100983 Menuju Pelayanan Operasi Wilayah Sungai yang Efisien dan Berkesinambungan di Indonesia AG U S T U S 2015 The International Bank for Reconstruction and Development 1818 H Street, NW Washington, DC 20433, USA August 2015 www.worldbank.org Pernyataan Laporan ini merupakan produk Bank Dunia dengan kontribusi pihak luar. Temuan, interpretasi dan konklusi yang tertuang tidak seharusnya merefleksikan pandangan Bank Dunia, Badan Direktur Eksekutif maupun Pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data didalamnya. Pertanyaan tentang gambar-gambar mohon dialamatkan kepada nara sumber seperti disebutkan dalam sumbernya. Hak dan Ijin Isi laporan ini dilindungi hak cipta. Karena Bank Dunia mendukung diseminasi pengetahuannya maka laporan ini boleh di perbanyak, keseluruhan maupun sebagian, untuk tujuan non komersial selama (Bank Dunia) dilibatkan penuh. Pertanyaan mengenai hak dan ijin, termasuk ijin subsider, harus dialamatkan ke kantor Penerbit, The World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; fax: 202-522-2422; e-mail: pubrights@worldbank.org Foto: (kiri) Bendungan Jatiluhur, PJT II; (kanan) Bendungan Wadaslintang, PJT I Studi ini dilaksanakan atas permintaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Indonesia, oleh tim Bank Dunia yang di ketuai oleh Xiaokai Li (Spesialis Senior Pengelolaan Sumber Daya Air) dan terdiri dari Aldo Baietti (Spesialis Utama Infrastruktur), Paulus van Hofwegen (Spesialis Senior Sumber Daya Air), Claire Grisaffi (Spesialis Air dan Sanitasi), Clive Lyle (Konsultan Pengelolaan Wilayah Sungai), M. Nidhom Azhari (Konsultan Institusi Sumber Daya Air), Bambang Warsito (Konsultan Operasi Wilayah Sungai), dan Ilham Abla (Konsultan Sektor Sumber Daya Air). Studi ini dilaksanakan dibawah bimbingan Rodrigo Chaves (Country Director untuk Indonesia) dan Ousmane Dione (Practice Manager) dari Bank Dunia. Laporan disiapkan oleh Clive Lyle, Aldo Baietti, dan Xiaokai Li, dengan masukan dari M. Nidhom Azhari dan Bambang Warsito. Tim ingin menyampaikan penghargaan kepada peer reviewers (pembahas) yang berkontribusi terhadap studi ini: Guy J. Alaerts (Spesialis Utama Sumber Daya Air), Daryl Fields (Spesialis Senior Sumber Daya Air), Winston Yu (Spesialis Senior Sumber Daya Air), dan Victoria Hilda Rigby Delmon (Senior Counsel) dari Bank Dunia. Komentar juga diterima dari Iain Menzies (Spesialis Senior Air dan Sanitasi Regional). Studi ini juga mendapat manfaat dari dukungan banyak pejabat dan staf dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, PJT I, PJT II, berbagai B(B)WSs, dan dinas propinsi, demikian pula dari staf Bank Dunia, termasuk Nathan Belete (Practice Manager), Josephine M. Bassinette (Operation Manager), Yogana Prasta (Penasihat Operasi), George Soraya (Pemimpin Program), Fook Chuan (Spesialis Senior Air dan Sanitasi), Martin Albrecht (Spesialis Air dan Sanitasi), Kian Siong (Spesialis Lingkungan), Isabel Junior (Asisten Program), Demilour Reyes Ignacio (Asisten Program), dan Nina Herawati (Asisten Program). Lisa Ferraro Parmelee telah membantu dalam mengedit laporan ini. Akhir kata, tim ingin menyampaikan penghargaan atas dukungan penuh yang diberikan kepada studi ini oleh Water Partnership Program dan Pemerintah Australia (melalui World Bank East Asia and Pacific Infrastructure for Growth Trust Fund). i Istilah Arti Balai Institusi (pemerintah) Balai Besar Institusi Pusat, setingkat Eselon 2B Balai PSDA (BPSDA) Institusi Pengelola Sumber Daya Air (di Dinas SDA Propinsi) Balai Besar (Institusi Pusat) Wilayah Sungai, unit dibawah Dirjen SDA, Kementerian PUPR BBWS (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) BJPSDA Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air BLU Badan Layanan Umum BWS Balai (Institusi Pusat) Wilayah Sungai, unit dibawah Dirjen SDA, Kemen PUPR, setingkat Eselon 3 BUMN Badan Usaha Milik Negara DAS Daerah Aliran Sungai Directorate General of Water Resources; Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (DJSDA), DGWR Kementrian PUPR Dinas Kantor Pelayanan dibawah pemerintah daerah Dinas PSDA Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air di propinsi atau di Kabupaten / Kodya. (DPSDA) Dinas PSDA (District) Dinas PSDA pada pemerintah kabupaten Dinas PUP Dinas Pekerjaan Umum Propinsi GoI Government of Indonesia; Pemerintah Indonesia IPP Independent Power Provider; Penghasil Daya Listrik Independen IRBM Integrated river basin management; Pengelolaan wilayah sungai terpadu IWRM Integrated water resources management; Pengelolaan sumber daya air terpadu KSO Kerja Sama Operasi yang merupakan jabaran dari MOU MOU Memorandum of understanding atau Memorandum Kesepahaman Ministry of Publik Works; Menteri Pekerjaan Umum – Sekarang Menteri Pekerjaan Umum dan MPW Perumahan Rakyat NWRC National Water Resources Council atau Dewan Sumber Daya Air Nasional O&M Operation and Maintenance; Operasi dan Pemeliharaan PAM Perusahaan Air Minum PDAM Perusahaan Daerah Air Minum Pengelolaan Pengelolaan ii PJT I/II Perum Jasa Tirta I/II PLN Perusahaan Listrik Negara PLTA Pembangkit Listrik Tenaga Air Pola Pola atau Rencana Strategis PP Peraturan Pemerintah PSDA Pengelolaan Sumber Daya Air PU Pekerjaan Umum RBO River Basin Organization; Organisasi Wilayah Sungai: BBWS/BWS/Balai PSDA Rencana Rencana Induk Pengelolaan Wilayah Sungai Unit pengelolaan wilayah sungai di Indonesia di level nasional dan propinsi, terdiri dari beberapa River territory daerah aliran sungai SDA Sumber Daya Air SPAM Sistem Penyediaan Air Minum Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Di tingkat pusat, Dewan Wilayah Sungai Nasional TKPSDA dengan keanggotaan 50/50 pemerintah dan non-pemerintah. WRM Water Resources Management; Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai – terdiri dari beberapa daerah aliran sungai. (DAS) Istilah WS dan DAS dipakai WS bergantian dalam laporan ini WUA Water User Association; Persatuan Petani Pemakai Air (P3A) iii RINGKASAN EKSEKUTIF TUJUAN DAN LINGKUP STUDI Sejak dikeluarkannya Undang-undang Air di tahun 2004, pengelolaan wilayah sungai nasional di Indonesia telah dilaksanakan oleh 30 organisasi publik pengelola wilayah sungai (RBO), yang dinamakan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau Balai Wilayah Sungai(s) (BWS); ke duanya diacu disini sebagai B(B)WS. Kedua badan pemerintah pusat ini melaksanakan fungsi pengawasan dan pengelolaan, demikian pula dalam melaksanakan konstruksi, operasi dan pemelihraaan infrastruktur sungai, dan sistem irigasi yang lebih besar dari 3.000 hektar. Badan SDA atau Dinas SDA propinsi juga menyediakan sumber air dan pengelolaan wilayah sungai di wilayah propinsi dan wilayah sungai nasional, berkoordinasi dengan badan-badan wilayah sungai pusat. Selama beberapa dekade yang lalu, pengaturan diterapkan pada beberapa wilayah sungai yang utama di Jawa, dimana dua perusahaan milik negara yang dinamakan Perum Jasa Tirta (PJT) dibentuk melalui peraturan khusus pemerintah untuk mengelola infrastruktur yang utama milik pemerintah pusat. Baru-baru ini, perusahaan telah mengembangkan area pengelolaannya ke wilayah sungai di Jawa dan Sumatera dengan mengambil alih fungsi operasi dan pemeliharaan infrastruktur air yang utama dari Balai B(B)WSs yang terkait. B(B)WS tetap mempertahankan peranan pengelolaan sumber daya airnya, demikian pula tanggungjawab untuk operasi dan pemeliharaan dari infrastruktur lainnya yang masih tertinggal, biasanya infrastruktur sungai yang lebih kecil. Tidak seperti B(B)WS, PJT lebih berorientasi kepada laba dan diperkenankan untuk menerima tagihan atas jasa air baku (bulk) pada pembangkit listrik tenaga air, utilitas air, dan industri non-pertanian. Direktorat Jenderal untuk Sumber Daya Air (DJSDA) dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Indonesia telah meminta Bank Dunia untuk mendukung suatu studi yang akan mengkaji pendekatan yang ada terhadap operasi wilayah sungai, dan merekomendasikan perubahan untuk merasionalisasikan fungsi dan meningkatkan effektifitas dari berbagai organisasi wilayah sungai, khususnya pendekatan yang ada dalam memanfaatkan PJT sebagai operator dan pemelihara infrastruktur. Dengan adanya kendala anggaran dan kebutuhan untuk meningkatkan pelayanan operasi wilayah sungai, pemerintah Indonesia merasa prihatin dengan efektifitas pengaturan sektor publik yang dilaksanakan melalui B(B)WS dan mempertimbangkan untuk memperluas model PJT ke wilayah sungai tambahan. Pada saat ini, DJSDA sedang meningkatkan pengertiannya tentang bagaimana cara kerja model PJT yang ada, dan mengidentifikasikan alternatif kebijakan untuk memperkuat institusi dan kesinambungan finansial daripada kebijakan tersebut. 1 Dengan memusatkan perhatian terutama pada pengiriman pasokan air baku dan operasi & pemeliharaan dari infrastruktur yang ada pada wilayah sungai nasional dimana kedua badan usaha (selanjutnya dinamakan sebagai PJT I dan PJT II) beroperasi, tim studi telah melaksanakan tugas utama sebagai berikut: (a) Membahas kembali aturan yang ada sehubungan dengan peran dan tanggungjawabnya serta mengidentifikasikan masalah utama, termasuk pembahasan kembali pembagian tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya air wilayah sungai dan pemberian pelayanan yang terkait diantara institusi yang berbeda-beda; (b) Analisa operasional dan finansial dari PJT, termasuk identifikasi keadaan dan sumber dana sekarang, pengkajian kesinambungan finansial, serta membahas proposal PJT I untuk memperluas wilayah kerjanya ke wilayah sungai tambahan; (c) Kajian menyeluruh tentang model PJT dalam kaitannya dengan pengalaman domestik maupun internasional; dan (d) Menyusun rekomendasi kebijakan, berdasarkan analisis dan kajian, untuk meningkatkan keberhasilan praktek pengelolaan operasional dan untuk mereplikasi pendekatan yang sudah diperkuat. Suatu pertemuan konsultasi antar badan, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 2014, dan diketuai oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Air, tercatat beberapa hal berikut ini, yang dibahas lagi pada pertemuan konsultasi pemangku kepentingan yang diadakan di Jakarta pada bulan April, 2015: (a) Pemerintah menyambut baik studi kelayakan model usaha untuk pengelolaan wilayah sungai. Model harus berkesinambungan dan tidak terbebani dengan terlalu banyak tugas yang dapat memperlemah kemampuan organisasi untuk menyelesaikannya; sebaliknya, model harus focus mengenai yang terbaik yang dapat dilakukan: pengelolaan wilayah sungai, penyediaan air baku kepada pengguna, dan pemeliharaan infrastruktur sungai; dan (b) Dalam melaksanakan studi, banyak aspek lain dari pengelolaan sungai yang harus dipertimbangkan, seperti pengelolaan wilayah secara keseluruhan; peran dari pengawas dan pemberi jasa/pelayanan; Operasi & pemeliharaan Infrastruktur; kerja sama diantara organisasi wilayah sungai dengan peran dan tugas yang sama atau yang tumpang tindih; hubungan dan koordinasi antar institusi pada tingkat propinsi dan kabupaten; dan kemungkinan untuk replikasi dari model usaha yang baru untuk wilayah sungai yang lain. Oleh karena kendala dalam masalah data, tim tidak dapat menyelesaikan tugasnya secara penuh, khususnya pada pembahasan proposal perluasan PJT I. Studi kelayakan yang dihasilkan oleh PJT I untuk perluasan ke dalam wilayah sungai yang baru hanya memberikan ringkasan finansial dan informasi 2 operasional yang tidak cukup untuk mengkaji efisiensi dari perluasan yang diusulkan. Sementara itu, studi hanya mengemukakan bentuk operasi yang berkesinambungan secara finansial, dan tidak dapat melampaui kajian dasarnya untuk mengevaluasi efektifitas operasinya. Kendala tentang ketersediaan data juga membatasi kajian tentang kinerja operasional B(B)WS maupun PJT. Upaya untuk identifikasi biaya satuan untuk Operasi & Pemeliharaan dan rencana pemeliharaan bagi infrastruktur air dan sungai pada area jasa/pelayanan tidak dapat memberikan kesimpulan. Tanpa suatu pembahasan dan penelitian yang ekstensif, suatu kajian penuh mengenai kecukupan dan efektifitas dari fungsi operasi & pemeliharaan tidak dimungkinkan, melampaui apa yang dikemukakan oleh laporan audit keuangan, dokumen dan penerbitan resmi yang terbatas, dan diskusi dengan sejumlah entitas terkait. Namun, terbatasnya data menjadi temuan yang penting sebagai tanggapan terhadap opsi kebijakan yang telah direkomendasikan. PENGATURAN YANG ADA TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI DI INDONESIA Indonesia adalah negara pegunungan yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak dan sebagian besar berukuran kecil, dimana kebanyakan wilayah sungai berukuran kecil dengan gradien yang terjal. Curah hujan yang tinggi dan kondisi alam lainnya, seperti aktivitas vulkanis, mengakibatkan seringnya terjadi banjir, erosi tanah dan sedimentasi yang tinggi, serta periode basah dan kekeringan, menyebabkan kekurangan air di banyak daerah. Dengan adanya sifat unik dari topography dan iklim negara ini, suatu sistem “pengelolaan sungai” telah dibuat yang menggabungkan sejumlah sungai yang independen menjadi lebih besar secara administratif yang disebut sebagai Wilayah Sungai (WS). Secara keseluruhan, terdapat 131 wilayah sungai dibawah wewenang pusat, propinsi dan kabupaten. Pemerintah pusat, dibawah pengarahan dan pengelolaan DJSDA, mengendalikan wilayah sungai yang lebih signifikan, yang berjumlah 63 WS yang dikelola oleh 33 organisasi wilayah sungai yaitu BBWS dan BWS tingkat rendah, serta dua PJT, lima puluh tiga (53) WS dibawah wewenang propinsi dan 15 dibawah kabupaten, meskipun pengelolaan wilayah dibawah wewenang kabupaten kebanyakan tidak aktif. Propinsi mempunyai sendiri badan pengelola sumber daya airnya, yang disebut dinas, yang mengelola kegiatan wilayah sungai dibawah wewenang mereka. Dinas tersebut dapat terlibat dalam beberapa kegiatan pengelolaan pada wilayah nasional melalui koordinasi dengan B(B)WS terkait. Dalam rangka kerja pengawasan, negara mempunyai banyak undang-undang dan peraturan yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan pengawasannya. Pada sebagian besar, hal ini merupakan pendekatan yang mantap terhadap pengelolaan sumber daya air terintegrasi (IWRM), sebagaimana 3 dinyatakan dalam Undang-undang Air 2004. Peraturan lanjutannya telah diterbitkan untuk mencapai yang berikut ini: (a) Berdirinya dewan sumber daya air nasional, propinsi dan dewan wilayah sungai (b) Pendekatan wilayah sungai berdasarkan mandat (c) Terbentuknya batas wilayah sungai (d) Tanggungjawab dari berbagai tingkat pemerintahan (e) Berdirinya B(B)WS dan lingkup tanggungjawab dan jasa/pelayanannya. (f) Dasar bagi keputusan menteri yang menangani panduan bagi pengelolaan sumber daya air, termasuk perencanaan wilayah sungai, pembagian air, dan sebagainya. PJT telah dibentuk sebagai perusahaan/korporasi publik dibawah Menteri Badan Usaha Milik Negara sebelum diberlakukannya Undang-undang Air 2004 sebagai organisasi wilayah sungai untuk operasi dan pemeliharaan infrastruktur pada wilayah sungai terpilih. Ditempat mana mereka beroperasi, mereka mengambil alih banyak fungsi operasi dan pemeliharaan yang sebelumnya dilakukan oleh badan pemerintah dan mengirim air baku kepada stasiun pembangkit tenaga air, utilitas air, dan industri di dalam area cakupan jasa/pelayanan mereka. Mandat kepada kedua perusahaan (PJT) juga termasuk menyediakan berbagai jasa terkait air, termasuk jumlah air baku untuk irigasi, pengelolaan banjir, dan jasa konservasi air. Tugas utamanya secara prinsip adalah bertanggungjawab terhadap operasi dan pemeliharaan reservoir dan infrastruktur sungai lainnya, sementara mereka dapat membagi tanggungjawab pengelolaan sumber daya air lainnya dengan B(B)WS dan otoritas pengelolaan sumber daya lainnya. Sampai pada tingkat tertentu, peranan dari PJT tidak begitu jelas, dan tanggungjawab kadangkala tumpang tindih dengan badan pemerintah, seperti B(B)WS, di wilayah dimana korporasi aktif bekerja. Selanjutnya, dimana PJT berorientasi laba dan menerima pembayaran atas jasanya/pelayanannya, sementara B(B)WSs didanai melalui anggaran pemerintah. PJT juga menangani berbagai fungsi yang bukan utama (non-inti) untuk meningkatkan kinerja finansialnya melalui pembangkitan daya, pariwisata, produksi dan penjualan air bersih, konstruksi, jasa rekayasa dan konsultansi, sewa peralatan, dan sebagainya. Kedua perusahaan mempunyai tanggungjawab yang serupa, terkait kepada pemeliharaan infrastruktur air, termasuk waduk, reservoir, gorong-gorong, bendungan dan pengatur aliran air. PJT II juga bertanggungjawab untuk operasi sistem irigasi Jatiluhur; dengan area operasi sebesar lebih dari 200.000 hektar, ini adalah sistem irigasi terbesar di negara ini. PJT I awalnya didirikan di tahun 1990 untuk pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur untuk pasokan air permukaan dan untuk mitigasi bencana pada wilayah sungai Brantas. Peraturannya kemudian 4 dimodifikasi untuk memperluas tanggungjawabnya ke wilayah sungai Bengawan Solo. Sebagai perbandingan, PJT II pada awalnya didirikan sebagai organisasi pemerintah di tahun 1970 namun dikonversi di tahun 1999 menjadi perusahaan/korporasi publik untuk mengoperasikan wilayah sungai Citarum, reservoir Jatiluhur, dan sebagian dari wilayah sungai Ciliwung-Cisadane. PJT diawasi oleh dewan pengawas yang saat ini ditunjuk oleh Menteri Pekerjaan Umum untuk pengawasan terhadap kinerja operasionalnya. Untuk PJT I, direksi pengawasan diketuai oleh mantan anggota senior dari DJSDA dan termasuk perwakilan senior dari Kementrian Keuangan dan propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta seorang anggota yang independen. Direksi pengawas untuk PJT II terdiri atas anggota dari Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Pertanian, serta dua anggota independen. PLN (Perusahaan Listrik Negara), juga terlibat dalam fungsi operasi & pemeliharaan sejauh ia memiliki, mengoperasikan, dan memelihara reservoir untuk maksud pembangkitan daya. BLU (Badan Layanan Umum), suatu badan nirlaba pelayanan publik yang dibentuk dibawah Kementerian Keuangan, pernah dilihat sebagai alternatif yang memungkinkan terhadap model PJT yang berlaba dengan cara pengelolaan infrastruktur yang menguntungkan bersama infrastruktur yang kurang menguntungkan. DJSDA sebagian besar bertindak sebagai pengawas jasa pengelolaan sumber daya air yang dilimpahkan kepada B(B)WS dan PJT karena DJSDA berkewajiban memberikan advis kepada Menteri mengenai pengaturan tarif air dan perjanjian rencana pengalokasian air serta mengawasi pengelolaan aset. PJT mengikuti standard pelaporan keuangan yang diatur oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Dalam bulan Februari 2015, Undang-undang Air 2004 telah dibatalkan oleh Pengadilan Konstitusi, dan Undang-undang Air Tahun 1974 diberlakukan kembali sebagai legislasi pengendali sampai undang-undang baru diadopsi. Pengadilan menyatakan bahwa ketentuan dari Undang-undang 2004 tidak konstitusional karena konstitusi mensyaratkan bahwa hak terhadap air merupakan hak dasar, dan pengendalian sumber daya air adalah mandat pemerintah. Menurut pengadilan, pelaku sektor swasta tidak akan diberikan hak khusus terhadap sumber daya air (seperti sungai, sumber air, dan danau), namun mereka dapat mengajukan lisensi untuk menjual jumlah air tertentu yang ditentukan oleh pemerintah dan disepakati oleh masyarakat setempat.1 Rupanya, sebagian besar penolakan pengadilan adalah pengambilan air oleh sektor swasta tanpa lisensi air yang sesuai. Pemerintah berencana untuk memberlakukan undang-undang pengganti pada akhir tahun 2015. 1 http://www.loc.gov/lawweb/servlet/lloc_news?disp3_l205404328_text. 5 TEMUAN UTAMA PADA KAJIAN OPERASIONAL DAN FINANSIAL PJT Pembahasan dan analisis dari hasil operasional dan financial PJT dilaksanakan untuk periode 2009–2013. Temuan utama diringkas dibawah ini. Secara keseluruhan, model PJT telah menghasilkan sejumlah manfaat, walaupun ada kendala anggaran untuk operasi dan pemeliharaan infrastruktur. Dibandingkan dengan model pengelolaan sumber daya air di banyak negara, hal itu progresif dalam pendekatannya. Dengan memperkenankan PJT untuk melakukan tagihan atas pelayanan air baku, pemerintah dapat memperoleh sumber penghasilan baru dan secara seimbang mengurangi tekanan pada sumber dana anggaran publik, namun tidak seluruhnya, dan mungkin bukan yang paling efektif. Sungguhpun begitu, langkah utama telah diambil untuk ekuitas ekonomi dengan membuat konsumen membayar atas jasa yang telah diberikan (daripada masyarakat umum membayarnya melalui pajak penghasilan). Hal terakhir ini merupakan perkembangan penting dimana banyak negara sedang berkembang belum bisa melakukannya. Untuk alasan inilah, pemerintah harus diberikan pujian, dan harus tetap meningkatkan model yang ada saat ini sebelum diterapkan pada tempat lain. PJT I dan PJT II mempunyai tanggungjawab operasional utama (inti) yang serupa namun juga ada perbedaan yang utama. Pertama, PJT II bertanggungjawab atas operasi sistem irigasi Jatiluhur, selain tanggungjawab terhadap pasokan air baku dan jasa pengendalian banjir. Kedua, seperti hal nya PJT I, PJT II menyediakan air baku kepada utilitas air dan industri serta kepada tiga instalasi pembangkit tenaga listrik, termasuk yang dimilikinya. Namun PJT II tidak menagih jasa pada instalasinya untuk jumlah air yang dikonsumsi. Oleh karena PLN belum membayar jasa atas air yang digunakan untuk instalasi pembangkit listrik tenaga air, PJT II tidak menerima penghasilan dari unit pembangkit daya tersebut. Yang terkhir, PJT II mengoperasikan instalasi pembangkit listrik tenaga air di waduk Jatiluhur dan listrik yang dihasilkan dijual melalui jaringan listrik (Power Grid). PJT juga menjual listrik secara terpisah kepada konsumen pengecer, dan sebagian dari listrik yang dihasilkan digunakan untuk konsumsi sendiri. PJT I tertarik dalam penanganan produksi tenaga hidro tetapi belum berinvestasi pada instalasi sendiri. Perbedaan utama dalam fungsi operasinya membuat jelas bahwa area jasa PJT dibentuk sebagian besar sebagai tanggapan terhadap kebutuhan untuk berkesinambungan secara finansial untuk setiap operasi yang terkait, dan bukan didirikan atau menyesuaikan kepada suatu rangka kerja sistematis yang secara jelas membedakan fungsi pengelolaan sumber daya air dari operasi dan pemeliharaan. Tambahan lingkup operasi yang bukan lingkup utama PJT, seperti produksi air minum dan operasi Pembangkit Listrik tenaga Air, memperkuat fakta ini. 6 Diskusi dengan B(B)WS terpilih mengkonfirmasikan bahwa PJT memusatkan perhatian kepada peningkatan penghasilan dan cenderung mengabaikan pemeliharaan infrastruktur dan instalasi yang menjadi tanggungjawabnya tetapi tidak mendatangkan penghasilan. Pendekatan dalam menunjuk lingkup dan wilayah kerja PJT telah menimbulkan beberapa tanggungjawab yang tumpang tindih dengan B(B)WS. Sementara itu tanggungjawab tumpang tindih sebetulnya tidak perlu merupakan suatu permasalahan besar dengan hanya dua PJT yang beroperasi, karena hal ini dapat membuat fungsi pengelolaan sangat rumit, meningkatkan biaya transaksi, dan mempengaruhi koordinasi rencana kerja nasional kecuali pembagian peran dilakukan dengan baik. Kini, dalam menetapkan wilayah kerja jasa dari operasi PJT, peran ditujukan untuk memuaskan kepentingan dari PJT agar tetap menguntungkan. Walaupun bukan merupakan permasalahan utama, keputusan ini harus berdasarkan pada pertimbangan lain, khususnya bila kinerja PJT cukup bagus dan dapat mengakomodasikan beberapa wilayah lain yang kurang menguntungkan. Dalam praktek, pendekatan saat ini didalam pemberian peran telah menunjukkan situasi dimana B(B)WS, selain mendapat peran tambahan terhadap pengelolaan sumber daya airnya, disyaratkan pula untuk melanjutkan fungsi operasi & pemeliharaan bagi wilayah sungai yang lebih kecil dan tidak mendatangkan penghasilan. Hasilnya adalah bahwa B(B)WS dan PJT dapat berada pada wilayah yang sama. Pengaturan saat ini untuk operasi & pemeliharaan infrastruktur utama di wilayah sungai dimana PJT beroperasi diringkas dalam Bab 3 dari laporan ini. Secara singkat, tanggungjawab PJT I adalah sebagai berikut: (a) Pemasokan air kepada 13 pembangkit listrik tenaga air dari PLN dan 20 perusahaan air minum daerah dan kepada pabrik gula dan industri, dan memasok air irigasi kepada 7 B(B)WS dan area irigasi wewenang propinsi dan kabupaten. (b) Mengaliri sungai melewati Surabaya. (c) Menyediakan jasa pengendalian banjir. PJT II melakukan hal berikut: (a) Memasok air terhadap 3 pembangkit listrik tenaga air, 5 perusahaan air minum kota (PDAM), dan sekitar 227 industri, serta untuk irigasi tanaman padi seluas 242.000 hektar. (b) Mengairi sungai bagi kota Krawang, Bekasi, dan Jakarta. (c) Memberikan jasa pengendalian banjir. 7 Terlihat jelas, pendekatan saat ini dalam menunjuk area dan peran jasa membuat rumit pemerintahan dan pengaturan pengawasan, yang dapat menuju kepada sejumlah masalah efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi, demikian pula konflik kepentingan. Hal ini harus dikoreksi dengan adanya rencana memperluas model PJT ke wilayah sungai yang lain. Sebagai tambahan, pendekatan kini dapat merusak keserasian operasi infrastruktur pada keadaan darurat banjir, yang terbukti di tahun 2010 di wilayah sungai Citarum, dimana PJT II mengoperasikan satu dan PLN mengoperasikan dua dari tiga reservoir bertingkat. Memperkuat temuan diatas, studi mengidentifikasi sejumlah kejadian dimana konflik kepentingan dapat melemahkan keefektifan pengelolaan. B(B)WS dapat menjadi operator, tetapi sebagai unit direksi pengelolaan DJSDA yang mengawasi kinerja PJT, mereka juga merupakan bagian dari kerangka kerja pemerintahan. Lebih penting, PJT II saat ini adalah penyedia air baku kepada kedua unit daya PLN dan unit daya hidronya sendiri. Hal ini tidak hanya menciptakan permasalahan pada saat kelangkaan air, tetapi PJT II juga merealisasikan harga satuan yang jauh lebih rendah daripada harga PLN untuk pembangkitan daya karena tidak memerlukan pemulihan biaya dari aset tetap, yang sebenarnya dimiliki oleh pemerintah. Bahwa hal ini telah menjadi titik perhatian, sudah jelas terlihat dalam perselisihan saat ini antara PLN dan PJT II mengenai pembayaran atas jasa air yang telah disediakan oleh PJT II. Dengan alasan yang serupa, kepentingan PJT II sebagai pemasok air baku dan eceran, dapat pula berselisih dengan operasi untuk area irigasi Jatiluhur. Meskipun tidak terdapat tagihan untuk irigasi, kondisi kelangkaan air dapat menimbulkan pertentangan antara penggunaan air untuk instalasi daya hidro (hydropower) PJT II sendiri dan pasokan air untuk jaringan irigasi. Selanjutnya, sebagai operator daya listrik dan pemasok air untuk instalasi daya listrik tersebut, PJT dapat memaksimalkan air dalam penyimpanan daripada melepaskannya untuk menciptakan lebih banyak kapasitas penyimpanan pada musim banjir. Diskusi dengan pemangku kepentingan di wilayah dimana PJT I dan B(B)WS berada bersama memberikan konfirmasi bahwa konflik sedang terjadi, karena PJT cenderung menyimpan air untuk pembangkitan daya daripada memenuhi kewajibannya dalam perjanjian pengoperasian yang mensyaratkan pelepasan untuk mengantisipasi musim banjir. Dengan adanya fungsi non-inti yang lebih besar dapat menimbulkan permasalahan pada prioritas usaha. Seperti ditunjukkan sebelumnya, kedua PJT menangani berbagai kegiatan yang non- inti, antara lain termasuk pariwisata, jasa laboratorium, penyewaan alat dan lahan, pelayanan rumah sakit, penjualan air minum, dan pembangkitan daya. Hal yang tidak jelas adalah apakah kegiatan tersebut sebenarnya menambahkan nilai yang banyak terhadap usaha inti atau apakah hanya sekedar penyimpangan PJT dari mandat fungsi utamanya. Dengan kata lain, apakah jasa yang non-inti bermanfaat atau memberatkan? PJT II saat ini mengandalkan pembangkitan daya untuk bertahan secara finansial, 8 dengan kontribusi rendah dari jasa intinya terhadap total penghasilan. Sebagaimana disebutkan diatas, PLN telah menolak membayar untuk jasa air baku, dan PJT II sendiri tidak membayar untuk instalasi daya hidronya. Usaha intinya hanya berkontribusi 26 persen dari total penghasilan. Untuk perbandingan, usaha pariwisata PJT II hanya menguntungkan secara marjinal dan dapat menjadi beban perusahaan. Untuk PJT I, usaha intinya memberikan 89 persen dari total penghasilan, namun, seperti PJT II, juga berusaha meningkatkan penghasilan non-inti melalui pembangkitan daya dan kegiatan lain. Selanjutnya, selain dari apa yang sudah diketahui mengenai usaha daya dan pariwisata di PJT II, karena sedikitnya informasi tersedia mengenai biaya efektif dan tingkat upaya untuk mengoperasikan jasa usaha non-inti, dan mengkaji nilai tambah kepada perusahaan adalah sulit. Kecuali dimasukkan kedalam pemeriksaan, jasa tambahan tersebut dapat menjadi distraksi utama perusahaan dari fokus usaha intinya. Kedua perusahaan telah berkinerja sangat baik selama periode 2009–13, dengan marjin laba yang tinggi dan neraca tunai yang berarti. Selain permasalahan yang disebutkan diatas, kedua perusahaan menunjukkan hasil operasional dan finansial yang sangat kuat. Hal ini tercermin dalam tabel ES-1, yang menunjukkan hasil komparatif. Pada sisi operasional, PJT I telah menunjukkan marjin laba sebesar 18 persen untuk periode tersebut dan dengan neraca tunai sebesar Rp 203 milyar (US$1 setara sekitar Rp 12,000 di tahun 2014), atau 56 persen dari total aset. Meski permasalahan dengan pembayaran dari PLN, PJT II menyatakan 14.6 persen marjin laba terhadap penghasilan Rp 534.9 milyar dan, pada akhir 2013, mempunyai uang tunai sebesar Rp 298.3 milyar, atau 43 persen dari total aset. Tabel ES-1: Ringkasan Kinerja Finansial PJT Parameter Perum Jasa Titra I Perum Jasa Titra II Aset Total 363.3 686.5 Aset Tunai 203.0 298.3 Total Penghasilan 342.9 534.9 Penghasilan (jasa inti) 89% 26% Biaya Operasi 258.3 437.3 Marjin Laba 18.0% 14.6% Rasio Operasi 72.0% 75.4% Laba Neto 62.0 77.8 Periode Koleksi 31 hari 12.1 hari Aset Cair terhadap Modal 91.2% 71.3% Akuntabilitas terhadap Aset Total 17.89% 22.8% Sumber: PJT I dan PJT II Ditinjau secara finansial murni, hal ini merupakan angka kinerja yang sangat mengesankan bagi kedua perusahaan. Selanjutnya, resolusi permasalahan pembayaran jasa air baku untuk instalasi pembangkit daya (hydropower) dapat menambahkan jumlah laba yang signifikan kepada PJT II, karena sebagian besar 9 biaya sudah diintegrasikan dalam pengoperasian yang sedang berjalan. Tanpa mengecilkan hasil finansial yang positif ini, kedua perusahaan telah mengandalkan pada kenaikan tarif daripada perbaikan efisiensi selama bertahun-tahun. Bagi PJT I, rata-rata tarif tahunan telah meningkat dari 2011 sampai 2014 sebesar 14 persen untuk operator tenaga hidro, 19 persen untuk PDAM, dan 9 persen untuk industri. Bagi PJT II, peningkatan mencapai 18 persen (30 persen, dengan tambahan pajak konstruksi saluran baru) bagi PDAM dan industri pada periode yang sama. Ruang untuk tambahan kenaikan tidak ada kepastian, dan praktek yang demikian dapat menimbulkan risiko yang tinggi bila tidak dikontrol. Hujan yang sedikit juga merupakan ancaman, dan kedua perusahaan dapat memperoleh untung dari makin mahalnya biaya penyimpanan untuk memperlambat pertumbuhan pembiayaan operasi. Lebih penting lagi, karena penyedia jasa publik, perusahaan tersebut harus dikenakan pengawasan ekonomi yang lebih besar untuk memastikan efektifitas biaya dalam jasa konsesi, yang tidak dikenakan persaingan. Secara keseluruhan, dalam sorotan semua temuan, tindakan koreksi harus diambil sehingga model PJT kini dapat diperkuat menjadi institusi, finansial, dan kerangka pengelolaan kerja yang kuat untuk replikasi nasional. Studi mengemukakan sejumlah kelemahan dengan pendekatan wilayah saat ini. Tindakan korektif yang ada untuk menangani kelemahan tersebut termasuk yang berikut ini: (a) Penunjukan wilayah jasa PJT (b) Memisahkan tanggungjawab inti antara PJT dan B(B)WS dan operator infrastruktur air lainnya (misalnya, PLN) (c) Mengenakan regulasi ekonomi yang mempromosikan effektifitas biaya dan ekuitas dalam tagihan kepada pengguna/pemanfaat (d) Meningkatkan fungsi dan operasi pemantauan organisasi melalui tolok ukur yang efektif (e) Melaksanakan perluasan yang kompetitif terhadap wilayah sungai baru (f) Memperkuat pengaturan institusional untuk meningkatkan pengelolaan pusat dan pengawasan serta administrasi PJT dan B(B)WS. PERTIMBANGAN KEBIJAKAN UNTUK JASA OPERASIONAL WILAYAH SUNGAI KEDEPAN Tindakan kebijakan berikut ini direkomendasikan untuk memperkuat pendekatan yang ada saat ini tentang jasa dan pengelolaan wilayah sungai di Indonesia: 10 Memperkuat pendekatan pengawasan. Pendekatan pengawasan dan kinerjanya adalah kelemahan kunci dari pendekatan operasi wilayah sungai saat ini. Hal ini telah berakibat terbatasnya operasi & pemeliharaan infrastruktur sungai dan pengelolaan aset, ketidakpastian dalam alokasi air, sedikit atau tidak adanya perjanjian pengoperasian, dan kurangnya transparansi dan kemandirian dalam menentukan tarif. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pendekatan pengawasan harus diperkuat dengan membuat lebih banyak proses transparansi melalui pemisahan jelas dari fungsi pengawas, pengelola wilayah sungai, dan operator sungai (pemasok baku). Prioritas utama harus diberikan kepada penetapan persyaratan untuk pengelolaan aset dan operasi & pemeliharaan khususnya, dan kepada pemantauan dan penegakan perjanjian operasi dan lisensi. Menyusun regulasi untuk fungsi inti. Fungsi pengawasan ekonomi tidak dilakukan pada sisi publik dari usaha atau dari jasa usaha komersial tambahan dari PJT. Khususnya, beberapa lini usaha swasta dilindungi oleh kekhususan yang diberikan kepada perusahaan untuk usaha intinya. Sejauh terkait dengan publik, perusahaan beroperasi sebagai monopoli. Untuk alasan ini sendiri, operasi mereka harus dipantau dan diatur lebih ketat. Sementara jasa usaha non-inti harus diperkenankan untuk memperoleh apa yang tersedia di pasar, fungsi inti harus diatur lebih ketat dalam hal tarif yang diperkenankan, biaya penyimpanan, pengelolaan aset, dan persyaratan operasi & pemeliharaan, serta kewajiban investasi. Untuk mengimplementasikan falsafah demikian secara efektif, bagaimanapun juga, pemerintah membutuhkan tekad yang lebih baik mengenai standard biaya yang terkait dengan persyaratan operasi & pemeliharaan dalam cakupan wilayah kerja. Hal ini terlihat tidak tersedia. Untuk area cakupan yang ada, DJSDA harus memberi syarat agar kedua PJT menyiapkan rencana pengelolaan aset atau pemeliharaan yang dikembangkan dengan baik, dengan menggunakan format standard yang memperlihatkan semua persyaratan pemeliharaan rutin dan utama yang dirinci dalam jadwal jangka panjang (misalnya, 20-30 tahun), dengan biaya yang tercantum untuk setiap unit infrstruktur utama dalam setiap wilayah kerja. Rencana pemeliharaan demikian kemudian dipantau secara seksama untuk kepatutannya oleh DJSDA dan B(B)WS yang ditunjuk, dan akan menjadi komponen utama dalam pembahasan proposal untuk kenaikan tarif. Menuju pelelangan kompetitif untuk area jasa yang baru. Bagi area jasa yang baru, DJSDA harus bergerak menuju pendekatan kompetitif, dimana PJT (yang ada dan yang akan dikembangkan) akan bersaing paling tidak mengenai biaya dasar paling sedikit untuk fungsi inti yang terkait dengan persyaratan operasi & pemeliharaan untuk area cakupan jasa tertentu. Hal ini berarti permintaan penawaran (atau proposal) akan termasuk didalamnya rencana pemeliharaan sebagai acuan. Pengembangan dan kepatuhan kepada rencana pengelolaan aset yang telah terdefinisi dengan baik, yang menuntut kewajiban jasa dari perusahaan dibawah fungsi intinya, harus disyaratkan. Suatu rencana pengelolaan aset yang memuaskan, yang diformulasikan sesuai panduan khusus, pelaksanaannya akan menjadi indikator kinerja kunci untuk 11 dipantau oleh pengawas. Sebagai tindakan sementara, pemantauan indikator kinerja operasional sungai, seperti pengelolaan aset, pengiriman air kepada yang berhak, penghasilan, keuangan, dan sebagainya, harus sudah ditempatkan pada unit operasi sungai PJT dan B(B)WS. Menggunakan kompetisi untuk memperkuat efisiensi operasional dan mengimbangi wilayah yang tidak menguntungkan dengan yang menguntungkan. Dalam pendekatan pelelangan kompetitif, DJSDA masih dapat menggabung berbagai wilayah kedalam area cakupan untuk menjamin kelayakan finansial tanpa perlunya subsidi operasional. Proposal penawaran operasi dapat juga dilaksanakan atas dasar “subsidi terkecil”, dimana anggaran suplemen dapat disediakan untuk mengatasi defisit operasional untuk fungsi inti. Sebaliknya, pemerintah dapat mempertimbangkan pembentukan suatu dana, tempat dimana PJT dapat membayar biaya konsesi dari laba yang diperoleh, yang kemudian pemerintah akan mengalokasikannya kepada wilayah sungai yang nir-laba, untuk mengganti kerugian biaya operasi & pemeliharaan wilayah sungai lainnya yang memerlukan subsidi. Berdasarkan diskusi dengan pejabat DJSDA, pemerintah nampaknya mempunyai data tolok ukur yang baik untuk penentuan tarif air baku yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji area cakupan baru. Prospek perluasan PJT terlihat menjanjikan. Misalnya, diskusi dengan BBWS menggambarkan penghasilan potensial dari wilayah sungai Serang-Luci yang dapat dipakai mendukung tidak hanya operasi dan pemeliharaan dalam wilayah tersebut, tetapi juga operasi & pemeliharaan dari wilayah tetangga yang berdekatan yang dipandang tidak menguntungkan secara mandiri, dan mungkin dapat juga membayar sejumlah biaya konsesi kepada pemerintah. Pemerintah mungkin juga mempertimbangkan untuk membuka pelelangan ini kepada korporasi baru atau publik lainnya untuk memasuki sektor ini untuk bersaing. Pada waktunya nanti, operator swasta dapat dipertimbangkan untuk ikut terlibat. Dengan hanya dua perusahaan saat ini, semangat bersaing dalam pelelangan sangat terbatas. Adopsi “pendekatan wilayah sungai secara keseluruhan” untuk semua operasi & pemeliharaan infrastruktur sungai. Pemerintah harus melihat kemungkinan peningkatkan operasi & pemeliharaan infrastruktur sungai secara signifikan dengan suatu “pendekatan wilayah sungai secara keseluruhan” daripada menangani struktur secara individual berdasarkan laba-keuntungannya. Hal ini berarti pengelolaan terintegrasi dari semua infrastruktur sungai pemerintah pusat kedalam satu wilayah oleh suatu PJT – suatu pendekatan yang secara signifikan akan mengeliminasi tumpang tindih yang ada saat ini pada fungsi, tanggungjawab, dan kegiatan diantara PJT, B(B)WS, dinas, dan unit usaha PLN. Eliminasi atau pengurangan signifikan dari tumpang tindih ini akan meningkatkan effektifitas pengelolaan, mengurangi 12 konflik kepentingan untuk menjamin akuntabilitas yang jelas, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi resiko operasi yang lambat atau tak terkoordinir selama terjadinya banjir dan kekeringan. Pendekatan wilayah sungai secara keseluruhan akan menerapkan suatu kerangka kerja dimana peran dari pengelola sumber daya, operator pemasok air baku, dan operator pemasok air eceran secara jelas terpisah, misalnya, suatu BWS atau BBWS akan menjadi pengelola wilayah; PJT akan bertanggungjawab atas pengelolaan infrastruktur dan pasokan air baku; dan institusi terkait dengan irigasi dan utilitas air kota hanya akan mengendalikan air eceran. Sebaliknya, bilamana keputusan harus dilakukan dengan “terintegrasi secara vertikal”, suatu unit usaha internal yang terpisah perlu didirikan dan melapor secara independen. Memperkuat kebijakan untuk penyesuaian dan proses untuk pengaturan tarif. Sejalan dengan butir diatas yang cenderung kepada regulasi yang lebih ketat, rumusan untuk pengaturan tarif dan penyesuaiannya harus diperkuat, dan sebagai bagian dari rumusan ini, pemerintah harus memutuskan apakah PJT harus bertanggungjawab terhadap investasi untuk aset infrastruktur kunci. Sementara beberapa indikasi memperlihatkan bahwa PJT mempunyai tanggungjawab investasi, spesifikasi dan verifikasi daripada sasaran/target belum dikembangkan. Tanggungjawab investasi harus menjadi bagian dari kewajiban jasanya, sebagaimana merupakan standar yang dipraktekkan secara global dalam perjanjian konsesi normal. Dalam kasus demikian, PJT akan diperkenankan untuk memperoleh pengembalian terhadap modal terinvestasi secara benar, yang juga dapat menjadi bagian dari protokol penyesuaian tarif. Meningkatkan pengelolaan aset. Konsep pengelolaan aset di sektor ini kelihatannya kurang cukup dipahami, sedangkan lingkup untuk peningkatan cukup banyak. Sangat sedikit informasi tersedia untuk mengkaji fungsi ini pada PJT dan B(B)WS. Operasi & pemeliharaan infrastruktur sungai ditemukan lemah secara umum pada sebagian besar B(B)WS dan dinas pengairan propinsi (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air, atau BPSDA) dan PJT II. Kekurangan keterampilan teknis juga teridentifikasi sebagai masalah. Sebagaimana terindikasi sebelumnya wawancara tatapmuka menunjukkan bahwa PJT seringkali tidak melakukan operasi & pemeliharaan dengan baik bagi infrastruktur yang tidak mendatangkan penghasilan tetapi dibawah tanggungjawab mereka, seperti pemeliharaan saluran banjir. Secara umum dipercaya bahwa PJT hanya fokus pada pemeliharaan infrastruktur yang mendatangkan penghasilan. Berdasarkan pada penjelasan diatas, DJSDA sebagai pengawas perlu mengawasi kinerja operasi & pemeliharaan infrastruktur secara jauh lebih seksama dengan memberikan pengarahan yang lebih jelas mengenai alokasi anggaran dan penggunaannya kepada B(B)WS dan dengan mengatur standard pengelolaan termasuk rencana pengelolaan aset, pemantauan kinerja, dan mengkaitkan pengaturan tarif dengan persyaratan yang ada dalam standar ini. 13 Pengamanan Kegiatan fungsi inti. Pemerintah harus mewajibkan PJT untuk mengamankan kegiatan usaha intinya dari jasa komersial non-inti sehingga kinerja perusahaan menjadi transparan dan dapat dikaji, khususnya usaha inti. Informasi finansial yang lebih baik harus disediakan pada saat operasi inti tidak dapat memulihkan semua biaya terkait, sebagaimana terjadi dalam kasus dengan PJT II. Secara praktis, ini berarti memisahkan PJT kedalam subsidiary, dengan pelaporan finansial yang sama sekali terpisah untuk jasa inti dan non-inti. Perusahaan perlu mengembangkan pelaporan finansial secara terpisah untuk setiap lini usaha utama, namun asset, penghasilan, dan pengeluaran usaha inti harus secara jelas dipisahkan dari operasi lainnya. Pernyataan finansial terpisah dari usaha inti akan terkonsolidasikan pada tingkat perusahaan. Pengaturan serupa harus disyaratkan pada B(B)WS untuk meningkatkan kinerja dari kegiatan usaha intinya. Mencegah konflik kepentingan dalam memberikan jasa dan persaingan dengan penghasil daya independen (IPP). Konflik saat ini antara PJT II dan PLN mengenai pembayaran biaya jasa air harus dipecahkan. Konflik lainnya yang mungkin timbul dari perluasan usaha PJT kedalam area jasa non- inti, menuju kepada persaingan langsung dengan usaha intinya tentang jasa air baku kepada konsumen yang berhak, hal ini harus juga dihindari. Sementara penjualan daya oleh PJT tidak perlu menjadi permasalahan dalam operasi lingkup secara penuh, transaksi antara sisi usaha inti dan sisi pembangkitan daya harus ditangani pada prinsip “sejarak-lengan”. Hal ini memerlukan pengaturan subsidiairi pembangkitan daya yang dimiliki secara penuh dari PJT dan menagih secara penuh untuk jasa air baku yang diberikan usaha inti kepada perusahaan subsidiari. Berdasarkan estimasi dengan menggunakan harga oleh PJT I kepada unit daya hidronya, PJT II dapat menghasilkan sebanyak Rp 176 milyar melalui tagihan kepada unit dayanya atas air baku. Hal ini akan berarti bahwa usaha inti akan layak secara finansial melalui pemisahan yang efektif. Selanjutnya, bila perusahaan tidak disyaratkan untuk amortisasi nilai aset dari infrastruktur daya, mereka harus membayar suatu biaya konsesi kepada pemerintah. Memastikan konsistensi dalam pelaporan finansial. Pemerintah perlu membuat standard persyaratan pelaporan bagi PJT. Pada saat ini, format pelaporan finansial agak berbeda, yang membuat kesulitan dalam membuat tolok ukur kinerja perusahaan secara akurat vis-a-vis satu sama lainnya. Selanjutnya, kategorisasi biaya, penghasilan, aset, dan sebagainya mempengaruhi rasio analisis, dan penggunaan definisi yang berbeda untuk biaya operasi dan penghasilan dan menyebabkan rasio tak dapat dibandingkan. Perusahaan harus adopsi format pelaporan yang sama untuk pernyataan finansial primer dan subsidiarinya, merinci pengeluaran antara biaya operasi langsung dan biaya administrasi, seperti hal umum dan administrasi, kantor, penjualan, dan biaya promosi. Pengeluaran pegawai harus dirinci dengan cara yang serupa yang lebih baik dalam mencerminkan biaya operasi langsung versus biaya umum. 14 Akhirnya, standardisasi ini harus diterapkan kepada B(B)WS juga sehingga lingkup untuk mengalihkan tanggungjawab mereka kepada PJT dapat dikaji. Fokus pada kinerja pemantauan dan pelaporan. PJT dan B(B)WS kelihatannya sedikit melakukan pemantauan dan pelaporan. Untuk meningkatkan situasi ini, pemerintah perlu mensyaratkan operator wilayah sungai untuk melapor secara konsisten terhadap indikator kinerja dan sasaran, termasuk yang terkait dengan pengiriman air, pengelolaan aset, kinerja finansial, kepuasan konsumen, dan sebagainya. Saat ini, PJT memusatkan perhatian kepada pengukuran kinerja finansial mereka pada estimasi “realisasi” versus “rencana”, yang merupakan pendekatan statis untuk mengukur kinerja riil. Suatu pendekatan yang lebih baik adalah melalui penganggaran “fleksibel” atau “kinerja”, sehingga alasan perbedaan dalam laba total menjadi jelas, misalnya, apakah perubahan demikian karena masalah kinerja atau hanya perubahan dalam produksi. Menggelarkan pendekatan PJT secara nasional. Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana meningkatkan jumlah perusahaan baru yang berkualifikasi kedalam pengelolaan infrastruktur/wilayah sungai, karena dua PJT tidak akan mencukupi untuk menimbulkan suatu lingkungan persaingan di dalam sektor. Dengan jumlah wilayah sungai yang ada di negeri ini, sejumlah delapan sampai dua belas PJT independen kemungkinan diperlukan untuk mencakup sepenuhnya secara nasional dan untuk promosi persaingan dan pemberian tolok ukur dari kinerja PJT. Dengan penggelaran secara nasional pendekatan PJT perlu direncanakan secara sistematis untuk menghindari situasi saat ini dengan model PJT yang berbeda, yang menuju kepada kesulitan dalam pemerintahan dan tidak konsistennya kebijakan praktek pengelolaan. Langkah pertama adalah memutuskan mengenai model PJT yang paling sesuai (pendekatan PJT I kelihatannya bekerja lebih baik daripada PJT II) dan dengan mengambil area perluasan, dengan memperkenankan perusahaan swasta untuk memasuki sektor atau dengan mensyaratkan PJT yang ada untuk melepaskan entitas secara hukum terpisah dari operasi saat ini. Paling sedikit, proposal perluasan PJT I harus dilaksanakan oleh suatu subsidiari yang dimiliki secara penuh oleh PJT, yang dalam jangka panjangnya, setelah praktek standard telah didirikan dengan baik, dapat dilepaskan seluruhnya sebagai perusahaan penyedia jasa independen. Arus utamakan organisasi DJSDA. Replikasi nasional dari model PJT mensyaratkan operasi basis lapangan yang lebih kuat dan definisi lebih baik dari peran dan tanggungjawab antara B(B)WS dan PJT, demikian pula pendirian regulator nasional untuk mengatur dengan baik aspek publik dari usaha PJT. Regulator akan memperkuat mekanisme pengaturan tarif; memantau kepatuhan terhadap standar jasa dan kepatutan dengan perjanjian alokasi air serta persyaratan pengelolaan aset; mengatur persyaratan untuk pelaporan finansial; dan memantau kepuasan konsumen. 15 Gambar ES-1: Kemungkinan Struktur DWGR yang akan datang Direktur Jenderal Fungsi Utama Kantor Jasa Pengelolaan WRM JasaTeknis Kebijakan Nasional, fungsi Pengawasan Regional Aset Teknis dan Pemerintahan Peraturan Economi Keselamatan Pengelolaan Aset Sub Direktorat menjalankan kebijakan dan program nasional dan mengawasi badan I II III IV regional dalam area tanggungjawab geografisnya BBWS I BBWS II BBWS III BBWS menjalankan program dan kebijakan dalam wilayah sungai mereka PJT Operator Irigasi Operation and maintenance services Sumber: penulis Agar semuanya berhasil, pengarusutamaan lebih lanjut dari organisasi DJSDA mungkin diperlukan, termasuk beberapa faktor penting sebagai berikut ini: (a) Kantor pengawasan yang bertanggungjawab atas standar, keselamatan, alokasi air, kwalitas air, dan peraturan ekonomi; (b) Fungsi teknis dan perencanaan pada kantor pusat yang mendukung unit pelaksanaan regional, sebagai tambahan terhadap fungsi yang terkait dengan peran inti DJSDA dalam mendukung pembuatan kebijakan dan pemerintahan secara nasional; dan (c) Suatu divisi yang terdiri atas sejumlah bagian yang fokus secara geografis, bertanggungjawab untuk melaksanakan fungsi untuk wilayah kabupaten dan untuk pengawasan B(B)WS dan kegiatan regional lainnya dari DJSDA. B(B)WS akan bertanggungjawab untuk pengelolaan sumber daya air serta pengawasan kontrak dengan PJT yang beroperasi di dalam wilayah mereka, yang konsisten dengan tanggungjawabnya saat ini. Divisi juga akan, bersama dengan B(B)WS yang relevan, mengawasi kinerja dari PJT terkait terhadap asset dan tanggungjawab pengelolaan sumber daya air mereka. Perhatian yang lebih banyak dibutuhkan untuk pengembangan rencana operasi & pemeliharaan rinci yang akan dilaksanakan oleh PJT namun dipantau oleh B(B)WS, dengan dukungan divisi pengelolaan asset pada tingkat kantor pusat. 16 LANGKAH YANG DIREKOMENDASIKAN UNTUK MEMPERKUAT OPERASI WILAYAH SUNGAI Rekomendasi utama yang muncul dari studi ini adalah untuk memperkuat pengaturan institusional dan pendekatan terhadap operasi wilayah sungai, dengan operasi dan pengelolaan infrastruktur sungai yang kemudian menjadi tanggungjawab tunggal dari perusahaan, seperti PJT, pada lebih banyak wilayah sungai. Pendekatan baru berpusat pada pemisahan yang jelas, sistematis, dan pemisahan tanggungjawab yang harmoni, terutama antara B(B)WS dan PJT, dan pada regulasi yang kuat dari penyedia jasa. Dengan mengenal banyaknya kesenjangan informasi yang ditemukan selama studi ini, studi lanjutan dan pengaturan yang sesuai dibutuhkan untuk memperkenankan suatu transisi yang mulus dan meminimalkan risiko dari model campuran B(B)WS–PJT seperti saat ini kepada model yang ringkas dengan pendekatan regionalisasi PJT yang akuntable. Dengan demikian, pendekatan yang terencana dan bertahap sangat disarankan. Langkah implementasi rinci yang direkomendasikan dalam laporan ini diringkas dibawah ini. Membuat Pengaturan untuk Memperkuat Pendekatan Saat Ini dan Persiapan untuk Transisi Tahap persiapan akan melibatkan dua langkah: (a) Membentuk unit-unit usaha operasi sungai terpisah didalam PJT: Bagi kedua PJT, membentuk unit usaha operasi sungai internal, dan laporan yang dibuat harus berisi tentang jasa yang ada saat ini; tentang operasi & pemeliharaan, kondisi aset, dan pendekatan pengelolaan; tentang anggaran dan sumber daya manusia; tentang kinerja finansial, termasuk sistem tarif dan pendekatan kepada depresiasi infrastruktur dan pembaharuan; tentang transparansi finansial dari kegiatan non-inti; tentang distribusi laba; tentang potensi untuk meningkatkan pembayaran royalti dan tarif; dan tentang perlakuan tarif pilihan yang sesuai dengan kegiatan usaha internal. Pelaporan ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap usaha operasi sungai PJT. Bagi B(B)WSs yang beroperasi dalam wilayah yang sama, pengaturan serupa dapat dipertimbangkan untuk dipakai. (b) Melakukan pengkajian nasional yang sistematis tentang wilayah sungai dan merencanakan perluasan progresif pengelolaan oleh PJT I dan PJT II: Sampai kini, studi mengenai potensi memperluas pendekatan PJT kepada wilayah sungai lainnya terbatas. Studi lanjutan harus lebih menyeluruh dan sistematis dan harus termasuk kajian kegiatan B(B)WS yang relevan. Kajian demikian akan mengidentifikasikan wilayah sungai dan area untuk perluasan pendekatan PJT, serta memfasilitasi perencanaan untuk memperluas pendekatan secara progresif. 17 Merinci Usulan Model Operasi Wilayah Sungai yang Tangguh Dalam tahapan ini, pengaturan model akan dikembangkan dengan fitur regulator yang lebih kuat dan lebih independen serta pemisahan dari pengelola wilayah sungai, operator air baku, dan pengguna air eceran seperti penggunaan untuk irigasi, daya hidro, dan pasokan air kota. Kegiatan terkait antara lain dapat termasuk yang berikut ini: (a) Mengevaluasi pendekatan yang berhasil pada pengaturan dan penyediaan jasa wilayah sungai: Pendekatan yang berhasil dari manapun akan dievaluasi dan dari situ ditarik pelajaran yang dapat dipakai untuk mengembangkan suatu pendekatan yang sesuai dengan kondisi Indonesia; (b) Evaluasi pengalihan tanggungjawab dari B(B)WS kepada PJT: Didalam area PJT I dan PJT II, dengan meneruskan langkah (a) diatas, manfaat dan implikasi dari pengalihkan tanggungjawab operasi & pemeliharaan infrastruktur dari B(B)WS kepada PJT dimana setelah PJT mengelola semua infrastruktur di wilayah sungai, akan dikaji dan pengaturan transisi diidentifikasi. Keputusan akhir akan dibuat mengenai apakah model PJT atau pendekatan lainnya (misalnya, BLU) lebih sesuai untuk situasi Indonesia; (c) Menspesifikasikan aspek inti dan non-inti dari operasi sungai: Sejauh mana, dan pendekatan terbaik terhadap pengelolaan aspek non-inti dari operasi sungai oleh PJT, akan dievaluasi, termasuk bagaimana hal in dilakukan ditempat lain; (d) Mendirikan pengaturan dan prosedur pengawasan tanggungjawab inti dari penyedia jasa operasi sungai: Praktek dari regulasi independen dari pengaturan tarif, pengelolaan aset, pasokan air (mencakup alokasi air, standard jasa, dan kualitas air), pengelolaan banjir dan kekeringan, proteksi lingkungan, persyaratan investasi dan pelaporan finansial, pemantauan kinerja, dan penegakan aturan, akan dievaluasi dan ditetapkan dengan perkuatan institusi dan prosedur. Membuat Pilot dari Usulan Model Operasi Sungai yang yang Diperkuat Model baru regulasi dan operasi infrastruktur sungai, dengan PJT yang bertanggungjawab atas semua infrastruktur wilayah dan kegiatan usaha non-inti yang dipihakketigakan (outsource), harus dibuat pilotnya dan disesuaikan sebelum diterapkan secara lebih luas. Suatu wilayah Sungai, seperti Bengawan Solo, yang mempunyai beberapa pengelola infrastruktur sungai yang berbeda dan kondisi serta pengaturan kerja yang cukup baik, dapat digunakan sebagai pilot area. Area perluasan PJT I yang direncanakan dapat diintegrasikan kedalam studi pilot ini. 18 Regionalisasi dan Penyediakan Operasi Sungai Secara Kompetitif Pendekatan yang sudah ditingkatkan akan diperluas secara progresif ke semua wilayah dengan mengambil pelajaran dari wilayah studi pilot. Pemantauan kinerja dari jasa operasi sungai bagi wilayah sungai yang dikelola oleh PJT I dan PJT II dapat dilaksanakan segera dan diperluas begitu subsidiari PJT lainnya sudah terbentuk. Pendekatan yang baru tentang operasi wilayah sungai akan diregionalisasikan dengan mendirikan PJT baru di kantor wilayah setempat yang merupakan subsidiari dari PJT I dan PJT II, sebagai bagian dari perluasan operasi mereka, sebagaimana diacu diatas. Hal ini akan terjadi begitu DJSDA telah menyelesaikan pengaturan tentang pengawasan, dan kantor setempat telah menyusun praktek dan prosedurnya. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, wilayah sungai yang layak secara komersial dimana fungsi operasi & pemeliharaan dipahami dengan baik akan dipilih untuk pelelangan kompetitif. Lingkup untuk pelelangan kompetitif penyedia jasa ini adalah selama periode konsesi 10 tahun, termasuk pengkajian terhadap pengaturan regulasi yang diperlukan. Pelelangan akan dipilotkan dalam wilayah yang kelihatannya paling layak dan menarik serta jasa yang akan dilelangkan dipahami dengan baik. Konsultasi dengan Klien dan Pemangku Kepentingan mengenai Temuan dan Rekomendasi Hasil Studi Pada bulan April, 2015, suatu lokakarya telah diselenggarakan oleh DJSDA dan dihadiri oleh perwakilan kelompok pemangku kepentingan yang berbeda, termasuk Dewan Air Nasional, Bappenas, PJT I, B(B)WS dari PJT I dan II, PLN, dan tim studi. Dalam menyimpulkan, ketua mencatat bahwa, untuk mengatasi pendekatan yang diinginkan terhadap pengelolaan jasa operasi wilayah sungai, sejumlah permasalahan memerlukan studi lebih mendalam dan diskusi internal pemerintah, termasuk yang berikut ini: (a) Strategi untuk perluasan yang lebih besar dari pendekatan PJT dan apakah mandat dan model usaha dari B(B)WS perlu diubah; (b) Opsi yang diinginkan untuk memperluas PJT yang ada secara nasional, menggunakan pendekatan bertahap; (c) Legalitas mengenai pembayaran subsidi silang antara wilayah sungai dari perusahaan PJT yang sehat; 19 (d) Keterlibatan PJT dalam pekerjaan infrastruktur: oleh karena tidak memiliki infrastruktur, lingkup bagi mereka untuk meminjam dari institusi finansial untuk melaksanakan pekerjaan infrastruktur yang signifikan akan terbatas; (e) Kisaran model yang memberikan jasa operasi wilayah sungai, termasuk suatu perusahan terintegrasi secara vertikal, dan bagaimana hal ini dapat diperkenankan dalam lingkungan hukum Indonesia; (f) Mekanisme yang paling sesuai dan pendekatan untuk regulasi yang lebih kuat buat PJT; dan (g) Permasalahan kritis dari pendanaan dan pengelolaan operasi & pemeliharaan infrastruktur sungai, sangat relevan karena pemerintah sedang mulai suatu program investasi yang besar untuk membangun infrastruktur sungai. 20