47514 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13 Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111 BANK DUNIA Bank Dunia 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433 A.S. Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Email : feedback@worldbank.org Website : www.worldbank.org Dicetak bulan Februari 2008 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia: Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut. Apabila timbul pertanyaan sehubungan dengan laporan ini, mohon hubungi Mae Chu Chang (mchang@worldbank.org) dan Cut Dian Rahmi Agustina (cagustina@worldbank.org) Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah Daftar Istilah (Angka Partisipasi Sekolah Kotor) GoI Government of Indonesia APBD Anggaran Pendapatan dan (Pemerintah Indonesia) Belanja Daerah GRDP Gross Regional Domestic APBN Anggaran Pendapatan dan Product (Produk Domestik Belanja Negara Regional Bruto) APM Angka Partisipasi Murni HDI Human Development Index APK Angka Partisipasi Kotor (Indeks Pembangunan APP Analisa Pengeluaran Publik Manusia) BAKD Bina Administrasi Keuangan Inpres Instruksi Presiden Daerah Kepmen Keputusan Menteri Bappeda Badan Perencanaan Keppres Keputusan Presiden Pembangunan Daerah Km Kilometer Bappenas Badan Perencanaan KUA Kebijakan Umum Anggaran Pembangunan Nasional LAKIP Laporan Akuntabilitas Bawasda Badan Pengawasan Daerah Kinerja Instansi Pemerintah BEC Basic Education Capacity LPMP Lembaga Penjamin Mutu (Kapasitas Pendidikan Pendidikan Dasar) MBE Managing Basic Education BKD Badan Kepegawaian (Pengelolaan Pendidikan Daerah Dasar) BKKM BeaSISWAKeluarga Kurang MenPan Kementerian Negara Mampu Pendayagunaan Aparatur BKM Bantuan Khusus Murid Negara BOMM Bantuan Operasional Depkeu Departemen Keuangan Manajemen Mutu Depdagri Departemen Dalam Negeri BOS Bantuan Operasional Depag Departemen Agama) Sekolah Depdiknas Departemen Pendidikan BPS Badan Pusat Statistik Nasional CCT Conditional Cash Transfer MPR Majelis Permusyawaratan (Bantuan Tunai Bersyarat) Rakyat DAK Dana Alokasi Khusus MSS Minimum Service Standard DASK Dokumen Anggaran Satuan (Standar Pelayanan Kerja Minimum) DAU Dana Alokasi Umum Musrenbang Musyawarah Perencanaan DPA-SKPD Dokumen Pelaksanaan Pembangunan Anggaran Satuan Kerja NER Net Enrollment Rate (Angka Perangkat Daerah Partisipasi Sekolah Bersih) DPRD Dewan Perwakilan Rakyat NGO Non-Governmental Daerah Organization (Lembaga DSSD Decentralized Social Swadaya Masyarakat) Services Delivery NTB Nusa Tenggara Barat (Pemberian Layanan Sosial NTT Nusa Tenggara Timur Terdesentralisasi) O&M Operations and GDP Gross Domestic Product Maintenance (Operasional (Produk Domestik Bruto) dan Pemeliharaan) GDS Governance and PAD Pendapatan Asli Daerah Decentralization Survey PEACH Public Expenditure (Survei Pemerintahan dan Analysis and Capacity Desentralisasi) Harmonization (Analisis GER Gross Enrollment Rate Belanja Publik dan ii Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Penyelarasan Kapasitas) SMK Sekolah Menengah PER Public Expenditure Review Kejuruan (Tinjauan Belanja Publik) SMP Sekolah Menengah Perpu Peraturan Pemerintah Pertama Pengganti Undang-Undang SPM Standar Pelayanan Perda Peraturan Daerah Minimum PFM Public Financial RGM Rasio Murid Guru Management (Pengelolaan Susenas Survei Sosial Ekonomi Keuangan Publik) Nasional PMU Program Management Unit SWA Sector-Wide Approach (Unit Pengelolaan Program) (Pendekatan Lingkup Podes Potensi Desa Sektor) PPA Pagu dan Prioritas Unicef United Nations Children’s Anggaran Fund (Badan PBB untuk PREM Poverty Reduction and Dana Anak-Anak) Economic Management Unesco United Nations Educational, (Pengentasan Kemiskinan Scientific and Cultural dan Pengelolaan Organization (Badan Perekonomian) PBB untuk Pengelolaan RAPBS Rencana Anggaran dan Pendidikan, Ilmu Pendapatan Belanja Pengetahuan, dan Budaya) Sekolah WB World Bank (Bank Dunia) Anggaran regional Anggaran Terkonsolidasi IPD Indikator Pembangunan yang terdiri atas Anggaran Dunia) Anggaran Pemerintah Provinsi dan Anggaran Pemerintah Kabupaten/ Kota Renja-SKPD Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Renstra Rencana Strategis RIPS Rencana Induk Pengembangan Sekolah RKA-SKPD Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah RPJMD Rencana Jangka Menengah Pemerintah Daerah SD Sekolah Dasar SDN Sekolah Dasar Negeri SIKD Sistem Informasi Keuangan Daerah Siswa Education System Improvement through Sector-Wide Approaches Peningkatan Sistem Pendidikan melalui Pendekatan Lingkup Sektor SKPD Satuan Kerja Pemerintah Daerah Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah iii Kata Pengantar Sejak diterapkannya desentralisasi pada tahun 2001, tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyediakan layanan pendidikan kepada penduduknya semakin meningkat. Kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah sepenuhnya dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. Belanja daerah untuk sektor pendidikan meningkat baik dalam hal jumlah maupun dalam bagian dari belanja pendidikan nasional. Jumlah belanja kabupaten/kota untuk sektor pendidikan meningkat dari Rp.26 triliun pada tahun 2001 menjadi 52 triliun pada tahun 2006 dan merupakan 50 persen dari total belanja publik nasional untuk sektor pendidikan pada tahun 2006. Sektor pendidikan di tingkat daerah pun mengalami peningkatan prioritas dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan minimum 20% dari anggaran mereka untuk sektor pendidikan. Agar alokasi belanja pendidikan yang signifikan ini dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan hasil pendidikan yang lebih baik, maka sangat penting untuk memahami pola belanja pemerintah daerah, sehingga penilaian yang layak atas efektivitas dan efisiensi belanja pemerintah daerah dapat dilaksanakan. Tinjauan tentang belanja pendidikan daerah ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan analisa dan perancangan yang akan menjadi dasar bagi Program Peningkatan Sistem melalui Lingkup Sektor (SISWA) dalam bidang pendidikan dasar. Kami berharap laporan ini dapat memberikan manfaat bagi tim SISWA, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya melalui analisis yang dilakukan terhadap tren dalam investasi pendidikan dan pencapainnya saat ini serta dapat menjadi sebuah model bagi program analisis belanja pendidikan yang lebih luas yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sendiri guna membantu mereka membuat perencanaan dan penganggaran yang lebih baik dan memberikan informasi tentang perencanaan pembelanjaan di masa depan. Mae Chu Chang Wolfgang Fengler Human Development Coordinator Senior Economist Bank Dunia Indonesia Bank Dunia Indonesia iv Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun oleh suatu tim inti yang dipimpin oleh Cut Dian Agustina (EASPR) bersama-sama dengan Elif Yavuz (EASPR) dan Ahmad Zaki Fahmi (EASPR). Dukungan dalam bentuk penelitian dan analisis data yang bermutu diberikan oleh Sukmawah Yuningsih dan Adrianus Hendrawan (EASPR). Input substantif penting juga diterima dari Andrew B. Ragatz (EASHD), Vincente Paqueo (EASHD) dan Eduardo Velez Bustillo (Manajer Sektor, EASHD). Masukan yang berharga diperoleh dari Pemerintah Indonesia, terutama Prof. Dr. Suyanto dan timnya dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Departemen Pendidikan). Kami juga menyampaikan terima kasih atas bantuan selama kunjungan lapangan yang diberikan oleh Bappeda dan Dinas Pendidikan tingkat Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Asahan, Kota Binjai, Kota Magelang, Wonosobo, Kota Menado, Minahasa, Belu dan Timor Tengah Selatan. Kelompok yang lebih besar dari Bank Dunia telah memberikan masukan berharga terhadap laporan ini, untuk itu tim inti mengucapkan terima kasih kepada: Ratna Kesuma, Prima Setiawan, Rosfita Roesli, Dandan Chen (EASHD), Meltem Aran, Sukarno Wirokartono, Bastian Zaini, Ahya Ihsan, Adrianus Hendrawan, Bambang Suharnoko (EASPR), dan Ajay Tandon (HDNHE). Penghargaan khusus juga kami sampaikan kepada Peter Milne yang telah membantu penyuntingan dan Arsianti yang telah membantu dalam proses penyusunan dan produksi. Wolfgang Fengler (Senior Economist) dan Mae Chu Chang (Human Development Coordinator) mengkoordinir dan mengawasi proses keseluruhan Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah v Daftar Isi Daftar Istilah ii Kata Pengantar iv Ucapan Terima Kasih v Daftar Isi vi Ringkasan 9 Bab 1. Pembukaan 11 1.1. Peran Daerah dalam melakukan Investasi di Bidang Pendidikan 11 1.2. Pengumpulan Data, Pemilihan Daerah, dan Peningkatan Kapasitas dalam Analisis Belanja Daerah 12 1.3. Gambaran Umum tentang Analisis 13 Bab 2. Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan 15 2.1. Kerangka Hukum 15 2.2. Aliran Dana untuk Sektor Pendidikan 18 Bab 3. Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah 21 3.1. Gambaran Besar: Belanja Publik untuk Sektor Pendidikan di Indonesia 21 3.2. Belanja Pendidikan dan Pentingnya Daerah sebagai Unit Belanja 21 3.3. Pola dan Tren Belanja Pemerintah Daerah 22 3.4. Komposisi Ekonomi dan Program 27 3.5. Belanja Out-of-Pocket Rumah Tangga 31 3.6. Belanja di Tingkat Sekolah 32 Bab 4. Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian 35 4.1.Prasarana dan Sarana Pendidikan 35 4.2. Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan: Guru dan Murid 35 4.3. Pengeluaran Pendidikan, Capaian, dan Kemerataan Pendidikan 39 4.4. Efisiensi di Tingkat Daerah: Mengindentifikasi Praktik Terbaik 45 Bab 5. Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidikan 47 5.1. Perencanaan dan Penganggaran 47 5.2. Pemantauan dan Evaluasi 50 5.3. Penilaian Pengelolaan Keuangan di Papua 51 Bab 6. Temuan-temuan Kunci dan Pilihan Kebijakan SWA 53 Lampiran 57 Referensi 61 vi Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Tabel Tabel 1.1. Daerah yang tercakup dalam studi ini 13 Tabel 2.1. Belanja pendidikan sebagai persentase dari belanja pemerintah daerah, 2006 16 Tabel 2.2. Ringkasan pengaturan pembiayaan antar pemerintah berdasarkan PP No. 38/2007 17 Tabel 3.1. Belanja publik nasional untuk pendidikan (pusat + provinsi + kabupaten) Tahun 2001-08 22 Tabel 3.2. Nominal belanja pendidikan berdasarkan tingkatan pemerintahan, 2001–06 23 Tabel 3.3. Bagian belanja rutin dan pembangunan berdasarkan tingkat pemerintahan, Tahun 2001-04 23 Tabel.3.4. Distribusi belanja rutin berdasarkan tingkatan pemerintah daerah, 2002-06 24 Tabel 3.5. Belanja pendidikan sebagai bagian dari total belanja di daerah yang dikunjungi, 2001-06 26 Tabel 3.6. Komposisi belanja rutin dan pembangunan untuk sektor pendidikan, 2001-05 27 Tabel 3.7. Rencana vs. realisasi anggaran di daerah yang dikunjungi, 2005 28 Tabel 3.8. Belanja publik dan aparat untuk pendidikan 31 Tabel 3.9. Alokasi dana BOS berdasarkan tingkat dan jenis sekolah di daerah yang dikunjungi, 2005 34 Tabel 4.1. Rata-rata wilayah layanan sekolah di daerah yang dikunjungi, 2006 36 Tabel 4.2. Sekolah per 1.000 anak usia sekolah di daerah yang dikunjungi, 2006 36 Tabel 4.4. Beberapa indikator ketersediaan sekolah 43 Tabel 4.5. Belanja daerah per kuintil kemiskinan, 2005 44 Tabel 5.1. Mekanisme pemantauan sekolah 51 Tabel 1. Belanja untuk Pendidikan oleh Pemerintah Pusat (Dekonsentrasi), Pemerintah Daerah, dan Belanja Out-of-Pocket Rumah Tangga Tahun 2005 57 Tabel 2. Belanja untuk Pendidikan Pemerintah Daerah Tahun 2001-2006 58 Tabel 3. Belanja Rutin dan Pembangunan untuk Pendidikan Tahun 2004-2006 58 Tabel 4. Klasifikasi Ekonomi Belanja Rutin untuk Pendidikan Tahun 2006 59 Tabel 5. Belanja Publik dan Aparatur untuk Pendidikan Tahun 2005 dan 2006 59 Tabel 6. APM, Angka Melek Huruf, dan Rata-Rata Tahun Bersekolah, Tahun 2005 60 Tabel 7. Jumlah Murid, Keadaan Ruang Kelas, dan Jumlah Sekolah Tahun 2006 60 Gambar Gambar 2.1. Arus dana dalam belanja pendidikan 19 Gambar 3.1. Tren dalam belanja pendidikan nasional, 2001–08 22 Gambar 3.2. Belanja pendidikan berdasarkan klasifikasi ekonomi, tingkat pemerintahan dan komposisi belanja rutin pemerintah kabupaten 23 Gambar 3.3. Sumber-sumber belanja pendidikan pemerintah daerah, 2005 24 Gambar 3.4. Belanja pendidikan pemerintah daerah berdasarkan sumber dana di kabupaten/kota yang dikunjungi, 2005 25 Gambar 3.5. Belanja Pendidikan dan persentasenya dari total belanja , 2001-06 25 Gambar 3.6. Belanja pendidikan di daerah yang dikunjungi, 2001-06 25 Gambar 3.7. Belanja pendidikan per kapita di 10 daerah yang dikunjungi, 2006 26 Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah vii Gambar 3.8. Komposisi ekonomis belanja rutin di daerah yang dikunjungi, 2006 28 Gambar 3.9. Komposisi program di daerah yang dikunjungi, 200 30 Gambar 3.10. Perincian belanja publik dan aparat di 10 daerah yang dikunjungi, 2006 31 Gambar 3.11. Belanja out-of-pocket rumah tangga di daerah yang dikunjungi, 2004-06 32 Gambar 4.1. SD per 1.000 anak usia SD berdasarkan kecamatan in Kab. Belu dan Kab. Wonosobo, 2006 36 Gambar 4.2. GMR untuk tingkat SLTP dan SLTA berdasarkan kecamatan di Kab. Belu, 2006 37 Gambar 4.3. Kelebihan dan kekurangan pasokan guru SD berdasarkan daerah dan kecamatan, 2006 38 Gambar 4.4. Kualifikasi guru di daerah yang dikunjungi, 2006 39 Gambar 4.5. Angka partisipasi murni tingkat SD dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 40 Gambar 4.6. Angka partisipasi murni tingkat SLTP dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 40 Gambar 4.7. Angka partisipasi murni tingkat SLTA dari daerah yang dikunjungi, 2002-05 40 Gambar 4.8. Angka putus sekolah tingkat SD dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 41 Gambar 4.9. Rata-rata lama bersekolah di daerah yang dikunjungi, 2001-05 41 Gambar 4.10. Angka melek huruf di daerah yang dikunjungi, 2001-06 42 Gambar 4.11. Angka partisipasi murni tingkat SLTP berdasarkan kuintil pendapatan, 2005 42 Gambar 4.12. Belanja per kapita, angka partisipasi sekolah bersih tingkat SLTP dan SLTA 42 Gambar 4.13. Garis batas praktik terbaik untuk kinerja sektor pendidikan di tingkat daerah 45 Gambar 4.14. Distribusi indeks output berdasarkan kuintil input 45 Gambar 5.1 Kerangka normatif untuk proses penyusunan anggaran tahunan 49 Gambar 5.2. Nilai Pengelolaan Keuangan Publik secara keseluruhan untuk semua pemerintah daerah yang dinilai 52 Gambar 5.3. Nilai rata-rata untuk setiap bidang strategis 52 Gambar 1. Pendapatan dan Belanja untuk Pendidikan Kabupaten/Kota, Tahun 2005 57 Kotak Kotak 2.1. Latar belakang hukum dari “aturan 20 persen” di Indonesia 16 Kotak 3.1. Apa yang mendorong pola belanja pendidikan? 29 Kotak 4.1. Standar pelayanan minimum di sektor pendidikan 44 Kotak 5.1. Tersesat dalam penterjemahan: Bagaimana rencana jangka menengah diterjemahkan ke dalam rencana sektor pendidikan 48 Kotak 5.2. Pengelolaan keuangan dan formula pendanaan sekolah di Kota Magelang 50 viii Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Ringkasan Garis besar perkembangan pendidikan umumnya juga memiliki APM yang tinggi di tingkat • Pada tahun 2006, sebagian besar belanja SMP. Perbedaan APM di tingkat SD dan SMP lebih pendidikan, sekitar 56 persen, dipergunakan terlihat signifikan di kabupaten dibandingkan di tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota dengan daerah kota. Kondisi ini menunjukkan merupakan penyumbang utama pengeluaran ini lebih tingginya tingkat transisi dari sekolah dasar yang mencapai 51 persen dari total pengeluaran ke sekolah lanjutan di wilayah kota dibandingkan pendidikan, sedangkan pengeluaran yang dengan wilayah kabupaten. dilakukan pemerintah propinsi hanya sebesar 5 • Terdapat variasi dalam hal akses ke sekolah dan persen. Proporsi tersebut menunjukkan tren dalam ketersediaan guru, namun hampir semuanya pemberian layanan pendidikan, dimana pemerintah memiliki nilai yang lebih baik dari rata-rata kabupaten/kota memiliki bagian yang relatif lebih nasional. Akses ke sekolah secara nasional dan tinggi dibandingkan dengan pemerintah pusat. di hampir semua kabupaten/kota yang dikunjungi, • Pengeluaran pendidikan di tingkat untuk setiap jenjang sekolah telah baik, walaupun kabupaten/kota mengalami peningkatan ditemukan variasi yang lebih besar di tingkat sejak diberlakukannya desentralisasi, kecamatan. Berdasarkan Indikator Pembangunan namun demikian proporsi pengeluaran Dunia (IPD), rasio murid dan guru (RMG) di daerah untuk pendidikan terhadap total anggaran yang dikunjungi berada di bawah RMG untuk justru mengalami penurunan. Tren penurunan wilayah negara dengan tingkat pendapatan rendah terutama sejak tahun 2005 mungkin disebabkan dan menengah, yang menunjukkan ketersediaan karena adanya transfer BOS (Bantuan Operasional tenaga pengajar yang memadai. Sekolah) dari pemerintah pusat. • Pengeluaran agregat di tingkat daerah pada Isu-isu Penting: tahun 2006, termasuk di sebagian besar daerah • Meskipun kabupaten/kota membelanjakan yang dikunjungi, telah dapat memenuhi sebagian besar dari total belanja pendidikan amanat undang-undang ’20 persen’ dengan nasional, namun belanja ini mayoritas belanja gaji diikutsertakan dalam perhitungan. merupakan belanja rutin yang telah Pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi telah ditetapkan. Lebih dari 90 persen pengeluaran mengamanatkan bahwa ketentuan 20 persen rutin yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dari total pengeluaran harus mencakup seluruh dialokasikan untuk pengeluaran gaji. pengeluaran pendidikan (termasuk pengeluaran • Tingkat partisipasi sekolah di tingkat gaji) di setiap tingkat pemerintahan. lanjutan masih menjadi permasalahan • Angka Partisipasi Sekolah Murni (APM) di sejumlah kabupaten/kota dan antar untuk tingkat sekolah dasar di sebagian kelompok pendapatan. Adanya jembatan yang besar kabupaten/kota yang dikunjungi telah menghubungkan antara tingkat dasar dan sekolah mendekati angka universal, kecuali untuk lanjutan sangatlah penting untuk meningkatkan beberapa daerah di Papua. Kabupaten/kota tingkat transisi. Untuk masyarakat yang termasuk yang memiliki APM yang tinggi di tingkat SD dalam kuantil pendapatan rendah, akses terhadap Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 9 Ringkasan pendidikan masih menjadi permasalahan dimana pengeluaran mereka dan mengidentifikasi biaya transportasi dan pendidikan memiliki peran isu utama di sektor pendidikan. Pendampingan yang besar di dalamnya. Tantangan penting lainnya teknis mungkin dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang harus dihadapi sejumlah kabupaten adalah ini. Selain itu, pemerintah pusat dapat melakukan upaya untuk meningkatkan angka melek huruf. pengawasan atas komposisi pengeluaran • Kondisi prasarana pendidikan di beberapa pemerintah daerah dan memberikan insentif atau kabupaten/kota di Indonesia masih buruk. disinsentif guna meningkatkan komposisi anggaran. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan mengingat Salah satu mekanisme yang dapat digunakan hanya kurang dari 1 persen dari pengeluaran rutin untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan yang dialokasikan untuk belanja operasional dan menggunakan komposisi anggaran pemerintah pemeliharaan. daerah sebagai indikator target pengeluaran • Masih adanya ketimpangan dalam penyebaran dekonsentrasi. sekolah dan guru antar kecamatan. • Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi Permasalahan kelebihan dan kekurangan jumlah kembali terhadap alokasi dan pengangkatan guru serta kurangnya jumlah guru yang memenuhi guru secara efektif, terutama terkait dengan kualifikasi gelar untuk mengajar masih banyak permasalahan ketimpangan distribusi guru. ditemui di kabupaten/kota yang diobservasi. Di Pemerintah daerah harus menyelaraskan antara sekolah tingkat dasar, sebagian besar guru hanya perencanaan alokasi guru dengan program insentif merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh UU No. meskipun terdapat peraturan yang mensyaratkan 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Evaluasi guru untuk memiliki sertifikat sarjana. untuk penempatan guru perlu didukung oleh • Tidak adanya keselarasan antara proses kerangka penempatan yang lebih jelas mengingat perencanaan dan penganggaran masih banyak guru merupakan bagian dari sistem pegawai dijumpai di kabupaten/kota yang diobservasi negeri nasional, dimana pemerintah tidak hanya baik antar sektor maupun antara pemerintah harus mengatur mutasi guru antar sekolah dalam daerah dengan dinas. Ketiadaan ini mungkin satu kabupaten, melainkan juga mutasi guru antar tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kapasitas kabupaten dan antar propinsi. pemerintah daerah, atau tidak adanya kerangka • Investasi pada kualitas mengajar dilakukan hukum yang memayunginya, namun karena melalui sertifikasi guru bersamaan dengan tidak adanya budaya perencanaan dan ketiadaan mekanisme dan pengawasan kinerja yang penilaian kinerja. layak. Kurangnya mutu pendidikan yang dimiliki menjadi isu baik di kabupaten maupun Rekomendasi: di kota. Sertifikasi guru dapat membantu dalam meningkatkan hasil pembelajaran apabila • Pemerintah daerah perlu memprioritaskan diterapkan mekanisme dan institusi yang layak pendidikan tingkat menengah. Investasi dalam mengontrol kinerja, seperti kehadiran guru dapat dilakukan dengan memperkuat serta dan kualitas pengajaran. mengalokasikan anggaran mereka untuk program • Sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi beaSISWAdan program menarik kembali remaja secara nasional dibutuhkan untuk memastikan dan anak-anak ke sekolah. Peningkatan angka bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab melek huruf tidak hanya membutuhkan ekspansi dalam mengembangkan hasil pendidikan sistem sekolah untuk meningkatkan APM tetapi dan dalam menyelaraskan perencanaan dan juga upaya untuk merangkul masyarakat buta penganggaran di wilayah mereka. Sistem yang huruf yang tidak lagi berada pada usia sekolah. demikian dapat bertindak sebagai penyeimbang Pemerintah daerah pun harus memasukkan antara otonomi penuh yang diberikan kepada program khusus yang berusaha untuk memerangi kabupaten/kota dalam mengelola pengeluaran buta huruf ke dalam prioritas anggaran pendidikan mereka dan hasil yang mereka capai dengan mereka, serta memberikan kesempatan kedua menggunakan sumber daya yang dimiliki. bagi mereka yang melewatkan kesempatan untuk Pengukuran kinerja yang layak dapat dilaksanakan mengeyam pendidikan formal. dengan menggunakan standar pelayanan minimum • Kabupaten/kota perlu meningkatkan (SPM) sebagai dasar awal. kapasitasnya untuk mengevaluasi efisiensi 10 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 1 Pembukaan 1.1. Peran Daerah dalam utama, dengan jumlah sekitar 51 persen dari total pembelanjaan, sementara pemerintah provinsi melakukan Investasi di Bidang membelanjakan sekitar 5 persen sisanya. Pendidikan Agar belanja publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan peningkatan kinerja hasil, Pemerintah Indonesia telah menjadikan investasi pemerintah kabupaten/kota harus memiliki dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama kapasitas manajemen keuangan yang memadai. dan dalam beberapa tahun terakhir ini telah Selain itu, kabupaten/kota harus mampu mengevaluasi mengalokasikan persentase yang lebih besar dari efektifitas dan efisiensi pembelanjaan mereka dan anggarannya untuk sektor pendidikan. Belanja selanjutnya, menggunakan informasi tersebut untuk publik nasional untuk sektor pendidikan meningkat membuat keputusan tentang pembelanjaan di masa dari 2,8 persen pada tahun 2001 menjadi 3.1 persen depan. Sehubungan dengan masalah pemerintahan pada tahun 2006 relatif terhadap PDB. Pengurangan dan menilik peningkatan alokasi belanja pendidikan di subsidi bahan bakar minyak memungkinkan tingkat daerah, Pemerintah Indonesia berharap dapat Pemerintah Indonesia mengalokasikan kembali meningkatkan kapasitas kabupaten/kota sehingga sumber daya publik untuk belanja pendidikan, mereka dapat memanfaatkan sumber daya mereka misalnya melalui Bantuan Operasional Sekolah dengan baik. Dalam hal ini, peningkatan perencanaan (BOS) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Sektor yang baik, penganggaran, pengadaan, manajemen pendidikan telah menggantikan pembayaran bunga keuangan, dan praktik-praktik akuntabilitas menjadi atas utang sebagai mata anggaran terbesar dalam prioritas penting. anggaran Pemerintah Indonesia. Belanja publik untuk sektor pendidikan diperkirakan meningkat lagi hingga Peningkatan Sistem Pendidikan yang akan 3,3 persen pada tahun 2008 sesuai dengan data datang melalui Program Pendekatan Lingkup anggaran. Sektor (Siswa) merupakan suatu program dukungan anggaran yang besar yang bertujuan Sejak tahun 2001, pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan-tantangan terkait bertanggung jawab terhadap penyediaan dengan pemerintahan, manajemen, dan alokasi layanan pendidikan dan sebagai akibatnya, sumber daya. Tujuan utama pengembangan Program saat ini mereka membelanjakan mayoritas SISWAadalah untuk meningkatkan angka partisipasi, total anggaran pendidikan tersebut. Pada tahun penyelesaian, dan kualitas pendidikan dasar dengan 2006, sekitar 56 persen dari anggaran pendidikan memberikan dukungan bagi pelaksanaan strategi Pemerintah Indonesia dilaksanakan di tingkat daerah. pengembangan pendidikan(Renstra) tidak hanya Pemerintah kabupaten/kota merupakan pembelanja pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdikaas) Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 11 Bab 1 Pembukaan dan Departemen Agama (Depag), melainkan juga demikian, analisa pengeluaran publik (APP) sektoral pada pemerintah daerah. Guna menjamin komitmen kabupaten/kota ini merupakan suatu model bagi dan kepemilikan program Siswa, suatu komponen program APP lokal yang lebih luas yang diharapkan yang besar siap memberikan hibah kepada Dinas dapat dilaksanakan sehubungan dengan program Pendidikan di tingkat kabupaten berdasarkan kinerja SISWAnasional. indikator hasil pendidikan dasar mereka. Dalam hal pemilihan kabupaten/kota untuk Tinjauan tentang belanja pendidikan di tingkat pelaksanaan analisis belanja ini, tim berusaha kabupaten/kota dan manajemen keuangan ini untuk menggabungkan proses pemilihan dengan merupakan output dari Program Kapasitas Pendidikan, pendekatan sasaran kabupaten/kota yang yang bertujuan untuk mempersiapkan peluncuran diterapkan dalam Siswa. SISWAbertujuan untuk atas program SISWAyang lebih besar di bawah memberikan dukungan anggaran secara adil kepada Renstra (Rencana Strategi) 2010-14 untuk pendidikan kabupaten/kota dengan cakupan luas di seluruh dasar. Oleh karena itu, dokumen ini merupakan salah Indonesia, oleh sebab itu tim memutuskan untuk satu hasil output dari serangkaian kegiatan analitis menjatuhkan sasaran kepada kabupaten/kota yang dan rancangan yang lebih besar yang akan menjadi memiliki reputasi relatif baik dalam hal penganggaran, dasar bagi suatu program pendekatan lingkup sektor perencanaan, dan pengelolaan belanja, serta (SISWA) di bidang pendidikan dasar. kabupaten/kota yang dikenal sebagai kabupaten/ kota yang ‘miskin’ dan tidak memiliki kapasitas dalam sektor pembangunan manusia.1 1.2. Pengumpulan Data, Pemilihan Daerah, dan Guna menjamin keadilan wilayah, tim memutuskan untuk memfokuskan perhatian Peningkatan Kapasitas dalam kepada lima provinsi yang berada di lima Analisis Belanja Daerah wilayah/pulau yang berbeda di Indonesia dan dalam provinsi-provinsi tersebut, memilih daerah pedesaan perkotaan sebagai sasaran. Selain itu, Kegiatan ini terutama difokuskan pada belanja tim juga mengunjungi dinas-dinas pendidikan di pendidikan kabupaten/kota dan analisis tingkat provinsi guna memastikan bahwa data-data manajemen keuangan dan dilaksanakan kabupaten/kota yang komprehensif, yang disusun bersama-sama dengan Tim Pendidikan dan atau diringkas di tingkat provinsi, bisa diikutsertakan Tim Pengurangan Kemiskinan dan Pengelolaan dalam melaksanakan analisis terhadap berbagai Perekonomian (PREM) Bank Dunia Jakarta. kabupaten/kota. Selanjutnya, pemeriksaan silang di Metodologi yang diterapkan dalam analisis ini telah tingkat provinsi memungkinkan verifikasi tidak hanya dikembangkan oleh tim PREM dan dikenal dengan dalam kelengkapan dan transparansi data kabupaten/ pendekatan PEACH, yang merupakan kepanjangan kota, tetapi juga dalam penilaian mekanisme dari Analisis Belanja Publik dan Penyelarasan Kapasitas. penyerahan data di berbagai wilayah dan memberikan PEACH telah diterapkan di sejumlah provinsi seperti peluang untuk mendokumentasikan kelemahan di Gorontalo, Aceh, Nias, dan Papua, dan merupakan sistem informasi yang mungkin timbul dalam sistem pendekatan program guna mengusahakan analisis pendidikan daerah. belanja yang komprehensif bersama dengan pemangku kepentingan lokal di tingkat daerah. Dalam Data dikumpulkan oleh tim analis riset yang analisis ini, pendekatan tersebut digunakan terutama mengunjungi sejumlah besar pemangku untuk menganalisis belanja sektor pendidikan di kepentingan mulai dari dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota. tingkat kabupaten sampai dengan sekolah dan Badan Perencana Pembangunan Daerah Upaya signifikan diperlukan dalam melaksanakan (Bappeda). Sebagian besar kabupaten dikunjungi tinjauan belanja yang tepat di tingkat kabupaten/ selama jangka waktu tiga hari dan data yang kota sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai dikumpulkan dilengkapi dengan kumpulan data prakarsa PEACH yang telah diselesaikan sejauh ini, oleh sebab itu hanya 10 kabupaten/kota yang dicakup dalam upaya awal ini. Namun 1 Dalam hal ini kata ‘miskin’ dipahami sebagai miskin baik secara fiskal maupun secara ekonomis. 12 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 1 Pembukaan tambahan di kantor dinas pendidikan tingkat provinsi pendidikan, serta arus dana yang dibelanjakan untuk yang berkaitan. Secara umum, staf kantor dinas layanan pendidikan. Bab ketiga merupakan dokumen pendidikan tingkat provinsi memfasilitasi pertemuan inti dan menyajikan analisis tren dan pola belanja dengan tim kabupaten/kota. Sehubungan dengan publik. Susunan pengeluarang berdasarkan fungsi analisis di tingkat sekolah, tim melengkapi penelitian ekonomi dan program di tingkat kabupaten/kota lapangannya temuan yang berasal dari survei GDS2 juga dibahas dalam tinjauan ini. Selanjutnya, belanja (Survei Pemerintahan dan Desentralisasi 2) untuk rumah tangga untuk sektor pendidikan serta belanja kabupaten/kota (dari 10 kabupaten/kota yang dipilih) di tingkat sekolah, terutama melalui program BOS yang termasuk dalam survei, yaitu: Kab. Asahan, juga dianalisis. Bab keempat berfokus pada sistem Kota Manado, Kab. Belu, Kab. Timtengsel, dan Kab. pendidikan dan outputnya di tingkat kabupaten/ Jayawijaya. kota. Iinput sistem pendidikan, seperti infrastruktur pendidikan dan sumber daya manusia, dan output (yang bersifat distribusi) dalam hal tingkat partisipasi 1.3. Gambaran Umum tentang sekolah, angka melek huruf, dll turut pula dibahas. Analisis Bab kelima meninjau mekanisme perencanaan dan penganggaran yang ditemukan di tingkat kabupaten/ kota. Akhirnya, bab keenam dari laporan ini berisi Analisa Pengeluaran Publik (APP) ini terdiri atas pilihan kebijakan dan pesan utama yang berguna enam bab. Setelah bab pembukaan ini, bab kedua bagi program Siswa. mencakup kerangka hukum pembiayaan sektor Tabel 1.1. Daerah yang tercakup dalam studi ini Sumber Daya Karakteristik Wilayah PDRB Kemiskinan Kota/Desa Fiskal Provinsi Sumatera Utara Kab Asahan Rendah Sedang Sedang Desa Kota Binjai Sedang Tinggi Rendah Kota Provinsi Jawa Tengah Kab Wonosobo Rendah Rendah Tinggi Desa Kota Magelang Tinggi Tinggi Sedang Kota Provinsi Sulawesi Utara Kab Minahasa Tinggi Sedang Rendah Desa Kota Manado Sedang Tinggi Rendah Kota Provinsi NTT Kab Timur Tengah Selatan Sedang Rendah Tinggi Desa Kab Belu Sedang Rendah Sedang Desa Provinsi Papua Kab Jayawijaya Rendah Rendah Tinggi Desa Kab Jayapura Tinggi Sedang Tinggi Desa Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS/DepKeu (Susenas, SIKD, PDRB). Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 13 Bab 1 Pembukaan Uraian Terperinci tentang Output dari Kegiatan yang Dilakukan Sejumlah output dihasilkan dari kegiatan ini, diantaranya adalah analisa pengeluaran daerah ini. Output kegiatan dirangkum di bawah ini. Database Daerah atas Kabupaten/Kota yang Dipiliah: Database kabupaten/kota berisi data anggaran yang dihimpun selama kunjungan lapangan, yang sebagian besar merupakan data belanja dan anggaran daerah, serta informasi kualitatif sehubungan dengan proses perencanaan dan penganggaran di berbagai lembaga. Selanjutnya, data berkaitan dengan output untuk indikator kinerja pendidikan utama turut diikutsertakan dan sebagian besar dikutip dari sumber data yang telah ada, seperti Susenas, Podes, dan SIKD. Guna melakukan analisis tren dan melakukan perbandingan antar kabupaten yang dinamis, data tentang belanja dan alokasi yang tersedia selama beberapa tahun dikumpulkan (2001-06/07). Format database adalah dalam Microsoft Excel, walaupun beberapa bagian dilengkapi dengan STATA dataset. APP untuk Sektor Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota APP untuk sektor pendidikan di tingkat kabupaten/kota memberikan input kepada program SISWAdan bertujuan untuk mendukung desain proyek serta memisahkan kebutuhan kabupaten/kota berkenaan dengan manajemen keuangan publik dan dukungan analisis pembelanjaan. APP tidak hanya difokuskan pada uraian tren dan pola belanja kabupaten/kota, melainkan juga tinjauan terhadap kerangka hukum sehubungan dengan belanja pendidikan dan proses perencanaan dan penganggaran. Perangkat Analisis Belanja Pendidikan di Tingkat Kabupaten Salah satu sub-komponen APP adalah perangkat bagi kabupaten/kota untuk menjalankan analisis belanja di sektor pendidikan. Perangkat tersebut didasarkan pada pengalaman dan metodologi yang dihasilkan dari pelaksanaan PEACH Bank Dunia dan secara khusus dalam tinjauan ini telah disesuaikan untuk sektor pendidikan. Output ini dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas kabupaten/kota dan sosialisasinya direncanakan berdasarkan komponen kedua SISWAdan Proyek Pendidikan Dasar. 14 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan Dalam bab ini dibahas tentang kerangka hukum 2.1.1. Tanggung jawab Pembiayaan Pendidikan dan arus dana untuk sektor pendidikan. Sistem yang di Tingkat Pusat dan Daerah diuraikan dalam tinjauan ini sebagian besar berlaku di tingkat nasional, karena sebagian besar peraturan Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem berlaku di seluruh wilayah, walaupun peraturan Pendidikan Nasional mewajibkan pemerintah daerah terdapat juga di beberapa kabupaten/ pusat dan daerah untuk mengalokasikan kota yang dikunjungi. Struktur aliran dana juga minimum 20 persen dari anggaran mereka memungkinkan dilakukannya perbandingan secara untuk sektor pendidikan, di luar belanja gaji nasional dan dengan demikian dapat memberikan dari tolok ukur ini.2 Pemerintah pusat bertanggung pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan jawab untuk mengalokasikan sebagian dari anggaran dalam mempersiapkan komponen hibah untuk kinerja kabupaten/kota untuk gaji para guru yang diangkat SISWAdi tingkat kabupaten/kota. oleh pemerintah. Dana untuk gaji guru dibayarkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota melalui transfer dana alokasi umum 2.1 Kerangka Hukum (DAU). Alokasi dana untuk unit pendidikan (kelompok layanan pendidikan yang menyediakan pendidikan formal, non-formal, dan informal di setiap tingkat dan Tanggung jawab pemerintah daerah jenis pendidikan) oleh pemerintah pusat dan daerah sehubungan dengan alokasi anggaran untuk juga dilakukan dalam bentuk hibah. sektor pendidikan telah ditetapkan berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan. Di antara peraturan perundang-undangan tersebut yang paling penting adalah: Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah No. 38/2007 2 Pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa gaji guru akan termasuk dalam 20 persen alokasi anggaran tentang hubungan antar pemerintahan dan peran untuk pendidikan. Namun demikian, dokumen tersebut hanya dan fungsi daerah. Bagian di bawah ini membahas mencantumkan pembahasan singkat tentang masalah tersebut tentang isi dokumen hukum tersebut. sementara revisi atas Undang-Undang 20/2003 masih belum ditetapkan. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 15 Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan Kotak 2.1: Latar belakang hukum dari “aturan kota yang dikunjungi telah mencapai atau melewati 20 persen” di Indonesia angka 20 persen yang diamanatkan, kecuali satu di Papua. Seluruh bagian belanja pendidikan terhadap • 1945: Konstitusi Indonesia dalam Pasal 31 total belanja termasuk gaji guru di tingkat nasional menetapkan: (1) “Setiap warga negara berhak mencapai 28,3 persen dan hanya 6,3 persen apabila atas pendidikan” dan; (2) “Pemerintah harus gaji dikecualikan. menetapkan dan melaksanakan suatu sistem pendidikan nasional yang akan diatur oleh Tabel 2.1. Belanja pendidikan sebagai undang-undang.” persentase dari belanja pemerintah daerah, • 2002: Hampir 60 tahun kemudian, pasal 2006 Konstitusi ini diubah sehingga berbunyi: “Negara harus mengalokasikan minimum 20 persen dari Kabupaten Bagian belanja Bagian belanja anggaran APBN untuk belanja pendidikan, guna pendidikan pendidikan (termasuk (tidak memenuhi kebutuhan pendidikan nasional.” gaji) termasuk gaji) • 2003: Kemudian, Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bagian Kab. Asahan – 39,9 4,6 4, Pasal 49) kembali menetapkan tolok ukur Sumatera Utara tahun 2002. Undang-undang tahun 2003 Kota Binjai – 26,3 3,7 tersebut mempersempit cakupan pos belanja Sumatera Utara yang termasuk dalam 20 persen target dengan Kab. Wonosobo – 37,0 6,6 mengecualikan gaji. Sebagaimana dinyatakan: Jawa Tengah “Dana pendidikan, kecuali gaji pendidik dan Kota Magelang – belanja pendidikan layanan, dialokasikan 30,6 2,2 Jawa Tengah minimum 20 persen dari APBN dan minimum Kab. Minahasa – APBD.” 35,1 5,8 Sulawesi Utara • 2007: Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya Kota Manado – No. 24/PUU-V/2007 menguraikan bahwa gaji 30,2 2,4 Sulawesi Utara guru termasuk dalam 20 persen alokasi anggaran untuk pendidikan. Kab. Timur Tengah 35,7 8,9 • 2008: Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya Selatan – NTT No. 13/PUU-VI/2008 memberikan suatu Kab. Belu – NTT 32,2 6,4 ultimatum kepada pemerintah untuk mematuhi Kab. Jayawijaya – 20 persen bagian tersebut. 14,0 3,8 Papua Sumber: Berinvestasi dalam Pendidikan Indonesia, Bank Dunia Kab. Jayapura – (2007a) dan keputusan Mahkamah Konstitusi. 17,8 5,0 Papua Rata-rata dari 10 29,0 5,1 Belanja agregat di tingkat daerah pada kabupaten tahun 2006, serta di 10 kabupaten/kota yang Agregat kabupaten 28,3 6,3 dikunjungi masih jauh dari memenuhi 20 persen (nasional) amanat apabila gaji dikecualikan dari perkiraan Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/DepKeu tersebut. Tidak satu pun dari 10 kabupaten/kota dan data APBD kabupaten. yang dikunjungi dapat memenuhi amanat tersebut. Bahkan, belanja pendidikan (di luar belanja gaji) di 10 Dibandingkan dengan kabupaten/kota lain kabupaten/kota tersebut kurang dari 10 persen dari yang dikunjungi, Kabupaten Jayawijaya dan anggaran daerah mereka. Kab. Timur Tengah Selatan Kabupaten Jayapura di Papua memiliki porsi dan Kab. Wonosobo mencapai persentase tertinggi paling rendah terhadap keseluruhan belanja yaitu, masing-masing 8,9 dan 6,6 persen dari total pendidikan. Salah satu penyebab dari belanja belanja (kecuali gaji), yang dialokasikan untuk sektor pendidikan yang lebih rendah di kabupaten/kota pendidikan. Namun demikian, gambaran tersebut tersebut adalah karena relatif lebih rendahnya belanja berubah secara signifikan ketika gaji dimasukkan pendidikan per kapita murid, serta jumlah sekolah ke dalam perkiraan. Keseluruhan kabupaten di dan guru yang lebih sedikit. tingkat nasional dan sebagian besar kabupaten/ 16 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan Struktur belanja dalam sektor pendidikan adalah seperti pembiayaan sektoral masih tetap diperlukan, faktor utama yang menjelaskan kesulitan dalam terutama untuk sektor yang didesentralisasi dalam memenuhi target yang ditetapkan oleh Undang- cakupan yang luas, seperti pendidikan dan kesehatan. Undang No. 20/2003, dibandingkan hambatan Penugasan kepada pemerintah pusat, provinsi, dan pendanaan. Komponen gaji dalam belanja daerah kabupaten dalam sektor pendidikan dapat dibagi menunjukkan jumlah yang signifikan di kabupaten/ menjadi lima sub-sektor yang berhubungan dengan: kota yang dikunjungi, dengan hanya menyisakan (i) kebijakan; (ii) perencanaan dan pembiayaan; (iii) bagian kecil bagi pos belanja lainnya. Pola serupa diteliti kurikulum; (iv) infrastruktur dan fasilitas; dan (v) pada saat menganalisis belanja daerah secara agregat personel pendidikan. untuk sektor pendidikan, dimana rata-rata 96 persen belanja rutin kabupaten/kota diperuntukkan bagi gaji Sub-bagian perencanaan dan pembiayaan dari atau insentif. Ketiadaan sumber daya bukanlah alasan peraturan baru tersebut membagi tanggung di balik rendahnya belanja pendidikan non-gaji karena jawab pembiayaan masing-masing tingkat kabupaten-kabupaten telah menikmati kenaikan pemerintah menurut tingkat pendidikan dan transfer (DAU) secara besar-besaran, terutama pada program. Pemerintah pusat bertanggung jawab tahun 2006. Kenaikan transfer telah mendorong untuk memberikan pedoman menyeluruh tentang pendapatan kabupaten/kota secara signifikan, dukungan keuangan bagi setiap tingkat pendidikan sehingga menaikkan dana walaupun belum berhasil dan program. Selanjutnya, pemerintah pusat mengatasi masalah struktural utama. bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya bagi tingkat pendidikan tinggi dan subsidi 2.1.2 Pengaturan Pembiayaan Antar- silang untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan Pemerintah dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan non- formal, serta layanan pendidikan khusus. Sementara bagi pemerintah provinsi, tanggung jawab utama Pengaturan pembiayaan antar-pemerintah untuk mencakup penyediaan dukungan keuangan bagi sektor pendidikan telah diuraikan sebagian pendidikan menengah dan kejuruan, dan pendidikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007. luar biasa. Provinsi juga dapat memberikan bantuan Peraturan pemerintah yang baru ini menguraikan tambahan atau subsidi bagi pendidikan anak usia dini, pembagian peran dan tanggung jawab kepada pendidikan dasar, dan non-formal, serta pendidikan setiap tingkat pemerintah untuk semua sektor yang yang lebih tinggi. Akhirnya, pemerintah daerah didesentralisasi. Peraturan tersebut telah berhasil terutama bertanggung jawab untuk menyediakan mengatasi beberapa masalah tentang peran dan sumber daya bagi pendidikan anak usia dini, dan tanggung jawab antar-pemerintah yang, menurut pendidikan dasar dan non-formal. Kabupaten/kota beberapa pemangku kepentingan desentralisasi, tidak bertanggung jawab untuk memberikan bantuan belum diuraikan secara jelas. Namun demikian, subsidi tambahan. Tabel 2.2 menunjukkan ringkasan klarifikasi selanjutnya tentang masalah-masalah pengaturan tersebut. Tabel 2.2. Ringkasan pengaturan pembiayaan antar pemerintah berdasarkan PP No. 38/2007 Pusat Provinsi Kabupaten Tanggung jawab keuangan - Pendidikan tinggi - Pendidikan menengah - Pendidikan anak usia dini utama - Pendidikan kejuruan - Pendidikan dasar - Layanan pendidikan - Pendidikan nonformal khusus Bantuan tambahan / subsidi - Pendidikan anak usia - Pendidikan anak usia dini dini - Pendidikan dasar - Pendidikan dasar - Pendidikan menengah - Pendidikan nonformal - Pendidikan nonformal - Pendidikan tinggi - Pendidikan khusus - Layanan pendidikan khusus Sumber: Peraturan Pemerintah No. 38/2007. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 17 Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan Bantuan tambahan atau subsidi dari pemerintah Pemerintah pusat dan daerah secara hukum pusat kepada kabupaten, sebagian besar bertanggung jawab untuk menyediakan sumber disalurkan melalui apa yang disebut dengan daya dari anggaran mereka guna mendukung dana terdekonsentrasi, sementara pelengkap insentif guru. Insentif profesional dan khusus dari provinsi sebagian besar berasal dari sumber diberikan dalam jumlah yang sama dengan gaji pokok pendapatan mereka sendiri. Di antara program- saat ini. Insentif fungsional bagi guru pegawai negeri program yang disubsidi oleh pemerintah pusat dan sipil berdasarkan pada golongan mereka di catatan pemerintah provinsi adalah program rehabilitasi sipil. Namun demikian, insentif fungsional bagi guru sekolah, pelatihan guru, subsidi untuk keluarga non-pegawai negeri sipil disubsidi dan besarnya miskin (BKKM dan BKM), program reintegrasi bergantung pada kapasitas keuangan negara. Program pemuda (mereintegrasi pelajar putus sekolah), insentif ini relatif baru dan dilaksanakan mulai tahun insentif guru, dll. Disamping dana terdekonsentrasi anggaran 2007. yang disalurkan melalui provinsi, pemerintah pusat juga telah memberikan bantuan langsung kepada sekolah-sekolah dasar, sekolah-sekolah menengah tingkat pertama melalui bantuan operasional sekolah 2.2. Aliran Dana untuk Sektor (BOS), walaupun sekolah-sekolah dasar seharusnya Pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Program rehabilitasi sekolah, terutama untuk Pendanaan untuk sektor pendidikan di tingkat sekolah dasar, seringkali dilakukan bersama-sama kabupaten/kota dialirkan melalui beragam oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten saluran, terutama pemerintah pusat dan daerah berdasarkan suatu perjanjian Nota Kesepahaman (provinsi dan kabupaten) (Gambar 2.1). Dana Bersama dengan kontribusi dari masing-masing pemerintah pusat disalurkan melalui beberapa pihak yang disepakati. Upaya pembiayaan bersama mekanisme mencakup: transfer langsung ke sekolah, tersebut dilakukan di sebagian besar kabupaten/kota dana/proyek-proyek terdekonsentrasi, proyek-proyek dan karenanya pemerintah pusat dan provinsi tetap APBN, dan proyek-proyek kantor perwakilan pusat. memainkan peranan penting dalam upaya rehabilitasi, yang bertolak belakang dengan tanggung jawab Transfer dana langsung dari pemerintah pusat desentralisasi yang tradisional. kepada sekolah dilaksanakan berdasarkan per murid. Jenis transfer mencakup program BOS 2.1.3 Insentif untuk Guru saat ini yang ditargetkan untuk sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama, dan program Insentif untuk guru diatur berdasarkan Undang- bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) guna Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, mendukung sekolah kejuruan dan sekolah menengah yang mencakup insentif profesional, insentif tingkat atas. Saat ini, program tersebut merupakan fungsional, insentif khusus, dan tunjangan sumber dana utama di tingkat sekolah dan dengan tambahan. Insentif profesional diberikan kepada demikian menjadi sangat penting. para guru yang memperoleh sertifikasi melalui ujian kompetensi yang dilakukan oleh suatu lembaga Sehubungan dengan dana terdekonsentrasi, berwenang nasional. Insentif fungsional diberikan proyek tersebut mencakup berbagai kegiatan kepada para guru pegawai negeri sipil, serta guru non- dan mekanisme pencairan yang beragam. Dana pegawai negeri sipil, baik di sekolah negeri maupun terdekonsentrasi seringkali digunakan untuk proyek- sekolah swasta. Insentif khusus disediakan bagi para proyek seperti rekonstruksi sekolah atau ruang kelas guru yang mengajar di daerah khusus, seperti daerah- dan peningkatan kualitas sekolah. Dana tersebut daerah terpencil, kabupaten-kabupaten di daerah dapat disalurkan langsung ke rekening sekolah perbatasan, daerah bencana atau situasi darurat atau melalui rekening Dinas Pendidikan provinsi lainnya. Selain dari insentif tersebut, para guru tergantung pada rancangan khusus suatu proyek. juga menerima tunjangan tambahan dalam bentuk Proyek-proyek terdekonsentrasi memiliki sifat khusus asuransi, penghargaan, beasiswa, dll. berkaitan dengan peran provinsi dalam aliran dana, 18 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan karena Dinas Pendidikan tingkat provinsi bertanggung Disamping pemerintah pusat, pemerintah jawab dan mempertanggungjawabkan pengawasan provinsi pun menyediakan dana untuk dan manajemen proyek-proyek yang berada dalam membiayai kegiatan yang dilaksanakan yurisdiksi mereka. Dalam hal ini, unit pelaksana di tingkat kabupaten/sekolah. Provinsi juga (sekolah dan/atau Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/ membayar gaji guru kontrak, memberikan insentif kota) wajib menyerahkan laporan perkembangan dan kepada para guru di daerah terpencil, dan membiayai penyelesaian proyek kepada Dinas Pendidikan tingkat kegiatan rehabilitasi sekolah. Baru-baru ini Depdiknas provinsi. telah menandatangani sejumlah Nota Kesepahaman dengan beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten Mekanisme pembiayaan lainnya adalah melalui tentang pembiayaan bersama rehabilitasi sekolah. proyek-proyek APBN, yang didanai, serta Bagian pembiayaan bagi masing-masing tingkat dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah pemerintah yang bersangkutan dalam pengaturan pusat. Dalam proyek jenis ini, pemerintah pusat secara ini berbeda untuk setiap provinsi, bergantung pada langsung menyediakan barang dan/atau jasa kepada kapasitas fiskal kabupaten/kota, dimana beberapa sekolah. Contohnya, proyek multimedia nasional kabupaten/kota memerlukan bantuan lebih besar dimana sekolah-sekolah menerima perlengkapan daripada kabupaten/kota lainnya. Di lima provinsi yang multimedia (TV, komputer, dll) yang didistribusikan dikunjungi, kontribusi pemerintah provinsi bervariasi secara langsung oleh lembaga-lembaga pemerintah mulai dari 15 persen di Sulawesi Utara hingga 30 pusat. persen di Jawa Tengah. Di daerah-daerah di mana terdapat kantor Sumber daya yang dialokasikan untuk sektor perwakilan, dana pusat kadang-kadang masih pendidikan oleh pemerintah provinsi tidak selalu disalurkan oleh pusat kepada kantor perwakilan berada di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan tersebut. Contoh kantor jenis ini adalah Lembaga provinsi. Dalam hal program rehabilitasi sekolah Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Di antara tugas- dan insentif guru di daerah terpencil di Sumatera tugas lainnya, LPMP bertanggung jawab untuk Utara dan NTT, dana tersebut diklasifikasikan sebagai memberikan pelatihan kepada para guru di provinsi belanja bantuan sosial dan transfer dilakukan tempat lembaga tersebut berada. langsung ke rekening pemerintah kabupaten/kota, Gambar 2.1. Arus dana dalam belanja pendidikan TINGKAT ANGGARAN NASIONAL DEP KEU DEPDIKNAS APBN Tugas Fungsi DAU/SDA DAK Dekon BOS Pembantuan Pusat Anggaran Provinsi : Kantor PROVINSI Badan Depdiknas DAU /SDA Pemerintah PAD provinsi PAD Pusat di daerah Anggaran Daerah: Kantor DAERAH DAU/SDA Depdiknas PAD daerah PAD DAK Sekolah Sumber: Wawancara dengan pejabat Dinas Pendidikan pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 19 Bab 2 Kerangka Hukum dan Arus Dana untuk Sektor Pendidikan tanpa melalui Dinas Pendidikan di tingkat provinsi. Hal ini menambah kompleksitas analisis belanja daerah, terutama sehubungan dengan aliran dana yang berasal dari tingkat provinsi. Di tingkat kabupaten/kota, proses pengalokasian dana operasional dari pemerintah kabupaten/ kota kepada sekolah-sekolah antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya tidak selalu seragam. Di sebagian besar kabupaten/ kota, Dinas Pendidikan bertanggung jawab terhadap perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan belanja terkait dengan kegiatan koordinasi dan manajemen pendidikan. Namun demikian, di beberapa kabupaten/ kota terdapat sejumlah aliran yang dialokasikan secara langsung kepada sekolah, seperti di Kota Manado yang menyediakan sumber daya berdasarkan perhitungan jumlah per murid untuk tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas. Di kabupaten/kota lainnya, seperti Kabupaten Minahasa, sekolah-sekolah menerima alokasi tetap setiap kuartal. Meskipun demikian, Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota menjalani proses yang sama dalam hal koordinasi proses penganggaran untuk sekolah-sekolah dasar. Semua sekolah dasar di semua kabupaten/kota yang dikunjungi diwajibkan untuk menyerahkan anggaran tahunan mereka (RAPBS) kepada Dinas Pendidikan. Namun demikian, proses penganggaran untuk Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA/SMK) berbeda-beda. Di beberapa kabupaten/kota seperti Binjai, sekolah telah memiliki dokumen anggaran sendiri dan campur tangan Dinas Pendidikan terhadap proposal anggaran tahunan yang akan mereka ajukan kepada komisi perencanaan dan penganggaran kabupaten/kota relatif kecil. Di kabupaten/kota lainnya, seperti Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Belu, Dinas Pendidikan masih mengkoordinasi dan mengawasi perencanaan dan penganggaran setiap sekolah, termasuk sekolah menengah tingkat pertama dan atas. Selanjutnya, di semua kabupaten/kota yang dikunjungi, Dinas Pendidikan masih bertanggung jawab atas perencanaan, penganggaran, dan proses pelaksanaan anggaran untuk modal dan dana operasional dan pemeliharaan. 20 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Dalam bab ini, pembahasan lebih diutamakan pada anggaran dan adanya efek crowding-out pada masalah belanja pendidikan di tingkat daerah. Akan sebagian besar sektor sosial yang timbul karena adanya tetapi, untuk dapat memulai pembahasan tersebut, peningkatan jumlah subsidi BBM. Belanja pendidikan bab ini juga memberikan suatu analisis tentang peran mencapai puncak tertinggi pada tahun 2003, yang pemerintah daerah dalam sistem belanja publik mencapai sekitar 16 persen dari belanja nasional nasional untuk sektor pendidikan (Bagian 3.1 dan secara keseluruhan (Tabel 3.1). Belanja pendidikan 3.2). Selain tinjauan umum tentang ‘gambaran besar’ sebagai bagian dari PDB tahun 2005 sedikit menurun ini, diberikan pula analisis atas belanja sektor swasta dibandingkan tahun 2004, sekitar 2,6 persen, sama (misalnya rumah tangga) dan belanja di tingkat seperti halnya dengan rasio belanja nasional secara sekolah, karena belanja-belanja tersebut merupakan keseluruhan terhadap PDB. Apabila dinyatakan dalam penambahan-penambahan yang paling signifikan angka-angka absolut, belanja pendidikan kembali atas belanja pendidikan pemerintah daerah. mengalami peningkatan sebesar 8 persen pada tahun 2005 dan menunjukkan peningkatan yang lebih besar sekitar 24 persen pada tahun 2006. Angka- 3.1. Gambaran Besar: Belanja angka pada anggaran untuk tahun 2007 kembali Publik untuk Sektor Pendidikan menunjukkan adanya peningkatan sebesar 9 persen, di mana belanja pendidikan nasional mencapai jumlah di Indonesia 15,4 persen dari total belanja nasional. Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengalami tren peningkatan belanja pemerintah untuk sektor pendidikan.3 Namun, terjadi dua kali penurunan sementara, yaitu selama krisis dan penurunan yang terjadi pada tahun 2004. Penurunan jumlah belanja yang terjadi pada tahun 2004 disebabkan oleh rendahnya pelaksanaan 3 Dalam bab ini belanja pendidikan untuk pemerintah pusat ditentukan sesuai dengan klasifilasi anggaran sektoral. Dari Sektor 11: Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan kepada Tuhan YME, Pemuda dan Olah Raga, yang dimasukkan ke dalam analisis adalah sub-sektor 11.1 Pendidikan dan 11.2 Pendidikan Formal dan Informal, yang secara bersama-sama mencapai jumlah 98 persen dari jumlah total untuk sektor tersebut. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 21 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Tabel 3.1. Belanja publik nasional untuk pendidikan (pusat + provinsi + kabupaten) Tahun 2001-08 Triliun Rp Pendidikan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008** Belanja Pendidikan Nasional Nominal 40,1 49,8 63,2 61,4 73,2 102,5 118,5 147.4 Belanja Pendidikan Nasional (harga 63,4 70,5 83,7 76,7 82,8 102,5 111,3 126,4 konstan tahun 2006) Pertumbuhan Rill Belanja Pendidikan - 11,1 18,7 (8,4) 8,0 23,9 8,6 13.5 Nasional Belanja Pendidikan. (% dari Total 11,4 14,8 15,7 13,7 13,9 15,3 15,4 14.7 Belanja Nasional.) Belanja Pendidikan Nasional (% dari 2,8 2,7 3,1 2,7 2,6 3,1 3,0 3,3 PDB) Total Belanja Nasional Nominal 352.8 336.5 402,9 448,4 528,1 671,9 768,4 1,000,1 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan SIKD. Catatan: * = estimasi anggaran daerah, ** = APBN-P dan estimasi anggaran daerah. Gambar 3.1. Tren dalam belanja pendidikan 3.2. Belanja Pendidikan dan nasional, 2001–08 Pentingnya Daerah sebagai Unit 160,000 140,000 18 16 Belanja 14 120,000 12 Pada tahun 2006, sebagian besar belanja 100,000 10 pendidikan, sekitar 56 persen, dikeluarkan Milyar rupiah 80,000 Persen 8 di tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota 60,000 6 merupakan pembelanja utama, yang menghabiskan 40,000 4 sebesar 51 persen dari belanja keseluruhan, 20,000 2 sementara pemerintah provinsi hanya menghabiskan 0 0 lebih dari 5 persen. Bagian-bagian dari total belanja 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008* pendidikan tersebut menunjukkan kecenderungan Total belanja pendidikan nasional secara nominal Total belanja pendidikan nasional (2006=100) dalam penyelenggaraan layanan pendidikan, di mana % pendidikan terhadap total belanja bagian pemerintah kabupata/kota relatif lebih tinggi dibandingkan bagian dari pemerintah pusat. Pada Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu. tahun 2005 dan 2006 terdapat peningkatan pada Catatan: Angka-angka untuk tahun 2007 dan 2008 sebagian belanja pemerintah pusat. Hal tersebut sebagian berdasarkan estimasi anggaran, dibandingkan dengan belanja. disebabkan oleh adanya penambahan komponen belanja baru untuk program BOS yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang dimulai pada tahun 2005 dan berasal dari pemerintah pusat (Tabel 3.2). 22 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Tabel 3.2. Nominal belanja pendidikan berdasarkan tingkatan pemerintahan, 2001–06 Triliun Rp 2001 % 2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 % Pusat 12,1 30 13,5 27 21,4 34 18,1 29 29,3 40 45,3 44 Pembangunan 8,2 60 9,2 62 16,0 69 12,5 63 - - - Rutin 3,9 40 4,2 38 5,4 31 5,6 37 - - - Provinsi 1,9 5 4,0 8 3,9 6 3,8 6 3,9 5 5,4 5 Pembangunan 1,4 70 2,6 66 3,1 80 3,0 79 3,0 78 4,3 79 Rutin 0,6 30 1,4 34 0,8 20 0,8 21 0,9 22 1,1 21 Kabupaten 26,2 65 32,6 65 38,3 60 39,8 64 40,0 55 51,8 51 Pembangunan 3,0 11 4,6 14 5,3 14 4,6 12 5,6 14 9,7 19 Rutin 23,2 89 28,0 86 33,0 86 35,2 88 34,5 86 42,1 81 Total Belanja 42,3 100 51,3 100 64,8 100 61,8 100 73,2 100 102,5 100 Nasional Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu. pembangunan yang dicakup oleh pemerintah pusat Walaupun sebagian besar dari anggaran secara konsisten mencapai lebih dari 55 persen (dan pendidikan dilakukan oleh pemerintah biasanya lebih dari 60 persen), di mana kabupaten kabupaten/kota, belaja tersebut sebagian besar hanya mencakup sekitar seperempatnya (Tabel 3.3). merupakan belanja rutin. Oleh karena itu, meskipun Dengan demikian, pemerintah daerah hanya memiliki secara formal tanggung jawab atas sektor pendidikan diskresi yang sangat kecil dalam pengelolaan dana telah dialihkan melalui desentralisasi dari pemerintah dan dalam pengambilan keputusan penting dalam pusat kepada pemerintah daerah, sebagian besar dari sektor pendidikan. anggaran pembangunan masih dipergunakan oleh pemerintah pusat. Sejak tahun 2001, total belanja Tabel 3.3. Bagian belanja rutin dan pembangunan berdasarkan tingkat pemerintahan, Tahun 2001- 04 2001 2002 2003 2004 Total belanja pembangunan (Triliun Rp) 12,6 16,4 24,4 20,1 Belanja pembangunan pemerintah pusat sebagai % dari jumlah total 65 56 66 62 Belanja pembangunan pemerintah provinsi sebagai % dari jumlah total 11 16 13 15 Belanja pembangunan pemerintah kabupaten sebagai % dari jumlah total 24 28 22 23 Total belanja rutin (Triliun Rp) 27,7 33,6 39,2 41,6 Belanja rutin pemerintah pusat sebagai % dari jumlah total 14 13 14 13 Belanja rutin pemerintah provinsi sebagai % dari jumlah total 2 4 2 2 Belanja rutin pemerintah kabupaten sebagai % dari jumlah total 84 83 84 85 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu. Gambar 3.2. Belanja pendidikan berdasarkan klasifikasi ekonomi, tingkat pemerintahan dan komposisi belanja rutin pemerintah kabupaten 2% Provinsi 13% Pemerintah pusat 4% Gaji Pembangunan Rutin 85% Kabupaten/ 96% 33% 67% Kota Sumber: Estimasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depdiknas. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 23 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Selain itu, sebagian besar dari belanja rutin tahun 2005, yang berjumlah 53 persen dari jumlah total di tingkat daerah dialokasikan untuk belanja belanja (sekitar Rp 41,8 triliun). Belanja out-of-pocket pegawai, yang diikuti oleh belanja barang (Tabel untuk pendidikan merupakan komponen terbesar 3.4). Oleh karena itu, meskipun pemerintah daerah kedua dari total belanja tersebut, yang mencapai Rp mendapatkan bagian yang signifikan dari belanja 24,3 triliun atau 31 persen dari jumlah total belanja dalam sektor pendidikan, mereka memiliki ruang tersebut. Sebagai sektor yang terdesentralisasi, fiskal yang terbatas untuk belanja pembangunan. belanja pemerintah pusat di daerah untuk sektor Pada tahun 2004, belanja pembangunan mencapai pendidikan relatif kecil, sebesar 16 persen dari jumlah jumlah sekitar 30 persen dari belanja konsolidasian total belanja pendidikan. Dana dekonsentrasi untuk nasional untuk sektor pendidikan, sedangkan pada pendidikan merosot dari Rp 12,2 triliun pada tahun tahun 2003 jumlahnya sedikit lebih besar, sekitar 38 2004 menjadi Rp 8,2 triliun pada tahun 2005. persen. Penurunan dalam jumlah kecil pada belanja pendidikan yang terjadi pada tahun 2004 disebabkan Gambar 3.3. Sumber-sumber belanja pendidikan terutama oleh penurunan pada belanja pembangunan pemerintah daerah, 2005 pemerintah pusat. BOS, 6% Tabel. 3.4. Distribusi belanja rutin berdasarkan tingkatan pemerintah daerah, 2002-06 Persen Belanja out of Komposisi Belanja pocket Rumah Belanja Pemda, 2002 2003 2004 2005 2006 Tangga, 31% 53% Rutin Belanja pegawai 94 94 95 95 96 Belanja barang 4 4 3 4 3 Belaja operasi & 0 1 1 1 0,4 Belanja Sektoral Pemerintah pemeliharaan pusat, 10% Belanja perjalanan 0 0 0 0 0,5 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu, Belanja lain-lain 2 2 0 0 0 data APBD Kabupaten, dan Susenas/BPS. Belanja lainnya 0 0 0 0 0 Total belanja rutin 100 100 100 100 100 Sesuai dengan tren nasional tersebut, Sumber: Estimasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu. pemerintah daerah di 10 kabupaten/kota yang dikunjungi merupakan kontributor terbesar bagi bagi anggaran pendidikan di daerahnya masing- 3.3. Pola dan Tren Belanja masing. Porsi belanja pemerintah kabupaten/ Pemerintah Daerah kota mencapai sekitar 90 persen dari total belanja pendidikan di tiga kabupaten, yaitu Kab. Jayawijaya, Kab. Jayapura, dan Kab. Timtengsel. Sumberdaya dari Di Indonesia, jumlah total belanja pendidikan di pemerintah pusat yang bentuk dana dekonsentrasi tingkat kabupaten/kota mencapai Rp 74,4 triliun nampaknya hanya memiliki peran yang terbatas pada tahun 2005. Angka tersebut merupakan dalam sektor pendidikan di sebagian besar kabupaten, gabungan dari belanja pemerintah kabupaten/kota, kecuali Kota Manado, di mana dana dekonsentrasi dana dekonsentrasi yang dipergunakan di daerah, mengambil porsi sekitar 41 persen dari jumlah total dan belanja out-of-pocket rumah tangga untuk belanja pendidikan. Di samping itu, kontribusi out-of- pendidikan. Jumlah total belanja pendidikan telah pocket rumah tangga memiliki jumlah yang signifikan mengalami peningkatan sebesar 5,9 persen sejak dan rata-rata mencapai sekitar 20 persen dari jumlah tahun 2004. Pemerintah kabupaten/kota memberikan total belanja pemerintah kabupaten/kota di 10 bagian paling besar dari total belanja pendidikan pada kabupaten/kota yang dinilai. 24 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Gambar 3.4. Belanja pendidikan pemerintah Manado telah melakukan peningkatan yang signifikan daerah berdasarkan sumber dana di kabupaten/ pada belanja pendidikannya, yang diikuti oleh Kab. kota yang dikunjungi, 2005 Wonosobo. Belanja pendidikan meningkat dari Rp 15,0 milyar pada 2001 menjadi Rp 100,5 milyar pada 100% tahun 2006 untuk Kota Manado, sedangkan Kab. 80% Wonosobo meningkatkannya lebih dari dua kali lipat 60% pada periode yang sama. Sebaliknya, Kab. Minahasa 40% mengalami penurunan jumlah belanja yang signifikan, 20% dari Rp 177,2 milyar pada tahun 2001 menjadi 0% Rp 86,3 milyar pada tahun 2006 karena adanya pemekaran Kab. Minahasa menjadi empat kabupaten Ka Ka lu Ka awi Ka Ko Ka gela Na Ka jai Ko ahan Ko aha Ka b. bJ b. b. ta b. sio ura b. ta ta b. Tim Be Ja ya Ma bo Mi W Bi baru. Kab. Jayawijaya mengalami penurunan pada ay na Ma a As n ya n on l t na e p os ng do ja o s ng se tahun 2004 dan 2005 karena realisasi belanja masih l Dana dekonsentrasi Pemda Dana out of pocket Rumah tangga sangat rendah sampai dengan akhir tahun kalendar tersebut. Untuk kabupaten/kota lainnya, trennya Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD Kabupaten. relatif stabil dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar sekitar 3,5 persen. Belanja pemerintah kabupaten/kota secara agregate untuk sektor pendidikan telah meningkat Gambar 3.6. Belanja pendidikan di daerah yang secara riil sejak pelaksanaan desentralisasi pada dikunjungi, 2001-06 tahun 2001. Belanja pendidikan meningkat dari 250,000 Rp 29,3 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 35,1 200,000 triliun pada tahun 2004 dan meningkat kembali menjadi Rp 36,8 triliun pada tahun 2006. Sebagai 150,000 bagian dari jumlah total belanja, belanja pendidikan Juta rupiah menunjukkan tren penurunan dari 37 persen pada 100,000 tahun 2001 menjadi 33 persen pada tahun 2004 dan 50,000 28 persen pada tahun 2006. Penurunan pada tahun 2005 dan 2006 mungkin disebabkan oleh keberadaan 0 an a ra do o sa jai lu g el jay ob lan pu ah Be gs bantuan pemerintah pusat melalui program BOS yang na ha Bin os wi ya As ten ge Me na b. ya on ta Ja Ma Ka Mi Tim b. Ko Ja ta W Ka b. Ko b. dimulai pada bulan Juli 2005. ta b. b. Ka b. Ka Ko Ka Ka Ka 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Gambar 3.5. Belanja Pendidikan dan persentasenya dari total belanja , 2001-06 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten (harga tahun 2002). 40,000 38 35,000 36 30,000 34 Dalam hal porsi sektor pendidikan dari total 32 belanja, tren yang ada di antara ke-10 kabupaten/ Milyar rupiah 25,000 30 Persen 20,000 28 kota tersebut beragam. Pada umumnya, setidak- 15,000 10,000 26 tidaknya satu kabupaten/kota dari setiap provinsi telah 24 5,000 22 mengalami penurunan dalam alokasi anggarannya 0 20 untuk sektor pendidikan. Penurunan tertajam dialami 2001 2002 2003 2004 2005 2006 oleh Kab. Minahasa, yang juga mengalami penurunan Total belanja pendidikan % dari total belanja terbesar dalam jumlah total belanjanya. Porsi untuk sektor pendidikan dari jumlah total belanja turun dari Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD Kabupaten (harga tahun 2002). 52,6 persen pada tahun 2001 menjadi 35,1 persen pada tahun 2006. Sebaliknya, Kota Manado, yang Sebagian besar dari kabupaten/kota yang berada di provinsi yang sama dengan Kab. Minahasa, dikunjungi telah meningkatkan belanjanya mengalami peningkatan yang signifikan dalam alokasi untuk sektor pendidikan sejak pelaksanaan anggarannya untuk sektor pendidikan, dari 8,2 persen desentralisasi, kecuali Kab. Minahasa. Kota pada tahun 2001 menjadi 42,1 persen pada tahun Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 25 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah 2004, dan kemudian menjadi 30,2 persen pada tahun Rp.200.000. Kab. Asahan memiliki angka kemiskinan 2006. Kab. Jayapura juga mengalami peningkatan yang relatif rendah, sebesar 12 persen, sedangkan dalam alokasinya untuk sektor penddikan, sementara Kab. Wonosobo memiliki angka kemiskinan lebih Kab. Jayawijaya menagalami tren yang sebaliknya. dari 30 persen. Meskipun diperlukan penelitian lebih Kab. Belu di NTT menunjukkan pola alokasi yang stabil lanjut, gambaran singkat ini menunjukkan bahwa terkait dengan belanjanya untuk sektor penddikan, belanja pendidikan per kapita belum tentu lebih tinggi dalam kisaran yang sempit dari 31 sampai dengan 36 di kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan persen antara tahun 2001 dan 2006. yang lebih rendah. Tabel 3.5. Belanja pendidikan sebagai bagian dari total belanja di daerah yang dikunjungi, 2001-06 Persen Kabupaten/kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Kab. Asahan 50,0 45,3 45,5 45,5 44,9 39,9 Kota Binjai 21,7 29,5 31,2 32,8 31,0 26,3 Kab. Wonosobo 32,8 40,9 35,0 40,9 40,3 37,0 Kota Magelang 35,9 29,9 35,4 34,1 36,0 30,6 Kab. Minahasa 52,6 61,0 56,0 49,6 38,3 35,1 Kota Manado 8,2 36,6 10,2 42,1 37,6 30,2 Kab. Timtengsel 41,4 35,7 34,0 22,8 38,3 35,7 Kab. Belu 35,8 30,7 34,8 35,0 35,8 32,2 Kab. Jayawijaya 22,0 18,7 17,6 23,6 20,5 17,8 Kab. Jayapura - 6,2 7,2 21,7 22,7 14,0 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. Sebagian besar kabupaten/kota yang dikunjungi memiliki belanja pendidikan per kapita yang lebih tingi dari rata-rata nasional. Kab. Jayapura di Papua memiliki belanja per kapita tertinggi untuk pendidikan yang besarnya hampir Rp.800.000 per orang. Kab. Asahan di Sumatera Utara dan Kab. Wonosobo di Jawa Tengah memiliki jumlah belanja per kapita yang paling rendah yang hanya sedikit di atas Gambar 3.7. Belanja pendidikan per kapita di 10 daerah yang dikunjungi, 2006 Kab. Jayapura Kota Magelang Kab. Minahasa Kab. Jayawijaya Kota Menado Kab. Timtengsel Kota Binjai Kab. Belu National Kab. Wonosobo Kab. Asahan 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 (Rp’000) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS, SIKD/Depkeu dan data APBD Kabupaten. 26 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah 3.4. Komposisi Ekonomi dan Belanja pendidikan untuk pegawai menyerap sebagian besar dari fungsi rutin baik secara Program keseluruhan maupun di kabupaten/kota yang dikunjungi. Pada tahun 2006, belanja pegawai Sebagian besar belanja pendidikan pemerintah mencapai 90 persen dari belanja rutin untuk kabupaten/ kabupaten merupakan belanja rutin, sehingga kota di Indonesia. Di sebagian besar kabupaten/kota menyisakan ruang yang terbatas untuk belanja yang dikunjungi angka yang didapati hampir sama, pembangunan di tingkat kabupaten atau kota.4 di mana lebih dari 95 persen dari sumber rutin untuk Rata-rata, sejak tahun 2001 sampai dengan 2006, sektor pendidikan digunakan untuk pegawai. Untuk belanja rutin untuk semua kabupaten/kota di Indonesia Kab. Minahasa, Kab. Asahan, dan Kota Manado, mencapai 87 persen dari total belanja pendidikan. belanja pegawai mencapai hampir 100 persen dari Akan tetapi, meskipun memiliki porsi yang relatif kecil belanja rutin. Belanja barang dan jasa untuk seluruh dari total belanja, belanja pembangunan mengalami kabupaten/kota dan semua kabupaten/kota yang peningkatan yang signifikan dari Rp 3,0 triliun pada dikunjungi masing-masing mencapai hampir 4 persen tahun 2001 menjadi Rp 9,7 triliun pada tahun 2007. dan kurang dari belanja rutin. Tren yang serupa nampak di kesepuluh kabupaten/ kota yang dikunjungi. Lebih dari 90 persen dari Terdapat pengamatan yang mengkhawatirkan belanja pendidikan dialokasikan sebagai belanja rutin terkait dengan tingkat belanja operasional di Kab. Asahan pada periode 2001-05. Akan tetapi, dan perawatan, yang jumlahnya kurang dari 1 peningkatan belanja pembangunan didapati di Kab. persen dari belanja rutin pendidikan. Kecilnya Wonosobo, Kota Magelang, dan Kab. Belu, sedangkan jumlah alokasi untuk fungsi ini jauh dari memadai Kota Manado dan Kab. Jayawijaya mengalami untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. penurunan alokasi untuk belanja pembangunan. Nampaknya sebagian besar kabupaten/kota masih Kab. Timtengsel menunjukkan pola alokasi yang mengandalkan bantuan pemerintah pusat dan provinsi relatif konstan, dengan alokasi rata-rata sebesar 13.3 untuk keperluan perawatan, atau mengklasifikasikan persen untuk pembangunan pada periode 2001-05. belanja tersebut ke dalam kategori lainnya. Tabel 3.6. Komposisi belanja rutin dan pembangunan untuk sektor pendidikan, 2001-05 Persen 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Kabupaten Rtn Pem Rtn Pem Rtn Pem Rtn Pem Rtn Pem Rtn Pem Kab. Asahan 93,0 7,0 92,6 7,4 92,6 7,4 93,1 6,9 96.5 3.5 89.5 10.5 Kota Binjai 89,0 11,0 91,0 9,0 84,1 15,9 91,1 8,9 90.3 9.7 89.2 10.8 Kab. Wonosobo 96,7 3,3 92,5 7,5 88,5 11,5 84,2 15,8 90.7 9.3 87.8 12.2 Kota Magelang 97,2 2,8 92,7 7,3 71,2 28,8 87,7 12,3 88.2 11.8 94.2 5.8 Kab. Minahasa 98,2 1,8 99,9 0,02 98,9 1,1 96,8 3,2 88.6 11.4 84.8 15.2 Kota Manado 83,2 16,8 98,8 1,2 91,8 8,2 96,4 3,6 96.0 4.0 92.7 7.3 Kab. Timtengsel 87,1 12,9 90,5 9,5 89,5 10,5 84,4 15,6 82.2 17.8 77.0 23.0 Kab. Belu 95,4 4,6 94,5 5,5 86,1 13,9 87,2 12,8 87.8 12.2 84.2 15.8 Kab. Jayawijaya 68,5 31,5 76,9 23,1 86,9 13,1 97,9 2,1 90.7 9.3 75.2 24.8 Kab. Jayapura - - 51,3 48,7 45,8 54,2 92,1 7,9 80.1 19.9 74.1 25.9 All districts Indonesia 89,3 10,7 86,9 13,1 87,1 12,9 88,9 11,1 86.1 13.9 81.3 18.7 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. 4 Bank Dunia 2007(b) mengindikasikan bahwa meskipun tanggung jawab atas pendidikan secara formal telah dialihkan kepada pemerintah pusat berdasarkan desentralisasi, sebagian besar anggaran pembangunan untuk pendidikan masih dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 27 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Gambar 3.8. Komposisi ekonomis belanja rutin di daerah yang dikunjungi, 2006 100% 80% 60% 40% 20% 0% for ya o g sa lu l do an h jai ob lan ura na ija Be um a ha na ah Bin os sio an ng ge aw ap na b. kN Me As on Na Ma lat r Te Jay Ka ta Jay Mi W b. Bia Ko ta ta b. Ka b. b. b. u Ko Ko Ka Ka b. Tim Ka Ka Ka Se b. Ka Personel Barang Pemeliharaan Perjalanan Lain-lain Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. anggaran secara penuh adalah lambatnya proses Tingkat penyerapan anggaran pada umumnya persetujuan APBD. Sampai dengan tahun fiskal 2007, tinggi untuk belanja rutin, sementara penyerapan banyak pemerintah kabupaten/kota yang tidak dapat anggaran pembangunan kurang optimal. Di tiga memperoleh persetujuan atas APBD-nya sebelum dari 10 kabupaten/kota yang dikaji, tingkat penyerapan tanggal 1 Januari. Hal tersebut dapat menghambat anggaran pembangunan belum mencapai 90 persen. pencairan belanja modal dan mengakibatkan proyek- Salah satu faktor yang dapat menghambat penyerapan proyek berjalan tidak sesuai jadwal. Tabel 3.7. Rencana vs. realisasi anggaran di daerah yang dikunjungi, 2005 Juta Rp Belanja Rutin Belanja Pembangunan Kabupaten Rencana Realisasi % Realisasi Rencana Realisasi % Realisasi Kab. Asahan 169.597,7 169.389,8 99,9 6.358,8 6.165,2 97,0 Kota Binjai 56.260,3 543,32,0 96,6 5.819,1 5.808,6 99,8 Kab. Wonosobo 131.356,5 122.133,4 93,0 12.637,4 12.580,8 99,6 Kota Magelang 59.860,4 54.670,5 91,3 8.760,9 7.348,7 83,9 Kab. Minahasa 89.064,5 88.447,5 99,3 11.425,3 11.425,0 100,0 Kota Manado 108.452,8 108.338,4 99,9 5.672,0 4.526,3 79,8 Kab. Timtengsel 84.365,9 86.648,1 102,7 19.641,3 18.720,5 95,3 Kab. Belu 75.116,1 74.685,0 99,4 15.544,6 10.344,0 66,5 Kab. Jayawijaya 50.683,8, 46.436,1 91,6 5.119,5 4.745,0 92,7 Kab. Jayapura 50.586,8 50.133,2 99,1 12.490,0 12.490,0 100,0 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. 28 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Kotak 3.1. Apa yang mendorong pola belanja pendidikan? Pola yang konsisten di seluruh kabupaten/kota terkait dengan tingginya porsi gaji sebagian didorong oleh tiga faktor yaitu: (i) bertambahnya jumlah guru, (ii) guru-guru yang sudah ada sejak era sentralisasi, dan (iii) mobilitas guru kurang fleksibel. Pertambahan jumlah guru nampaknya didasarkan pada persepsi yang subjektif bahwa jumlah guru di sekolah-sekolah di tingkat kabupaten/kota masih kurang. Berdasarkan survei penerimaan dan penempatan guru yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2005, 74 dari 276 sekolah dasar yang mengaku kekurangan guru sebenarnya memiliki jumlah guru yang berlebihan berdasarkan rumus kebutuhan guru yang berlaku. Persepsi umum tersebut mungkin juga menjelaskan bertambahnya jumlah guru di kabupaten/kota di Indonesia serta di kabupaten/kota yang dikunjungi, di mana rata-rata kabupaten/kota tersebut memiliki tingkat pertumbuhan jumlah guru sebesar 5 persen antara tahun 2004 dan 2006. Besarnya jumlah guru PNS yang diwarisi dari era sentralisasi turut menimbulkan masalah kelebihan jumlah guru. Sebelum era desentralisasi, guru ditugaskan di sekolah-sekolah sejalan dengan perluasan program Inpres. Akan tetapi, dengan merosotnya angka kelahiran, kebutuhan sekolah dasar telah menurun dan beberapa kabupaten/kota bahkan telah melebur beberapa sekolahnya, sehingga jumlah guru berlebihan. World Bank Education Sector Review (2005) mengindikasikan bahwa sebelum desentralisasi, Indonesia telah memiliki lebih dari 2 juta guru untuk seluruh sistem sekolah di Indonesia. Dari angka tersebut, 93 dan 62 persen yang ditugaskan di sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama adalah PNS. Pengalihan tanggung jawab di era desentralisasi membuat kabupaten/kota harus menanggung biaya gaji yang besar untuk untuk guru PNS yang dipekerjakan pada era sentralisasi. Fakta bahwa guru PNS dipekerjakan berdasarkan peraturan kepegawaian nasional membuat pemerintah kabupaten/kota tidak dapat berbuat banyak dalam penerimaan dan penempatan guru. Penentuan jumlah guru yang tepat terhalang oleh fakta bahwa masih terdapat ambiguitas tentang siapa yang bertanggung jawab atas penerimaan dan penempatan guru di semua pemerintahan di seluruh Indonesia. Akan tetapi PP No. 38/2007 mengenai hubungan antar pemerintah serta fungsi dan peran daerah diharapkan dapat memperjelas tentang tanggung jawab atas penerimaan dan penempatan guru. Analisa belanja di tingkat program menunjukkan rencana anggarannya untuk program-program bahwa kabupaten/kota memiliki prioritas yang tersebut, yang mencakup kegiatan-kegiatan seperti beragam, namun pada tahun 2006 sebagian kompetisi sains, program pengembangan matematika besar kabupaten/kota mentargetkan pada dan program-program latihan, serta dukungan untuk Program Pengembangan Prasarana dan Sarana penyusunan ujian akhir sekolah. Pendidikan, serta Program Pendidikan Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar. Lima dari sepuluh Alokasi anggaran untuk program pengembangan kabupaten/kota mengalokasikan 50 persen atau kapasitas dan pengembangan pendidikan lebih dari anggaran non-gajinya untuk Program pegawai, program pengelolaan kelembagaan, Prasarana dan Sarana Pendidikan. Kab. Wonosobo serta program perencanaan, pelaksanaan, memiliki alokasi terkecil untuk program tersebut, pemantauan dan evaluasi masih tetap rendah. namun ini terutama karena kabupaten tersebut Alokasi untuk program pengembangan kapasitas mengklasifikasikan alokasinya untuk prasarana guru dan tenaga pendidikan berkisar antara 1 sampai dan sarana dalam program pendidikan dasar dan dengan 14 persen dari anggaran non-gaji. Kab. pendidikan menengah. Alokasi terbesar kedua Minahasa hampir tidak memiliki alokasi anggaran pada tingkat program setelah prasarana dan sarana utnuk program tersebut, sementara Kota Binjai di sebagian besar kabupaten/kota adalah untuk mengalokasikan sampai dengan 14 persen. Terdapat program pendidikan pra-sekolah dan pendidikan kecenderungan di mana kota mengalokasikan porsi dasar yang fokus pada pengembangan kapasitas yang lebih besar untuk program-program tersebut dan peningkatan kualitas. Kabupaten/kota yang dibandingkan kabupaten, kecuali Kab. Belu. Program dikunjungi di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan pengelolaan kelembagaan dan organisasional Sulawesi Selatan mengalokasikan lebih dari seperlima mendapatkan alokasi yang lebih rendah, dan Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 29 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah nampaknya tidak termasuk dalam daftar prioritas. kota dari yang menggunakan klasifikasi ‘rutin’ dan Nampaknya alokasi untuk program tersebut kurang ‘pembangunan’ menjadi kategori belanja ‘aparat’ dari 1,0 persen dari anggaran di semua kabupaten yang dan ‘publik’. Format belanja berdasarkan Kepmen dikunjungi. Hasil yang serupa juga ditemukan ketika No. 29/2002 sangat mempengaruhi struktur belanja, menganalisis program perencanaan, pelaksanaan, sedangkan struktur pendapatan sebagian besar masih pengawasan dan evaluasi, yang mencakup kegiatan- sama. Dengan format ini, fokus belanja terletak kegiatan seperti pengumpulan data dan koordinasi, pada penerima manfaat bukan pada program dan penyusunan rencana kerja, sosialisi rencana strategis proyek. Akan tetapi, alokasi belanja yang besar untuk pendidikan, dll. Sebagian besar kabupaten/kota kategori publik telah menimbulkan klasifikasi yang mengalokasikan kurang dari 1 persen, kecuali Kota agak bias, karena sebagian besar kabupaten/kota Magelang dan Kab. Timtengsel, yang masing-masing mengkategorisasikan belanjanya berdasarkan persepsi mengalokasikan 5 dan 6 persen dari rencana anggaran subjektif bahwa pendidikan merupakan bagian dari non-gaji. layanan masyarakat. Klasifikasi sektor pendidikan Gambar 3.9. Komposisi program di daerah yang dikunjungi, 200 100% Program Evaluasi Pengembangan Perencanaan Pelaksanaan, Pengawasan Pendidikan Program Pelaksanaan Skor Kredit, Klarifikasi 80% Administrasi, Mutasi, Pensiun & Kematian Program Pengembangan Remaja & Olah Raga Program Pengembangan Seni & Budaya 60% Program Beasiswa Program Pengelolaan Kelembagaan & Organisasi 40% Program Perluasan & Peningkatan Kualitas Akreditasi SNP Program Pengembangan Kompetensi 20% guru & Tenaga Pendidikan Program Pengembangan Sarana & 0% Prasarana Pendidikan Kota Magelang Kota Manado Kab. Wonosobo Kab. Minahasa Kab. Timtengsel Program Peningkatan Akses ke Kota Binjai Kab. Asahan Kab Jayawijaya Kab. Jayapura Kab. Belu Pendidikan Non-Formal Program Pengembangan Pendidikan Menengah Program Pengembangan Pendidikan Pra-Sekolah & Dasar Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data DASK dan LAKIP kabupaten 2006. Dengan format anggaran ‘publik’ dan yang tidak konsisten di antara kabupaten/kota ‘aparat’, sebagian besar kabupaten/kota yang berdasarkan Kepmen 29/2002 sebagian disebabkan dikunjungi menghabiskan porsi yang besar oleh pedoman yang tidak jelas dan definisi yang dari belanja pendidikannya untuk kategori kabur tentang apa saja yang termasuk belanja publik publik.5 Dikeluarkannya Kepmen No. 29/2002 telah dan belanja aparat. mengubah format anggaran pemerintah kabupaten/ 5 Untuk keperluan analisis rangkaian waktu, yang diterapkan dalam kajian ini adalah klasifikasi berdasarkan belanja rutin dan pembangunan bukan klasifikasi publik dan aparat. 30 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Tabel 3.8. Belanja publik dan aparat untuk pendidikan Persen 2005 2006 Kabupaten Aparat Publik Bant, Keu Total Aparat Publik Bant. Keu Total Kab. Asahan 96,58 3,39 0,03 100,0 89,73 10,27 - 100,0 Kota Binjai 90,42 9,58 - 100,0 89,85 10,15 - 100,0 Kab. Wonosobo - 97,61 2,39 100,0 - 97,48 2,52 100,0 Kota Magelang 11,32 88,68 - 100,0 13,70 86,30 - 100,0 Kab. Minahasa 2,05 97,95 - 100,0 3,09 96,91 - 100,0 Kota Manado - 100,00 - 100,0 - 100,00 - 100,0 Kab. Timtengsel 14,62 85,38 - 100,0 17,02 82,98 - 100,0 Kab. Belu 0,61 99,39 - 100,0 0,77 99,23 - 100,0 Kab. Jayapura 85,49 14,51 - 100,0 74,15 25,85 - 100,0 Kab. Jayawijaya 89,90 10,10 - 100,0 75,21 24,79 - 100,0 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. Komponen administrasi umum mendapatkan untuk kategori belanja publik, porsi tersebut sebagian alokasi terbesar baik dalam kategori aparat besar dipergunakan untuk administrasi umum dan maupun publik. Rata-rata, administrasi umum hanya mensisakan porsi yang kecil untuk modal. mencapai lebih dari 55 persen dari belanja untuk kategori aparat dan publik. Secara rata-rata, operasional dan perawatan hanya mencapai 6 persen 3.5. Belanja Rumah dari belanja aparat dan 25 persen dari kategori belanja Tangga publik. Akan tetapi, Kab. Asahan dan Kota Binjai di Sumatera Utara, serta Kab. Jayapura di Papua, menghabiskan sebagian besar dari kategori belanja Di tingkat nasional, belanja out-of-pocket “publik” untuk operasional dan perawatan serta kabupaten memberikan kontribusi yang sangat belanja modal. Belanja modal merupakan proporsi besar dalam jumlah total belanja pendidikan dan terkecil, dengan jumlah rata-rata kurang dari 1 persen mengalami peningkatan sebesar 32 persen antara untuk belanja aparat dan sekitar 15 persen untuk tahun 2004 dan 2005. Menurut data Governance kategori belanja publik. Secara keseluruhan, meskipun and Decentralization Survey (GDS), sebagian besar dalam belanja pendidikan terdapat porsi yang besar belanja rumah tangga untuk sekolah lanjutan Gambar 3.10. Perincian belanja publik dan aparat di 10 daerah yang dikunjungi, 2006 100% 100% 90% 80% 80% 70% 60% 60% 50% 40% 40% 30% 20% 20% 10% 0% 0% Kab. Asahan Kota Binjai Kota Kab. Kab. Kab. Belu Kab. Kab. Kota Binjai Kab. Kota Kab. Kota Kab. Kab. Belu Kab. Asahan Wonosobo Magelang Minahasa Menado Timtengsel Jayapura Magelang Minahasa Timtengsel Jayawijaya Admin umum Pelaksanaan & Pemeliharaan Modal Admin umum Pelaksanaan & Pemeliharaan Modal Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan data APBD kabupaten. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 31 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah pertama dan sekolah lanjutan atas dipergunakan peningkatan dalam belanja rumah tangganya antara untuk pembelian buku, alat tulis dan transportasi. tahun 2005 dan 2006. Penurunan yang signifikan Belanja untuk biaya pendaftaran dan SPP relatif kecil, yang dialami oleh ketiga kabupaten/kota tersebut di mungkin karena dampak dari program BOS, yang atas kemungkinan merupakan dampak dari program memberikan bantuan dari pemerintah pusat secara beaSISWAyang diberikan oleh pemerintah kabupaten/ langsung kepada sekolah-sekolah. Menurut Aran kota, yang merupakan tambahan untuk dana bantuan (2007), dari jumlah rumah tangga yang memiliki dari program BOS yang diberikan oleh pemerintah sekurang-kurangnya saru orang anak yang bersekolah pusat. di SD yang menerima BOS, 72,6 persen melaporkan bahwa SPP yang harus mereka bayar dikurangi pada tahun ajaran 2004-05, sementara di tingkat SLTP 82,6 persen rumah tangga yang memiliki anak yang bersekolah di SLTP yang menerima BOS melaporkan adanya pemotongan jumlah SPP. Gambar 3.11. Belanja out-of-pocket rumah tangga di daerah yang dikunjungi, 2004-06 60,000 2004 2005 2006 50,000 40,000 Juta rupiah 30,000 20,000 10,000 0 Kab. Kota Binjai Kab. Kota Kab. Kota Kab. Kab. Belu Kab. Kab. Asahan Wonosobo Magelang Minahasa Menado Timtengsel Jayawijaya Jayapura Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/BPS. Sebagian besar dari 10 kabupaten/kota yang dikunjungi, belanja out-of-pocket rumah tangga 3.6. Belanja di Tingkat Sekolah menurun pada tahun 2006 dibandingkan tahun sebelumnya. Dua kabupaten/kota di Sulawesi Anggaran sekolah terdiri atas pendanaan yang Utara dan satu kota di Sumatera Utara mengalami berasal dari berbagai sumber, di mana porsi penurunan yang signifikan pada belanja out-of- terbesarnya berasal dari program BOS yang pocket antara tahun 2004 dan 2006. Belanja rumah baru diluncurkan belum lama ini. Program BOS tangga di Kab. Minahasa merosot secara riil dari mulai dilaksanakan pada bulan Juli 2005 dan dana Rp 51,7 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp 11,8 yang disalurkan melalui program ini secara langsung milyar pada tahun 2006, sementara belanja yang ditransfer dari pemerintah pusat ke rekening bank dikeluarkan oleh rumah tangga di Kota Manado masing-masing sekolah. Dana tersebut dimaksudkan berkurang sebesar 64 persen dari Rp 42,9 milyar pada untuk menekan atau menghapuskan biasa SPP, tahun 2004 menjadi hanya Rp 45,5 milyar pada tahun sambil tetap mempertahankan kualitas pendidikan. 2006. Belanja out-of-pocket turun dari Rp 22,7 milyar Menurut pedoman program BOS, biaya operasional pada tahun 2004 menjadi Rp 7,8 milyar pada tahun dapat mencakup biaya pendaftaran SISWAbaru, 2006 untuk Kota Binjai. Kab. Asahan dan Kab. Belu buku pelajaran dan buku bacaan, alat tulis, ujian, menunjukkan pola yang relatif stabil di tingkat rumah pengembangan dan pelatihan guru, perawatan tangga, walaupun terdapat sedikit penurunan pada sekolah, biaya transportasi untuk SISWAmiskin, gaji tahun 2006 dibandingkan tahun sebelumnya. Hanya guru honorer, serta biaya listrik, air dan telepon. Kab. Jayapura dan Kab. Jayawijaya yang mengalami 32 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah Sebelum pelaksanaan BOS, porsi terbesar dari tahun 2007. Dengan memberikan bantuan untuk anggaran sekolah berasal dari pemerintah biaya operasional sekolah serta menurunkan atau kabupaten/kota dan sumbangan orang tua bahkan menghapuskan biaya sekolah, program BOS murid/masyarakat. Pada tahun 2006, BOS diharapkan akan mendorong anak-anak dari keluarga mengambil porsi lebih dari 50 persen dari anggaran miskin untuk bersekolah dan dengan demikian sekolah secara rata-rata. Di SDN 1 Kalijajar dan SDN 1 membantu menyukseskan program pemerintah untuk Candimulyo — sekolah yang dikunjungi yang berlokasi pendidikan dasar sembilan tahun. di Kab. Wonosobo di Jawa Tengah — program BOS mengambil porsi masing-masing sampai dengan 82 Terkait dengan penggunaan dana BOS, ditemukan dan 91 persen dari jumlah total anggaran sekolah bahwa sekolah menggunakan sebagian besar pada tahun 2006. dana tersebut untuk investasi yang bertujuan untuk ‘peningkatan kualitas’ dibandingkan Semua sekolah negeri dan swasta di Indonesia untuk ‘peningkatan akses’. Data yang dikumpulkan berhak untuk mengajukan permohonan untuk dalam GDS 2 memuat tanggapan dari kepala sekolah menerima BOS dan menurut penilaian kuantitatif dan komite sekolah tentang penggunaan dana BOS berdasarkan data GDS 2 cakupan program BOS di tingkat sekolah. Menurut data tersebut, di tingkat sangat luas. Dalam sampel yang digunakan dalam SD 95,4 persen dari kepala sekolah melaporkan GDS 2, hanya satu dari 1.251 SD dan SLTP yang bahwa dana BOS digunakan untuk buku pelajaran tidak menerima BOS (atau tidak tahu apakah mereka dan alat tulis, 74,5 persen melaporkan bahwa dana telah menerima BOS). Selain itu, menurut data panel tersebut digunakan untuk perawatan sarana sekolah, Susenas, 74,2 percent dari rumah tangga yang memiliki 71,1 persen melaporkan bahwa dana tersebut anak yang bersekolah di SD dan 64,6 persen dari digunakan untuk honor dan gaji guru, dan hanya rumah tangga yang memiliki anak yang bersekolah sekitar 46,5 persen yang mengatakan bahwa dana di SLTP mengira bahwa sekurang-kurangnya satu tersebut digunakan untuk membantu SISWAmiskin. dari sekolah tempat anaknya belajar telah menerima Persentase SLTP yang melaporkan bahwa mereka BOS.6 Terdapat beberapa perbedaan berdasarkan membantu SISWAmiskin dengan menggunakan dana daerah terkait dengan cakupan BOS: sebagai contoh, BOS lebih tinggi, di mana 56,7 persen kepala sekolah sementara di Jawa dan Bali 77,8 persen dari rumah melaporkan bahwa dana tersebut digunakan untuk tangga yang memiliki anak yang bersekolah di SD memberikan bantuan untuk SISWAmiskin. (dan 67,3 persen dari rumah tangga yang memiliki anak yang bersekolah di SLTP) melaporkan bahwa Kebutuhan yang ditentukan di tingkat sekolah sekolah tempat anak mereka belajar menerima BOS, cukup mencerminkan penggunaan dana BOS. di Papua hanya 37,8 persen rumah tangga yang Akan tetapi, hubungan antara kebutuhan memiliki anak yang bersekolah di SD (dan 35,5 persen sekolah dan penggunaan dana BOS kadang- rumah tangga yang memiliki anak yang bersekolah di kadang tidak jelas. Misalnya, di sekolah-sekolah SLTP) melaporkan bahwa sekolah tempat anak mereka dengan jumlah dan kualitas guru yang “memadai” belajar menerima dana BOS. sebagaimana yang dilaporkan oleh komite sekolah dan kepala sekolah, seseorang mungkin beranggapan Alokasi BOS mencakup hampir 40 juta SISWApada bahwa akan terdapat belanja yang lebih sedikit dari tahun 2007, dengan jumlah dana sebesar Rp 11,8 BOS untuk gaji guru. Akan tetapi, 67,5 persen sekolah triliun. Program BOS menyalurkan 73 persen dananya yang melaporkan memiliki jumlah tenaga pengajar ke tingkat SD dan sisanya sebesar 27 persen disalurkan yang ‘memadai’ masih memilih untuk menggunakan ke tingkat SLTP. Jumlah hibah yang diberikan kepada sebagian dari BOS untuk honor guru. sebuah sekolah ditentukan berdasarkan jumlah siswanya. Alokasi BOS per SISWAtelah bertambah Sosialisasi program yang lebih luas masih dari Rp 235.000 menjadi Rp 276.000 per SISWAper diperlukan menurut para responden dalam tahun untuk tingkat SD, dan dari Rp 324.500 menjadi survei GDS 2. Walaupun jumlah kepala sekolah yang Rp 376.000 per SISWAper tahun untuk SLTP sejak melaporkan bahwa mereka telah menerima informasi 6 Mungkin terdapat bias ke bawah dalam cakupan dari data rumah tangga apabila sosialisasi program ke rumah tangga kurang optimal. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 33 Bab 3 Belanja Pendidikan di Tingkat Daerah yang memadai cukup besar, akan tetapi 20 persen survei GDS 2, beberapa sekolah di kabupaten/kota kepala sekolah masih melaporkan bahwa sosialisasi di Bengkulu, Gorontalo, Maluku Utara, NTT, dan program BOS tidak memadai. Dari pihak orang tua, Sumatera Utara harus membayar biaya khusus untuk 79 persen responden memiliki anak yang bersekolah menerima dana tersebut, sementara beberapa sekolah di SD dan SLTP yang menerima dana BOS. Dari jumlah di beberapa kabupaten di Papua melaporkan bahwa orang tua tersebut, hanya 73 persen yang melaporkan mereka harus membayar ‘pajak’ khusus sebesar 11,5 telah menerima sosialisasi tentang uang sekolah dan persen untuk menerima dana BOS. biaya sekolah lainnya. Hal tersebut mencerminkan kebutuhan dan permintaan akan sosialisasi program Di lima kabupaten/kota yang dikunjungi yang yang lebih banyak kepada sekolah dan orang tua. juga dicakup dalam GDS 2, alokasi dana BOS dilaporkan sebagian besar digunakan untuk Alokasi BOS berdasarkan tingkat pendidikan buku. Secara rata-rata untuk lima kabupaten/kota untuk kabupaten/kota yang dikunjungi adalah tersebut, 95 persen dari kepala sekolah beranggapan 63 persen untuk SD dan 37 persen untuk SLTP bahwa dana tersebut bermanfaat untuk penyediaan pada tahun 2005.7 Dana BOS di kabupaten/kota buku, 71 persen melaporkan bahwa dana tersebut yang dikunjungi dialokasikan kepada lebih dari 3.500 berguna untuk meningkatkan perawatan sekolah, sekolah dan 663.000 SISWApada tahun 2005, di dan 47 persen yakin bahwa BOS telah meningkatkan mana 13 sekolah adalah sekolah luar biasa dengan akses pendidikan bagi SISWAmiskin. Beberapa jumlah total SISWAsebanyak 491 orang. Sedangkan sekolah di kelima kabupaten/kota tersebut juga telah penyaluran BOS berdasarkan kategori sekolah, secara dapat memberikan dukungan untuk pemberian biaya rata-rata sekitar 67 persen dari dana BOS dialokasikan transportasi untuk SISWAmiskin, khususnya sekolah- untuk sekolah negeri, sedangkan sisanya diberikan sekolah di Kab. Timtengsel di NTT. Walaupun sebagian kepada sekolah swasta. besar sekolah tidak mengembalikan pembayaran Tabel 3.9. Alokasi dana BOS berdasarkan tingkat dan jenis sekolah di daerah yang dikunjungi, 2005 Juta Rp Kabupaten SD SLTP Sekolah Negeri Sekolah Swasta Kab. Asahan 16.528 5.793 19.427 2.891 Kota Binjai 2.071 2.310 3.080 1.301 Kab. Wonosobo 9.943 8.800 16.496 2.247 Kab. Minahasa 3.750 1.940 3.289 2.401 Kota Manado 5.370 2.940 4.231 4.080 Kab. Belu 7.447 2.257 6.316 3.388 Kab. Timtengsel 5.640 1.693 3.562 3.771 Kab. Jayawijaya 3.135 1.292 2.876 1.552 Kab. Jayapura 1.097 1.774 2.186 685 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depdiknas (http://bos.dit-plp.go.id/aboutBOS.php). Sebagian besar kabupaten/kota yang dikunjungi yang sebelumnya telah mereka terima dari orang tua menerima BOS pada tahun 2005. Kab. Asahan SISWAatau masyarakat setelah pelaksanaan BOS, menerima alokasi terbesar, lebih dari Rp 22 milyar dalam beberapa kasus uang tersebut dikembalikan pada tahun 2005, yang disusul oleh Kab. Wonosobo baik sebagian maupun seluruhnya, bahkan meskipun sebesar Rp 18,7 milyar. Sementara itu, dua kabupaten sekolah menerima dana BOS dalam jumlah yang lebih di Papua menerima alokasi terkecil, yang sesuai dengan kecil dari yang diharapkan. jumlah SISWAdi kabupaten tersebut. Berdasarkan 7 Jumlah tersebut mencakup SD dan SLTP negeri dan swasta, namun tidak mencakup madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah. 34 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian 4.1.Prasarana dan Sarana Rehabilitasi sekolah-sekolah perlu dijadikan prioritas di tingkat kabupaten/kota, khususnya karena kondisi Pendidikan ruang kelas yang buruk mempengaruhi kualitas dan pencapaian dalam sektor pendidikan. Secara umum, kondisi prasarana pendidikan di banyak kabupaten/kota di Indonesia masih Di sebagian besar kabupaten/kota, buku teks buruk. Prasarana pendidikan yang buruk khususnya pegangan tidak selalu tersedia satu untuk terlihat pada tingkat pendidikan dasar. Pada tahun masing-masing murid. Data dari survei GDS 2 di 2006, sekitar 25 persen ruang kelas di seluruh masing-masing kabupaten/kota menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam klasifikasi rusak parah rata-rata di tingkat sekolah dasar hanya 50 persen berdasarkan penilaian Depdiknas. 30 persen lainnya murid yang memiliki satu buku Bahasa Indonesia dan masuk dalam klasifikasi rusak ringan. Kondisi sekolah- satu buku matematika, sementara di tingkat SLTP, sekolah pada tingkat SLTP dan SLTA lebih baik, akan persentase tersebut bahkan di bawah 41 persen. tetapi, diperkirakan sekitar 19 persen ruang kelas di Terkait dengan kabupaten/kota yang dikunjungi SLTP dan 10 persen ruang kelas SLTA masuk dalam yang tercakup juga dalam survei GDS 2, hanya Kab. klasifikasi rusak. Asahan dan Kab. Timtengsel yang memberikan satu buku pegangan untuk para murid. Kab. Asahan Kondisi ruang kelas yang buruk berdasarkan data memberikan satu buku Bahasa Indonesia dan satu terdapat di 10 kabupaten/kota yang dikunjungi. buku matematika untuk masing-masing murid SD, Kab. Belu dan Kab. Timtengsel di NTT memiliki sementara Kab. Timtengsel memberikan satu buku persentase tertinggi untuk ruang kelas sekolah dasar matematika per murid baik di tingkat SD maupun yang rusak berat. Sekitar 40 persen ruang kelas dalam SLTP. kedua kabupaten tersebut rusak parah dan hanya 35 persen ruang kelas dianggap memadai. Sebaliknya, Terdapat perbedaan dalam akses terhadap Kota Binjai di Sumatera Utara dan Kota Magelang sekolah di kabupaten/kota yang dikunjungi, di Jawa Tengah memiliki persentase tertinggi untuk akan tetapi semuanya menunjukkan angka ruang kelas yang kondisinya memadai, dengan lebih yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional. dari 75 persen ruang kelas berada pada kondisi yang Akses di sebagian besar kabupaten/kota sudah baik di baik. Untuk SLTP dan SLTA, sebagian besar kabupaten/ semua tingkatan sekolah, meskipun perbedaan yang kota yang dikunjungi di wilayah timur Indonesia, lebih besar ditemukan di antara kecamatan. Wilayah kecuali Kota Manado, memiliki data kondisi ruang pelayanan berkisar antara 0,2km2 sampai 40km2 kelas yang lebih buruk dibandingkan kabupaten/kota untuk tingkat SD, 1km2 sampai 212km2 untuk tingkat yang dikunjungi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. SLTP, dan 1km2 sampai 732 km2 untuk tingkat SLTA. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 35 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Sebagaimana diperkirakan, wilayah layanan yang ditemukan Kab. Minahasa, sementara jumlah yang lebih kecil ditemukan di kota-kota (Kota Binjai, Kota paling sedikit ditemukan di Kab. Jayawijaya, dengan Magelang, dan Kota Manado) karena luas geografis masing-masing 12 dan 4 SD untuk 1.000 anak usia kota tersebut lebih kecil dan memiliki lebih banyak SD. Lagi-lagi, hanya dengan empat SD untuk 1.000 sekolah-sekolah dibandingkan kabupaten. Kabupaten anak usia SD, Kab. Jayawijaya mencatat nilai yang di Papua memiliki wilayah layanan sekolah yang lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu 7 SD. Akan terluas dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kab. tetapi, distribusi sekolah lebih tidak merata pada Jayapura secara khususnya memiliki wilayah layanan tingkat kecamatan. Sebagai contoh, di Kab. Belu, yang luas dibandingkan dengan rata-rata nasional, kecamatan Malaka Barat memiliki rasio enam kali dengan SD, SLTP, dan SLTA masing-masing mencakup lebih rendah dibandingkan rasio di kecamatan Sasita wilayah seluas 148km2, 547km2, dan 1.030km2. Rata- Mean, sementara kecamatan Selomerto di Kab. rata nasional berada pada tingkat 23km2 untuk SD, Wonosobo memiliki rasio empat kali lebih tinggi dari 115km2 untuk SLTP, dan 292km2 untuk SLTA. kecamatan Mojotengah dalam kabupaten yang sama. Akan tetapi, rendahnya jumlah sekolah di beberapa Tabel 4.1. Rata-rata wilayah layanan sekolah di kabupaten dan kecamatan tidak selalu mencerminkan daerah yang dikunjungi, 2006 ketidakcukupan layanan sekolah karena beberapa sekolah memiliki jumlah murid yang terbatas. Dalam Kabupaten/kota SD SLTP SLTA hal ini, penggabungan sekolah-sekolah dan para Kab. Asahan 7 39 51 murid mungkin dapat meningkatkan efisiensi. Kota Binjai 1 2 4 Kab. Wonosobo 2 14 58 Tabel 4.2. Sekolah per 1.000 anak usia sekolah Kota Magelang 0.2 1 1 di daerah yang dikunjungi, 2006 Kab. Minahasa 3 13 43 Kota Manado 1 2 3 Kabupaten SD SLTP SLTA Kab. Belu 8 53 163 Kab. Asahan 5 2 1 Kab. Timtengsel 9 62 232 Kota Binjai 5 3 2 Kab. Jayawijaya 40 212 732 Kab. Wonosobo 5 1 1 Kab. Jayapura 148 547 1,030 Kota Magelang 6 3 2 Rata-rata Nasional 23 115 292 Kab. Minahasa 12 6 2 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil Kota Manado 6 4 2 Pendidikan Kabupaten dan data Susenas/BPS. Kab. Belu 6 2 1 Kab. Timtengsel 7 2 1 Rasio SD per 1.000 anak-anak usia SD Kab. Jayawijaya 4 3 1 menunjukkan bahwa jumlah sekolah di beberapa Kab. Jayapura 9 6 3 kabupaten/kota yang dikunjungi lebih rendah Rata-rata nasional 7 3 2 dari rata-rata nasional. Secara rata-rata, kabupaten/ Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil kota yang dikunjungi memiliki tujuh SD untuk Pendidikan Kabupaten dan data BPS. 1.000 anak-anak usia SD. Jumlah sekolah terbanyak Gambar 4.1. SD per 1.000 anak usia SD berdasarkan kecamatan in Kab. Belu dan Kab. Wonosobo, 2006 Sasita mean selomerto sukoharjo Raihat kepil Malaka tengah kalibawang Lamaknen kaliwiro Kakuluk mesak kalikajar Rinhat wadaslintang kejajar Kobalima wonosobo Tasifeto barat watumalang Tasifeto timur leksono Malaka timur kertek Atambua sapuran garung Malaka barat mojotengah 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil Pendidikan Kabupaten dan data BPS. 36 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian 4.2. Sumber Daya Manusia dalam Tabel 4.3. Rasio Guru terhadap Murid (RGM) di daerah yang dikunjungi, 2006 Pendidikan: Guru dan Murid Kabupaten/kota SD SLTP SLTA Kab. Asahan 21 15 15 Jumlah murid per ruang kelas umumnya jauh lebih Kota Binjai 22 13 12 rendah daripada standar nasional disebagian Kab. Wonosobo 19 17 13 besar kabupaten/kota). Di tingkat SD, jumlah Kota Magelang 17 15 12 murid per ruang kelas berkisar antara 16 sampai 32 Kab. Minahasa 16 13 18 murid per ruang kelas. Angka ini lebih rendah dari Kota Manado 19 12 17 batas atas sebanyak 30 sampai 40 murid per ruang Kab. Belu 17 23 42 kelas yang ditetapkan dalam standar nasional. Untuk Kab. Timtengsel 19 15 15 tingkat SLTP dan SLTA, jumlahnya juga lebih rendah, Kab. Jayawijaya 24 21 16 kecuali untuk Kab. Belu dan Kab. Jayawijaya. Kab. Kab. Jayapura 15 12 12 Belu memiliki 44 dan 47 murid per ruang kelas untuk Rata-rata nasional 19 13 13 masing-masing tingkatan SLTP dan SLTA, sementara Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil Kab. Jayawijaya memiliki 48 murid per ruang kelas di Pendidikan Kabupaten/Dinas Pendidikan dan Depdiknas. tingkat SLTP. Meskipun jumlah guru memadai di sebagian Rasio Murid terhadap Guru (RMG) di tingkat besar kabupaten/kota, terdapat alokasi guru SLTP dan SLTA di banyak kabupaten/kota yang yang sangat tidak merata di berbagai kecamatan. dikunjungi berada di atas rata-rata nasional. Di Kab. Belu, RGM bervariasi mulai dari 9 sampai 40 Secara rata-rata, kabupaten/kota yang menjadi sampel untuk tingkat SLTP dan dari 17 sampai 54 untuk memiliki RMG sebesar 19 di tingkat SD, 16 di tingkat tingkat SLTA. Untuk tingkat SD, RGM berkisar antara SLTP, dan 17 di tingkat SLTA, sementara rata-rata 15 sampai 27 di Kota Manado dan dari 12 sampai 32 di nasional berada masing-masing pada angka 19, 13, Kab. Timtengsel. Melihat lokasi geografis, kecamatan dan 13. RMG tertinggi untuk tingkat SD ditemukan dalam kota-kota memiliki variasi RGM yang relatif di Kab. Jayawijaya di Papua. Untuk tingkat SLTP dan lebih kecil dibandingkan wilayah kabupaten. Untuk SLTA, RMG tertinggi ditemukan di Kab. Belu, dengan kabupaten/kota yang dikunjungi, dua kabupaten angka 23 untuk tingkat SLTP dan 42 untuk tingkat di NTT memiliki variasi yang lebih besar di antara SLTA.Indeks Pembangunan Dunia (IPD) tahun 2006 kecamatan-kecamatannya dibandingkan dengan menunjukkan bahwa negara-negara berpenghasilan kabupaten lainnya dalam hal distribusi guru. Yang rendah dan menengah rata-rata memiliki RMG secara khusus menjadi perhatian adalah tingkat sebesar 31 untuk tingkat SD dan 24 untuk SLTP SLTA di kecamatan dalam Kab. Wonosobo dan Kab. Berdasarkan IPD, sebagian besar kabupaten/kota Belu, di mana beberapa murid tidak memiliki guru. yang dikunjungi memiliki RMG di bawah rata-rata Hal ini mungkin disebabkan karena sekolah tersebut dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah terletak di kecamatan lain karena terpencilnya lokasi dan menengah, yang mengindikasikan pasokan guru kecamatan tertentu. yang memadai untuk tingkat SD. Gambar 4.2. GMR untuk tingkat SLTP dan SLTA berdasarkan kecamatan di Kab. Belu, 2006 Kecamatan Kab. Timtengsel Kecamatan Kab. Timtengsel Kecamatan di Kab. Timtengsel (Tingkat SD) (Tingkat SLTP) (Tingkat SLTA) Nunkolo Lasiolat Kualin Mollo Utara Malaka Timur Kota Toianas Malaka Tengah Koto'olin Malaka Tengah Lamakanen Amanuban Timur Tasifeto Barat Polen Raihat Boking Tasifeto Barat Malaka Barat Amanuban Tengah Weliman Amanuban Barat Lamakanen Raimanuk Batuputih 0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 10 20 30 40 50 60 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil Pendidikan Kabupaten/Dinas Pendidikan. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 37 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Permasalahan dalam distribusi guru sebagian Kab. Minahasa dan 28 persen di Kab. Wonosobo.8 diakibatkan karena guru lebih memilih Persentase guru paruh waktu yang cukup tinggi untuk bekerja di wilayah perkotaan, yang mengarah pada biaya upah yang tinggi mengingat menyebabkan kekurangan tenaga guru di bahwa guru paruh waktu lebih mahal dibandingkan wilayah pedesaan. Menambah lebih banyak guru guru penuh waktu apabila dihitung per jam.9 tidak akan menyelesaikan permasalahan distribusi Tinjauan Belanja Publik (PER) untuk sektor pendidikan guru, sementara menilai kembali penempatan guru/ nasional (Bank Dunia, 2007a) menyatakan bahwa, staf mungkin memberikan jalan keluar yang lebih untuk meningkatkan efektivitas biaya, peningkatan baik. Pasokan guru yang diperlukan untuk tingkat SD sertifikasi guru-guru tersebut harus didorong dengan dihitung berdasarkan jumlah ruang kelas. Sebagaimana tujuan untuk mempekerjakan mereka secara penuh disebutkan dalam standar layanan minimum, setiap waktu. SD seharusnya memiliki sedikitnya enam guru kelas, satu guru olah raga, satu guru agama, dan satu Kualifikasi guru untuk tingkat SD seringkali kepala sekolah. Berdasarkan hal ini, enam dari 10 tidak memenuhi Peraturan Menteri No. 19/2005, daerah yang dikunjungi memiliki kelebihan pasokan yang mensyaratkan guru untuk memiliki gelar guru di tingkat SD, meskipun masih terdapat pasokan sarjana. Sebagian besar guru di tingkat SD hanya guru yang kurang di beberapa kecamatan. Selain itu, lulusan SLTA atau lulusan diploma II. Lebih dari 75 RGM untuk tingkat SD di sebagian besar daerah masih persen guru di dua kabupaten di NTT dan sekitar 60 setengah dari sasaran RGM 40:1 yang diindikasikan persen guru di dua kabupaten/kota di Sulawesi Utara dalam standar layanan minimum. Apabila ditambah adalah lulusan SLTA. Secara rata-rata kabupaten/ lebih banyak guru, hal ini perlu direncanakan secara kota menunjukkan bahwa hanya 12 persen guru SD hati-hati dengan memperhatikan lokasi geografis dan memiliki gelar sarjana. Persentase guru dengan gelar mempertimbangkan keadaan-keadaan lainnya yang sarjana lebih tinggi di tingkat SLTP dan SLTA. Di tingkat dapat mempengaruhi jumlah murid dari waktu ke SLTP, guru dengan gelar sarjana mencapai lebih dari waktu. Suatu mekanisme untuk merelokasi guru dari 70 persen di Kota Binjai dan Kab. Wonosobo. Akan wilayah yang memiliki pasokan berlebih ke daerah tetapi, 33 persen guru tingkat SLTP di Kab. Timtengsel pedesaan atau yang mengalami kekurangan pasokan hanyalah lulusan SLTA. Persentase lulusan sarjana harus didukung, bersama dengan suatu mekanisme jauh lebih tinggi di tingkat SLTA, dengan rata-rata 82 yang memungkinkan sekolah-sekolah untuk persen guru memiliki gelar sarjana. Daerah dengan digabungkan dalam satu wilayah geografis tertentu. angka tertinggi untuk guru yang telah menyelesaikan Gambar 4.3. Kelebihan dan kekurangan pasokan guru SD berdasarkan daerah dan kecamatan, 2006 Kabupaten % Kecamatan 120 1000 Kelebihan/kekurangan pasokan guru 100 80 500 60 40 0 20 0 -500 -20 -40 -1000 -60 -1500 -80 Kab Timtengsel Kab Jayawijaya Kab Wonosobo Kota Manado Kota Binjai Kota Magelang Kab Biak Numfor Kab Belu Kab Asahan Kab Minahasa -100 Kab Kab Kota Kab Belu Kota Binjai Kab Kota Timtengsel Wonosobo Manado Asahan Magelang % Kecamatan yang kelebihan pasokan guru % Kecamatan yang kekurangan pasokan guru Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil Pendidikan Kabupaten/Dinas Pendidikan. 8 Guru paruh waktu didefinisikan sebagai guru dengan jam Kelebihan pasokan guru akan secara khusus mengajar kurang dari 24 jam per minggu berdasarkan berdampak pada anggaran pendidikan dalam hal persyaratan jam mengajar minimum dalam Undang-Undang komposisi guru paruh waktu dan penuh waktu. No. 14/2005 mengenai Guru dan Dosen. Angka diperkirakan Persentase guru paruh waktu mencapai 11 persen di menggunakan data Sakernas/BPS. 9 Informasi lebih lanjut mengenai upah guru paruh waktu dalam Bank Dunia, 2007a. 38 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian gelar sarjana ditemukan di Kota Magelang, Central Survei GDS menunjukkan bahwa angka Java. Secara umum, tidak ada kabupaten/kota yang ketidakhadiran guru di kabupaten/kota contoh memenuhi standar layanan minimum dalam hal relatif rendah. Data untuk empat kabupaten/kota kualifikasi guru. Berdasarkan Peraturan No. 19/2005, yang dikunjungi yang juga tercakup dalam survei GDS 90 persen dari guru diwajibkan untuk memiliki gelar menunjukkan bahwa persentase ketidakhadiran guru sarjana, sementara tiga tingkat pendidikan di semua terhadap jumlah keseluruhan guru di sekolah kurang kabupaten/kota yang dikunjungi masih berada dari 10 persen. Tingkat yang paling rendah ditemukan di bawah persyaratan tersebut. Kab. Wonosobo di Kota Manado, yang mana hampir tidak ada guru ditemukan sebagai kabupaten yang paling mendekati yang tidak hadir, sementara tingkat yang relatif tinggi persyaratan tersebut untuk tingkat SLTA, yang mana ditemukan di Kab. Jayawijaya, dengan 32 persen guru 89,4 persen guru memiliki sedikitnya gelar sarjana. SD dan 29 persen guru SLTP tidak hadir selama jam sekolah. Alasan ketidakhadiran yang diberikan adalah Gambar 4.4. Kualifikasi guru di daerah yang keterlibatan dalam tugas-tugas di luar sekolah, sakit, dikunjungi, 2006 cuti, atau mengurusi usaha pribadi lainnya. Survei SD terhadap penempatan dan pengangkatan guru menunjukkan bahwa tingkat ketidakhadiran guru 100% 80% sebesar 19 persen di tingkat nasional. 60% 40% 20% 0% 4.3. Pengeluaran Pendidikan, Asahan Kota Binjai Wonosobo Magelang Minahasa Manado Kab. Belu Timtengsel Kab. Kota Capaian, dan Kemerataan Kota Kab. Kab. Kab. <=SLTA D-I D-II D-III S1 S2 Pendidikan SLTP 100% 4.3.1. Capaian Pendidikan 80% 60% Angka partisipasi sekolah murni (APM) untuk 40% SD di sebagian besar daerah yang dikunjungi 20% 0% mendekati tingkatan universal, kecuali untuk Asahan Kota Binjai Wonosobo Magelang Minahasa Manado Kab. Belu Timtengsel Kab. Jayawijaya. Kab. Jayawijaya tertinggal di Kab. Kota Kota Kab. Kab. Kab. belakang kabupaten lainnya dengan rata-rata angka partisipasi sekolah sebesar 74 persen di tahun <=SLTA D-I D-II D-III S1 S2 2006. Angka partisipasi sekolah menunjukkan tren SLTA yang relatif stabil menuju angka partisipasi sekolah 100% dasar universal di sebagian besar kabupaten/kota. 80% Kab. Timtengsel dan Kab. Jayawijaya mengalami 60% peningkatan yang paling signifikan, sementara Kab. 40% Jayawijaya masih tertinggal jauh. Angka partisipasi 20% sekolah saat ini di Kab. Jayawijaya berarti bahwa 0% kabupaten ini merupakan satu dari hanya tujuh Asahan Kota Binjai Wonosobo Magelang Minahasa Manado Kab. Belu Timtengsel Kab. Kota Kota Kab. kabupaten dari 451 kabupaten/kota di Indonesia Kab. Kab. dengan APM di bawah 80 persen, semuanya terletak <=SLTA D-I D-II D-III S1 S2 di Papua. Hal ini menunjukkan bahwa sementara Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan berbagai Profil sebagian besar daerah di Indonesia hampir mencapai Pendidikan Kabupaten/Dinas Pendidikan. angka partisipasi sekolah universal untuk tingkat SD, banyak kabupaten di Papua masih tertinggal jauh. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 39 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Gambar 4.5. Angka partisipasi murni tingkat SD Hanya dua dari 10 kabupaten/kota yang dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 dikunjungi memiliki APM yang relatif tinggi 100 untuk tingkat SLTA. Peningkatan partisipasi murid di 90 tingkat SLTA tetap menjadi tantangan untuk banyak 80 daerah. Kota-kota (Kota Magelang, Kota Binjai 70 dan Kota Manado) memiliki APM yang relatif lebih 60 tinggi untuk tingkat SLTA dibandingkan kabupaten. 50 Akan tetapi, angka partisipasi murni di kota-kota 40 30 masih kurang dari 75 persen penduduk usia SLTA. Di 20 kabupaten yang lebih bersifat pedesaan, termasuk 10 Kab. Wonosobo, Jawa Tengah, angka partisipasi murni 0 Asahan Kota Wonosobo Kota Minahasa Kota Belu TTS Jayapura Jayawijaya hampir tidak mencapai 40 persen dari penduduk usia Magelang Binjai Manado SLTA. 2002 2004 2006 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ Gambar 4.7. Angka partisipasi murni tingkat BPS. SLTA dari daerah yang dikunjungi, 2002-05 Secara umum, APM di tingkat SLTP lebih rendah 100 90 dari APM di tingkat SD. Kabupaten/kota dengan 80 APM yang tinggi untuk tingkat SD juga cenderung 70 60 memiliki APM yang tinggi untuk tingkat SLTP, kecuali 50 untuk Wonosobo. Perbedaan APM untuk tingkat 40 SD dan SLTP lebih besar di wilayah kabupaten 30 20 daripada kota. Tiga kota yang dikunjungi memiliki 10 perbedaan kurang dari 10 persen untuk tingkat 0 Asahan Kota Binjai Wonosobo Kota Minahasa Kota Belu TTS Jayapura Jayawijaya Magelang Manado SD dan SLTP. Keadaan ini menunjukkan tingkat 2002 2004 2005 transisi yang lebih tinggi dari SD ke SMP di daerah perkotaan dibandingkan kabupaten pedesaan. Kab. Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ Wonosobo di Jawa Tengah menyajikan kasus yang BPS. menarik: meskipun memiliki APM tingkat SD yang tinggi, APM untuk tingkat SLTP dan SLTA mendekati Kabupaten yang memiliki angka partisipasi angka yang ditemukan di Kab. Jayawijaya, Papua. murni rendah tidak selalu memiliki angka putus Hal ini menggarisbawahi tantangan kebijakan untuk sekolah yang tinggi. Angka putus sekolah, yang mencapai wajib belajar sembilan tahun di daerah didefinisikan sebagai persentase anak dalam setiap yang tertinggal. kelompok usia sekolah yang bersekolah tetapi tidak selesai, relatif rendah di semua kabupaten/kota, bahkan di kabupaten/kota dengan APM yang relatif Gambar 4.6. Angka partisipasi murni tingkat rendah. Sebagai contoh, Kab. Wonosobo, di mana SLTP dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 angka partisipasi murni tingkat SLTA rendah untuk 100 beberapa tahun, memiliki angka putus sekolah tingkat 90 80 SLTA sebesar nol persen. Kab. Jayawijaya juga serupa. 70 Meskipun memiliki APM paling rendah untuk tingkat 60 SD, angka putus sekolahnya lebih rendah dibandingkan 50 40 empat kabupaten/kota lainnya. Dalam hal dua 30 kabupaten tersebut, rendahnya angka partisipasi 20 murni kemungkinan disebabkan oleh tingginya jumlah 10 0 anak usia sekolah yang tidak pernah bersekolah. Asahan Kota Wonosobo Kota Minahasa Kota Binjai Magelang Manado Belu TTS Jayapura Jayawijaya Pemberian akses yang lebih besar untuk sekolah 2002 2004 2006 seharusnya menjadi prioritas di kabupaten-kabupaten tersebut. Dalam hal kabupaten/kota dengan tingkat Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ BPS. partisipasi yang lebih tinggi, mempertahankan anak- anak untuk tetap bersekolah perlu menjadi prioritas 40 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian guna menghindari peningkatan anak putus sekolah. Gambar 4.9. Rata-rata lama bersekolah di Program-program untuk memberikan beaSISWAdan daerah yang dikunjungi, 2001-05 menarik kaum muda kembali ke sekolah perlu 12 diperkuat dan dicerminkan dalam alokasi anggaran. 10 8 Gambar 4.8. Angka putus sekolah tingkat SD 6 MYS dari daerah yang dikunjungi, 2002-06 4 5.5 5 2 Angka putus sekolah (%) 4.5 4 0 3.5 Kab. Kota Binjai Kab. Kota Kab. Kota Kab. Kab. Belu Jayapura Jayawijaya 3 Asahan Wonosobo Magelang Minahasa Manado Timtengsel 2.5 2 1.5 2001 2002 2003 2004 2005 1 0.5 0 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ Wonosobo Kota Magelang Asahan Jayawijaya Kota Binjai Jayapura Kota Manado TTS Minahasa BPS. u el B Meskipun terdapat peningkatan dalam tingkat 2002 2004 2005 partisipasi sekolah, beberapa daerah masih menghadapi tantangan untuk meningkatkan Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ angka melek huruf untuk seluruh penduduk. BPS. Angka melek huruf hanya mencapai 47 persen dari jumlah penduduk di Kab. Jayawijaya, sementara di Kab. Angka rata-rata tahun lama bersekolah untuk Minahasa dan Kota Manado angka tersebut hampir seluruh penduduk mengalami stagnasi di mencapai 100 persen. Tidak mengherankan, daerah beberapa kabupaten/kota. Daerah tersebut, yang baru-baru saja mengalami peningkatan angka seperti Kab. Wonosobo, Kab. Timtengsel dan Kab. partisipasi sekolah, seperti Jayawijaya, menghadapi Belu, adalah juga daerah yang memiliki APM yang sebuah tantangan untuk meningkatkan angka melek relatif rendah untuk tingkat di atas SD. Peningkatan huruf bagi seluruh penduduknya. Setiap peningkatan yang stabil dalam angka rata-rata tahun masa sekolah terhadap angka melek huruf di kabupaten/kota terjadi di Kab. Asahan, Kab. Minahasa dan Kab. tersebut tidak hanya memerlukan pengembangan Jayawijaya, meskipun beranjak dari dasar yang rendah. sistem sekolah untuk meningkatkan APM tetapi juga Tren angka rata-rata tahun masa sekolah sejalan upaya untuk mencapai penduduk buta huruf yang dengan tren APM untuk tingkat SLTP di kabupaten- sekarang telah melampaui usia sekolah. Pemerintah kabupaten ini. Sementara itu, di Kota Magelang dan daerah seharusnya memasukan di dalam prioritas- Kota Manado, angka rata-rata tahun masa sekolah prioritas anggaran pendidikan mereka program- untuk seluruh penduduk telah melampaui angka program khusus yang berupaya untuk memerangi rata-rata tahun masa sekolah yang diwajibkan untuk buta huruf dan memberikan kesempatan kedua menyelesaikan SLTA. bagi mereka yang telah kehilangan peluang untuk mendaftar ke dalam pendidikan formal. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 41 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Gambar 4.10. Angka melek huruf di daerah Angka partisipasi murni yang rendah di kuintil yang dikunjungi, 2001-06 pendapatan terendah adalah salah satu % penyebab utama rendahnya APM secara umum 100.0 di beberapa kabupaten/kota. Angka partisipasi di kuintil pendapatan tertinggi cenderung tinggi, 80.0 bahkan di kabupaten/kotayang memiliki NER rendah. 60.0 Di Kab. Jayawijaya dan Kab. Wonosobo, rendahnya 40.0 APM secara umum untuk tingkat pendidikan lanjutan 20.0 terutama disebabkan karena rendahnya tingkat 0.0 partisipasi sekolah di kuintil pendapatan yang lebih Minahasa Wonosobo Kota Binjai Asahan Jayawijaya Manado Jayapura Magelang Tengah Belu Timur rendah. Kota Kota 2004 2005 2006 Gambar 4.11. Angka partisipasi murni tingkat SLTP berdasarkan kuintil pendapatan, 2005 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ 100.0 BPS. 90.0 80.0 4.3.2. Pengeluaran dan Kemerataan dalam 70.0 60.0 Sektor Pendidikan 50.0 40.0 30.0 Partisipasi sekolah di tingkat SD relatif merata di 20.0 berbagai kuintil-kuintil pendapatan, meskipun 10.0 terdapat keprihatinan bahwa keadaannya tidak 0.0 Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Timor Kab. Kota Kota Manado seperti ini di tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Di Asahan Belu Jayapura Jayawijaya Minahasa Tengah Wonosobo Magelang Selatan tingkat SD, APM di dua kuintil pendapatan tertinggi Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 mendekati 100 persen, sementara terdapat sedikit Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ variasi di antara kelompok pendapatan lainnya. Kota BPS. Magelang, Kota Binjai dan Kab. Minahasa memiliki APM universal untuk tingkat SD, bahkan di kuintil Meskipun tidak ada korelasi yang siginifkan pendapatan terendah. Variasi di antara kelompok antara belanja pendidikan per kapita dan angka pendapatan meningkat di tingkat pendidikan yang partisipasi, akan tetapi kedua variabel tersebut lebih tinggi. APM tingkat SLTP untuk kuintil pendapatan berkorelasi secara positif. Korelasi yang relatif lebih tinggi mendekati, dan bahkan melampaui, 90 persen, tinggi dapat dilihat antara belanja per kapita pada sementara untuk kelompok pendapatan terendah, tahun 2004 dan NER tingkat SLTA di tahun 2005, rata-ratanya adalah 70 persen. Angka tersebut daripada NER tingkat SLTP. Meningkatnya belanja menurun mencapai rata-rata 76 dan 38 persen untuk per kapita untuk pendidikan dapat membantu masing-masing kelompok pendapatan terendah dan meningkatkan angka partisipasi sekolah murni, tertinggi untuk tingkat SLTA. khususnya di tingkat pendidikan lanjutan. Gambar 4.12. Belanja per kapita, angka partisipasi sekolah bersih tingkat SLTP dan SLTA SLTA SLTP 900,000 900,000 Belanja pendidikan per kapita 04 Belanja pendidikan per kapita 04 800,000 800,000 700,000 700,000 600,000 600,000 500,000 500,000 400,000 400,000 300,000 300,000 200,000 200,000 100,000 100,000 0 0 0 20 40 60 80 100 20 30 40 50 60 70 80 90 100 SLTA NER (%) SLTP NER (%) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia based on SIKD/MoF dan Susenas/BPS data. 42 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Jumlah sekolah yang relatif terbatas merupakan yang lebih rendah.10 Belanja per murid yang lebih karakteristik lain dari daerah dengan angka rendah sebagian disebabkan oleh penyelesaian partisipasi sekolah yang lebih rendah. Sekitar pendidikan yang lebih rendah dan rendahnya tingkat 60 persen dari semua desa-desa di Kab. Jayawijaya partisipasi sekolah murid-murid di daerah yang miskin tidak memiliki SD satu pun di dalam desa dan rata- dibandingkan dengan daerah yang kaya. Dalam rata jarak dari desa-desa tersebut ke sekolah terdekat hal persentase belanja yang dialokasikan untuk adalah 7 km. Di tingkat pendidikan lanjutan, rata- pendidikan, hanya terdapat sedikit perbedaan antara rata jarak ke sekolah terdekat adalah 23km di Kab. daerah yang miskin dan kaya, baik untuk persentase Jayawijaya, dibandingkan dengan 1km dan 2km di yang mencakup belanja pegawai maupun yang masing-masing Kota Binjai dan Kota Magelang. Jarak tidak. tersebut meningkat di tingkat sekolah yang lebih tinggi, mencapai 32km di Kab. Jayawijaya. Akan Persentase belanja pendidikan yang lebih rendah tetapi, melimpahnya jumlah sekolah tidak selalu (belanja pendidikan non-pegawai) di daerah mengarah pada angka partisipasi sekolah yang lebih yang kaya sebagian disebabkan oleh tingginya tinggi, sebagaimana terjadi di Kab. Wonosobo, yang belanja rumah tangga pribadi untuk pendidikan. mana jarak ke sekolah untuk tingkat SLTP dan SLTA Kab. Asahan dan Kota Manado, dua daerah relatif lebih dekat namun APM tetap rendah. yang kaya, memiliki belanja out-of-pocket untuk Tabel 4.4. Beberapa indikator ketersediaan sekolah Rata-rata jarak ke Rata-rata jarak ke Desa tanpa % desa tanpa Kabupaten sekolah (km) untuk sekolah (km) untuk sekolah dasar sekolah dasar tingkat SLTP tingkat SLTA Kab. Asahan 12 4,4 4 6 Kota Binjai 0 0 1 2 Kab. Wonosobo 0 0 3 6 Kota Magelang 1 7,1 2 1 Kab. Minasaha 11 5,7 3 19 Kota Manado 3 3,4 2 16 Kab. Belu 12 5,8 7 5 Kab. Timtengsel 3 1,3 10 4 Kab. Jayawijaya 221 60,4 23 36 Kab. Jayapura 38 28,8 19 32 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia based Podes/BPS data. Terbatasnya jumlah sekolah di beberapa daerah mungkin disebabkan karena terbatasnya pendidikan masing-masing sebesar Rp 67 miliar dan anggaran pemerintah kabupaten/kota untuk Rp 59 miliar, dengan persentase belanja pendidikan membangun sekolah-sekolah lanjutan baru. di luar gaji hanya sebesar 2 persen dari total belanja. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar pemerintah Sementara itu, daerah miskin, seperti Kab. Jayawijaya kabupaten/kota mengalokasikan bagian yang lebih dan Kab. Timtengsel, masing-masing hanya memiliki besar dari anggaran non-gaji mereka untuk prasarana belanja out-of-pocket pendidikan sebesar Rp 4 miliar dan sarana, pada kenyataannya mereka masih sangat dan Rp 7 miliar, dan belanja pendidikan di luar gaji bergantung pada dukungan pemerintah pusat dan masing-masing sebesar 6 dan 7 persen dari total provinsi untuk mendanai proyek-proyek sekolah belanja. Selain itu, daerah yang lebih kaya juga baru. mengalokasikan proporsi anggaran yang lebih besar untuk sektor-sektor penting lainnya, seperti kesehatan Pola belanja di daerah mengesankan bahwa dan prasarana, dan dengan demikian menggeser daerah miskin memiliki belanja per kapita alokasi mereka dari sektor pendidikan. yang lebih rendah, dan juga belanja per murid 10 Belanja per kapita yang tinggi di Kab. Jayapura di Papua lebih merupakan pengecualian dan bukan pola umum untuk kabupaten miskin di tingkat nasional. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 43 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian Tabel 4.5. Belanja daerah per kuintil kemiskinan, 2005 Kuintil Belanja daerah per Belanja pendidikan per % total belanja Out of pocket RT Daerah kapita (Rp) murid sekolah (Rp) pendidikan non-pegawai (jutaan Rp) Paling miskin 858.296 1.097.255 6,99 26.067 2 807.164 941.367 5,02 43.121 3 595.605 1.048.785 5,38 62.138 4 896.367 1.402.839 5,01 66.642 Paling kaya 912.590 1.574.280 4,68 114.132 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Depkeu dan Susenas/BPS data. Kotak 4.1. Standar pelayanan minimum di sektor pendidikan Buku pedoman standar pelayanan minimum (SPM) untuk bidang pendidikan diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 2001, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan No. 53/2001. SPM tersebut memberikan spesifikasi teknis bagi daerah-daerah mengenai bagaimana cara menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan dari tingkat taman kanak- kanak sampai dengan pendidikan lanjutan. Secara umum, buku pedoman tersebut dibagi menjadi delapan komponen utama, yang mencakup kurikulum sekolah, murid, tenaga pendidikan dan guru, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen sekolah, dan partisipasi masyarakat. Di bawah masing-masing komponen utama terdapat serangkaian indikator yang terkait dengan standar pelayanan minimum. Tanggung jawab untuk mencapai indikator-indikator tersebut dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan sekolah-sekolah. Sebagai contoh, untuk komponen ‘kepegawaian dan guru’, indikator ketersediaan guru yang memenuhi syarat berada di bawah wewenang provinsi, kabupaten, dan sekolah-sekolah. Pada saat ini, beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, telah menyusun SPM mereka sendiri berdasarkan buku pedoman yang disediakan oleh Depdiknas. Empat tahun setelah Depdiknas menerbitkan SPM, pemerintah mengeluarkan peraturan baru, yaitu PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Peraturan tersebut merupakan lanjutan dari Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan mencakup aspek-aspek yang lebih luas dari standar pendidikan. Pada tahun 2007, peraturan pemerintah yang lainnya, yaitu PP No. 38/2007, dikeluarkan untuk mengatur pembagian tanggung jawab antar tingkat pemerintahan, termasuk sektor pendidikan. Kedua peraturan pemerintah tersebut menekankan perlunya untuk memutakhirkan SPM yang telah dikeluarkan sebelumnya. Pemutakhiran buku pedoman tersebut secara khusus penting untuk menyelaraskan berbagai peraturan serta untuk menghindari pertentangan. Penyelarasan isi diperlukan, misalnya dalam hal kategorisasi komponen-komponen utama untuk standar minimum, sementara untuk menghindari pertentangan penting dalam hal tanggung jawab pembiayaan. PP No. 38/2007 mengindikasikan bahwa pembiayaan sekolah lanjutan tingkat atas berada di bawah tanggung jawab provinsi, sementara pedoman SPM mengindikasikan bahwa pembiayaan sekolah lanjutan tingkat atas adalah tanggung jawab semua tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten). Meskipun tidak ada teori atau praktik yang solid yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun SPM, pemerintah atau Depdiknas perlu memperhatikan hal-hal yang berikut ini dalam memutakhirkan dan merevisi SPM: pengukuran indikator dan aksesibilitas indikator. Permasalahan pengukuran indikator secara khusus berlaku terhadap beberapa indikator seperti mekanisme kerja, kinerja sekolah, dan disiplin administrasi. Indikator-indikator tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk mengukur penilaian minimum. Akhirnya, aksesibilitas indikator terkait terutama dengan ketersediaan dan tingkat kesulitan terkait dengan pengumpulan data untuk indikator-indikator tersebut. Akan tetapi, permasalahan terpenting yang harus dipertimbangkan adalah penggunaan SPM. Saat ini, tidak ada jalur pelaporan formal terkait dengan pemenuhan persyaratan SPM oleh provinsi, kabupaten, dan sekolah-sekolah. PP No. 19/2005 mengindikasikan bahwa pemerintah pusat dan daerah perlu memasukkan SPM dalam program kerja mereka. Akan tetapi, tidak ada penegakan yang kuat dan tidak ada hukuman bagi mereka yang tidak patuh atau mengikuti SPM tersebut. Sebuah laporan Bank Dunia (2005) menemukan bahwa motivasi untuk menerapkan SPM sering kali adalah hanya untuk memenuhi kebutuhan pelaporan birokratis daripada tanggung jawab terhadap warga negara. Penegakan yang kuat bersama dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas diperlukan agar SPM dapat diterapkan dan untuk menyempurnakan penyediaan layanan pendidikan melalui kepatuhan pada standar. 44 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian 4.4. Efisiensi di Tingkat Daerah: untuk daerah dalam kuintil kedua, sementara rata- rata indeks output untuk daerah yang terdapat dalam Mengindentifikasi Praktik Terbaik kuintil keempat indeks input hampir setara dengan rata-rata untuk daerah dalam kuintil ketiga. Variasi Pencapaian berdasarkan apa yang disebut analisis dalam pencapaian output (sebagaimana ditunjukkan “ garis batas praktik terbaik” menunjukkan oleh panjang dari kotak plot dalam grafik di bawah variasi yang luas dalam kinerja sektor pendidikan ini) cukup besar untuk daerah dalam kuintil kedua dan antar daerah. Analisis ini mencoba mengembangkan ketiga indeks input. Pencapai terbaik dalam masing- “garis batas praktik terbaik untuk daerah-daerah masing kuintil umumnya merupakan kabupaten/kota yang memaksimalkan output mereka dengan tingkat yang berada pada garis batas praktik terbaik. Daerah- input tertentu, dan dengan demikian hal tersebut daerah tersebut, khususnya yang berada di kuintil dapat juga ditafsirkan sebagai tingkat efisiensi sistem indeks input yang lebih rendah memerlukan studi pendidikan di suatu daerah. Garis yang tergambar lebih lanjut atas kinerja mereka yang tinggi meskipun dalam Gambar 4.13 menunjukkan tingkat output terdapat batasan sumber daya. maksimum yang dicapai untuk tingkat input yang ada dan disebut sebagai garis batas produksi (production Gambar 4.14. Distribusi indeks output frontier). Kab. Halmahera Tengah, Kota Tomohon, berdasarkan kuintil input dan Kota Kendari adalah beberapa kabupaten/kota Kuintil indeks input yang memiliki capaian terbaik dalam hal penggunaan 4 input di tingkat rendah sampai dengan menengah, sementara Kota Padang dan Kota Yogyakarta mendapatkan nilai tertinggi pada tingkat input 2 Distribusi indeks output menengah sampai tinggi. 10 daerah yang dikunjungi ditunjukkan dengan titik merah pada Gambar 4.13. 0 Rata-rata Kab. Minahasa, Kota Binjai, Kota Manado, dan Kota Magelang memiliki capaian yang relatif baik -2 mengingat tingkat input mereka. -4 Gambar 4.13. Garis batas praktik terbaik untuk kinerja sektor pendidikan di tingkat daerah 1 2 3 4 5 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas/BPS 4 Kota Yogyakarta Kota Kendari Kota Padang dan data anggaran kabupaten. 3 Kota Tomohon Binjai Magelang 2 Halmahera Minahasa Manado Tengah “Garis batas praktik terbaik” dikembangkan 1 menggunakan kerangka kerja yang diterapkan Indeks Output 0 Asahan oleh Tandon (2005) dan WHO (2005) untuk -1 sektor kesehatan. “Input” dan “output” dalam hal -2 ini diwakili oleh masing-masing indeks output dan -3 BeluWonosobo input. Indeks tersebut dibuat dengan teknik “factor -4 Timtengsel analysis”, yang mana beberapa variabel dengan -5 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 berbagai dimensi yang mendasarinya digabung Indeks Input menjadi variabel komposit tunggal. Variabel-variabel yang merupakan indeks input adalah: (i) realisasi Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Susenas/ belanja pendidikan; (ii) rata-rata wilayah layanan BPS dan data anggaran kabupaten. sekolah (SD, SLTP, dan SLTA, dalam km²); (iii) jumlah guru per tingkatan sekolah; dan (iv) jumlah sekolah Beberapa kabupaten/kota sepertinya memiliki per 1.000 murid untuk masing-masing kelompok masalah untuk mengubah tingkat input yang umur. Penggunaan masukan-masukan ini diasumsikan lebih tinggi menjadi pencapaian output yang berkontribusi pada penghasilan beberapa output lebih tinggi. Gambar 4.14 menunjukkan bahwa rata- pendidikan yang tertangkap dalam indeks output, rata indeks output untuk daerah dalam kuintil terendah yaitu: (i) angka partisipasi sekolah bersih di berbagai dari indeks input adalah lebih tinggi daripada rata-rata Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 45 Bab 4 Sistem Pendidikan Daerah dan Pencapaian tingkatan sekolah; (ii) angka melek huruf untuk orang dewasa; dan (iii) rata-rata lama masa bersekolah. Data yang digunakan untuk kajian ini adalah data tahun 2005. Meskipun harus dilakukan secara hati-hati, “garis batas praktik terbaik” dapat bermanfaat untuk beberapa tujuan, antara lain untuk mengidentifikasi daerah yang kinerjanya melampaui daerah lainnya meskipun terdapat batasan sumber daya, atau sebaliknya mengidentifikasi daerah yang tertinggal meskipun memiliki tingkat input yang tinggi. Dalam analisis ini, kasus kedua sepertinya lebih menonjol. Secara umum, tingkat input yang lebih tinggi berkorelasi dengan tingkat pencapaian yang lebih tinggi. Akan tetapi, beberapa daerah sepertinya kurang efisien dibandingkan dengan daerah lainnya. Kab. Asahan lebih tidak efisien dibandingkan Kota Manado, mengingat kedua daerah menggunakan tingkat input yang hampir sama, sementara Kab. Asahan menghasilkan output yang jauh lebih rendah. Kab. Wonosobo juga relatif lebih tidak efisien dibandingkan dengan Kab. Timtengsel, karena kabupaten tersebut menggunakan tingkat input yang jauh lebih tinggi tetapi mencapai tingkat output yang sama seperti Kab. Timtengsel. Kab. Halmahera Tengah dan Kota Sawahlunto merupakan pengecualian yang menarik, karena dengan tingkat input yang minimal mereka dapat mencapai output yang lebih tinggi dibandingkan banyak daerah lainnya, termasuk daerah-daerah yang memiliki tingkat output yang jauh lebih besar. Sayangnya, karena keterbatasan studi ini, asalan-alasan perbedaan kinerja daerah- daerah tersebut belum sepenuhnya dibahas dalam studi ini. Studi kasus selanjutnya perlu memahami alasan-asalan mengapa beberapa daerah mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. 46 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidikan 5.1. Perencanaan dan belanja sekolah (RAPBS). Sub-bagian sumber daya manusia bertanggungjawab atas penyusunan penilaian Penganggaran kebutuhan guru tahunan. Selanjutnya, sub-bagian perencanaan dan pengembangan program menyusun Kerangka peraturan untuk proses perencanaan dan menyempurnakan dokumen-dokumen tersebut dan penganggaran di sektor pendidikan dan membuat rancangan RENJA SKPD (Rencana mengamanatkan kesesuaian antara proses pada Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah). Rencana tingkat pemerintah daerah dan tingkat sektoral. kerja tahunan kemudian dibahas dalam musyawarah Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5.1, rencana perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat strategis Dinas (Renstra Dinas) harus berasal dari daerah. Pertemuan tersebut harus dihadiri oleh para rencana pembangunan jangka menengah pemerintah perwakilan dari semua satuan kerja pemerintah daerah (RPJMD). Rencana kerja satuan kerja perangkat daerah dan juga perwakilan dari masyarakat. Hasil daerah (Renja-SKPD) melewati proses sinkronisasi dua dari musyawarah tahunan tersebut merupakan arah dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). masukan untuk rancangan akhir rencana kerja Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat pemerintah daerah. Pagu dan prioritas anggaran (PPA) daerah (RKA-SKPD) kemudian dikembangkan sementara dan rancangan kebijakan umum anggaran berdasarkan pagu dan prioritas anggaran (PPA) dan (KUA) kemudian dibahas dengan dewan perwakilan digunakan untuk merumuskan anggaran tahunan rakyat daerah dan ditandatangani bersama-sama. pemerintah kabupaten/kota (APBD). Dokumen Berdasarkan pagu dan prioritas anggaran tersebut, akhir anggaran pendidikan, dokumen pelaksanaan Dinas pendidikan menyusun rencana kerja akhir anggaran satuan kerja perangkat daerah (DPA-SKPD) satuan kerja perangkat daerah (RKA SKPD) untuk hanya dapat dirumuskan setelah disetujuinya APBD tahun yang akan datang. Satuan kerja keuangan oleh bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat pemerintah kabupaten/kota kemudian menyusun daerah (DPRD). semua RKA SKPD ke dalam dokumen RAPBD. Selanjutnya, dewan perwakilan rakyat daerah dan Dalam praktiknya, rutinitas dalam perencanaan pemerintah kabupaten/kota membahas rancangan dan penganggaran tahunan di Dinas pendidikan tersebut dan setelah difinalkan, rancangan menjadi dimulai ketika masing-masing sub-bagian APBD yang harus disetujui oleh pemerintah provinsi. menyusun rencana tahunannya. Rencana tersebut Dinas pendidikan kemudian menutup pembahasan biasanya disiapkan dengan menggunakan masukan dengan menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dari survei tahunan sekolah, dokumen rencana jangka satuan kerja perangkat daerah (DPA SKPD). menengah, dan rencana anggaran pendapatan dan Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 47 Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidika Kotak 5.1. Tersesat dalam penterjemahan: Bagaimana rencana jangka menengah diterjemahkan ke dalam rencana sektor pendidikan Tidak lama setelah terpilihnya walikota yang baru pada tahun 2005, Kota Pasir Putih mulai menyusun rencana jangka menengah yang baru untuk periode 2005-10. Rencana tersebut mengusung visi baru yang berani yaitu “Pasir Putih sebagai Kota Pariwisata Kelas Dunia pada tahun 2010 menuju masyarakat yang sentosa, berdaya saing, sejahtera, adil, dan bermartabat”. Untuk mencapai visi tersebut, diidentifikasi empat tujuan strategis: (i) menciptakan pemerintahan dan sistem layanan masyarakat yang efektif dan efisien; (ii) keberadaan rencana tata ruang kota berbasis pariwisata; (iii) mengembangkan prasarana yang memenuhi standar internasional; dan (iv) menciptakan lingkungan perkotaan yang menyenangkan. Untuk meraih keempat prioritas tersebut, pemerintah kota akan mengikuti 22 strategi dan 12 sub-strategi. Pendidikan merupakan bagian dari sub-strategi di bawah strategi nomor empat yang terkait dengan terciptanya layanan masyarakat yang efektif. Strategi untuk sektor pendidikan berbunyi sebagai berikut: “untuk memberikan akses yang luas terhadap pendidikan melalui subsidi kepada masyarakat miskin”. Di bagian lain dalam rencana di bawah judul “Matriks Terobosan Strategis”, pemerintah kota merumuskan sebuah matriks yang menggambarkan tujuan-tujuan, strategi, kebijakan, dan program untuk setiap Dinas. Rencana tersebut menetapakan sasaran-sasaran yang jelas dan dapat dikuantifikasikan untuk Dinas pendidikan, yaitu: (i) meningkatkan tingkat partisipasi sekolah bersih untuk semua tingkat sekolah dari 63.1 menjadi 80.70; (ii) meningkatkan nilai rata-rata murid untuk semua tingkat sekolah dari 5.74 menjadi 7.29; (iii) meningkatkan tingkat penyerapan lulusan sekolah menengah ke industri-industri; dan (iv) melaksanakan sistem pengelolaan sekolah berdasarkan standar pendidikan nasional. Matriks tersebut juga memaparkan berbagai program yang melengkapi tujuan-tujuan tersebut. Untuk mencapai tujuan 1, disebutkan program- program berikut: BOS untuk SD, SLTP, dan SLTA; Program Kesetaraan Kelompok Belajar (KEJAR) bagi mereka yang tidak dapat belajar di sekolah-sekolah formal; pembangunan sekolah-sekolah dan ruang kelas baru; penyediaan mebel sekolah; dan program-program beasiswa. Namun sasaran-sasaran yang cukup jelas dan dapat dikuantifikasikan yang dinyatakan dalam rencana jangka menengah tersebut nampak seperti hilang dalam rencana sektor pendidikan. Sementara banyak program- program yang disebutkan dalam perencanaan pemerintah kota dimasukkan ke dalam rencana untuk sektor pendidikan, kedua rencana tersebut seperti tidak memiliki keterkaitan. Pertama, matriks objektif dari Dinas pendidikan tidak mengikuti struktur perencanaan pemerintah kota. Selain itu, halaman-halaman pertama dari rencana sektor pendidikan lebih banyak membahas program-program untuk meningkatkan administrasi penyelenggaraan kantor dinas. Kedua, rencana sektor pendidikan tidak memuat sasaran-sasaran khusus yang dapat dikuantifikasikan pada tingkat partisipasi atau nilai rata-rata. Dengan demikian, alih-alih menjadi penjelasan yang lebih terinci tentang rencana jangka menengah kota, rencana sektor pendidikan nampaknya telah mengikuti jalan yang berbeda. Sayangnya, kasus Kota Pasir Putih bukan hal yang luar biasa. Rencana jangka menengah Kabupaten Rancak (2004-2008) berawal dari analisis masalah yang baik dalam sektor pendidikan. Rencana tersebut menetapkan peningkatan angka partisipasi dan mutu pendidikan sebagai dua prioritas utama dari pemerintah daerah, diikuti dengan sebuah analisis tentang penyebab langsung rendahnya partisipasi dan mutu. Rencana tersebut menyebutkan masalah-masalah berikut ini: kurangnya akses kelompok masyarakat yang paling miskin dan jarak terhadap sekolah, kurang meratanya penyebaran guru antara daerah perkotaan dan pedesaan. Rencana tersebut juga menuangkan sebuah matriks program yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu empat tahun dengan anggaran indikatif. Program-program yang tercantum dalam matriks tersebut nampak seperti menanggapi masalah-masalah yang teridentifikasi dan antara lain, mensyaratkan pelatihan bagi para guru, beaSISWAbagi para murid miskin, dan pembangunan sekolah-sekolah baru. Sekali lagi, rencana jangka menengah daerah yang cukup wajar tersebut nampaknya tidak diikuti dengan rencana jangka menengah yang jelas dari sektor pendidikan. Sektor pendidikan tidak memiliki sasaran kuantitatif dan matriks program tidak dipaparkan secara khusus seperti pada rencana jangka menengah 48 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidika Sebagian besar proses perencanaan jangka Di sebagian besar daerah yang dikunjungi, panjang dan tahunan nampaknya disiapkan oleh Dinas mengkoordinasikan proses anggaran para pejabat Dinas dengan kurangnya konsultasi untuk sekolah-sekolah dasar sementara proses yang nyata dengan para pemangku kepentingan anggaran sekolah menengah berbeda antara lain. Pada daerah yang dikunjungi, dokumen daerah-daerah. Di sebagian besar daerah, sekolah rencana pembangunan jangka menengah (RPJM/ lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat Renstra) untuk Dinas pendidikan biasanya tersedia atas diperlakukan sebagai satuan kerja perangkat untuk umum. Wawancara yang dilakukan selama daerah (SKPD) yang mandiri yang mengelola proses kunjungan lapangan lebih jauh lagi menunjukkan anggarannya sendiri dan menyerahkan rencana kerja bahwa penyusunan dokumen-dokumen tersebut dan anggarannya (RKA-SKPD) secara individual. dipimpin dan dikoordinasikan oleh sub-bagian Pengecualian terjadi pada Kab. Timtengsel, Kab. perencanaan dan pengembangan program Dinas Jayapura, dan Kota Magelang dimana Dinas masih pendidikan melalui musyawarah dengan sub-bagian mengkoordinasikan proses anggaran sekolah di lain dalam Dinas.11 Dokumen acuan utama untuk tingkat lanjutan. pelaksanaan tersebut adalah rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD/Renstrada). Praktik perencanaan dan penganggaran di Statistik pendidikan yang dikumpulkan melalui survei daerah saat ini memberikan sedikit peluang bagi tahunan sekolah memberikan masukan lain untuk keikutsertaan para pemangku kepentingan. proses perencanaan. Dengan menggunakan statistik Dalam praktik-praktik yang ada saat ini, jalur-jalur tersebut, perencana pendidikan memperkirakan yang tersedia bagi para pemangku kepentingan di kebutuhan untuk tambahan guru, ruang kelas, dan sekolah dan masyarakat untuk memberitahukan kebutuhan sekolah lainnya. Dokumen-dokumen proses perencanaan dan anggaran sebagian lain yang digunakan meliputi RIPS (Rencana Induk besar dilakukan melalui survei tahunan sekolah Pengembangan Sekolah) yang harus diserahkan oleh dan, pada saat tertentu, siklus anggaran tahunan sekolah kepada Dinas. melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), di mana rencana satuan kerja dibahas Gambar 5.1 Kerangka normatif untuk proses bersama dengan hasil-hasil dari rapat perencanaan penyusunan anggaran tahunan yang dilakukan dari tingkat bawah ke atas. Namun, forum tersebut jarang sekali digunakan secara efektif LG/ TAPD SKPD untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi para pemangku kepentingan khusus di sektor tersebut, seperti komite sekolah atau persatuan guru. RPJMD Renstra-SKPD Perencanaan dan penganggaran di tingkat kabupaten/kota turut juga memperhitungkan pendanaan dari pemerintah pusat dan RKPD Renja-SKPD pemerintah provinsi. Proyek-proyek dekonsentrasi harus menggunakan masukan-masukan dari Dinas daerah dalam memilih lokasi untuk melaksanakan KUA/ PPA RKA-SKPD program-programnya. Kemudian, Dinas di tingkat kabupaten/kota biasanya mengetahui lebih awal program-program atau proyek-proyek mana yang kemungkinan dilaksanakan di daerahnya dan dapat APBD DPA-SKPD memprioritaskan belanja mereka untuk menghindari tumpang tindih dengan program-program lain. Sumber: UU No. 25/2004 dan PP No. 58/ 2005. Namun, keikutsertaan kabupaten/kota tidak mencakup pemilihan program-program yang paling sesuai untuk dilaksanakan didaerahnya atau pemantauan dan 11 Ciri-ciri struktur Dinas pendidikan terdiri atas bagian-bagian evaluasi program. berdasarkan tingkat sekolah di bawah tanggung jawabnya (SD, SLTP, SLTA/SMK), dan beberapa bagian berdasarkan tanggung jawab fungsionalnya (sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan program, administrasi/keuangan). Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 49 Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidika Kotak 5.2. Pengelolaan keuangan dan formula pendanaan sekolah di Kota Magelang Kota Magelang adalah kota kecil dengan populasi hanya 129.854 jiwa. Tema pembangunan kota adalah untuk menjadi ‘kota jasa’ bagi kabupaten/kota lain di sekitarnya. Terdapat ketertarikan yang cukup besar dari kabupaten/kota di sekitarnya terhadap layanan pendidikan yang disediakan oleh Kota Magelang dan hal tersebut merupakan salah satu alasan di balik tema pembangunan saat ini. Guna mengakomodir bertambahnya tuntutan akan pendidikan serta untuk menarik lebih banyak lagi permintaan, peningkatan mutu pendidikan dengan demikian dianggap sebagai suatu hal yang diperlukan. Dinas pendidikan di Kota Magelang telah melaksanakan beberapa program pendidikan dengan bantuan para donor, seperti program Pemberian Layanan Sosial Terdesentralisasi (DSSD) dan program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE). DSSD berfokus untuk meningkatkan transparansi anggaran sekolah dan bertujuan untuk menghasilkan format pelaporan anggaran yang seragam, sementara program MBE lebih berfokus pada pengelolaan keuangan yang dimasukkan ke dalam perumusan formula pendanaan. Standar pelaporan anggaran yang seragam yang berasal dari proyek kini telah dijadikan sebagai prosedur tetap bagi sekolah- sekolah di Kota Magelang. Sekolah harus memberikan laporan pertanggungjawaban yang seragam berdasarkan sumber pendanaan mereka kepada Dinas. Sumber pendanaan tersebut sebagian berasal dari pemerintah, usaha mandiri sekolah (misalnya, koperasi), dan iuran masyarakat. Setiap laporan sekolah dikumpulkan oleh Dinas untuk kemudian dimasukkan ke dalam laporan yang seragam. Berdasarkan laporan tersebut, Dinas pendidikan, pemerintah kabupaten/kota, donor, serta masyarakat mengetahui tingkat alokasi dan belanja menurut tingkat pendidikan. Untuk mendorong penyerahan pelaporan anggaran yang seragam oleh sekolah, Dinas pendidikan memberikan subsidi bantuan kepada sekolah-sekolah tertentu hanya apabila sekolah tersebut menyerahkan laporannya sesuai dengan standar anggaran. Subsidi sekolah utamanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan sekolah tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan. Subsidi untuk sekolah dialokasikan berdasarkan rumusan pendanaan khusus yang dikembangkan berdasarkan program Pendidikan Dasar Daerah. Rumusan tersebut mempertimbangkan serangkaian indikator seperti jumlah murid, jumlah murid miskin, nilai murid, hasil ujian akhir, biaya guru, dll. Sebagai hasil dari pelaporan anggaran yang seragam, serta program rumusan pendanaan yang mempertimbangkan faktor-faktor lain (tidak hanya berdasarkan jumlah murid), Dinas akan dapat mengidentifikasi kebutuhan aktual sekolah dan membantu penyaluran dana yang lebih adil. 5.2. Pemantauan dan Evaluasi per kelas, kelengkapan dokumen administrasi, dan keadaan setiap jenis sarana. Survei tahunan sekolah dan kunjungan sekolah Selain dari kegiatan pemantauan rutin, daerah oleh para pengawas merupakan dua mekanisme juga melakukan pemantauan acak terhadap Dinas untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh APBD. sekolah. Hal tersebut merupakan penopang Pemantauan cenderung tidak sistematis dan dilakukan utama sistem pemantauan kinerja sekolah di tingkat secara acak tanpa metodologi sampling yang kuat. daerah. Tabel 5.1 mengikhtisarkan ciri-ciri utama Selain dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh DAK dari kedua mekanisme tersebut. Kota Binjai adalah yang telah memiliki pedoman yang cukup jelas tentang satu-satunya daerah yang dikunjungi yang mana siapa dan apa yang harus dipantau, pemantauan Dinas pendidikan telah mencoba untuk mendesain terhadap kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh APBD instrumen pemantauannya sendiri yang rencananya biasanya terbatas pada pelaporan rutin dari sekolah- akan diluncurkan pada tahun 2007. Instrumen sekolah tentang penggunaan dana. Pelaporan pengumpul informasi yang digunakan di Binjai serupa tentang kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh belanja dengan survei tahunan sekolah yang didesain oleh dekonsentrasi dilakukan secara langsung dari Depdiknas. Namun, di Binjai, Dinas pendidikan sekolah-sekolah kepada satuan pengelolaan program berupaya untuk memperoleh penjelasan yang lebih di tingkat provinsi. Sekolah tidak berkewajiban rinci pada sejumlah pertanyaan, seperti jumlah murid memberikan salinan laporan kepada Dinas di tingkat 50 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidika kabupaten/kota. Hampir di semua kabupaten/ sebagai output dari kegiatan yang dilaksanakan. kota yang dikunjungi, tidak terdapat upaya untuk Setelah penyerahan laporan, nampaknya tidak ada mengkonsolidasikan proyek-proyek dekonsentrasi ke kerangka kerja yang jelas tentang bagaimana laporan dalam sebuah laporan tunggal. harus digunakan atau bagaimana laporan tersebut Tabel 5.1. Mekanisme pemantauan sekolah Mekanisme Instrumen Informasi yang Dikumpulkan Kegunaan Utama Informasi Survei Tahunan Kuesioner yang didesain • Keadaan murid: partisipasi sekolah, putus • Masukan untuk proses Sekolah oleh Depdiknas, seragam sekolah, jumlah murid yang lulus, jumlah perencanaan dan di seluruh kabupaten di murid yang melanjutkan ke tingkat yang anggaran tahunan Indonesia. lebih tinggi. • Perkiraan kebutuhan • Keadaan guru: menurut tingkat tahunan guru pendidikan, menurut mata pelajaran yang • Statistik tahunan diajarkan. pendidikan (profil • Keadaan ruang kelas. pendidikan) • Jumlah dan sumber dana yang diterima. Kunjungan ke Kunjungan oleh • Pemeriksaan di tempat tentang mutu • Penyelesaian masalah Sekolah pengawas sekolah pembelajaran, secara langsung • Masalah-masalah yang dihadapi oleh • Masukan untuk sekolah saat ini. proposal anggaran Sumber: Berbagai wawancara selama kunjungan lapangan. Nampaknya tidak ada evaluasi yang sistematis dapat dimasukkan ke dalam perencanaan kebijakan terhadap keberhasilan kegiatan-kegiatan di masa mendatang. yang dibiayai oleh APBD. Kabupaten/kota yang dikunjungi belum pernah melakukan kajian terhadap keberhasilan program-programnya yang dibiayai 5.3. Penilaian Pengelolaan oleh APBD. Dengan demikian, keputusan-keputusan Keuangan di Papua tentang dimasukannya kegiatan-kegiatan dalam anggaran tahunan dan rencana jangka menengah tidak didasari oleh evaluasi yang sistematis. Kapasitas pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola keuangan publik daerah dinilai Dinas berkewajiban untuk menyerahkan laporan melalui Survei Pengelolaan Keuangan Publik. pertanggungjawaban kinerja (Lakip), namun Survei tersebut berlaku untuk pemerintah daerah tidak terdapat kerangka kerja yang jelas tentang secara keseluruhan dan tidak dikhususkan untuk Dinas cara untuk menindaklanjuti laporan tersebut. pendidikan. Walaupun tidak terkait langsung dengan Berdasarkan Keputusan Presiden No. 7/1999, setiap Dinas pendidikan, hasil-hasil survei mencerminkan, departemen pemerintah, termasuk Dinas di tingkat hingga ke tingkat tertentu, kinerja Pengelolaan provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban untuk Keuangan Publik para pejabat daerah, termasuk para menyusun laporan pertanggungjawaban kinerja pejabat Dinas. tahunan (Lakip) untuk diserahkan kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Penilaian Pengelolaan Keuangan Publik Hampir semua kabupaten/kota yang dikunjungi pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menyusun laporan tersebut setiap tahun. Secara di Papua dilakukan melalui kerangka kerja umum, laporan memaparkan semua kegiatan-kegiatan penilaian Pengelolaan Keuangan Publik yang di bawah pengelolaan Dinas, termasuk jumlah uang telah direvisi. Versi asli dikembangkan oleh yang dihabiskan dari semua sumber (termasuk APBN), Ditjen BAKD (Bina Administrasi Keuangan Daerah) jumlah output yang dicapai, dan perbandingan Departemen Dalam Negeri dan Bank Dunia pada dengan sasaran yang direncanakan. Sedangkan dalam tahun 2005 dan telah diterapkan pada sekitar 50 hal indikator kinerja, terdapat kasus-kasus di mana pemerintah daerah. Kerangka kerja Pengelolaan input, seperti jumlah uang yang dicairkan dilaporkan Keuangan Publik dibagi menjadi sembilan bidang Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 51 Bab 5 Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan di Daerah untuk Sektor Pendidika strategis: (i) kerangka perundang-undangan daerah; Undang No. 25/2004 menetapkan bahwa daerah (ii) perencanaan dan penganggaran; (iii) manajemen harus memiliki rencana jangka menengah pemerintah kas; (iv) pengadaan dan pengelolaan barang; (v) daerah (RPJMD) dan rencana kerja pemerintah daerah akuntansi dan pelaporan; (vi) audit internal; (vii) utang (RKPD). Selain itu, setiap satuan kerja pemerintah dan investasi; (viii) pengelolaan aset; dan (ix) audit daerah harus memiliki rencana strategis (Renstra) dan eksternal dan pemantauan. dan rencana kerja (Renja) SKPD. Walaupun RPJMD dan RKPD telah tersedia, hanya beberapa SKPD dalam Gambar 5.2. Nilai Pengelolaan Keuangan Publik wilayah yang disurvei yang memiliki Renstra atau secara keseluruhan untuk semua pemerintah Renja. Terdapat ketidaksesuaian antara berbagai daerah yang dinilai dokumen perencanaan. Sebagai contoh, Renstra dan, hingga ke tingkat yang lebih rendah, RKPD seringkali 100.00% Keseluruhan 90.00% Tanpa pengadaan tidak disesuaikan dengan RPJMD. 80.00% 70.00% Gambar 5.3. Nilai rata-rata untuk setiap bidang 60.00% strategis 50.00% 40.00% Kerangka kerja peraturan daerah 30.00% 100.00% Perencanaan & 20.00% Audit dari luar & 80.00% penganggaran pengawasan 10.00% 60.00% 0.00% 40.00% ai re ka ng a e or a ura .Pani . Nabi Mimi Binta ijay erauk yapura -Numf apu yap 20.00% Pengelolaan Kab Kab . Kab b. Peg . yaw M Ja iak v. P a Ja Pengelolaan . Ja Kab. Kab ab. B Pro Kot uang tunai Ka Kab K aset 0.00% Sumber: Survei Pengelolaan Keuangan Publik, tahun 2007. Pengadaan Utang dan investasi publik Audit internal Akunting & Kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan pelaporan provinsi di Papua untuk mengelola keuangan Sumber: Survei Pengelolaan Keuangan Publik, tahun 2007. publik daerah berkisar dari buruk hingga dapat diterima. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 5.2, pemerintah daerah yang terletak di sekitar Rendahnya kapasitas satuan keuangan dan ibukota (Provinsi Papua, Kota Jayapura, dan Kab. satuan kerja pemerintah daerah mengakibatkan Jayapura) mendapatkan nilai yang jauh lebih baik buruknya akuntansi dan pelaporan. Satuan daripada pemerintah daerah yang terletak di daerah keuangan di sebagian besar daerah berupaya keras dataran tinggi atau daerah terpencil (Kab. Paniai, untuk menghadapi berbagai peraturan tentang Kab. Jayawijaya, dan Kab. Peg. Bintang). Secara pengelolaan keuangan daerah yang diundangkan rata-rata, bidang perencanaan dan penganggaran, dalam lima tahun terakhir yang mempengaruhi akunting dan pelaporan, serta audit eksternal dan struktur anggaran pemerintah daerah. Desentralisasi pemantauan merupakan bidang yang terlemah, sejumlah fungsi pengelolaan keuangan pada satuan sementara pengadaan dan audit internal merupakan kerja pemerintah daerah (SKPD) dan tugas-tugas bidang yang paling kuat. Gambar 5.3 menunjukkan tambahan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri bahwa selain dari kedua bidang yang terkuat tersebut, No. 13/ 2006 untuk menyediakan pengelolaan kas tidak ada bidang lain yang mendapatkan skor dan pelaporan keuangan kepada setiap SKPD semakin lebih dari 50 persen. Namun, perlu juga dicermati memperumit keadaan. Walaupun bertujuan untuk bahwa bidang pengadaan tidak dapat dinilai secara mengurangi beban, keputusan menteri tersebut efektif karena sifat ad hoc dari panitia pengadaan tidak memperkirakan bahwa tugas-tugas tambahan dan ketidakmampuan untuk menangkap kegiatan- tersebut membutuhkan peningkatan kapasitas yang kegiatan “di balik layar”. belum tersedia bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, staf pada satuan keuangan kini harus memandu, Rendahnya nilai dalam perencanaan dan memantau, dan memberikan saran bagi para petugas penganggaran terutama disebabkan oleh tidak keuangan di SKPD tentang bagaimana cara untuk lengkap dan lemahnya dokumen perencanaan melaksanakan tugasnya. serta kacaunya proses anggaran. Undang- 52 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 6 Temuan-temuan Kunci dan Pilihan Kebijakan SWA 1) Kerangka Hukum dan Aliran terutama belanja rehabilitasi dan pembangunan — yang berpotensi membatasi kemampuan Dana untuk Sektor Pendidikan kabupaten/kota untuk membuat kebijakan. • Selain itu, dana pusat masih disalurkan melalui kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat di daerah-daerah di mana terdapat kantor-kantor Temuan-Temuan Kunci: tersebut. • Hal yang menambah rumit adalah adanya aliran Kerangka Hukum dana yang dialokasikan untuk pendidikan oleh • UU No. 38/2007 tentang pembagian tugas fungsi pemerintah provinsi yang tidak selalu berada di masih belum dapat sepenuhnya menjelaskan bawah pengelolaan Dinas pendidikan, karena mengenai peran dan tanggung jawab berbagai sumber daya tersebut dikelompokkan sebagai tingkat pemerintahan yang berbeda. Fungsi- “bantuan sosial” dan oleh karena itu, secara fungsi wajib dan pilihan di setiap tingkat langsung mengalir ke rekening pemerintah pemerintahan tetap samar. Sebagai contoh, pada daerah. tanggung jawab keuangan di mana kabupaten/ kota bertanggungjawab untuk menyediakan dana pendidikan di tingkat dasar, pemerintah Pilihan Kebijakan Utama: pusat dan pemerintah provinsi masih dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk pembiayaan pendidikan di tingkat kabupaten/ • Mengidentifikasi bidang-bidang yang tidak kota. jelas dalam pembagian tugas fungsi dengan • Berdasarkan hukum, pemerintah pusat dan mengembangkan sebuah kerangka (roadmap) pemerintah daerah berkewajiban untuk turut yang memberikan kerangka kerja yang jelas memberikan kontribusi dalm hal insentif bagi tentang tanggung jawab pemerintah pusat, para guru di daerah khusus. Namun, dalam pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ praktiknya alokasi atau kontribusi anggaran kota, termasuk ukuran kontribusi yang sesuai pada dari setiap tingkat pemerintahan terhadap pos setiap tingkat pemerintahan dalam pembiayaan tersebut tetap belum jelas. Insentif-insentif pendidikan untuk kabupaten/kota. tersebut utamanya penting untuk menarik para • Kerangka tersebut harus memberikan peluang guru ke daerah-daerah terpencil. agar pemerintah kabupaten/kota dapat ikut serta Aliran Dana lebih jauh dalam perencanaan dan pelaksanaan • Pemerintah pusat masih menghabiskan bagian belanja dekonsentrasi didaerahnya. Tujuannya yang signifikan dari jumlah belanja pendidikan — adalah untuk memberikan pembiayaan yang Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 53 Bab 6 Temuan-temuan kunci dan pilihan kebijakan SWA memadai dan otonomi manajerial kepada o Terbatasnya dana untuk peningkatan pemerintah daerah dalam melaksanakan mutu guru hampir dapat dipastikan pengalihan fungsinya (berdasarkan prinsip bahwa mengurangi kapasitas guru. uang mengikuti fungsi). Hal tersebut terjadi di sejumlah • Konsistensi dalam hal mekanisme penyaluran kabupaten/kota yang dianalisis belanja pendidikan dari provinsi kepada dan mungkin merupakan kabupaten/kota. Selain itu, diperlukan masalah yang sama di tingkat pengelompokkan belanja untuk pendidikan nasional. yang tepat yang seharusnya dicatat berdasarkan Namun, diperlukan kecermatan sektor pendidikan guna memantau aliran dana dalam menafsirkan data karena pendidikan untuk kabupaten/kota. Sejumlah kekurangan yang ada di masalah terkait dengan pemakaian dana dapat tingkat kabupaten/kota dalam muncul karena masalah ‘kesalahan klasifikasi’. mengklasifikasikan anggaran program/fungsional untuk meningkatkan mutu guru. Mengingat masalah 2) Pengeluaran Daerah untuk ketidaksesuaian klasifikasi Pendidikan tersebut, penentuan belanja menurut tingkat pendidikan telah terbukti sulit dilakukan • Dana BOS Temuan-Temuan Kunci: o Keberlangsungan program merupakan pertimbangan yang penting mengingat • Belanja secara Keseluruhan bahwa BOS merupakan mayoritas Sebagaimana diharapkan, sejak desentralisasi pendanaan di tingkat sekolah. sebagian besar kabupaten/kota telah o Program BOS lebih berdampak pada meningkatkan belanja untuk pendidikannya. peningkatan mutu dibandingkan Namun, sejak tahun 2005, bagian belanja untuk investasi dalam meningkatkan akses. pendidikan nampaknya menurun pada saat Dana BOS dianggap lebih mempengaruhi pendapatan meningkat yang mungkin disebabkan ketersediaan buku-buku, alat tulis, dan oleh penerimaan BOS (dengan demikian melalui pemeliharaan sekolah serta honor untuk dampak substitusi). guru tidak tetap daripada membantu • Klasifikasi Ekonomi SISWAyang miskin. Sebagian besar belanja untuk pendidikan • Belanja Pribadi Rumah Tangga kabupaten/kota merupakan belanja rutin dan o Belanja pribadi rumah tangga untuk yang mana bagian terbesarnya digunakan untuk pendidikan tetap signifikan namun membiayai gaji. Secara umum, terdapat ruang cukup mengalami penurunan. Mayoritas yang terbatas untuk belanja pembangunan. belanja rumah tangga diarahkan pada Di sebagian besar daerah, alokasi dari belanja buku-buku, alat tulis, dan transportasi. untuk pendidikan terhadap pemeliharaan kurang Belanja untuk partisipasi sekolah dan diperhatikan, walaupun banyak daerah yang biaya bulanan sekolah cukup kecil, memiliki ruang kelas dalam keadaan yang buruk. mungkin karena dampak program BOS. • Analisis Fungsional/Program o Terdapat penekanan yang jelas tentang peningkatan akses terhadap sarana/ Pilihan Kebijakan Utama: prasarana dibandingkan dengan investasi yang secara langsung lebih disasarkan pada peningkatan mutu, terutama di • Pemerintah pusat perlu memantau komposisi tingkat pendidikan lanjutan. belanja pemerintah daerah dan memberikan o Kabupaten/Kota sepertinya memiliki insentif/disinsentif guna memperbaiki komposisi dana yang terbatas untuk pengelolaan/ anggaran. Salah satu mekanisme untuk mencapai operasional. hal tersebut adalah dengan menggunakan 54 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Bab 6 Temuan-temuan kunci dan pilihan kebijakan SWA komposisi anggaran pemerintah daerah sebagai menentukan luas wilayah layanan sekolah. sebuah indikator untuk menentukan target Penyebaran Guru belanja dekonsentrasi. • Terpantaunya masalah yang serupa dalam hal • Pemerintah daerah harus memasukkan analisis tidak meratanya penyebaran guru, terutama di biaya-biaya satuan dalam perencanaan dan tingkat kecamatan. penganggaran daerah untuk mengetahui Kualifikasi Guru kebutuhan sekolah guna menutup biaya-biaya • Sebagian besar kualifikasi guru masih belum operasionalnya. Analisis atas biaya satuan nantinya mendekati standar yang ditetapkan dalam akan membantu daerah dalam merencanakan Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan mengalokasikan anggaran dengan tepat dan Dosen. Merupakan hal penting untuk dengan menyalurkan dana ke sekolah-sekolah menjelaskan tingkat pemerintah mana yang akan yang menghadapi kesulitan dalam mempersempit bertanggungjawab atas biaya sertifikasi guru. kesenjangan anggarannya (kesenjangan antara Partisipasi di Sekolah dana yang tersedia dan biaya-biaya operasional • Walaupun cakupan di tingkat dasar hampir sekolah). menyeluruh, tantangan-tantangan yang signifikan • Memperkuat pemantauan dan evaluasi terhadap tetap terdapat di daerah tertentu, utamanya di penggunaan dana BOS merupakan hal yang daerah terpencil, seperti Papua. penting apabila program ingin mencapai • Partisipasi di sekolah tingkat lanjutan masih menjadi tujuannya untuk memperluas akses terhadap masalah dan penting untuk meningkatkan angka pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. transisi antara pendidikan dasar dan pendidikan Kecenderungan bahwa dana BOS lebih banyak lanjutan. digunakan untuk honorarium guru daripada para • Bagi masyarakat dalam kuintil pendapatan yang SISWAmiskin dapat menghambat tujuan utama lebih rendah, akses terhadap pendidikan masih program BOS apabila tidak diperhatikan. menjadi masalah, dimana biaya transportasi dan biaya pendidikan masih merupakan hambatan terhadap akses pada pendidikan. • Angka melek huruf masih rendah di sejumlah 3) Sistem dan Capaian dari kabupaten/kota dan sejumlah daerah mungkin Pendidikan membutuhkan pendidikan non-formal bagi orang dewasa. Praktik Terbaik (Kinerja Daerah) • Kabupaten/kota dengan tingkat input yang Temuan-Temuan Kunci: lebih besar tidak selalu berarti meraih tingkat pencapaian yang lebih tinggi. Tantangan dalam hal Prasarana/ Bahan • Sejumlah kabupaten/kota dengan tingkat • Mutu prasarana di sebagian besar daerah masih input yang lebih rendah telah mengalahkan buruk, terutama di tingkat dasar. Hal tersebut keberhasilan kabupaten/kota lain dengan tingkat mungkin disebabkan oleh terbatasnya pendanaan input yang lebih tinggi. Kabupaten/kota yang untuk pengoperasian dan pemeliharaan di tingkat berhasil tersebut harus dikaji lebih lanjut. kabupaten/kota. • Pengamatan awal juga menunjukkan kurangnya materi pembelajaran yang utama di sejumlah Pilihan Kebijakan Utama: kabupaten/kota, terutama buku-buku. Jumlah Sekolah • Tim mengamati penyebaran sekolah yang tidak • Diperlukan sebuah sistem pengukuran kinerja merata, khususnya di kecamatan-kecamatan nasional untuk memastikan bahwa pemerintah tertentu. Namun, dengan pengecualian sejumlah daerah bertanggungjawab atas pengembangan daerah di Indonesia bagian timur, jumlah sekolah output pendidikan di daerahnya. Sistem tersebut secara keseluruhan nampaknya memadai. Guna akan bertindak sebagai penyeimbang antara memberikan tinjauan yang menyeluruh tentang otonomi penuh yang diberikan kepada daerah situasi tersebut, analisis harus pula mencakup alat dalam membelanjakan dananya dan output transportasi karena hal tersebut penting dalam yang dicapai oleh daerah dengan sumber daya Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 55 Bab 6 Temuan-temuan kunci dan pilihan kebijakan SWA tersebut. Pemantauan • Daerah membutuhkan kapasitas untuk menilai • Survei tahunan sekolah dan kunjungan sekolah efisiensi belanjanya dan mengidentifikasi masalah- oleh pengawas merupakan dua mekanisme yang masalah utama dalam sektor pendidikan. Hal digunakan oleh Dinas mengumpulkan informasi tersebut akan memberikan masukan penting bagi dan memantau sekolah-sekolah: proses perencanaan dan penganggaran daerah. o Selain dari kegiatan pemantauan rutin, Dengan tujuan tersebut, bantuan teknikal akan kabupaten/kota juga melaksanakan dapat membantu kabupaten/kota meningkatkan pemantauan acak terhadap kegiatan- kapasitasnya dalam perencanaan dan anggaran. kegiatan yang dibiayai oleh APBD. • Pemerintah daerah perlu merencanakan alokasi o Nampaknya tidak ada evaluasi sistematis guru dan tenaga kerja secara efektif, khususnya tentang keberhasilan kegiatan-kegiatan terkait dengan masalah tidak meratanya distribusi yang dibiayai oleh APBD. guru di beberapa daerah. Pemerintah daerah o Dinas memiliki kewajiban juga harus menghubungkan perencanaan alokasi untuk menyerahkan laporan gurunya dengan program insentif sebagaimana pertanggungjawaban kinerja, walaupun disyaratkan oleh Undang-Undang No. 14/2005 tidak ada kerangka kerja yang jelas tentang Guru dan Dosen. tentang bagaimana cara untuk menggunakan laporan tersebut untuk peningkatan kebijakan yang selanjutnya. 4) Perencanaan, Anggaran, dan Pemantauan untuk Pendidikan di Pilihan Kebijakan Utama: Tingkat Daerah • Tidak adanya proses perencanaan dan penganggaran yang koheren tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kapasitas pemerintah Temuan-Temuan Kunci: daerah atau tidak adanya kerangka peraturan yang menghubungkan antara perencanaan dan Perencanaan dan Anggaran penganggaran. Kurangnya budaya perencanaan • Kerangka peraturan untuk perencanaan dan pertanggungjawaban kinerja nampaknya dan penganggaran dalam sektor pendidikan juga menyebabkan masalah tersebut. Oleh mengamanatkan kesesuaian antara proses di karena itu, selain peningkatan kapasitas dalam tingkat pemerintah daerah dan tingkat sektoral. perencanaan dan penganggaran, merubah • Dinas nampaknya menyusun proses perencanaan budaya birokratis dan mendorong adanya jangka menengah dan tahunan dengan hanya sistem pertanggungjawaban kinerja yang tepat melakukan konsultasi yang terbatas dengan para kemungkinan besar diperlukan pula. pemangku kepentingan lain. • Setiap kegiatan peningkatan kapasitas di tingkat • Daerah mengikutsertakan pendanaan yang apa pun harus bekerja sesuai dengan sistem dan berasal dari pemerintah pusat dan provinsi dalam siklus penganggaran yang ada. Kegiatan-kegiatan proses perencanaan dan penganggarannya. peningkatan kapasitas harus direncanakan • Sebagian besar daerah memiliki proses yang dengan seksama guna meningkatkan sistem sama dalam hal Dinas mengkoordinasikan proses yang ada saat ini dan menghindari pertentangan anggaran untuk sekolah-sekolah dasar. Namun dengan dan duplikasi sistem tersebut. untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas, proses tersebut berbeda karena sebagian besar kabupaten/kota memperlakukan sekolah-sekolah lanjutan tersebut sebagai satuan kerja mandiri yang mengelola proses anggarannya sendiri dan menyerahkan rencana anggaran dan rencana kerjanya secara individual. 56 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Lampiran Gambar 1. Pendapatan dan Belanja untuk Pendidikan Kabupaten/Kota, Tahun 2005 600,000 Belanja untuk pendidikan tahun 2005 (Rp juta) 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 Pendapatan tahun 2005 (Rp juta) Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan Tabel 1. Belanja untuk Pendidikan oleh Pemerintah Pusat (Dekonsentrasi), Pemerintah Daerah, dan Belanja Out-of-Pocket Rumah Tangga Tahun 2005 Persen Kabupaten Dekonsentrasi Pemda Di luar saku RT Jumlah Kab. Asahan 0.00 72.37 27.63 100 Kota Binjai 0.17 60.59 39.25 100 Kab. Wonosobo 0.33 78.76 20.91 100 Kota Magelang 0.53 73.78 25.68 100 Kab. Minahasa 2.03 82.58 15.39 100 Kota Menado 41.82 38.22 19.96 100 Kab. Timtengsel 0.62 93.45 5.92 100 Kab. Belu 0.57 81.83 17.60 100 Kab. Jayawijaya 0.06 92.46 7.48 100 Kab. Jayapura 1.03 94.99 3.98 100 Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan dan data APBD kabupaten. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 57 Lampiran Tabel 2. Belanja untuk Pendidikan Pemerintah Daerah Tahun 2001-2006 Juta Rp Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Kab. Asahan 148,449 141,451 159,201 159,857 140,340 151,315 Kota Binjai 28,538 45,766 54,088 53,024 48,077 51,255 Kab. Wonosobo 64,977 95,861 110,022 126,837 107,692 113,363 Kota Magelang 42,338 42,272 59,321 52,865 50,595 52,406 Kab. Minahasa 177,156 199,877 223,540 131,045 9,839 86,274 Kota Menado 15,013 73,634 24,463 102,091 90,225 100,524 Kab. Timtengsel 90,332 76,522 79,424 54,970 84,233 93,819 Kab. Belu 60,723 57,298 69,531 70,916 67,973 75,077 Kab. Jayawijaya 79,064 75,040 73,266 50,237 40,915 77,456 Kab. Jayapura - 21,183 28,784 51,718 50,062 53,949 Catatan: data Kota Manado pada tahun 2006 didasarkan oleh anggaran yang direncanakan. Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan dan data ABPN kabupaten (harga konstan tahun 2002) Tabel 3. Belanja Rutin dan Pembangunan untuk Pendidikan Tahun 2004-2006 Juta Rp 2004 2005 2006 Kabupaten Rutin Pembangunan Rutin Pembangunan Rutin Pembangunan Kab. Asahan 148,864 10,993 135,412 4,928 135,440 15,875 Kota Binjai 48,293 4,731 43,433 4,643 45,719 5,536 Kab. Wonosobo 106,853 19,985 97,634 10,057 99,516 13,848 Kota Magelang 46,375 6,489 43,704 6,890 49,352 3,054 Kab. Minahasa 126,863 4,182 70,706 9,133 73,138 13,135 Kota Menado 98,463 3,628 86,607 3,618 93,138 7,386 Kab. Timtengsel 46,375 8,594 69,267 14,965 72,209 21,610 Kab. Belu 61,845 9,071 59,704 8,269 63,238 11,839 Kab. Jayawijaya 49,161 1,076 37,121 3,793 41,172 13,574 Kab. Jayapura 47,629 4,089 40,077 9,985 40,003 13,946 Catatan: data Kota Manado pada tahun 2006 didasarkan oleh anggaran yang direncanakan. Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan dan data APBD kabupaten (harga konstan tahun 2002) 58 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Lampiran Tabel 4. Klasifikasi Ekonomi Belanja Rutin untuk Pendidikan Tahun 2006 Juta Rp Kabupaten Pegawai Barang Pemeliharaan Perjalanan Lain-lain Bantuan Jumlah Keuangan Kab. Asahan 189,665 1,673 14 274 - - 191,626 Kota Binjai 62,375 1,726 539 45 - - 64,685 Kab. Wonosobo 131,879 4,097 548 226 - 4,049 140,799 Kota Magelang 68,896 649 150 129 - - 69,825 Kab. Minahasa 101,781 1,515 132 51 - - 103,479 Kota Menado 131,059 522 154 40 - - 131,775 Kab. Timtengsel 99,548 1,510 398 708 - - 102,164 Kab. Belu 85,047 2,885 370 1,169 - - 89,472 Ksb. Jayawijaya 55,868 1,747 525 112 - - 58,252 Kab. Jayapura 55,587 743 195 73 - - 56,598 Catatan: data Kota Manado pada tahun 2006 didasarkan oleh anggaran yang direncanakan. Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan dan data APBD kabupaten (harga berjalan) Tabel 5. Belanja Publik dan Aparatur untuk Pendidikan Tahun 2005 dan 2006 Juta Rp 2005 2006 Kabupaten Aparatur Publik Bantuan Jumlah Aparatur Publik Bantuan Jumlah Keuangan Keuangan Kab. Asahan 135,536 4,758 46 140,340 135,774 15,540 - 151,315 Kota Binjai 43,469 4,607 - 48,077 46,050 5,205 - 51,255 Kab. Wonosobo - 105,119 2,573 107,692 - 110,501 2,862 113,363 Kota Magelang 5,729 44,866 - 50,595 7,182 45,223 - 52,406 Kab. Minahasa 1,639 78,200 - 79,839 2,665 83,609 - 86,274 Kota Menado - 90,225 - 90,225 - 100,524 - 100,524 Kab. Timtengsel 12,311 71,921 - 84,233 15,968 77,851 - 93,819 Kab. Belu 417 67,556 - 67,973 581 74,496 - 75,077 Kab. Jayawijaya 36,551 4,104 - 40,655 41,172 13,574 - 54,746 Kab. Jayapura 42,795 7,266 - 50,062 40,003 13,946 - 53,949 Catatan: data Kota Manado pada tahun 2006 didasarkan oleh anggaran yang direncanakan. Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD/Departemen Keuangan dan data APBD kabupaten (harga konstan tahun 2002) Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 59 Lampiran Tabel 6. APM, Angka Melek Huruf, dan Rata-Rata Tahun Bersekolah, Tahun 2005 Persen Angka Partisipasi Sekolah Kotor Angka Melek Rata-rata Kabupaten SD % SLTP % SLTA % % Tahun Kab. Asahan 97.25 93.05 58.69 95.89 7.29 Kota Binjai 97.98 90.99 73.37 98.33 8.79 Kab. Wonosobo 98.21 66.26 31.69 87.53 6.02 Kota Magelang 99.54 93.94 72.39 95.99 9.25 Kab. Minahasa 96.13 87.87 64.26 99.19 8.35 Kota Menado 98.86 93.15 68.54 99.40 9.61 Kab. Timtengsel 95.00 66.07 33.41 79.18 6.39 Kab. Belu 93.34 70.74 44.04 79.60 6.16 Kab. Jayawijaya 96.68 93.25 69.56 96.39 7.75 Kab. Jayapura 78.96 61.89 32.97 38.34 6.18 Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SUSENAS/BPS tahun 2005. Tabel 7. Jumlah Murid, Keadaan Ruang Kelas, dan Jumlah Sekolah Tahun 2006 Jumlah sekolah per 1.000 % ruang kelas yang sangat SISWAper ruang kelas jumlah penduduk usia Kabupaten rusak sekolah (setiap tingkat) SD SLTP SLTA SD SLTP SLTA SD SLTP SLTA Kab. Asahan 29 38 41 29.5 4.1 3.9 5 2 1 Kota Binjai 32 37 27 4.8 2.6 3.5 5 3 2 Kab. Wonosobo 25 36 36 31.0 1.6 1.6 5 1 1 Kota Magelang 27 37 34 2.4 1.2 1.7 6 3 2 Kab. Minahasa 16 28 32 18.0 14.3 10.6 12 6 2 Kota Menado 26 34 31 21.9 3.3 1.2 6 4 2 Kab. Timtengsel 26 44 47 43.2 4.5 2.5 6 2 1 Kab. Belu 18 35 36 38.8 13.2 7.1 7 2 1 Kab. Jayawijaya 30 48 40 - 32.5 17.3 4 3 1 Kab. Jayapura 22 35 36 - 19.1 21.4 9 6 3 Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Profil Pendidikan Kabupaten tahun 2006. 60 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Referensi Aran, Meltem (2007). Note on “Pro-Poor Targeting and the Effectiveness of Indonesia’s Fuel Subsidy Reallocation Programs” (Catatan tentang “Penentuan Target yang Memihak Kaum Miskin dan Efektivitas Program Realokasi Subsidi Bahan Bakar Indonesia). Jakarta. Indonesia Ghozali, Abbas. “Analisis Sejarah Kebijakan, Penyelenggaraan, dan Kondisi Pendidikan Dasar serta Implikasinya pada Pendidikan Dasar Gratis”. Makalah individual untuk studi Pendidikan Gratis yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Jakarta. Indonesia. Pemerintah Daerah Kabupaten Belu (2004). Rencana Strategis Kabupaten Belu 2004-2008 Pemerintah Daerah Kabupaten Belu (2004). Rencana Strategis Dinas Pendidikan Kabupaten Belu Periode 2004- 2008 Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa (2003). Rencana Strategis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa Tahun 2003-2007 Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (2004). Rencana Strategis Kabupaten Timor Tengah Selatan 2004-2008 Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (2005). Rencana Strategis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2005-2009 Pemerintah Daerah Kota Binjai. Peraturan Walikota Binjai nomor 050-6525 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Binjai 2006-2010. Pemerintah Daerah Kota Magelang (2005). Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Magelang Tahun 2005-2010. Pemerintah Daerah Kota Manado (2005). Peraturan Daerah nomor 04 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Manado 2005-2010. Pemerintah Daerah Kota Manado (2005). Matriks Program Lima Tahunan (RPJMD dan Renstra SKPD). Dinas Pendidikan Kota Manado Pemerintah Indonesia (2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten. Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah 61 Referensi Pemerintah Indonesia (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pemerintah Indonesia (2005). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pemerintah Indonesia (2003). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah Indonesia (2002). Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pemerintah Indonesia (2004). Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Indonesia (2004). Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Tandon, Ajay (2005), Measuring Eficiency of Macro Systems: An Application to Millenium Development Goal Attainment (Mengukur Efisiensi Sistem Makro: Sebuah Aplikasi terhadap Pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium), Kajian Pembangunan Asia, Vol 22, no. 2, hal. 108-125 WHO (2005), “ Sub National Health System Performance Assessment in Indonesia” (Penilaian Kinerja Sistem Kesehatan Daerah di Indonesia). diproses oleh World Health Organization, Jenewa Bank Dunia (2005). “Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization” (Pendidikan di Indonesia: Mengelola Transisi Menuju Desentralisasi), volume 1 – volume 3. Jakarta, Indonesia. Bank Dunia (2007a). “Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures” (Berinvestasi pada Pendidikan di Indonesia: Alokasi, Keadilan, dan Efisiensi Belanja Publik). Jakarta, Indonesia. Bank Dunia (2007b). Indonesia Public Expenditure Review. “Spending on Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities” (Kajian Belanja Publik Indonesia. “Belanja untuk Pembangunan: Memanfaatkan Peluang Baru di Indonesia dengan Sebaik-Baiknya). Jakarta. Indonesia Bank Dunia. “Teacher Employment and Deployment in Indonesia: Opportunities for Equity, Efficiency, and Quality Improvement.” (Tenaga Kerja dan Penyebaran Guru di Indonesia: Peluang untuk Peningkatan Keadilan, Efisiensi, dan Mutu) Jakarta. Indonesia. 62 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia