41032 Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 Juni ­ 31 Juli 20071 Bank Dunia/DSF Konflik politik pada bulan Juni dan Juli menunjukkan adanya ketegangan baik antara GAM dan RI maupun dalam tubuh GAM itu sendiri.2 Keputusan Partai GAM untuk menggunakan bendera GAM sebagai symbol partai berujung ketegangan. Pilkada Bupati Bireuen pada bulan Juni diwarnai dengan beberapa insiden kekerasan, memuncak dengan serangan pelemparan granat di rumah Wakil Bupati yang baru dilantik pada bulan Juli. Pelaku serangan itu masih belum ditemukan ­ begitu juga pada sembilan insiden granat lainnya yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya. Pada bulan Juni, tercatat 95 konflik tingkat lokal, 23 diantaranya melibatkan kekerasan; pada bulan Juli tercatat 94 konflik tingkat lokal dengan 21 insiden kekerasan. Tingkat kekerasan ini lebih tinggi daripada delapan belas bulan pertama paska MoU. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah tingginya angka kematian dari kekerasan ini ­ bulan Juni tercatat sebagai angka kematian (dari konflik) tertinggi sejak MoU dengan 12 kematian. Kekerasan ini sepertinya bersifat insidental dan kriminal daripada terkoordinir dan ideologis, dan merupakan kemajuan signifikan dibandingkan dengan periode konflik pra-MoU, tetapi hal ini tetap menunjukkan perlunya pengawasan yang terus-menerus serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai bentuk-bentuk kekerasan baru. Perdamaian di Aceh masih bertahan, tetapi ketegangan dari sebelum MoU juga bertahan, dan bentuk kekerasan baru dapat bertambah dengan cepat bila tidak diperhatikan. Laporan Pemantauan ini berisi konflik politik, penyerangan "main hakim sendiri", dan insiden kekerasan yang menunjukkan kurangnya kepercayaan antara polisi dan masyarakat yang terus berlanjut. Terakhir, kami juga mendiskusikan beberapa bentuk konflik tanpa kekerasan yang kerap terjadi, termasuk konflik terkait bantuan. Ketegangan GAM/RI dan Intra ­GAM: sengketa bendera GAM dan granat di Bireuen Figur 1: Konflik GAM-RI dan konflik lokal per bulan Tidak ada konflik antara GAM dan RI yang GAM-GoI Local Level Conflict 160 terjadi pada bulan Juni dan Juli (Lihat Figur 140 120 1). Meskipun demikian, ketegangan sempat 100 muncul pada sebuah sengketa mengenai boleh 80 60 tidaknya partai lokal baru yang bernama 40 20 "Partai GAM" menggunakan bendera GAM 0 sebagai simbolnya. Partai GAM dibentuk Jan Feb Mar Apr May Jun Jul AugSep Oct Nov Dec Jan Feb Mar AprMayJuneJulyAug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly 05 MoU 06 07 untuk mengantisipasi pemilu legislatif 2009 sebagai partai lokal, seperti yang telah diijinkan berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Parti GAM menyatakan bahwa nama 1 Laporan Pemantauan ini meliputi bulan Juni dan Juli. Kami tidak sempat membuat Laporan Pemantauan bulan Juni karena libur karyawan. 2 Sebagai bagian dari program dukungan analisis bagi proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Laporan Pemantauan bulanan dapat diakses melalui: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi yang membutuhkan, dengan menghubungi Blair Palmer di: bpalmer@worldbank.org. Terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik, lihat Patrick Barron dan Joanne Sharpe (2005) "Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia", Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. 1 partai bukan singkatan dari Gerakan Aceh Merdeka, namun mereka menggunakan bendera dari gerakan tersebut. Kepolisian Banda Aceh sempat meminta partai menurunkan bendera tersebut dari kantor mereka, karena sebagai simbol militer hal itu tidak sesuai dengan MoU. Pimpinan partai setuju untuk menutupi bendera tersebut, sambil menunggu persetujuan resmi status partai dari Departemen Kehakiman dan HAM. Penggunaan simbol seperti ini tampaknya merupakan strategi bukan untuk membuat gerah pemerintahan RI, melainkan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pro-GAM di Aceh, yang nantinya akan harus memilih di antara banyak partai lokal yang mengklaim afiliasi dengan GAM. Oleh karena itu, fraksi GAM tertentu bakal menolak penggunaan bendera GAM oleh partai ini. Perdebatan mengenai bendera (dan konflik selanjutnya mengenai siapa yang sebenarnya mewakili GAM) merupakan tanda pentingnya kompetisi intra- GAM dalam ketegangan yang terjadi ­ lain dari periode pra-MoU di mana ketegangan disebabkan oleh perpecahan antara GAM dan RI. Pilkada Bupati Bireuen yang diadakan pada tanggal 25 Juni berujung pada ketegangan selama periode kampanye dan setelah pengumuman hasilnya. Terjadi beberapa kasus intimidasi dan kekerasan (lihat Kotak 1). Sebagian ketegangan terjadi karena terdapat tiga Kotak 1. Konflik politik pada Pilkada Bupati Bireuen calon yang berafiliasi dengan GAM/KPA; satu calon Bupati (Nurdin) ˇ 14 Juni. Rumah calon Wakil Bupati dibasahi dengan bensin dan dua calon Wakil Bupati. Dengan dan oli, entah dalam usaha pembakaran yang gagal atau keberhasilan GAM/KPA pada Pilkada ancaman. Desember lalu, tidak mengejutkan ˇ 16 Juni. Sebuah mobil kampanye untuk calon yang bahwa lebih dari satu calon ingin akhirnya menang, Nurdin AR, ditembaki oleh OTK ketika sedang diparkir tanpa penumpang. merekrut Wakil Bupati dari jajaran ˇ 20 Juni. Seorang anggota tim sukses Nurdin dikirimi paket KPA. berisi ayam mati beserta surat ancaman. ˇ 29 Juli. Insiden paling serius terjadi ketika sebuah granat Seorang juru bicara KPA mensinyalir meledak di kantor Wakil Bupati yang baru, Busmadar. bahwa pelemparan granat dimaksudkan Gedung mengalami kerusakan tapi tidak ada yang terluka. untuk mengintimidasi pemerintahan baru, dan mungkin dilakukan oleh pihak yang takut dengan "pembersihan" birokrasi yang direncanakan oleh pemerintahan Nurdin. Meski demikian, seperti halnya pelemparan granat yang terjadi pada bulan April-Mei tahun ini, serangan ini masih tetap tidak terpecahkan, dan motifnya bisa juga punya kaitan dengan perebutan kekuasaan di dalam KPA. Konflik politik tampaknya akan tetap sering terjadi di bulan-bulan mendatang, terutama di kabupaten dimana Bupati baru dan DPRD lama harus mulai bekerja sama. Meski begitu, sebuah insiden kekerasan di Nagan Raya menunjukkan bahwa konflik politik kini terjadi bahkan di kabupaten yang Bupatinya terpilih kembali. Pada tanggal 14 Juni, seorang anggota DPRD Nagan Raya dianiayai oleh dua orang setelah terjadi kecelakaan lalu lintas. Anggota DPRD tersebut, Zuhri, menuduh ada motif politik dibalik kejadian tersebut, berdasarkan dua orang yang menyerangnya pernah mencari dia di kantor baru-baru ini. Zuhri selama ini dikenal kritis terhadap Bupati, dan baru-baru ini bersaksi pada pengadilan atas kasus pencucian uang (money laundering) yang melibatkan orang yang dituduh sebagai ajudan Bupati. Anggota Tim DPRD yang dibentuk untuk menyelidiki insiden tersebut juga menerima ancaman dan intimidasi; sepuluh anggota DPRD dari Tim mengaku takut masuk kantor. Polres tampaknya menyimpulkan bahwa insiden tersebut tidak direncanakan ataupun bersifat politis, tapi setelah anggota DPRD pergi ke Polda untuk menyampaikan bukti, Polda mengambil alih investigasi dari Polres agar penyelidikan bisa "lebih transparan". 2 Angka kekerasan tinggi terus; kematian akibat konflik mencapai angka tertinggi paska-MoU Kami mencatat ada 95 konflik lokal di bulan Juni dan 94 di bulan Juli. Insiden kekerasan terdapat 23 pada bulan Juni dan 21 di bulan Juli ­ ini termasuk tingkat kekerasan tertinggi sejak MoU (lihat Figur 2). Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah jumlah kematian akibat konflik. Meski jumlah insiden kekerasan relatif konstan pada sekitar 20 per bulan sejak bulan Maret 2007, jumlah kematian akibat konflik meningkat dari nol di bulan Maret menjadi 12 di bulan Juni. Ini angka tertinggi sejak Juli 2005, sebelum MoU (lihat Figur 3). Sebelum Juni kami mencatat sejumlah 39 kematian akibat konflik sejak MoU, rata-rata 1,8 perbulan. Jumlah kematian bulan Juni merupakan peningkatan lebih dari enam kali rata-rata. Pada bulan Juli hanya tercatat dua kematian, menimbulkan harapan bahwa yang terjadi di bulan Juni hanya sebuah keganjilan. Figur 2: Konflik lokal kekerasan dan non-kekerasan per bulan Figur 3: Kematian akibat konflik per bulan Violent Local Level Conflict Non-violent Local Level Conflict 14 120 12 100 10 80 sh 8 60 eatDfo erb 6 40 muN4 20 2 0 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May JuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May June July Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May June July 05 MoU 06 07 MoU 06 07 Ke-14 kematian yang terjadi bulan Juni dan Juli terjadi akibat beberapa jenis konflik (lihat Kotak 2). Perlu dicatat bahwa lebih dari setengah dari pembunuhan ini terkait perebutan sumber daya.3 Kotak 2: Kematian terkait konflik bulan Juni-Juli Pembunuhan terkait sumber daya (7 kematian) ˇ 1 Juni, Aceh Barat. Seorang warga dibunuh oleh sekelompok pekerja perkebunan karet, diduga karena mereka merasa korban pernah mencuri karet di perkebunan itu. Warga sekitar sempat membalas dendam atas pembunuhan itu dengan mengeroyok seorang pekerja karet pada hari yang sama. Situasi itu menimbulkan ketegangan etnis yang cukup tinggi karena banyak pekerja karet, termasuk para pelaku pembunuhan, berasal dari Sumatera Utara. ˇ 15 Juni, Kota Langsa. Aceh Kita melaporkan empat nelayan dibunuh ketika perahunya ditabrak kapal pesaing dari Sumatera Utara. Seorang saksi mata mengatakan pelaku terus menabrakkan nelayan di laut hingga mereka tidak muncul lagi di permukaan. Dua korban adalah anggota KPA; juru bicara KPA mengatakan ini adalah pembunuhan serupa yang ketiga. ˇ 30 Juni, Aceh Utara. Seorang yang disangka pencuri hewan ternak dikeroyok hingga tewas oleh warga. ˇ 16 Juli, Pidie. Seorang petani dibunuh, disinyalir karena perebutan tanah. Insiden Domestik (2 kematian) ˇ 28 Juni, Lhokseumawe. Seorang satpam ditembak hingga tewas oleh pacarnya. ˇ 17 Juli, Aceh Utara. Seorang pria menyerang keluarganya sendiri, membunuh anak bayinya. Keluarganya mengatakan bahwa pria tersebut sudah nampak "terganggu" sejak dua tahun yang lalu. Insiden Lainnya (2 kematian) ˇ 16 Juni, Pidie. Seorang guru Sekolah Dasar dibunuh oleh tiga orang pria, diduga pembalasan atas tuduhan santet yang pernah dilakukan korban. ˇ 24 Juni, Aceh Singkil. Seorang peternak kambing dibunuh, kemungkinannya oleh majikan sendiri. Motif Tidak Diketahui (3 kematian) ˇ 1 Juni, Bireuen. Seorang pria dibunuh dua orang penyerang dirumahnya. ˇ 3 Juni, Bireuen. Seorang mantan kombatan GAM dan keluarganya diserang oleh OTK dirumahnya. Satu anak meninggal. Pria pemilik rumah tersebut kemudian terkait beberapa kasus perampokan, demikian pula 17 orang di rumah sakit yang disebut sebagai penjaganya (bodyguard). Sebuah mobil milik NGO CARDI yang dicuri pada 23 Mei, ditemukan besoknya, setelah tersangka memberitahu polisi lokasinya. ˇ 6 Juni, Aceh Selatan. Seorang imam desa dibunuh oleh pelaku tak dikenal. 3 Dalam Kotak 2, pengeroyokan terhadap pencuri diletakkan pada kategori "terkait sumber daya" karena pembunuhan itu seolah-olah melindungi sumber daya masyarakat. Meski demikian, ketika kami diskusikan 3 Naiknya tingkat kekerasan menjadi peringatan bahwa dalam situasi paska konflik tidak hanya ketegangan lama tetap ada (lihat dibawah), namun ketegangan baru juga timbul. Bentuk-bentuk pengambilan keputusan yang demokratis sedang dikembangkan, tetapi persaingan politik ditangani oleh institusi-institusi yang masih lemah. Ada resiko bahwa, misalnya, kejengkelan terhadap sistem peradilan beserta pola kekerasan yang tersisa dari periode konflik dapat mengakibatkan banyak persengketaan diselesaikan dengan cara kekerasan. Strategi untuk mereformasi sektor keadilan sangat dibutuhkan, dan semua proyek pembangunan perlu dirancang dengan kepekaan terhadap konflik, agar dapat mengantisipasi resiko tersebut. Sengketa terkait sumber daya butuh perhatian serius, dan harus ditangani dengan lebih baik, baik oleh mekanisme keadilan formal maupun informal. Jenis-jenis dan angka insiden kekerasan dijelaskan di Tabel 1 di bawah. Jenis kekerasan yang paling sering terjadi adalah serangan "main hakim sendiri", dengan 12 insiden, di mana sembilan melibatkan kekerasan. Pada bulan-bulan sebelumnya kami telah menggambarkan berbagai jenis serangan "main hakim sendiri" ­ yang sering menonjol adalah penyerangan terhadap orang yang disangka pencuri, dukun santet, atau pelaku khalwat (kontak seksual antara dua individu yang tidak menikah). Tabel 2 dibawah memberikan ringkasan insiden "main hakim sendiri" bulan Juni-Juli. Dua kasus kekerasan yang terjadi selama penangkapan khalwat sangat mengkhawatirkan. Ini bukan kasus pemerkosaan massal pertama yang dilaporkan terjadi pada penangkapan khalwat; pemerkosaan dan pelecehan seksual telah dilaporkan beberapa kali, dan kemungkinan ada juga kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Selain penganiayaan dan pemerkosaan, korban kadang juga menghadapi upaya pemerasan supaya "dosa" mereka tidak dilaporkan. Polisi dan wilayatul hisbah ("polisi syari'ah") tidak berupaya melarang warga melakukan penangkapan terhadap pelaku khalwat, tetapi mereka mendorong agar penangkapan dilakukan tanpa kekerasan. Bila pemuda-pemuda yang tidak diberikan pelatihan apapun terus diperbolehkan melakukan penangkapan, penyalahgunaan kekuasaan ini juga akan terus berlanjut. Tabel 1: Jenis insiden kekerasan bulan Juni dan Juli Tabel 2: Jenis insiden "main hakim sendiri" bulan Juni dan Juli # Jenis insiden # Jenis insiden 9 Serangan main hakim sendiri Insiden "sweeping" dilakukan oleh kelompok santri atau warga 8 Perkelahian untuk mencegah perilaku amoral di tempat hiburan dan pantai. Pembakaran atau pengerusakan gedung atau Satu insiden berujung kekerasan ketika pelanggan dan pemilik 7 barang 4 café melawan aksi kelompok tersebut. Perkelahian terjadi, 5 Serangan balas dendam kemudian KPA menahan beberapa santri dan menyerahkannya Pembunuhan dan penganiayaan karena pada polisi. 5 alasan yang tidak diketahui 4 Pengeroyokan terhadap tersangka pencurian. Dua korban 3 Kekerasan politik meninggal. 3 Penculikan (biasanya karena hutang) Penganiayaan karena alasan lain (satu korban adalah suami yang 2 Pembunuhan terkait sumber daya 2 memaksa istrinya berhubungan seksual dengan tetangga, dan 2 Insiden domestik satu lagi adalah orang yang diduga intel) Penganiayaan dan pemerasan terhadap tersangka khalwat Pada bulan-bulan sebelumnya kami 1 (korban adalah polisi) menyatakan bahwa ketegangan pra- Penganiayaan dan pemerkosaan massal terhadap tersangka MoU terus berlanjut setelah MoU dalam 1 khalwat (korban laki-laki dianiayai, korban perempuan diperkosa bentuk konflik lokal, di mana pihak oleh tiga pelaku). yang berkonflik adalah sama dengan yang sebelum MoU. Pada bulan Juni dan Juli, enam insiden kekerasan turut memperlihatkan kekerasan di bawah, kami menggunakan baik "main hakim sendiri" maupun "terkait sumber daya" sebagai kategori, dan menempatkan pengeroyokan terhadap pencuri sebagai yang pertama. 4 perpecahan antara polisi dan masyarakat ­ lihat Kotak 3. Pihak polisi adalah pelaku pada beberapa kasus dan korban pada kasus-kasus lainnya. Kesimpulannya adalah masyarakat masih mencurigai polisi dan militer, kegiatan intel mereka dan keberadaan mereka di desa-desa. Pihak polisi sebaiknya terus meningkatkan citra mereka di Aceh dengan mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan ilegal serta menghindari kekerasan yang berlebihan. Insiden kekerasan telah terjadi pada beberapa peristiwa ketika polisi atau militer tidak memberitahu kedatangan mereka kepada pimpinan desa (contohnya insiden bulan Maret di Alue Due dan Lhok Meurebo).4 Reformasi sektor keamanan (polisi dan militer) merupakan bagian penting pada proses perdamaian. Kegiatan reformasi sektor keamanan, kalau hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat, akan membawa keuntungan terhadap polisi maupun terhadap perdamaian. Kotak 3: Insiden yang melibatkan polisi vs. masyarakat Enam insiden yang terjadi bulan ini melibatkan kekerasan yang dilakukan oleh polisi atau terhadap polisi. Keenam insiden itu tersebar di Aceh, menandakan bahwa kekerasan jenis ini tidak khusus pada wilayah konflik pada masa lalu. Beberapa kasus penganiayaan terhadap polisi terjadi ketika polisi tertangkap karena khalwat (satu insiden bulan ini) atau ketika polisi yang sedang bertugas intel dituduh sebagai pencuri (lihat di bawah), tapi hampir pasti bahwa kejengkelan juga ikut menyebabkan insiden-insiden ini. Dua kasus yang paling penting adalah: ˇ 9 Juni, Aceh Utara. Seorang pemuda usia 16 tahun ditembak setelah motornya melewati pos pemeriksaan polisi. Polisi mengatakan pengendara tidak mau berhenti, dan ditemukan membawa ganja, sebilah pisau, dan empat peluru AK47. Anggota keluarganya protes pembunuhan itu berlebihan dan tidak perlu terjadi. KPA mengatakan ini tampaknya lagu lama, polisi menutupi kesalahan dengan taktik era konflik yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang GAM. KPA menyatakan bahwa korban adalah anak sekolah dan tidak pernah bergabung dengan GAM. FKK (Forum Komunikasi dan Koordinasi untuk Perdamaian di Aceh) sempat menyelidiki kasus ini, dan menemukan bahwa memang benar terdapat ganja dan pisau, tetapi pelurunya adalah sebagai hiasan gantungan kunci saja. Polisi mengatakan mereka menembakkan dua peluru peringatan sebelum menembak korban, tetapi ada saksi mata yang menyatakan hanya mendengar satu kali tembakan. ˇ 21 Juni, Trienggadeng, Pidie Jaya. Dua petugas polisi dikeroyok di desa Rawasari. Polisi mengklaim mereka disana mencari penghisap ganja. KPA menyatakan bahwa masyarakat curiga karena dua orang itu tidak menggunakan seragam polisi, membawa senjata dan memakai penutup wajah, dan tidak melapor ke kepala desa ketika datang. Mencurigai mereka sebagai perampok, warga meminta mereka membuka wajah, dan ketika menolak, masyarakat mengeroyok mereka. Dua warga kemudian ditangkap (setidaknya salah satunya adalah anggota KPA), kemudian dilepaskan setelah sekitar 100 warga mendatangi kantor polisi untuk menuntut pembebasannya. KPA tetap menyatakan bahwa banyak warga yang memukuli, bukan hanya dua orang yang ditangkap itu. Konflik tanpa kekerasan terkait pengangkatan PNS, reshuffling, proyek bantuan, dan HAM Konflik tanpa kekerasan tidak mesti menjadi masalah; setiap kelompok manusia ada konfik, dan bila konflik diselesaikan tanpa kekerasan itu hal positif. Meski demikian, konflik tanpa kekerasan, bila tidak ditangani secara efektif, bisa berujung pada kekerasan. Melacak konflik tanpa kekerasan dapat berguna untuk mengidentifikasi hal apa perlu diupayakan dalam menyelesaikan dan mencegah konflik yang muncul, sebelum berakhir dengan kekerasan. Di bagian ini kami mendiskusikan empat jenis konflik yang sering terjadi namun jarang melibatkan kekerasan: konflik terkait proses tender dan pengangkatan PNS, mutasi PNS, proyek bantuan, dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Pada bulan Juni dan Juli terjadi beberapa konflik terkait proses pengadaan (procurement) dan pengangkatan PNS. Beberapa kontraktor protes proses tender di Aceh Selatan dan di Banda Aceh, karena proposal tidak diverifikasi dan proposal yang sangat mahal yang dimenangkan.Pengangkatan PNS yang setiap tahun diadakan juga menuai banyak protes. Proses pengangkatan diprotes oleh bidan-bidan di Aceh Tamiang, guru-guru di Aceh Timur, dan 4 Lihat Laporan Pemantauan Konflik di Aceh bulan Maret di: www.conflictanddevelopment.org. 5 perawat-perawat di Aceh Besar. Terdapat protes juga terhadap proses pemberian kursi SMA dan universitas; sebuah LSM memprotes korupsi/kolusi dalam alokasi kursi sekolah di Kota Langsa, dan mahasiswa sebuah universitas di Banda Aceh protes tentang penjualan diploma. Peningkatan terhadap pemerintahan (good governance) dan peradilan (rule of law) di Aceh akan memerlukan perbaikan pada proses tender dan pengangkatan PNS, karena keduanya adalah arena kunci dimana elit menyebarkan jasa kepada para pendukungnya (atau siapapun yang membayar). Bila sumber daya disalurkan hanya kepada mereka yang dekat dengan elit, perasaan kecewa pada masyarakat luas akan berlanjut sehingga terus mengancam perdamaian. Beberapa konflik terjadi ketika Bupati-Bupati baru melakukan mutasi pejabat. Di Aceh Besar, seorang pejabat menuntut Bupati karena dimutasi, dan di Nagan Raya 26 PNS melakukan hal yang sama. Di Aceh Utara terjadi sengketa atas pemecatan geuchik (kepala desa), dan di Aceh Timur seorang mantan Bupati digeser kedudukannya sebagai kepala BRA setempat, dan ini juga berakhir dengan konflik. Tampaknya konflik-konflik ini akan terus berlanjut, tapi segi baiknya adalah belum ada tanda-tanda elit yang menggalang suporter ke arah kekerasan untuk mendukung protes mereka. Figur 4: Konflik terkait bantuan per bulan Kami telah melacak konflik terkait Aid-related Conflicts Local Level Conflict bantuan selama beberapa bulan. 160 Bantuan terlibat dalam 25 konflik di 140 bulan Juni dan 18 di bulan Juli (lihat 120 100 Figur 4). Konflik terkait bantuan 80 lebih banyak terfokus pada BRR 60 (Badan Rekonstruksi dan 40 20 Rehabilitasi) atau BRA (Badan 0 Reintegrasi-Damai Aceh). Konflik Jan FebMar Apr MayJun Jul AugSep Oct NovDecJan FebMar AprMayJuneJulyAugSep Oct NovDecJan FebMar Apr MayJuneJuly 05 MoU 06 07 yang melibatkan BRR terkait isu yang sama dengan bulan-bulan sebelumnya: keterlambatan bantuan, kualitas rumah bantuan yang buruk, dan tuduhan korupsi dan salah manajemen. Jalan Banda Aceh ­ Calang masih kadang ditutup oleh warga yang kompensasi tanahnya belum diselesaikan oleh BRR. Kepala BRR mengakui adanya korupsi di dalam BRR, tapi staf yang dimaksud tidak dipecat, menurut Gerak, sebuah LSM anti-korupsi. Konflik juga terjadi terkait dana reintegrasi. Tuduhan korupsi atas dana BRA muncul di Aceh Barat. Pada tanggal 30 Juli, korban konflik dari Bener Meriah dan Aceh Tengah datang ke Banda Aceh dan menduduki gedung DPRD selama 13 jam, menuntut supaya manajemen dana BRA untuk rumah bantuan di dua kabupaten itu harus diselidiki. Insiden ini mengingatkan kita bahwa sampai sejauh ini reintegrasi masih belum ditangani dengan baik; banyak mantan kombatan dan korban konflik belum mendapat bantuan yang mereka butuhkan, belum memiliki mata pencaharian dan sebagian belum memiliki rumah. Reintegrasi sosial juga terabaikan. Beberapa protes dan demonstrasi meminta dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), seperti yang dimandatkan dalam MoU. Pada tanggal 14 Juni, sebuah koalisi LSM yang mewakili korban konflik di Aceh Timur menekan pemerintah untuk membentuk KKR dan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM, dengan menyatakan bahwa "MoU tidak membuat kami lupa". Pada tanggal 19 Juni korban konflik dari Aceh Utara dan Lhokseumawe menuntut terbentuknya KKR, setelah mereka membentuk organisasi untuk perjuangan mereka. Pada 23 Juli sebanyak 500 demonstran menuntut hal yang sama di Banda Aceh. Protes-protes ini tampaknya akan berlanjut tapi kecil kemungkinan terjadi kekerasan. 6 Menangani pelanggaran HAM dari periode konflik akan memerlukan lebih dari sebuah KKR. Era baru kebebasan politik di Aceh dapat mendorong korban agar menuntut keadilan dalam arti lebih luas daripada hanya KKR saja. Pada bulan Juli beberapa protes sempat mengangkat salah satu kasus (lihat Kotak 4). Rezim Orde Baru memperbolehkan kroni-kroninya merampas tanah dan sumber daya lainnya dari warga miskin yang tidak berdaya, dengan menggunakan bekking militer bila perlu. Perampasan tanah yang dibekking militer merupakan salah satu contoh bagaimana konflik dan kemiskinan saling memperkuat. Membangun perdamaian yang berkelanjutan di Aceh tidak hanya membutuhkan perbaikan peradilan sehingga pelanggaran ini tidak lagi terjadi, tapi juga membutuhkan penyelidikan terhadap kasus-kasus yang telah terjadi, dan keadilan untuk korbannya, yang terus menderita karena tidak dapat memanfaatkan sumber daya Aceh yang sebenarnya sangat banyak. Kotak 4: Kasus Bumi Flora Pada bulan Juli, masyarakat dari enam desa di Aceh Timur meluncurkan protes terhadap perampasan tanah mereka yang dilakukan pada awal 1990-an. Perusahaan Bumi Flora sekarang memegang hak terhadap 8300 hektar tanah untuk ditanami kelapa dan karet hingga 2024. Tetapi warga mengklaim bahwa 3400 hektar dari tanah itu diambil paksa dari mereka. Setelah mereka menolak kompensasi yang ditawarkan karena sangat minim, katanya, perusahaan kemudian menggunakan militer untuk mengintimidasi mereka. Bila protes, mereka beresiko dituduh sebagai GPK (yaitu musuh pemerintah). Ketika organisasi masyarakat tetap menolak memberikan tanahnya pada 1991, tiga pemimpin mereka dibunuh. Pada 3 Juli, ribuan masyarakat demonstrasi di gedung DPRD Aceh Timur, dibawah bendera Forjerat (Forum Perjuangan Rakyat Untuk Tanah) dan dengan dukungan Yayasan Bantuan Hukum Banda Aceh. Mereka menuntut tanah mereka dikembalikan dan Bumi Flora diperadilkan. Pihak Bumi Flora menyangkal telah merampas tanah, dengan mengatakan mereka telah memberi kompensasi. Ironisnya mereka mengundang pemrotes untuk "menyelesaikan masalah dengan damai dan beradab ­ tidak dengan demonstrasi". 7