45621 Koordinator: Laporan Penelitian Hastuti Penasihat: Sudarno Sumarto Asep Suryahadi Peneliti: Sulton Mawardi Bambang Sulaksono Akhmadi Silvia Devina Rima Prama Artha Ratna Dewi Efektivitas Pelaksanaan Raskin Desember 2007 Temuan, pandangan dan interpretasi dalam laporan ini digali oleh masing-masing individu dan tidak berhubungan atau mewakili Lembaga Penelitian SMERU maupun lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU. Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi kami di nomor telepon: 62-21-31936336; Faks: 62-21- 31930850; E-mail: smeru@smeru.or.id; Web: www.smeru.or.id Efektivitas Pelaksanaan Raskin Lembaga Penelitian SMERU Desember, 2007 i Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Tim Peneliti Koordinator: Hastuti Penasihat: Sudarno Sumarto Asep Suryahadi Peneliti: Sulton Mawardi Bambang Sulaksono Akhmadi Silvia Devina Rima Prama Artha Penelaah Dokumen: Ratna Dewi Peneliti Lokal: Joni Saputra Heri Rubianto Laode Udin ii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 UCAPAN TERIMA KASIH Laporan kajian ini dapat diselesaikan atas dukungan dan kerja sama dengan berbagai pihak. Penghargaan kami sampaikan kepada Bappenas, terutama Bapak Pungky Sumadi dan Ibu Vivi Yulaswati atas dukungan akses terhadap narasumber di tingkat pusat. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Decentralization Support Facility (DSF), terutama Ibu Susan Wong dan Ibu Lily Hoo yang telah memfasilitasi pelaksanaan kajian ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Bulog beserta jajarannya yang telah memberikan informasi dan data yang berharga. Secara khusus kami menghargai dukungan dan bantuan informasi yang diberikan oleh masyarakat, pemerintah daerah tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota serta provinsi yang menjadi sampel kajian ini. Penghargaan dan terima kasih kami sampaikan juga kepada lembaga pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, dan media massa yang telah memberikan informasi yang berharga. iii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR v DAFTAR SINGKATAN vi RANGKUMAN EKSEKUTIF vii I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan Kajian 2 1.3 Metodologi 2 II. TEMUAN PENELITIAN 5 2.1 Pelaksanaan Program 5 2.1.1 Sosialisasi dan Transparansi Informasi 5 2.1.2 Pagu Alokasi dan Rumah Tangga Sasaran 9 2.1.3 Penentuan Sasaran Penerima 12 2.1.4 Frekuensi Pendistribusian dan Penerimaan Beras 18 2.1.5 Jumlah dan Kualitas Beras yang Diterima Penerima Manfaat 21 2.1.6 Harga Beras dan Sistem Pembayaran 24 2.1.7 Peningkatan Kapasitas 26 2.2 Struktur Pendanaan 27 2.2.1 Jumlah Dana 27 2.2.2 Penggunaan Dana 29 2.2.3 Efektivitas dan Efisiensi Penggunaan Dana 31 2.3 Pemantauan, Evaluasi, dan Penanganan Pengaduan 33 2.3.1 Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi 33 2.3.2 Audit Pelaksanaan Program 35 2.3.3 Sistem Pengaduan dan Penanganannya 36 2.4 Pencapaian Hasil, Tingkat Kepuasan, dan Manfaat Program 37 2.4.1 Pencapaian Hasil 38 2.4.2 Tingkat Kepuasan terhadap Program 39 2.4.3 Manfaat Program bagi Rumah Tangga Penerima 40 III. PEMBELAJARAN DARI PELAKSANAAN RASKIN 44 3.1 Pembelajaran Positif 44 3.2 Pembelajaran Negatif 44 IV. REKOMENDASI 45 DAFTAR DOKUMEN YANG DITINJAU 47 iv Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis dan Jumlah Dokumen 2 Tabel 2. Kriteria Pemilihan Provinsi Sampel 3 Tabel 3. Wilayah Studi Raskin 3 Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga dan Pagu Alokasi Raskin Nasional 10 Tabel 5. Pagu Alokasi Raskin di Wilayah Studi, 2005­2007 11 Tabel 6. Target dan Realisasi Penerima Raskin 15 Tabel 7. Distribusi Penerima Raskin Berdasarkan Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita 16 Tabel 8. Persentase Penerima dan Nonpenerima Raskin Menurut Status Kemiskinan Rumah Tangga 17 Tabel 9. Korelasi Penerima Raskin dengan Rumah Tangga Berstatus Miskin 17 Tabel 10. Frekuensi Distribusi Raskin Per Tahun 18 Tabel 11. Rata-rata Frekuensi Penerimaan Raskin Per Rumah Tangga Penerima Tahun 2003 19 Tabel 12. Pagu dan Realisasi Alokasi Raskin 20 Tabel 13. Jumlah Jatah dan Realisasi Raskin Per Rumah Tangga Per Bulan 21 Tabel 14. Realisasi Jumlah Beras Raskin Per Rumah Tangga 22 Tabel 15. Harga Raskin yang Dibayar Penerima Manfaat Menurut Berbagai Dokumen 24 Tabel 16. Harga Raskin di Tingkat Rumah Tangga Penerima 24 Tabel 17. Anggaran Raskin dan Realisasi Penggunaannya 27 Tabel 18. Penggunaan Biaya Operasional Raskin di Subdivre Bojonegoro Jawa Timur pada Juli 2007 29 Tabel 19. Selisih Harga Pengadaan dan Harga Penjualan Beras Bulog 31 Tabel 20. Biaya Operasional untuk Honor Pejabat/Institusi Lokal 32 Tabel 21. Tingkat Manfaat Raskin bagi Penerima Manfaat 41 Tabel 22. Jumlah Transfer Pendapatan Raskin per Penerima Manfaat 42 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Proporsi Rumah Tangga Penerima Raskin di Indonesia dan Provinsi Sampel 9 Gambar 2. Tingkat Kepuasan Penerima Manfaat terhadap Pelaksanaan Raskin 39 v Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 DAFTAR SINGKATAN APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Bawasda : Badan Pengawasan Daerah BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BLT : Bantuan Langsung Tunai BPK : Badan Pemeriksa Keuangan BPKP : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah BPS : Badan Pusat Statistik Bulog : Badan Urusan Logistik Divre : Divisi Regional (Bulog tingkat provinasi) FEUI : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia FGD : Focus Group Discussion Pra-KS : Keluarga Pra Sejahtera PSO : Public Service Obligation JPS : Jaring Pengaman Sosial KS I : Keluarga Sejahtera I LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat Menko Kesra : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Mudes : Musyawarah Desa OPK : Operasi Pasar Khusus Pedum : Pedoman Umum Pemda : Pemerintah Daerah PSE : Pendataan Sosial Ekonomi rumah tangga Raskin : Beras untuk Rumah Tangga Miskin RT : Rukun Tetangga RTM : Rumah Tangga Miskin RW : Rukun Warga SSN-Al : Social Safety Net Adjustment Loan Subdivre : Sub Divisi Regional (Bulog tingkat kabupaten/kota) Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional UPM : Unit Pengaduan Masyarakat WFP : World Food Programme vi Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 RANGKUMAN EKSEKUTIF Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan membantu rumah tangga miskin dalam memenuhi kecukupan kebutuhan pangan dan mengurangi beban finansial melalui penyediaan beras bersubsidi. Program ini merupakan kelanjutan program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998. Pada 2007, Raskin menargetkan penyediaan 1,9 juta ton beras bagi 15,8 juta rumah tangga miskin dengan total biaya Rp 6,28 triliun. Setiap rumah tangga menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga Rp1.000 per kilogram di titik distribusi. Penyaluran beras hingga titik distribusi menjadi tanggung jawab Bulog, sementara dari titik distribusi kepada rumah tangga sasaran menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Program Raskin telah mengalami beberapa kali penyesuaian, namun efektivitasnya masih diperdebatkan. Oleh karena itu, Bappenas meminta Lembaga Penelitian SMERU untuk mengkaji efektivitas Program Raskin dan memperoleh pelajaran dalam rangka perbaikan program. Kajian ini menggunakan pendekatan tinjauan dokumen dan analisis data sekunder (meta-evaluasi) yang didukung dengan wawancara informan kunci di tingkat pusat; dan studi lapangan. Berikut ini adalah temuan utama hasil kajian. Dari sisi penyaluran hingga titik distribusi, Bulog telah melaksanakan tugasnya dengan relatif baik dan sesuai dengan pedoman program. Namun, penilaian keberhasilan program tidak dapat dilakukan secara parsial karena Raskin merupakan sebuah kesatuan program untuk menyampaikan beras bersubsidi kepada rumah tangga miskin. Permasalahan pelaksanaan Raskin banyak terjadi dari titik distribusi hingga rumah tangga penerima. Menurut Pedoman Umum (Pedum) Raskin, keberhasilan Raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Secara umum, hasil kajian terhadap pelaksanaan Program Raskin menunjukkan bahwa efektivitas program masih relatif lemah. Hal ini ditandai oleh sosialisasi dan transparansi yang kurang; target penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan beras yang kurang tepat; biaya pengelolaan program yang tinggi; pelaksanaan monitoring yang belum optimal; dan mekanisme pengaduan yang kurang berfungsi. A. Sosialisasi dan Transparansi Informasi Sosialisasi program merupakan salah satu kunci keberhasilan sebuah program, namun kegiatan penting ini tidak diatur secara rinci dalam Pedum Raskin. Hal ini menjadi salah satu penyebab bervariasinya kegiatan sosialisasi tingkat aparat antarwilayah dan lemahnya sosialisasi kepada masyarakat. 1. Tinjauan dokumen menyimpulkan bahwa sosialisasi Raskin kepada pelaksana di jajaran pemda mengandalkan pendekatan struktural birokratis dan umumnya tidak dilakukan secara khusus melainkan dalam bentuk rapat koordinasi. Hal tersebut sejalan dengan temuan lapangan bahwa sosialisasi kepada aparat dilakukan secara berjenjang dan seringkali digabungkan dengan monitoring dan evaluasi (monev). Sosialisasi di tingkat provinsi dilakukan dua kali setahun, sedangkan di tingkat kabupaten/kota bergantung pada masing-masing pemda. vii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 2. Tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan menyimpulkan bahwa sosialisasi kepada masyarakat yang mengandalkan penyebaran informasi informal dari aparat desa/kelurahan dan petugas pembagi merupakan salah satu titik lemah program. Umumnya masyarakat dan penerima manfaat tidak memperoleh informasi program secara menyeluruh. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengetahui informasi umum, seperti arti Raskin, jatah beras yang seharusnya diterima, harga beras di titik distribusi, dan frekuensi penerimaan per tahun. Namun demikian, di wilayah yang dikunjungi, umumnya masyarakat sudah mengetahui esensi program sebagai bantuan beras dari pemerintah untuk masyarakat miskin. 3. Keterbatasan sosialisasi berpengaruh terhadap transparansi program kepada masyarakat, berpotensi menimbulkan korupsi, ketidaktepatan sasaran, dan kesalahan persepsi aparat pemda bahwa Raskin adalah program Pemerintah Pusat sehingga mempengaruhi keseriusan mereka dalam mendukung pelaksanaan program. 4. Tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan menunjukkan bahwa transparansi program masih lemah, baik tentang ketersediaan informasi umum program, daftar penerima manfaat, maupun tentang penentuan harga. Di semua wilayah studi tidak ditemukan adanya informasi tentang Program Raskin yang ditempel di tempat umum atau dapat diakses oleh masyarakat luas. Informasi penerima Raskin yang dapat diakses oleh masyarakat hanya ditemui di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. B. Sasaran, Penargetan, Jumlah dan Harga Beras Secara umum pendistribusian Raskin masih mengalami beberapa masalah, seperti pagu RTM sasaran lebih rendah daripada jumlah total RTM, penargetan kurang akurat, jumlah beras dan frekuensi penerimaan oleh penerima manfaat sebagian besar kurang dari ketentuan, dan harga yang dibayar penerima manfaat tidak selalu tepat. 1. Hingga 2005, sasaran Program Raskin adalah keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera I (KS-I) alasan ekonomi berdasarkan data BKKBN. Sejak 2006, sasaran program berubah menjadi rumah tangga miskin (RTM) hasil pendataan BPS melalui PSE-05 (Pendataan Sosial Ekonomi rumah tangga 2005). Program Raskin beroperasi di semua wilayah tanpa membedakan kondisi kemiskinan wilayah karena RTM tersebar di semua wilayah dari provinsi sampai desa/kelurahan. Namun demikian, tinjauan dokumen menunjukkan bahwa pada beberapa kasus terdapat kecamatan atau desa/kelurahan yang tidak menerima Raskin selama jangka waktu tertentu karena adanya tunggakan, penyelewengan pelaksanaan, atau permintaan pihak kecamatan. 2. Jumlah RTM sasaran Program Raskin dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Meskipun demikian, jumlah sasaran RTM masih lebih rendah dari total RTM yang ada. Sebagai contoh, pada 2007 jumlah RTM mencapai 19,1 juta, namun Pemerintah Pusat hanya menganggarkan untuk 15,8 juta RTM sehingga terdapat 3,3 juta RTM yang tidak memperoleh jatah Raskin. Berdasarkan hasil tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan, kurangnya pagu berimplikasi pada viii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 munculnya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan program seperti dalam penargetan, ketepatan jumlah beras per penerima manfaat, dan frekuensi distribusi. Kurangnya pagu ditambah dengan kekurangakuratan data BPS, yakni masih terdapat rumah tangga miskin yang tidak terdaftar dan sebaliknya masih ada rumah tangga tidak miskin yang terdaftar, dijadikan alasan untuk melakukan penyimpangan mekanisme pembagian dan penentuan sasaran. 3. Pedum Raskin 2001­2005 menyatakan bahwa penentuan rumah tangga sasaran dilakukan melalui mudes dengan mengacu pada data KPS dan KS-1 BKKBN. Namun pada Pedum Raskin 2006­2007, tidak ada ketentuan bahwa mudes harus mengacu pada data RTM BPS. Apalagi dalam bab "Penetapan Penerima Manfaat" tidak disebutkan bahwa penerima manfaat harus rumah tangga miskin. Tidak adanya ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar pembenaran petugas pelaksana untuk membagikan Raskin tidak hanya kepada RTM atau bahkan dibagi rata, asal keputusannya diambil melalui mudes. 4. Berdasarkan tinjauan dokumen, mudes tidak dilakukan di semua desa/kelurahan. Kalaupun ada, pelaksanaannya belum optimal, kurang melibatkan masyarakat, dan umumnya tidak bertujuan untuk mempertajam sasaran. Kondisi tersebut sejalan dengan temuan lapangan yang menunjukkan bahwa mudes hanya dilakukan di desa sampel di Jatim dan itu pun dimaksudkan untuk menyepakati pembagian Raskin secara merata kepada seluruh rumah tangga. 5. Menurut tinjauan dokumen, penargetan merupakan poin utama kelemahan Raskin karena tidak seluruh rumah tangga miskin menerima Raskin dan banyak rumah tangga tidak miskin yang menerimanya. Hasil analisis data Susenas pun menyimpulkan kondisi yang sama, yakni: a. Raskin diterima oleh semua kelompok rumah tangga berdasarkan tingkat kesejahteraan (kuintil pengeluaran rumah tangga per kapita). Rumah tangga dari kuintil 1 dan 2 yang merupakan kelompok paling tidak sejahtera hanya mencapai 53% dari total penerima; dengan kata lain, terdapat kebocoran sebesar 47%. Kondisi yang sama terjadi di tiga provinsi sampel penelitian. b. Selama 2005­2006, proporsi rumah tangga miskin yang terjangkau Program Raskin meningkat 19,8 titik persen dari 62,9% menjadi 82,7%. Akan tetapi, peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga miskin tersebut juga dibarengi dengan peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga tidak miskin sebesar 8 titik persen dari 23,8% menjadi 31,8%. c. Korelasi antara penerima Raskin dan status rumah tangga miskin antara 2005 dan 2006 mengalami peningkatan, namun nilainya tetap rendah, yakni dari 40% menjadi 48%. 6. Hasil temuan lapangan menunjukkan ketepatan target yang bervariasi. Di Sumbar penargetan relatif tepat. Di wilayah ini, penetapan target menggunakan data BPS dengan melakukan sedikit penyesuaian karena data dinilai kurang akurat. Di Jatim penargetan kurang tepat karena beras dibagikan secara merata kepada semua rumah tangga sehingga baik rumah tangga miskin maupun tidak miskin dapat menjadi penerima. Sementara di Sultra, penargetan ada yang tidak tepat karena ix Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 dibagi rata atau digilir, dan ada yang tepat karena pagunya hanya dibagikan kepada rumah tangga miskin saja. 7. Alokasi beras untuk setiap rumah tangga mengalami beberapa kali perubahan. Tinjauan dokumen menunjukkan bahwa ketika alokasi beras ditetapkan 20 kg, jumlah beras yang diterima oleh rumah tangga penerima bervariasi dan umumnya kurang dari alokasi yang seharusnya, bahkan ada yang hanya 2 kg. Hasil analisis data Susenas menunjukkan bahwa Raskin dibagikan kepada penerima manfaat yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah sasaran, yakni mencapai 2­3 kali lipat, sehingga jumlah beras yang diterima per rumah tangga lebih rendah dari ketentuan. Hasil kunjungan lapangan menunjukkan bahwa ketika alokasi beras ditetapkan 10 kg (tahun 2007), penerima manfaat tidak selalu memperoleh beras sesuai ketentuan dan terdapat perbedaan antarwilayah. Di Sumbar, umumnya penerima manfaat memperoleh 10 kg, di Jatim hanya 4­7 kg, sedangkan di Sultra 4­10 kg. 8. Penerima manfaat seharusnya memperoleh Raskin setiap bulan kecuali pada 2005 karena ditetapkan 10 kali selama setahun. Hasil tinjauan berbagai dokumen menyatakan bahwa penerima manfaat tidak selalu menerima Raskin setiap bulan, bahkan ada yang hanya satu kali setahun. Hasil analisis data Susenas menunjukkan bahwa frekuensi penerimaan Raskin oleh rumah tangga selama 2003 rata-rata hanya lima kali dalam setahun. Sementara itu hasil kunjungan lapangan menunjukkan frekuensi penerimaan yang bervariasi. Di Sumbar dan Jatim, sebagian besar penerima memperoleh setiap bulan, sementara di Sultra berkisar antara 1­4 bulan sekali. 9. Harga yang dibayar oleh penerima manfaat semestinya Rp1.000 per kg di titik distribusi. Tinjauan dokumen menyatakan penerima manfaat membayar harga yang bervariasi dengan kisaran antara Rp1.000 dan Rp2.900 per kg. Hasil analisis data Susenas menunjukkan bahwa harga rata-rata yang dibayar penerima manfaat melebihi ketentuan dan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, yakni pada 2004 Rp1.160 per kg, pada 2005 Rp1.225 per kg, dan pada 2006 Rp1.253 per kg. Temuan lapangan menunjukkan harga yang bervariasi antardaerah karena adanya perbedaan biaya transportasi dari titik distribusi dan kebijakan masing-masing pelaksana lokal. Di Sumbar, harga Raskin per kg adalah Rp1.200­Rp1.300, di Jatim Rp1.000, dan di Sultra Rp1.000­Rp1.440. C. Pendanaan Sejak 2002, pendanaan Raskin berasal dari APBN atau rupiah murni. Selain itu, sebagian pemda kabupaten/kota telah mengalokasikan APBD untuk menunjang pelaksanaan program dengan jumlah anggaran yang bervariasi. Sedangkan penerima manfaat berkontribusi melalui pembelian Raskin di atas harga yang ditentukan. Secara umum, penggunaan dana Raskin baik yang berasal dari APBN, APBD, maupun dari masyarakat cenderung kurang efektif dan kurang efisien. 1. Sejak awal pelaksanaan hingga sekarang, sumber pendanaan Raskin telah mengalami perubahan. Selama delapan bulan pertama, seluruh dana program berasal dari anggaran rutin APBN atau rupiah murni. Setelah itu hingga 2001, x Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 program ini menjadi bagian dari program jaring pengaman sosial yang dananya berasal dari pinjaman Bank Dunia dalam kerangka Social Safety Net Adjustment Loan (SSN-AL). Sejak 2002 hingga sekarang, pendanaan program berasal dari APBN atau rupiah murni. 2. APBN untuk Program Raskin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan pada 2007 mencapai Rp6,28 triliun. Selama periode 2002­2004, sebagian besar anggaran Raskin terserap untuk biaya pengadaan beras sebesar 41%­57% dan historic stock carry over 22%­43%. Komponen lainnya mencakup biaya pembayaran bunga bank 7%­9%, eksploitasi 5%, manajemen 3%, dan biaya pengepakan 1%­3%. Dalam konteks ini, biaya Program Raskin yang bersumber dari APBN hanya sampai pada titik distribusi. Biaya operasional dari titik distribusi sampai kepada penerima manfaat menjadi tanggung jawab pemda (APBD). 3. Pada 2007, secara nasional biaya distribusi dari gudang Bulog ke titik distribusi rata-rata sebesar Rp173/kg. Biaya ini bervariasi antarwilayah dengan kisaran antara Rp105/kg untuk Jawa dan Rp1.855/kg untuk Papua. Dalam praktek, biaya tersebut bukan hanya untuk biaya transportasi, tetapi juga untuk biaya pendukung lain seperti biaya administrasi, pelaporan, sosialisasi, insentif, perjalanan dinas, dan honor. 4. Sebagai penanggung jawab penyaluran beras dari titik distribusi ke penerima manfaat, sebagian pemda kabupaten/kota telah mengalokasikan dana APBD untuk pelaksanaan Raskin dengan jumlah yang bervariasi. Di Sumatera Barat, pada 2007 semua pemda kabupaten/kota menyediakan dana pendamping Raskin. Sebagai contoh, Kabupaten Pasaman menyediakan Rp1,3 milyar dan Agam Rp110 juta. Di Jawa Timur, hanya lima kabupaten yang menyediakan dana, yakni Kabupaten Probolinggo Rp62,8 juta, Lamongan Rp250 juta, Lumajang Rp112,7 juta, Jember Rp90 juta, dan Nganjuk Rp156 juta. Di Sulawesi Tenggara, tidak ada satu kabupaten/kota pun yang menyediakan anggaran khusus untuk pelaksanaan Raskin. 5. Tinjauan dokumen terhadap efektivitas dan efisiensi penggunaan dana Raskin menunjukkan adanya dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan penggunaan dana tidak efisien dan tidak efektif karena (i) program kurang tepat sasaran sehingga mengakibatkan kebocoran kepada rumah tangga yang tidak berhak; (ii) biaya operasional program dinilai terlalu besar; dan (iii) selisih harga pengadaan dan harga jual beras Bulog terlalu besar. Seperti pada 2003, dari Rp4,83 triliun anggaran Raskin hanya 18% yang dinikmati oleh rumah tangga miskin, sementara 52% dinikmati oleh rumah tangga nonmiskin, dan 30% untuk biaya operasional dan keuntungan Bulog. Pada tahun yang sama, harga pengadaan beras Bulog hanya Rp2.790 per kg namun harga jual ke pemerintah mencapai Rp 3.343 per kg. Pendapat kedua menyatakan bahwa Program Raskin merupakan program yang efektif dan efisien karena biaya operasional atau manajemen hanya sekitar 3%, lebih kecil daripada program sejenis di negara-negara lain. 6. Temuan lapangan juga menunjukkan penggunaan dana Raskin yang kurang efektif dan kurang efisien. Hal tersebut ditunjukkan oleh penargetan yang kurang xi Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 tepat dan adanya pemberian honor kepada pejabat lokal. Sebagai contoh, subdivre di beberapa wilayah menyediakan dana Rp25.000 per titik distribusi, sementara subdivre Bojonegoro memberikan honor kepada pejabat lokal Rp2.060.000 per bulan atau Rp24.720.000 per tahun. Dana APBD untuk Raskin di Kabupaten Agam juga digunakan untuk honor petugas pelaksana di tingkat kecamatan. Praktek demikian menimbulkan inefiensi dan telah melanggar aturan penggunaan dana. Peran pejabat/institusi tersebut dalam pelaksanaan Program Raskin sebenarnya sudah melekat pada tupoksi mereka sehingga seharusnya tidak perlu lagi mendapatkan honor. 7. Inefisiensi penggunaan dana Raskin juga terjadi pada penggunaan dana yang bersumber dari penerima manfaat. Di Sumatera Barat, misalnya, penerima Raskin dikenakan biaya transportasi Rp200­Rp300 per kg, padahal biaya angkut riil hanya Rp44­Rp125 per kg. Kelebihan ongkos angkut tersebut kemudian menjadi `hak' petugas pembagi beserta unsur terkait lainnya di tingkat desa. Dalam kasus ini, penerima manfaat justru `memberi subsidi' kepada petugas pembagi yang umumnya bukan termasuk kelompok miskin. D. Peningkatan Kapasitas Program Raskin tidak secara khusus mengagendakan aspek peningkatan kapasitas lembaga pelaksana atau masyarakat. Meskipun Bulog pernah melakukan upaya pendampingan melalui perguruan tinggi, namun kegiatan peningkatan kapasitas terhadap pelaksana tidak efektif. 1. Hasil tinjauan dokumen mengungkapkan bahwa pada 2005 dan 2006, Bulog meminta sepuluh perguruan tinggi untuk melakukan kajian dan pendampingan di 12 provinsi. Pendampingan terutama diberikan kepada pelaksana program di tingkat desa/kelurahan atau titik distribusi, khususnya tentang pelaksanaan sosialisasi, penargetan, dan penyaluran. Efektivitas kegiatan pendampingan terhadap peningkatan kapasitas pelaksana program tidak efektif karena kegiatan tersebut bersifat proyek, lebih ditujukan untuk penelitian, dan wilayah dampingannya terbatas. Universitas Andalas misalnya, hanya memberikan dampingan di enam nagari/desa/kelurahan pada 2005 dan di 12 nagari/desa/ kelurahan pada 2006 dari total 900 nagari/desa/kelurahan yang ada di Sumatera Barat. 2. Hasil kunjungan lapangan menunjukkan bahwa di seluruh wilayah studi tidak pernah dilaksanakan upaya pendampingan dan peningkatan kapasitas pelaksana program maupun penerima Raskin. E. Monitoring dan Evaluasi Monev internal dan eksternal terhadap Program Raskin telah dilakukan banyak pihak dan hasilnya telah memberikan berbagai masukan. Namun demikian, masukan tersebut tidak sepenuhnya ditindaklanjuti dalam pelaksanaan sehingga menyebabkan pelaksanaan Program Raskin belum efektif. xii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 1. Tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan menyimpulkan bahwa monev internal dilakukan berjenjang oleh Tim Raskin Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota secara rutin atau sesuai kebutuhan, pada wilayah sampel yang terbatas. Monev tersebut merupakan bagian dari kontrol terhadap program dan bertujuan untuk mengetahui dan menilai efektivitas pelaksanaan Raskin berdasarkan indikator kinerja 6T. Namun, kegiatan monev tersebut lebih bersifat menampung keluhan umum aparat pelaksana, sementara fungsi untuk mengetahui dan menilai efektivitas program belum optimal. Monev internal juga cenderung memfokuskan pada aspek keuangan dan administrasi. 2. Monev eksternal telah dilakukan oleh berbagai lembaga, baik universitas, lembaga nonpemerintah, lembaga penelitian, maupun lembaga internasional. Sebagian besar monev eksternal berupa evaluasi proses pelaksanaan program, sementara evaluasi dampak program masih sangat terbatas dan bersifat makro. Umumnya monev eksternal telah memberikan informasi tentang pelaksanaan program, baik yang bersifat kasuistik berdasarkan temuan lapangan, maupun yang bersifat makro berdasarkan analisis data sekunder. 3. Temuan lapangan mengungkapkan bahwa pelaksanaan monev di wilayah studi hanya dilaksanakan hingga jajaran aparat pelaksana Raskin di tingkat kecamatan. Monev di tingkat masyarakat hanya ditemui di satu desa sampel di Sulawesi Tenggara, itupun hanya berupa satu kali kunjungan LSM pada 2007. 4. Berbagai monev tersebut telah memberikan masukan bagi perbaikan program seperti perubahan acuan data penargetan, verifikasi penerima manfaat melalui mudes, dan jumlah beras per penerima. Meskipun demikian, perbaikan disain program tersebut tidak sepenuhnya ditindaklanjuti dalam pelaksanaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan Program Raskin masih belum efektif. F. Audit Program Audit program dilaksanakan secara rutin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Hasilnya telah ditindaklanjuti oleh Bulog sesuai dengan permasalahan dan saran auditor. 1. Pelaksanaan audit Program Raskin antara lain diatur dalam Undang-undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Anggaran Biaya dan Pendapatan Bulog yang dikeluarkan setiap tahun. Hingga 2004 audit dilakukan oleh BPKP dan sejak 2005 dilakukan oleh BPK. Kedua lembaga tersebut melakukan audit terhadap aspek yang berbeda. BPKP menekankan pada aspek pelaksanaan program, sedangkan BPK pada aspek keuangan. 2. Hasil audit BPKP terhadap pelaksanaan program 2003 (diterbitkan pada 2004) menunjukkan bahwa kinerja pelaksanaan Program Raskin secara nasional mencapai 78,2% (dari nilai ideal 100%). Tingkat pencapaian program terhadap sasaran rumah tangga miskin hanya sebesar 59,4%, terhadap jumlah beras 61,42%, dan terhadap harga 68,5%. Selain itu, juga dinyatakan bahwa dokumen transaksi penyaluran tidak didukung oleh bukti yang memadai, masih terdapat xiii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang belum menerbitkan juknis, dan pelaksanaan monitoring penyaluran beras secara fisik belum berlangsung optimal. 3. Audit BPK terhadap biaya perawatan beras Bulog tahun anggaran 2004 (diterbitkan pada 2006) menemukan beberapa kekeliruan perhitungan yang cukup mendasar. Sebelum diaudit, tagihan Bulog kepada pemerintah untuk biaya perawatan beras mencapai Rp350 milyar, namun setelah diaudit berubah menjadi Rp249 milyar, atau terjadi koreksi negatif sebesar Rp101 milyar (29%). Perbedaan tagihan biaya perawatan tersebut muncul sebab Bulog memasukkan biaya lain ke dalam biaya perawatan beras. Laporan hasil audit tersebut telah ditindaklanjuti oleh Bulog sesuai dengan temuan dan saran auditor, seperti membuat pedoman terkait pengadaan barang/jasa dan menyurati pemda yang mempunyai tunggakan pembayaran Raskin. G. Sistem Pengaduan dan Penanganannya Keberadaan sekretariat pengaduan tidak diketahui secara luas oleh masyarakat sehingga fungsinya sangat minimum. Biasanya masyarakat menyampaikan keluhan kepada aparat desa/kelurahan atau petugas pembagi Raskin, dan sebagian besar keluhan tidak ditindaklanjuti. 1. Sesuai pedum, Program Raskin menyediakan sekretariat pengaduan masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten. Hasil tinjauan dokumen menyatakan bahwa keberadaan sekretariat tersebut tidak disosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mengetahui ke mana mereka harus mengadu. 2. Meskipun ada permasalahan, umumnya masyarakat tidak mengadukan keluhannya. Jika mengadu pun, mereka menyampaikannya kepada aparat desa/kelurahan atau petugas pembagi Raskin, dan sebagian besar aduan tidak diselesaikan. Umumnya aduan tidak disampaikan ke tingkat yang lebih tinggi, kecuali aduan tentang kualitas beras. 3. Hasil kunjungan lapangan menunjukkan hal yang sama dengan hasil tinjauan dokumen. H. Tingkat Kepuasan dan Manfaat Program Aparat pelaksana program umumnya menyatakan tidak puas terhadap kinerja pelaksanaan Raskin. Sementara itu masyarakat penerima manfaat umumnya menyatakan puas karena mereka mendapat manfaat langsung dari keberadaan program. 1. Tinjauan dokumen tidak menyatakan adanya pemda yang merasa puas terhadap pelaksanaan Raskin. Namun ditemukan pernyataan bahwa terdapat pemda yang tidak puas terhadap pelaksanaan Raskin karena tidak sesuai dengan tujuan program. Terdapat juga aparat desa yang tidak puas terhadap dampak program karena berpengaruh terhadap sikap gotong royong dan kreativitas masyarakat. Sementara di tingkat masyarakat penerima, meskipun penargetan dinilai kurang tepat, namun kualitas pelayanan Raskin dinilai memuaskan. 2. Temuan lapangan menunjukkan bahwa narasumber dari tingkat provinsi sampai tingkat desa/kelurahan menilai pelaksanaan program kurang memuaskan. Mereka xiv Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 berpendapat bahwa beberapa kegiatan pelaksanaan program masih lemah, terutama mengenai sosialisasi kepada masyarakat, penargetan, dan mekanisme pengaduan. 3. Meskipun aparat pemda kurang puas terhadap pelaksanaan program, mereka mempunyai pendapat yang berbeda terhadap keberadaan Program Raskin. Di Jatim, ada aparat yang beranggapan Raskin tidak perlu dilanjutkan karena dampaknya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sementara di Sumbar dan Sultra, aparat beranggapan bahwa Raskin masih diperlukan untuk membantu penyediaan pangan bagi rumah tangga miskin. 4. Berdasarkan hasil FGD dengan penerima manfaat, aspek yang dinilai paling memuaskan dalam pelaksanaan Raskin adalah harga, cara pembayaran, dan penyaluran. Meskipun sebagian besar penerima manfaat membayar beras lebih dari Rp1.000 per kg, mereka tidak keberatan karena harga tersebut masih lebih murah daripada harga pasar pada saat kunjungan lapangan pada Agustus 2007 yang sekitar Rp4.200 per kg. 5. Aspek yang dinilai paling tidak memuaskan adalah sistem pemantauan, sistem pengaduan, dan jumlah beras. Pemantauan kurang memuaskan karena di wilayah mereka tidak pernah ada kegiatan pemantauan. Sistem pengaduan tidak memuaskan karena masyarakat tidak mengetahui keberadaan dan mekanismenya. Sementara jumlah beras kurang memuaskan karena masih jauh di bawah kebutuhan rumah tangga. 6. Tinjauan dokumen mengungkapkan bahwa Raskin bermanfaat bagi rumah tangga penerima karena mampu meringankan beban ekonomi dan kebutuhan beras, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi. Manfaat tersebut merupakan bentuk dari transfer pendapatan in natura kepada rumah tangga penerima senilai Rp20.500 per bulan berdasarkan asumsi nilai total transfer manfaat Rp 3,25 triliyun per tahun dan jumlah rumah tangga penerima 13,2 juta. Selain itu, Raskin dinilai dapat meningkatkan akses rumah tangga miskin terhadap beras. 7. Hasil analisis terhadap temuan lapangan menunjukkan bahwa transfer pendapatan relatif kecil karena jumlah dan frekuensi penerimaan beras oleh rumah tangga berada di bawah ketentuan, sedangkan harga yang dibayar sering di atas ketentuan. Secara teoritis, setiap bulan penerima Raskin akan menerima subsidi setara dengan selisih harga beras di pasaran dengan harga beras Raskin dikalikan dengan 10 kg. Pada harga rata-rata beras kualitas medium Rp4.200 per kg, penerima memperoleh subsidi Rp32.000/bulan atau Rp 384.000/tahun. Dalam praktik, transfer pendapatan kepada penerima di wilayah studi berkisar antara Rp12.800­Rp29.000/bulan atau Rp38.400­Rp348.000/tahun. Hal tersebut karena penerima manfaat membayar antara Rp1.000­1.440 per kg, menerima 4­10 kg, dengan frekuensi distribusi 3­12 kali per tahun. 8. Peserta FGD juga mengemukakan beberapa jenis manfaat Raskin. Tiga manfaat utama adalah membantu biaya makan, mengurangi beban pikiran atau beban keluarga, dan membantu biaya sekolah. Raskin mengurangi biaya makan sehingga terdapat kelebihan pendapatan yang antara lain dapat digunakan untuk xv Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 membantu biaya sekolah. Selain itu, peserta FGD juga menyatakan Raskin bermanfaat dalam menahan gejolak harga di tingkat desa. I. Pembelajaran Berdasarkan tinjauan dokumen dan kunjungan lapangan, terdapat beberapa pembelajaran positif maupun negatif yang menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan Raskin dalam mencapai tujuan. 1. Pembelajaran Positif a. Ketepatan target penerima manfaat sangat ditentukan oleh keseriusan dan peran pemda serta pelaksana di tingkat lokal, sosialisasi yang menekankan Raskin hanya untuk rumah tangga miskin, penggunaan data BPS yang telah diverifikasi di tingkat lokal, dan transparansi daftar penerima. b. Ketepatan harga ditentukan oleh titik distribusi yang sekaligus berfungsi sebagai titik bagi dan lokasinya dekat dengan penerima manfaat, serta besarnya kontribusi APBD. 2. Pembelajaran Negatif a. Kurangnya pagu dibandingkan dengan jumlah RTM menyebabkan ketidaktepatan target, jumlah beras, dan frekuensi penyaluran. b. Ketidaktepatan target penerima manfaat dipengaruhi oleh lemahnya sosialisasi, kekurangpedulian masyarakat, ketidakseriusan pemda, dan kurangnya pagu dibanding jumlah RTM. c. Ketidakseriusan pemda antara lain dipengaruhi oleh kejenuhan terhadap program yang sudah berjalan lama dan sudah menjadi rutinitas, pelaksanaan program tidak sesuai dengan tujuan, serta tidak optimalnya sosialisasi. d. Ketidaktepatan harga dipengaruhi oleh titik distribusi yang tidak sekaligus menjadi titik bagi dan lokasinya jauh dengan penerima manfaat. e. Ketidaktepatan jadwal distribusi dipengaruhi oleh adanya tunggakan pembayaran dari titik distribusi. f. Ketidaktepatan jadwal distribusi berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat dalam menyediakan waktu dan dana pembelian g. Ketepatan frekuensi distribusi dan penerimaan beras oleh penerima tidak selalu menggambarkan keberhasilan pelaksanaan program. Hal tersebut karena ketika frekuensi distribusi tepat setiap bulan, rumah tangga penerima belum tentu memperoleh jumlah beras sesuai ketentuan, dan sebaliknya. J. Rekomendasi Program Raskin yang sudah berjalan selama sembilan tahun telah menggunakan dana yang cukup besar dan melibatkan banyak pihak, namun hingga saat ini kinerjanya masih belum efektif. Oleh karena itu, Program Raskin hanya bisa dilanjutkan jika memenuhi semua persyaratan berikut: xvi Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 a. Program Raskin perlu direvitalisasi, antara lain dengan melakukan sosialisasi nasional secara terarah untuk memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat. Kegiatan sosialisasi tersebut harus diatur secara tegas dalam pedum. b. Pagu jumlah rumah tangga penerima di tingkat nasional harus ditetapkan secara tegas dan sesuai dengan jumlah kelompok sasaran rumah tangga. Kategori rumah tangga sasaran harus didefinisikan secara jelas, apakah hanya dibatasi untuk kelompok sangat miskin saja, memasukkan kelompok miskin juga, atau menjangkau kelompok hampir miskin juga. c. Penanggung jawab distribusi beras mulai dari pengadaan sampai penyaluran kepada masyarakat harus dipegang oleh satu lembaga sehingga tugas, tanggung jawab, dan penilaian kinerjanya menjadi jelas. d. Pemda harus bertanggungjawab terhadap pembagian alokasi dan menjamin ketepatan target penerima. Untuk menjamin ketepatan target penerima, pemda melakukan verifikasi dengan mengacu pada data RTM BPS atau data lain yang menjadi acuan penetapan target di tingkat nasional. e. Jumlah rumah tangga penerima hasil verifikasi di tingkat desa/kelurahan maksimal sama dengan pagu yang diperoleh, supaya menjamin jumlah beras per rumah tangga sesuai dengan ketentuan. Pengesahan dan penentuan validitas daftar nama target dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab kecamatan. f. Perlu pengaturan titik distribusi yang dapat menunjang harga sesuai ketentuan. Letak titik distribusi perlu didekatkan dengan penerima manfaat sehingga bisa sekaligus menjadi titik bagi. g. Perlu kebijakan yang dapat memaksa pemda untuk mendukung pelaksanaan Raskin secara serius, baik dalam hal dukungan dana (APBD) maupun target keberhasilan program. h. Sistem penghargaan dan hukuman perlu diperkenalkan dan diberlakukan untuk menunjang pelaksanaan program sesuai dengan ketentuan. Penghargaan diberikan kepada wilayah atau pelaksana program yang berhasil melaksanakan program sesuai aturan dengan mengacu pada indikator tertentu. Penghargaan antara lain dapat berbentuk pemberian anugerah. Adapun hukuman dapat berbentuk pengumuman wilayah yang tidak berhasil di media serta pencopotan, pengalihan tugas, dan penurunan pangkat pejabat pelaksana. i. Untuk menjamin pelaksanaan Raskin yang sesuai dengan aturan dan untuk mendukung pelaksanaan sistem penghargaan dan hukuman, monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara serius, terencana, dan akuntabel oleh lembaga eksternal yang independen dan kredibel. Hasil monitoring harus disampaikan kepada berbagai pihak termasuk publik secara luas dan dimanfaatkan secara secara sistematis untuk perbaikan pelaksanaan program. j. Semua ketentuan mengenai pelaksanaan program, seperti tentang sosialisasi, penargetan (verifikasi dan acuan data), monitoring, dan evaluasi harus diatur secara jelas dan tegas dalam pedoman program. xvii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka Program Raskin dihentikan dan perlu dilakukan kajian mendalam antara lain terhadap aspek berikut: a. dampak penghapusan Raskin terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin; b. pengalihan dana Raskin ke program lain yang lebih membantu rumah tangga miskin; dan c. peran Bulog dalam pengadaan dan stabilisasi harga pangan nasional karena selama ini lebih dari 80% beras pengadaan Bulog disalurkan melalui Program Raskin. xviii Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Raskin (beras untuk rumah tangga miskin) merupakan program nasional yang bertujuan membantu memenuhi kecukupan pangan dan mengurangi beban finansial rumah tangga miskin (RTM) melalui penyediaan beras bersubsidi. Sejak 2007, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) menjadi koordinator pelaksanaan Program Raskin. Untuk pendistribusian beras, Badan Urusan Logistik (Bulog) bertanggung jawab mendistribusikan beras hingga titik distribusi, dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyalurkan beras dari titik distribusi kepada RTM. Pada 2007, Program Raskin menargetkan penyediaan 1,9 juta ton beras bagi 15,8 juta rumah tangga miskin dengan total anggaran Rp6,28 triliun yang bersumber dari APBN. Setiap rumah tangga sasaran menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga Rp1.000 per kilogram di titik distribusi.1 Program Raskin pada dasarnya merupakan kelanjutan dari program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998 di bawah Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Selama sembilan tahun pelaksanaan program, berbagai pihak telah melakukan evaluasi dan hasilnya telah memberikan input bagi perbaikan konsep dan pelaksanaan program. Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan antara lain meliputi perubahan nama, jumlah beras per rumah tangga, frekuensi distribusi, sumber dan jenis data sasaran penerima manfaat, dan penyediaan lembaga pendamping. Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK menjadi Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai bagian dari program perlindungan sosial bagi RTM, tidak lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 hingga 20 kg, dan pada 2007 kembali menjadi 10 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN, sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS melalui PSE-05.2 Selain itu, dalam rangka meningkatkan kinerja pelaksanaan program, pada 2005 dan 2006 Bulog melakukan kerja sama dengan 10 perguruan tinggi negeri untuk memberikan pendampingan terhadap pelaksanaan Raskin di 12 provinsi. Meskipun pemerintah telah berupaya memperbaiki konsep dan pelaksanaan Program Raskin, banyak pihak masih mempertanyakan efektivitas program. Oleh karena itu, Bappenas atas dukungan Bank Dunia dan Decentralization Support Facility (DSF) mengadakan evaluasi independen untuk mengkaji efektivitas pelaksanaan Program 1Secara konseptual titik distribusi merupakan tempat penyerahan beras kepada pelaksana distribusi di desa/kelurahan yang dapat dijangkau penerima manfaat atau lokasi lain yang ditetapkan atas dasar kesepakatan tertulis antara pemda dengan Bulog (Pedum Raskin 2007). 2PSE-05 (Pendataan Sosial Ekonomi rumah tangga Tahun 2005) pada awalnya dimaksudkan untuk menentukan sasaran penerima Program Subsidi Langsung Tunai (SLT). 1 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Raskin. Lembaga Penelitian SMERU yang selama ini telah melakukan beberapa studi tentang Raskin, mendapat tugas untuk melaksanakan kajian tersebut. 1.2 TUJUAN KAJIAN Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Program Raskin, dan mempelajari praktik pelaksanaannya guna mendapatkan pembelajaran dalam rangka perbaikan program. Secara spesifik, kajian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut: · Apakah pelaksanaan program telah mencapai tujuan? · Apakah program diterima oleh masyarakat paling miskin? · Bagaimana pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan audit program? · Bagaimana efektivitas dan struktur pendanaan program? · Bagaimana tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan program? · Apa manfaat program bagi masyarakat? 1.3 METODOLOGI Kajian ini berlangsung selama lima bulan pada Juli­November 2007. Kegiatan utama kajian adalah melakukan tinjauan dokumen dan analisis data sekunder (meta­evaluasi). Untuk melengkapi kegiatan meta­evaluasi sekaligus memperoleh informasi terkini, kajian ini juga didukung dengan wawancara informan kunci di tingkat pusat dan studi lapangan. Pada kegiatan meta­evaluasi, peneliti SMERU telah melakukan tinjauan terhadap 44 dokumen yang terdiri dari 7 Pedoman Umum (Pedum) Raskin, 23 laporan penelitian dan evaluasi berbagai lembaga, 4 laporan audit, 4 bahan presentasi, 3 artikel, dan 3 peraturan menteri. Dokumen tersebut diterbitkan sepanjang pelaksanaan Raskin, namun sebagian besar (73%) diterbitkan pada periode 2004­2007 (Tabel 1). Tinjauan dokumen juga dilakukan terhadap beberapa keputusan dan surat edaran gubernur, bupati, camat, dan kepala desa/kelurahan, serta terhadap hasil musyawarah desa (mudes). Untuk analisis data, peneliti SMERU telah melakukan analisis data sekunder yang bersumber dari data Susenas tahun 2002-2006 dan data Bulog. Tabel 1. Jenis dan Jumlah Dokumen Jenis Dokumen Tahun Publikasi Jumlah 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pedoman umum 1 1 1 1 1 1 1 7 Laporan penelitian dan evaluasi 1 2 1 1 1 1 3 2 9 2 23 Bahan presentasi 2 2 4 Artikel 1 1 1 3 Peraturan menteri 1 1 1 3 Laporan audit 2 2 4 Jumlah 1 3 2 2 2 2 5 7 16 4 44 2 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Wawancara informan kunci di tingkat pusat dilakukan terhadap berbagai pemangku kepentingan, seperti lembaga pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun organisasi nonpemerintah. Dalam wawancara tersebut digunakan pedoman pertanyaan untuk menggali informasi mendalam tentang pelaksanaan Raskin dan mendiskusikan hasil penelitian dan evaluasi lembaga yang bersangkutan. Untuk memperoleh informasi pelaksanaan Raskin terkini, pada 20­30 Agustus 2007 peneliti SMERU melakukan studi lapangan di tiga provinsi. Di setiap provinsi dipilih satu kabupaten, yakni Kabupaten Agam (Sumatera Barat), Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), dan Kabupaten Kolaka (Sulawesi Tenggara). Ketiga wilayah dipilih secara purposif berdasarkan variasi letak wilayah, tingkat produksi beras, alokasi Raskin, tingkat kemiskinan, dan ketersediaan lembaga pendamping dari perguruan tinggi (Tabel 2). Tabel 2. Kriteria Pemilihan Provinsi Sampel Produksi Alokasi Proporsi Tingkat Universitas Provinsi Beras Raskin Rumah Tangga Kemiskinan 2005 2006 Penerima 2006 2004 Pendamping (ton) (ton) (%) (%) 2005­2006 Jawa Jawa Timur 9.007.285 285.917 51,68 20,08 Universitas Brawijaya Malang Luar Jawa (Barat dan Timur) Sumatera Barat 1.907.390 22.060 23,68 10,46 Universitas Andalas Padang Sulawesi Tenggara 339.847 19.199 59,22 21,89 Tidak ada Di masing-masing kabupaten sampel, dipilih satu kecamatan yang memperoleh alokasi Raskin cukup tinggi dan rutin, serta memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi. Di tingkat kecamatan, dipilih dua desa3/kelurahan dengan kriteria wilayah perkotaan/semiperkotaan atau dekat kota kecamatan, dan wilayah pedesaan atau jauh dari kota kecamatan. Secara total, studi lapangan ini telah mengunjungi enam desa/kelurahan sampel (Tabel 3). Tabel 3. Wilayah Studi Raskin Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Sumatera Barat Agam Tanjung Raya Maninjau Tanjung Sani Jawa Timur Bojonegoro Ngasem Ngasem Jelu Sulawesi Tenggara Kolaka Watubangga Wolulu Sumber Rejeki 3Di Sumatera Barat, desa disebut nagari. 3 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Selama kunjungan lapangan, Tim Peneliti melakukan beberapa metode kajian cepat seperti observasi langsung, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Observasi antara lain dilaksanakan di tingkat masyarakat, dengan memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat, terutama responden. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan. Lembaga yang diwawancara meliputi divre dan subdivre Bulog, pejabat pemerintah, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, media lokal, dan pelaksana Raskin di tingkat desa. Selain itu, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap rumah tangga penerima dan rumah tangga nonpenerima yang dipilih secara purposif dengan pertimbangan ketersebaran lokasi rumah. Wawancara dengan seluruh informan/responden menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Informasi yang digali meliputi berbagai aspek terkait pelaksanaan Raskin, seperti sosialisasi, alokasi, penargetan, penyaluran, jumlah beras, harga beras, peningkatan kapasitas, monitoring dan evaluasi, sistem pengaduan, tingkat kepuasan, dan manfaat program. Sementara itu, FGD dilaksanakan di setiap desa/kelurahan sehingga secara total terdapat enam FGD. Masing-masing FGD dihadiri sekitar 16 penerima manfaat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang biasa membeli jatah beras atau paling tidak mengerti tentang pelaksanaan Raskin di desanya. Peserta FGD berasal dari rumah tangga yang berbeda dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang, yakni masing-masing 7­ 9 orang. Melalui FGD digali informasi tentang pelaksanaan Raskin di desa yang bersangkutan, pengetahuan peserta terhadap aturan program, tingkat kepuasan, dan manfaat program. Data dan informasi yang terkumpul dari hasil tinjauan dokumen, wawancara mendalam, dan FGD dianalisis dengan menggunakan metoda kualitatif. Sementara itu, data sekunder dari Susenas BPS dianalisis dengan menggunakan metoda kuantitatif. Kajian ini dilakukan tujuh peneliti SMERU, terdiri dari dua orang penasihat, yaitu Sudarno Sumarto dan Asep Suryahadi, serta lima orang peneliti, yaitu Hastuti, Sulton Mawardi, Bambang Sulaksono, Akhmadi, dan Silvia Devina. Kajian ini juga melibatkan satu orang peneliti tamu Rima Prama Artha, dan tiga peneliti lokal, yakni Joni Saputra (Sumatera Barat), Heri Rubianto (Jawa Timur), dan Laode Udin (Sulawesi Tenggara). Untuk keperluan peninjauan dokumen, kajian ini juga menyertakan pustakawan SMERU, yaitu Ratna Dewi. Laporan hasil kajian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang memaparkan latar belakang, tujuan, dan metodologi kajian. Bab dua menyajikan temuan tentang pelaksanaan program yang meliputi aspek sosialisasi, penargetan, alokasi, pembayaran dan harga, monitoring dan evaluasi, sistem audit, penanganan pengaduan, struktur pendanaan, tingkat kepuasan, serta manfaat program. Bab tiga memaparkan pembelajaran positif dan negatif yang dipetik dari pelaksanaan program. Bab empat sebagai penutup, menyajikan rekomendasi terhadap pelaksanaan program selanjutnya. 4 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 II. TEMUAN PENELITIAN Pelaksanaan distribusi Raskin merupakan tanggung jawab dua lembaga, yakni Bulog dan pemerintah daerah (pemda). Bulog bertanggung jawab terhadap penyaluran beras hingga titik distribusi, sedangkan pemda bertangungjawab terhadap penyaluran beras dari titik distribusi hingga rumah tangga sasaran. Selama ini Bulog telah melaksanakan tugasnya dengan relatif baik dan sesuai aturan pelaksanaan. Namun demikian, penilaian keberhasilan program tidak dapat dilakukan secara parsial, karena Raskin merupakan sebuah kesatuan program untuk menyampaikan beras bersubsidi kepada rumah tangga miskin. Berdasarkan hasil tinjauan dokumen dan studi lapangan, permasalahan pelaksanaan Raskin banyak terjadi dari titik distribusi hingga rumah tangga penerima. Menurut Pedum Raskin 2007, terdapat indikator 6T untuk mengukur tingkat keberhasilan Raskin, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Secara umum, hasil kajian ini menunjukkan bahwa efektivitas pelaksanaan Program Raskin relatif rendah. Indikasinya terlihat dari kurangnya sosialisasi dan transparansi, kekurangtepatan target penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan beras, tingginya biaya pengelolaan program, belum optimalnya pelaksanaan monitoring, dan kurang berfungsinya mekanisme pengaduan. Uraian berikut menyajikan rincian permasalahan tersebut. 2.1 PELAKSANAAN PROGRAM Kinerja pelaksanaan Raskin dapat ditinjau dari aspek-aspek sosialisasi dan transparansi informasi, alokasi, penargetan, frekuensi pendistribusian, jumlah beras yang diterima penerima manfaat, sistem pembayaran dan harga beras, serta penggunaan dana. Salah satu ukuran kinerja masing-masing aspek pelaksanaan Raskin ditentukan oleh kesesuaian antara aturan program yang tertulis dalam Pedum Raskin dengan realisasi pelaksanaan berdasarkan informasi dari tinjauan dokumen, analisis data sekunder, dan temuan lapangan. 2.1.1 Sosialisasi dan Transparansi Informasi Sosialisasi merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan suatu program. Namun demikian, Pedum Raskin tidak mengatur kegiatan yang penting ini secara rinci. Misalnya, pedum tidak mengatur secara jelas tentang frekuensi dan waktu sosialisasi di setiap tingkatan pemerintahan maupun di tingkat masyarakat, serta siapa penanggungjawab pelaksanaan dan pendanaannya. Semestinya, aturan rinci tersebut ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) program yang disusun oleh pemda provinsi dan kabupaten/kota. Namun dalam pelaksanaannya, pemda yang membuat juklak masih terbatas. Jika juklak dibuat pun isinya hanya menyalin pedum begitu saja tanpa ada tambahan ketentuan rinci tentang berbagai aspek termasuk sosialisasi. Tidak adanya ketentuan tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kegiatan sosialisasi di tingkat aparat bervariasi antarwilayah, dan sosialisasi kepada masyarakat lemah. Sosialisasi yang lemah berpengaruh terhadap kurangnya transparansi program kepada masyarakat. 5 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Berdasarkan Pedum Raskin 2007, sosialisasi atau penyebaran informasi program bertujuan agar masyarakat, khususnya masyarakat miskin mengetahui latar belakang, mekanisme pelaksanaan, hak dan kewajibannya, serta mekanisme pengaduan. Penyebaran informasi antara lain dapat dilakukan melalui rapat koordinasi dan sosialisasi, media massa, dan media lain seperti booklet, brosur, dan sticker. Kegiatan sosialisasi tambahan dapat dilakukan secara informal seperti melalui arisan, pertemuan adat, dan pertemuan keagamaan. Sosialisasi kepada aparat Menurut dokumen, kegiatan sosialisasi kepada pelaksana di jajaran pemda mengandalkan pendekatan struktural birokratis, yakni secara berjenjang hingga tingkat kabupaten atau kecamatan. Umumnya kegiatan sosialisasi tidak dilakukan secara khusus, melainkan dalam bentuk rapat koordinasi (rakor).4 Terdapat kesan bahwa sosialisasi bukan merupakan aspek penting karena Raskin hanya merupakan program lanjutan dari OPK. Oleh karena itu, sosialisasi tidak diagendakan secara khusus, tetapi didasarkan pada kebutuhan.5 Studi lapangan di ketiga wilayah sampel menunjukkan bahwa rakor dilakukan secara berjenjang di setiap tingkat pemerintahan, dari tingkat provinsi hingga tingkat desa/kelurahan. Di tingkat provinsi rakor biasanya dilakukan dua kali setahun, yakni pada awal pelaksanaan program yang sekaligus digunakan untuk membicarakan pembagian pagu kabupaten/kota, dan pada pertengahan atau akhir tahun untuk merencanakan program tahun berikutnya sekaligus evaluasi program tahun berjalan. Rakor tersebut dihadiri oleh berbagai instansi yang tergabung dalam tim Raskin tingkat provinsi, dan wakil pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten sampel, pelaksanaan rakor bervariasi dan bergantung pada pemda masing-masing, namun paling tidak terdapat rakor pada awal pelaksanaan program, khususnya untuk membahas pembagian pagu per kacamatan dan desa/kelurahan. Di Kabupaten Agam, rakor dilakukan pada awal dan akhir tahun. Selain itu, terdapat pertemuan rutin tiga bulanan antara subdivre Bulog dan pelaksana Raskin dari unsur pemerintah kabupaten. Pada setiap rakor tim penanggulangan kemiskinan kabupaten, mereka juga membicarakan pelaksanaan dan permasalahan Raskin. Di Kabupaten Bojonegoro, rakor dilakukan dua kali setahun, namun jika terdapat permasalahan atau topik tertentu yang perlu dibahas biasanya dilakukan rakor tambahan. Sedangkan di Kabupaten Kolaka, rakor hanya dilakukan pada awal pelaksanaan program. Rakor di tingkat kabupaten tersebut biasanya dihadiri oleh tim Raskin kabupaten dan wakil kecamatan. Pada 2007, tidak semua kecamatan sampel melakukan sosialisasi. Dari tiga kecamatan sampel, hanya Kecamatan Tanjung Raya di Kabupaten Agam yang melakukan sosialisasi pada awal tahun pelaksanaan program. Pesertanya adalah seluruh kepala desa (istilah setempat: wali nagari) dan ketua lingkungan (istilah setempat: wali jorong) untuk membahas sistem penyaluran beras dan cara penetapan harga jual kepada penerima 4 Anak Bangsa Peduli (2005: 33, 40), LP3ES (2000: 51), Institute for Empowerment and Development Studies (2005: 71-72). 5Hastuti dan Maxwell (2003:12). 6 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 manfaat. Sementara di tingkat desa/kelurahan, sosialisasi tidak dilakukan setiap tahun karena Raskin dinilai sebagai program yang sudah lama berjalan dan setiap tahunnya tidak banyak mengalami perubahan. Jika sosialisasi dilakukan, biasanya hanya dihadiri perangkat desa dan tokoh masyarakat, tanpa melibatkan masyarakat. Tinjauan dokumen menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi dalam bentuk penyebaran Pedum Raskin umumnya hanya terbatas sampai tingkat kabupaten/kota.6 Meskipun terdapat provinsi atau kabupaten/kota yang membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) Raskin, namun penyebarannya tidak menjangkau seluruh tingkat pemerintahan di bawahnya.7 Studi lapangan juga menunjukkan bahwa penyebaran pedum sangat terbatas. Meskipun terdapat daerah sample yang membuat juklak, yaitu Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara, serta Kabupaten Kolaka, namun penyebarannya tidak sampai di tingkat desa/kelurahan. Oleh karena itu, pelaksana program di tingkat desa/kelurahan umumnya lebih mengandalkan petunjuk lisan yang diperoleh dari rapat di tingkat kecamatan atau kabupaten. Hal yang sama terjadi pada petugas pembagi di tingkat masyarakat yang justru merupakan ujung tombak pelaksanaan Raskin kepada rumah tangga. Dalam melaksanakan tugasnya, umumnya petugas pembagi hanya berpatokan pada informasi lisan dari kepala desa/kelurahan atau staf kecamatan, yang biasanya disampaikan secara informal. Sementara itu, media informasi seperti iklan layanan masyarakat di televisi dan penyebaran brosur atau poster yang pernah diadakan beberapa tahun lalu, saat ini tidak ada lagi. Bahkan brosur atau poster yang seharusnya ditempelkan di lokasi umum, tidak pernah diketahui keberadaannya oleh masyarakat yang menjadi responden. Studi yang dilakukan oleh Anak Bangsa Peduli (2006: 40) di Jawa Barat menunjukkan bahwa upaya sosialisasi dari pemda melalui media masa hanya terdapat di Kabupaten Garut yang menggandeng media cetak dan radio. Universitas Andalas (2006: 3-6) melaporkan bahwa di Sumatera Barat sosialisasi juga pernah dilakukan dalam bentuk dialog interaktif di TVRI dan melalui media cetak. Sosialisasi kepada masyarakat Berdasarkan tinjauan terhadap berbagai dokumen dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sosialisasi program Raskin kepada masyarakat bervariasi dan umumnya tidak optimal. Temuan SMERU (2007: 70) menyatakan bahwa di tingkat desa tidak ada sosialisasi secara khusus kepada masyarakat. Menurut Universitas Andalas (2006: 3-15), dari 12 nagari yang menjadi objek pendampingan, sebelumnya tidak satupun yang pernah melakukan sosialisasi. Universitas Brawijaya (2006: 61) menyebutkan bahwa di Kabupaten Madiun jumlah desa yang tidak melakukan sosialisasi cukup besar (42%). Temuan lapangan juga menunjukkan bahwa masyarakat di seluruh desa/kelurahan sampel tidak pernah menerima sosialisasi secara formal. Kegiatan sosialisasi yang bervariasi tersebut menyebabkan sumber informasi program bagi masyarakat juga bervariasi. Kepala desa/kelurahan merupakan sumber informasi awal bagi masyarakat, namun umumnya informasi disampaikan secara informal dan tidak secara langsung. Menurut LP3ES (2000: 51), penyampaian informasi program untuk 6Lembaga Demografi FEUI (2003: 33-34), PT Daya Makara UI (2006: 85). 7Lembaga Demografi FEUI (2003: 33-34). 7 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 keluarga sasaran sepenuhnya diserahkan kepada kepala desa. Universitas Brawijaya (2006: 63-69) juga menyatakan hal yang sama. Sementara menurut Hastuti dan Maxwell (2003: 12), umumnya kepala desa/lurah tidak memberikan informasi secara langsung kepada masyarakat, melainkan melalui kepala dusun, ketua RT atau tokoh masyarakat. SMERU (2007: 92) menyatakan bahwa masyarakat mengetahui program Raskin bukan dari kepala desa/kelurahan melainkan dari ketua RT, tetangga, dan televisi. Studi lapangan menemukan kecenderungan yang sama bahwa kepala desa bukan merupakan sumber informasi langsung. Masyarakat umumnya mendapatkan informasi dari petugas pembagi Raskin, seperti ketua RT dan pengurus PKK. Kegiatan sosialisasi kepada masyarakat umumnya tidak optimal sehingga masyarakat termasuk penerima manfaat banyak yang tidak memahami program secara menyeluruh.8 Hastuti dan Maxwell (2003: 13) misalnya, melaporkan bahwa informasi yang diberikan kepada masyarakat terbatas pada teknik pelaksanaan, seperti jatah beras per KK, harga beras per kg, cara penebusan dan pembayaran. Sementara itu informasi mengenai tujuan program dan sasaran keluarga miskin kurang ditekankan. Akibat kurangnya informasi, penggantian nama dari OPK menjadi Raskin yang diharapkan dapat mempertajam sasaran, menjadi tidak berarti. Raskin tetap lebih dikenal masyarakat sebagai pembagian "sembako" (sembilan bahan pokok) dari pemerintah sehingga keluarga yang tidak termasuk sasaran tetap menuntut untuk memperolehnya. Studi lapangan juga menemukan hal yang sama bahwa sosialisasi masih lemah dan tidak dilakukan secara maksimal. Akibatnya, masyarakat termasuk penerima manfaat banyak yang tidak memahami program secara menyeluruh. Bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahui informasi umum tentang program, seperti apa arti nama Raskin, berapa jatah beras yang seharusnya diterima, berapa harga beras di titik distribusi, dan berapa kali setahun semestinya mereka menerima beras. Namun demikian, esensi tentang program Raskin sebagai bantuan beras dari pemerintah untuk rumah tangga miskin telah diketahui oleh masyarakat secara luas, meskipun tidak otomatis diterapkan dalam pelaksanaan. Transparansi informasi Keterbatasan sosialisasi berpengaruh terhadap rendahnya tingkat transparansi program kepada masyarakat. Dari seluruh dokumen yang dikaji, hanya Universitas Brawijaya (2006: 69) yang melaporkan adanya desa-desa di satu kecamatan sampel yang menempelkan informasi Raskin pada papan pengumuman. Informasi mengenai upaya transparansi daftar penerima manfaat hanya dilaporkan oleh beberapa dokumen. Menurut Hastuti dan Maxwell (2003: 13), beberapa desa pernah menempelkan daftar penerima di kantor kepala desa, namun daftar tersebut dirobek oleh masyarakat yang menuntut untuk menjadi penerima. Sedangkan beberapa desa lain sengaja tidak menempelkan daftar nama karena khawatir akan menimbulkan tuntutan masyarakat. Sementara itu, Lembaga Demografi FE-UI (2003: 89) dan PT Daya Makara UI (2006: 87) melaporkan bahwa 8Anak Bangsa Peduli (2006: 47), PT Daya Makara UI (2006: 84), Hastuti dan Maxwell (2003: 13), IPB (2006: slide 19), Komisi IV DPR RI (2007: 10), Lembaga Demografi FE UI (2003: 89), Olken (dalam Jurnal of Public Economic 2006: 856), SMERU (1998: 8 dan 2007: 70), Universitas Andalas (2005: 3- 16), Universitas Brawijaya (2006: 60­68), Universitas Indonesia (2004: 160). 8 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 daftar nama RTM sengaja tidak diumumkan karena alasan keamanan dan mencegah hal- hal yang tidak diinginkan. Kondisi tersebut sejalan dengan temuan lapangan yang menunjukkan bahwa di semua wilayah studi tidak ditemukan adanya informasi tentang Program Raskin yang ditempel di tempat umum atau bisa diakses oleh masyarakat. Informasi tentang daftar rumah tangga penerima Raskin yang dapat diakses oleh masyarakat hanya ditemui di desa sampel di Kabupaten Agam. Daftar penerima manfaat tersebut tersedia di petugas pembagi dan rencananya akan segera ditempel di masjid-masjid, sesuai dengan upaya pencanangan program penanggulangan kemiskinan berbasis masjid. Lemahnya pelaksanaan sosialisasi dan transparansi program menyebabkan munculnya berbagai dampak negatif, antara lain (i) potensi korupsi karena kurangnya kontrol dari masyarakat sebagai akibat ketidakpahaman mereka terhadap program (Olken, 2006: 856); (ii) ketidaktepatan target karena masyarakat tidak miskin turut menuntut jatah (Universitas Indonesia 2004: 160); (iii) munculnya keluhan, kritikan, kegelisahan/konflik di masyarakat; dan (iv) timbulnya persepsi pemda yang menganggap Raskin sebagai program Pemerintah Pusat sehingga program ini bukan merupakan tanggung jawab pemda (PT Daya Makara UI 2006: 84). Kesalahan persepsi pemda tersebut akan berpengaruh terhadap keseriusan pemda dalam mendukung pelaksanaan program, termasuk di dalamnya dukungan dana. 2.1.2 Pagu Alokasi dan Rumah Tangga Sasaran Menurut data Susenas 2002­2006, persentase penerima Raskin dari seluruh rumah tangga di Indonesia berfluktuasi pada kisaran 36%­45%. Di Sumatera Barat, persentase penerima Raskin berkisar antara 11%­24%, di Jawa Timur 41%­53%, dan di Sulawesi Tenggara 35%­59% (Gambar 1). Kondisi tersebut sesuai dengan proporsi RTM di wilayah bersangkutan. 60 50 40 Indonesia 30 Sumatera Barat Jawa Timur 20 Sulawesi Tenggara 10 0 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Susenas BPS 2002--2006 (diolah) Gambar 1. Proporsi Rumah Tangga Penerima Raskin di Indonesia dan Provinsi Sampel 9 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Penetapan pagu alokasi nasional didasarkan pada ketersediaan anggaran subsidi dan data sasaran penerima. Pagu alokasi nasional dialokasikan untuk masing-masing provinsi berdasarkan data sasaran penerima dengan mempertimbangkan usulan pemda. Selanjutnya, pemda provinsi menetapkan alokasi untuk setiap kabupaten/kota dan pemda kabupaten/kota menetapkan alokasi untuk setiap kecamatan dan desa/kelurahan yang dibawahinya. Semua pembagian tersebut ditetapkan secara proporsional dengan data sasaran penerima di masing-masing wilayah. Sejak awal pelaksanaan OPK hingga 2005, sasaran penerima manfaat menggunakan data keluarga pra sejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera-1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN, namun sejak 2006 menggunakan data rumah tangga miskin (RTM) hasil pendataan BPS. Program Raskin dilaksanakan di seluruh Indonesia tanpa membedakan kondisi kemiskinan wilayah karena RTM tersebar di seluruh wilayah. Hasil tinjauan dokumen dan analisis data menunjukkan hal yang sama. Seluruh wilayah hingga desa/kelurahan memperoleh pagu alokasi Raskin. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat wilayah yang tidak memperoleh Raskin selama beberapa bulan distribusi. Hastuti dan Maxwell (2003: 14­15) menyebutkan bahwa terdapat desa dan kecamatan yang tidak berpartisipasi dalam program selama jangka waktu cukup lama, bahkan ada yang lebih dari satu tahun. Hal tersebut antara lain karena adanya tunggakan, penyelewengan, atau permintaan dari pihak kecamatan. Pihak Kecamatan tersebut menilai Raskin merepotkan dan beras yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkan serta risiko yang harus ditanggung. SMERU (2007: 77) juga menyatakan bahwa akibat kemacetan pembayaran Raskin dari tingkat kelurahan, beberapa kecamatan di Tangerang tidak mengajukan penyaluran Raskin selama 2004­2005. Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga dan Pagu Alokasi Raskin Nasional Jumlah Rumah Tangga Tahun % RTM Pagu Alokasi RTM Total*) RTM (ton) Sasaran Sasaran terhadap Total 2000 16.000.000 7.500.000 46,88 1.350.000 2001 15.000.000 8.700.000 58,00 1.501.274 2002 15.135.561 9.790.000 64,68 2.349.600 2003 15.746.843 8.580.313 54,49 2.059.276 2004 15.746.843 8.590.804 54,56 2.061.793 2005 15.791.884 8.300.000 52,56 1.991.897 2006 15.503.295 10.830.000 69,86 1.624.500 2007 19.100.905 15.800.000 82,72 1.896.000 Keterangan: *) Hingga 2005 data keluarga miskin BKKBN dan pada 2006 dan 2007 data rumah tangga miskin BPS Sumber: Bulog Pagu alokasi Raskin nasional mengalami peningkatan hingga 2002, namun kemudian mengalami penurunan dan pada 2007 sedikit meningkat. Sementara itu, RTM sasaran program cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun proporsinya mengalami 10 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 peningkatan, jumlah RTM sasaran masih lebih rendah dari pada total RTM (Tabel 4). Sebagai contoh pada 2007, total RTM mencapai 19,1 juta, namun sasaran Raskin hanya 15,8 juta RTM sehingga terdapat 3,3 juta RTM yang tidak memperoleh Raskin. Hal tersebut berimplikasi pada munculnya berbagai permasalahan pelaksanaan program seperti dalam penargetan, ketepatan jumlah beras yang diterima rumah tangga, dan frekuensi distribusi. Tabel 5. Pagu Alokasi Raskin di Wilayah Studi, 2005­2007 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Wilayah Administratif Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah RTM Beras RTM Beras RTM Beras Sasaran (kg) Sasaran (kg) Sasaran (kg) Prov. Sumatera Barat 141.410 22.060.000 147.067 22.060.000 302.640 36.317.000 (233.695) (312.640) Kab. Agam 8.995 1.702.120 11.453 1.702.120 22.647 2.717.640 (18.199) (23.417) Kec. Tanjung Raya 863 138.080 1.718 171.800 2.523 302.760 (2.535) Nagari Maninjau 97 15.520 130 13.000 230 27.600 (226) Nagari Tanjung Sani 222 35.520 375 37.500 544 65.280 (538) Prov. Jawa Timur 1.441.750 346.020.000 1.906.115 285.917.000 2.653.598 318.431.760 (3.236.871) (3.236.880) Kab. Bojonegoro 108.950 26.148.000 128.471 19.271.000 134.142 16.096.996 (163.469) Kec. Ngasem 11.580 1.737.000 9.606 1.152.720 (11.580) Desa Ngasem 491 73650 402 48.240 (491) Desa Jelu 907 136.050 861 103.320 (907) Prov.Sulawesi Tenggara 230.045 25.304.950 239.987 19.198.960 259.384 23.344.560 (332.023) (271.082) Kab. Kolaka 16.557 1.821.270 17.273 1.381.840 20.689 1.862.010 (33.294) (29.455) Kec. Watubangga 2.960 296.000 3000 240000 3.244 291960 Kelurahan Wolulu 126 12.600 126 12.600 143 14.300 Desa Sumber Rejeki 137 13.700 137 13.700 142 14.200 Ket: angka dalam ( ) total RTM yang ada Sumber: Keputusan gubernur, bupati, dan kecamatan lokasi sampel Di tiga wilayah studi, pagu alokasi dan jumlah RTM sasaran Raskin mengalami perubahan dengan kecenderungan yang agak berbeda seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Di Sumatera Barat, pagu alokasi dan jumlah RTM sasaran mengalami peningkatan. Perubahan data yang digunakan, dari data BKKBN menjadi data BPS, dan peningkatan jumlah RTM yang cukup besar merupakan alasan utama peningkatan pagu tersebut. 11 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Sampai tingkat kecamatan, jumlah pagu RTM yang diperoleh lebih rendah dari pada total RTM yang ada, namun di desa sampel terjadi sebaliknya. Hal tersebut karena di tingkat kecamatan dilakukan penyesuaian terhadap alokasi per desa berdasarkan informasi dari kepala desa dan ketua lingkungan. Di lingkungan sampel, sedikit pengurangan pagu RTM sasaran tidak menjadi masalah karena adanya perubahan kondisi ekonomi RTM atau adanya RTM yang pindah dan meninggal. Sama halnya yang terjadi pada penambahan pagu RTM sasaran, karena masih adanya rumah tangga miskin yang belum terdaftar sebagai RTM. Di Jawa Timur, pagu alokasi Raskin mengalami penurunan pada 2005­2006 dan meningkat lagi pada 2007. Kondisi tersebut tidak tercermin di Kabupaten Bojonegoro serta di kecamatan dan desa sampel. Di wilayah tersebut pagu alokasi 2007 justru mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh kecilnya peningkatan jumlah RTM di Kabupaten Bojonegoro dan adanya penurunan jumlah RTM di kecamatan dan desa sampel di kabupaten tersebut pada 2007. Seperti di Jawa Timur, pagu alokasi Raskin di Sulawesi Tenggara juga mengalami penurunan pada 2005­2006 dan meningkat kembali pada 2007. Baik di Jawa Timur maupun di Sulawesi Tenggara, pagu RTM sasaran lebih rendah daripada RTM yang ada. Berdasarkan hasil tinjauan dokumen, kurangnya RTM sasaran tersebut berimplikasi pada munculnya berbagai permasalahan. Lembaga Demografi FEUI (2006: 47) menyebutkan bahwa kurangnya pagu Raskin dibanding RTM menyebabkan dilakukan bagi rata, pergiliran penerima manfaat setiap 2­3 bulan sekali, dan pengurangan jatah beras untuk penerima manfaat. Hal yang sama dikemukakan Anak Bangsa Peduli (2006: 12), PT Daya Makara UI (2006: 95), IPB (2006: slide 4), dan Universitas Indonesia (2004: 142, 149, 161). Sementara menurut Universitas Brawijaya (2006: 38, 121), kurangnya pagu selain menyebabkan penerima manfaat memperoleh beras di bawah ketentuan, juga menimbulkan konflik horizontal saat pembagian beras. Institute for Empowerment and Development Studies (2005: 74) juga menyatakan bahwa lebih sedikitnya pagu Raskin dibanding jumlah RTM menimbulkan kecemburuan sosial dan disharmonisasi di tingkat masyarakat, juga menimbulkan kesulitan bagi pengelola di desa dalam menentukan prioritas warga yang benar-benar membutuhkan. Studi lapangan menunjukkan kecenderungan yang sama. Kurangnya pagu dijadikan alasan oleh pelaksana program di tingkat lokal untuk melakukan penyimpangan mekanisme pembagian dan penentuan sasaran, seperti melakukan pengurangan frekuensi distribusi, pergiliran penerima, penambahan jumlah penerima, atau bagi rata. Semua pilihan penyimpangan tersebut pada akhirnya menyebabkan rumah tangga sasaran tidak memperoleh beras sesuai ketentuan. Penyimpangan tersebut juga didorong oleh kekurangakuratan data BPS, yakni masih adanya rumah tangga miskin yang tidak terdaftar dan sebaliknya terdapat rumah tangga tidak miskin yang terdaftar sebagai RTM. 2.1.3 Penentuan Sasaran Penerima Musyawarah desa (mudes) Menurut pedum, RTM BPS yang merupakan data sasaran rumah tangga penerima program, digunakan sebagai dasar penetapan pagu alokasi hingga tingkat desa/kelurahan. Di tingkat desa/kelurahan, penetapan penerima manfaat menggunakan 12 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 mekanisme mudes yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat termasuk perwakilan RTM. Pada Pedum Raskin 2001­2005 dinyatakan bahwa penentuan rumah tangga sasaran melalui mudes dilakukan dengan mengacu pada data keluarga sasaran, yakni KPS dan KS-1 hasil pendataan BKKBN. Namun, pada Pedum Raskin 2006­2007, tidak ada ketentuan bahwa mudes harus mengacu pada data RTM BPS. Bahkan, pada bagian "Penetapan Penerima Manfaat" tidak disebutkan bahwa penerima manfaat harus rumah tangga miskin. Tidak adanya ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar pembenaran petugas pelaksana untuk membagikan Raskin tidak hanya kepada RTM atau bahkan dibagi rata, asal keputusannya diambil melalui mudes. Pada bagian pendahuluan pedum disebutkan bahwa sasaran Raskin adalah RTM, namun sangat mungkin pelaksana program menggunakan pedum secara parsial, tidak menyeluruh. Apalagi seperti disebutkan di atas, penyebaran Pedum Raskin masih sangat terbatas dan tidak sampai pada pelaksana di tingkat masyarakat. Hasil tinjauan dokumen menunjukkan bahwa mudes tidak dilakukan di semua desa/kelurahan. Kalaupun dilakukan mudes, pelaksanaannya belum optimal karena kurang melibatkan masyarakat dan umumnya tidak bertujuan untuk mempertajam sasaran. Universitas Andalas (2006: 3-15) melaporkan bahwa dari 12 nagari yang didampingi hanya 1 nagari yang pernah melakukan mudes dan pelaksanaannya tidak lengkap. Menurut Universitas Hasanuddin (2006: 40), belum semua desa/kelurahan melaksanakan mudes dalam penetapan penerima manfaat. Bahkan IPB (2006: slide 15) menyatakan bahwa tidak ada mudes untuk merespon pagu, kalaupun ada hanya antara kepala desa dan ketua RT/RW. Sedangkan berdasarkan studi Universitas Brawijaya (2006: 73, 79), di dua kabupaten sampel rata-rata sudah dilakukan mudes, namun di satu kabupaten lainnya hanya sebagian desa yang melakukan mudes. Menurut Hastuti dan Maxwell (2003: 40), di sebagian desa, musyawarah hanya dilakukan diantara staf desa dan pelaksanaannya cenderung hanya dijadikan alasan bahwa pengambilan keputusan sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hal tersebut juga dikemukakan Universitas Indonesia (2004: 142, 150) dan PT Daya Makara UI (2006: 86) bahwa mudes kurang melibatkan masyarakat dan fungsi mudes yang sebetulnya untuk memverifikasi data kurang berjalan optimal. Bahkan Hastuti dan Maxwell (2003: 30), Universitas Andalas (1999: IV-25), dan Universitas Indonesia (2004: 142) melaporkan bahwa terdapat mudes yang menetapkan jatah beras dibagi rata kepada seluruh keluarga, baik kaya maupun miskin. Temuan lapangan menunjukkan kondisi yang sesuai dengan hasil tinjauan dokumen. Dari enam desa/kelurahan sampel, hanya dua desa di Jawa Timur yang melakukan mudes. Bahkan pelaksanaan mudes di kedua desa tersebut tidak dimaksudkan untuk penajaman atau verifikasi data penerima manfaat, melainkan untuk memutuskan bahwa Raskin akan dibagi rata kepada semua rumah tangga. Menurut Universitas Brawijaya (2006: 74), banyaknya desa yang tidak melakukan mudes disebabkan keterbatasan biaya, keterbatasan waktu, atau karena menganggap bahwa musyawarah cukup dilakukan di tingkat kecamatan. Sementara itu menurut Lembaga Demografi FEUI (2003: 86) alasan tidak dilakukannya mudes antara lain karena telah ada daftar penerima dari petugas BKKBN. 13 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Cara penentuan penerima manfaat Sebagai akibat mudes belum dilaksanakan di seluruh wilayah dan pelaksanaannya kurang optimal, cara penetapan sasaran penerima manfaat bervarisi antar wilayah. Ada yang menetapkan sasaran melalui mudes, ada yang menggunakan data acuan nasional sebagai dasar (data BKKBN atau data RTM BPS), dan ada yang ditentukan ketua RT/RW atau oleh kepala desa/kelurahan.9 Pada banyak kasus, berbagai cara penetapan tersebut pada akhirnya menghasilkan keputusan Raskin dibagi rata kepada jumlah rumah tangga yang lebih banyak atau kepada seluruh rumah tangga.10 Berbagai alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut antara lain untuk menghindari konflik, kurangnya pagu dibanding RTM, menghindari kecemburuan sosial, adanya tuntutan dari mereka yang tidak berhak, dan untuk mencapai target waktu penjualan beras serta pembayarannya.11 Hasil studi lapangan juga menunjukkan cara penetapan penerima manfaat yang bervariasi. Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pemda menekankan kepada semua pelaksana Raskin untuk menggunakan RTM BPS sebagai penerima manfaat. Pada pelaksanaannya di desa sampel, petugas pelaksana di tingkat masyarakat melakukan penyesuaian atas persetujuan kepala desa karena hasil pendataan BPS dinilai belum tepat. Mereka melakukan penyesuaian dengan meminta RTM relatif mampu untuk menyerahkan jatahnya kepada rumah tangga lebih miskin tidak terdaftar. Pada beberapa kasus, penggantian penerima dilakukan atas kesadaran RTM terdaftar meskipun tidak rutin dalam setiap distribusi. Ada juga petugas yang melakukan penyesuaian dengan menambah jumlah penerima sehingga penerima memperoleh Raskin secara bergilir setiap dua bulan atau jatah berasnya berkurang. Pemilihan rumah tangga penerima pengganti atau tambahan tersebut dilakukan oleh petugas pembagi dengan melihat kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang bersangkutan. Di desa sampel di Jawa Timur dilakukan mudes dengan melibatkan masyarakat. Akan tetapi, mudes tersebut dilaksanakan untuk memutuskan bahwa Raskin akan dibagi rata kepada semua rumah tangga, tanpa melihat status ekonomi. Di satu dusun, pengecualian hanya diberlakukan bagi pegawai negeri, anggota TNI dan POLRI, serta pensiunan karena dinilai mempunyai penghasilan tetap dan mampu secara ekonomi. Kebijakan bagi rata tersebut dimaksudkan untuk menghindari ketegangan sosial akibat adanya tuntutan masyarakat nonmiskin yang beranggapan bahwa Raskin merupakan `hadiah' dari pemerintah sehingga semua rumah tangga berhak mendapatkannya. 9 Hastuti dan Maxwell (2003: 31-32), Institute for Empowerment and Development Studies (2005: 68), Universitas Brawijaya (2006: 115), Universitas Hasanuddin (2006: 38-40), USESE Foundation (2004: 47, 49, 53). 10Bulog (2006: 21), Hastuti dan Maxwell (2003: 30), Institute for Empowerment and Development Studies (2005: 34, 46), IPB (2005: slide 28), IPB (2006 slide 15), Lembaga Demografi FE-UI (2003: 17, 39, 70), Perdana dan Maxwell (2004: 27), PT Daya Makara UI (2006: 27), SMERU (2007: 95), Universitas Andalas (1999: IV-25), Universitas Bojonegoro (2006: 46-47), Universitas Brawijaya (2006: 41), Universitas Hasanuddin (2006: 46-47), Universitas Indonesia (2004: 142, 151), USESE Foundation (2004: 47). 11Bulog (2006: 21, 27, 29), Institute for Empowerment and Development Studies (2005: 46-47), Lembaga Demografi FEUI (2003: 39, 47, 70, 78), Perdana dan Maxwell (2004: 28), PT Daya Makara UI (2006: 86), SMERU (2007: 95), Universitas Andalas (1999: IV-25), Universitas Bojonegoro (2006: 46), Universitas Brawijaya (2006: 113, 133), Universitas Indonesia (2004: 136, 142), USESE Foundation (2004: 49, 51). 14 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Sementara itu di desa sampel di Sulawesi Tenggara, sistem pembagian Raskin berbeda antar desa bahkan antar lingkungan. Di Kelurahan Wolulu, untuk menghindari konflik dan ketegangan antar warga, aparat satu lingkungan menerapkan sistem bagi rata kepada seluruh rumah tangga sehingga penerima manfaat tidak menerima Raskin secara penuh, sementara di lingkungan lain menerapkan pergiliran sehingga penerima tidak menerima setiap bulan. Di desa Sumber Rejeki, Raskin hanya dibagikan kepada sejumlah penerima manfaat tertentu sesuai jatah, yang penentuannya mengacu pada data BKKBN. Ketepatan sasaran Berbagai dokumen menyimpulkan bahwa penetapan sasaran penerima merupakan aspek utama kelemahan Raskin karena tidak seluruh rumah tangga miskin menerima Raskin dan banyak rumah tangga tidak miskin yang menerima. Universitas Indonesia (2004: 159) menyimpulkan bahwa ditinjau dari efektivitas pelaksanaan, Raskin mempunyai banyak masalah pada sisi ketepatan sasaran. Universitas Hasanuddin (2006: 35) menyatakan bahwa masalah penerima manfaat masih merupakan isu pokok karena adanya RTM yang tidak menerima Raskin dan sebaliknya. Pernyataan yang sama dikemukakan Universitas Andalas (2005: 3-16), bahwa kelemahan Raskin antara lain adalah adanya keluarga mampu yang menerima Raskin. Menurut Sumarto dan Suryahadi (2001: 13), Raskin menjangkau 52,6% rumah tangga miskin, namun rumah tangga tidak miskin yang terjangkau juga relatif tinggi, yakni 36,9%. Bahkan World Bank (2006: 215) melaporkan bahwa Raskin lebih banyak diterima oleh rumah tangga bukan miskin. Pernyataan kekurangtepatan sasaran juga dilaporkan berbagai dokumen lain.12 Hasil analisa terhadap data sekunder menunjukkan kesimpulan yang sama. Melalui analisa target dan realisasi Raskin pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa baik menurut data Bulog maupun data hasil Susenas BPS, selama 2002­2006, beras Raskin telah dibagikan kepada jumlah rumah tangga penerima yang lebih banyak dari pada jumlah rumah tangga sasaran. Menurut data Bulog prosentase rumah tangga penerima terhadap sasaran berkisar antara 128%­147%, sedangkan menurut data Susenas BPS antara 214%­284% atau sekitar 2­3 kali lipat. Tabel 6. Target dan Realisasi Penerima Raskin 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah RTM 15.135.561 15.746.843 15.746.843 15.791.884 15.503.295 Sasaran penerima (RTM) 9.790.000 8.580.313 8.590.804 8.300.000 10.830.000 Realisasi : Jumlah penerima: Data Bulog 14.355.227 11.832.897 11.664.050 11.109.274 13.882.731 Data BPS 20.943.085 22.519.131 20.063.738 23.552.956 25.147.329 Rasio data BPS data Bulog 1,46 1,90 1,72 2,12 1,70 12Anak Bangsa Peduli (2006: 47), Hastuti dan Maxwell (2003: 45), Komisi IV DPR RI (2007: 10), Lembaga Demografi FEUI (2003: 17), LP3ES (2000: 54), Perdana dan Maxwell (2004), Universitas Andalas (2006: 3-25), Universitas Brawijaya (2006: 113, 133), Universitas Hasanuddin (2006: 52), World Bank (2003: 61 dan 2005: 3). 15 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 % penerima dari RTM Data Bulog 94,84 75,14 74,07 70,35 89,55 Data BPS 138,37 143,00 127,41 149,15 162,21 % penerima dari sasaran Data Bulog 146,63 137,91 135,77 133,85 128,19 Data BPS 213,92 262,45 233,55 283,77 232,20 Sumber: Bulog dan Susenas BPS (diolah) Jika Raskin hanya dibagikan kepada rumah tangga paling miskin maka menurut data Bulog, Raskin akan mampu memenuhi 70%­95% RTM yang ada, bahkan menurut BPS akan melebihi RTM (127%­152%). Selain itu, dengan jumlah rumah tangga 50­59 juta pada 2002­2006, maka realisasi Raskin tersebut seharusnya dapat memberi manfaat kepada sekitar 40% rumah tangga di Indonesia dan bisa menjangkau seluruh rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah, meskipun dengan jumlah beras di bawah ketentuan. Namun menurut hasil Susenas, Raskin diterima oleh semua kelompok rumah tangga berdasarkan kuintil pengeluaran per kapita. Rumah tangga dari kuintil 1 dan 2 yang merupakan kelompok paling tidak sejahtera hanya mencapai 53% dari total penerima. Hal serupa ditemui di ketiga daerah sampel, yakni penerima Raskin yang berasal dari kuintil 1 dan 2 hanya 44%­63%. Sebaliknya, Raskin masih diterima rumah tangga tergolong mampu di kuintil 3­5, yang seharusnya sama sekali tidak mendapat Raskin. Hal ini berarti terdapat kebocoran sebesar 47% di tingkat nasional dan 37%­56% di wilayah sampel (Tabel 7). Tabel 7. Distribusi Penerima Raskin berdasarkan Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita (%) Kuintil 2002 2003 2004 2005 2006 16 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Indonesia Kuintil 1 29,11 28,19 28,47 29,19 29,04 Kuintil 2 23,66 23,38 23,37 24,01 23,48 Kuintil 3 19,63 19,88 20,03 19,84 19,83 Kuintil 4 16,37 16,74 16,60 16,06 16,36 Kuintil 5 11,22 11,81 11,53 10,90 11,29 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumatera Barat Kuintil 1 20,82 22,49 27,21 26,26 27,95 Kuintil 2 23,47 21,90 20,98 21,38 22,50 Kuintil 3 22,30 20,82 22,13 21,99 19,07 Kuintil 4 17,86 21,37 17,28 16,63 17,91 Kuintil 5 15,55 13,43 12,40 13,75 12,58 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Jawa Timur Kuintil 1 31,26 31,86 31,79 33,64 33,19 Kuintil 2 23,94 24,53 24,94 25,24 24,74 Kuintil 3 19,18 19,43 19,21 19,18 19,36 Kuintil 4 15,58 14,33 14,79 13,72 14,08 Kuintil 5 10,04 9,85 9,28 8,21 8,64 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sulawesi Tenggara Kuintil 1 34,25 35,39 33,14 39,67 36,59 Kuintil 2 22,79 27,43 25,80 23,24 24,20 Kuintil 3 19,57 20,46 19,98 17,17 18,55 Kuintil 4 13,94 12,05 13,09 12,56 13,96 Kuintil 5 9,45 4,68 7,98 7,37 6,70 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: Susenas BPS 2002--2006 (diolah) Ketepatan target dapat diketahui juga dengan melihat proporsi rumah tangga miskin dan tidak miskin yang terjangkau dan tidak terjangkau program. Hasil pengolahan data Susenas menunjukkan bahwa selama 2005­2006, proporsi rumah tangga miskin yang terjangkau Program Raskin meningkat 19,8 titik persen dari 62,9% menjadi 82,7%. Sayangnya, peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga miskin tersebut juga dibarengi dengan peningkatan jangkauan terhadap rumah tangga tidak miskin, yakni sebesar 8 titik persen atau meningkat dari 23,8% menjadi 31,8% (Tabel 8). Tabel 8. Persentase Penerima dan Nonpenerima Raskin Menurut Status Kemiskinan Rumah Tangga (%) 2005 2006 Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Penerima 62,88 23,85 82,69 31,82 Nonpenerima 37,12 76,15 17,31 68,18 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Keterangan: Pada 2006, miskin didefinisikan sebagai penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan tidak miskin sebagai bukan penerima BLT 17 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Sumber: Susenas BPS 2005 dan 2006 (diolah) Pada 2005 dan 2006, korelasi antara penerima Raskin dengan rumah tangga miskin di Indonesia mengalami peningkatan, namun nilainya tetap rendah yakni dari 40% menjadi 48%. Korelasi antara penerima Raskin dengan rumah tangga miskin di ketiga wilayah sampel juga meningkat. Tingkat korelasi di Sulawesi Tenggara meningkat cukup tinggi, yakni dari 43% menjadi 65%. Sedangkan di Sumatera Barat dan Jawa Timur, peningkatan nilai korelasi relatif kecil, masing-masing dari 36% menjadi 50% dan dari 41% menjadi 47% (Tabel 9). Tabel 9. Korelasi Penerima Raskin dengan Rumah Tangga Berstatus Miskin Wilayah Koefisien Korelasi 2005 2006 Indonesia 0,3987 0,4836 Sumatera Barat 0,3658 0,4995 Jawa Timur 0,4154 0,4757 Sulawesi Tenggara 0,4316 0,6574 Sumber: Susenas BPS 2005 dan 2006 (diolah) Sementara itu, berdasarkan hasil studi lapangan dapat diketahui bahwa penetapan sasaran relatif bervariasi antar wilayah. Di desa sampel Sumatera Barat sasaran relatif tepat, namun masih terdapat sebagian kecil rumah tangga miskin yang tidak menerima Raskin, dan sebaliknya ada rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima. Sementara di desa sampel Jawa Timur sasaran tidak tepat karena diterapkan sistem bagi rata sehingga seluruh kategori rumah tangga menerima Raskin. Di Sulawesi Tenggara ketepatan sasaran di desa sampel bervariasi. Satu desa sampel menerapkan sistem gilir atau bagi rata sehingga rumah tangga miskin maupun tidak miskin menjadi penerima. Sedangkan di desa sampel lain relatif tepat sasaran karena Raskin hanya dibagikan kepada rumah tangga yang berhak menerima. Meski hanya terjadi pada wilayah terbatas, berdasarkan tinjauan dokumen terdapat wilayah yang dapat melaksanakan Raskin relatif tepat sasaran. Hastuti dan Maxwell (2003: 47) menunjukkan bahwa ketepatan sasaran dipengaruhi oleh adanya ketegasan dan keseriusan kepala desa dalam membagikan Raskin hanya kepada RTM. Kebijakan tersebut bisa diterima masyarakat setempat karena adanya upaya sosialisasi dari kepala desa bahwa Raskin hanya untuk RTM, dan adanya transparansi rumah tangga penerima. Praktik tersebut dapat dilakukan meskipun di desa tetangga Raskin cenderung dibagi rata. Temuan lapangan di Sumatera Barat juga menunjukkan bahwa ketepatan sasaran dipengaruhi oleh keseriusan aparat pelaksanan. Di wilayah ini pemda tingkat provinsi hingga desa/kelurahan mendukung pelaksanaan Raskin sebagai bagian dari upaya menggiatkan program pengentasan kemiskinan. Pemda setempat menggunakan keberhasilan pelaksanaan Raskin sebagai salah satu indikator penilaian kinerja pemda di bawahnya. Dalam pelaksanaan Raskin, pemda menekankan kepada pelaksana untuk 18 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 menggunakan data RTM BPS sebagai penerima manfaat.13 Data penerima manfaat tersebut tersedia sampai ke petugas pembagi dan diketahui serta mudah diakses masyarakat. Ketepatan sasaran tersebut juga didukung oleh upaya berbagai pihak dalam meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa Raskin adalah hak RTM.14 Di samping itu, adanya penghargaan terhadap pemda kabupaten/kota pelaksana distribusi Raskin terbaik baru-baru ini (2007) diperkirakan akan mendorong pemda kabupaten/kota lain untuk berupaya memperoleh penghargaan sejenis pada tahun berikutnya. Sementara itu di Sulawesi Tenggara, ketepatan target di satu desa studi terjadi karena jumlah pagu yang diperoleh sesuai dengan jumlah RTM yang ada. Selain itu, pada saat rapat desa juga sering disisipkan upaya sosialisasi Raskin kepada masyarakat. 2.1.4 Frekuensi Pendistribusian dan Penerimaan Beras Sejak Juli 1998, pagu alokasi Raskin didistribusikan setiap bulan atau 12 kali dalam setahun, kecuali pada 2006 hanya 10 kali (Tabel 10).15 Frekuensi penyaluran pada 2007 ditetapkan 12 kali, namun dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak dilakukan secara penuh karena adanya peningkatan harga beras. Saat APBN ditetapkan, harga beras pengadaan Bulog ditentukan sebesar Rp3.550 per kg, namun pada realisasinya mengalami peningkatan sejak Juni, dan saat penelitian dilakukan mencapai Rp4.000 per kg. Karenanya, penyaluran Raskin bulan Desember, kemungkinan ditiadakan atau tetap diadakan jika pemerintah menambah anggaran. Tabel 10. Frekuensi Distribusi Raskin Per tahun Tahun Frekuensi Per Tahun 1998/1999 9 1999/2000 12 2000 9 2001 12 2002 12 2003 12 2004 12 2005 12 2006 10 2007 12 13Di Kabupaten Agam, data RTM BPS yang digunakan untuk penentuan sasaran, pada akhir 2006 sudah diverifikasi kembali oleh pemda bekerjasama dengan BPS dengan menggunakan dana APBD. 14Upaya sosialiasi juga dilakukan oleh Universitas Andalas dengan merancang dan menawarkan kepada pemda untuk menempelkan stiker "Keluarga Miskin: Ya Allah sejahterakanlah saudara kami yang miskin ini, lindungi dan rahmatilah mereka. Seandainya mereka berpura-pura miskin, kami sadar azabMu amat pedih." di rumah RTM sasaran. Divre Bulog setempat juga sudah membuat CD lagu Raskin yang menekankan bahwa Raskin hanya diperuntukkan bagi RTM. 15Pada tahun 2000 terdapat perubahan periode tahun anggaran dari April­Maret menjadi Januari­ Desember, sehingga frekuensi distribusi pada tahun tersebut hanya sembilan kali. 19 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Sumber: Pedoman Umum Raskin Berbagai Tahun Berbagai dokumen menyatakan bahwa di sebagian besar wilayah, frekuensi pendistribusian Raskin dilaksanakan sesuai aturan. Namun demikian, terdapat beberapa wilayah yang menerima frekuensi distribusi tidak penuh karena berbagai alasan. Hastuti dan Maxwell (2003: 29), Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 56), dan Universitas Indonesia (2004: 161) melaporkan bahwa terdapat wilayah yang meminta distribusi Raskin dilakukan dua bulan sekali karena kurangnya pagu. Universitas Brawijaya (2006: 94) menyatakan bahwa terdapat desa-desa yang tidak menerima Raskin setiap bulan karena terdapat masalah administrasi dan pembayaran. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 35) Raskin di Nusa Tenggara Barat hanya disalurkan pada musim paceklik dengan alasan selama musim panen terdapat banyak peluang kerja dan bahan pangan tersedia. Sementara itu menurut hasil kunjungan lapangan, frekuensi distribusi Raskin di ketiga wilayah sampel bersifat rutin dan dilaksanakan sesuai ketentuan kecuali di Kabupaten Kolaka. Di kabupaten tersebut pagu yang diterima kurang dari jumlah rumah tangga miskin sehingga diputuskan untuk mengalokasikan pagu menjadi sembilan kali distribusi. Di Provinsi Sumatera Barat juga terdapat kabupaten yang tidak melakukan pendistribusian setiap bulan, yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di kabupaten ini, Raskin didistribusikan setiap empat bulan karena lokasi kabupaten tersebut jauh dari ibukota provinsi dan hanya dapat dicapai melalui jalur laut yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Frekuensi distribusi di tingkat wilayah tidak selalu sama dengan frekuensi penerimaan oleh rumah tangga sasaran. Rumah tangga sasaran tidak selalu dapat mengakses Raskin setiap ada pendistribusian karena terdapat sistem pergiliran penerima. Pada beberapa kasus, rumah tangga tidak dapat mengakses Raskin karena tidak memiliki dana untuk membelinya atau karena tidak sampainya informasi tentang kedatangan beras.16 Berdasarkan dokumen, penerima manfaat tidak selalu menerima Raskin setiap bulan, bahkan ada yang hanya satu kali setahun. IPB (2005: slide 12-13) menyatakan bahwa frekuensi penyaluran beras Raskin di wilayah studi mereka bervariasi antara 1­10 kali per tahun dari seharusnya 12 kali. Anak Bangsa Peduli (2006: 37, 45) juga menyatakan cukup banyak responden (20­23%) yang membeli beras hanya 1­3 kali selama 2005. Lembaga Demografi FEUI (2003: 39) dan Universitas Andalas (2006: 3-22) juga mengemukakan bahwa penerima manfaat di beberapa desa tidak dapat membeli beras Raskin setiap bulan atau hanya 2­3 bulan sekali karena adanya pergiliran penerima. Sementara itu ketika frekuensi distribusi ditetapkan 10 kali per tahun pada 2006, SMERU (2007: 94) melaporkan bahwa responden tidak menerima setiap bulan melainkan hanya 1­6 kali per tahun. Hasil analisis data Susenas 2003 juga mendukung temuan dokumen. Frekuensi penerimaan Raskin oleh rumah tangga pada periode januari ­ Desember 2002, baik di tingkat nasional maupun di ketiga provinsi sampel, berkisar antara 1­8 kali. Hal tersebut berarti tidak ada rumah tangga sampel Susenas yang menerima Raskin secara penuh 12 16Anak Bangsa Peduli (2006: 47), Bulog (2006: 18), Lembaga Demografi FE-UI (2003: 79-81), Universitas Andalas (206: 3-22), Universitas Indonesia (2004: 78). 20 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 kali selama 2002. Rata-rata penerimaan Raskin hanya 4­5 kali, atau kurang dari 50% frekuensi seharusnya (Tabel 11). Tabel 11: Rata-rata Frekuensi Penerimaan Raskin per Rumah Tangga Penerima Tahun 2003 Wilayah Rata-rata Minimal Maksimal Indonesia 5 1 8 Sumatera Barat 4 1 8 Jawa Timur 5 1 8 Sulawesi Tenggara 4 1 8 Sumber: Susenas BPS 2003 (diolah) Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa di wilayah studi, sebagian besar penerima manfaat dapat memperoleh Raskin setiap ada distribusi. Di wilayah studi di Sumatera Barat, sebagian besar penerima memperoleh setiap bulan sekali. Penerima manfaat yang tidak menerima beras setiap distribusi ditemukan di satu dusun yang menerapkan sistem pergiliran untuk sebagian rumah tangga yang dinilai bukan paling miskin, sehingga mereka hanya menerima Raskin setiap dua bulan. Di desa sampel Jawa Timur, umumnya penerima dapat memperoleh Raskin setiap bulan. Sementara itu di desa sampel Sulawesi Tenggara, sebagian penerima manfaat dapat memperoleh sesuai jadwal distribusi, yakni sembilan kali per tahun. Namun di wilayah yang menerapkan sistem bagi rata dan pergiliran, penerima manfaat hanya memperoleh 3­4 kali per tahun. 2.1.5 Jumlah dan Kualitas Beras yang Diterima Penerima Manfaat Setiap tahun, pagu alokasi Raskin nasional hampir selalu terealisasi secara penuh dengan kisaran antara 95,13%­99,97% (Tabel 12). Bulog menyalurkan pagu alokasi hingga titik distribusi yang pada 2007 berjumlah lebih dari 50.000 titik distribusi. Namun demikian, hal tersebut belum cukup menunjukkan keberhasilan penyaluran program karena keberhasilan penyaluran program antara lain diukur oleh ketepatan jumlah dan kualitas beras yang diterima oleh rumah tangga penerima manfaat. Tabel 12. Pagu dan Realisasi Alokasi Raskin Tahun Pagu Realisasi (ton) ton % 2002 2.349.600 2.235.141 95,13 2003 2.059.276 2.023.664 98,27 2004 2.061.793 2.060.198 99,92 2005 1.991.897 1.991.897 99,96 2006 1.624.500 1.624.500 99,97 Sumber: Bulog Jumlah beras yang diterima penerima manfaat Jatah beras Raskin per rumah tangga sasaran per bulan mengalami beberapa kali perubahan. Setelah selama beberapa tahun ditetapkan 20 kg, pada dua tahun terakhir ini 21 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 jatah Raskin per rumah tangga per bulan berdasarkan alokasi nasional mengalami penurunan menjadi 12,5 kg pada 2006, dan 10 kg pada 2007 (Tabel 13). Tabel 13. Jumlah Jatah dan Realisasi Raskin Per Rumah Tangga Per Bulan Jatah (kg) Realisasi Rata-rata (kg) Tahun Pagu Pedoman Bulog Susenas BPS Alokasi/RTM Umum 1998/1999 10 dan 20*) 10 dan 20*) na na 1999/2000 20 20 na na 2000 20 20 na na 2001 14,38 10­20 na na 2002 20 20 13,0 8,9 2003 20 20 14,3 7,5 2004 20 20 14,7 8,6 2005 20 10­20 14,9 7,0 2006 12,5 10­15 9,8 5,7 2007 10 10 na na Keterangan: *) Jumlah beras pada Juli­November 1998 sebanyak 10 kg per bulan dan pada Desember 1998­Maret 1999 sebanyak 20 kg per bulan na = data tidak tersedia Sumber: Pedoman Umum Raskin berbagai tahun dan data Bulog serta data Susenas BPS (diolah) Jatah beras per rumah tangga berdasarkan alokasi tersebut pada 2001, 2005, dan 2006 tidak sama dengan yang tercantum dalam pedum. Pada tahun tersebut, pedum menetapkan jumlah beras per rumah tangga sasaran tidak dalam jumlah yang pasti, melainkan berdasarkan kisaran. Pada 2005 misalnya, pedoman umum membolehkan pembagian dengan kisaran 10­20 kg per rumah tangga, padahal pagu alokasi 20 kg. Di satu sisi hal tersebut dapat memberi peluang kepada pelaksana untuk menjangkau rumah tangga miskin yang tidak menerima jatah, namun di sisi lain bisa menjadi peluang terjadinya penyimpangan. Tinjauan dokumen menunjukkan bahwa jumlah beras yang diterima rumah tangga penerima manfaat bervariasi dan umumnya kurang dari alokasi yang seharusnya.17 Bahkan ketika jatah beras ditetapkan 20 kg terdapat penerima manfaat yang memperoleh 2 liter.18 World Bank (2005: 3) mengemukakan bahwa penerima manfaat rata-rata hanya memperoleh 6-10 kg per distribusi. Universitas Indonesia (2004: 142) menyatakan bahwa beras yang diperoleh penerima manfaat hanya 8­16 kg per distribusi. Universitas Andalas 17Anak Bangsa Peduli (2006: 44), Bulog (2006: 37), Hastuti dan Maxwell (2003: 37), Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 58), IPB (2005: slide 12 dan 2006: slide 11), Lembaga Demografi FEUI (2003: 79), LP3ES (2000: 29), PT Daya Makara UI (2006: 95), SMERU (2007: 72-73), Tim Monitoring dan Evaluasi Raskin Jawa Barat (2005: slide 26), Universitas Andalas (1999: IV-30, 2005: 3-13, dan 2006: 3-22), Universitas Bojonegoro (2006: 53), Universitas Brawijaya (2006: 133), Universitas Indonesia (2004: 142), USESE Foundation (2004: 83). 18Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 58), IPB (2005: slide 12 dan 2006: slide 11), Lembaga Demografi FEUI (2003: 79). 22 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 (2006: 3-22) juga melaporkan bahwa terdapat penerima manfaat yang hanya menerima 3 kg. Penerima manfaat yang memperoleh beras kurang dari ketentuan juga ditemukan di Kabupaten Bogor dengan rata-rata 2­4 kg/bulan dan di Kabupaten Sukabumi 6­8 kg/bulan.19 Hasil analisis terhadap data Susenas menunjukkan bahwa Raskin dibagikan kepada jumlah penerima manfaat yang lebih banyak daripada sasaran, yakni mencapai 2­3 kali lipat, sehingga jumlah beras yang diterima setiap penerima manfaat lebih rendah dari ketentuan (Tabel 14). Menurut data Bulog, penerima manfaat memperoleh 9,8­14,9 kg per bulan, sedangkan menurut data Susenas BPS hanya 5,7­8,9 kg per bulan. Jumlah tersebut masing-masing hanya mencapai 65%­78% dan 35%­45% dari jatah alokasi per penerima manfaat. Tabel 14. Realisasi Jumlah Beras Raskin Per Rumah Tangga Realisasi Realisasi Penerima Jumlah beras per Tahun Penyaluran Manfaat (rumah tangga) Penerima Manfaat (kg) (ton) Bulog BPS Bulog BPS 2002 2.235.141 14.355.227 20.943.085 13,0 8,9 2003 2.023.664 11.832.897 22.519.131 14,3 7,5 2004 2.060.198 11.664.050 20.063.738 14,7 8,6 2005 1.991.897 11.109.274 23.552.956 14,9 7,0 2006 1.624.500 13.882.731 25.147.329 9,8 5,4 Sumber: Bulog dan Susenas BPS 2002­2006 Temuan tidak jauh berbeda juga diperoleh dari hasil kunjungan lapangan yang menunjukkan bahwa ketika alokasi beras ditetapkan 10 kg pada 2007, penerima manfaat tidak selalu memperoleh beras sesuai ketentuan dan terdapat perbedaan antarwilayah. Di desa sampel Sumatera Barat, rumah tangga penerima manfaat umumnya memperoleh beras sesuai ketentuan, yakni 10 kg per bulan. Penerima manfaat yang memperoleh Raskin di bawah ketentuan, tepatnya 10 liter, hanya ditemui di satu lingkungan. Hal tersebut terjadi karena petugas pembagi menambahkan rumah tangga miskin tidak terdaftar sebagai penerima manfaat atas persetujuan kepala desa dan ketua lingkungan serta diketahui oleh rumah tangga terdaftar. Di desa sampel Jawa Timur, penerima manfaat memperoleh 4­7 kg per bulan karena Raskin dibagikan secara merata kepada seluruh rumah tangga. Meskipun jumlah beras yang diterima lebih kecil dari seharusnya, masyarakat tidak mempermasalahkan karena mereka lebih mementingkan kebersamaan. Khusus di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, variasi jumlah beras tidak hanya terjadi antar desa/kelurahan tetapi antar dusun. Di satu dusun yang melakukan pergiliran, penerima manfaat memperoleh beras sesuai ketentuan 10 kg tetapi tidak setiap distribusi menjadi penerima. Sementara itu di dusun lain di desa yang sama yang menerapkan bagi rata, penerima manfaat hanya memperoleh 4 kg per distribusi. Di desa sampel lain, 19IPB (2005: slide 12-13). 23 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 jumlah penerima manfaat sama dengan jumlah rumah tangga sasaran sehingga setiap rumah tangga penerima memperoleh 10 kg per distribusi. Kualitas beras Kualitas beras Raskin berdasarkan pedum adalah beras berkualitas medium kondisi baik dan tidak berhama, sesuai dengan standar kualitas pembelian pemerintah yang diatur dalam perundang-undangan.20 Berdasarkan tinjauan dokumen, kualitas beras Raskin yang diperoleh penerima manfaat bervariasi, sebagian besar cukup baik, namun terkadang buruk21. Menurut Lembaga Demografi FEUI (2003: 24), kualitas beras yang kurang baik hanya terdapat pada beberapa karung saja. Secara umum, masalah kualitas beras Raskin yang selalu mendapat kritikan pada tahap awal program OPK, pada tahun-tahun berikutnya menunjukkan kecenderungan yang membaik. Menurut hasil studi Hastuti dan Maxwell (2003: 25), kualitas beras Raskin di wilayah sampel masih dalam standar yang bisa diterima. IPB (2005: slide 25), Tim Monitoring dan Evaluasi Program Raskin Jawa Barat (2005: slide 10, 16, 27), dan Universitas Andalas (2006: 3-24) melaporkan bahwa sebagian besar responden menyatakan kualitas beras yang mereka terima layak untuk dikonsumsi. Universitas Indonesia (2004: 145) juga melaporkan bahwa kualitas beras Raskin tidak jauh berbeda dengan kualitas beras yang biasa dikonsumsi penerima manfaat. Hasil studi lapangan menemukan hal yang sama. Responden di ketiga wilayah sampel menyatakan bahwa beras Raskin yang diterima belakangan ini berkualitas baik atau setara dengan beras yang biasa mereka konsumsi. Namun, pada tahun-tahun sebelumnya, kadang-kadang mereka menerima beras berkualitas kurang baik seperti bau, berkutu, dan berwarna kuning. 2.1.6 Harga Beras dan Sistem Pembayaran Sejak awal pelaksanaan program pada 1998, harga beras Raskin ditetapkan Rp1.000 per kg di titik distribusi. Hasil tinjauan dokumen menunjukkan bahwa penerima manfaat membayar harga yang bervariasi pada kisaran Rp1.000­Rp2.900 per kg. Sebagian besar dokumen menyatakan adanya penerima manfaat yang membayar sesuai ketentuan Rp1.000 per kg. Namun demikian, seluruh dokumen menyatakan adanya penerima manfaat yang membayar lebih dari ketentuan. Bahkan menurut IPB (2006: slide 12) harga Raskin di wilayah sampel ada yang mencapai Rp3.750 per kg (Tabel 15). Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaktepatan harga yang dibayar penerima manfaat. Tabel 15. Harga Raskin yang Dibayar Penerima Manfaat Menurut Berbagai Dokumen Pelaksana Penelitian Tahun Harga Publikasi (Rp/kg) 20Pedoman Umum Raskin (2007: 21-22). 21Anak Bangsa Peduli (2006: 37, 44), IPB (2005 slide 25), Institute of Empowerment and Development Studies (2006: 86), Komisi IV DPR RI (2007: 11), LP3ES (2000: 30), PT Daya Makara UI (2006: 98), SMERU (1998: 9 dan 2007: 98), Universitas Bojonegoro (2006: 55), Universitas Brawijaya (2006: 105- 109), USESE Foundation (2004: 73). 24 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Anak Bangsa Peduli 2006 1.000-1.500 Bulog 2006 1.000-2.000 Hastuti dan Maxwell 2003 1.100-1.875 Institut Pertanian Bogor 2005 1.400-1.800 Institut Pertanian Bogor 2006 1.037-3.750 Institute of Empowerment and 2006 1.000-1.440 Development Studies LP3ES 1999 1.000-1.500 Lembaga Demografi FEUI 2003 1.000-2.200 SMERU 2003 1.100-1.875 SMERU 2007 1.100-1.750 Tim Raskin Jawa Barat 2005 1.125-1.500 Universitas Andalas 1999 1.000-1.300 Universitas Andalas 2005 1.000-1.500 Universitas Andalas 2006 1.000-1.600 (ada kasus 2.700) Universitas Bojonegoro 2006 1.000-1.400 Universitas Brawijaya 2006 1.000-1.250 Universitas Hasanuddin 2006 1.000-1.350 Universitas Indonesia 2004 1.000-1.200 USESE Foundation 2004 1.000-1.800 World Bank 2006 Maksimal 2.900 Berdasarkan data Susenas 2004­2006, harga rata-rata nasional yang dibayar penerima manfaat melebihi ketentuan dan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal tersebut juga terjadi pada tiga provinsi sampel (Tabel 16). Diantara ketiga wilayah sampel, harga rata-rata di provinsi Sumatera Barat paling tinggi, dan di Jawa Timur paling rendah. Tabel 16. Harga Raskin di Tingkat Rumah Tangga Wilayah Harga rata-rata (Rp/kg) 2004 2005 2006 Indonesia 1.160 1.225 1.253 Sumatera Barat 1.175 1.261 1.477 Jawa Timur 1.090 1.117 1.081 Sulawesi Tenggara 1.126 1.233 1.319 Keterangan: -periode 3 bulan terakhir (2004 & 2005) -periode 6 bulan terakhir (2006) Sumber: Susenas BPS 2004­2006 (diolah) Studi lapangan di ketiga daerah sampel menunjukkan bahwa harga yang dibayar oleh penerima manfaat bervariasi. Di desa sampel Sumatera Barat, penerima manfaat membayar Rp1.200­Rp 1.300 per kg, di Jawa Timur Rp1.000 per kg, dan di Sulawesi Tenggara Rp1.000­Rp1.440 per kg. Di Jawa Timur, harga sesuai dengan ketentuan 25 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 karena titik distribusi berlokasi di desa dan sekaligus berfungsi sebagai titik bagi beras.22 Di Sumatera Barat, harga lebih tinggi karena titik distribusi berada di kantor kecamatan yang jaraknya bisa mencapai 25 km dari titik bagi. Di Sulawesi Tenggara, harga ada yang tepat dan ada yang tidak tepat karena fungsi titik distribusi berbeda, ada yang sekaligus sebagai titik bagi tetapi ada yang hanya sebagai titik distribusi. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketepatan harga Raskin antara lain ditentukan oleh jarak titik distribusi dari penerima manfaat dan fungsi titik distribusi, yakni hanya sebagai titik distribusi atau sekaligus sebagai titik bagi. Beberapa hasil studi lain juga menyatakan bahwa harga Raskin ditentukan oleh biaya transportasi.23 Pengurangan harga Raskin juga dapat dipengaruhi oleh penyediaan kemasan (kantong plastik, karung, ember) oleh penerima manfaat 24dan besarnya kontribusi APBD.25 Variasi harga juga dipengaruhi oleh kebijakan dalam memutuskan harga yang sebagian besar ditentukan oleh pelaksana lokal. Hastuti dan Maxwell (2003: 35) melaporkan bahwa terdapat kecenderungan kepala desa paling berperan dalam memutuskan harga. Menurut USESE Foundation (2006: 56, 64, 69) dan Lembaga Demografi FEUI (2003: 19, 88-89) harga ditetapkan secara bervariasi, yakni melalui musyawarah, atau diputuskan oleh ketua RT/RW, PKK, atau kepala desa. Sedangkan menurut Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 67), PT Daya Makara UI (2006: 93), dan Universitas Hasanuddin (2006: 39), penetapan harga disepakati bersama oleh kepala desa dengan penerima manfaat. Berdasarkan hasil studi lapangan dapat diketahui bahwa harga diputuskan secara bervariasi. Di desa sampel Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara, harga diputuskan oleh kepala desa atau petugas pembagi, sedangkan di Jawa Timur diputuskan melalui musyawarah desa. Meskipun tidak di semua lokasi penerima manfaat tidak dilibatkan dalam penentuan harga, namun umumnya mereka dapat menerima keputusan tersebut karena harga yang ditetapkan lebih rendah daripada harga pasar. Rumah tangga penerima umumnya membayar beras raskin secara tunai (cash and carry). Pada beberapa kasus terdapat rumah tangga penerima yang membayar sebelum beras datang, tetapi ada juga yang membayar beberapa hari setelah beras diterima. Keharusan membayar beras secara tunai dapat menyebabkan penerima tidak sanggup membeli pada saat beras datang. Menurut Lembaga Demografi FEUI (2003: 18), jika RTM tidak bisa menebus beras maka jatahnya akan ditawarkan kepada rumah tangga lain yang belum tentu miskin. Uang yang terkumpul dari penerima manfaat akan diserahkan oleh petugas pembagi kepada pelaksana di titik distribusi. Selanjutnya, pelaksana di titik distribusi akan menyetorkannya ke subdivre Bulog, secara langsung atau melalui transfer bank. Biasanya, pelaksana di titik distribusi diberi kelonggaran dalam menyetorkan uang sampai dua minggu sejak beras diterima di titik distribusi. Kelancaran pembayaran dari 22Titik bagi adalah tempat RTM mengambil beras. 23Hastuti dan Maxwell (2003: 35), Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 67), Lembaga Demografi FEUI (2003: 19), PT Daya Makara UI (2006: 93), Universitas Bojonegoro (2006: 51). 24Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 34), Lembaga Demografi FEUI (2003: 22). 25Universitas Andalas (2006: 3-23). 26 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 pelaksana di titik distribusi tersebut menentukan kelancaran penyaluran beras berikutnya. Sebelum dana disetorkan, Bulog tidak akan menyalurkan beras kepada titik distribusi bersangkutan.26 2.1.7 Peningkatan Kapasitas Program Raskin tidak mengagendakan aspek peningkatan kapasitas lembaga pelaksana atau masyarakat secara khusus. Hal tersebut dikarenakan program ini dirancang hanya untuk menyediakan bantuan beras bersubsidi guna mengurangi beban pengeluaran RTM. Namun demikian, pada 2005­2006, Bulog pernah meminta sepuluh perguruan tinggi untuk melakukan kajian sekaligus pendampingan di 12 provinsi. Dalam melaksanakan tugasnya, perguruan tinggi tersebut menempatkan mahasiswa di beberapa desa/kelurahan untuk memberikan pendampingan kepada pelaksana Raskin terkait dengan aspek sosialisasi, penentuan sasaran, penyaluran, dan pembayaran. Selain itu, perguruan tinggi pendamping juga memberikan masukan kepada Perum Bulog. Pelaksanaan pendampingan dari perguruan tinggi kepada pelaksana di tingkat desa/kelurahan tidak efektif karena kegiatannya bersifat proyek, lebih ditujukan untuk penelitian, dan wilayah dampingannya terbatas. Universitas Andalas misalnya hanya memberikan pendampingan di enam desa/kelurahan pada 2005 dan di 12 desa/kelurahan pada 2006 dari total 900 desa/kelurahan di Sumatera Barat. Pada masing-masing tahun, pendampingan hanya dilakukan selama dua bulan. Hasil kunjungan lapangan juga menunjukkan hal yang sama. Upaya pendampingan dan peningkatan kapasitas terhadap lembaga pelaksana dan penerima manfaat tidak ditemukan di tiga wilayah sampel. Bahkan, di satu desa sampel di Jawa Timur yang merupakan salah satu desa dampingan perguruan tinggi, tidak terungkap adanya informasi yang menyatakan desa tersebut pernah mendapatkan pendampingan. Namun demikian, meskipun tidak diperoleh secara khusus, peningkatan kapasitas bisa juga diperoleh melalui pengalaman dalam melaksanakan program. Pelaksana program dapat memperoleh tambahan pengetahuan dalam berbagai aspek terkait pelaksanaan Raskin, seperti dalam perencanaan, penetapan sasaran, pendistribusian, pengelolaan keluhan, dan pelaporan. Bagi pihak lain seperti perguruan tinggi, lembaga nonpemerintah, dan lembaga penelitian, pelaksanaan Raskin dapat dijadikan sumber pengetahuan melalui pelaksanaan berbagai kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi. Tabor dan Sawit (2006: 61), menyatakan bahwa Raskin telah berperan sebagai laboratorium yang bermanfaat dalam membangun kapasitas masyarakat sipil di berbagai tingkatan, melalui kegiatan monitoring dan pemberlakuan akuntabilitas program. 2.2 STRUKTUR PENDANAAN Sesuai dengan skala operasional program yang bersifat nasional, pendanaan Program Raskin pada dasarnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sejak awal pelaksanaan sumber pendanaan mengalami beberapa perubahan. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 98), pada delapan bulan pertama pelaksanaan Program, dana sepenuhnya 26Anak Bangsa Peduli (2006: 47), Lembaga Demografi FEUI (2003: 18), SMERU (2007: 77), Universitas Hasanuddin (2006: 36), dan USESE Foundation (2004: 74). 27 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 berasal dari dana rutin APBN atau rupiah murni. Setelah itu hingga 2001, program dimasukkan sebagai salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) sehingga sumber pendanaannya tidak lagi dari rupiah murni, melainkan dari pinjaman lunak Bank Dunia, IMF, Program Pangan Dunia (WFP), hibah dan bantuan bilateral dalam kerangka Social Safety Net Adjustment Loan (SSN-AL). Sejak 2002 hingga sekarang, program tidak lagi merupakan bagian JPS sehingga sumber pendanaannya kembali berasal dari dana rutin APBN atau rupiah murni. Disamping dana APBN, pelaksanaan Raskin juga ditunjang oleh dana yang bersumber dari APBD dan masyarakat. 2.2.1 Jumlah Dana Jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk Program Raskin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejalan dengan makin meningkatnya sasaran RTM. Pada tahun pertama pelaksanaan (1998­1999), dana APBN yang terserap berjumlah Rp2,67 triliun.27 Pada 2007 jumlah dana Raskin meningkat menjadi Rp6,28 triliun (Tabel 17). Hal tersebut berarti sejak awal program hingga 2007, anggaran Program Raskin mengalami peningkatan rata-rata 15% per tahun. Sebagai penanggung jawab penyaluran beras dari titik distribusi hingga penerima manfaat, pedum meminta pemda mengalokasikan dana APBD untuk pelaksanaan Raskin. Pemerintah provinsi diminta menyediakan anggaran untuk pembinaan, koordinasi, dan monev. Pemerintah kabupaten/kota diminta mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional dari titik distribusi sampai penerima manfaat, serta untuk pembinaan Unit Pengaduan Masyarakat (UPM), koordinasi, dan monev. Tabel 17. Anggaran Raskin dan Realisasi Penggunaannya 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Anggaran Raskin (Rp triliun) 4,24 4,8 4,83 4,97 5,32 6,28 Biaya Realisasi APBN per kg (Rp) Pengadaan 1.781,55 1.582,09 1.410,14 2.240,98 3.143,53 3.671,88 Pengemasan 96,59 106,74 36,83 42,73 49,7 57,06 Eksploitasi 157,54 175,75 175,84 354,37 474,43 483,59 Manajemen 87,54 84,52 90,35 190,96 248,65 246,17 Biaya bank 21,53 25,32 21,41 48,98 79,1 110,62 Beban bunga 280,51 277,44 232,32 452,91 592,72 na Historic stock carry over 677,21 1.086,98 1.494,67 na na na Total biaya 3.102,47 3.338,84 3.461,56 na na na Catatan: - Untuk tahun 2005­2007, Bulog tidak memberikan data biaya historic stock carry over. - Biaya eksploitasi meliputi biaya gudang (sewa, survey, pembangunan, dan perbaikan), transportasi beras antar daerah, penyusutan, fumigasi dan penyemprotan. - Historic stock carry over adalah nilai historis atau nilai buku dari beras yang dibeli pada tahun sebelumnya dan dijual kepada pemerintah pada tahun berjalan. Sumber: - Tahun 2002­2004 dari Tabor dan Sawit (2006: 41). - Tahun 2005­2007 dari Bulog. 27Tabor dan Sawit (2006: 107). 28 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Menurut Universitas Indonesia (2004: 153­156), komitmen pemda melalui APBD diperlukan untuk menyediakan dana talangan,28 biaya distribusi, dan sosialisasi. Dari lima kabupaten sampel hanya satu yang menyediakan dana talangan dan tidak ada satu pun yang menyediakan dana operasional. Anak Bangsa Peduli (2006: 33, 40) menyatakan bahwa terdapat satu kabupaten sampel yang menyediakan biaya operasional dan satu kabupaten lain menyediakan biaya pembenahan. Sementara itu Universitas Andalas (2006: 3-26 dan 3-27) menyatakan bahwa semua daerah kabupaten/kota di Sumatera Barat telah menyediakan dana pendamping, namun jumlahnya belum memadai dan bervariasi. Adapun yang menyediakan dana talangan hanya satu kota. Temuan lapangan menunjukkan bahwa dukungan dana pemda terhadap Program Raskin bervariasi. Pemerintah daerah sampel yang cukup responsif dalam menunjang biaya Raskin adalah Sumatera Barat. Di provinsi ini seluruh kabupaten/kota telah memberikan kontribusi dengan jumlah yang bervariasi. Sebagai contoh pada 2007, Kabupaten Pasaman menyediakan Rp1,3 miliar dan Kabupaten Agam menyediakan Rp110 juta. Di Jawa Timur, menurut Bapemas per Agustus 2007 hanya lima kabupaten yang telah mengalokasikan anggaran untuk menunjang kegiatan Raskin, yakni Kabupaten Probolinggo (Rp62,8 juta), Lamongan (Rp250 juta), Lumajang (Rp112,7 juta), Jember (Rp90 juta), dan Nganjuk (Rp156 juta). Sementara itu di Provinsi Sulawesi Tenggara, tidak ada satu pun pemerintah kabupaten/kota yang memberikan kontribusi APBD untuk mendukung Program Raskin. Dalam pemenuhan biaya distribusi dari titik distribusi hingga penerima manfaat, pedum juga menganjurkan untuk mendorong partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk pembayaran harga beras oleh penerima manfaat yang lebih tinggi dari patokan harga resmi Rp1.000 per kg di titik distribusi. Dari hasil tinjauan dokumen dan studi lapangan dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat bervariasi, seperti diulas pada sub bab 2.1.6 tentang harga beras yang dibayar penerima manfaat. 2.2.2 Penggunaan Dana Secara teknis dana APBN untuk Raskin digunakan untuk membiayai tiga kegiatan pokok, yakni pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian beras sampai titik distribusi. Tabel 17 menyajikan rincian penggunaan dana APBN untuk Raskin selama 2002-2007 yang sebagian besar terserap untuk biaya pengadaan beras. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 41), pada 2002-2004 sebagian besar anggaran Raskin terserap untuk biaya pengadaan beras (41%­57%) dan biaya historic stock carry over (22%­43%). Komponen biaya lainnya mencakup beban bunga bank (6,7%­9,0%) dan biaya eksploitasi (5,1%­5,3%). Untuk biaya managemen, yang sering menjadi tolok ukur efisiensi penggunaan dana suatu program, jumlahnya hanya mencapai (2,5%­2,8%). Pada 2005­2007, data penggunaan dana APBN dari Bulog juga mengindikasikan pola yang hampir sama. Namun demikian, selama periode 2002­2007, masing-masing komponen biaya tidak menunjukkan kecenderungan yang sama. Komponen biaya pengadaan dan pengemasan berfluktuasi, sementara komponen biaya eksploitasi, manajemen, biaya bank, dan beban bunga mengalami peningkatan cukup tinggi. 28 Dana talangan merupakan dana yang disediakan oleh pemda dan dititipkan kepada Bulog untuk menalangi pembayaran Raskin dari masyarakat sehingga dapat menjamin rutinitas distribusi Raskin. 29 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, biaya Program Raskin yang masih menjadi tanggungan APBN adalah biaya distribusi beras hingga titik distribusi. Secara nasional, pada 2007 biaya distribusi rata-rata Rp173/kg. Di tingkat wilayah, biaya distribusi dari APBN bervariasi antara Rp105/kg untuk Jawa hingga Rp1.855/kg untuk Papua. Di Sumatera Barat, biaya distribusi ditetapkan Rp141/kg, khusus untuk Kepulauan Mentawai yang sulit diakses, Rp411/kg. Di Jawa Timur, biaya distribusi ditetapkan Rp102/kg, dan untuk subdivre Bojonegoro yang meliputi tiga kabupaten ditetapkan Rp114/kg. Biaya distribusi dari APBN digunakan untuk biaya transportasi dan biaya pendukung lainnya seperti biaya-biaya administrasi, pelaporan, sosialisasi, perjalanan dinas, dan honor. Di Subdivre Bojonegoro Jawa Timur, total biaya operasional Raskin pada Juli 2007 mencapai Rp280,8 juta untuk mendistribusikan beras sebanyak 2.456 ton ke 1.232 titik distribusi. Sebagian besar biaya tersebut terserap untuk biaya pengangkutan dari gudang Bulog ke titik distribusi (43% atau Rp49/kg) dan biaya di titik distribusi (25% atau Rp28/kg). Adapun biaya pendukung, sebagian besar terserap untuk biaya honor dan biaya perjalanan dinas (Tabel 18). Biaya honor yang dikeluarkan mencakup honor untuk anggota Tim Raskin daerah dan pihak lain yang terkait. Kebijakan tentang pemberian honor tersebut tidak diatur Bulog secara formal melainkan tergantung pada masing-masing divre atau subdivre dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing daerah. Ada subdivre yang memberikan dana kepada pelaksana di setiap titik distribusi sebesar Rp25.000 per distribusi. Ada pula subdivre yang memberikan honor kepada para pejabat/instansi terkait. Tabel 18. Penggunaan Biaya Operasional Raskin di Subdivre Bojonegoro per Juli 2007 Biaya (Rupiah) Uraian Biaya Total Biaya per Kg Persentase (Rp) (Rp/kg) (%) A. Biaya distribusi 189.933.390 77 67.65 - Biaya angkutan 120.349.390 49 42.86 - Biaya titik distribusi 69.584,000 28 24.78 B. Biaya pendukung 90.832.990 37 32.35 - Biaya administrasi 18.502.530 8 6.59 - Biaya honor dan perjalanan dinas 45.052.800 18 16.05 - Biaya rapat dan koordinasi 27.277.660 11 9.72 Total biaya operasional 280.766.380 114 100.00 Sumber: Divre Bulog Jawa Timur, 2007 Mengenai penggunaan dana APBD, beberapa dokumen yang melaporkan adanya pemda yang menyediakan APBD untuk pelaksanaan Raskin, tidak membahas secara rinci tentang penggunaannya. Dokumen hanya menyatakan bahwa dana APBD digunakan untuk biaya operasional, biaya pembenahan, dan sebagai dana talangan. Namun 30 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 demikian, Universitas Andalas (2006: 3-23) melaporkan bahwa APBD di Kabupaten Pasaman digunakan untuk biaya distribusi beras sehingga penerima manfaat membayar beras Rp1.000 per kg. Studi lapangan menunjukkan bahwa secara umum dana APBD digunakan untuk membiayai kegiatan tim pelaksana Raskin. Di Sumatera Barat, dana APBD digunakan untuk insentif petugas pelaksana tingkat kecamatan yang besarnya Rp18/kg. Petugas pelaksana di kecamatan sampel yang diangkat camat berjumlah 6 orang sehingga masing- masing petugas menerima Rp75.000 per distribusi. Di Jawa Timur, sebagian besar penggunaan dana APBD hanya untuk biaya operasional tim koordinasi Raskin masing- masing kabupaten, bukan untuk kegiatan distribusi beras atau untuk menambah kekurangan pagu yang diterima. Sementara itu, biaya yang bersumber dari masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk pembayaran harga beras lebih tinggi dari ketentuan, umumnya digunakan untuk biaya transportasi beras dari titik distribusi hingga titik bagi. Biaya transportasi mencakup juga biaya bongkar muat dan insentif petugas. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 41), biaya yang bersumber dari masyarakat penerima pada 2002­2004 mencapai Rp190/kg, Rp210/kg dan Rp250/kg, atau secara nasional berjumlah Rp425 milyar, Rp425 milyar, dan Rp515 milyar. 2.2.3 Efektivitas dan Efisiensi Penggunaan Dana Kinerja sebuah program ditentukan juga oleh tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Indikator efektivitas dan efisiensi penggunaan dana antara lain mencakup kesesuaian jenis penggunaan, biaya unit kegiatan, dan hasil kegiatan. Berdasarkan tinjauan dokumen, terdapat dua pendapat terhadap tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan dana Raskin. Pendapat pertama menyatakan bahwa penggunaan dana Raskin tidak efektif dan tidak efisien (World Bank 2003: 63, 2005: 3, 2006: 215). Argumen yang melatarbelakangi pandangan tersebut adalah: (i) Sasaran Program Raskin kurang tepat sehingga mengakibatkan terjadinya kebocoran dana Raskin kepada rumah tangga yang tidak berhak menerima. Pada 2003, dari total anggaran Rp4,83 triliun, hanya 18% yang dinikmati oleh rumah tangga miskin. Sebagian besar (52%) dari anggaran tersebut justru dinikmati oleh rumah tangga tidak miskin. Hal tersebut didukung data Susenas yang telah diulas pada sub bab 2.1.3, bahwa kebocoran penargetan mencapai 47%; (ii) Biaya operasional program termasuk keuntungan Bulog, dinilai terlalu besar karena menyerap 30% dari total anggaran Raskin; (iii) Selisih harga pengadaan dan harga jual beras Bulog kepada pemerintah terlalu besar. Pada 2004, pemerintah membayar harga Rp3.343/kg, padahal penyediaan beras oleh pihak swasta dapat diperoleh pada tingkat harga Rp2.800/kg. Perbedaan harga pengadaan dan penjualan beras dari Bulog juga dapat dilihat pada Tabel 19. Selisih kedua harga tersebut berkisar antara 12%­20%, atau rata- rata 16% per tahun. Tabel 19. Selisih Harga Pengadaan dan Harga Penjualan Beras Bulog 31 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Harga Beras Bulog 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Harga pengadaan (Rp/kg) 2.470 2.790 2.790 2.790 3.550 4.000 Harga penjualan (Rp/kg) 2.804 3.343 3.343 3.494 4.275 4.620 Perbedaan (Rp/kg) 334 553 553 704 725 620 Perbedaan (%) 12% 17% 17% 20% 17% 13% Sumber: Tabor dan Sawit (2006: 38), Bulog (2007). Pendapat kedua menyatakan bahwa pelaksanaan Program Raskin efektif dan efisien hanya berdasarkan proporsi biaya manajemen program (Tabor dan Sawit 2006: 39­42). Biaya manajemen Raskin selama 2002­2004 hanya 2,66%, 2,38% dan 2,43% dari total biaya, jumlah tersebut sangat rendah dibandingkan dengan standar biaya manajemen program bantuan sosial di seluruh dunia. Rasio biaya manajemen 10% biasanya dianggap baik untuk standar internasional dan beberapa program bantuan sosial di Eropa memiliki biaya manajemen 12%­15%. Meskipun menyatakan biaya manajemen rendah, Tabor dan Sawit (2006: 42) juga menyatakan perlunya mengurangi biaya Program Raskin secara signifikan karena program ini menggunakan kredit komersial jangka pendek,29 biaya distribusi lebih tinggi dari yang diperlukan, mutu beras lebih rendah dari semestinya, history stock carry over lebih besar dari kebutuhan, dan dalam pengelolaan Bulog menggunakan pekerja temporer. Mengenai aspek ketidaktepatan sasaran yang mengambil porsi cukup besar dalam pelaksanaan Program Raskin, Tabor dan Sawit (2006: 35­37) menyatakan bahwa faktor ini belum bisa menjadi tolok ukur penilaian efisiensi penggunaan dana Program Raskin. Hal ini dikarenakan masih terdapat kelemahan data dan perbedaan persepsi mengenai kemiskinan dan rawan pangan, dan oleh karena itu sulit untuk menyimpulkan apakah penargetan Program Raskin telah berlangsung dengan baik. Hasil studi lapangan mengindikasikan bahwa penggunaan dana tidak efektif dan tidak efisien. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh adanya kekurangtepatan sasaran dan penggunaan dana (lihat sub bab 2.1.3). Kekurangtepatan penggunaan dana terindikasi dari adanya dana APBN Raskin yang digunakan untuk honor pejabat/instansi lokal. Sebagai contoh, beberapa subdivre menyediakan dana Rp25.000 per titik distribusi. Sementara itu, subdivre lain memberikan honor kepada pejabat/instansi dari tingkat kabupaten hingga desa yang berjumlah Rp2.060.000 per bulan atau Rp24.720.000 per tahun (Tabel 20). Jika praktek pemberian honor tersebut berlaku secara nasional maka akan menyerap dana Raskin sekitar Rp40 milyar per tahun.30 Tabel 20. Biaya Operasional untuk Honor Pejabat/Instansi Lokal Penerima Honor Jumlah Honor 29Dalam pelaksanaan Raskin, Bulog mendanai pengadaan dan biaya operasional penyaluran beras dengan menggunakan kredit komersial dari lembaga perbankan yang kemudian akan ditagihkan kepada pemerintah melalui Departemen Keuangan. 30Perhitungan berdasarkan jumlah kabupaten, kecamatan, dan desa. 32 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 (Rp/Distribusi) Bupati 800.000 Pemda 300.000­400.000 BPS 300.000 Bawasda 400.000 Camat 75.000 Mantis/PLKB 50.000 Kepala desa 35.000 Kepolisian sektor 25.000­50.000 Sumber: Hasil Wawancara Narasumber Penggunaan dana dalam Program Raskin yang tidak efisien tidak saja terbatas pada penggunaan dana yang bersumber dari APBN, namun juga terjadi pada penggunaan dana APBD. Hal tersebut dapat diketahui dari dana APBD Raskin Kabupaten Agam yang digunakan untuk honor petugas pelaksana di tingkat kecamatan. Praktek pemberian honor tersebut selain tidak efisien juga telah melanggar aturan penggunaan anggaran. Alasannya, peran masing-masing pejabat/institusi dalam pelaksanaan Program Raskin merupakan peran yang sudah melekat dalam koridor tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pejabat bersangkutan, sehingga tidak seharusnya mendapatkan honor atau insentif tambahan. Penggunaan dana yang tidak efisien juga ditemukan pada penggunaan dana yang bersumber dari rumah tangga penerima. Di desa sampel Sumatera Barat misalnya, penerima manfaat membayar Raskin Rp1.200­Rp1.300 per kg. Artinya terdapat selisih Rp200­Rp300 per kg yang dianggarkan untuk biaya transportasi dari titik distribusi ke titik bagi. Karena biaya transportasi riil hanya Rp44­Rp125 per kg, terdapat kelebihan dana Rp154­175 per kg. Kelebihan dana dari rumah tangga penerima tersebut tidak diinformasikan kepada masyarakat secara transparan, dan dianggap sebagai "hak" petugas pembagi. Petugas pembagi ada yang memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, dan ada juga yang membagikan kepada unsur terkait lain, seperti PKK, Posyandu, dan kepala desa. Hanya dengan jumlah penerima manfaat antara 34­66 rumah tangga per titik bagi, petugas pembagi beserta untuk terkait di tingkat lokal dapat memperoleh kelebihan dana antara Rp53.000­Rp118.000 setiap kali distribusi. Dalam kasus ini, persoalannya tidak semata menyangkut tidak efisiennya penggunaan dana, melainkan menyangkut pula aspek moral. Hal tersebut karena rumah tangga miskin justru harus memberikan "subsidi"­tidak penting berapa jumlahnya­ kepada para petugas pembagi yang bukan termasuk kelompok miskin. Munculnya persoalan kurang efisien dan/atau penyalahgunaan anggaran Raskin yang bersumber dari APBN, APBD, maupun dari masyarakat, antara lain merupakan akibat dari mekanisme pendanaan Raskin yang tidak paripurna. Pedum Raskin memang menggariskan pemda bertanggung jawab terhadap distribusi Raskin dari titik distribusi sampai ke penerima. Di satu pihak, Pemerintah Pusat sepertinya tidak secara sungguh- sungguh mengeluarkan kebijakan imperatif yang mampu memaksa pemda memberikan biaya pendukung pelaksanaan Raskin. Di lain pihak, pejabat di tingkat provinsi maupun kabupaten banyak yang menyamakan Program Raskin sebagaimana mekanisme proyek Pemerintah Pusat pada umumnya. Artinya, keterlibatan mereka dalam Program Raskin 33 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 tergantung pada ketersediaan dana operasional. Mengingat Program Raskin merupakan program Pemerintah Pusat, maka terdapat kecenderungan pemda menghendaki semua biaya yang timbul akibat dari program ini sepenuhnya menjadi tanggungan Pemerintah Pusat. 2.3 PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PENANGANAN PENGADUAN Menurut Pedum 2007, pemantauan atau monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian dari kontrol terhadap program dan bertujuan untuk mengetahui dan menilai efektivitas pelaksanaan Raskin berdasarkan indikator kinerja 6T. Sebagai bagian dari monev, masyarakat dapat menyampaikan aduan dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap pelaksanaan program kepada Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) atau melalui media elektronik. 2.3.1 Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Monev dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pelaksananya, yaitu monev internal dan eksternal. Monev internal dilakukan oleh Tim Raskin Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, sementara monev eksternal dilakukan oleh lembaga lain di luar Tim Raskin, baik atas permintaan Tim Raskin, inisiatif sendiri lembaga yang bersangkutan, atau atas permintaan pihak lain di luar Tim Raskin. Berdasarkan laporan monev Bulog (2006) dapat diketahui bahwa monev internal dilakukan pada wilayah sampel yang terbatas, yakni hanya satu kabupaten/kota per provinsi. Monev tersebut lebih bersifat menampung keluhan umum aparat pelaksana, sementara fungsi untuk mengetahui dan menilai efektivitas program berdasarkan indikator 6T belum optimal. Menurut Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 71­72), di provinsi Banten, pemantauan internal dilakukan secara berjenjang. Anak Bangsa Peduli (2006: 33, 41), menyatakan bahwa pemda melakukan pengawasan secara berkala. Hastuti dan Maxwell (2003: 40­41), Olken (2006: 855), dan SMERU (2007: 100) menilai bahwa monev internal cenderung memfokuskan pada aspek keuangan dan administrasi. BPKP (2004: 21) dan IPB (2006: slide 22) menyatakan bahwa pemantauan masih belum optimal. Menurut Universitas Brawijaya (2006: 135), kurang efektifnya pemantauan disebabkan kurang seriusnya stakeholder di masing- masing tingkat pemerintahan, sebagai akibat dari tidak adanya penanggung jawab dan alokasi dana khusus untuk mengelola program. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 61) Program Raskin turut berperan dalam mengembangkan kemampuan publik untuk melakukan pemantauan atas program pelayanan pemerintah. Berdasarkan tinjauan terhadap berbagai dokumen, dapat disimpulkan bahwa monev eksternal memang telah dilakukan oleh berbagai lembaga, baik perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, lembaga penelitian, maupun lembaga internasional. Sebagian besar monev eksternal berbentuk evaluasi terhadap proses pelaksanaan Program Raskin dengan melakukan analisis data sekunder dan kunjungan lapangan. Sementara itu, monev eksternal yang melakukan evaluasi dampak sangat terbatas dan bersifat makro atau menggunakan data sekunder di tingkat nasional. Selama pelaksanaan program, Tim Raskin Pusat juga telah beberapa kali menugaskan berbagai lembaga untuk melakukan monev. Lembaga yang pernah diminta melakukan 34 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 monev antara lain LP3ES, CEFFNAS, dan UGM pada 1998­1999, 35 perguruan tinggi negeri/swasta pada 2003, dan sepuluh perguruan tinggi negeri pada 2005 dan 2006. Temuan lapangan menunjukkan bahwa monev di wilayah studi dilakukan oleh tim Raskin daerah. Selain itu, divre dan subdivre Bulog juga mempunyai tim monev tersendiri, namun kegiatan monevnya hanya difokuskan pada aspek yang menjadi kepentingan dan tanggung jawab Bulog seperti aspek pembayaran, jadwal penyaluran, timbangan, dan kualitas beras. Di wilayah studi, pelaksanaan monev internal hanya sampai jajaran aparat pelaksana Raskin di tingkat kecamatan. Di Sumatera Barat monev dilakukan secara berjenjang oleh unsur Bulog maupun pemda. Monev juga dilakukan bersamaan dengan kegiatan sosialisasi sehingga disebut sosmonev. Di Jawa Timur monev tidak dilakukan secara rutin karena tidak tersedia anggaran khusus. Pelaksanaan monev internal lebih bersifat insidentil atau dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan pengaduan masyarakat. Di Sulawesi Tenggara, monev internal dilakukan melalui mekanisme pelaporan secara berjenjang dari bawah dalam lingkup divre Sulawesi Tenggara, dan peninjauan langsung ke lapangan. Sementara itu, pelaksanaan monev eksternal bervariasi antar wilayah. Di Sumatera Barat dan Jawa Timur yang merupakan wilayah dampingan, monev dilakukan oleh perguruan tinggi pendamping. Namun demikian pelaksanaan monev dari perguruan tinggi terbatas. Di Jawa Timur, monev tersebut cenderung dilakukan hanya ketika ada permintaan khusus dari Bulog. Di Kabupaten Agam, monev dari perguruan tinggi hanya dilakukan pada 2007 dan pelaksanaannya tidak intensif. Hal ini terlihat dari pelaksanaan monev yang hanya berlangsung sehari untuk mengunjungi satu kabupaten, satu kecamatan, dan satu desa sampel. Di Sulawesi Tenggara, monev eksternal di tingkat masyarakat hanya ditemui di satu desa sampel, itupun hanya berupa satu kali kunjungan LSM pada 2007. Berbagai monev tersebut telah memberikan informasi tentang pelaksanaan program, baik yang bersifat kasuistik berdasarkan temuan lapangan maupun yang bersifat makro berdasarkan analisis data sekunder, sebagaimana diuraikan dalam laporan ini pada bagian temuan penelitian yang bersumber dari tinjauan dokumen. Umumnya, hasil monev telah memberikan masukan bagi perbaikan disain program, seperti dalam hal peningkatan ketepatan penetapan ttarget melalui perubahan nama program dari OPK menjadi Raskin, perubahan sumber data sasaran dari BKKBN menjadi BPS, pelaksanaan mudes, dan transparansi program serta sasaran. Meskipun demikian, perbaikan disain program tersebut tidak sepenuhnya ditindaklanjuti dalam pelaksanaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan Program Raskin masih belum optimal. 2.3.2 Audit Pelaksanaan Program Audit Program Raskin antara lain diatur dalam Undang-undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Anggaran Biaya dan Pendapatan Bulog yang dikeluarkan setiap tahun.31 Misalnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.02/2007 pada Bab VIII, Bagian Ketiga Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa: "Biaya perawatan 31Antara lain Peraturan Menteri Keuangan No.115/PMK.02/2005, No.50/PMK.02/2006, dan No.117/PMK.02/2007. 35 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 beras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan subsidi pangan Program Raskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) diaudit oleh auditor yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku." Sepanjang pelaksanaan Raskin, lembaga pelaksana audit mengalami pergantian yang dilatarbelakangi oleh perubahan status hukum lembaga Bulog dari lembaga pemerintah non departemen menjadi perusahaan umum (Perum). Hingga 2004 audit dilakukan oleh BPKP, dan sejak 2005 dilakukan oleh BPK. Kedua lembaga tersebut melakukan audit terhadap aspek yang berbeda. BPKP menekankan pada aspek pelaksanaan program, sedangkan BPK pada aspek keuangan. Hasil audit BPKP terhadap pelaksanaan program 2003 yang laporannya diterbitkan pada 2004, menunjukkan bahwa nilai kinerja pelaksanaan PKPS BBM Bidang Pangan (Raskin) secara nasional mencapai 78,2% dari nilai ideal 100%. Tingkat pencapaian kinerja program tersebut didasarkan pada ketepatan sasaran rumah tangga 59,4%, jumlah beras 61,42%, dan realisasi jumlah pembayaran oleh penerima manfaat 68,5%. Selain itu, BPKP juga menyatakan bahwa dokumen transaksi penyaluran tidak didukung oleh bukti yang memadai, masih terdapat sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang belum menerbitkan juknis, dan pelaksanaan pemantauan penyaluran beras secara fisik belum berlangsung optimal. BPKP juga menyatakan bahwa hasil audit aparat pengawasan fungsional tidak ditindaklanjuti sehingga penyimpangan penyaluran beras tetap berlanjut pada pelaksanaan program tahun tersebut. Audit BPK terhadap biaya perawatan beras Bulog tahun anggaran 2004 yang diterbitkan pada 2006, menemukan beberapa kekeliruan perhitungan yang cukup mendasar. Sebelum diaudit, tagihan Bulog kepada pemerintah untuk biaya perawatan beras mencapai Rp349.980.847.938,02, namun setelah diaudit berubah menjadi Rp248.792.012.813,14, atau terjadi koreksi negatif sebesar Rp101.188.835.124,88 (29%). Perbedaan tagihan biaya perawatan tersebut terjadi karena Bulog memasukkan biaya lain ke dalam biaya perawatan beras, seperti (i) biaya pembangunan aset dan biaya pengelolaan proyek pembangunan yang dimasukkan ke dalam biaya pemeliharaan gudang; (ii) biaya gaji, tunjangan fungsional, jabatan, operasional, dan hari raya, serta gaji ke-13 dimasukkan ke dalam biaya manajemen personel; (iii) biaya listrik, air, dan telpon di rumah dinas, sumbangan, dan perawatan gudang bidang komersial dimasukkan ke dalam biaya manajemen belanja barang; dan (iv) biaya beras World Food Programme (WFP), insentif, tunjangan tim operasional, tunjangan representatif, dan perjalanan dinas bidang komersial, serta biaya perayaan dan sumbangan di luar kegiatan PSO (Public Service Obligation) dimasukkan ke dalam biaya manajemen operasional. Audit BKP terhadap aspek lain, yakni tentang Perum Bulog dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Pengendalian Intern Tahun 2004 menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Raskin seperti adanya pemda yang mempunyai tunggakan, penggelapan beras di gudang Kabanjahe sejumlah 598 ton atau senilai Rp2,2 milyar, dan penyalahgunaan hasil penjualan beras Raskin sebesar Rp148 juta oleh pegawai subdivre Semarang. Menurut BPK laporan hasil audit sebagian besar telah ditindaklanjuti oleh Bulog sesuai dengan temuan dan saran yang disampaikan. Tindak lanjut yang dilakukan antara lain 36 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 dengan membuat pedoman terkait pengadaan barang/jasa dan menyurati pemda yang mempunyai tunggakan pembayaran Raskin. 2.3.3 Sistem Pengaduan dan Penanganannya Aduan dari masyarakat dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap pelaksanaan program, dapat disampaikan kepada UPM di bawah koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD). Menurut pedum, UPM terdapat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis, lisan melalui telepon, atau datang langsung ke sekretariat UPM. Beberapa dokumen menyatakan keberadaan UPM di masing-masing tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian, keberadaan unit tersebut tidak disosialisasikan kepada masyarakat sehingga fungsinya sangat minimal. PT Daya Makara Universitas Indonesia (2006: 99­100) menyatakan bahwa, peranan UPM masih sangat minim karena masyarakat tidak tahu tentang adanya UPM secara jelas. LP3ES (2000: 27) menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengetahui boleh tidaknya menyampaikan keluhan. Temuan dokumen tersebut sesuai dengan temuan lapangan bahwa di setiap wilayah terdapat UPM. Selain itu, divre dan subdivre Bulog juga menyediakan sarana pengaduan khusus melalui PO Box dan telepon bebas biaya. Namun, keberadaan UPM dan sarana pengaduan khusus tersebut tidak disosialisasikan kepada masyarakat sehingga peranannya sangat minimal. Akibat tidak adanya sosialisasi, masyarakat tidak mengetahui keberadaan UPM, mekanisme pengaduan, dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan. Di lain pihak, umumnya masyarakat enggan mengadu meskipun terdapat permasalahan. Menurut PT Daya Makara Universitas Indonesia (2006: 99­100), masyarakat kurang peduli terhadap permasalahan Raskin di wilayahnya dan sebagian bersikap apatis terhadap pengaduan karena adanya stigma buruk terhadap program pemerintah lainnya. LP3ES (2000: 34) menyatakan bahwa sebagian besar responden (89%) tidak pernah mengadukan masalah pelaksanaan program. Universitas Brawijaya (2006: 108­109) menyatakan juga bahwa umumnya masyarakat tidak pernah mengadu kepada siapapun tentang Raskin. Kalaupun ada masyarakat yang mengadu, pengaduan hanya disampaikan kepada aparat desa/kelurahan, petugas pembagi Raskin, atau tokoh masyarakat di wilayahnya. Anak Bangsa Peduli (2006: 38,45) menyatakan bahwa sebagian besar keluhan disampaikan kepada ketua RT/RW. Menurut Institute of Empowerment and Development (2005: 76), pengaduan dari masyarakat diajukan kepada petugas Raskin di tingkat RT. LP3ES (2000: 35), melaporkan bahwa keluhan disampaikan kepada kepala desa, petugas pembagi, atau tokoh masyarakat. Kondisi tersebut sesuai dengan temuan lapangan bahwa di wilayah studi, umumnya masyarakat tidak melakukan pengaduan. Jika ada masyarakat yang mengadu hanya disampaikan kepada petugas pembagi atau aparat desa/kelurahan. Keluhan yang muncul di masyarakat umumnya menyangkut masalah kualitas dan jumlah beras yang diterima penerima manfaat, ketepatan sasaran, dan kesesuaian berat beras per kemasan. Anak Bangsa Peduli (2006: 38, 45) melaporkan bahwa keluhan yang dirasakan masyarakat umumnya tentang kualitas beras, kemasan, kurangnya jatah, dan pembagian tidak merata. Institute of Empowerment and Development (2005: 75­76), menyatakan 37 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 bahwa masalah yang umumnya dirasakan adalah tentang kualitas Raskin dan jumlah beras yang tidak 20 kg per karung. LP3ES (2000: 35) menyatakan bahwa permasalahan yang dominan diajukan berkaitan dengan kebijakan jumlah beras dan ketepatan sasaran. Hampir semua keluhan tidak diselesaikan. Universitas Brawijaya (2006: 109) menyatakan bahwa walaupun ada sebagian kecil warga yang mengadu namun tidak mendapat tanggapan dari aparat desa/kelurahan. LP3ES (2000: 35) melaporkan bahwa hanya sedikit responden yang menyatakan keluhannya diselesaikan karena keluhan yang disampaikan berhubungan dengan kebijakan yang bukan wewenang kepala desa dan petugas pelaksana lokal. Menurut temuan lapangan, masyarakat enggan melakukan pengaduan karena khawatir akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan mereka sebagai penerima Raskin. Kalaupun ada, umumnya keluhan hanya disampaikan kepada petugas pembagi. Sebagian kecil keluhan diselesaikan di tingkat lokal namun sebagian besar yang tidak diselesaikan tidak diteruskan kepada tingkat yang lebih tinggi. Keluhan yang disampaikan ke tingkat yang lebih tinggi (petugas Bulog) biasanya hanya menyangkut kualitas beras. 2.4 PENCAPAIAN HASIL, TINGKAT KEPUASAN, DAN MANFAAT PROGRAM Melalui Program Raskin pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar dalam setiap tahun pelaksanaannya. Selain itu, program ini juga telah melibatkan berbagai instansi pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa/ kelurahan. Berbagai lembaga di luar program seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah pun telah banyak yang melakukan penelitian dan evaluasi guna memberi masukan bagi perbaikan program. Dengan banyaknya sumber daya yang dilibatkan dan upaya yang dilakukan, diharapkan program ini terlaksana dengan baik sehingga dapat memberikan pencapaian hasil yang cukup tinggi, memberi kepuasaan terhadap berbagai pihak, dan memberi manfaat khususnya untuk masyarakat penerima. Berikut ini akan diuraikan tentang pencapaian hasil, tingkat kepuasan berbagai pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan Program Raskin, dan tingkat manfaat Raskin bagi rumah tangga penerima, baik berdasarkan tinjauan dokumen, analisa data sekunder maupun studi lapangan. Khusus untuk studi lapangan, penilaian tingkat kepuasan dan manfaat dari rumah tangga penerima dilakukan melalui FGD di enam desa sampel. Dalam hal ini peserta FGD diminta memberi skala nilai 0­10, dengan nilai 0 menunjukkan tingkat kepuasan atau tingkat manfaat yang paling rendah dan nilai 10 paling tinggi. Peserta FGD dipisahkan menjadi kelompok laki-laki dan perempuan sehingga diperoleh 12 variasi penilaian. 2.4.1 Pencapaian Hasil Tujuan Program Raskin berdasarkan Pedum adalah mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin melalui pemberian bantuan pemenuhan sebagian kebutuhan pangan dalam bentuk beras. Jika rumah tangga miskin memperoleh secara penuh 10 kg per bulan, tujuan pengurangan beban mencapai sekitar 25% dari kebutuhan beras karena rata-rata rumah tangga mengkonsumsi beras sekitar 40 kg per bulan. 38 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Berdasarkan hasil tinjauan dokumen, analisis data sekunder, dan studi lapangan, pelaksanaan Raskin belum dapat mencapai tujuannya. Hal ini terutama karena adanya ketidaktepatan sasaran. Raskin dibagikan kepada jumlah rumah tangga yang lebih besar dari pada ketentuan, mencakup rumah tangga yang tidak miskin juga sehingga menyebabkan rumah tangga miskin menerima beras jauh di bawah ketentuan. Kondisi ini diperparah dengan adanya pengurangan frekuensi distribusi, masih adanya rumah tangga miskin yang tidak menjadi penerima Raskin, dan tingkat harga pembelian beras oleh rumah tangga yang melebihi ketentuan. World Bank (2005: 3) misalnya menyatakan bahwa rata-rata nilai subsidi Raskin yang diterima oleh penerima manfaat hanya sekitar 2,1% dari pengeluaran perkapita, dan kebanyakan subsidi yang dikeluarkan tidak sampai pada rumah tangga yang tepat. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Program Raskin belum bisa secara signifikan membantu masyarakat miskin dalam mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Jika tujuan pengurangan beban pengeluaran belum tercapai maka kontribusi Program Raskin terhadap pengentasan kemiskinan juga belum tercapai. Universitas Andalas (2006: 3-27) juga menyatakan bahwa meskipun terdapat 53,3% pejabat pemerintah dan 42,3% tokoh masyarakat yang berpendapat Raskin termasuk berhasil dibanding program lainnya, tetapi dilihat dari efektivitas terhadap pengentasan kemiskinan belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Menurut Institute of Empowerment and Development Studies (2005: 74), Raskin merupakan proyek (core business) Bulog yang memprioritaskan distribusi beras, sehingga tidak mencapai sasaran pengentasan kemiskinan. 2.4.2 Tingkat Kepuasan terhadap Program Pada seluruh dokumen yang ditinjau, tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa terdapat pemda yang merasa puas terhadap pelaksanaan Raskin. Dokumen justru menyatakan adanya pemda yang tidak puas. Menurut PT Daya Makara UI (2006: 84), terdapat pemda yang apatis terhadap Raskin karena realisasi program masih jauh dari tujuannya. LP3ES (2000: 47) juga melaporkan adanya aparat desa yang tidak puas terhadap dampak program karena berpengaruh terhadap sikap gotong royong dan kreativitas masyarakat. Menurut Hastuti dan Maxwell (2003: 56) terdapat kepala desa yang berpendapat bahwa Raskin tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat. Berbagai nara sumber studi lapangan dari tingkat provinsi hingga masyarakat berpendapat bahwa beberapa kegiatan pelaksanaan program masih lemah, terutama kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, penargetan, dan mekanisme pengaduan. Aspek pelaksanaan yang dinilai sudah baik oleh beberapa pihak antara lain adalah kualitas beras. Melihat kenyataan pelaksanaan program di lapangan, aparat pemda mempunyai sikap dan persepsi yang berbeda terhadap keberadaan Program Raskin. Di satu pihak, ada aparat pemda yang menganggap program ini masih perlu untuk membantu penyediaan pangan bagi rumah tangga miskin. Di lain pihak, ada juga aparat pemda yang menganggap program ini tidak perlu dilanjutkan karena dampaknya tidak sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. 39 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Pendapat untuk tidak melanjutkan program juga ditemui pada beberapa dokumen. Menurut Hastuti dan Maxwell (2003: 56) terdapat kepala desa yang tidak setuju dengan Program Raskin dan berpendapat akan jauh lebih baik jika program ini dihentikan. Lembaga Demografi FEUI (2003: 40) menyatakan bahwa terdapat lurah yang tidak setuju dengan Program Raskin karena mengajarkan masyarakat untuk mempunyai mental minta-minta. LP3ES (2000: 47) juga mengkhawatirkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan beras dan menimbulkan kecemburuan sosial. Sementara itu, penerima manfaat relatif puas terhadap pelaksanaan Raskin. Universitas Andalas (1999: IV-33, IV-34) melaporkan bahwa 95% responden puas terhadap cara pelayanan. Universitas Bojonegoro (2006: 56) melaporkan bahwa mutu pelayanan penyaluran Raskin dikategorikan sangat baik dengan indeks kepuasan masyarakat sebesar 82,25. Berdasarkan hasil FGD dengan rumah tangga penerima, peserta FGD perempuan rata- rata memberi penilaian yang lebih tinggi dari pada peserta laki-laki. Menurut peserta perempuan, harga beras merupakan aspek yang paling memuaskan, sedangkan pengaduan merupakan aspek paling tidak memuaskan. Adapun menurut peserta laki-laki, aspek yang paling memuaskan adalah cara pembayaran, sedangkan aspek yang paling tidak memuaskan adalah pemantauan (Gambar 2). 10 9 8 7 6 Perempuan 5 Laki-laki 4 Rata2 3 2 1 0 ialisasi anPenyaluraJum n as as n as ber ber bayara ber duan Sos Penarget lah alitas rga Penga Ku pem Ha Pemantauan Cara Keterangan: Tingkat kepuasan diukur dengan skala 0­10. Nilai 0 berarti paling tidak puas, sedangkan nilai 10 berarti paling puas. Sumber: FGD Penerima Manfaat Gambar 2. Tingkat Kepuasan Penerima terhadap Pelaksanaan Raskin Berdasarkan FGD gabungan laki-laki dan perempuan, aspek yang dinilai paling memuaskan dalam pelaksanaan Raskin adalah tingkat harga, cara pembayaran, dan cara penyaluran. Meskipun sebagian besar penerima manfaat membayar beras lebih dari Rp1.000 per kg, tetapi mereka tidak keberatan dan menilai wajar karena harga tersebut masih sangat murah bila dibandingkan dengan harga pasar yang sekitar Rp4.200 per kg. Apalagi mereka mengerti bahwa harga yang mereka bayar tersebut termasuk biaya 40 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 transportasi dari titik distribusi ke titik bagi. Cara pembayaran dinilai cukup memuaskan karena tidak memberatkan bagi rumah tangga penerima manfaat. Bahkan terkadang penerima manfaat bisa meminta penangguhan pembayaran kepada petugas pembagi jika saat penyaluran belum tersedia uang. Sementara itu, penyaluran yang biasanya dilakukan oleh aparat desa, kepala dusun/RW/RT, atau pengurus PKK juga dinilai cukup baik karena petugas membagikan beras dengan cukup adil dan takarannya sesuai (Gambar 2). Aspek yang dinilai paling tidak memuaskan peserta FGD gabungan adalah sistem pemantauan, pengaduan, dan jumlah beras. Peserta FGD tidak puas terhadap pelaksanaan pemantauan karena selama ini tidak pernah ada kegiatan pemantauan di wilayahnya. Mereka juga kurang puas terhadap aspek pengaduan karena mereka tidak mengetahui keberadaan dan mekanismenya. Sementara itu, kekurangpuasan terhadap jumlah beras yang diterima dikarenakan jumlahnya masih jauh dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga. Sebagai contoh, jika mereka menerima beras secara penuh 10 kg, jumlah tersebut hanya cukup untuk konsumsi satu minggu. 2.4.3 Manfaat Program bagi Rumah Tangga Penerima Manfaat umum Sejumlah dokumen sependapat bahwa Raskin bermanfaat bagi rumah tangga penerima karena mampu meringankan beban ekonomi dan membantu memenuhi kebutuhan beras, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi.32 Misalnya Universitas Hasanuddin (2006: 52) melaporkan bahwa masyarakat miskin, tokoh masyarakat, dan pemda berpendapat Program Raskin sangat membantu RTM dalam mengurangi beban ekonomi rumah tangga. Menurut Tabor dan Sawit (2006: 12), bantuan pangan mampu memecahkan sebagian dari persoalan gizi keluarga miskin. Selain manfaat langsung, Raskin juga memberikan manfaat tidak langsung seperti penciptaan lapangan kerja, membantu biaya kesehatan dan pendidikan, serta berkontribusi terhadap stabilisasi harga. Anak Bangsa Peduli (2006: 40) melaporkan adanya narasumber yang berpendapat bahwa Raskin bermanfaat karena menciptakan lapangan pekerjaan (padat karya) bagi pihak lain seperti jasa angkut dan kuli. LP3ES (2000: 55) melaporkan bahwa meskipun kecil, transfer pendapatan dari Raskin mampu menghemat uang antara lain untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Tabor dan Sawit (2006: 45) menuliskan bahwa Raskin dapat menjaga stabilitas harga beras. Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan mempunyai penilaian yang beragam terhadap manfaat Raskin bagi rumah tangga miskin. Sebagian pemangku kepentingan menilai Raskin membantu masyarakat kurang mampu dalam pemenuhan pangan, dan sebagian lainnya menilai Raskin sebagai program kurang mendidik karena membuat rumah tangga miskin menjadi manja. Sedangkan rumah tangga penerima menilai Raskin bermanfaat meskipun jumlahnya dinilai kurang dan kualitasnya terkadang kurang baik. 32Anak Bangsa Peduli (2006: 47), IPB (2006: slide 24), LP3ES (2000: 55), SMERU (1998: 4), Tabor dan Sawit (2006: 12, 50), Tim Monitoring dan Evaluasi Raskin Provinsi Jawa Barat (2005: slide 17, 21, 28), Universitas Andalas (2005: 3-15 dan 2006: 3-23, 3-24), Universitas Brawijaya (2006: 109), Universitas Hasanuddin (2006: 52). 41 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Berdasarkan penggalian informasi melalui FGD, seluruh FGD menyatakan bahwa Raskin bermanfaat bagi rumah tangga miskin. Jumlah dan jenis manfaat Raskin yang dikemukakan peserta FGD sedikit berbeda antar wilayah. FGD di Kabupaten Agam, menyebutkan delapan jenis manfaat, sedangkan di Bojonegoro dan Kolaka menyebutkan empat jenis manfaat. Dari semua jenis manfaat yang dikemukakan FGD, hanya tiga jenis manfaat yang disebutkan di semua lokasi, yakni membantu biaya makan, mengurangi beban ekonomi atau pikiran keluarga dan dapat membantu biaya sekolah (Tabel 21). Dengan adanya Raskin, penerima manfaat dapat mengurangi biaya makan sehingga dapat mengurangi beban ekonomi dan beban pikiran keluarga. Pengurangan biaya makan menciptakan kelebihan pendapatan yang antara lain digunakan untuk membiayai keperluan sekolah, membantu kegiatan sosial, seperti arisan dan memenuhi undangan. Khusus pada FGD di Sumatera Barat, penerima manfaat juga mengemukakan manfaat lain dari Raskin, yaitu menghindari gejolak harga, menimbulkan semangat karena adanya perhatian dari pemerintah terhadap rakyat kecil, dan membantu pengentasan kemiskinan. Tabel 21. Tingkat Manfaat Raskin bagi Penerima Manfaat Nilai Skor Manfaat Raskin Sumbar Jatim Sultra Rata2 1. Membantu biaya makan/pangan 6,5 6 8,7 7,1 2. Mengurangi beban ekonomi/pikiran 6 6,5 7,7 6,8 3. Membantu biaya sekolah 6,4 5 7,5 6,5 4. Menghindari gejolak harga 7 - - 5. Menimbulkan semangat 6,2 - - 6. Membantu pengentasan kemiskinan 5,5 - - 7. Menambah sayur dan lauk-pauk 5 - - 8. Membayar arisan/undangan 1,5 5 3,3 3,3 Sumber: FGD Penerima Manfaat Transfer pendapatan Berbagai manfaat dari Program Raskin tersebut merupakan transfer pendapatan dalam bentuk natura (beras) dari Program Raskin kepada rumah tangga penerima. Secara sederhana, penerima manfaat akan memperoleh transfer pendapatan atau subsidi finansial yang besarnya tergantung pada jumlah dan frekuensi penerimaan beras, serta tingkat harga beras Raskin dan beras di pasar setempat. Tabor dan Sawit (2006: 109) mengungkapkan bahwa pada 1998/1999 Raskin telah mentransfer Rp3,4 triliun kepada 9,3 juta rumah tangga, atau setara dengan Rp365.590 per tahun atau Rp30.466 per bulan per rumah tangga. Menurut hasil studi LP3ES (2000: 55) transfer pendapatan kepada penerima pada September 1999 hanya Rp15.357. Tabor dan Sawit (2006: 45) juga melaporkan bahwa pada 2002­2004, berdasarkan asumsi jumlah rumah tangga penerima 13,2 juta dan nilai total transfer manfaat Rp3,25 triliun per tahun, rumah tangga penerima memperoleh transfer pendapatan rata-rata Rp20.500 per bulan. 42 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 Secara teoritis, pada 2007 jumlah transfer pendapatan Raskin kepada rumah tangga penerima per bulan setara dengan 10 kg dikalikan selisih harga beras di pasaran setempat dengan harga beras Raskin (Rp1.000 per kg). Pada saat studi lapangan, harga beras kualitas medium (setara dengan kualitas beras Bulog) di wilayah sampel sekitar Rp4.200 per kg. Ini berarti penerima Raskin akan menerima subsidi sebesar Rp32.000 per bulan atau Rp384.000 per tahun. Kenyataannya, penerima manfaat di wilayah sampel tidak menerima subsidi sebesar itu, baik karena jumlah beras dan frekuensi penerimaan kurang dari ketentuan, ataupun karena tingkat harga yang dibayar melebihi Rp1.000 per kg. Di daerah sampel Sumatera Barat, penerima manfaat memperoleh 8­10 kg per bulan, namun harganya Rp1.200­ Rp1.300 per kg. Di Jawa Timur, harga Raskin Rp1.000 per kg, namun penerima manfaat hanya mendapat 4­7 kg per bulan. Di Sulawesi Tenggara, pada 2007 penerima manfaat hanya memperoleh 3­9 kali, masing-masing sebanyak 4­10 kg pada tingkat harga Rp1.000­Rp1.200 per liter. Berdasarkan kondisi demikian, transfer pendapatan kepada rumah tangga penerima Raskin di daerah sampel berkisar antara Rp12.800­Rp29.000 per distribusi atau Rp38.400­Rp348.000 per tahun (Tabel 22). Tabel 22. Jumlah Transfer Pendapatan Raskin kepada Penerima Manfaat di Wilayah Sampel (2007) Item Seharusnya Sumatera Barat Jawa Timur Sulawesi Tenggara Minimal Maksimal Minimal Maksimal Minimal Maksimal Harga Pasar 4,200 4,200 4,200 4,200 4,200 4,200 4,200 Harga Raskin 1,000 1,200 1,300 1,000 1,000 1,000 1,440 Selisih harga 3,200 3,000 2,900 3,200 3,200 3,200 2,760 Jumlah (kg) 10 8 10 4 7 4 10 Frekuensi per tahun 12 12 12 12 12 3 9 Subsidi per distribusi 32,000 24,000 29,000 12,800 22,400 12,800 27,600 Subsidi per tahun 384,000 288,000 348,000 153,600 268,800 38,400 248,400 Akses terhadap beras Manfaat Raskin bagi masyarakat dalam mengakses beras relatif kecil karena beras selalu tersedia di tingkat masyarakat. Di semua lokasi, beras selalu tersedia baik dari hasil panen di wilayah bersangkutan maupun dari luar wilayah yang didatangkan oleh pedagang setempat. Selain itu, beras merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehingga pemenuhannya menjadi prioritas. Jika anggaran rumah tangga terbatas, masyarakat tetap akan berusaha membeli beras dengan mengurangi pembelian kebutuhan lainnya. 43 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 III. PEMBELAJARAN DARI PELAKSANAAN RASKIN Tinjauan dokumen, analisis data dan kunjungan lapangan menunjukkan adanya aspek­ aspek pelaksanaan Raskin yang baik maupun buruk. Berdasarkan praktik pelaksanaan tersebut dapat dipetik beberapa pembelajaran positif maupun negatif yang dapat dipergunakan untuk perbaikan pelaksanaan program. 3.1 PEMBELAJARAN POSITIF Pembelajaran positif dari praktik pelaksanaan Raskin yang dapat dipetik adalah: a. Ketepatan target penerima manfaat sangat ditentukan oleh keseriusan dan peran pemda serta pelaksana di tingkat lokal, sosialisasi yang menekankan Raskin hanya untuk rumah tangga miskin, penggunaan data BPS yang telah diverifikasi di tingkat lokal, dan transparansi daftar penerima. b. Ketepatan harga ditentukan oleh titik distribusi yang sekaligus berfungsi sebagai titik bagi dan lokasinya dekat dengan penerima manfaat, serta besarnya kontribusi APBD. 3.2 PEMBELAJARAN NEGATIF Pembelajaran negatif yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan Program Raskin adalah: a. Kurangnya pagu dibandingkan dengan jumlah RTM menyebabkan ketidaktepatan target, jumlah beras, dan frekuensi penyaluran. b. Ketidaktepatan target penerima manfaat dipengaruhi oleh lemahnya sosialisasi, kekurangpedulian masyarakat, ketidakseriusan pemda, dan kurangnya pagu dibanding jumlah RTM. c. Ketidakseriusan pemda antara lain dipengaruhi oleh kejenuhan terhadap program yang sudah berjalan lama dan sudah menjadi rutinitas, pelaksanaan program tidak sesuai dengan tujuan, serta tidak optimalnya sosialisasi. d. Ketidaktepatan harga dipengaruhi oleh titik distribusi yang tidak sekaligus menjadi titik bagi dan lokasinya jauh dengan penerima manfaat. e. Ketidaktepatan jadwal distribusi dipengaruhi oleh adanya tunggakan pembayaran dari titik distribusi. f. Ketidaktepatan jadwal distribusi berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat dalam menyediakan waktu dan dana pembelian. g. Ketepatan frekuensi distribusi dan penerimaan beras oleh penerima tidak selalu menggambarkan keberhasilan pelaksanaan program. Hal tersebut karena ketika frekuensi distribusi tepat setiap bulan, rumah tangga penerima belum tentu memperoleh jumlah beras sesuai ketentuan, dan sebaliknya. 44 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 IV. REKOMENDASI Program Raskin yang sudah berjalan selama sembilan tahun telah menggunakan dana yang cukup besar dan melibatkan banyak pihak, namun hingga saat ini kinerjanya masih belum efektif. Oleh karena itu, Program Raskin hanya bisa dilanjutkan jika memenuhi semua persyaratan berikut: a. Program Raskin perlu direvitalisasi, antara lain dengan melakukan sosialisasi nasional secara terarah untuk memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat. Kegiatan sosialisasi tersebut harus diatur secara tegas dalam pedum. b. Pagu jumlah rumah tangga penerima di tingkat nasional harus ditetapkan secara tegas dan sesuai dengan jumlah kelompok sasaran rumah tangga. Kategori rumah tangga sasaran harus didefinisikan secara jelas, apakah hanya dibatasi untuk kelompok sangat miskin saja, memasukkan kelompok miskin juga, atau menjangkau kelompok hampir miskin juga. c. Penanggung jawab distribusi beras mulai dari pengadaan sampai penyaluran kepada masyarakat harus dipegang oleh satu lembaga sehingga tugas, tanggung jawab, dan penilaian kinerjanya menjadi jelas. d. Pemda harus bertanggungjawab terhadap pembagian alokasi dan menjamin ketepatan target penerima. Untuk menjamin ketepatan target penerima, pemda melakukan verifikasi dengan mengacu pada data RTM BPS atau data lain yang menjadi acuan penetapan target di tingkat nasional. e. Jumlah rumah tangga penerima hasil verifikasi di tingkat desa/kelurahan maksimal sama dengan pagu yang diperoleh, supaya menjamin jumlah beras per rumah tangga sesuai dengan ketentuan. Pengesahan dan penentuan validitas daftar nama target dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab kecamatan. f. Perlu pengaturan titik distribusi yang dapat menunjang harga sesuai ketentuan. Letak titik distribusi perlu didekatkan dengan penerima manfaat sehingga bisa sekaligus menjadi titik bagi. g. Perlu kebijakan yang dapat memaksa pemda untuk mendukung pelaksanaan Raskin secara serius, baik dalam hal dukungan dana (APBD) maupun target keberhasilan program. h. Sistem penghargaan dan hukuman perlu diperkenalkan dan diberlakukan untuk menunjang pelaksanaan program sesuai dengan ketentuan. Penghargaan diberikan kepada wilayah atau pelaksana program yang berhasil melaksanakan program sesuai aturan dengan mengacu pada indikator tertentu. Penghargaan antara lain dapat berbentuk pemberian anugerah. Adapun hukuman dapat berbentuk pengumuman wilayah yang tidak berhasil di media serta pencopotan, pengalihan tugas, dan penurunan pangkat pejabat pelaksana. i. Untuk menjamin pelaksanaan Raskin yang sesuai dengan aturan dan untuk mendukung pelaksanaan sistem penghargaan dan hukuman, monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara serius, terencana, dan akuntabel oleh lembaga eksternal yang independen dan kredibel. Hasil monitoring harus disampaikan 45 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 kepada berbagai pihak termasuk publik secara luas dan dimanfaatkan secara secara sistematis untuk perbaikan pelaksanaan program. j. Semua ketentuan mengenai pelaksanaan program, seperti tentang sosialisasi, penargetan (verifikasi dan acuan data), monitoring, dan evaluasi harus diatur secara jelas dan tegas dalam pedoman program. Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka Program Raskin dihentikan dan perlu dilakukan kajian mendalam antara lain terhadap aspek berikut: a. dampak penghapusan Raskin terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin; b. pengalihan dana Raskin ke program lain yang lebih membantu rumah tangga miskin; dan c. peran Bulog dalam pengadaan dan stabilisasi harga pangan nasional karena selama ini lebih dari 80% beras pengadaan Bulog disalurkan melalui Program Raskin. 46 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 DAFTAR DOKUMEN YANG DITINJAU 1. Anak Bangsa Peduli (2006) Laporan Monitoring dan Evaluasi Program Raskin Kota Cimahi dan Kabupaten Garut Tahun 2005. Bandung: LSM ABP 2. BPK (2004) Laporan Auditor Independen: Laporan Keuangan Perusahaan Umum Bulog untuk Tahun yang Berakhir pada 31 Desember 2003. Jakarta: BPK [Nomor: 37.A/AUDITAMA V/GA/XII/2004] 3. BPK (2006) Hasil Pemeriksanaan Subsidi Biaya Perawatan Beras Tahun Anggaran 2004 pada Perusahaan Umum Bulog. Jakarta: BPK [Nomor: 01/AUDITAMA V/AK/01/2006] 4. BPK (2006) Laporan Auditor Independen: Laporan Keuangan Perusahaan Umum Bulog untuk Tahun yang Berakhir pada31 Desember 2004 dan 31 Desember 2003. Jakarta: BPK [Nomor: 26.A/AUDITAMA V/GA/4/2006] 5. BPKP (2004) Laporan Hasil Audit Kinerja Atas Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Pangan Tahun 2003 Pada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik. Jakarta: BPKP 6. Bulog (1999) Buku I Pedoman Umum dan Petunjuk Pelaksanaan Distribusi Operasi Pasar Khusus Beras Tahun 1999/2000. Jakarta: Menphor & Bulog 7. Bulog (1999) Buku II Petunjuk Pelaksanaan Sosialisasi Program OPK Tahun 1999/2000. Jakarta: Menphor & Bulog 8. Bulog (1999) Buku III Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Keluhan Masyarakat terhadap Program OPK Tahun 1999/2000. Jakarta: Menphor & Bulog 9. Bulog (2000) Petunjuk Pelaksanaan Operasi Pasar Khusus (Beras) bagi Keluarga Miskin Tahun 2000. Jakarta: Bulog 10. Bulog (2000) Petunjuk Pelaksanaan Operasi Pasar Khusus bagi Keluarga Miskin 2001. Jakarta: Bulog 11. Bulog (2002) Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Jakarta: Bulog 12. Bulog (2006) Laporan Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Program Raskin Tahun Anggaran 2006. Jakarta: Bulog 13. Bulog (2006) Prosiding Lokakarya Peningkatan Efektivitas Raskin untuk Memenuhi Hak Pangan Rumah Tangga Miskin. Jakarta: Bulog 14. Departemen Dalam Negeri & Bulog (2004) Pedoman Umum Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) Tahun 2005. Jakarta: Depdagri & Bulog 15. Departemen Dalam Negeri & Bulog (2005) Pedoman Umum Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) Tahun 2006. Jakarta: Depdagri & Bulog 16. Departemen Dalam Negeri & Bulog (2006) Pedoman Umum Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) Tahun 2007. Jakarta: Depdagri & Bulog 47 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 17. Hastuti dan John Maxwell (2003) Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN): Apakah Program Tahun 2002 Berjalan Efektif? Bukti-bukti dari Bengkulu dan Karawang. Jakarta: SMERU Research Institute 18. Institut Pertanian Bogor (2005) Studi Penajaman Kelompok Sasaran Program Raskin. Bogor: IPB 19. Institut Pertanian Bogor (2006) Penelitian Peningkatan Efektivitas Program Raskin Melalui Pendampingan Lembaga Perguruan Tinggi Negeri. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB 20. Institute of Empowerment and Development Studies (2005) Laporan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Program Raskin: Peran Serta dan Dukungan Instansi Pemerintah Daerah di Propinsi Banten. Bogor: Institute of Empowerment and Development Studies 21. Komisi IV DPR RI (2007) Laporan Hasil Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI ke Provinsi Papua Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2006-2007 Tanggal 1 s.d. 5 April 2007, Laporan Hasil Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI ke Sulawesi Barat Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2006-2007 Tanggal 2 s.d. 6 April 2007, dan Laporan Hasil Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI ke Provinsi Bangka Belitung Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2006-2007 Tanggal 1 s/d 5 April 2007. Jakarta: Sekretariat Komisi IV DPR RI 22. Lembaga Demografi FEUI (2003) Evaluasi Program Raskin Tahun 2003. Depok: Lembaga Demografi FEUI 23. LP3ES (2000) Studi Evaluasi JPS-OPK Beras di Daerah Pedesaan Tahun Anggaran 1999/2000. Jakarta: LP3ES 24. Olken, Benjamin (2006) `Corruption and the costs of redistribution: micro evidence from Indonesia'. Journal of Public Economics 90, (2006) pp.853-870 25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 115/PMK.02/2005 tentang Anggaran Biaya dan Pendapatan Perusahaan Umum Bulog dalam Rangka Penugasan Pemerintah untuk Melaksanakan Pengelolaan Persediaan, Distribusi dan Pengendalian Harga Beras Tahun 2005 26. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 50/PMK.02/2006 tentang Anggaran Biaya dan Pendapatan Perusahaan Umum Bulog dalam Rangka Penugasan Pemerintah untuk Melaksanakan Pengelolaan Persediaan, Distribusi dan Pengendalian Harga Beras Tahun 2006 27. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 117/PMK.02/2007 tentang Anggaran Biaya dan Pendapatan Perusahaan Umum Bulog dalam Rangka Penugasan Pemerintah untuk Melaksanakan Pengelolaan Persediaan, Distribusi dan Pengendalian Harga Beras Tahun 2007 28. Perdana, Ari A. dan John Maxwell (2004) Poverty Targeting in Indonesia: Program, Problems and Lessons Learned. Jakarta: CSIS 48 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 29. PT Daya Makara UI (2006) Penelitian Peningkatan Efektivitas Program Raskin melalui Pendampingan Lembaga Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Bulog & PT Daya Makara UI 30. SMERU (1998) Hasil Pengamatan Lapangan Kilat Terhadap Pelaksanaan Operasi Pasar Khusus (OPK) di Lima Wilayah. Jakarta: SMERU Research Institute 31. SMERU (2007) Pembelajaran dari Penghapusan OPSM. [Draft] 32. Sumarto, Sudarno dan Asep Suryahadi (2001) Principles and Approaches to Targeting: With Reference to the Indonesian Social Safety Net Programs. Jakarta: SMERU Research Institute [Working Paper July 2001] 33. Suryahadi, Asep, Yusuf Suharso, dan Sudarno Sumarto (1999) Coverage and Targeting in the Indonesian Social Safety Net Programs: Evidence from 100 Village Survey. Jakarta: SMERU Research Institute [Working Paper August 1999] 34. Tabor, Steven R. dan M. Husein Sawit (2006) `Program Bantuan Natura Raskin dan OPK: Penilaian Makro'. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Bulog 35. Tim Monitoring dan Evaluasi Program Raskin 2005 Propinsi Jawa Barat (2005) Persepsi Penerima Manfaat Program Raskin di Tingkat Petani dan Nelayan Pantura Jawa Barat: Kabupaten Indramayu & Kabupaten Cirebon. Bandung: Tim Monev Jawa Barat 36. Universitas Andalas (1999) Laporan Evaluasi Pelaksanaan Operasi Pasar Khusus Beras Sumatera Barat. Padang: Universitas Andalas 37. Universitas Andalas (2005) Laporan Akhir Studi Penajamanan Kelompok Sasaran Program Beras Miskin (Sosialisasi, Monitoring, Evaluasi dan Pendampingan Program Beras Miskin) di Sumatera Barat Tahun 2005. Padang: Universitas Andalas 38. Universitas Andalas (2006) Laporan Akhir Penelitian Peningkatan Efektifitas Program Melalui Pendampingan Lembaga Perguruan Tinggi Negeri di Sumatera Barat Tahun 2006. Padang: Universitas Andalas 39. Universitas Bojonegoro (2006) Evaluasi Kinerja pelayanan prima, Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Bulog Sub Divre Bojonegoro Dalam Pelaksanaan Raskin. Bojonegoro: Universitas Bojonegoro 40. Universitas Brawijaya (2006) Studi Pelaksanaan Program Raskin Propinsi Jatim 2006. Malang: Universitas Brawijaya 41. Universitas Hasanuddin (2006) Laporan Akhir Penelitian Peningkatan Efektifitas Program Raskin melalui Pendampingan Lembaga Perguruan Tinggi Negeri. [Draft] 42. Universitas Indonesia (2004) Studi Penajaman Sasaran Penerima Manfaat Program Beras Miskin (Raskin) 2004. Depok: FE UI 49 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007 43. USESE Foundation (2004) Laporan Akhir Monitoring dan Evaluasi Program Raskin Tahun 2004. Bogor: USESE Foundation 44. World Bank (2003) Indonesia Beyond Macro-Economic Stability. Jakarta: World Bank [World Bank Brief for the Consultative Group on Indonesia] 45. World Bank (2005) `Pangan untuk Indonesia.' [Online] In Indonesia Policy Briefs: Gagasan untuk Masa Depan. Tersedia di 46. World Bank (2006) Making the New Indonesia Work for The Poor. Jakarta: World Bank 50 Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2007