51270 R aa tf Sistem Informasi Pedesaan 1 Ringkasan Eksekutif Mengintegrasikan Gender pada Sistem Informasi Pedesaan di Indonesia Bank Dunia, Unit Sektor Pengembangan Pedesaan dan Sumberdaya Alam, Wilayah Asia dan Pasifik, Juni 2005 2 Ringkasan Eksekutif S elama dekade terakhir, telah berkembang pengertian bahwa teknologi informasi dan komunikasi--Information and Communcation Technology (ICT)-- dapat menjadi instrumen yang kuat untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan sosial, termasuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.1 Namun demikian, manfaat ICT telah terbagi secara tidak merata antar sektor-sektor dan kelompok-kelompok sosio- ekonomi, antara wilayah pedesaan dan perkotaan, serta antara perempuan dan lelaki. Kemiskinan, buta aksara dan kurangnya kemampuan menggunakan komputer serta hambatan bahasa merupakan faktor-faktor yang menghalangi akses ke infrastruktur ICT, terutama di negara-negara berkembang. Secara khusus, kemampuan perempuan untuk mengeksploitasi potensi dari teknologi informasi baru dan komunikasi sebagai alat untuk pemberdayaan sosial dan ekonomi masih terhambat dalam banyak hal, diantaranya adanya batasan sosial dan budaya, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan buta huruf, serta kurangnya pengetahuan mengenai potensi ICT. Kaum perempuan memainkan peran sentral di sektor pertanian di Indonesia. Partisipasi angkatan kerja perempuan desa di sektor ini adalah 61% dan diperkirakan bahwa perempuan melakukan 75% dari pekerjaan tani dalam produksi beras.2 Namun demikian, masih terbentang jalan yang panjang sebelum semua orang Indonesia dapat mengambil manfaat dari potensi penuh ICT. Jalan tersebut bahkan terlihat lebih panjang lagi bagi perempuan desa. Meskipun telah terdapat sejumlah kemajuan dalam akses dan penyebaran teknologi nir kabel yang lebih murah, namun tidak banyak yang berubah di pedesaan Indonesia. Infrastrukturnya masih terbatas dan biaya jasa masih mahal sehingga praktis berada di luar jangkauan perempuan pedesaan. Perempuan masih menghadapi halangan berat dan akses ke komunikasi, sedangkan informasi yang relevan dengan realita mereka masih sangat terbatas. Menurut Laporan Strategi-E dari Departemen Komunikasi dan Informasi (2004), banyak kelompok perempuan di pedesaan terorganisir dalam kerangka bantuan dan penghematan yang disediakan untuk mereka dalam bentuk kredit mikro, teknologi dan inisiatif pemasaran. Survai atas kelompok-kelompok ini memperlihatkan bahwa perempuan telah mampu mendapatkan penghasilan tambahan dan bahwa koperasi perempuan terbukti telah dapat menjadi "peminjam panutan dengan catatan 1 UN-DAW, Teknologi informasi dan komunikasi dan dampak penggunaannya sebagai instrument untuk kemajuan dan pemberdayaan perempuan, laporan dari Pertemuan Pakar, Seoul, Korea, 11-14 November 2002 2 FAO: Fact Sheet Indonesia: Perempuan dalam Petanian, Lingkungan dan Produksi Pedesaan. 3 pembayaran kembali yang lancar ke bank dan lembaga keuangan". Laporan ini juga menyebutkan bahwa beberapa dari kelompok perempuan tersebut telah mulai menggunakan komputer untuk mengelola rekening mereka untuk mendapatkan keterampilan dalam memproduksi produk-produk andalan atau menyediakan jasa.3 Dewasa ini, sumber utama informasi bagi perempuan adalah keluarga serta jaringan komunitas (termasuk organisasi kemasyarakatan dan koperasi) mereka, radio komunitas (jika ada), televisi dan media cetak (termasuk pamflet informasi yang didistribusikan lembaga-lembaga pemerintah dan disebarluaskan oleh petugas kesehatan dan lainnya). Namun demikian, sumber-sumber tersebut umumnya hanyalah agen-agen pendistribusian dan bukan pemproduksi informasi. Sebetulnya, produk informasi yang berisikan hal-hal relevan yang bersifat lokal, wilayah atau nasionallah yang memerlukan perhatian segera. ICT dapat memfasilitasi produksi isi informasi yang bersifat lokal serta pemutakhiran informasi tersebut secara berkala. Untuk memastikan bahwa kebijakan ICT pedesaan serta programnya memenuhi kebutuhan khusu dari perempuan pedesaan dan agar sasaran-sasaran kesetaraan gender dapat diintegrasikan ke dalam strategi-E nasional Indonesia, laporan ini mengajukan rekomendasi dalam empat bidang utama: Konektifitas dan akses ke informasi. Kritis sekali bagi kebijakan dan program pengembangan infrastruktur untuk mempertimbangkan agar analisis gender menjadi bagian terpadu dari setiap disain kebijakan dan program, kritis pula bagi kebijakan dan program tersebut untuk sepenuhnya sadar mengenai pertimbangan-pertimbangan gender bagi kepentingan pelaksanaannya (misalnya, dalam menentukan kriteria pencairan alokasi dana, atau dalam penetapan kebijakan-kebijakan program untuk mempromosikan kepemilikan perempuan atas sumberdaya produktif). Di samping itu, kebijakan dan program perlu mencerminkan komitmen jangka panjang untuk kesetaraan gender dalam semua aspek pembangunan kebijakan ICT, diantaranya melalui usaha-usaha pemantauan dan evaluasi atas dampak yang akan dapat membantu pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa perempuan Indonesia, khususnya perempuan miskin pedesaan, diberi akses yang sama yang terjangkau terhadap ICT.4 3 Departemen Komunikasi dan Informasi, "Laporan Akhir: Strategi-E Indonesia", Jakarta, Desember 2004 4 Metodologi Evaluasi Gender (GEM) untuk Inisiatif ICT adalah sumber bagi para praktisi ICT yang dapat digunakan untuk kepentingan ini. GEM telah diuji di 27 proyek ICT di lebih dari 19 negara di Afrika, Asia, Eropa Tengah dan Timur dan Amerika Latin di bawah proyek-proyek seperti telecenter komunitas, inisiatif pndidikan dan pelatihan untuk perempuan, proyek ketenagakerjaan, proyek jaringan dan pengembangan masyarakat dan media ICT perempuan, proyek-proyek informasi dan advokasi, APC -WNSP GEM, www.apcwomen.org/gem 4 Pengembangan Kapasitas dan ICT dalam Pendidikan. Perhatian lebih harus diarahkan pada pengenalan perempuan dan kaum miskin sebagai penghasil informasi, dengan memberikan pelatihan yamg terkait dengan pengumpulan, pengemasan dan penyebaran pengetahuan lokal, memastikan teknologi-teknologi baru, seperti komputer dan internet dikombinasikan dengan teknologi yang menjangkau lebih banyak kaum perempuan, khususnya di pedesaan, seperti radio dan media cetak. Penyediaan materi yang relevan dalam bahasa lokal melalui teknologi yang murah dan mudah digunakan yang dapat diakses oleh peminat dengan kemampuan membaca yang terbatas atau buta huruf sangatlah penting jika ICT memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perempuan di wilayah pedesaan Indonesia. Penggunaan ICT untuk Organisasi Perempuan di Akar Rumput. Intervensi ICT yang diarahkan pada pemberdayaan perempuan secara ekonomi dapat memanfaatkan potensi teknologi-teknologi ini sebagai ilmu dan alat jejaring bagi kaum perempuan sebagai produsen dan distributor barang. Jaringan koperasi perempuan di Indonesia menawarkan kesempatan besar dan mungkin saja menjadi pemain penting dalam penyediaan akses ICT yang efektif dan berkesinambungan serta program-program terkait apabila dapat diberikan dukungan bagi organisasi-organisasi perempuan pedesaan tertentu, termasuk koperasi yang berjalan baik, untuk mengembangkan kegiatan mereka dalam menyediakan jasa jaringan serta ICT di daerah mereka. Pengarusutamaan Gender dan ICT. Pada tahun 2000, Instruksi Presiden mengenai Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang menginstruksikan seluruh "lembaga pemerintah, departemen dan non- departemen, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas semua kebijakan dan program pembangunan." Pengintegrasian Gender5 ke dalam Strategi-E Nasional Indonesia merupakan kunci untuk memastikan bahwa tujuan kesetaraan gender tertanam ke dalam kebijakan-kebijakan, program-program dan proyek-proyek ICT di negara ini. Memberikan prioritas pada pengarusutamaan gender di lingkungan lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas informasi dan komunikasi merupakankomponen kunci dalam pengintegrasian gender ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program ICT nasional yang akan menjadi kritis bagi perempuan pedesaan. Proses-proses yang lebih baik dalam konsultasi dan partisipasi perlu dikembangkan dan lebih banyak perempuan perlu dilibatkan pada tingkatan pembuatan keputusan. 5 Kementerian Negara Pemberdayaan perempuan, "Pedoman teknis bagi Implementasi Inpres No 9/2000 tentanga Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional,' Edisi kedua, Republik Indonesia, 2002. 5