan, daerah Mimika memiliki PDRB per kapita tertinggi di Papua, mencapai Rp. 37,3 juta per tahun. PDRB per kapita tanpa pertambangan di Mimika sebenarnya lebih mencerminkan PDRB perkapita mayoritas masyarakat mengingat yang bekerja di sektor pertambangan masih sangat kecil. Sementara itu, PDRB per kapita tertinggi diluar sektor pertambangan adalah Kota Jayapura sebesar Rp. 15,9 juta , sudah jauh diatas rata-rata nasional yang hanya Rp. 10,7 juta. Dalam periode 2007-2010, ada lima kabupaten di Papua di mana kelompok masyarakat termiskin bisa mengejar ketertinggalannya. Analisis pemerataan kemakmuran11 memperlihatkan bahwa dalam periode tersebut, kelompok 40 persen masyarakat termiskin di Kabupaten Mimika, Jayawijaya, Merauke Yahukimo dan Tolikara memiliki pertumbuhan pengeluaran 11 Pemerataan kemakmuran dilihat dari pertumbuhan pengeluaran per kapita pada 40-persen penduduk termiskin dibandingkan dengan pertumbuhan pertumbuhan pengeluaran per kapita pada populasi keseluruhan. Kemakmuran dikatakan lebih merata jika pertumbuhan pengeluaran per kapita pada 40-persen rumah tangga termiskin lebih besar dari pengeluaran per kapita pada populasi keseluruhan.Pengeluaran per kapita dihitung dengan menggunakan harga tahun dasar 2007. Hanya 17 dari 29 kabupaten/kota di Papua yang masuk dalam analisis ini karena keterbatasan data. Pengeluaran per kapita dihitung berdasarkan pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga. 20 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua per Kapita yang lebih cepat dibanding pertumbuhan pengeluaran per Kapita seluruh penduduk. Dengan kata lain, kelompok termiskin di lima kabupaten ini mengejar ketertinggalannya terhadap kelompok masyarakat di atasnya. Namun nilai ini tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan absolut ataupun tingkat pendapatan yang tinggi di lima kabupaten tersebut. Bisa dilihat dari dua kabupaten, yaitu Yahukimo dan Tolikara yang memiliki pengeluaran per kapita yang jauh lebih rendah dari tiga kabupaten lainnya (Mimika, Merauke dan Jayawijaya). Sementara, kelompok masyarakat termiskin di kabupaten/kota lainnya di Papua belum mengejar ketertinggalannya dalam periode yang sama. Kelompok masyarakat termiskin di Kota Jayapura, Kabupaten Mappi, Paniai, Boven Digoel, Biak Numfor, Jayapura, Supiori dan Asmat memiliki pertumbuhan belanja rumah tangga yang tidak lebih cepat dibanding pertumbuhan belanja rumah tangga untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kelompok miskin di Kabupaten Yapen Waropen dan Keerom bahkan memiliki pertumbuhan pengeluaran per kapita yang nol atau lebih rendah dibanding pertumbuhan pengeluaran per kapita seluruh kabupaten/kota di Papua. Dengan kata lain, kelompok miskin di dua kabupaten tersebut, justru semakin tertinggal. Gambar 1.15. Pemerataan Kemakmuran Kabupaten/Kota se Indonesia 2007-2010 120% Pertumbuhan Pengeluaran Per Kapita 100% Yahukimo 40% Penduduk Termiskin Nabire 80% (%) rau rauke Merau 60% a Mimika 40% awijay yawij ijaya wi ya Jayawijay Kota Jayapura Mappi M ppi pp ap pi T Pa Pania P ai a iai ania i T To o oli lik li ik Tolikara ka ka ar ara ra r a A Asmat As a s at 20% Bo Boven Bovve D oven Digoel Di Dig ig go ig oel oel Sar arm Sarmi Jayapura Supiori Biak B i Numfor 0% % Yapen Ya Yap Waropen en -2 20% 0% % 20% 40% 60% 80% 100% 120% Keerom -20% Pertumbuhan Pengeluaran Per Kapita Seluruh Penduduk (%) Sumber: Diolah oleh staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas. 21 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 1.2. Analisis Belanja Pemerintah di Papua Total belanja pemerintah di Provinsi Papua setiap tahunnya meningkat baik secara nominal maupun riil. Sebagaimana di provinsi lainnya, peran pemerintah di Papua tidak hanya tercermin dari belanja pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), melainkan juga belanja pemerintah pusat12. Jika dikonsolidasikan, belanja ketiga pemerintahan ini secara total terus mengalami peningkatan baik secara nominal maupun secara riil. Peningkatan riil menunjukkan bahwa pertumbuhan belanja pemerintah secara nominal sudah lebih tinggi dari inflasi, sehingga kapasitasnya untuk membeli barang dan jasa juga lebih besar. Sepanjang tahun 2007-2011, rata-rata kenaikan nominal realisasi belanja pemerintah di Papua sebesar 16,7 persen per tahun, sementara secara riil 10,6 persen. Ini menunjukkan bahwa setelah memperhatikan faktor inflasi, setiap tahunnya pemerintah di Papua memiliki potensi untuk menyediakan barang/pelayanan publik rata-rata 10,6 persen lebih baik atau lebih banyak dari tahun sebelumnya. Gambar 1.16. Perkembangan Belanja Pemerintah di Provinsi Papua, 2007-2012 Belanja Pemerintah Pusat 42.0 Belanja Pemerintah Kab/Kota Belanja Pemerintah Provinsi Total Belanja Pemerintah (Nominal) ) 33.8 10.9 28.7 8.5 26.0 22.8 6.5 4.3 6.3 63 48 4.8 18.3 21.8 17.4 18.9 13.9 16.1 13.1 5.2 6.4 5.7 5.8 6.3 7.5 2007 2008 2009 2010 2011 2012* Sumber : Database PEA Papua, 2014 dan DJPK Catatan: *) Tahun 2012, angka belanja provinsi dan kabupaten/kota merupakan data anggaran (bukan realisasi), dan data belanja pemerintah pusat adalah angka estimasi. Diagram Batang adalah Belanja Riil, Tahun Dasar 2011=100, (Dalam Triliun Rupiah) Total belanja pemerintah kabupaten/kota secara rata-rata merupakan penyumbang terbesar belanja pemerintah di Papua, sementara belanja pemerintah pusat tumbuh paling cepat. Secara rata-rata total realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota menyumbang sebesar 57 persen terhadap total belanja pemerintah di Papua dengan pertumbuhan riil rata-rata sebesar 9,7 persen per tahun. Berikutnya adalah belanja pemerintah pusat dengan proporsi rata- rata hampir sama dengan belanja pemerintah provinsi, yakni berturut-turut 21,6 dan 21,4 persen. Dilihat dari rata-rata kenaikan riil-nya, belanja pemerintah pusat merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 19,3 persen per tahun, sementara pertumbuhan riil belanja provinsi yang terkecil sebesar 12 Belanja Pemerintah Pusat di Daerah yang tidak melalui APBD awalnya terdiri dari 4 jenis, yakni belanja dekonsentrasi (DK), belanja Tugas Pembantuan (TP), belanja Kantor Pusat (KP), dan Belanja Kantor Daerah (KD). Sejak tahun 2010, pemerintah pusat juga mengeluarkan kategori baru yakni belanja Urusan Bersama (UB). Belanja DK dan TP merupakan belanja pemerintah pusat (APBN) yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah (umumnya DK untuk tingkat provinsi, dan TP untuk kabupaten/kota), namun dana tetap tidak tercatat dalam APBD. Sementara itu, belanja KP dan KD merupakan belanja pemerintah pusat yang langsung dilaksanakan oleh Kementrian/Lembaga (K/L) Pemerintah Pusat baik dilaksanakan oleh kantor pusat langsung (KP) maupun kantor pusat di daerah (KD). Sementara UB merupakan belanja pemerintah pusat yang menjadi urusan bersama yang dilaksanakan di daerah dan disertai dengan dana penyertaan dari APBD. 22 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 5,6 persen per tahun. Dengan rata-rata pertumbuhan riil yang lebih cepat, peran belanja pemerintah pusat diperkirakan akan semakin signifikan di masa-masa yang akan datang. Belanja pemerintah provinsi pernah mengalami penurunan pada tahun 2008 sebagai akibat dari ditetapkannya secara resmi pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai daerah otonom. 1.2.1. Belanja Pemerintah Daerah Gambar 1.17. Belanja Daerah (Konsolidasi Provinsi dan kabupaten/kota) per Kapita dan per Luas Wilayah 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 Rp. Milyar/Km2 Rp. Juta/Kapita - 4.0 8.0 12.0 Papua Kalimantan Barat Maluku Jambi Sulawesi Barat Riau Bengkulu Sumatera Barat Aceh Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Jawa Timur Jawa Barat DI.Yogyakarta APBD Per Kapita APBD per Luas Wilayah Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Belanja Pemerintah Daerah di Papua secara per kapita sangat tinggi, namun jika diukur dengan luas wilayah, belanja tersebut masih jauh dari ideal. Anggaran belanja pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) di Provinsi Papua mencapai 6,4 juta per kapita pada tahun 2012, atau kedua tertinggi di Indonesia setelah Papua Barat. Sementara itu, jika diukur per luas wilayah, belanja pemerintah daerah di Papua hanya 84,5 juta per Km2 atau terendah kedua setelah Provinsi Kalimantan Tengah. Angka ini sangat jauh dibanding misalnya Jogyakarta yang memiliki belanja pemerintah daerah per KM2 tertinggi secara nasional sebesar 2,5 miliar per KM2. Tantangan kewilayahan tidak bisa dilepaskan dari Papua. Belanja daerah per kapita yang cukup besar di Papua memiliki potensi untuk memberi manfaat lebih baik pada setiap penduduknya, namun Papua juga menghadapi tantangan wilayah yang luas, banyaknya daerah yang sulit akses, 23 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 tingginya harga bahan konstruksi, serta sebaran penduduk yang sangat terfragmentasi. Sampai tahun 2012, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) di Papua masih sangat tinggi yakni 242,63, yang berarti harga per unit bangunan di Papua bisa lebih dari dua kali lipat dibanding daerah lain. Kondisi ini sangat berpengaruh pada daya beli belanja pemerintah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. 1.2.1.1. Belanja Pemerintah Provinsi Meskipun terus mengalami peningkatan, lebih dari sepertiga belanja pemerintah provinsi diperuntukkan untuk daerah bawahan. Sebagai penerima dana otsus, pemerintah provinsi memiliki kewajiban untuk mendistribusikan dana tersebut ke daerah bawahan (kabupaten/ kota atau desa) yang dialokasikan melalui belanja bantuan ke daerah bawahan. Oleh karena itu, meskipun belanja provinsi sepanjang 2008-2012 bergerak antara 5,7 sampai 6,3 triliun, namun sebesar 35,1 persen diantaranya langsung dialokasikan ke kabupaten/kota. Diluar belanja bantuan ke daerah bawahan, provinsi juga mentransfer berbagai belanja lain ke kabupaten/kota seperti belanja bagi hasil dan belanja bantuan hibah untuk dana pendamping RESPEK yang merupakan kerjasama dengan pemerintah pusat. Meskipun proporsi belanja yang dialokasikan untuk transfer ke kabupaten/kota atau desa cukup besar, pemerintah provinsi sebenarnya masih memiliki ruang fiskal cukup besar untuk belanja langsung. Belanja langsung merupakan belanja program/kegiatan yang langsung untuk program/kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD-SKPD di tingkat provinsi. Dengan belanja gaji pegawai yang rata-rata sebesar 10,2 persen dari total belanja (atau berkisar antara 600 milyar per tahun), pemerintah provinsi memiliki keleluasaan fiskal untuk belanja langsung setiap tahunnya mencapai Rp. 2,1 sampai 3 triliun sepanjang periode 2008-2012. Jika didasarkan pada rencana yang matang dan dilaksakana secara efektif dan efesien, dana sebesar itu bisa berdampak cukup besar untuk pembangunan infrastruktur di Papua. Gambar 1.18. Perkembangan Belanja Pemerintah Provinsi Berdasarkan Klasifikasi Langsung dan Tidak Langsung 7 Belanja Tidak Langsung 6 0.79 Lainnya** 5 Bagi Hasil ke Daerah Bawahan Rp.Triliun 2.13 Bantuan Sosial 4 1.70 2.53 Hibah/subsidi 2.79 1.86 Belanja pegawai 3 Bantuan ke Daerah Bawahan Belanja Langsung 2 2.96 3.00 2.52 2.52 1 0 2008 2009 2010 2011 2012* Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Keterangan: Merupakan Belanja Riil. *) data tahun 2012 adalah data anggaran. Pada tahun tersebut secara nominal belanja Pemprov Papua meningkat, namun karena kenaikan inflasi lebih tinggi, maka secara riil belanja provinsi mengalami penurunan dibanding tahun 2011 **) belanja lainnya dalam gambar diatas mencakup belanja tidak terduga, belanja bantuan lembaga vertikal, dan belanja bunga. 24 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Namun ditengah pertumbuhan realisasi belanja langsung tahun 2007-2011, kenaikan justru pada belanja barang/jasa dibanding belanja modal. Meskipun selalu memiliki proporsi lebih besar, realisasi belanja modal sepanjang tahun 2007-2011 secara riil belum mengalami peningkatan berarti, berkisar antara 1,1 sampai 1,3 triliun rupiah. Sementara itu, belanja barang dan jasa meningkat 7 kali lipat pada periode yang sama dari Rp. 200 miliar tahun 2007 menjadi Rp. 1,4 triliun tahun 2011. Peningkatan belanja barang/jasa tidak selalu buruk, tapi juga tidak selalu baik. Jika kenaikan belanja barang/jasa digunakan, misalnya, untuk obat-obatan kesehatan atau perlengkapan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, tentu baik. Namun jika komponen barang/jasa tersebut dialokasikan untuk belanja perjalanan dinas, atau administrasi perkantoran maka bisa berakibat pada inefesiensi. Penelitian lebih lanjut mengenai alokasi barang/ jasa perlu dilakukan sehingga ruang fiskal untuk belanja modal bisa lebih dioptimalkan. Gambar 1.19. Perkembangan Belanja Langsung Pemerintah Provinsi Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 3.0 Barang dan jasa Pegawai 2.5 Modal 1.3 1.4 2.0 1.0 0.5 Rp. Triliun 1.3 1.5 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.6 0.2 1.0 1.5 1.4 1.3 1.3 0.5 1.1 1.0 - 2007 2008 2009 2010 2011 2012* Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Catatan: Belanja Riil, 2011=100, Rata-rata lebih dari 63 persen belanja urusan pemerintah provinsi dialokasikan untuk pemerintahan umum. Hal ini karena besarnya belanja transfer ke kabupaten/kota yang dikelola oleh Badan Keuangan Daerah (BKD) dikategorikan sebagai Belanja Pemerintahan Umum. Namun jika belanja transfer dikeluarkan, peran belanja pemerintahan umum pemerintah provinsi rata- rata sebesar 15,5 persen. Proporsi ini tetap masih lebih besar dibanding proporsi belanja untuk urusan pendidikan (rata-rata 3,5 persen), urusan kesehatan (rata-rata 6,9 persen), dan infrastruktur (rata-rata14,9 persen) yang meliputi urusan pekerjaan umum, perhubungan, dan perumahan. Kecilnya belanja urusan pendidikan dan kesehatan pemerintah provinsi dikarenakan alokasi tersebut hanya mencatat belanja yang dikelola langsung oleh Dinas Pendidikan/Kesehatan dan belum memperhitungkan alokasi belanja pendidikan yang dialokasikan dalam bentuk dana otsus ke tingkat kabupaten/kota. 25 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.20. Perkembangan Belanja Pemerintah Provinsi Berdasarkan Urusan 7 0.7 6 0.7 0.7 0.8 0.9 0.7 0.7 Rp.Triliun 5 1.0 0.2 1 0.1 0.9 1.0 0.6 0.3 3 0.3 3 0.2 4 0.2 0.5 0.3 0.5 3 3.7 3.7 2.7 2.6 2.3 2 1 0.6 0.9 1.2 1.2 1.0 0 2008 2009 2010 2011 2012 Pemerintahan Umum Kesehatan Infrastruktur Pemerintahan Umum - Transfer dll* Pendidikan Lainnya Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Keterangan: *) Belanja Pemerintahan Umum–Transfer dll. merupakan jenis belanja seperti bantuan ke daerah bawahan, bagi hasil, hibah, bunga, tidak tersangka, dll. Klasifikasi ini dipisahkan dari Pemerintahan Umum untuk melihat lebih jelas perkembangan belanja pemerintahan umum diluar jenis belanja trasfer dll tersebut. Belanja Riil 2011=100. 1.2.1.2. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran wilayah di tahun 2008 berdampak pada naiknya belanja per kapita untuk total kabupaten/kota di Papua terutama di daerah pegunungan. Pada tahun 2007, total belanja pemerintah kab/kota di Papua masih dibawah Rp. 4 juta per kapita, namun pada tahun 2008, belanja per kapita kabupaten/kota, terutama di daerah pegunungan meningkat hampir empat kali lipat. Kondisi ini terjadi karena tiga kabupaten pegunungan yakni Jayawijaya, Puncak Jaya, dan Paniayai dimekarkan menjadi 9 kabupaten (termasuk kabupaten induknya), sehingga diikuti oleh naiknya DAU dan DAK untuk kabupaten-kabupaten baru tersebut yang kemudian dialokasikan untuk belanja publik. Sementara itu, di daerah sulit akses (DSA), hanya Nabire yang dimekarkan menjadi Nabire dan Deiyai. Peningkatan pada daerah sulit akses lebih banyak disebabkan oleh meningkatnya penerimaan tambang di Kabupaten Mimika pada periode 2008- 2009 sebelum diberlakukannya UU No.4/2009 tentang Minerba. Sementara itu, di daerah mudah akses tidak terjadi pemekaran pada tahun 2008, namun tetap mengalami peningkatan diantaranya disebabkan karena tingginya kenaikan PAD di Kota Jayapura. Gambar 1.21. Belanja Pemerintah kabupaten/kota per kapita Tahun 2007-2012 12 10 Rp Juta 8 6 4 2 0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 DMA DSA PEG Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Catatan : DMA, Daerah Mudah Akses; DSA, Daerah Sulit Akses; dan PEG, Daerah Pegunungan 26 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Besaran belanja antar kabupaten/kota sangat bervariasi berdasarkan pada jumlah penduduk dan luas wilayah. Pada tahun 2012, belanja pemerintah kabupaten/kota per kapita tertinggi terdapat di Membamro Raya dan Supiori dengan nilai mencapai lebih dari Rp. 35 juta per kapita. Angka ini 10 kali lipat dibanding belanja per kapita di Jayawiaya atau Kota Jayapura yang hanya Rp. 3,4 juta per kapita. Untuk Supiori, dengan tekanan aksesibilitas wilayah yang sudah relatif teratasi (karena termasuk DMA), tingginya belanja per kapita akan sangat menguntungkan karena bisa fokus ke peningkatan kualitas SDM. Namun untuk daerah seperti Memberamo Raya, luas daerah yang sangat besar serta aksesibilitas wilayah yang masih sulit tentu menjadi tantangan tersendiri karena meskipun secara per kapita tinggi, namun secara luas wilayah masih sangat kecil (dibawah Rp. 500 ribu per KM2) Gambar 1.22. Belanja Kabupaten/Kota per Kapita dan Per Luas Wilayah di Provinsi Papua (Rp. Ribu) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Intan Jaya Yalimo Peg. Bintang Puncak Nduga Deiyai DP Puncak Jaya Tolikara Dogiyai Yahukimo Belanja Per Kapita (Aksis Kiri) Paniai Lanny Jaya Belanja per Luas Wilayah Jayawijaya (Aksis Kanan) Mamberamo Raya Waropen Mamberamo Tengah DSA Boven Digoel Asmat Mappi Mimika Supiori Sarmi Keerom Merauke Jayapura DMA Kepulauan Yapen Biak Numfor Nabire Kota Jayapura 0 10 20 30 40 50 (Rp. Juta) Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Di daerah pegunungan, sebagian besar kabupaten/kota masih menghadapi dua hal sekaligus, yakni tantangan kualitas SDM dan juga aksesibilitas wilayah. Tantangan ini menjadi semakin tinggi mengingat dari sisi anggaran belanja, sebagian besar kabupaten/kota di daerah pegunungan memiliki belanja yang relatif masih terbatas baik diukur berdasarkan jumlah penduduk maupun luas wilayah. Belum lagi dengan indeks kemahalan konstruksi (IKK) yang juga 27 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 tertinggi dibanding kabupaten lainnya, seperti di Intan Jaya, Nduga, dan Puncak yang memiliki IKK berturut-turut 355, 310 dan 362. Berdasarkan klasifikasi ekonomi, secara rata-rata di DP dan DSA, belanja lebih banyak dialokasikan untuk modal, sementara di DMA alokasi terbesar untuk belanja tidak langsung pegawai (gaji dan tunjangan PNS). Tingginya belanja modal di DP dan DSA disebabkan baik oleh tingginya kebutuhan terhadap infrastruktur dan juga oleh masih tingginya indeks kemahalan konstruksi di daerah-daerah tersebut. Pada tahun 2012, secara rata-rata proporsi belanja modal di DSA mencapai 33,9 persen, di DP 32,6, sementara di DMA hanya 25,7 persen. Dengan sulitnya akses, harga-harga barang juga cukup tinggi, sehingga berpengaruh terhadap besaran belanja barang/jasa di beberapa daerah sulit akses yang melebih belanja pegawai. Sementara itu, secara sektoral, sebagian besar belanja kabupaten/kota dialokasikan untuk urusan pemerintahan umum non-transfer. Belanja pemerintahan umum non-transfer adalah belanja gaji/tunjangan PNS dan belanja langsung untuk SKPD-SKPD seperti unit kepala dan wakil kepala daerah, DPRD, Sekda, dll. Sementara belanja pemerintahan umum transfer umumnya dialokasikan untuk belanja bantuan ke desa, hibah, bantuan sosial, dll. Dengan struktur tersebut, diketahui bahwa baik belanja gaji/tunjangan pegawai maupun belanja langsung untuk urusan pemerintahan umum di kabupaten/kota di Papua secara rata-rata mendapat alokasi terbesar yakni antara 32,1 sampai 36,6 persen. Sementara prioritas sektoral diluar pemerintahan umum bervariasi. Di DMA, komposisi terbesar adalah untuk urusan pendidikan, sementara di DSA dan DP adalah infrastruktur. Kondisi ini mengkonfirmasi temuan belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi diatas tentang besarnya belanja infrastruktur di DP dan DSA. Pada tahun 2012, hanya 8 dari 28 daerah kabupaten/kota di Papua yang mampu memenuhi belanja pendidikan sebesar 20 persen, dan juga 8 daerah yang memenuhi ketentuan alokasi belanja kesehatan diatas 10 persen. Sebanyak 5 daerah yang bisa memenuhi alokasi belanja pendidikan 20 persen terdapat di DMA, demikian juga yang bisa memenuhi alokasi belanja kesehatan 10 persen lebih. Gambar 1.23. Komposisi Belanja Pemerintah kabupaten/kota Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi DP 28.4 8 9.1 5.8 24.1 32.6 DSA 20.2 8.8 7.7 29.3 33.9 DMA 36.4 7.9 6.6 23.3 25.7 0 20 40 60 80 100 Belanja Tidak Langsung - Pegawai Belanja Tidak Langsung - Non-Pegawai BelanjaLangsung Pegawai Belanja Langsung Barang Jasa BelanjaLangsung Modal Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Keteranagan: Data anggaran tahun 2012. Satuan dalam persen. 28 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.24. Komposisi Belanja Pemerintah kabupaten/kota Berdasarkan Klasifikasi Urusan DP 37.5 15.0 8.3 18.2 21.0 DSA 30.6 13.5 9.0 24.3 22.5 DMA 32.3 21.7 9.6 14.3 22.0 0 20 40 60 80 100 Pemerintahan Umum Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Lainnya Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Keteranagan: Data anggaran tahun 2012. Satuan dalam persen. 1.2.1.3. Belanja Dana Otonomi Khusus13 Gambar 1.25. Komposisi alokasi Dana Otsus Pemerintah Provinsi Papua, 2007--2011 100% 9.40 90% 19.32 26.72 80% 42.89 42.32 26.30 70% 22.58 60% 8.13 29.72 50% 9.50 26.29 20.69 40% 27.31 6.17 26.16 30% 17.24 20% 7.14 7.10 27.64 10% 8.23 5.74 22.09 19.66 0% 7.21 6.69 2007 2008 2009 2010 2011 Kesehatan Pendidikan Ekonomi Kerakyatan Infrastruktur Dasar RESPEK Lainnya Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Belanja Pemerintah Daerah di Papua tidak bisa dilepaskan dari peran dana otonomi khusus, terutama untuk tingkat provinsi. Pada periode 2002-2012, secara kumulatif, besar Dana Otsus yang dikelola oleh Provinsi Papua adalah 28,9 triliun rupiah (nominal). Dari jumlah tersebut, sekitar 38 persen dikelola oleh pemerintah provinsi, 50 persen dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, dan 11 persen dikelola bersama (program prioritas). Yang masuk dalam pengelolaan bersama adalah belanja otsus untuk pemilihan kepala daerah, Majelis Rakyat Papua, rumah sakit, 13 Karena keterbatasan data yang lebih rinci dari dana otsus, analisis hanya menggunakan data tahun 2007 sampai 2011 29 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Program RESPEK, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Sejak tahun 2004, pembagian Dana Otsus menjadi 40 persen untuk provinsi dan 60 persen untuk kabupaten/kota. Walaupun kabupaten/ kota mengelola 60 persen dari Dana Otsus, namun proporsinya dalam pendapatan daerah rata-rata hanya sekitar 12,3 persen dengan fokus pada pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Sementara 40 persen Dana Otsus yang dikelola pemerintah provinsi merupakan 60 persen dari pendapatan daerah. Ini memperlihatkan peran stratregis Dana Otsus dalam struktur belanja pemerintah provinsi.. Dana Otsus yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua dialokasikan ke sektor-sektor yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, sesuai dengan amanat RPJMD 2006-2011. Di awal periode 2007-2011, sebagian besar Dana Otsus dialokasikan ke SKPD, kegiatan atau program-program yang tidak terkait langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Mulai dari tahun 2009, alokasi untuk SKPD dan program-program yang terkait langsung dengan pendidikan dan kesehatan meningkat. Untuk tahun 2010, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dan Dinas Kesehatan mendapat alokasi Dana Otsus terbesar, di luar Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD). SKPKD mendapat alokasi sekitar 60 persen dari Dana Otsus yang diterima oleh pemerintah provinsi, untuk langsung disalurkan ke kabupaten/kota. Dana tersebut bukan dana yang akan dikelola oleh pemerintah provinsi. Dari Dana Otsus yang dikelola oleh provinsi, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga menerima 22,2 persen, sementara Dinas Kesehatan menerima 16,3 persen. Tabel 1.3. Sepuluh SKPD dan lembaga pemerintah provinsi yang menerima alokasi Dana Otsus 2010 terbesar SKPD Belanja Otsus Persentase Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga 211,628,528,354 22,2 Dinas Kesehatan 155,153,113,000 16,3 Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura 81,959,814,000 8,6 Rumah Sakit Umum Daerah Abepura 62,098,250,003 6,5 Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi 54,544,158,000 5,7 Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua 39,329,630,000 4,1 Badan Pengelola Sumber Daya Manusia Papua 33,401,000,000 3,5 Badan Kepegawaian dan DIKLAT Aparatur 31,131,323,000 3,3 Sekretariat Majelis Rakyat Papua 29,756,401,830 3,1 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan 25,118,655,000 2,6 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Belanja Dana Otsus Pemerintah Provinsi sudah mencerminkan prioritas alokasi pada lembaga dan program yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, namun masih ada alokasi-alokasi yang perlu dipertanyakan. Lebih dari 98 persen (sekitar 211,6 miliar rupiah) anggaran Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga diambil dari Dana Otsus. Sementara 91 persen (sekitar 155 miliar rupiah) dari anggaran Dinas Kesehatan diambil dari Dana Otsus. Alokasi Dana Otsus kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dan Dinas Kesehatan memberikan gambaran prioritas pemerintah Provinsi Papua. Namun masih ada alokasi- alokasi yang tidak terkait langsung dengan tujuan tersebut, seperti Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa (5,95 persen) atau Program Pelayanan Administrasi Perkantoran. 30 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Tabel 1.4. Duapuluh LIma program penerima Dana Otsus terbesar pemerintah provinsi Papua 2010 Program Pengguna Dana Otsus Persentase dari total Dana Otsus Program Peningkatan Kesehatan Perorangan 13,5 Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun 9,7 Program pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana 8,2 Rumah Sakit/Rumah Sakit Khusus Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media 5,9 Massa Program peningkatan kapasitas lembaga perwakilan rakyat 4,2 daerah Program Obat dan Perbekalan Kesehatan 3,7 Program Peningkatan SDM Pendidikan Tinggi 3,0 Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Papua 2,9 Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur 2,7 Program Manajemen Pelayanan Pendidikan 2,4 Program Sumberdaya Kesehatan 2,1 Program Pendidikan Menengah 2,0 Program pembinaan dan pengembangan aparatur 1,9 Program Peningkatan Kapasitas Lembaga MRP 1,9 Program Pendidikan Non Formal 1,2 Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular 1,2 Program peningkatan produksi pertanian/perkebunan 1,1 Program Peningkatan Mutu Kesiswaan Pendidikan Menengah 1,1 Program Perbaikan Gizi Masyarakat 1,0 Program Pengembangan Perumahan 1,0 Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur 1,0 Program Pelayanan Administrasi Perkantoran 0,9 Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 0,8 Program pengembangan data dan informasi 0,8 Program Upaya Kesehatan Masyarakat 0,8 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Diluar belanja bantuan keuangan ke daerah bawahan, sebagian besar dana otsus pemerintah provinsi dialokasikan untuk belanja barang dan jasa. Alokasi belanja otsus secara sektoral banyak diproritaskan pada pendidikan dan kesehatan. Jika dilihat dari klasifikasi ekonomisnya, belanja untuk pendidikan dan kesehatan tersebut lebih banyak dialokasikan untuk barang dan jasa dibanding belanja modal atau pegawai. Pada tahun 2010, sebesar 24,0 persen belanja otsus dialokasikan untuk barang dan jasa. Sementara belanja bantuan keuangan ke daerah bawahan dialokasikan melalui tiga model kebijakan pembagian ke kabupaten/kota selama periode tersebut. Model pertama, yang dijalankan pada tahun 2002-2003, yaitu pembagian 60 persen untuk pemerintah provinsi dan 40 persen untuk kabupaten/kota, setelah dikurangi belanja pemerintah provinsi. Pada tahun 2004-2006, model kedua yang diterapkan adalah meningkatkan bagian kabupaten/kota menjadi 60 persen dan provinsi 40 persen. Model ketiga, yang dijalankan selama periode 2007-2013, masih 31 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 memakai pembagian yang sama dengan sebelumnya, namun setelah dikurangi dengan program RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung), program pendidikan dan kesehatan untuk orang asli papua, dan program-program prioritas provinsi. Gambar 1.26. Komposisi belanja Dana Otsus Pemerintah Provinsi Papua 2010 4.2 6.5 24.0 62.2 3.2 Belanja Bantuan Keuangan kepada Daerah Bawahan Belanja Bantuan Sosial Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja Pegawai Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Keterangan: Angka dalam persen. Secara nominal, Dana Otsus yang ditransfer oleh pemerintah provinsi untuk dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota terus meningkat. Pada tahun 2002, nilai nominal Dana Otsus yang dikelola oleh kabupaten/kota sebesar 552 miliar rupiah. Pada tahun 2011 dana tersebut naik menjadi 1,6 triliun rupiah. Dana yang dikelola langsung oleh kabupaten/kota ini diprioritaskan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Pada saat yang sama, alokasi Dana Otsus yang menjadi tanggung jawab bersama seperti Program RESPEK, pendidikan gratis dan kesehatan gratis juga sebagian besar kegiatannya dilaksanakan di kabupaten/kota. Kabupaten-kabupaten di DP mendapat alokasi Dana Otsus terbesar. Daerah Pegunungan memang memiliki jumlah kabupaten terbanyak, namun secara rata-rata untuk tahun 2011, setiap kabupatennya menerima 54,3 miliar rupiah Dana Otsus. Kabupaten/kota yang masuk dalam DMA rata-rata menerima 49,2 miliar rupiah, sementara DSA rata-rata menerima 43,5 miliar rupiah untuk tahun yang sama. 32 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.27. Alokasi Dana Otsus berdasarkan wilayah, 2002-2011 800 DMA DP DSA 700 Rp miliar (nominal) 600 500 400 300 200 100 - 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 1.3. Analisis Pendapatan Secara umum, sumber pendapatan terbesar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua adalah dana perimbangan dan dana otonomi khusus, yang porsinya jauh lebih besar dari pendapatan asli daerah. Berbeda dengan anggaran pemerintah provinsi, porsi dana otsus di anggaran pemerintah kabupaten/kota jauh lebih kecil dibanding dana perimbangan. Sementara pendapatan asli daerah banyak disumbang oleh pajak daerah, yang masih memerlukan perbaikan sistem dan mekanisme untuk optimalisasi penerimaannya. 1.3.1. Dana Otonomi Khusus Perjalanan pembangunan Provinsi Papua sejak tahun 2001 tidak bisa dilepaskan dari kata Otonomi Khusus. Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua, sesuai Undang-Undang no.21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menandai kekhusuan Provinsi Papua. Dari sisi pemerintahan, kekhususan ini ditandai dengan adanya lembaga Majelis Rakyat Papua yang memiliki peran dalam penentuan kebijakan pembangunan di Provinsi Papua. Selain itu, Provinsi Papua juga berhak mengeluarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Dari sisi keuangan daerah, kekhususan Provinsi Papua terlihat dari adanya penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus (selanjutnya disebut Dana Otsus). Besaran Dana Otsus setara dengan dua persen dari plafon Dana Alokasi Umum nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, dan Dana Tambahan Infrastruktur, yang diturunkan langsung oleh pemerintah pusat, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus berdasarkan usulan Provinsi yang terutama ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Seiring dengan pemekaran provinsi menjadi Papua dan Papua Barat, alokasi untuk kedua provinsi tersebut berubah dengan komposisi 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat dari alokasi dua persen dari DAU nasional14. 14 Pada tahun 2008, otonomi khusus sah diberlakukan di Papua Barat, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No.1/2008, yang kemudian diubah menjadi UU No.35/2008. Seiring dengan itu, Provinsi Papua Barat pun menerima Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur sendiri. Alokasi untuk kedua provinsi tersebut adalah 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Total Dana Otsus untuk Papua dan Papua Barat adalah 2 persen dari DAU nasional. 33 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Selama periode 2002-2012, pendapatan pemerintah provinsi dari dana otsus cenderung meningkat, dengan porsi pembagian ke kabupaten/kota yang juga meningkat. Pada tahun 2012, Provinsi Papua menerima dana otsus sebesar Rp 1,4 triliun (nominal) yang sepuluh tahun kemudian naik menjadi Rp 3,8 triliun (nominal). Sejak tahun 2006, pemerintah Provinsi Papua juga menerima Dana Infrastruktur, yang besarannya berfluktuasi sampai tahun 2012. Seiring dengan penerimaan Dana Infrastruktur ini, Dana Otsus yang diterima juga sempat mengalami penurunan di tahun 2009, yang disertai dengan peningkatan Dana Infrastruktur. Penurunan di tahun 2009 ini karena 30 persen dari dana yang biasa diterima oleh Provinsi Papua diberikan ke Provinsi Papua Barat. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah Dana Otsus yang diterima kembali meningkat, disertai dengan Dana Infrastruktur yang jumlahnya berkurang. Tabel 1.5. Penerimaan Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur 2002 – 2011 Dana Otsus Dana Otsus + Tanggung jawab bersama Tahun Dikelola Dikelola Total Dana Tambahan Penyesuaian Provinsi Kabupaten Pendidikan Kesehatan Otsus Infra. Infrastruktur RESPEK Lainnya Total Gratis Gratis 2002 829,53 552,77 - - - - - 1.382,30 - 1.382,30 2003 924,49 605,51 - - - - - 1.530,00 - 1.530,00 2004 657,42 985,20 - - - - - 1.642,62 - 1.642,62 2005 570,00 856,60 - - - 350,00 350,00 1.776,60 - 1.776,60 2006 1.099,29 1.648,94 - - - 165,07 165,07 2.913,29 550,00 3.463,29 2007 1.153,74 1.781,72 411,40 - - - 411,40 3.346,86 750,00 4.096,86 2008 1.661,15 1.928,98 433,40 - - - 433,40 4.023,53 330,00 4.353,53 2009 917,44 1.265,99 320,00 120,00 60,00 - 500,00 2.683,43 1.470,00 4.153,43 2010 801,01 1.298,71 350,00 120,00 60,00 - 530,00 2.629,72 800,00 3.429,72 2011 1.080,50 1.620,00 457,00 - - - 457,00 3.157,50 800,00 3.957,50 Total 9.694,56 12.544,42 1.971,80 240,00 120,00 515,07 2.846,87 25.085,85 4.700,00 29.785,85 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014. Catatan: Merupakan nilai nominal, dalam Miliar Rupiah. 1.3.2. Dana Perimbangan Sumber pendapatan terbesar pemerintah Provinsi Papua berasal dari Dana Otsus, sementara di tingkat kabupaten/kota, Dana Perimbangan masih dominan sebagai sumber pendapatan terbesar. Peran Dana Otsus di tingkat pemerintah provinsi terus meningkat diiringi dengan menurunnya rasio pendapatan dari Dana Perimbangan. Rasio Dana Otsus terhadap pendapatan di tahun 2007 sebesar 39,8 persen meningkat menjadi 64,9 persen di tahun 2012. Pada saat bersamaan, proporsi Dana Perimbangan selama periode 2005-2012 cenderung menurun, dari 51,5 persen pada 2007 menjadi 29,5 persen pada 2012. Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, proporsi DAU masih lebih dari 80 persen dalam periode 2007-2012. 34 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.28. Komposisi Pendapatan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (a) Pemerintah Provinsi 100% 90% 80% 70% % 39.8% % 68.8% 67.9% % % 62.2% % 63.8% % 64.9% 60% 50% 40% 51.5% Dana Otsus dan Lain-lain 30% pendapatan yang sah 20% 31.1% 30.4% 29.5% 25.0% 26.0% Dana Perimbangan 10% PAD 8.7% 6.2% 6.1% 6.7% 5.8% 5.5% 0% 2007 2008 2009 2010 2011 2012 (b) Pemerintah Kabupaten/KOta 100% 15.5% % % 13.2% % 15.3% 15.4% % % 15.8% 9.9% 90% 80% 70% 60% 50% 84.6% 86.6% 81.7% 81.8% 81.3% 40% 82.3% Dana Otsus dan Lain-lain 30% pendapatan yang sah 20% Dana Perimbangan 10% PAD 22 % 2.2% 2.2% 22 % 30 % 3.0% 2.8% 28 % 2.9% 29 % 35 % 3.5% 0% 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Diolah dari Database Fiskal PEA Paua, 2014 Penerimaan DAU di Papua cenderung meningkat dalam periode 2007-2012. Rata-rata porsi DAU kabupaten kota pada periode tersebut adalah 89 persen berbanding 11 persen untuk pemerintah provinsi. Untuk tahun 2012, 7 kabupaten/kota yang termasuk dalam DMA secara total memperoleh sekitar 29 persen (Rp 3,4 triliun), 6 kabupaten yang termasuk dalam DSA memperoleh 28 persen (Rp 3,4 triliun) dan 16 kabupaten di DP memperoleh sekitar 43 persen (Rp 4,9 triliun). Penerimaan DAK berfluktuasi selama periode 2007-2011. Total DAK yang diterima oleh pemerintah provinsi adalah 929 miliar rupiah pada tahun 2007, namun berkurang menjadi 38 miliar rupiah di tahun berikutnya. Angka ini kemudian berfluktuasi menjadi 88 miliar rupiah di tahun 2009, 78 miliar rupiah di tahun 2010 dan 72 miliar rupiah di tahun 2011. Sementara untuk periode yang sama, total DAK yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota sebesar 1,1 triliun rupiah di tahun 2007 dan terus meningkat hingga menjadi 2,2 triliun rupiah di tahun 2011. Untuk tahun 2011, kabupaten-kabupaten yang masuk dalam DP secara menerima 57 persen (Rp 1,2 triliun) dari total DAK kabupaten/kota tahun 2011. Pada saat yang sama, kabupaten di DMA dan DSA menerima masing-masing sekitar 22 persen (Rp 470 miliar). Fluktuasi ini menunjukkan bahwa besaran DAK, sebagaimana umumnya di provinsi lainnya, sangat sulit diharapkan menjadi sumber pendapatan yang stabil. 35 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 1.29. Perkembangan DAU di Provinsi Papua 14,000 Provinsi 11,628 11,796 12,000 Kabupaten/kota 10,330 8,482 10,000 7,991 8,263 Rp Miliar 8,000 6,000 4,000 2,000 1,086 1,104 1,143 1,188 1,276 1,502 - 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Diolah dari Data Fiskal PEA Paua, 2014 Gambar 1.30. Perkembangan DAK Provinsi dan Kabupaten/kota 2007-2012 Provinsi 2,500 Kabupaten/kota 2,188 1,128 2,000 1,587 1,596 1,521 1,386 Rp Miliar 1,500 1,000 500 929 38 88 78 72 102 - 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 Pada tahun 2011, rata-rata kabupaten di DP menerima DAK lebih besar dibanding rata- rata kabupaten di wilayah lainnya. Dari tahun 2007 sampai tahun 2009, rata-rata kabupaten yang termasuk dalam DP menerima DAK yang lebih kecil dibanding kabupaten/kota di DMA dan DSA. Pada tahun 2010, rata-rata besaran DAK yang diterima oleh kabupaten-kabupaten di DP menyamai atau lebih besar dari wilayah lainnya. Pada tahun 2011, besarannya dua kali lebih besar dari wilayah lainnya. Ini memperlihatkan pergeseran prioritas yang diberikan pemerintah pusat lewat kebijakan DAK yang semakin condong ke kabupaten-kabupaten di DP di Papua terutama untuk pendidikan dan kesehatan. 36 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua Gambar 1.31. Rata-rata alokasi DAK Kabupaten/Kota berdasarkan wilayah 100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 - DMA DSA DP DMA DSA DP DMA DSA DP DMA DSA DP DMA DSA DP DMA DSA DP 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Pendidikan Infrastruktur Kesehatan Lainnya Sumber: DJPK Otonomi Khusus memberikan bagian dana bagi hasil yang lebih besar untuk Provinsi Papua dibanding provinsi-provinsi lain. Sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus, Provinsi Papua menerima bagi hasil atas sumber-sumber pajak dan sumber daya alam yang lebih besar dibanding provinsi lainnya. Sebagai pembanding, bagi hasil minyak bumi dan gas alam untuk daerah lain adalah berturut-turut 15,5 persen dan 30,05 persen untuk daerah penghasil. Untuk DBH Bukan Pajak, kabupaten/kota menerima porsi terbesar. Elemen utama dari DBH Bukan Pajak adalah hasil-hasil sumber daya alam seperti kehutanan dan pertambangan. Besaran DBH Bukan Pajak dihitung oleh pemerintah pusat untuk kemudian ditransfer ke Provinsi Papua. Pemerintah kabupaten/kota menerima sekitar 75 persen dari total DBH Pajak di Papua, sementara pemerintah provinsi menerima sekitar 25 persen sisanya. Tabel 1.6. Aturan Dana Bagi Hasil dalam Otonomi Khusus Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Sumber Daya Alam  90% dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)  80% dari kehutanan, perikanan dan  80% dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pertambangan umum (BPHTB)  70% dari minyak dan gas bumi, selama 25  20% dari Pajak Penghasilan Perseorangan tahun pertama setelah diberlakukannnya UU Otsus, setelah itu menjadi 50% Sumber: Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Tabel 1.7. Dana Bagi Hasil Provinsi dan Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 DBH Pajak 152.847.317.430 677.120.440.465 2.156.211.197.088 1.676.623.772.642 1.405.876.687.617 Provinsi - 218.519.193.100 219.935.229.501 261.394.341.319 269.335.254.508 Kabupaten/Kota 152.847.317.430 458.601.247.365 1.936275.967.587 1.415.229.431.323 1.136.541.433.109 DBH Bukan 2.243.669.259.970 1.762.233.223.032 663.103.780.179 1.063.129.453.356 1.247.212.151.230 Pajak Provinsi 517.617.807.220 222.301.875.588 237.640.130.512 295.912.347.590 275.748.034.522 Kabupaten/Kota 1.726.051.452.750 539.931.347.444 425.463.649.667 767.217.105.767 971.464.116.708 Sumber: Database Fiskal PEA Papua 2014 37 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 1.3.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) di provinsi dan kabupaten/kota masih relatif rendah, walaupun jumlahnya terus meningkat. Di tingkat provinsi, porsi PAD menurun dari 8,7 persen (2007) ke 5,5 persen(2012). Secara riil jumlahnya juga menurun dari Rp 428 miliar (2007) menjadi Rp 386 miliar (2012). Untuk tingkat kabupaten/kota, porsi PAD meningkat dari 2,2 persen di tahun 2007 menjadi 3,5 persen di 2012. Secara riil jumlahnya meningkat dari Rp 301,7 miliar (2007) menjadi Rp 655 miliar (2012). Penyumbang terbesar PAD di pemerintah provinsi adalah pajak daerah (67,9 persen) sementara di kabupaten/kota adalah pendapatan lain-lain yang sah (43,1%). Gambar 1.32. Komposisi PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di Papua Provinsi Kabupaten/kota Retribusi Hasil Daerah, 3.8% Hasil Pengelolaan Kekayaan Kekayaan Daerah yang Daerah Retribusi Dipisahkan, yang Lain-lain Daerah, Pendapatan 4.9% Dipisahkan, 18.0% Asli Daerah 14.7% Yang Sah, 23.4% Pajak Daerah, Lain-lain 24.1% Pendapatan Pajak Daerah, Asli Daerah 67.9% Yang Sah, 43.1% Sumber : Database Fiskal PEA Papua 2014 Minimnya sumber pajak serta kurangnya peraturan daerah terkait perpajakan menyebabkan rasio pajak terhadap PDRB di banyak kabupaten/kota masih di bawah satu persen. Beberapa kabupaten pemekaran bahkan tidak mencatat penerimaan dari pajak atau mencatat penerimaan pajak yang sangat kecil dalam realisasi APBD-nya. Ini merupakan salah satu indikator rendahnya kapasitas fiskal daerah di Provinsi Papua. Kabupaten/kota yang termasuk dalam DP memiliki rata-rata rasio pajak thdp PDRB sebesar 0,05; DMA sebesar 0,15; dan DSA sebesar 0,18. Lebih jauh, ada kesenjangan kontribusi penduduk terhadap pajak daerah antar kabupaten/ kota. 38 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua 1.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Provinsi Papua harus mampu mengoptimalkan kesempatan emas berupa bonus demografi dalam 15 tahun ke depan. Berdasarkan proyeksi BPS, pada tahun 2015, Papua diperkirakan akan mulai memperoleh bonus demografi karena penduduk usia kerja/produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding usia non-produktif (usia 0-14 dan usia 65 tahun ke atas). Proporsi penduduk usia produktif akan terus meningkat sampai puncaknya tahun 2030. Pada tahun 2030 tersebut rasio ketergantungan (dependency ratio) akan mencapai titik terendah sebesar 41,6 persen. Empat provinsi dengan rasio ketergantungan terendah pada tahun tersebut adalah Kep. Riau (38,1), DKI Jakarta (40,1), dan Kalimantan Tengah (40,3). Ini merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah di Papua. Untuk mengoptimalkan manfaat dari bonus demografi tersebut, Pemerintah di Provinsi Papua perlu mengatasi tantangan kualitas SDM. Manfaat dari bonus demografi tentu tidak dapat dinikmati secara otomatis. Diperlukan prasyarat agar bonus demografi tersebut memberi manfaat optimal. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah di Papua harus bekerja keras untuk : (i) meningkatkan wajib belajar 12 tahun sebab penduduk usia sekolah (7-19 tahun) yang jumlahnya cukup besar di Papua akan menentukan kualitas SDM ke depan; (ii) meningkatkan akses pendidikan penduduk usia muda (15-24 tahun) yang saat ini, karena tekanan ekonomi dan rendahnya akses ke pendidikan, terjebak menjadi tenaga kerja tidak terampil (pendidikan SMP kebawah); dan (iii) meningkatkan pemberantasan buta aksara pada penduduk usia muda, mengingat tingginya proporsi penduduk usia muda yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Disamping itu, untuk mempersiapkan generasi selanjutnya, pemerintah di Provinsi Papua juga perlu memberi perhatian lebih pada peningkatan nutrisi anak balita mengingat pada periode tersebut merupakan masa perkembangan otak yang paling signifikan. Pemerintah di Provinsi Papua juga perlu mendorong kebijakan ketenagakerjaan yang seiring dengan arah transformasi ekonomi. Papua mengalami dua tahap transformasi ekonomi. Tahap pertama adalah tumbuhnya sektor ekonomi diluar pertambangan hingga 4,5 kali lipat sepanjang tahun 2001-2012. Kondisi ini secara perlahan telah mengurangi ketergantungan ekonomi Papua pada sektor pertambangan yang hanya menyerap 2,1 persen tenaga kerja. Transformasi ekonomi tahap kedua ditandai dengan semakin meningkatnya ekonomi non-pertanian terutama konstruksi dan sektor jasa (terutama jasa-jasa dan perdagangan). Namun tantangannya adalah, meskipun perekonomian sudah secara bertahap mengarah pada sektor non-pertanian, komposisi tenaga kerja belum mengalami pergeseran signifikan. Lebih dari 72 persen tenaga kerja masih bekerja di sektor pertanian yang bersifat informal dengan nilai tambah yang rendah. Kondisi ini perlu diperbaiki dengan upaya meningkatkan kualitas SDM disertai dengan penyediaan lapangan kerja. Salah satunya adalah melalui peningkatan industri pengolahan padat karya berbasis sumber daya lokal seperti industri pengolahan pertanian, perikanan, kehutanan, dll. Menjadikan IPM, pengurangan kemiskinan, dan pengurangan ketimpangan sebagai tolok ukur penting dalam pembangunan. Meskipun setiap tahun mengalami kenaikan, namun saat ini Papua masih terhitung sebagai provinsi dengan IPM terendah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Di sisi lain, tingkat kemiskinan juga masih yang tertinggi di Indonesia juga disertai dengan angka ketimpangan 39 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pendapatan per kapita secara umum juga masih jauh dibawah PDB per kapita nasional yang sudah diatas 10 juta per tahun. Jika diukur berdasarkan PDRB tanpa pertambangan, PDRB per kapita mayoritas kabupaten/kota di Papua masih rendah dengan kesenjangan antar kabupaten/kota yang masih tinggi. Diluar sektor pertambangan, Kota Jayapura merupakan kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tertinggi, sementara jika dengan sektor pertambangan, Mimika memiliki PDRB tertinggi hingga mencapai Rp. 43,7 juta per tahun. Sementara yang terendah di Nduga sebesar Rp. 1,2 juta per kapita per tahun. Pemerintah Daerah di Papua perlu mengelola tekanan kebutuhan antara belanja sosial (kesehatan dan pendidkan) serta belanja infrastruktur. Jika diukur secara per kapita, belanja pemerintah daerah di Papua termasuk tertinggi di Indonesia. Namun, jika diukur berdasarkan luas wilayah, termasuk yang terendah di Indonesia. Padahal Papua memiliki tantangan tidak hanya SDM yang rendah, tapi juga aksesibilitas yang sulit dengan penduduk yang terfragmentasi. Selain itu, tingkat kemahalan konstruksi yang bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat lebih tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Kondisi ini seharusnya dapat mendorong pemerintah daerah untuk mendorong efesiensi dan efektivitas penggunaan belanjanya baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Salah satu hal yang perlu diatasi dalam efesiensi belanja pemerintah adalah mengurangi belanja pemerintahan umum dan juga belanja perjalanan dinas. Penggunaan indikator keberhasilan yang jelas serta penguatan mekanisme monitoring dan evaluasi perlu ditingkatkan dalam mengelola belanja transfer ke daerah bawahan dalam komponen belanja pemerintah provinsi. Lebih dari 35 persen belanja pemerintah provinsi setiap tahunnya dialokasikan untuk belanja bantuan ke daerah bawahan. Hal ini merupakan bagian dari amanat dana otsus yang mengharuskan 60 persen belanja otsus dialokasikan untuk kabupaten/kota. Capaian keberhasilan indikator pembangunan serta pengendaliannya yang dicanangkan pemerintah provinsi akan sangat tergantung pada bagaimana mengelola hubungan keuangan provinsi dan pemerintah dibawahnya baik kab/kota maupun distrik. Memperjelas indikator keberhasilan yang harus dicapai dari setiap rupiah yang disalurkan, memperkuat mekanisme montoring serta evaluasi menjadi kuncinya. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan efesiensi belanja pemerintahan umum harus menjadi perhatian. Lebih dari 30 persen belanja pemerintah kabupaten/kota habis untuk belanja pemerintahan umum, sementara alokasi belanja pendidikan dan kesehatan rata-rata belum mencapai sesuai dengan yang dicanangkan dalam UU, yakni 20 persen untuk pendidikan dan 10 persen untuk kesehatan, kecuali untuk DMA. Di sisi lain, tekanan kebutuhan pembangunan infrastruktur juga masih tinggi terutama di DMA dan DP, sehingga perlu disusun suatu rencana prioritas antar-sektor yang baik. Bantuan pemerintah pusat sebaiknya difokuskan ke DSA dan DP mengingat kapasitas fiskal yang masih kecil serta tingkat kemahalan konstruksi yang masih tinggi (bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat). Pemerintah Daerah di Papua harus mengoptimalkan peluang peningkatan PAD sesuai Undang-undang no. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemampuan pemerintah provinsi untuk mengumpulkan pendapatan dari PAD semakin menurun baik secara proporsional maupun riil. Sumber PAD terbesar pemerintah provinsi adalah pajak kendaraan bermotor. Sementara itu pada tingkat kabupaten, meskipun PAD-nya mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun sumber PAD terbesar berasal dari pendapatan lain-lain yang sah yang 40 Bab 1 Bonus Demografi, Tantangan Pembangunan, Dan Belanja Publik Di Provinsi Papua umumnya bersumber dari bantuan keuangan pemerintah provinsi. Pendapatan dari sumber pajak dan retribusi masih sangat terbatas. Beberapa potensi yang bisa dikembangkan antara lain: (i) pemerintah daerah memperbaiki infrastruktur dan kualitas pelayanan publik yang memungkinkan investasi bisa berkembang sehingga potensi pajak dan retribusi daerah juga meningkat; (ii) pemerintah daerah memperbaiki sistem pelaporan dan pencatatan pajak daerah, misalnya pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak air permukaan15 untuk pemerintah provinsi; serta Pajak Bumi dan Bangungan untuk pemerintah kabupaten/kota. 15 Strategi peningkatan pendapatan pajak ini disampaikan oleh Kepala Dinas Penerimaan Daerah Provinsi Papua dalam FGD. 41 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan 2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Provinsi Papua Kebijakan pembangunan pendidikan di Papua difokuskan pada peningkatan kualitas dan cakupan layanan pendidikan16. Peningkatan kualitas dijalankan melalui program-program seperti peningkatan kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), peningkatan mutu layanan pendidikan sekolah menengah umum dan kejuruan, atau pelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Sementara peningkatan cakupan layanan pendidikan dijalankan melalui pembangunan sekolah baru dan penambahan jumlah tenaga pengajar. Peningkatan cakupan pelayanan pendidikan tersebut juga untuk menangani masalah kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup besar antar wilayah akibat kondisi geografis menyulitkan akses ke beberapa daerah. Tabel 2.1. Indikator Pendidikan 2012 dan Target Pemerintah Provinsi Papua 2013-2018 Target Kondisi 2012 Target 2013 Target 2018 Angka Melek Huruf (%) 75,8 75,8 86,0 Angka Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 6,9 6,9 7,8 Angka Partisipasi Murni SD (%) 70,8 74,0 74,0 Angka Pertisipasi Murni SMP (%) 43,4 44,7 44,7 Angka Partisipasi Murni SMA (%) 30,1 33,6 33,6 Sumber: BPS Pusat dan RPJMD Provinsi Papua 2013-2018. Pemerintah Provinsi Papua mengutamakan program pendidikan rakyat, terutama pada pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau17. Hak dalam pelayanan pendidikan adalah salah satu pemenuhan kebutuhan dasar, difokuskan dalam rencana pembangunan pemerintah Provinsi Papua. Melalui HASRAT Papua (Harapan Seluruh Rakyat Papua) pemerintah ingin mendekatkan fasilitas dan pelayanan pendidikan yang berkualitas, agar masyarakat dapat menikmati fasilitas pendidikan dengan biaya yang terjangkau dan merata. Target capaian indikator pendidikan dalam RPJMD 2013-2018 yang meliputi angka melek huruf (AMH), rata-rata lama sekolah (RLS) yang cukup tinggi belum disertai dengan target capaian APM yang memadai. Untuk target AMH di Provinsi Papua 2013 sudah tercapai pada tahun 2012 (75,8 persen), begitu pula dengan target RLS (6,9 tahun), namun target yang harus dicapai pada 2018 untuk kedua indikator tersebut merupakan tantangan yang cukup besar, yakni AMH 86 persen dan RLS 7,8 tahun). Di sisi lain, target untuk APM masih belum tercapai. Tantangan untuk mencapai AMH dan RLS yang cukup tinggi belum disertai dengan target yang lebih tinggi dalam hal APM baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA yang ditargetnya pada angka yang tetap sejak tahun 2013. Akses, mutu pendidikan, dan tata kelola manajemen pendidikan turut difokuskan dalam dokumen Rencana Strategis Sektor Pendidikan Provinsi Papua 2013-2017. Hampir semua isu-isu strategis untuk semua jenjang pendidikan di Papua sudah dijabarkan dalam Renstra 16 RPJMD Provinsi Papua 2006-2011. 17 RPJMD Provinsi Papua 2013-2018. 43 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 tersebut. Untuk akses pendidikan masih banyak terdapat masalah klasik yaitu masalah minimnya pelayanan pendidikan terutama untuk pendidikan menengah ke atas di daerah pegunungan (DP) dan daeah sulit akses (DSA). Dalam aspek kualitas, isu yang dihadapi adalah masih minimnya tenaga pendidik yang bersertifikasi dan kualifikasi guru yang tidak sesuai peruntukkannya. Adapun pada aspek tata kelola manajemen pendidikan, masih terdapat permasalahan anggaran, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan yang belum optimal sehingga menghambat kinerja pendidikan. 2.2. Perlambatan Kinerja Pendidikan di Provinsi Papua Seiring dengan Perlambatan Angka Partisipasi Sekolah Pada bagian ini akan dibahas perkembangan capaian hasil dan keluaran sektor pendidikan di Provinsi Papua. Perkembangan hasil pendidikan ditunjukan oleh indikator AMH (angka melek huruf) dan RLS (rata-rata lama sekolah). Adapun perkembangan keluaran sektor pendidikan ditunjukan oleh indikator APS (angka partisipasi sekolah). Gambar 2.1. Persentase AMH Provinsi Papua dan Indonesia 2007-2012 100 1. 1.87 91.87 .87 92 2.19 2. 2 .19 2 58 2. 92 92.58 2 91 92.91 92 2. 92 2. 2.99 99 93.25 93 3.2 90 AMH (%) 80 75 41 75.41 75 41 75.41 75 58 75.58 75 6 75.6 75.81 75 81 75.83 70 2007 2008 2009 2010 2011 2012 NTB Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia NTT Sumber: BPS Pusat Persentase penduduk yang melek huruf di Provinsi Papua terus meningkat, namun masih merupakan yang terendah di Indonesia selama tahun 2007-2012. AMH di Provinsi Papua mengalami peningkatan dari 75,4 persen pada tahun 2007 menjadi 75,8 persen pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 0,4 poin persen saja. Dalam kurun waktu yang sama, AMH di tingkat nasional meningkat dari 91,9 menjadi 93,3 persen, sehingga peningkatannya (1,4 poin persen) lebih besar dibandingkan Papua. Dengan demikian, Provinsi Papua masih menghadapi tantangan untuk mempercepat peningkatan AMH baik untuk mengurangi kesenjangan dengan AMH nasional, maupun untuk mengejar target AMH sebesar 86 persen pada tahun 2018. Capaian AMH di Provinsi Papua berbanding lurus dengan kondisi geografis, yakni semakin baik kondisi akses ke daerah tersebut maka semakin tinggi pula AMH, demikian pula sebaliknya. DMA (daerah mudah akses) memiliki AMH tertinggi yakni 92,8 persen, diikuti oleh DSA (daerah sulit akses) sebesar 52,3 persen, dan DP (daerah pegunungan) yakni 40 persen. Kota Jayapura yang termasuk DMA memiliki AMH sebesar 100 persen sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Intan Jaya yang termasuk DP (28,1 persen). Jika dilihat lebih detail AMH, 44 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan angka AMH terendah pada usia 30-44 tahun, sedangkan berdasarkan jenis kelamin yang terendah adalah wanita. Di DMA hampir semua kelompok usia sudah mempunyai AMH di atas angka provinsi (75,8 persen), namun di DP justru hampir semua kelompok usia masih memiliki AMH di bawah angka provinsi. Dengan demikian diperlukan strategi khusus bagi pemerintah di Papua untuk meningkatkan AMH terutama di kabupaten/kota dengan AMH yang rendah. Gambar 2.2. Angka Melek Huruf (AMH) di Kabupaten/Kota Provinsi Papua, 2012 120 100 80 60 40 20 0 Kota Jayapura Biak Numfor Jayapura Rata-rata DMA Yapen Waropen Merauke Mamberamo Raya Mamberamo Tengah Supiori Keerom Sarmi Nabire Mimika Waropen Rata-rata DSA Boven Digoel Mappi Asmat Paniai Jayawijaya Rata-rata DP Lanny Jaya Dogiyai Yalimo Tolikara Yahukimo Peg. Bintang Puncak Deiyai Nduga Intan Jaya Puncak JayaDMA DSA DP Papua Sumber: BPS Pusat Pemerintah Daerah di Papua perlu melipatgandakan kinerjanya pada 2014-2018. Hal ini karena yang ditargetkan dalam RPJMD terjadinya peningkatan yang berlipat dari kinerja 6 tahun sebelumnya (2007-2012). AMH ditargetkan pada 2018 sebesar 86 persen atau meningkat lebih dari 10 poin persen dibandingkan dengan tahun 2012 (75,8 persen). Dengan demikian, diperlukan upaya yang sangat keras dan serius agar target RPJMD 2013-2018 tercapai.. Gambar 2.3. Perkembangan AMH Provinsi Papua: Target RPJMD Provinsi Papua 2013-2018 dan Estimasi Linier 2013-2018 88 Papua Terget RPJMD 86.0 86 84.0 84 82.0 82 AMH (%) 80 79.0 78 75.8 76.0 76 76.1 76.2 76.3 76.4 75.8 75.8 75.9 76.0 75.4 75.4 75.6 75.6 74 72 70 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* 2014* 2015* 2016* 2017* 2018* Sumber. BPS Pusat dan RPJMD Provinsi Papua 2013-2018 Catatan: 2013*-2018* adalah estimasi 45 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Ditinjau dari sisi usia, AMH Papua selalu tertinggal dengan rata-rata AMH nasional pada hampir semua kelompok umur. Pada kelompok usia sekolah dan usia muda (5-24 tahun), AMH Papua masih jauh tertinggal dengan AMH nasional dengan selisih sekitar 25 poin persen. Kesenjangan tersebut meningkat pada kelompok usia 25-49 tahun, yakni dengan selisih sekitar 35 persen. Kesenjangan kemudian mengecil pada kelompok usia 50-69 tahun. Baru pada usia 70-89 tahun, AMH Papua lebih baik daripada AMH Nasional. Untuk mengantisipasi hal ini, Pemerintah Provinsi Papua telah mencanangkan Program Rencana Aksi Daerah Percepatan Tuntas Buta Aksara (RAD-PTBA) melalui Peraturan Gubernur tahun 2012, terutama untuk kabupaten/kota yang angka buta aksaranya lebih dari 30 persen. Pemerintah Provinsi Papua juga menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah mereka untuk meningkatkan angka melek huruf.18 Gambar 2.4. Persentase Penduduk Melek Huruf Berdasarkan Kelompok Usia: Perbandingan Papua dan Indonesia (2012) Persentase Penduduk Melek Huruf 100 Papua Indonesia 90 80 Persen 70 60 50 40 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 Usia Sumber: BPS Pusat. RLS di Provinsi Papua meningkat terus selama periode 2007-2012, namun peningkatannya tidak secepat nasional. RLS Papua pada tahun 2007 adalah 6,5 tahun, dan dalam tempo lima tahun hanya meningkat sebesar 0,4 tahun menjadi 6,9 tahun (2012). Sedangkan RLS nasional sebesar 7,5 tahun pada 2007 dan meningkat sebesar 0,6 tahun dalam periode yang sama menjadi 8,1 tahun (2012). Perlambatan peningkatan RLS di Papua membuat kesenjangan semakin jauh, sebelumnya kesenjangan tersebut hanya sekitar 1 tahun pada tahun 2007, namun menjadi 1,2 tahun dalam tempo 5 tahun (2012), dan akan terus melebar jika Papua tidak mengakselerasi upaya peningkatkan RLS. 18 http://pkbm-indonesia.com 46 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Gambar 2.5. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Provinsi Papua* dan Indonesia 2007-2012 9.5 9.0 8.5 RLS (tahun) 8.0 8.1 79 7.9 79 7.9 77 7.7 7.5 75 7.5 75 7.5 7.0 6.9 6.6 66 6 6.7 67 67 6.7 6.5 65 6.5 6.5 65 6.0 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Papua NTB Maluku Utara Papua Barat Maluku Indonesia NTT Sumber: BPS Pusat Catatan: *) terdapat perbedaan indikator RLS antara BPS Pusat dengan BPS Provinsi 2008-2011 Sama halnya dengan AMH, indikator RLS juga berkaitan dengan kondisi geografis dimana DMA lebih baik daripada DSA dan DP. DMA memiliki RLS 8,5 tahun atau telah mencapai setingkat kelas 3 SMP, sedangkan RLS di DSA dan DP baru 4,9 dan 3,7 tahun atau belum tamat SD. Di DSA hanya 2 kabupaten yang memiliki RLS di atas 6 tahun, yaitu Kabupaten Waropen (RLS 6,6 tahun) dan Kabupaten Mimika (6,9 tahun). Sedangkan di DP hanya 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Puncak Jaya (6,1 tahun) dan Kabupaten Paniai (6,2 tahun). Gambar 2.6. RLS kabupaten/kota di Provinsi Papua 2012 12 Papua 10 RLS (tahun) 8 6 4 2 0 Rata-rata DMA Jayapura Merauke Supiori Keerom Nabire Kota Jayapura Biak Numfor Sarmi Mamberamo Raya Asmat Mappi Paniai Jayawijaya Dogiyai Lanny Jaya Deiyai Puncak Nduga Peg. Bintang Intan Jaya Mimika Waropen Puncak Jaya Yapen Waropen Rata-rata DSA Boven Digoel Tolikara Yahukimo Yalimo Mamberamo Tengah Rata-rata DP DMA DSA DP Sumber: BPS Pusat 47 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Kinerja Provinsi Papua untuk menggenjot RLS sesuai RPJMD (7,8 tahun) dalam 5 tahun ke depan juga harus dilipatgandakan sebesar 0,9 tahun atau lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya. Peningkatan RLS di Provinsi Papua selama 5 tahun (2007-2012) hanya sebesar 0,4 tahun, sedangkan target RPJMD harus meningkatkan RLS sebesar 1 tahun selama 5 tahun berikutnya (2012-2018). Berarti pemerintah daerah di Papua juga harus melipatgandakan kinerjanya lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Papua Gambar 2.7. Perkembangan RLS Provinsi Papua: Target RPJMD Provinsi Papua 2013-2018, dan Linier Estimasi 2013-2018 8.0 Papua 7.8 7.5 Target RPJMD 7.5 7.3 7.0 RLS (tahun) 6.9 6.9 7.2 7.0 7.1 7.1 7.0 6.9 6.9 6.9 6.5 6.7 6.7 6.5 6.5 6.6 6.0 5.5 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* 2014* 2015* 2016* 2017* 2018* Sumber. BPS Pusat dan RPJMD Provinsi Papua 2013-2018 Rendahnya RLS seiring dengan rendahnya rata-rata tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai penduduk Papua dan terkait erat dengan komposisi pekerja yang tergolong ke dalam tenaga kerja formal. Pada tahun 2012, tenaga kerja formal di Papua hanya 33 persen dan didominasi oleh tenaga kerja yang termasuk dalam kategori tidak terampil (berpendidikan tidak lulus SD, tamat SD, atau hanya tamat SMP). Ketiga kategori pendidikan tersebut mendominasi jumlah keseluruhan tenaga kerja formal hampir di semua kabupaten/kota baik di DMA, DSA, maupun DP, dengan beberapa pengecualian, yaitu di Kabupaten Keerom dan Nabire (untuk DMA), Kabupaten Puncak, Deiyai, Tolikara, Intan Jaya, dan Nduga (di DP). 48 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Gambar 2.8. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Formal di Provinsi Papua 100% 100% 90% 90% Pendidikan Tenaga Kerja Formal 80% 80% Tenaga Kerja Formal (%) 70% 70% 60% 60% 50% 50% 40% 40% 30% 30% 20% 20% 10% 10% 0% 0% Keerom Nabire Supiori Sarmi Asmat Jayawijaya Paniai Deiyai Intan Jaya Lanny Jaya Jayapura Dogiyai Kota Jayapura Merauke Mimika Waropen Mappi Mamberamo Raya Puncak Jaya Puncak Yahukimo Tolikara Yalimo Nduga Biak Numfor Yapen Waropen Boven Digoel DMA DSA DP Tidak Lulus SD SMP Sekolah Tinggi SD SMA % TK Formal Sumber: Perhitungan Staff Bank Dunia dari Sakernas Lambatnya peningkatan RLS dan AMH di Papua berkaitan erat dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang cenderung menurun selama periode 2007 sampai 2012. Semua kelompok usia di Provinsi Papua mengalami penurunan APS, sedangkan APS nasional menunjukkan peningkatan selama tahun 2007-2012. Sebagai contoh, pada tahun 2007 APS untuk penduduk yang berusia 19-24 tahun di Papua adalah 15,9 persen, lebih tinggi dibandingkan nasional (13,1 persen). Namun pada 2012 Provinsi Papua mengalami penurunan menjadi 13,8 persen dibandingkan dengan nasional yang meningkat menjadi 15,8 persen. Sedangkan kesenjangan APS di kelompok- kelompok usia yang lain semakin membesar selama periode 2007-2012. Tabel 2.2. Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 2007 2012 APS 7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24 tahun tahun tahu tahun tahun tahun tahu tahun Maluku 97.24 91.1 72.63 17.7 98.3 94.66 68.4 29 Maluku Utara 96.71 88.94 63.38 15.72 98.24 90.87 68.26 21.7 Papua Barat 93.17 88.58 57.61 13.13 95.56 91.65 67.18 19.9 Papua 83.36 78.01 54.72 15.88 75.34 68.99 50.66 13.8 NTB 12.92 97.07 85.24 57.3 16.84 98.19 91.55 60.75 NTT 11.62 93.73 78.11 49.58 15.37 96.12 88.68 62.15 Indonesia 97.64 84.65 55.49 13.08 97.95 89.66 61.06 15.84 Sumber: BPS Pusat 49 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Selain terlambatnya pemberlakuan peraturan operasional untuk yang berkaitan dengan pendidikan, penurunan APS juga diduga berkaitan dengan tingginya persentase penduduk usia sekolah yang memasuki dunia kerja karena didorong kebutuhan. Hal itu terlihat dari tingginya penurunan APS pada usia 13-15 tahun atau usia SMP yang berkurang dari semula 78 persen (2007) menjadi 69 persen (2012). Jika dibandingkan dengan APS nasional pada tiap kelompok umur (cohort), pada tahun 2012 Provinsi Papua memiliki APS yang lebih rendah pada setiap kelompok umur kecuali pada usia 23 dan 24 tahun. Jika didasarkan pada kelompok usia 6 sampai 24 taun, hanya pada usia 23 dan 24 tahun APS di papua menunjukkan angka lebih tinggi dari APS nasional. Sementara pada usia 6-22 tahun, secara keseluruhan APS Papua masih tertinggal dari nasional. Sebagai contoh, untuk usia awal pendidikan dasar yakni usia 6 tahun, APS Papua (31,6 persen) jauh lebih rendah daripada APS nasional (50,1 persen). Demikian juga untuk usia 7 tahun APS Papua (68,9 persen) lebih rendah daripada nasional (95,8 persen). Data ini antara lain menunjukkan bahwa di Papua terjadi fenomena terlambat masuk sekolah (late starter) jika dibandingkan dengan nasional, baik pada usia 6 maupun 7 tahun. Gambar 2.9. Cakupan APS Berdasarkan Usia Provinsi Papua dan Indonesia, tahun 2012 100 APS Papua 90 80 APS Indonesia 70 APS (%) 60 50 40 30 20 10 0 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Umur (6-24 tahun) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari Susenas. Sejalan dengan berbagai indikator lainnya untuk pendidikan seperti AMH dan RLS, indikator APS juga berkaitan erat dengan kondisi geografis daerah di Papua yakni DMA memiliki tingkat yang lebih baik daripada DSA dan DP. Pola tersebut terjadi secara konsisten baik pada usia 7-12 tahun (usia SD) maupun 13-15 tahun (usia SMP). Dengan demikian, temuan ini memperkuat bahwa upaya peningkatan APS, yang pada gilirannya juga peningkatan AMH dan RLS, harus memperhatikan kondisi geografis daerah di Papua. 50 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Gambar 2.10. PerbandinganAPS antar Kelompok usia 7-15 Tahun di Kabupaten/Kota Provinsi Papua 2012 Usia 7-12 tahun Usia 13-15 tahun Kota Jy Jayapura p Kota Jayapura Jy p Jayapura Biak Numfor Biak Numfor Yapen Waropen p pp Waropen Yapen Merauke DMA Merauke Jayapura Jy p DMA Supiori p Rata-rata DMA Rata-rata DMA Nabire Sarmi Sarmi Nabire Supiori Keerom Keerom Waropenp Waropen Mimika Boven Digoel Mappi pp Mimika DSA DSA Boven Digoel g Mappi Rata-rata DSA Rata-rata DSA Mamberamo Raya y Mamberamo Raya Mamberamo Tengah g Mamberamo Tengah Asmat Asmat Peg.ggBintang Peg. Bintang Deiyai y y Deiyai Paniai Paniai Dogiyai gy Tolikara Jayawijaya gy Dogiyai Yalimo Puncak Jaya DP Lanny yJJaya y Jayawijaya DP Yahukimo Lanny Jaya Rata-rata DP Rata-rata DP Puncak Jaya y Yalimo Tolikara Yahukimo Intan Jaya Jy Intan Jaya Puncak Puncak Nduga g Nduga 0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100 Papua Papua Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari Susenas. Selain berkaitan dengan kondisi geografis, rendahnya APS di Papua juga berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat yakni kelompok berpendapatan rendah cenderung memiliki APS yang lebih rendah daripada kelompok berpendapatan tinggi. Analisis terhadap APS usia 7-12 menunjukkan bahwa di semua kabupaten/kota terlepas dari kategori DMA, DSA, dan DP, kelompok rumah tangga 40 persen termiskin memiliki APS yang lebih rendah daripada kelompok rumah tangga berpendapatan lebih tinggi, kecuali di beberapa kabupaten saja. Dari 28 kabupaten/kota terdapat tujuh kabupaten/kota yang menjadi pengecualian yaitu Supiori, Kota Jayapura, Mappi, Intan Jaya, Puncak Jaya, Dogiyai, dan Paniai. Hal sama berlaku untuk APS pada kelompok umum 13-15 tahun kecuali di tujuh kabupaten yakni Supiori, Asmat, Waropen, Intan Jaya, Tolikara, Dogiyai, dan Deiyai. 51 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Tabel 2.3. Cakupan APS kabupaten/kota di Provinsi Papua 2012 Berdasarkan Kelompok Pendapatan APS berdasarkan 40% pendapatan terendah  Topologi  Kabupaten/Kota APS 13- APS 7-12 tahun APS 7-12 tahun APS 13-15 15 tahun <40%* >=40%** tahun <40%* >=40%** Kota Jayapura 100,0 97,3 50,0 100,0 Kab. Jayapura 93,8 95,3 79,8 87,4 Kab. Biak Numfor 92,6 95,7 87,0 91,1 Kab. Supiori 91,2 85,1 86,5 64,6 Kab. Yapen DMA 88,7 96,7 78,4 91,0 Waropen Kab. Merauke 86,5 95,6 81,1 90,1 Kab. Sarmi 64,2 92,2 64,9 89,4 Kab. Nabire 55,2 93,1 49,2 97,0 Kab. Keerom 39,9 80,5 52,0 71,7 Kab. Mappi 90,8 85,0 70,4 81,1 Kab. Boven Digoel 84,1 85,8 65,1 84,6 Kab. Waropen 75,6 92,8 100,0 85,6 Kab. Mimika 71,1 93,7 78,8 80,1 DSA Kab. Mamberamo 70,9 100,0 36,0 91,5 Raya Kab. Mamberamo 69,2 80,2 43,1 85,3 Tengah Kab. Asmat 57,0 74,1 45,7 40,7 Kab. Paniai 92,1 80,3 76,5 83,4 Kab. Deiyai 86,8 89,0 94,6 85,1 Kab. Dogiyai 82,0 79,9 71,0 68,2 Kab. Intan Jaya 81,0 27,7 71,6 19,2 Kab. Lanny Jaya 71,6 74,5 57,8 81,6 Kab. Yalimo 71,2 83,1 43,6 74,8 DP Kab. Puncak Jaya 69,3 65,6 67,5 69,8 Kab. Jayawijaya 67,9 98,0 63,2 79,1 Kab. Tolikara 65,0 74,7 78,7 58,2 Kab. Yahukimo 54,0 75,6 41,7 56,6 Kab. Puncak 36,1 38,7 4,5 32,4 Kab. Nduga 20,6 100 13,5 19,3 Kab. Peg. Bintang 6,4 33,2 9,6 25,6 Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas. Catatan: *) adalah kelompok 40% masyarakat dengan pendapatan terendah, dan **) adalah 60% kelompok masyarakat dengan pendapatan tertinggi. 52 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Kotak 2.1. APK dan APM Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 Tingkat partisipasi sekolah di Provinsi Papua belum mencapai target RPJMD di tahun 2012. Angka Partisipasi Kasar (APK) di Papua untuk tahun 2012 lebih rendah dibanding tahun 2007 untuk semua kategori (SD, SMP, SMA). Demikian halnya dengan Angka Partisipasi Murni (APM), di mana besaran untuk tahun 2012 lebih rendah dibanding tahun 2007. Penurunan tersebut tidak hanya terjadi di dua tahun acuan, namun apabila diperhatikan maka terlihat kecenderungan menurun dari tahun ke tahun sejak tahun 2007 sampai tahun 2012. Gambar 2.11 a. APK Provinsi Papua dan Gambar 2.11 b. APM Provinsi Papua dan Indonesia 2007 dan 2012 Indonesia 2007 dan 2012 120 100 92.5 103 90 100 70.8 90 80 85 70.8 70 80 69 68 60 51.5 60 50 43.4 44 40 40 30.1 30 20 20 3 103 11 12 78 10 80.9 9 93.8 48 8.7 66.9 35.8 44.8 86 53 59 0 0 Papua Indo Papua Indo Papua Indo Papua Indo Papua Indo Papua Indo nesia nesia nesia nesia nesia nesia APK SD APK SMP APK SMA APM SD APM SMP APM SMA 2007 2012 2007 2012 Sumber: BPS Pusat 2.3. Distribusi Fasilitas Pendidikan dan Guru yang Belum Optimal Menjadi Penghambat Upaya Peningkatan Kinerja Pendidikan di Provinsi Papua Setelah membahas perkembangan capaian hasil dan keluaran sector pendidikan di Provinsi Papua maka pada bagian ini akan dibahas perkembangan input sector pendidikan. Pada bagian ini, input pendidikan yang dibahas adalah indicator jumlah dan distribusi sekolah dan guru relative terhadap perkembangan jumlah murid. Aspek input lainnya dalam sector pendidikan yakni anggaran atau biaya pendidikan akan dibahas pada bagian selanjutnya. Rumah tangga di Papua memiliki perbedaan aksesibilitas geografis terhadap fasilitas pendidikan sebagaimana ditunjukkan oleh rata-rata jarak terdekat ke fasilitas pendidikan di tiap daerah di Papua. Secara umum, DMA memiliki rata-rata jarak terdekat ke SD, SMP, dan SMA. Kemudian diikuti oleh DP yang memiliki jarak yang lebih dekat ke SD, SMP, dan SMA daripada rata-rata jarak tersebut di DSA. DP memiliki rata-rata jarak yang lebih dekat daripada DSA diduga karena permukiman di DP pada umumnya membentuk kluster dengan jumlah yang sedikit. Sehingga fasilitas pendidikan yang dibangun kemungkinan besar didekatkan secara sengaja ke permukiman mereka. 53 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 2.12. Rata-rata Jarak ke Fasilitas Pendidikan per Daerah di Papua 2011 70 DMA DSA 60 DP 50 Jarak (km) 40 30 20 10 0 SD SMP SMA Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari Podes Meskipun terdapat perbedaan tingkat aksesibilitas geografis antar wilayah, namun jumlah sekolah di Papua dapat mengikuti perkembangan jumlah murid untuk masing- masing tingkatan. Perkembangan daya tampung sekolah terhadap murid diukur dengan rasio antara jumlah sekolah terhadap murid. Dalam periode 2008-2012, rasio sekolah terhadap murid di Papua stabil untuk level SD dan SMA. Bahkan untuk tingkat SMP, rasionya mengalami penurunan dari semula 244 (2008) menjadi 201 (2012). Hal ini mengindikasikan bahwa daya tampung SMP bahkan mengalami peningkatan. Namun demikian, dapat juga diduga bahwa daya tampungnya menguat karena justru APM SMP menurun. Gambar 2.13. Perkembangan Rasio Sekolah Terhadap Murid di Provinsi Papua 2008-2012: SD-SMP-SMA 300 267 265 263 261 257 250 244 236 200 227 220 201 150 172 137 145 144 144 100 2008 2009 2010 2011 2012 SD SMP SMA Sumber: Kemendiknas Meskipun secara jumlah fasilitas pendidikan telah memadai, namun masih ada tantangan untuk beberapa kabupaten yang tingkat okupansi kelasnya masih di bawah 90 persen. Untuk SD di Provinsi Papua okupansi kelas semuanya sudah berada di atas 80 persen dengan yang terendah Kabupaten Boven Digoel (88,9 persen). Di SMP hanya Kabupaten Sarmi (77,3 persen), Kabupaten Mappi (76,3 persen) dan Kabuapten Waropen (76,3 persen) yang di bawah 80 persen. Sedangkan SMA hanya Kabupaten Yalimo (58.3 persen) yang berada di bawah 80 persen. Hal ini berarti bahwa dari seluruh kelas SD, SMP,dan SMA yang ada di Papua semuanya sudah terpakai oleh kegiatan belajar mengajar di atas 80 persen. Dengan demikian, hal ini menunjukan bahwa jumlah fasilitas bukanlah menjadi persoalan utama. 54 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Gambar 2.14. Tingkat Penggunaan Kelas di Papua 2011 SD SMP Jy p Kota Jayapura Jayapura Jy p Jy p Kota Jayapura Sarmi Keerom Yapen pp Waropen p Supiori DMA Biak Numfor Merauke Jayapura Jy p DMA Rata-rata DMA 96.0% 90. 90.0% Keerom Rata-rata DMA Merauke pp Waropen Yapen Biak Numfor Nabire Nabire p Supiori Sarmi Mamberamo Tengah g Mimika Mimika g Boven Digoel Mamberamo Raya y Mamberamo Tengah g Rata-rata DSA 94.0% DSA Asmat Mappi pp 87.0% DSA Rata-rata DSA Asmat Mamberamo Raya y Waropenp pp Mappi g Boven Digoel Waropenp Jy Intan Jaya Ndugag Puncak y Deiyai Tolikara Jy Intan Jaya gy Dogiyai Yalimo Jy jy Jayawijaya Peg.ggBintang y Deiyai Paniai Rata-rata DP 95.0% 93.0% 93.0 DP Rata-rata DP Paniai DP Lanny yJJayay Ndugag Jayawijaya Jy jy Yahukimo Jy Puncak Jaya Yalimo gy Dogiyai Lanny yJJayay Puncak Peg.ggBintang Tolikara Jy Puncak Jaya Yahukimo 80% 85% 90% 95% 100% 0% 20% 40% 60% 80% 100% SMA Keerom Biak Numfor Jy p Kota Jayapura p Supiori DMA Rata-rata DMA 95.0% Nabire Merauke pp Waropen Yapen Jy p Jayapura Sarmi Boven Digoel g Asmat pp Mappi Mamberamo Tengah g Waropenp DSA Rata-rata DSA 96.0% Mimika Mamberamo Raya y Ndugag Jy Puncak Jaya Lanny yJJayay Yahukimo Paniai Dogiyai gy Tolikara DP Jy Intan Jaya Puncak Jy jy Jayawijaya Rata-rata DP 94.0% y Deiyai Peg.ggBintang Yalimo 0% 50% 100% Sumber: Perhitungan dari Podes 55 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Adapun persoalan yang sesungguhnya dihadapi Papua adalah ketimpangan distribusi guru di kabupaten/kota karena adanya kendala geografis. Dalam hal ini data menunjukan bahwa rasio guru-murid di DP lebih tinggi daripada DSA dan DMA. Dengan kata lain masih diperlukan penambahan guru di DP daripada di DSA dan DMA. Hal ini berlaku baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMA. Pada tingkat SD rasio guru-murid di DP, DSA, dan DMA berturut-turut adalah 79, 39, dan 24. Pada tingkat SMP rasio guru murid di DP, DSA, dan DMA adalah 29, 23, dan 19. Adapun pada tingkat SMA adalah 23, 20, dan 16. Jelas sekali terdapat ketimpangan yang tinggi antar tipologi daerah di Papua dalam hal rasio guru dan murid. Gambar 2.15. Rasio Pendidikan di Provinsi Papua: SD, SMP, dan SMA (2011). Rasio Murid terhadap Guru: SD Rasio Murid terhadap Guru: SMP Sarmi Kota Jayapura Nabire Sarmi Kota Jayapura Yapen Waropen Merauke Supiori DMA DMA Rata-rata DMA Merauke Supiori Rata-rata DMA Biak Numfor Jayapura Jayapura Nabire Yapen Waropen Keerom Keerom Mamberamo Tengah Mamberamo Tengah Boven Digoel Mappi Mappi Mamberamo Raya DSA Mimika Rata-rata DSA Rata-rata DSA DSA Mimika Asmat Boven Digoel Waropen Asmat Mamberamo Raya Waropen Yalimo Dogiyai Nduga Intan Jaya Deiyai Yalimo Dogiyai Lanny Jaya Tolikara Jayawijaya Rata-rata DP Paniai Yahukimo Tolikara DP DP Puncak Yahukimo Intan Jaya Rata-rata DP Paniai Puncak Lanny Jaya Puncak Jaya Puncak Jaya Deiyai Jayawijaya Peg. Bintang Peg. Bintang Nduga 0 50 100 150 200 250 0 10 20 30 40 50 60 56 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Rasio Murid terhadap Guru: SMA Nabire Biak Numfor Yapen Waropen Keerom DMA Sarmi Rata-rata DMA Jayapura Merauke Kota Jayapura Supiori Asmat Mappi DSA Boven Digoel Mimika Rata-rata DSA Waropen Mamberamo Raya Mamberamo Tengah Intan Jaya Yalimo Jayawijaya Lanny Jaya Puncak Rata-rata DP Tolikara DP Dogiyai Paniai Yahukimo Peg. Bintang Puncak Jaya Deiyai Nduga 0 10 20 30 40 50 Sumber: Kemendiknas Kotak 2.2. Ketidakhadiran guru adalah tantangan dalam pelayanan pendidikan di Provinsi Papua Tingkat ketidakhadiran guru di tingkat sekolah dasar relatif tinggi. Tingkat ketidakhadiran guru sekolah dasar (selanjutnya disebut guru) mencapai 37 persen. Perbandingan guru yang tidak hadir dengan guru yang hadir untuk mengajar di DMA dan DSA adalah satu berbanding empat, sementara di DP perbandingannya adalah satu berbanding dua. Studi yang menjadi acuan temuan ini menjelaskan bahwa tingkat ketidakhadiran guru yang sebenarnya bisa jadi 2-3 persen lebih tinggi dibanding hasil survei, karena masih ada banyak sekolah yang tutup (tidak mengadakan aktivitas pendidikan karena tidak ada guru yang mengajar yang dapat ditemui selama survei berlangsung. Perlu diketahui bahwa angka ketidakhadiran guru sekolah dasar di negara-negara maju (developed countries) berkisar di angka 10 persen, sementara di negara- negara berkembang (developing countries) berkisar antara 30-40 persen. 57 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Daerah pegunungan cenderung memiliki tingkat ketidakhadiran guru yang lebih tinggi. DP memiliki tingkat ketidakhadiran guru sebesar 48,7 persen, dibandingkan 44,2 persen untuk DSA dan 22,6 persen untuk DMA. Angka tersebut menyertai fakta bahwa DP juga memiliki angka partisipasi murni yang paling rendah dibanding dua daerah lainnya. Selain itu, dari sudut pandang geografis, DP dan DSA memiliki lebih banyak sekolah yang terisolasi dan terpencil. Karakteristik ketidakhadiran guru beragam. Tingkat ketidakhadiran kepala sekolah lebih tinggi dibandingkan guru, sementara tingkat ketidakhadiran guru lebih tinggi di sekolah- sekolah yang kepala sekolahnya sering tidak hadir. Ketidakhadiran guru di DMA tidak terjadi terus menerus dan ditemukan pola saling bergantian untuk tidak hadir di antara para guru, sementara ketidakhadiran guru di DSA dan DP berlangsung untuk waktu yang lama (hampir permanen). Perbedaan budaya asal guru dengan budaya di wilayah di tempatnya mengajar membuka peluang ketidakhadiran guru. Dari sudut pandang sosial budaya, para guru yang tidak berasal dari wilayah atau suku tempatnya mengajar menghadapi kemungkinan diperlakukan tidak selayaknya, misalnya, tidak dihormati sebagai guru. Pola budaya yang mengedepankan suku dan klan mempengaruhi proses belajar mengajar, di mana guru yang merasa tidak nyaman berada di daerah yang bukan asalnya cenderung untuk tidak hadir di sekolah, terutama di DP. Namun demikian, kecenderungan akibat perbedaan budaya tidak tampak di DMA. Selain itu, sebagian besar guru (66%) sudah menikah dengan keluarga yang berada bukan di wilayahnya mengajar. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak hadir untuk waktu yang lama untuk mengunjungi keluarganya. Pengelolaan sekolah dan penerapan aturan yang tidak berjalan dengan baik mengakibatkan banyak guru yang tidak hadir di sekolah. Masih banyak sekolah yang tidak menggunakan buku absensi untuk para guru, dan ini mempengaruhi keputusan guru untuk tidak hadir di sekolah. Selain itu, terutama di DP dan DSA, para guru yang tidak hadir jarang diberikan sanksi, sehingga tidak ada efek jera. Guru-guru di sekolah yang memiliki sistem pemantauan kehadiran yang baik memiliki angka ketidakhadiran yang lebih rendah dibanding guru-guru di sekolah yang tidak menerapkan pengawasan. Keadaan tersebut ditambah lagi dengan kondisi di mana guru juga menjalankan peran sebagai kepala sekolah dan petugas administrasi, sehingga banyak guru merasa beban kerja berlebih dan mereka tidak dibayar sesuai dengan beban kerja tersebut. Tingkat kesejahteraan dan fasilitas pendukung yang kurang memadai juga menjadi salah satu penyebab tingginya ketidakhadiran guru. Di DP dan DSA, gaji yang diterima oleh guru dianggap tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup di wilayah pedalaman. Kemudian, sebagian dari mereka harus pergi ke ibukota kabupaten, yang membutuhkan waktu yang lama, untuk menerima gaji. Sekitar 21% dari guru, sebagian besar di DSA dan DP harus mengambil gajinya di kantor Dinas Pendidikan yang berada di ibukota kabupaten, sementara sekitar 75%, kebanyakan di DMA, menerima gajinya secara tunai di sekolah. Sumber: Bobby Anderson, The Failure of Education in Papua’s Highlands. Jurnal Inside Indonesia, 30 Desember 2013. Studi Mengenai Ketidakhadiran Guru di Papua dan Papua Barat, Uncen-Unipa-SMERU-BPS-Unicef, 2012. UNDP, 2012. Mendayagunakan Guru dengan Lebih Baik: Memperkuat Manajemen Guru untuk Meningkatkan Efisiensi dan Manfaat Belanja Publik, Bank Dunia, Januari 2013 Catatan: Ketidakhadiran guru (absen) diartikan sebagai “guru atau kepala sekolah tidak berada di sekolah pada jadwal belajar mengajar yang ditentukan saat tim survei dari studi yang disebut di atas datang ke sekolah yang bersangkutan”. 58 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Berdasarkan analisis berbagai aspek hasil dan keluaran dalam sector pendidikan di Papua dapat disimpulkan bahwa capaian hasil pembangunan sector pendidikan di Papua rendah seiring dengan rendahnya tingkat keluaran dan masih kurangnya pemerataan input tenaga pengajar. Rendahnya capaian hasil pembangunan pendidikan di Papua ditunjukan oleh rendahnya AMH dan RLS. Adapun rendahnya tingkat keluaran diindikasikan oleh rendahnya APS bagi semua kelompok umur, wilayah domisili, dan kelompok pendapatan. Dari sisi input, jumlah sekolah di Papua sudah memadai pada berbagai tingkat pendidikan dan sebarannya sudah cukup baik di berbagai daerah. Namun demikian distribusi guru masih belum optimal, masih terkonsentrasi di DMA dan masih kurang tersebar ke DSA dan DP. Hal ini diperburuk dengan tingkat ketidakhadiran guru yang masih cukup tinggi. Setelah diidentifikasi kondisi indicator hasil, keluaran, dan input fasilitas sekolah dan pengajar, maka pada bagian berikutnya akan dibahas kondisi dan dinamika input lainnya yakni anggaran dan belanja pemerintah pada sector pendidikan. Selain itu, pada bagian akhir akan disajikan analisi efisiensi teknis dari belanja pemerintah daerah yang menggambarkan hubungan antara tingkat belanja yang telah dilakukan dengan berbagai tingkat hasil dan keluaran yang telah dicapai kabupaten/kota di Papua, secara relative dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia. 2.4. Tantangan untuk Meningkatkan Efektivitas Belanja Barang, Jasa, dan Pegawai di Daerah Pegunungan (DP) dan Sulit Akses (DSA) di Tengah Besarnya Tingkat Belanja Urusan Pendidikan di Provinsi Papua Anggaran total belanja pendidikan riil provinsi dan kabupaten/kota (tanpa belanja pemerintah pusat) meningkat terus selama periode 2007-2012 dengan total pertumbuhan sekitar 14 persen pertahun. Total nilai riil belanja pendidikan dalam APBD provinsi dan kabupaten/kota adalah Rp 1,8 triliun (2007) dan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 3,2 triliun (2012) dengan rata-rata pertumbuhan riil pertahunnya sekitar 14 persen. Belanja pendidikan tersebut terdiri dari belanja pemerintah provinsi yang menurun dari Rp. 198 miliar (2007) menjadi Rp. 181 miliar (2012), sedangkan pemerintah kabupaten/kota, meningkatkan belanja pendidikannya dari Rp. 1,6 triliun (2007) menjadi Rp. 3,0 triliun (2012). Menurunnya belanja pendidikan pemerintah provinsi karena sebagian besar belanja pendidikan Pemerintah Provinsi Papua dibelanjakan melalui mekanisme transfer ke daerah bawahan yang dikelola langsung oleh BAKD yang tercatat sebagai urusan pemerintahan, bukan melalui dinas pendidikan yang dapat tercatat sebagai belanja urusan pendidikan. Proporsi belanja pendidikan di kabupaten/kota menjadi dominan seiring dengan diterapkannya Otsus Papua terutama dengan perhatian terhadap sektor pendidikan. Proporsi belanja pendidikan di pemerintah kabupaten/kota terus meningkat dari 40 persen (2007) meningkat menjadi 94 persen (2012), namun proporsi pemerintah pusat menurun dari 55 persen (2007) menjadi 21 persen (2011), sedangkan pemerintah provinsi berfluktuasi sekitar 7 persen pada 2007-2012. Peranan belanja pemerintah provinsi yang menurun di satu sisi dan peran kabupaten/ 59 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 kota yang meningkat di sisi lain dalam urusan pendidikan di Papua tidak terlepas dari mekanisme belanja provinsi untuk pendidikan melalui transfer sebagaimana sudah dijelaskan diatas untuk dialokasikan oleh kab/kota dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah). Perubahan pola komposisi belanja pemerintah pusat-provinsi- kabupaten dalam urusan pendidikan ini menunjukkan pemerintah daerah khususnya kabupaten/ kota memiliki keleluasaan untuk mengelola anggaran pendidikan sesuai dengan semangat Otsus Papua namun di sisi lain diperlukan kapasitas daerah untuk betul-betul mampu mengefektifan belanja pendidikan ini. Gambar 2.16. Perkembangan Belanja Pendidikan di Provinsi Papua 2007-2012 Belanja Pendidikan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 4.5 4.0 3.5 3.0 Rp. Triliun 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Kabupaten/Kota Pusat Provinsi Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: 2007-2011 APBD Realisasi, *2012 APBD Pokok Pada periode 2007-2010, nilai belanja pendidikan per jumlah siswa sekolah cenderung menurun, dan baru pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan kembali. Pada tahun 2007, belanja pendidikan bisa mencapai Rp. 5,2 juta per penduduk usia sekolah jika dikonsolidasikan dengan belanja pendidikan pemerintah pusat, dan Rp. 2,3 juta per penduduk usia sekolah jika tanpa pemerintah pusat. Pada tahun 2010, nilai tersebut secara berturut-turut menurun menjadi 2,3 juta (dengan pemerintah pusat) dan 1,7 juta (pemeirntah daerah saja) per penduduk usia sekolah. Pada tahun 2011 baru kembali meningkat meski tidak sampai sebesar belanja pendidikan per penduduk usia sekolah. 60 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Gambar 2.17. Perkembangan Belanja Pendidikan Langsung, Proporsi, dan Perkapitanya di Papua 2011 1.20 90% 77.0% Proporsi Belanja Pendidikan 76.5% Belanja Lansung Pendidikan 80% 70.3% 1.00 Perkapita (Rp. Juta) 0.83 64.3% 70% 1.0 0.93 Langsung 0.80 60% 0.75 0.75 50% 0.60 44.7% 40% 0.40 30% 20% 0.20 10% 0.00 0% 2007 2008 2009 2010 2011 Belanja Langsung Pendidikan Perkapita Proporsi Belanja Pendidikan Langsung Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: 2007-2011 APBD Realisasi, *2012 APBD Pokok Gambar 2.18. Perkembangan Belanja Pendidikan per Penduduk Usia Sekolah: Konsolidasi Pusat dan Daerah, dan Khusus Belanja Daerah di Papua 2011 Belanja pendidikan per anak usia 5-24 tahun (tanpa pusat) 6 4 Rp Juta 2 0 2007 2008 2009 2010 2011 2012* Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: 2007-2011 APBD Realisasi, *2012 APBD Pokok Meskipun belanja pendidikan secara total cenderung berfluktuasi, terdapat indikasi positif bahwa belanja langsung sektor pendidikan meningkat. Belanja pendidikan (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota) cenderung menurun dari Rp. 4 triliun (2007) menjadi Rp. 3.8 triliun (2011), namun untuk kategori Belanja Langsung meningkat dari Rp. 1,8 triliun (2007) menjadi Rp. 2,9 triliun (2011). Sehingga proporsinya meningkat tajam dari 45 persen (2007) menjadi 77 persen (2011) dibandingkan dengan Belanja Tidak Langsung. Ditinjau dari sisi belanja per kapita, Belanja Langsung juga meningkat dari sekitar Rp. 830 ribu (2007) menjadi sekitar Rp. 1,0 juta (2011). 61 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Pada periode 2007-2012, total belanja pendidikan di kabupaten/kota cenderung meningkat dengan pertumbuhan tertinggi adalah pada komponen belanja pegawai, kemudian diikuti belanja modal, dan akhirnya belanja barang dan jasa. Belanja pegawai pendidikan di kabupaten/kota memiliki tingkat pertumbuhan terbesar yakni hampir 3 kali lipat dari semula Rp 1,0 triliun (2007) menjadi Rp. 2,99 triliun (2012). Belanja modal meningkat dari semula Rp. 341 miliar (2007) menjadi Rp. 848 miliar (2012). Sementara belanja barang dan jasa dari semula Rp. 219 miliar (2007) meningkat menjadi Rp. 406 miliar (2012). Pertumbuhan belanja pegawai di kabupaten/kota lebih dikarenakan adanya tambahan penghasilan PNS, sertifikasi guru, dan tambahan penghasilan di luar sertifikasi. Belanja Langsung pendidikan di Papua tidak memiliki perbedaan karakteristik antara DMA, DSA, dan DP meskipun kenyataannya tingkat hasil, keluaran, dan aksesibilitas pendidikan di Papua berkaitan erat dengan perbedaan kondisi geografis ketiga wilayah tersebut. Baik diukur dengan nilai total Belanja Langsung maupun dengan total Belanja Langsung per kapita, ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kabupaten/kota yang ada di daerah DMA, DSA, dan DP. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pada kenyataannya, DP dan DSA memiliki ketertinggalan dibandingkan DMA dalam hal AMH, RLS, APS dan sebaran fasilitas sekolah dan guru. Dengan demikian, selayaknya DP dn DSA memiliki tingkat belanja yang lebih tinggi lagi daripada DMA. Gambar 2.19. Belanja Langsung untuk Pendidikan Kabupaten/Kota di Papua 2011 Belanja Langsung Pendidikan 100 90 80 70 Rp. Miliar 60 50 40 30 20 10 0 Kab. Nabire *Kab. Mamberamo Tengah Kab. Yahukimo Kab. Peg. Bintang Kab. Puncak Kab. Dogiyai Kab. Deiyai Kab. Jayawijaya b Lanny Jaya Kab. Puncak Jaya Kab. Merauke Kota Jayapura Kab. Jayapura Kab. Yapen Waropen Kab. Keerom Kab. Supiori *Kab. Sarmi Kab. Mimika Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Mamberamo Raya *Kab. Waropen Kab. Tolikara Kab. Yalimo Jaya Kab. Nduga Kab. Paniai i *Kab. Biak Numfor Kab. Boven Digoel Pi Kab. Intan Kb IJ Kab. Kb DMA DSA DP Rata-rata DMA Rata-rata DSA Rata-rata DP 62 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Belanja Langsung Pendidikan Perkapita 2,500 2,000 Rp. Juta 1,500 1,000 500 0 Jaya Kab. Supiori Kab. Keerom Kota Jayapura *Kab. Sarmi Kab. Mappi Kab. Intan Jaya Kab. Peg. Bintang Kab. Deiyai Kab. Nduga Kab. Dogiyai Kab. Paniai Kab. Lanny Jaya Kab. Jayawijaya Kab. Yapen Waropen Kab. Jayapura Kab. Merauke Kab. Nabire Kab. Mamberamo Raya Kab. Asmat Kab. Mimika *Kab. Waropen Kab. Yalimo Kab. Tolikara Kab. Puncak *Kab. Biak Numfor Kab. Boven Digoel Kab. Yahukimo *Kab. Mamberamo Tengah Kab. Puncak Jy DMA DSA DP Rata-rata DMA Rata-rata DSA Rata-rata DP Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: * Data tidak tersedia Gambar 2.20. Besarnya Belanja Modal Pendidikan di Kabupaten/Kota Seiring dengan Peningkatan Jumlah SD-SMP-SMA/SMK Besarnya Belanja Modal Pendidikan di Kabupaten/Kota Seiring dengan Peningkatan Jumlah SD-SMP-SMA/SMK 300 250 Jumlah SD-SMP-SMA 200 Daerah Mudah Akses (DMA) 150 Daerah Sulit Akses (DSA) Daerah Pegunungan (DP) 100 50 0 0 100 200 300 Kumulatif Belanja Modal Pendidikan 2007-2012 (Rp Milyar) Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: 2007-2011 APBD Realisasi, *2012 APBD Pokok Besarnya komponen belanja modal urusan pendidikan di kabupaten/kota di Papua secara umum sejalan dengan peningkatan jumlah SD, SMP, dan SMA/K namun demikian masih terdapat ketimpangan antar wilayah. Besarnya tingkat belanja urusan pendidikan di Papua telah terbukti efektif dalam meningkatkan prasarana pendidikan dasar dan menengah. Hal ini 63 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 ditunjukan oleh hubungan positif (positive correlation) antara besarnya belanja modal yang telah dikeluarkan selama periode 2007-2012 dengan jumlah sekolah yang ada pada tahun 2011/2012. Namun demikian perbandingan relatif antara tingkat belanja modal terhadap jumlah sekolah di DSA dan DP masih tertinggal daripada DSA. Hal ini menjelaskan mengapa rasio murid terhadap sekolah di DSA dan DP masih sedikit tertinggal daripada DMA. Belanja pegawai urusan pendidikan juga berbanding lurus dengan peningkatan jumlah guru dan murid di kabupaten/kota di Papua namun DMA secara umum memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada DSA dan DP. Tingginya belanja pegawai dalam urusan pendidikan di Papua terbukti berkorelasi positif dengan jumlah guru dan murid di seluruh kabupaten/kota, dan hal ini menjadi indikasi positif tentang tingkat pemanfaatan belanja pegawai tersebut. Namun demikian, sama halnya dengan belanja modal, tingkat hubungan antara belanja pegawai dengan jumlah guru dan murid di DSA dan DP pada umumnya masih lebih rendah daripada DMA. Gambar 2.21. Kumulatif Belanja Pegawai untuk Sejalan dengan Peningkatan Jumlah Guru dan Murid di Kabupaten/Kota di Papua Realisasi Belanja Pegawai Kumulatif Sejalan dengan Peningkatan Jumlah Guru di Papua Kota 4000 Jayapura Jumlah Guru SD-SMP-SMA (2011) 3500 3000 2500 2000 Daerah Mudah Akses (DMA) Daerah Sulit Akses (DSA) 1500 Daerah Pegunungan (DP) 1000 500 0 0 500 1000 Kumulatif Belanja Pegawai 2007-2012 (Rp miliar) 64 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Kumulatif Belanja Pegawai Sejalan dengan Peningkatan Jumlah Murid 70000 Jumlah Murid SD-SMP-SMA/K 60000 50000 40000 Daerah Mudah Akses (DMA) Daerah Sulit Akses (DSA) 30000 Daerah Pegunungan (DP) 20000 10000 0 0 500 1000 Kumulatif Belanja Pegawai Pendidikan (Rp Miliar) Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: * Data tidak tersedia Tingginya alokasi belanja barang dan jasa pendidikan di Papua seiring dengan peningkatan jumlah guru namun ternyata belum diiringi oleh peningkatan jumlah murid. Belanja barang dan jasa sejalan dengan peningkatan jumlah guru karena belanja ini di antaranya digunakan untuk insentif terhadap guru. Namun demikian, belanja barang dan jasa tidak memiliki keterkaitan dengan peningkatan jumlah murid. Sama halnya dengan belanja modal dan belanja pegawai, secara umum DSA dan DP juga memiliki tingkat belanja barang dan jasa yang lebih rendah daripada DMA. Gambar 2.22. Belanja Barang dan Jasa Pendidikan Seiring dengan Peningkatan Jumlah Guru namun Tidak Seiring Dengan Peningkatan Jumlah Murid Realisasi Belanja Barang dan Jasa Pendidikan Kumulatif e alan dengan Peningkatan Jumlah Guru di Papua Sej 4000 Kota 3500 Jumlah Guru SD-SMP-SMA/K Jayapura 3000 2500 Daerah Mudah Akses (DMA) 2000 Daerah Sulit Akses (DSA) 1500 Daerah Pegunungan (DP) 1000 500 0 0 100 200 Kumulatif Belanja Barang dan Jasa Pendidikan 2007-2012 (Rp.Miliar) 65 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Kumulatif Belanja Barang dan Jasa Tidak Seiring dengan Peningkatan Jumlah Murid 70000 Jumlah Murid SD-SMP-SMA/K 60000 50000 40000 Daerah Mudah Akses (DMA) Daerah Sulit Akses (DSA) 30000 Daerah Pegunungan (DP) 20000 10000 0 0 100 200 Kumulatif Belanja Barang dan Jasa Pendidikan (Rp Miliar) Sumber: Database PEA Update Papua Catatan: * Data tidak tersedia Gambar 2.23. Belanja Program Pendidikan Kabupaten/Kota di Papua, 2012 800 Belanja Pegawai 700 Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal 600 500 Rp Miliar 598 400 300 200 28 0 100 106 40 1 62 31 46 25 0 36 34 17 35 27 Program Wajib Program Program Program Program Program Belajar Manajemen Pendidikan Pelayanan Peningkatan Peningkatan Pendidikan Pelayanan Menengah Administrasi Mutu Sarana dan Dasar Pendidikan Perkantoran Pendidikan Prasaranan Sembilan dan Tenaga Aparatur Tahun Kependidikan Sumber: Database PEA Update Papua Belanja riil program kabupaten/kota di Papua terbesar adalah Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun pada 2012. Dari total 24 kabupaten/kota19 belanja program tersebut (Rp. 740 miliar) didominasi oleh belanja modal (Rp. 598 miiar) dan belanja barang dan jasa (Rp. 106 miliar). Belanja program pendidikan terbesar kedua adalah Program Manajemen Pelayanan Pendidikan (Rp. 124 miliar) yang didominasi oleh belanja barang dan jasa (Rp. 62 miliar) dan belanja pegawai (Rp. 34 miliar). Besarnya porsi alokasi belanja modal dalam kelompok Program 19 Yang tidak termasuk dalam 24 kabupaten tersebut adalah Kota Jayapura, Kabupaten Peg. Bintang, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Dogiyai. 66 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun erat kaitannya dengan upaya peningkatan jumlah sekolah pada level SD-SMP-SMA/K yang memang telah menjadi prioritas selama lima tahun terakhir. Secara kategori program, Belanja Pendidikan di kabupaten/kota telah berada pada prioritas yang tepat yakni Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan tahun namun demikian ke depannya perlu untuk beralih dari Belanja Modal ke Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa. Sesuai dengan analisis sebelumnya bahwa jumlah sekolah dan guru sebenarnya telah memadai namun belum optimal dalam hal distribusi. Jumlah sekolah yang memadai ini merupakan hasil dari investasi yang dominan pada Belanja Modal. Namun demikian ke depannya perlu diubah dengan cara memperbesar Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa. Belanja Pegawai dimaksudkan untuk merekrut guru di daerah yang masuk dalam kategori DSA dan DP sedangkan Belanja Barang dan Jasa di antaranya untuk insentif guru dan hal lain yang mungkin dapat menjadi daya tarik agar minat mereka untuk mengajar di DSA dan DP meningkat. Kotak 2.3. Efisiensi Teknis Belanja Pendidikan Pemerintah Dearah di Papua, 2010-2011 Efisiensi relatif belanja pendidikan Papua dihitung menggunakan jarak antara kombinasi indeks input-output sektor pendidikan dari kabupaten/kota dengan garis frontier (yaitu titik-titik nilai output maksimum yang bisa dicapai dengan nilai input tertentu). Variabel input yang digunakan adalah jumlah murid (SD, SMP, dan SMA) dan belanja pendidikan per kapita kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2008.21 Dan variabel output yang digunakan adalah APM, AMH, dan RLS tahun 2009. Sebanyak 386 kabupaten/kota digunakan sebagai sampel, di mana terdapat 12 kabupaten/kota yang berada di Papua. Karena ketersediaan data, tidak cukup banyak dari sebagian besar kabupaten/kota di Papua yang masuk dalam sampel dan memiliki efisiensi teknis belanja pendidikan yang tinggi. Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor memiliki efisiensi teknis belanja pendidikan yang tinggi, ditunjukkan dari kedekatan titik indeks input- output dengan garis frontier. Gambar di bawah ini juga menunjukkan bahwa banyak daerah yang memiliki output lebih besar dengan input atau belanja yang sama dengan daerah di Papua. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa mayoritas kabupaten/kota di Papua masih bisa meningkatkan dampak belanja pendidikan terhadap PDRB Sektor Pendidika tanpa perlu menambah jumlah atau alokasi anggaran Urusan Pendidikan. 67 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 1 0.9 ra Jayapura 0.8 iak Bi mfor ak Numf Indeks Output Pendidikan Kota Jaya Kot aya ayapura 0.7 bire Nab i Keerom K m 0.6 Me e ke erauke 0.5 a Sarmi Su S p upiori 0.4 0.3 Mimika Paniai 0.2 0.1 Boven Digoel 0 Tolikara 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Indeks Input Pendidikan Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari BPS Pusat dan Kemenkeu 20 2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Provinsi Papua perlu untuk melakukan pendekatan yang lebih efektif dan telah teruji berdasarkan pengalaman dalam kasus di daerah lain jika ingin mengejar ketertinggalan dalam hal kinerja hasil, keluaran, dan akses pada bidang pendidikan. Indikator hasil pendidikan Papua mengalami perlambatan sebagaimana ditunjukan oleh perubahan yang sangat minimal dalam angka RLS dan AMH. Hal ini sejalan dengan perlambatan bahkan penurunan pada APS. Kondisi ini terjadi baik di Papua secara keseluruhan maupun terutama yang sangat tertinggal adalah kabupaten/kota yang berada di DSA dan DP. Kinerja buruk tersebut tidak terlampau mengherankan karena pada kenyataannya terdapat ketimpangan distribusi sekolah dan guru di DSA dan DP dibandingkan dengan DP. Tidak hanya itu kendala geografis yang dicerminkan oleh apa yang terjadi di DP dan DSA, namun terdapat pula tantangan dari sisi kemampuan ekonomi sebagaimana ditunjukan oleh tertinggalnya tingkat APS masyarakat yang termasuk kategori kelompok 40 persen termiskin dibandingkan dengna tingkat APS kelompok yang lebih sejahtera. Rencana pembangunan yang telah tertuang dalam RPJMD dan Renstra Pendidikan Provinsi Papua tidak akan tercapai terutama jika implementasi programnya tidak 20 Definisi Belanja Pertanian mencakup belanja Urusan Pendidikan dalam APBD. 68 Bab 2 Mengoptimalkan Belanja dan Distribusi Fasilitas dan Tenaga Pendidikan untuk Meningkatkan Kinerja Sektor Pendidikan memperhitungkan kondisi geografis dan kebutuhan yang berbeda antar daerah. RPJMD dan Renstra telah mencanangkan target yang sebenarnya memadai dalam hal AMH dan RLS untuk dicapai dalam periode 2013-2018. Namun demikian jika memperhatikan kecenderungan yang telah terjadi dalam periode 2007-212, maka target tersebut sangat sukar untuk dapat dicapai. Kecuali tentunya pendekatan yang inovatif atau berbasis bukti tersebut dapat segera dilakukan. Secara khusus dalam hal AMH, Provinsi Papua perlu memperhatikan aspek demografis untuk mengefektifkan upayanya yakni dengan memperhatikan kelompok usia, geografis atau wilayah tempat tinggal, dan jenis kelamin. Penduduk yang melek huruf di Provinsi Papua sudah meningkat namun masih lambat, titik lemah terutama di daerah pegunungan, dan juga kolompok usia 30-44 tahun, sedangkan berdasarkan jenis kelamin yang terendah adalah wanita. Pemerintah sudah memberantas buta aksara melalui program pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, namun diperlukan strategi khusus untuk memberantas buta aksara pada kelompok usia 30-44 tahun, dan juga buta aksara pada kelompok wanita. Demikian pula dalam hal upaya meningkatkan APS, Papua perlu menyasar kelompok strategis yakni usia 7-18 tahun. APS di Papua meningkat selama 2007-2012 dan peningkatan tersebut juga berdampak pada meningkatnya RLS, namun peningkatannya melambat dikarenakan APS pada kelompok usia strategis (7-18 tahun) mengalami penurunan. Minimnya anak yang masuk SD pada usia 7 tahun juga menghambat peningkatan RLS dalam periode yang samaProgram pendidikan dasar 9 tahun harus lebih dipromosikan agar para anak tidak terlambat mendapat pendidikan, termasuk jenjang setelah SD, SMP, maupun ke SMA dan akademi atau perguruan tinggi. Perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kemudahan transportasi anak-anak sekolah menuju sekolah terutama di DP dan DSA, hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan komponen belanja barang dan jasa pendidikan. Rata-rata untuk menjangkau ke fasilitas pendidikan di Papua terutama di DP dan DSA masih cukup jauh, hal tersebut membuat transportasi untuk menjangkau pendidikan relatif lebih mahal. Pemerintah provinsi dapat berkerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota menyediakan daerah pusat fasilitas umum khususnya pendidikan agar masyarakat lebih mudah menjangkau akses pendidikan, terutama disediakan fasilitas pendidikan yang berjenjang, sehingga orang tua murid tidak perlu sulit lagi memindahkan lokasi untuk sekolah anak-anaknya. Pemerintah juga dapat menyediakan sekolah dengan fasilitas asrama sehingga para murid tidak kesulitan untuk masuk kelas dalam kegiatan belajar mengajar. Termasuk tenaga pengajar dan administrasi sekolah bisa disediakan juga di asrama tersebut sehingga tenaga pengajar dan administrasi juga tidak terkendala masalah infrastruktur dan juga terjadi proses pendidikan tidak hanya di jam belajar, tapi pendidikan kemasyarakatan di luar jam belajar. Pada periode pelaksanaan RPJMD 2013-2018 Papua perlu mempertimbangkan untuk lebih meningkatkan lagi Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Pegawai pada urusan Pendidikan. Pola belanja pada periode sebelumnya menunjukan titik berat pada Belanja Modal dan hal ini telah berhasil dengan adanya peningkatan kecukupan fasilitas sekolah. Namun demikian ke depannya, yang perlu mendapat perhatian adalah distribusi sekolah dan guru di DMA dan DSA. Belanja barang dan jasa dapat diarahkan kepada insentif kepada guru yang bersedia mengajar di DMA dan DSA. Sedangkan belanja pegawai jika diperlukan dapat digunakan untuk merekrut tenaga pengajar tambahan di daerah tersebut. 69 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang 3.1. Kesehatan Ibu dan Anak Sebagai Masalah Prioritas dalam Pembangunan Kesehatan Provinsi Papua Provinsi Papua diperkirakan akan mengalami kondisi surplus demografi pada tahun 2030, yakni suatu keadaan ketika proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai titik maksimum dan rasio ketergantungan berada pada titik terendah. Kondisi ini akan menjadi suatu kesempatan besar bagi pembangunan Papua seandainya pada tahun 2030 mayoritas penduduk berada dalam kualitas kesehatan dan pendidikan yang baik dan bekerja. Namun sebaliknya, surplus demografi tersebut akan menjadi petaka demografi seandainya pada tahun 2030 tersebut penduduk usia produktif (15-64) memiliki kualitas: derajat kesehatan dan pendidikan rendah, dan tidak bekerja (pengangguran). Penduduk usia 15 pada tahun 2030 adalah bayi dan balita pada tahun 2013-2018. Kualitas SDM pada tahun 2030 akan ditentukan oleh upaya kesehatan yang dilakukan terhadap bayi dan balita pada periode 2013-2018 bahkan termasuk upaya peningkatan kesehatan ibu hamil pada periode itu. Dengan demikian, peningkatan kesehatan ibu dan anak adalah merupakan prioritas pembangunan kesehatan Papua hari ini dan untuk masa depan Papua khususnya menyambut bonus demografi pada tahun 2030. Dalam periode sepuluh tahun terakhir, sektor kesehatan khususnya kesehatan ibu dan anak memang masih merupakan tantangan besar bagi Provinsi Papua sebagaimana dijelaskan dalam RPJMD Provinsi Papua 2006-2011 dan RPJMD Provinsi Papua 2013-2018. Berdasarkan kedua dokumen RPJMD itu disebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI) per seratus ribu kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) serta balita (AKABA) per seribu kelahiran hidup, masih memprihatinkan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, pada periode 2010-2012, AKI Papua mulai menurun tetapi masih pada level sangat tinggi yaitu berturut-turut 701, 328, dan 235. Sementara itu berdasarkan data SDKI (survey demografi dan kesehatan Indonesia), pada periode 2002-2012 AKB dan AKABA malah memburuk. AKB Papua memburuk dari 41 pada tahun 2007 menjadi 54 pada tahun 2012. Demikian pula dengan AKABA yakni sebesar 64 pada tahun 2007 dan menjadi 115 pada tahun 2012. Angka-angka tersebut masih jauh dari target capaian pada tiap periode RPJMD tersebut. Tabel 3.1. Perkembangan AKI, AKB, dan AKABA 2002-2012 AKI AKB AKABA Provinsi 2010 2011 2012 2002 2007 2012 2002 2007 2012 Papua 701 328 235 na 41 54 na 64 115 Maluku Utara 501 293 320 na 51 62 na 74 85 Papua Barat 304 413 459 na 36 74 na 62 109 Nusa Tenggara Timur 288 205 193 59 57 45 73 80 58 Maluku 174 na 223 na 59 36 na 93 60 Nusa Tenggara Barat 115 127 97 74 72 57 103 92 75 Sumber: SDKI berbagai terbitan, kecuali untuk AKI tingkat provinsi menggunakan data Kemenkes RI 71 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Selain tingginya tingkat AKI, AKA, dan AKABA, beberapa indikator yang menunjukan tingkat akses layanan kesehatan yang berpengaruh terhadap AKI, AKA, dan AKABA juga masih rendah. Berdasarkan kedua dokumen RPJMD itu disebutkan bahwa tingkat akses ibu hamil terhadap layanan K4, persentase melahirkan dibantu tenaga kesehatan, pemeriksaan bayi paska melahirkan, dan cakupan imunisasi dasar juga masih rendah. Tingkat capaian untuk keempat indikator layanan kesehatan tersebut masih jauh dari target RPJMD 2005-2011 maupun RPJMD 2013-2018. Dengan adanya tantangan tersebut maka upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak menjadi salah satu arah kebijakan pembangunan kesehatan Provinsi Papua yang terus dipertahankan dari RPJMD 2006-2011 ke dalam RPJMD 2013-2018. Disebutkan dalam RPJMD 2013-2018 bahwa arah kebijakan pembangunan kesehatan papua di antaranya adalah peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita melalui penyediaan sarana kesehatan yang mampu melaksanakan PONED (pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar) dan PONEK (pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif); peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); peningkatan cakupan imunisasi tepat waktu pada bayi dan balita; perbaikan kesehatan dan gizi ibu hamil; peningkatan peran posyandu dalam rangka peningkatan kesehatan anak; penyediaan tenaga pelayanan kesehatan bayi dan balita (dokter, bidan dan kader); perbaikan kualitas lingkungan dalam rangka penurunan faktor risiko kesehatan bagi bayi dan balita; dan peningkatan kemitraan bidan dan dukun. Pada bab ini akan dibahas capaian pembangunan kesehatan Papua, kondisi sumberdaya kesehatan, dan analisis belanja publik Papua bagi sektor kesehatan. Untuk memberikan perspektif yang sesuai dengan kondisi geografis Papua, analisis pada bab ini sebisa mungkin menampilkan perbandingan pada dua tingkatan. Pada tingkat provinsi, Papua akan dibandingkan dengan Provinsi NTB, NTT, Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat. Kelima provinsi terebut dipilih sebagai pembanding karena memiliki tingkatan yang relatif setara dalam hal IPM (indeks pembangunan manusia) dan angka kemiskinan. Kemudian, di dalam Provinsi Papua sendiri, perbandingan akan dilakukan antar tiga kelompok daerah yakni Dataran Mudah Akses (DMA), Dataran Sulit Akses (DSA), dan Daerah Pegunungan (DP). Pengelompokan daerah tersebut didasarkan kepada kondisi geografis masing- masing kabupaten/kota di Papua. 3.2. Capaian Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak Provinsi Papua Pembangunan kesehatan di Provinsi Papua diukur dari ukuran derajat kesehatan masyarakat, upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat diwakili oleh indikator-indikator seperti angka kematian ibu, bayi, dan balita. Upaya kesehatan diwakili oleh indikator-indikator seperti pelayan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan K1- K4 untuk ibu hamil, pemeriksaan bayi paska melahirkan, dan cakupan imunisasi dasar. Sementara itu sumberdaya kesehatan ditunjukkan oleh jumlah rumah sakit dan pusat layanan kesehatan serta jumlah tenaga-tenaga kesehatan. 72 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang 3.2.1. AKI dan berbagai layanan yang mempengaruhinya Pada tahun 2012, AKI Papua masih tertinggal dari provinsi lain di KTI, hanya lebih baik dari Papua Barat dan Maluku Utara. AKI adalah indikator yang sangat sulit diperoleh pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Untuk tingkat nasional data AKI diperoleh dari hasil survei demografi dan kesehatan atau SDKI, namun sayangnya karena keterbatasan jumlah sampel pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, AKI hanya dapat dihitung untuk tingkat nasional. AKI Indonesia menurut SDKI 2012 adalah 359. Untuk tingkat provinsi, AKI dihitung berdasarkan data laporan kasus kematian dan kelahiran yang dikompilasi oleh Kementerian Kesehatan RI. Pada tahun 2012, tercatat AKI Papua adalah 235, masih tertinggal dari provinsi lainnya kecuali Papua Barat dan Maluku Utara. Tabel 3.2. Angka Kematian Ibu 2012 AKI (2012) Papua Barat 459 Maluku Utara 320 Papua 235 Maluku 223 NTT 193 Target MDGs 2015 102 NTB 97 Indonesia 359 Sumber: Kementerian Kesehatan RI, dan SDKI 2012 Angka kematian ibu bisa dikaitkan dengan beberapa indikator kunci seputar persiapan kehamilan, perawatan kesehatan pada saat kehamilan, dan persalinan, dan dalam indikator kunci tersebut, Provinsi Papua cukup tertinggal dibandingkan provinsi lainnya. AKI dipengaruhi oleh berbagai upaya kesehatan yang dapat dikelompokkan menjadi upaya perencanaan kehamilan, upaya perawatan kehamilan, dan upaya penanganan persalinan. Upaya perencanaan kehamilan dimaksudkan untuk memastikan bahwa kehamilan adalah peristiwa yang telah dipersiapkan dengan baik. Perawatan kehamilan adalah tindakan yang dilakukan untuk menjaga ibu hamil dan janin selalu dalam keadaan sehat termasuk adanya antisipasi terhadap komplikasi kehamilan. Adapun penanganan persalinan adalah tindakan pendampingan oleh tenaga terlatih sehingga keselamatan bayi dan ibunya terlindungi. Provinsi Papua memiliki indikator yang paling tertinggal dalam hal upaya yang terkait dengan perencanaan kehamilan, padahal kehamilan yang direncanakan dengan baik pada akhirnya akan dapat mengurangi AKI. Dalam hal metoda KB (keluarga berencana), lebih dari 90 persen pria di provinsi pembanding (dan rata-rata nasional) telah mengenal salah satu metoda KB, sementara di Papua hanya 66.4 persen. Begitu pula dengan kelompok wanita yang baru 58.8 persen di antaranya mengenal metoda KB, dan hanya 16.2 persen wanita yang menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini mengindikasikan bahwa kehamilan yang terjadi tidak disertai dengan perencanaan yang cukup baik. Indikasi tersebut diperkuat dengan adanya fakta bahwa 14.3 persen wanita hamil di Papua adalah termasuk kategori hamil terlalu dini (usia 15-19 tahun). 73 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Tabel 3.3. Indikator Terkait Upaya Perencanaan Kehamilan (2012) Pria pernah Wanita pernah Wanita pengguna mengenal salah mengenal salah Mulai hamil pada kontrasepsi satu metoda KB satu metoda KB usia 15-19 (%) apapun (%) (%) (%) NTB 97,1 99,4 38,8 12,3 Maluku 96,8 95,6 30,7 7,9 NTT 95,7 94,7 31,8 6,3 Maluku Utara 93,1 97,6 37,6 11,8 Papua Barat 91,6 91,6 30,8 17,3 Papua 66,4 58,8 16,2 14,3 Indonesia 97,3 98,0 45,7 9,5 Sumber: SDKI 2012 Tabel 3.4. Persentase Ibu Hamil yang Melakukan K1 dan K4 di Provinsi Papua (2012) Provinsi K1 (%) K4 (%) NTB 97,9 91,6 Maluku 93,6 81,7 Maluku Utara 92,2 80,2 Papua 90,5 54,3 NTT 88,6 67,6 Papua Barat 50,1 23,3 Indonesia 94,5 83,5 Sumber: SDKI 2012 Gambar 3.1. Persentase Komplikasi Kehamilan vs. Melahirkan dengan C-Section, 2012 Provinsi Papua Memiliki Kesenjangan Tinggi Antara Komplikasi Kehamilan dengan Upaya Melahirkan Melalui C-Section (2012) 20 15 Persen 10 5 0 NTT Papua NTB Papua Indonesia Maluku Maluku Barat Utara Kehamilan dengan komplikasi Melahirkan dengan C-section Sumber: SDKI 2012 74 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Buruknya upaya perencanaan kehamilan di Papua juga diperparah dengan buruknya upaya perawatan kehamilan sebagaimana ditunjukan oleh rendahnya angka layanan K4. Lebih dari sembilan puluh persen ibu hamil di Papua melakukan pemeriksaan K1, namun hanya setengahnya yang melakukan pemeriksaan K4. K1 adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan pada trimester pertama, sedangkan K4 adalah pemeriksaan kehamilan yang komprehensif yakni minimal satu kali pada trimester pertama dan kedua, dan dua kali pada trimester terakhir (1-1- 2). Angka 90.5 persen K1 menunjukkan bahwa hampir semua ibu hamil memeriksakan diri untuk memastikan kehamilannya tersebut. Namun sayang sekali, pemeriksaan kehamilan tersebut tidak berlanjut menjadi pola 1-1-2, padahal kondisi ibu hamil dan janinnya harus selalu dipantau terutama untuk mempersiapkan diri jika ada kemungkinan komplikasi ketika persalinan. Pada tahun 2012, di Provinsi Papua, hanya 54,3 persen ibu hamil yang melakukan pemeriksaan K4, berarti bahwa hampir setengahnya memiliki kemungkinan tidak mengetahui kondisi-kondisi yang dapat membahayakan persalinannya nanti. Tingginya risiko kematian ibu melahirkan di Papua sebagai akibat dari perencananaan kehamilan dan upaya pemeriksaan kehamilan yang buruk ternyata diperparah dengan tingginya kesenjangan antara tingkat komplikasi kehamilan versus melahirkan dengan C-section. Evidence-based health practice membuktikan bahwa risiko kematian ibu melahirkan dapat dikurangi dengan cara melakukan tindakan C-section pada saat bersalin bagi ibu hamil yang mengalami komplikasi. Namun sayang sekali, di Papua, setidaknya sembilan persen ibu hamil yang mengalami komplikasi, tidak mendapat tindakan C-section. Hal ini diduga kuat karena sebagian besar dari ibu hamil tidak lengkap melakukan K4 sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Dalam hal kesenjangan antara komplikasi kehamilan versus melahirkan dengan C-Section, Papua dua kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional dan hanya lebih baik daripada NTT. Tabel 3.5. Persentase Persalinan Berdasarkan Tenaga Pendamping dan Tempat Melahirkan (2012) Melahirkan di Fasilitas Melahirkan didampingi Tenaga Kesehatan (%) Kesehatan (%) NTB 74,5 81,7 NTT 41,0 56,8 Papua Barat 38,3 62,6 Papua 27,0 39,9 Maluku 21,6 49,9 Maluku Utara 20,6 51,5 Indonesia 63,2 83,1 Sumber: SDKI 2012 Lemahnya upaya perencanaan dan perawatan kehamilan akhirnya diikuti dengan lemahnya upaya persalinan sehingga menyebabkan tingginya risiko angka kematian ibu melahirkan di Papua. Pada tahun 2012 SDKI mencatat bahwa hanya 27 persen persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, klinik, atau pusat kesehatan desa), selebihnya persalinan dilakukan di rumah atau tempat lainnya. Ini berarti bahwa sebagian besar persalinan dilakukan di tempat yang tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai di antaranya 75 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 PONED dan PONEK, sehingga resiko kegagalan penanganan apabila terjadi kondisi-kondisi yang membahayakan persalinan menjadi lebih tinggi. Jauh lebih buruk lagi adalah fakta bahwa hanya 40 persen peristiwa kelahiran di Papua yang didampingi oleh tenaga kesehatan (spesialis, dokter, bidan, atau perawat). Angka ini merupakan yang terendah dibandingkan provinsi lainnya dan jauh di bawah rata-rata nasional yang telah mencapai 83.1 persen. Kabupaten-kabupaten yang berada di daerah mudah akses (DMA) secara umum memiliki indikator layanan kesehatan ibu yang lebih baik dibanding dua wilayah lainnya (DSA dan DP). Cakupan K4 untuk DMA, DSA, dan DP secara berturut-turut adalah 29, 27, dan 17 persen. Sedangkan persentase melahirkan yang didampingi oleh tenaga kesehatan adalah 48, 30, dan 21 persen masing-masing untuk DMA, DSA, dan DP. Dengan demikian untuk layanan kesehatan ibu hamil dan melahirkan di Provinsi Papua sangat sensitif terhadap akses geografis. Gambar 3.2. Persentase K4 dan Melahirkan Didampingi Tenaga Kesehatan di Provinsi Papua (2012) 80 70 60 48.2 50 40 29.7 21.4 30 20 29.0 26.5 10 16.8 0 Nabire Biak Numfor Keerom Jayapura Kepulauan Yapen Merauke Kota Jayapura Mamberamo Tengah Pegunungan Bintang Supiori Sarmi Mappi Asmat Waropen Mimika Boven Digoel Mamberamo Raya Deiyai Yalimo Nduga Jayawijaya Paniai Lanny Jaya Intan Jaya Dogiyai Yahukimo DMA DSA DP K4 (%) Melahirkan Didampingi Tenaga Kesehatan (%) Rata-rata K4 Rata-rata Melahirkan Didampingi Tenaga Kesehatan Sumber: Kemenkes RI 3.2.2. AKB dan AKABA serta Berbagai Layanan yang mempengaruhinya Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, Provinsi Papua memiliki angka kematian bayi dan balita yang jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Di tahun 2012, AKB Papua adalah 54 jauh lebih tinggi dari angka nasional (34 per seribu kelahiran hidup). Pada tahun yang sama AKABA Papua mencapai 115 hampir 3 kali lipat daripada rata-rata nasional. AKB dan AKABA Provinsi Papua sangat jauh dari target MDGs yakni masing- masing 23 dan 32 sehingga hampir dipastikan Papua sulit untuk berhasil mencapai target tersebut. 76 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Gambar 3.3. AKB dan AKABA per 1000 Kelahiran Hdup, 2012 AKB 140 AKABA 120 100 80 60 40 20 0 Papua Maluku NTB Papua NTT Maluku Indonesia Target Barat Utara MDGs 2015 Sumber: SDKI 2012 Gambar 3.4. Cakupan Layanan Kesehatan Bayi dan Balita (2012) 100 Yankes Bayi (%) 90 Yankes Balita (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Maluku NTB Maluku NTT Papua Papua Indonesia Utara Barat Sumber: Kemenkes RI, 2012 Tingginya AKB dan AKABA di Papua merupakan akibat dari rendahnya tingkat pelayanan kesehatan bagi bayi dan balita. Tingkat pelayanan kesehatan bayi di Papua jauh berada di bawah rata-rata nasional yakni 21 berbanding 79 persen. Bahkan tingkat pelayanan kesehatan balita di Papua jauh lebih rendah lagi yakni 7 berbanding rata-rata nasional yang telah mencapai angka 64 persen. Tabel 3.6. Persentase Jenis Layanan yang Diterima Bayi dan Balita (2012) Bayi baru lahir tanpa KN1 Semua Vaksinasi Dasar Tanpa Imunisasi   (%) (%) (%) Papua Barat 84,5 26.1 23 Papua 82,2 14.1 38.4 NTT 60,5 46.5 6.7 Maluku 56,9 19.7 18.8 Maluku Utara 52,5 21.1 6 NTB 29,1 32.7 5.4 Indonesia 46,6 40.3 7.3 Sumber: SDKI 2012 77 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Buruknya cakupan layanan kesehatan bayi dan balita di Papua dikonfirmasi pula oleh indikator jenis layanan yang seharusnya diterima bayi baru lahir dan balita. Di Papua masih terdapat 82,2 persen bayi baru lahir yang tidak dibawa ke pusat layanan kesehatan atau tenaga kesehatan segera dalam jangka waktu 2 kali 24 jam usia hidupnya (KN1), padahal secara rata-rata nasional KN1 telah mencapai angka 46,6 persen. Hal ini cukup berbahaya karena ada berbagai resiko penyakit yang dialami bayi baru lahir yang mungkin tidak terdeteksi secara dini. Kemudian layanan kesehatan untuk balita cukup relatif buruk karena masih lebih dari sepertiga balita di Papua tidak diimunisasi sama sekali, sementara balita yang mendapatkan semua vaksinasi dasar hanya 14 persen. Kedua angka di atas jauh lebih buruk daripada provinsi lain dan rata-rata nasional. Rendahnya cakupan layanan kesehatan bayi dan balita di Papua sangat sensitif terhadap kondisi geografis. Cakupan pelayanan kesehatan bayi di DMA, DSA, dan DP berturut-turut adalah 60, 54, dan 30 persen. Sementara itu untuk cakupan layanan kesehatan balita, DSA justru memilki persentase yang tertinggi yakni 31 persen berbanding 16 persen untuk di DMA dan 5 persen di DP. Namun demikian secara umum masih nampak bahwa kondisi geografis memainkan peranan penting bagi layanan kesehatan di Papua. Gambar 3.5. Cakupan Layanan Kesehatan Bayi dan Balita, 2012 100 90 80 70 59.9 60 53.7 50 40 30 30.7 29.8 20 15.8 10 5.0 0 Biak Numfor Keerom Kota Jayapura Kepulauan Yapen Sarmi Nabire Jayapura Merauke Waropen Mappi Mimika Boven Digoel Jayawijaya Pegunungan Bintang Paniai Nduga Puncak DMA DSA DP Yankes Bayi (%) Yankes Balita (%) Rata-rata Yankes Bayi (%) Rata-rata Yankes Balita (%) Sumber: Kemenkes RI, 2012 3.3. Sumber Daya Kesehatan di Provinsi Papua Secara jumlah dan proporsinya terhadap jumlah penduduk, Papua telah memiliki sumberdaya kesehatan yang memadai dibandingkan dengan provinsi lain dan rata- rata nasional. Hal ini sebagaimana ditunjukan oleh rasio dokter umum dan bidan terhadap jumlah penduduk yang sudah di atas nasional. Namun persoalannya adalah kendala geografis dan distribusi antar kabupaten/kota yang masih timpang. 78 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Papua meningkat dalam periode 2007- 2011, dan rasionya per 100 ribu penduduk juga termasuk yang cukup tinggi. Jumlah dokter umum, dokter spesialis, bidan dan perawat di Provinsi Papua cenderung meningkat sejak tahun 2007, dengan pengecualian di tahun 2011. Namun demikian, jumlahnya di tahun 2011 lebih tinggi dibanding 2007. Gambar 3.6. Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Papua, 2007-2011 600 551 4,500 4,086 504 506 4,000 3,740 3,741 3,881 500 420 3,500 400 3,000 2,772 2,500 2,437 300 248 2,250 2,000 1,72 24 1,766 6 06 1,70 200 1,500 82 95 101 102 100 54 1,000 500 0 2007 2008 2009 2010 2011 - 2007 2008 2009 2010 2011 Dokter Umum Dokter Spesialis Bidan Perawat Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Papua Tabel 3.7. Jumlah dokter dan bidan per 100.000 penduduk di Papua, KTI dan Indonesia, 2011 Provinsi Dokter Spesialis Dokter Umum Bidan Papua Barat 3,9 23,3 78,9 Papua 3,5 21,8 72,4 Nusa Tenggara Barat 3,0 12,9 45,6 Maluku 2,9 21,6 74,1 Maluku Utara 2,0 21,1 99,1 Nusa Tenggara Timur 0,9 12,3 57,6 Indonesia 7,1 13,7 52,2 Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2012 Selain jumlahnya yang terus bertambah, rasio dokter spesialis, dokter umum, dan bida di Papua juga telah lebih tinggi daripada beberapa provinsi lain dan rata-rata nasional kecuali untuk rasio dokter spesialis. Di Papua, setiap 100 ribu penduduk dilayani oleh 22 dokter umum, 4 dokter spesialis, dan 73 bidan. Dalam hal ini, rasio layanan dokter umum dan bidan di Papua lebih tinggi dibanding angka Indonesia dan sebagian besar provinsi pembanding. Walaupun memiliki rasio layanan tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif tinggi di tingkat provinsi, terdapat kesenjangan yang mencolok di tingkat kabupaten/ kota, dan secara umum akses geografis menentukan aksesibilitas layanan kesehatan di Papua. Rasio layanan dokter umum per 100 ribu penduduk DMA lebih tinggi daripada di DSA dan DP dengan rasio secara berturut-turut adalah 41, 30, dan 13. Adapun rasio perawat per 100 ribu penduduk untuk DMA, DSA, dan DP masing-masing adalah 272, 282, dan 82. Sementara itu rasio bidan berturut-turut adalah 89, 86, dan 30 untuk DMA, DSA, dan DP. Dengan demikian secara umum masih jelas bahwa DMA memiliki akses tenaga kesehatan yang lebih baik daripada DSA dan kemudian diikuti oleh DP. 79 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Tabel 3.8. Rasio Tenaga Kesehatan dan fasilitas kesehatan terhadap Jumlah Penduduk di Kabupaten/Kota, 2012   Rasio Dokter Rasio Rasio Rasio Rasio Umum/100 Perawat/100 Bidan/100 Puskesmas/100 RS/100 ribu ribu penduduk ribu ribu ribu penduduk penduduk penduduk penduduk DMA 40,9 272,2 89,3 15,5 2,3 Supiori 79,5 556,4 119,2 28,4 5,7 Sarmi 76,5 199,6 106,5 24,6 na Kota 43,2 394,7 73,0 4,2 2,5 Jayapura Jayapura 43,2 127,2 66,8 15,3 1,6 Merauke 33,2 246,4 121,6 9,2 1,8 Keerom 31,6 Na Na 14,9 1,9 Nabire 25,7 309,5 77,7 16,7 0,7 Biak Numfor 18,5 135,1 80,3 12,1 2,1 Kepulauan 16,3 208,6 69,5 14,1 na Yapen DSA 30,2 282,5 86,1 20,0 1,6 Mamberamo 73,6 461,3 88,3 34,4 4,9 Raya Mappi 33,1 197,6 101,5 12,1 1,1 Mimika 28,2 322,9 61,4 6,4 0,5 Mamberamo 25,1 104,9 43,3 9,1 na Tengah Boven Digoel 22,6 242,4 119,6 25,9 3,2 Asmat 21,2 150,7 93,0 15,3 1,2 Waropen 7,3 497,5 95,1 36,6 na DP 12,9 81,9 30,2 13,1 1,5 Puncak Jaya 26,7 149,7 36,5 7,1 1,8 Pegunungan 23,4 39,9 45,5 40,0 1,4 Bintang Nduga 19,4 43,3 33,1 9,1 na Yalimo 17,8 19,5 Na 12,4 na Yahukimo 15,3 54,2 13,7 17,0 na Tolikara 14,2 104,8 68,5 19,7 na Puncak 11,6 24,2 10,6 7,7 na Intan Jaya 8,9 184,8 33,4 13,4 na Dogiyai 7,5 76,0 35,3 10,7 na Jayawijaya 7,8 123,6 34,0 5,5 2,3 Paniai 7,6 92,2 24,7 10,6 na Deiyai 4,4 90,0 34,8 11,6 na Lanny Jaya 3,0 61,1 22,5 6,1 0,6 Sumber: Data dan Informasi Kesehatan Papua 2012 80 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Sebaran fasilitas kesehatan di Papua juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dimana secara umum DMA memiliki fasilitas kesehatan yang lebih memadai daripada DSA dan DP. Rasio puskesmas per 100 ribu penduduk di DMA, DSA, dan DP berturut-turut adalah 15, 20, dan 13. Sementara itu rasio RS per 100 ribu penduduk adalah 2,3, 1,6, dan 1,5, masing-masing untuk DMA, DSA, dan DP. 3.4. Belanja Kesehatan Provinsi Papua Secara riil, belanja kesehatan provinsi dan kabupaten/kota terus meningkat sejak 2007, dengan proporsi terhadap total belanja yang fluktuatif. Belanja kesehatan Provinsi Papua meningkat dari Rp 278 miliar di tahun 2007 menjadi Rp 551 miliar di tahun 2012, dengan proporsi yang bervariasi antara 2,2 hingga 4,2 persen. Sementara belanja di tingkat kabupaten/kota meningkat menjadi Rp 1,6 triliun di tahun 2012 dari Rp 964 miliar di tahun 2007 dengan proporsi yang juga bervariasi dari 3,7 sampai 5,5 persen. Gambar 3.7. Belanja Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Proporsi Terhadap Total Belanja, 2007 - 2012 1,800 1,560 1 560 6.0% 1,600 5.0% 5.5% 1,369 1,599 1,400 1,361 5.0% 2 4.2% 1,247 4.0 4 .0% Rp miliar 1,200 4.2% 42 % 7% 3.7% 37 3 % 3.9% 4.0% 1,000 4 964 36 3.6 6%% 3.9% .1 1% 3.1% 3.0% 800 2.8% 2 % 2.2% 2 22 % 551 600 473 493 2.0% 400 278 280 343 1.0% 200 - 0.0% 2007 2009 2008 2010 2011 2012 Provinsi Kabupaten/kota Proporsi di Provinsi Proporsi di Kabupaten/kota Sumber: Database PEA Update Belanja kesehatan pemerintah provinsi berfokus pada penyediaan obat-obatan dan barang jasa kesehatan lainnya, sementara belanja kesehatan di kabupaten/kota mengutamakan penyediaan sarana pelayanan kesehatan. Di tingkat provinsi, proporsi belanja modal kesehatan terus menurun sejak tahun 2007 (dari 75,1 menjadi 40,4 persen), dan saat ini didominasi oleh belanja barang dan jasa (dari 12,5 di 2007 menjadi 53,3 persen di 2012). Sementara pemerintah kabupaten/kota secara konsisten berfokus pada penyediaan sarana layanan kesehatan, yang terlihat dari porsi belanja modal yang selalu mendominasi sejak tahun 2007. Ini juga mencerminkan pembagian tugas dan wewenang penyediaan layanan kesehatan antara provinsi dan kabupaten/kota. 81 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 3.8. Proporsi Jenis Belanja Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, 2007-2012 Provinsi 100% 12.4% 10.3% 6.9% 7.4% 6.3% 90% 26.0% 80% 40.4% 70% 49.1% 47.4% 51.4% 60% 50% 75.1% 50.6% 53.3% 40% 45.1% 44.0% 30% 38.2% 20% 23.4% 10% 12.5% 0% 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Barang dan jasa Modal Pegawai Kabupaten/kota 100% 10.3% % 8.2% 8.8% 11.1% 9.8% % 10.3% 90% 80% 70% 53.1% 53.3% 53.0% 49.2% 60% 67.8% 66.5% 50% 40% 30% 20% % 38.0% 35.6% % % 37.2% 40.5% % 10% 23.2% % % 24.0% 0% 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Barang dan jasa Modal Pegawai Sumber: Database PEA Update Papua Dalam periode 2007-2012 secara kumulatif DMA memiliki tingkat belanja kesehatan tertinggi kemudian diikuti oleh DSA, dan DP. Namun demikian, jika belanja kumulatif itu dirinci berdasarkan klasifikasi ekonomi (belanja barang jasa/BBJ, belanja modal/BM, dan belanja pegawai/ BP), DMA tidak selalu memiliki tingkat belanja yang lebih besar dibandingkan DSA dan DP. Belanja barang dan jasa untuk urusan kesehatan selama periode 2007-2012 terbesar adalah di DSA (Rp. 70 M) kemudian diikuti DMA (Rp. 66 M) dan DP (Rp. 40 M). Adapun untuk belanja modal terbesar adalah untuk DMA (Rp. 88 M), kemudian DP (Rp. 75 M), dan DSA (Rp. 73 M). DMA memiliki tingkat belanja terbesar pada belanja pegawai yakni (Rp. 145 M), diikuti oleh DSA (Rp. 101 M), dan DP (Rp. 84 miliar). 82 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Gambar 3.9. Kumulatif Belanja Kesehatan 2007-2012 oper Kabupaten/Kota dan Rata-rata Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi: Perbandingan Anatar Wilayah 700 600 500 Rp Miliar 400 300 200 100 - Kepulauan Yapen Mamberamo Tengah Pegunungan Bintang Merauke Keerom Jayapura Nabire Biak Numfor Kota Jayapura Mamberamo Raya Supiori Sarmi Mimika Asmat Mappi Boven Digoel Waropen Jayawijaya Paniai Puncak Jaya Yahukimo Tolikara Dogiyai Lanny Jaya Puncak Intan Jaya Nduga Deiyai Yalimo g DMA DSA DP BBJ BM BP Rata-rata BBJ Rata-rata BM Rata-rata BP Sumber: Database PEA Update BBJ=Belanja Barang Jasa, BM=Belanja Modal, BP=Belanja Pegawai Tingkat belanja kumulatif kesehatan periode 2007-2012 berbanding terbalik dengan tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan pada tahun 2012. Scatter plot antara masing- masing belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai terhadap kondisi tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tingkat belanja pada masing-masing kelompok tersebut semakin kecil untuk daerah-daerah yang telah memiliki tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan yang tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan kemungkinan bahwa belanja kesehatan selama ini dialokasikan lebih besar di daerah yang memiliki keterbatasan fasilitas kesehatan. 83 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 3.10. Korelasi Belanja Kumulatif Kesehatan 2007-2012 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Terhadap Tingkat Ketersediaan Fasilitas Kesehatan, 2012 Belanja Barang Jasa vs Fasilitas Belanja Modal vs Fasilitas Kesehatan Kesehatan 250 160 140 200 120 Rp Miliar 100 Rp Miliar 150 80 100 60 40 50 20 - - - 20 40 60 - 20 40 60 Rasio Puskesmas per 100ribu penduduk Rasio Puskesmas per 100ribu penduduk Kab/Kota Kab/Kota Belanja Pegawai vs Fasilitas Kesehatan 350 300 250 Rp Miliar 200 150 100 50 - - 20 40 60 Rasio Puskesmas per 100ribu penduduk Kab/Kota Sumber: Hasil analisis staf Bank Dunia Tingkat belanja kumulatif kesehatan periode 2007-2012 berbanding lurus dengan tingkat ketersediaan tenaga kesehatan pada tahun 2012. Scatter plot antara masing-masing belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai terhadap kondisi tingkat ketersediaan tenaga kesehatan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tingkat belanja pada masing-masing kelompok tersebut semakin besar untuk daerah-daerah yang telah memiliki tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang tinggi, kecuali untuk belanja modal. Hal ini diduga berkaitan dengan kemungkinan bahwa serapa belanja pegawai dan barang dan jasa lebih besar bagi daerah-daerah yang memiliki tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai. Sedangkan untuk belanja modal, tentu saja kaitan yang lebih erat adalah dengan tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan sebagaimana telah ditunjukan oleh gambar sebelumnya. 84 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Gambar 3.11. Korelasi Belanja Kumulatif Kesehatan 2007-2012 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi terhadap Tingkat Ketersediaan Tenaga Kesehatan, 2012 Belanja Barang Jasa vs Tenaga Kesehatan Belanja Modal vs Tenaga Kesehatan 250 160 200 140 Rp Milyar Rp Milyar 120 150 100 100 80 60 50 40 20 - - 200 400 600 800 - - 200 400 600 800 Rasio Dokter Umum, Bidan, dan Perawat per 100 ribu penduduk (2012) Rasio Dokter Umum, Bidan, dan Perawat per 100 ribu penduduk (2012) Kab/Kota Kab/Kota Belanja Pegawai vs Tenaga Kesehatan 350 300 Rp Milyar 250 200 150 100 50 - - 200 400 600 800 Rasio Dokter Umum, Bidan, dan Perawat per 100 ribu penduduk (2012) Kab/Kota Sumber: Hasil analisis staf Bank Dunia Selain belanja APBD, Provinsi Papua juga mendapatkan alokasi belanja pemerintah pusat untuk sektor kesehatan yakni belanja dekonsentrasi (Dekon), tugas perbantuan (TP), dan anggaran yang disiapkan di Kantor Pusat (KP) untuk diklaim sesuai dengan tingkat pemanfaatan/realisasi belanja di Papua. Belanja Dekon di Papua tahun 2011 dan 2012 difokuskan pada program terkait kesehatan ibu dan anak dengan persentase masing-masing mencapai 29 dan 38 persen. Sementara itu belanja TP tidak dialokasikan untuk program terkait program kesehatan ibu dan anak pada tahun 2011 namun pada tahun berikutnya mencapai 56 persen. 85 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Tabel 3.9. Alokasi Belanja Kesehatan Pemerintah Pusat (Dekon/TP) di Provinsi Papua, 2011-2012 2011 2012 Dekonsentrasi (Rp Miliar) 19,5 36,4 Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak 28,6% 37,5% Program Pembinaan Upaya Kesehatan 6,8% 27,7% Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas 28,1% 20,1% Teknis Lainnya Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan 4,5% 6,0% Program Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya 19,9% 5,5% Manusia Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 12,2% 3,2% Tugas Perbantuan (Rp Miliar) 175,7 165,8 Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak - 56,0% Program Pembinaan Upaya Kesehatan 42,2% 44,0% Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 57,8% - Anggaran di Kantor Pusat (Rp Miliar) 143,4 69,5 Jamkesmas Pelayanan Kesehatan Rujukan 46,6% 49,8% Jamkesmas Pelayanan Kesehatan Dasar 17,9% 26,5% Jaminan Persalinan 8,9% 20,8% Gaji dan Insentif PTT 18,6% 2,9% Vaksin dan Obat Program 8,0 - Sumber: Profil Kesehatan Papua 2011, 2012, Kementerian Kesehatan RI Pada tingkat kabupaten/kota program terkait kesehatan ibu dan anak didistribusikan lebih banyak untuk DMA kemudian diikuti oleh DSA dan DP. Pada tahun 2012 maupun 2013 alokasi dana Dekon/TP memiliki pola yang tetap yakni lebih besar di DMA kemudian diikuti DSA dan DP. Hal ini ada kemungkinan karena jumlah ibu dan anak di DMA lebih banyak daripada di DSA dan DP. Namun demikian hal ini mungkin saja karena program terkait kesehatan ibu dan anak di daerah- daerah tersebut telah mendapatkan alokasi dari pos lain misalnya DAK (dana alokasi khusus). 86 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Gambar 3.12. Dekon/TP Program Gizi dan KIA yang diterima Kabupaten/Kota, 2012-2013 9.00 8.00 7.00 6.00 Rp Miliar 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Kepulauan Yapen Kota Jayapura Biak Numfor Mamberamo Tengah Mamberamo Raya Supiori Jayapura Nabire Merauke Sarmi Keerom Mimika Mappi Yalimo Asmat Boven Digoel Nduga Intan Jaya Tolikara Yahukimo Waropen Peg. Bintang Dogiyai Lanny Jaya Puncak Paniai Jayawijaya Puncak Jaya Deiyai DMA DSA DP 2012 2013 Rata-rata 2012 Rata-rata 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan RI Sedikit berbeda dengan pola distribusi Dekon/TP, untuk distribusi DAK, daerah sulit akses (DSA) merupakan penerima dengan nilai rata-rata terendah, namun perbedaan antar kelompok tidak signifikan. Rata-rata DAK kesehatan tahun 2012 yang diterima kabupaten di DMA adalah Rp 8,9 miliar, di DSA Rp 6,7 miliar dan di DP Rp 7,6 miliar. Gambar 3.13. DAK Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2012 18 16 14 12 Rp Miliar 10 8.87 8 6.71 6 4 2 0 Supiori Kota Jayapura Keerom Merauke Nabire Biak Numfor Kepulauan Yapen Mamberamo Tengah Mamberamo Raya Sarmi Jayapura Asmat Boven Digoel Yalimo Mimika Mappi Deiyai Nduga Jayawijaya Waropen Lanny Jaya Intan Jaya Puncak Paniai Dogiyai Yahukimo Tolikara Puncak Jaya Peg. Bintang pp DMA DSA DP DAK 2012 Rata-rata Sumber: DJPK 87 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Selain belanja kesehatan publik yang berasal dari pemerintah pusat mapun daerah kabupaten/kota dan provinsi, masyarakat juga mengeluarkan biaya untuk mengakses sejumlah layanan kesehatan yang biasa diukur dengan pengeluaran tahunan per kapita untuk kesehatan. Pada tahun 2010, proporsi pengeluaran rata-rata per tahun untuk biaya kesehatan terhadap total pengeluaran rumah tangga masih sangat kecil namun tetap konsisten menunjukkan bahwa DMA mengeluarkan lebih banyak daripada daerah lainnya. Rumah tangga di DMA rata-rata mengeluarkan Rp 179 ribu setiap tahunnya untuk biaya kesehatan sementara di DSA Rp 79 ribu dan di DP Rp 48 ribu. Variasi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita ini menunjukkan tingkat akses rumah tangga terhadap berbagai layanan kesehatan di daerahnya masing-masing. Perbedaan proporsi ini memperlihatkan kemungkinan bahwa pengeluaran kesehatan di Papua menjadi prioritas rendah untuk sebagian masyarakat atau akses kepada kesehatan yang memerlukan biaya masih terbatas untuk di daerah DSA dan DP, dan relatif lebih baik di DMA meskipun dengan harga yang lebih tinggi. Gambar 3.14. Pengeluaran Tahunan Rumah Tangga Per Kapita untuk Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2012 600,000 500,000 400,000 300,000 178,839 200,000 78,999 47,981 100,000 0 Kota Jayapura Boven Digoel Mamberamo Raya Mamberamo Tengah Pegunungan Bintang Jayapura Biak Numfor Keerom Nabire Merauke Kep. Yapen Supiori Sarmi Mimika Waropen Mappi Asmat Paniai Intan Jaya Dogiyai Deiyai Yahukimo Jayawijaya Yalimo Lanny Jaya Puncak Puncak Jaya Nduga Tolikara DMA DSA DP Pengeluaran Kesehatan Per Kapita Tahunan (Rp) Rata-rata Kab/Kota Sumber: Susenas 2010 Salah satu tantangan dalam analisis keuangan daerah adalah bagaimana cara menghitung tingkat efisiensi suatu belanja daerah, yang dapat diukur melalui input maupun output di masing-masing sektor. Di sektor kesehatan ini, perhitungan mengenai tingkat efisiensi belanja daerah Papua dihitung menggunakan jarak antara kombinasi input-output sektor kesehatan dari masing-masing kabupaten/kota di Indonesia terhadap garis frontier (yaitu titik-titik nilai output maksimum yang bisa dicapai dengan nilai input tertentu). Metode yang digunakan adalah teknik Data Envelopment Analysis (DEA), dengan menggunakan pendekatan non-parametrik berdasarkan konsep linear programming. Variabel-variabel yang digunakan untuk membangun indeks input untuk kesehatan adalah belanja rutin sektor kesehatan per kapita, belanja modal sektor kesehatan perkapita, jumlah rumah sakit per 10,000 penduduk, jumlah dokter per 10,000 penduduk. Semua variabel input 88 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang diambil untuk tahun 2008. Sedangkan variabel yang digunakan untuk membangun indeks output adalah tingkat cakupan imunisasi, tingkat kesakitan serta angka harapan hidup pada tahun 2009. Data belanja diperoleh dari data Sistem Informasi Keuangan Daerah – Kementerian Keuangan; data jumlah fasilitas21 diambil dari sensus Potensi Desa (PODES) dari BPS, sedangkan data indikator output diolah dari SUSENAS. Seluruh variabel input dan output tersebut distandardisasi dan digabungkan menjadi indeks. Tabel 3.10. Statistik Deskriptif: Variabel Input dan Output untuk DEA Sektor Kesehatan Variabel Jenis Obs Min Max Mean Std. Dev. Belanja Modal Sektor Kesehatan Input 365 3.227.012 204.836 317.754 Per Kapita (Rp) - Belanja Rutin Sektor Kesehatan Input 365 32.531 2.485.759 228.781 223.464 Per Kapita (Rp) Jumlah Rumah Sakit per 10.000 Input 365 - 1.0 0.1 0.1 penduduk Jumlah Dokter per 10.000 Input 365 - 12.4 1.8 1.8 penduduk Cakupan Imunisasi (%) Output 365 37,3 90,8 77,2 6,8 Angka Kesakitan (%) Output 365 9,2 62,0 34,1 8,5 Angka Harapan Hidup (tahun) Output 365 60.0 75.3 68.6 2.7 Sumber: Hasil analisis staf Bank Dunia Hasil analisis DEA menunjukan bahwa posisi relatif efisiensi teknis kabupaten/kota di Papua cukup bervariasi, secara umum memiliki indeks input yang lebih besar daripada kabupaten/kota lainnya, dan memilki indeks output yang berada di posisi menengah. Indeks input sektor kesehatan yang digunakan kabupaten/kota di Papua relatif lebih besar daripada sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia. Sementara itu, indeks outputnya berada di kisaran yang relatif sama dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota. Namun demikian terdapat dua kabupaten yang berada di posisi outlier yakni Supiori dan Boven Digoel. Supiori memiliki indeks input yang maksimum atau tertinggi dibanding seluruh kabupaten/kota sementara Boven Digoel memiliki indeks output yang terendah dibandingkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Secara umum, kabupaten/kota di Papua dapat meningkatkan efisiensi teknis dengan cara meningkatkan keluaran pada tingkat masukan yang ada sekarang atau menurunkan masukan dengan tetap mempertahankan keluaran yang ada atau kombinasi keduanya. 21 Data puskesmas tidak tersedia dalam sensus PODES 2008. 89 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Gambar 3.15. Efisiensi Teknis Belanja Sektor Kesehatan: Posisi Relatif Kabupaten/Kota di Provinsi Papua terhadap Kabupaten/Kota lain di Indonesia 1.2000 1.0000 0.8000 Keerom 0.6000 Supiori Merauke Tolikara 0.4000 Sarmi Paniai 0.2000 0.0000 Boven B g e Digoel 0 0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 0.2000 -0.2000 Sumber: Hasil analisis staf Bank Dunia 3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Surplus demografi yang akan dialami Provinsi Papua dalam waktu 15-16 tahun yang akan datang menuntut adanya upaya serius untuk memastikan bahwa generasi pada saat itu adalah generasi yang sehat. Upaya tersebut perlu dimulai dengan cara memberikan perhatian yang serius terhadap kualitas kesehatan ibu hamil, bayi, dan balita, karena bayi dan balita yang lahir pada periode 2013-2018 ini akan menjadi generasi tulang punggung pada periode 15-16 tahun yang akan datang. Upaya meningkatkan kualitas layanan terkait kesehatan ibu, bayi, dan balita perlu dimulai dengan mengetahui penyebab tingginya AKI, AKB, dan AKABA yang dialami Papua selama ini. Perlu upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu hamil dengan cara memperbaiki perencanaan kehamilan, penanganan selama hamil, dan pendampingan proses melahirkan oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga akan menurunkan risiko tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Dari pengamatan terhadap indikator-indikator yang disampaikan dalam laporan ini, tingginya jumlah kematian ibu menjelang dan saat melahirkan antara lain bisa dijelaskan dari buruknya perencanaan kehamilan, buruknya pemeriksaan selama periode kehamilan, dan buruknya penangan proses persalinan. Perencanaan kehamilan yang yang buruk diindikasikan dengan rendahnya angka pengetahuan dan pengunaan alat kontrasepsi baik pria maupun wanita serta tingginya persentase ibu hamil berusia muda (15-19 tahun). Kondisi ini kemudian diperparah dengan rendahnya persentase ibu hamil yang secara intensif memeriksakan kehamilannya pada tiap trimester. Akhirnya, resiko terjadinya kematian baik pada ibu maupun bayi semakin tinggi karena ada kesenjangan yang tinggi antara tingkat kehamilan komplikasi dengan proses melahirkan melalui C-Section. Lebih jauh lagi, upaya penanganan persalinan yang baik juga sulit dilakukan karena kenyataannya masih cukup banyak proses persalinan yang tidak berlangsung di fasilitas kesehatan dan atau yang tanpa didampingi oleh tenaga kesehatan. 90 Bab 3 Meningkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak Demi Masa Depan Papua yang Gemilang Perlu upaya untuk memastikan bahwa rangkaian pelayanan dasar bagi bayi dan balita dapat diterima oleh semua bayi dan balita di Papua. Kondisi kesehatan bayi dan balita di Papua juga tidak kalah mengkhawatirkan dengan kondisi ibu melahirkan sebagaimana ditandai dengan meningkatnya AKB dan AKABA selama periode 2007 ke 2012 menurut survey SDKI. Tingginya AKB dan AKABA berkaitan erat dengan rendahnya cakupan pelayanan kesehatan yang dikhususkan bagi bayi dan balita. Evidence-based health practice menunjukan bahwa risiko kematian bayi dapat dikurangi jika bayi diperiksakan kondisinya dalam jangka waktu 2 kali 24 jam usia awalnya atau yang dikenal dengan cakupan KN1. Namun patut disayangkan bahwa di Papua masih lebih dari 80 persen bayi baru lahir tidak mendapatkan KN1. Adapun untuk balita, ditemukan fakta sebagian balita tidak tamat memperoleh vaksinasi dasar yang lengkap. Bahkan masih terdapat hampir 40 persen balita yang sama sekali tidak mendapatkan imunisasi. Kondisi-kondisi inilah yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas kesehatan bayi dan balita di Papua. Dari sisi supply fasilitas dan tenaga kesehatan, perlu dipastikan bahwa kecukupannya tidak hanya dari sisi jumlah melainkan juga dari sisi distribusi terutama dengan memperhatikan karakteristik DMA, DSA, dan DP. Rendahnya tingkat aksesibilitas terhadap layanan kesehatan bagi ibu hamil, bayi, dan balita di Papua juga merupakan akibat dari rendahnya tingkat supply fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Papua. Secara jumlah, memang supply fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Papua cukup berimbang jika dibandingkan dengan provinsi lain maupun rata-rata nasional. Namun demikian persoalannya adalah distribusi yang tidak merata di dalam wilayah Papua sendiri. Secara umum terdapat pola bahwa DMA memiliki tingkat ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih tinggi daripada DSA dan DP. Dengan demikian, Pemerintah Pusat dan khususnya Pemerintah Provinsi perlu untuk menitikberatkan pemenuhan supply dan distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan di DSA dan DP. Pemerintah perlu memperhatikan distribusi dan alokasi belanja sector kesehatan yang mempertimbangkan pula kondisi aksesibilitas geografis berdasarkan DMA, DSA, dan DP. Tingginya kebutuhan daerah sulit akses dan daerah pegungunan terhadap tingkat supply fasilitas dan tenaga kesehatan ternyata tidak sebanding dengan pola distribusi belanja kesehatan baik yang bersumber dari APBD maupun pemerintah pusat. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara nilai dan porsi belanja kesehatan per kapita antara DMA, DSA, dan DP, padahal jelas tingkat aksesibilitas layanan kesehatan di berbagai daerah tersebut berbeda. Oleh karena itu, pada proses perencanaan dan penganggaran tahun-tahun mendatang, perbedaan kondisi geografis ini perlu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat dan Provinsi dalam menentukan alokasi anggaran. Perlu peningkatkan program-program promotif dalam belanja program sektor kesehatan. Patut diapresiasi bahwa upaya peningkatan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan bagi ibu hamil, bayi, dan balita di Papua memang telah menjadi perhatian pemerintah daerah maupun pusat sebagaimana ditunjukkan oleh jenis program kesehatan yang dijalankan. Namun demikian, program promotif masih perlu ditingkatkan lagi selain tetap mempertahankan program lain yang telah ada. Program promosi kesehatan ibu dan anak perlu didasarkan pada pengetahuan budaya setempat dan pemahaman terhadap permasalahan dari sudut pandang masyarakat. Pemahaman terhadap budaya setempat bisa berupa penggunaan bahasa atau tata cara lokal, sementara sudut pandang masyarakat berarti mencari tahu apa saja alasan, di luar biaya atau jarak tempuh, para ibu tidak memeriksakan kehamilannya atau anak-anaknya pasca persalinan. 91 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih kewenangan atau tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota dalam pelayanan kesehatan. Tumpang tindih program atau kegiatan menyebabkan pelayanan yang diberikan menjadi tidak efektif dan tidak dapat menjangkau kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Tanggung jawab terbesar pelayanan kesehatan berada pada pemerintah kabupaten/kota, sehingga sangat layak apabila upaya-upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan dikoordinasikan oleh pemerintah kabupaten/ kota yang bersangkutan. Program yang ada dapat terus dipertahankan dengan disertai peningkatan skala belanja pada program tersebut dengan tetap memperhatikan kualitas pelaksanaannya. Tidak memprioritaskan pada pembangunan fasilitas kesehatan baru tetapi pada distribusi tenaga kesehatan dan pemanfaatan tenaga kesehatan informal. Melihat luas wilayah dan keterpencilan banyak kampung di Papua, maka sangat wajar apabila biaya pelayanan kesehatan menjadi amat mahal, baik untuk pemerintah yang memberikan pelayanan maupun bagi masyarakat yang akan mengaksesnya. Dengan anggaran yang terbatas, maka pembangunan fasilitas kesehatan baru di berbagai pelosok menjadi amat mahal. Alternatif yang bisa diambil adalah redistribusi tenaga kesehatan dari kota-kota besar ke lokasi-lokasi di kabupaten/kota yang masih kekurangan22. Langkah lainnya adalah melatih dan memberdayakan orang-orang lokal sebagai tenaga kesehatan untuk menjalankan fungsi-fungsi dasar seperti pencatatan ibu hamil dan bayi dan balita, pelaporan kondisi kesehatan ibu dan anak secara umum, antar jemput ibu dan anak dari dan ke fasilitas kesehatan terdekat, atau memberikan informasi-informasi terkait pemeriksaan berkala, asupan gizi dan imunisasi. Tenaga lokal ini akan memperkuat pelayanan Posyandu atau pelayanan kesehatan formal lainnya yang sudah dijalankan di lokasi tersebut. Menjalin kemitraan secara aktif dengan organisasi masyarakat sipil dan gereja dalam memberikan pelayanan kesehatan. Organisasi masyarakat sipil dan gereja memiliki data, informasi, daya jangkau serta kedekatan dengan masyarakat, yang seringkali tidak dimiliki oleh pemerintah daerah. Menjalin kemitraan akan memudahkan pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi kesehatan ibu dan anak, mencari dan melatih tenaga-tenaga kesehatan informal dan memperoleh data atau informasi baru untuk memperkaya basis data yang sudah dimiliki. 22 Cara ini memiliki potensi ketidakberhasilan karena orang-orang ‘pendatang’, yaitu yang bukan berasal dari suku setempat cenderung tidak dihormati oleh suku setempat. Redistribusi tenaga kesehatan sangat mungkin menempatkan orang-orang yang berasal dari satu suku ke wilayah suku lainnya, sehingga menimbulkan berbagai potensi dampak negatif. Oleh karenanya redistribusi tenaga kesehatan ini perlu bekerjasama dengan orang-orang lokal [Ini perlu untuk menjadi jembatan dengan kalimat berikutnya dalam teks]. 92 Daftar Pustaka 93 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 Lampiran Lampiran I.1. Status Pendidikan dan Pendidikan Tertinggi Berdasarkan Kelompok Usia Persentase Penduduk Tidak/ Persentase Penduduk Melek Huruf Belum Pernah Sekolah 80.0 100.0 Papua 70.0 Papua Indonesia Indonesia 90.0 60.0 80.0 50.0 Persen Persen 40.0 70.0 30.0 60.0 20.0 10.0 50.0 0.0 40.0 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 19-24 16-18 13-15 7-12 5-6 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 Usia Usia Persentase Tamat SD/MI/Sederajat Persentase Penduduk Tamat SMP/ MTS/Sederajat 70 Papua Papua 50 60 Indonesia Indonesia 50 40 Persen Persen 40 30 30 20 20 10 10 0 0 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 19-24 16-18 13-15 7-12 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 19-24 16-18 13-15 Usia Usia 94 Persen 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 Papua 55-59 Usia Indonesia 50-54 45-49 SMA/SMK/Sederajat 40-44 35-39 Persentasei Penduduk Tamat 30-34 25-29 19-24 16-18 Persen 0 2 4 6 8 10 12 95+ 90-94 85-89 80-84 75-79 70-74 65-69 60-64 Papua Usia 55-59 Indonesia 50-54 45-49 Tinggi (Diploma /S1/S2/S3) 40-44 35-39 30-34 Persentase Penduduk Tamat Pendidikan 25-29 19-24 95 Analisis Keuangan Publik Papua 2014 96