73064 BAHASA INDONESIA Indonesia mengalami kemajuan dalam pengurangan kesenjangan gender di beberapa area kunci di endowment (kesehatan dan pendidikan), kesempatan, dan voice dan agency, serta perangkat hukum yang diperlukan untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan, tetapi masih ada berbagai tantangan. Indeks paritas gender di pendidikan telah tercapai. Kesehatan ibu meningkat secara signifikan. Tidak ada kesenjangan gender yang berarti di kematian bayi dan anak di bawah lima tahun juga berbagai capaian kesehatan lainnya. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan terus bertumbuh dengan kembalian yang lebih baik bagi perempuan berpendidikan dibanding laki-laki. Representasi politik perempuan meningkat. Tantangan tetap ada di MMR, HIV/AIDS, stunting dan wasting, ‘gender streaming’ di pendidikan, kesempatan ekonomi, akses terhadap keadilan, dan voice dan agency dalam pengambilan keputusan-keputusan berpengaruh. Tantangan ini kontras dengan munculnya kecenderungan kebijakan tidak ramah perempuan di tingkat daerah. Capaian-capaian kunci dan isyu-isyu yang masih harus digarap ini dipaparkan di delapan Kertas Kerja yang dikembangkan oleh Pemerintah (Kementerian Perencanaan Nasional dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) bersama dengan mitra pembangunan (Bank Dunia, AusAID, CIDA, Kedutaan Belanda, DFID, dan ADB). Kertas Kebijakan 1: Pengarusutamaan Gender diadopsi sejak penerbitan Instruksi Presiden No 9/2000. Instruksi Presiden No 3/2010 dan beberapa regulasi lainnya dari kementerian mengenai pengarusutamaan gender mengatur lebih jauh upaya-upaya menuju pembangunan yang berkeadilan dan inklusif. Munculnya peraturan-peraturan yang tidak ramah perempuan di tingkat daerah menandai pentingnya penegakan hukum dan kerangka kebijakan pengarusutamaan gender, koordinasi di antara kementerian nasional dan institusi publik di berbagai tingkat, serta replikasi praktek-praktek yang baik. Kertas Kebijakan 2: Kesetaraan Gender dan Kesehatan di Indonesia menunjukkan baik capaian positif maupun tantangan di keempat area kunci kesehatan terkait dengan MDGs. Upaya-upaya penting telah dilakukan untuk menaikkan akses perempuan terhadap layanan kesehatan tetapi Indonesia perlu bekerja keras untuk mengurangi tingginya kematian ibu, meningkatkan akses ke air bersih dan sanitasi serta pencegahan dan perawatan HIV bagi perempuan dewasa dengan HIV yang jumlahnya terus meningkat. Kertas Kebijakan 3: Kesetaraan Gender dan Pendidikan merupakan salah satu capaian kunci untuk Indonesia. Target MDG untuk kesenjangan gender dalam APM berada pada jalur pencapaian di 2015, utamanya apabila kesenjangan di tingkat propinsi teratasi. Fokus saat ini adalah pada langkah-langkah sistemik untuk menaikkan akses terhadap peningkatan outcome dari pendidikan yang lebih responsif gender. Tantangannya tetap pada pengarusutamaan perspektif gender dalam pendidikan, melibatkan penaksiran implikasi dari berbagai aksi pendidikan yang direncanakan (legislasi, kebijakan atau program) terhadap anak-anak laki-laki dan perempuan, di keseluruhan area dan tingkat. Kertas Kebijakan 4: Kesempatan Kerja, Migrasi, dan Akes ke Keuangan masih menjadi tantangan dimana tanpa upaya yang memadai bisa menghambat pembangunan. Rata-rata pertumbuhan tahunan tenaga kerja perempuan yang memasuki pasar tenaga kerja lebih tinggi dari laki-laki, tetapi perempuan terus mengalami lebih rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja dan lebih tingginya tingkat pengangguran, lebih buruknya kualitas kerja dan lebih rendahnya tingkat upah, terbatasnya akses terhadap sumber daya, diskriminasi dalam promosi dan perekrutan, dan lebih tingginya tingkat informalitas ekonomi. Perempuan merupakan mayoritas dari mereka yang bekerja sendiri, pekerja rumah tangga tak dibayar, dan buruh migran, membuat mereka rentan terhadap ketidakamanan pribadi dan finansial, trafficking dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Upaya menutup kesenjangan gender ini membutuhkan fokus perhatian pada kesetaraan kesempatan kerja, keterkaitan dan ketepatan pelatihan dan ketrampilan perempuan dengan pasar tenaga kerja, faktor-faktor yang mendasari segmentasi pasar tenaga kerja, dan kesenjangan gender dalam upah dan kesempatan berkarir. Kertas Kebijakan 5: Kemiskinan, Kerentanan dan Proteksi Sosial merupakan salah satu prioritas utama pembangunan dari Pemerintahan saat ini. Sementara tingkat kemiskinan nasional turun dari 16.7% (2004) ke 13.3% (2010) dan tingkat kemiskinan antara rumah tangga berkepala rumah tangga perempuan (RTP) lebih rendah dari rumah tangga berkepala rumah tangga laki-laki (RTL), tingkat penurunan kemiskinan secara keseluruhan untuk RTP lebih rendah dari RTL. Ini terlepas dari telah tercakupnya secara baik RTP di semua program Perlindungan Sosial. Peningkatan teknik-teknik pentargetan akan mengurangi kesalahan pengecualian dan pengikutsertaan serta akan memastikan bahwa lebih banyak RT miskin menerima perlindungan sosial. Tantangannya adalah memastikan bahwa mekanisma targeting yang baru memasukkan indikator-indikator kemiskinan yang mencerminkan karakteristik RT miskin dan rentan juga kesetaraan akses perempuan dan laki-laki terhadap manfaat program di dalam RT. Kertas Kebijakan 6: Kesetaraan Gender dalam Managemen Kebencanaan dan Adaptasi Iklim menyoroti dampak kebencanaan berbasis gender. Banyak pembelajaran berarti dari Tsunami Aceh mengenai praktek-praktek yang baik dari managemen kebencanaan yang responsif gender. Ini perlu menjadi masukan dan memperkuat keseluruhan kebijakan, program dan institusi di tingkat nasional dan lokal terkait upaya mengatasi akar masalah kerentanan berbasis gender, memastikan penggunaan analisa gender dan data terpilah berdasar jenis kelamin, serta memberikan pertimbangan yang setara untuk hak dan kapasitas laki-laki dan perempuan. Kertas Kebijakan 7: Suara Perempuan dalam Politik dan Pengambilan Keputusan di Indonesia meningkat karena, antara lain, aksi afirmasi pencalonan dan partisipasi politik perempuan di 2008. Representasi perempuan di Parlemen (DPR) meningkat dari 11% (2004-2009) ke 18% (2009-2014). Representasi tetap lebih rendah dari 30% yang diharapkan dan tidak memadai di area-area kritis lainnya dari layanan publik dan peran-peran pengambilan keputusan. Kesenjangan yang berarti dalam partai politik dan keseluruhan tingkat pemerintah nasional dan daerah, membatasi pencapaian MDG untuk pemberdayaan perempuan. Konstitusi dan kerangka hukum Indonesia memastikan kesetaraan hak untuk perempuan. Pemerkuatan hukum/regulasi serta implementasi dan monitoring bisa lebih efektif mengatasi tantangan-tantangan institusional dan sosio-kultural perempuan. Kertas Kebijakan 8: Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP): Kekerasan Domestik dan Perdagangan Manusia di Indonesia menunjukkan baik kemajuan maupun hal-hal yang masih perlu diatasi. Dibutuhkan lebih banyak lagi upaya untuk penegakan hukum, pengembangan kapasitas dari pemberi layanan dan masyarakat lebih luas, dan penyebaran layanan ke wilayah kota dan desa. Meningkatnya kecenderungan perdagangan manusia membutuhkan upaya-upaya yang lebih terintegrasi untuk pencegahan, proteksi, prosekusi dan reintegrasi. KERTAS KEBIJAKAN 6 GENDER DALAM BENCANA ALAM DAN ADAPTASI IKLIM­­­­­­­ K ertas Kebijakan ini menyoroti perbedaan dampak bencana pada laki-laki dan perempuan. Kebutuhan dan peluang berdasar gender dapat ditemukan pada setiap tahapan dalam siklus bencana keseluruhan, yang perlu dipahami dalam manajemen risiko bencana. Sejak terjadinya tsunami di Aceh telah banyak yang dipelajari tentang praktek yang baik dalam manajemen bencana yang responsif gender. Hal ini dapat diperkuat melalui pengarusutamaan gender di semua kebijakan, lembaga dan program terkait, ditingkat nasional dan lokal untuk mengatasi akar permasalahan terjadinya kerentanan berbasis gender, menjamin penggunaan analisis gender dan data terpilah berdasar jenis kelamin untuk menentukan sasaran sumberdaya dan memberikan bobot seimbang terhadap hak dan kapasitas laki-laki maupun perempuan. Status saat ini menciptakan bencana seperti banjir dan kekeringan yang membutuhkan respon segera tetapi juga akan membawa perubahan yang lebih tidak kentara dan Indonesia adalah salah satu negara di berpotensi menyebabkan perubahan yang lebih dunia yang paling rawan bencana dan dahsyat sehingga memerlukan strategi adaptasi termasuk yang berpotensi terkena dampak dengan jangka waktu yang lebih lama. perubahan iklim A ntara tahun 1980 dan 2008 tercatat ada sebanyak 293 bencana, terutama disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami, yang berdampak pada sekitar 18 Ketidaksetaraan gender menciptakan kerentanan khusus pada laki-laki dan perempuan terhadap dampak bencana, juta orang dan diperkirakan menyebabkan kerusakan konflik dan perubahan iklim sebesar US $ 21 milyar. Untuk tsunami yang terjadi tahun 2004 saja, tercatat sekitar lebih dari 200,000 orang meninggal (Database Bencana International). D ampak suatu krisis tergantung pada kerentanan mereka yang mungkin terkena pengaruhnya. Ker- entanan adalah hasil dari kesenjangan sosial, ekonomi Indonesia menghadapi banyak risiko karena paling rentan terhadap tanah longsor, gempa bumi dan dan politik yang terjadi secara kontekstual dan terus tsunami (UNISDR, tahun 2009). Manajemen risiko berubah dari waktu ke waktu. Meskipun laki-laki dan bencana yang komprehensif meliputi strategi perempuan mengalami kerentanan yang berbeda, adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim tetapi sebagian besar perempuan, terutama dari ka- karena ada keterkaitan kuat antara bencana dan langan miskin, lanjut usia, dari kelompok minoritas perubahan iklim. Perubahan iklim tidak hanya akan sosial dan suku minoritas, memiliki strategi penan- 1 NEW brief 6 indo.indd 1 6/13/2011 2:22:00 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 ganan terbatas dan berisiko pa­ ling tinggi terke­ na bagi yang kehilangan rumah, yang sekaligus merupa- dampak bencana alam (lihat Boks 1). Kasusnya tidak kan tempat bekerjanya. selalu sama, seper­ ti saat terjadi letusan Gunung Mer- api pada tahun 2010, Boks 1: Kerentanan menurut gender di Hak-hak perempuan dalam operasi tanggap dimana ada indikasi Nanggroe Aceh Darussalam darurat sering dilupakan dan diabaikan, bahwa jum­ lah korban Ketika terjadi tsunami tahun 2004, dan tanpa konsultasi dan partisipasi se­ laki-laki lebih banyak jumlah korban perempuan jauh mana layaknya bagai­ lebih karena umumnya mereka dibanding perempu­ D berada dalam rumah saat keja- an, karena sebagian idorong oleh adanya urgensi (‘kewenangan yang dian tersebut, untuk bekerja dan merawat anak. Sementara banyak besar ter­ kena dam­ mendesak’), operasi tanggap darurat di Aceh laki-laki sedang menangkap ikan di pak gelombang pa- dan Nias umumnya tanpa berkonsultasi secara efektif laut sehingga perahu mereka tetap aman terapung. Perempuan tidak nas piroklastik. Se- dengan perempuan sehingga hasilnya jelek. Asesmen pernah belajar berenang dan rok lain itu, ada lumayan terhadap kerusakan, kehilangan dan kebutuhan panjang mereka mempersulit upaya melarikan diri. Kerentanan pasca banyak jumlahnya yang ada sebagian besar dilakukan oleh tim yang bencana termasuk beban kerja dan yang dipengaruhi didominasi laki-laki, yang mengandalkan informasi tekanan kehidupan yang meningkat pada perempuan; pada tahap awal oleh faktor-faktor se­ dan umpan balik hanya dari kepala rumahtangga laki- operasi darurat, sebagian ibu dengan per­ ti kecelakaan lalu laki (Enarson, tahun 2009, Komnas Perempuan, tahun anak-anak hanya memperoleh pembagian makanan satu porsi lintas, serangan jan- 2007a). Tanggap bencana terhadap letusan Merapi untuk satu orang dewasa (APWLD, tung dan bunuh diri mengambil manfaat dari mekanisme koordinasi tahun 2005), pernikahan dini setelah tsunami meningkat, kecanduan (BNPB 2010). Dalam sebelumnya untuk memastikan adanya sensitivitas alkohol dan kekerasan di kalangan konflik yang men- gender dalam operasi darurat, misalnya dengan laki-laki juga meningkat. 75% janda di tempat pengungsian diperkirakan gandung kekerasan, membentuk Kelompok Kerja Gender selama gempa menjadi korban pelecehan seksual. sebagi­ an besar kor- di Yogya. Masyarakat sipil yang terorganisasi dengan (UNIFEM, tahun 2006) ban utama adalah baik berkonsultasi secara intensif dengan para korban laki-laki muda. Un- bencana termasuk dengan perempuan. Sebagai tuk memahami kerentanan dan tantangan dalam hasilnya, misalnya, relawan dan petugas polisi situasi bencana manapun, perlu adanya kajian yang perempuan benar-benar hadir di pos pengungsian, lebih mendalam. Faktor yang berkontribusi mungkin sehingga dapat menjelaskan mengapa terjadi lebih termasuk ekspektasi sosial terhadap laki-laki untuk sedikit kasus kekerasan berbasis gender di antara melindungi keluarga mereka sehingga mendorong para pengungsi tersebut, tidak seperti dalam situasi munculnya perilaku berisiko, sementara hal ini tidak bencana lainnya (Dewi, 2010). terjadi langsung pada perempuan dan anak; akses perempuan terhadap kesempatan pendidikan, in- Perempuan lebih rentan mengalami pen­ formasi tentang risiko bencana, perubahan iklim deritaan dalam situasi konflik atau potensi bencana akut, menurunnya ketahanan P perempuan terhadap dampak karena meningkatnya erempuan mengalami kerentanan yang berbeda risiko kemiskinan, terbatasnya mobilitas dan akses selama situasi terjadinya konflik kekerasan, teru- terhadap pelayanan yang ada dan dampak ganda tama jika laki-laki ikut pergi bertempur. Pada tahun 2003, diperkirakan 23% perempuan di Aceh, dimana 2 NEW brief 6 indo.indd 2 6/13/2011 2:22:01 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 60% di antaranya tidak pernah bersekolah, tiba-tiba Pemulihan pasca bencana dapat mem­ menjadi kepala keluarga karena suaminya meninggal berikan ‘peluang’ untuk mengatasi ke­ atau melarikan diri karena alasan keamanan (UNIFEM, tidak-setaraan gender yang sistemik dan 2006). Perempuan juga merupakan korban pelecehan memajukan hak asasi perempuan seksual dan kekerasan. Selama 30 tahun perang sau- dara di Aceh, perempuan menjadi korban karena me- rupakan istri atau kerabat dari gerilyawan GAM yang D alam mencari stabilitas di saat krisis, norma patriarki tradisional mungkin muncul kepermukaan karena adanya pemahaman bahwa ‘semua dicurigai, dicurigai sebagai tentara GAM perempuan mengalami penderitaan’. Perempuan tidak terwakili (Inong Balee) atau diduga mendukung atau memiliki dalam perundingan untuk mengakhiri konflik dan hubungan dengan anggota Tentara Nasional Indone- pejuang perempuan awalnya tidak dilibatkan dalam sia/TNI. Luasnya kasus sulit untuk diketahui karena upaya reintegrasi. Kelihatan nyata bahwa sebagian umumnya korban tidak melaporkan perlakuan keji besar perempuan tidak hadir dalam proses konsultasi karena rasa malu dan takut akan stigma sosial (lihat dan pertemuan untuk penyusunan Rencana Induk Boks 2). Bukti anekdotal dari Aceh, Poso dan Timor Pemulihan Aceh. Awalnya donor menerima kondisi Barat menunjukkan Boks 2: Kekerasan terhadap perem- ini karena adanya pertimbangan terhadap budaya puan di Aceh bahwa pengung- lokal. Selain itu, penerapan hukum Syariah menjadi sian dan kerugian Dari 103 kasus kekerasan terhadap semakin ketat pasca tsunami, membatasi mobilitas perempuan yang terjadi dari sebe- yang diakibatkan lum 1999 sampai setelah penan- dan perilaku perempuan dan menimbulkan berbagai oleh konflik, keru- datanganan Nota Kesepakatan pelanggaran hak asasi perempuan oleh polisi Syariah tahun 2007, lebih dari setengahnya suhan sosial dan merupakan kekerasan seksual seperti (Human Rights Watch, 2010). bencana menye- perkosaan dan penyiksaan seksual. (Komnas Perempuan, tahun 2007b). babkan tingginya Komisi untuk Orang Hilang dan tingkat stres atau Bencana juga menyediakan peluang untuk meng­­ ata­ Korban Tindak Kekerasan, Kontras, mencatat 128 kasus perkosaan depresi di antara si ketidaksetaraan gender dan memajukan hak-hak selama Era Darurat Sipil Militer laki-laki. Keengga- perempuan (lihat Boks 3). Organisasi masyarakat sipil saja. (Kontras, 2006). Forum LSM NAD memperkirakan sekitar 15.000 nan mereka untuk dapat memanfaatkan Boks 3: Mengamankan hak perempuan perempuan meninggal selama ter- mencari bantuan kesempatan yang ada pasca tsunami di NAD jadi konflik di Aceh dan menyebab- kan trauma psikologis dari sekitar disebabkan oleh pasca bencana untuk • Pada tahun 2009, hampir 30% dari 7.000 perempuan ham­ batan sosial- melakukan advokasi calon legislatif adalah perempuan (Kamis, M., 2006). budaya dan tidak hak-hak perempuan, • Karena advokasi yang dilakukan organisasi perempuan dalam proses adanya dukungan seperti dalam kasus pemulihan, Biro Pemberdayaan Pe­ psiko-sosial, sehingga berpotensi mengakibatkan ter- Kongres Perempuan rempuan di NAD ditingkatkan sta­ tusnya menjadi Badan dan men­ jadinya kekerasan seksual dan non-seksual terhadap Aceh kedua pada dapatkan mandat yang lebih luas perempuan di dalam dan di luar keluarganya. (Kom- bulan Juni 2005 yang dan dana yang lebih besar • Beberapa qanun disahkan dengan nas Perempuan, tahun 2007a). dihadiri oleh lebih merujuk pada beberapa prinsip dari 400 perempuan yang dituangkan dalam Piagam Perempuan: misalnya Qanun ten­ dari 21 organisasi. tang Administrasi Kependudukan, Pertemuan ini meng­ Pendidikan serta Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan hasilkan Piagam 3 NEW brief 6 indo.indd 3 6/13/2011 2:22:03 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 Aceh tentang Hak Perempuan, yang berisikan hak- Bangladesh dan India mendukung gagasan bahwa hak pribadi, hak hukum, politik, sosial, ekonomi dan kerentanan terhadap perubahan iklim dibentuk budaya perempuan dalam konteks Aceh yang spesifik oleh relasi gender dan peran perempuan dalam yang terkait Hukum Syariah, yang didukung oleh usaha pertanian skala kecil, sebagai produsen koalisi politik dan masyarakat luas, termasuk para utama tanaman pangan, pemungut kayu bakar dan tokoh-tokoh agama terkenal. Badan Rekonstruksi pengambil api. Semua ini menempatkan mereka dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias sebagai pihak yang beresiko tinggi terkena dampak (BRR), dengan dukungan yang kuat dari berbagai perubahan iklim. Risiko lainnya termasuk, kelangkaan organisasi internasional menggunakan kesetaraan air dan peningkatan penyakit yang menular melalui gender sebagai dasar dalam proses pemulihan air dan serangga, sehingga meningkatkan beban (Enarson, tahun 2010), dimana hak perempuan dalam kerja perempuan karena harus merawat orang sakit kepemilikan tanah merupakan salah satu program dan lanjut usia, dan ketika persediaan makanan tidak andalannya. Berlawanan dengan kebiasaan yang ada cukup, maka akan mengurangi asupan makanan bagi pasca tsunami Aceh, diperkirakan 30% dari kasus perempuan dan anak perempuan. Jika pendapatan yang ada, perempuan terdaftar sebagai pemilik rumahtangga berkurang mengakibatkan anak tanah (Harper, tahun 2007), setelah ada kebijakan perempuan ditarik keluar dari sekolah (UNDP/AusAID, yang mengijinkan kepemilikan tanah bersama antara tahun 2009). suami dan istri, yang diadopsi pada bulan September tahun 2006. Inklusi gender dalam rekonstruksi dan re­ habilitasi dapat memperkuat kesetaraan Peran berbasis gender membuat perempu­ gender dan lebih memberdayakan pe­ an lebih rentan terhadap dampak peru­ rempuan bahan iklim. P erubahan iklim global diperkirakan dapat menciptakan cuaca ekstrim di Indonesia termasuk P rogram peningkatan penghidupan (livelihood) dalam masa pemulihan sering berfokus pada kepala rumahtangga, yang umumnya adalah laki- curah hujan ekstrim dan naiknya suhu dan permukaan laki, mengabaikan peran perempuan dalam strategi air laut. Hal ini akan berpengaruh pada kehidupan pencarian penghidupan keluarga dan mengabaikan masyarakat secara kompleks, yang mencakup aspek perempuan lajang atau janda. Sebagai contoh, pertanian dan ketahanan pangan, hutan dan sumber rehabilitasi ekonomi di NAD sangat difokuskan pada mata air, energi, kesehatan, bencana alam, migrasi dan konflik. Indonesia adalah emitor gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia dan wacana penelitian dan kebijakan sejauh ini hampir secara eksklusif didominasi oleh perspektif para ilmuwan alam tentang degradasi sumberdaya alam. Terbatasnya keterlibatan ilmuwan sosial menyebabkan kurangnya data empiris tentang kerentanan berbasis gender dalam perubahan iklim. Tetapi, penelitian internasional dari negara seperti 4 NEW brief 6 indo.indd 4 6/13/2011 2:22:05 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 sektor perikanan, mengganti perahu, jaring dan fasilitas laki dalam mengakui pentingnya praktek konstruksi lainnya. Selain itu, sebagian besar mengabaikan peran aman gempa dan bersedia untuk berinvestasi dalam perempuan dalam pengolahan dan perdagangan menerapkan prinsip-prinsip tersebut (Hollander, tahun ikan (Cosgrave, tahun 2008). Sebaliknya, program 2008). Anak-anak juga diakui mempunyai peran yang penghidupan untuk perempuan lebih diutamakan potensial untuk berkontribusi dalam pengurangan yang bersifat tradisional seperti membuat kue dan dampak bencana melalui komunikasi risiko bencana menjahit; dan perlakuan ini memperkuat perbedaan (Haynes, tahun 2010). gender dalam hal peran ekonomi dalam keluarga dan proses pemulihan (Kelompok Kerja Gender Manajemen risiko bencana yang sensitif NAD, 2007). Upaya untuk melatih ketrampilan gender diperlukan untuk menjaga pen­ perempuan untuk mencari penghasilan dengan cara capaian Tujuan Pembanguan Milenium non-tradisional, seperti melukis dan membuat batu agar tetap berada di jalurnya. bata, memberikan hasil yang meragukan karena B sebagian kontraktor menolak untuk mempekerjakan encana yang datang secara tiba-tiba seperti perempuan (Nowak, Caulfield, tahun 2008). Hak gempa bumi, letusan gunung berapi atau banjir hukum, khususnya kepemilikan tanah dan aset atau serta dampak perubahan iklim mengikis pencapaian perwalian anak-anak selama masa pemulihan pasca pembangunan manusia. Kemiskinan pasca tsunami di bencana merupakan permasalahan yang sensitif NAD meningkat dari 28,4% menjadi 32,6% sementara dan memerlukan perhatian serta intervensi khusus di wilayah lain di Indonesia kemiskinan mengalami untuk melindungi hak-hak perempuan. Keberhasilan penurunan (Bank Dunia, tahun 2008). Perempuan dari upaya melindungi hak perempuan atas tanah di NAD kelompok marjinal seperti janda memiliki kerentanan membantu meningkatkan keamanan rumahtangga paling besar jika terjadi bencana yang menyebabkan yang dikepalai perempuan dan menjamin akses ketidakberdayaan dan pemiskinan lebih lanjut. Jumlah perempuan terhadap sumberdaya dan kredit pernikahan usia dini meningkat pasca tsunami, hal ini produktif. diketahui memiliki efek negatif jangka panjang pada semua Tujuan Pembangunan Milenium. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir pasca tsunami di NAD berisiko Laki-laki dan perempuan dapat memainkan peran terutama dengan meningkatnya keguguran, kematian yang saling melengkapi dalam masa pemulihan pasca usia prematur dan anak-anak yang dilahirkan dalam bencana: laki-laki umumnya melakukan rekonstruksi kondisi tidak aman (APWLD, tahun 2005). Pemulihan fisik, sementara perempuan berkontribusi untuk bencana dan manajemen risiko tidak akan berhasil memperluas dukungan psiko-sosial dan diversifikasi tanpa menggunakan lensa gender yang membantu mata pencaharian. Kesadaran dan pengetahuan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium secara perempuan sangat penting untuk manajemen risiko berkesinambungan. yang efektif dalam mempersiapkan rumahtangga, meyimpan stok makanan dan mempertahankan jaringan sosial untuk penyebaran informasi, pendidikan anak-anak dan masyarakat. Evaluasi bantuan GTZ menunjukkan bahwa setelah gempa Yogya, perempuan lebih responsif daripada laki- 5 NEW brief 6 indo.indd 5 6/13/2011 2:22:06 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 Perhatian khusus pada peran dan prioritas pangan rumahtangga (UNDP, tahun 2009). Adaptasi laki-laki dan perempuan yang berbeda perubahan iklim pada akhirnya membutuhkan dalam mengatasi bencana dan perubahan pendekatan responsif gender untuk memperkenalkan iklim, memberikan hasil yang lebih teknologi pertanian baru dan/atau mengembangkan berkelanjutan strategi mata pencaharian alternatif. P enelitian internasional telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki prioritas kebutuhan dan pendekatan yang berbeda dalam Pembentukan Badan Nasional Penang­ gulangan Bencana (BNPB) dirancang pemulihan situasi darurat. Permasalahan mata dengan sasaran untuk memberikan ban­ pencaharian dan akses terhadap tempat tinggal, tuan kemanusiaan bagi kelompok yang air dan fasilitas sanitasi serta penyuluhan psiko- paling rentan sosial biasanya merupakan peringkat tertinggi bagi perempuan, sedangkan laki-laki memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk pembangunan infrastruktur P emerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 8/2008 membentuk BNPB yang melapor langsung kepada Presiden. Badan ini akan mewakili skala besar (Fordham, tahun 2000). Program bantuan pemerintah Indonesia dan memimpin kegiatan langsung tunai dan dana bergulir di NAD yang khusus yang terkait bencana yang meliputi pengurangan ditargetkan bagi perempuan seringkali terbukti lebih risiko bencana, tanggap darurat, kesiapsiagaan berhasil dibanding program yang melibatkan laki-laki dan pemulihan. BNPB telah menyusun peraturan dan perempuan sekaligus. dan pedoman untuk penanggulangan bencana di Indonesia secara efektif, menangani kebutuhan Laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda kelompok paling rentan, termasuk perempuan dan dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan anak, pada saat keadaan darurat, dan memimpin iklim karena adanya perbedaan peran nyata dalam mekanisme koordinasi pasca bencana. Praktik yang strategi mencari penghasilan dan rumahtangga. baik yang diterapkan BNPB selama operasi tanggap Untuk upaya mitigasi perubahan iklim yang efektif, darurat letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 telah perempuan dapat memberikan kontribusi yang dicatat dengan baik, di mana BNPB mengumpulkan efektif dalam hal penggunaan energi, pengelolaan data terpilah berdasar jenis kelamin; membuat sampah dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam pengaturan khusus untuk perempuan hamil dan pertanian subsisten perempuan biasanya memberikan keluarga dengan bayi di pusat pengungsian utama kontribusi sekitar 70% sampai 80% dari produksi dan tempat tinggal sementara, dan berkomunikasi erat dengan LSM yang tergabung dalam kelompok kerja gender. 6 NEW brief 6 indo.indd 6 6/13/2011 2:22:08 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 Dokumen kebijakan Indonesia tentang Penelitian tentang kerentanan berbasis manajemen risiko bencana menerapkan gender dan pengumpulan data terpilah prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan berdasar jenis kelamin terkait bencana, dalam pemerintahan konflik dan perubahan iklim menjadi dasar rancangan dan pelaksanaan langkah- U U No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana menetapkan prinsip kesetaraan di hadapan langkah kebijakan responsif gender hukum dan dalam pemerintahan, yang berarti bahwa isi ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak dapat terkait dengan masalah yang membedakan S aat ini, belum ada pedoman resmi untuk pengumpulan data terpilah berdasar jenis kelamin dan umur korban bencana dan pengungsi internal. latar belakang agama, etnis, ras, kelompok, gender, Penelitian empiris tentang kerentanan khusus dalam atau status sosial. Prinsip ini juga berlaku saat memberi situasi bencana seperti yang dialami oleh perempuan ketentuan terkait peringatan dini yang diidentifikasi di Indonesia terbatas dan sebagian besar terbatas sebagai salah satu kegiatan pra-bencana dalam UU pada kondisi di Aceh dan tidak ada data empiris sama No. 24/2007. sekali tentang kondisi dan risiko khusus yang dialami oleh laki-laki. Perkiraan jumlah korban tsunami tahun 2004 sebagian besar berdasarkan pada rasio yang Pentingnya sistem peringatan dini yang efektif selamat. World Vision memperkirakan perempuan juga disorot sebagai salah satu program kegiatan merupakan 60% dari korban, berdasarkan rasio 3:1 inti prioritas 9 - lingkungan hidup dan pengelolaan perbandingan laki-laki dan perempuan yang selamat, bencana - dalam RPJMN 2010-2014, yang menetapkan sementara angka Oxfam adalah hingga 80% (Oxfam, bangsa yang adil sebagai salah satu dari delapan misi tahun 2005) dan Flower Aceh menghitung sebanyak pembangunan nasional. Bangsa yang adil berarti 75% adalah pengungsi adalah laki-laki. Operasi bahwa tidak ada diskriminasi antar individu dalam tanggap darurat di Yogya selama dan setelah letusan bentuk apapun, gender maupun antar wilayah. Merapi pada tahun 2010 belajar dari pengalaman Pengembangan sistem peringatan dini lebih lanjut sebelumnya dan mengambil manfaat dari peran aktif disebutkan dalam Rencana Nasional Penanggulangan dari banyak pelaku masyarakat sipil. Data pengungsi Bencana tahun 2010-2014 dan Rencana Aksi Nasional yang dikumpulkan oleh jaringan masyarakat Pengurangan Risiko Bencana tahun 2010-2012, sipil mencakup informasi komprehensif tentang keduanya mengakui bahwa ketidaksetaraan gender perempuan hamil dan menyusui, bayi baru lahir atau akan berdampak pada nasib perempuan dalam situasi orang cacat yang digunakan untuk mentargetkan bencana, dan posisi yang tidak setara akan diperburuk bantuan kepada beberapa penyintas bencana yang oleh adanya kebutuhan khusus perempuan dalam paling rentan (Dewi, 2010). situasi bencana. 7 NEW brief 6 indo.indd 7 6/13/2011 2:22:09 AM KERTAS KEBIJAKAN POLICY BRIEF 4 6 Permasalahan Kebijakan Rencana Aksi Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (tahun 2007) mengakui ancaman multi dimensi dari perubahan iklim terhadap manusia Perspektif gender masih harus diadopsi dan pembangunan nasional dan menguraikan dan dilembagakan dalam kerangka hukum rencana jangka pendek, menengah dan panjang​​ dan kebijakan tentang pemulihan dan tentang mitigasi dan adaptasi. manajemen bencana P emerintah telah menerapkan kerangka nasional untuk pemulihan dan manajemen bencana yang bisa diperkuat lebih lanjut. Sebagai contoh, Keputusan Presiden tentang Pengarusutamaan Gender (Inpres No. 9/2000) menetapkan dimensi pengarusutamaan gender dalam perencanaan, UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pembangunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi mendukung perlindungan, partisipasi dalam dari seluruh kebijakan dan program pemerintah. perencanaan dan pengambilan keputusan dan Demikian pula Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria akses terhadap bantuan kompensasi yang non- (NSPK) tentang Pemberdayaan dan Perlindungan diskriminatif bagi semua warga negara. Ini akan Perempuan dan Anak (Peraturan Menteri No. 2/2008) ditingkatkan dengan menghimbau secara eksplisit mengatur integrasi kebijakan, program dan kegiatan untuk melakukan pengarusutamaan gender, dengan perlindungan perempuan ke dalam seluruh dokumen menyertakan analisis sosial dan gender serta tindakan perencanaan dan anggaran propinsi dan kabupaten/ afirmatif. Seperti yang diakui dalam Laporan Nasional kota sementara NSPK tentang Data Gender dan tentang Kemajuan Pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo Anak (Peraturan Menteri No. 6/2009) mengatur tahun 2009, perspektif gender dalam kebijakan dan pengumpulan, analisis dan penggunaan data kerangka kerja manajemen risiko bencana, sejauh terpilah berdasar jenis kelamin dan usia dalam semua ini hanya mendapat sedikit perhatian dan tidak ada kebijakan, program dan kegiatan di semua propinsi kemajuan institusional yang bermakna. dan kabupaten/kota. Tetapi BNPB sebagai badan utama di tingkat nasional untuk manajemen risiko bencana sejauh ini tidak memiliki unit atau kelompok Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko kerja yang berfokus pada pengarusutamaan gender Bencana tahun 2010-2012 (RAN-PRB) disusun oleh dan belum ada strategi pengarusutamaan gender. Bappenas dengan bantuan dari Bank Dunia dan UNDP dengan mengacu pada Kerangka Aksi Hyogo serta UU No 24/207. Ini termasuk satu bab tentang pengarusutamaan gender, yang berarti bahwa Rekomendasi pengarusutamaan gender tidak dilakukan pada •• BNPB merekrut tenaga ahli gender dan menentu- keseluruhan rencana tindakan. Pemerintah Daerah di kan kerangka yang diperlukan dengan menyusun Yogyakarta, Jawa Tengah dan Maluku telah bergerak strategi, kebijakan dan struktur institusi pengar- lebih dulu dengan menyusun Rencana Tindakan usutamaan gender. Penanggulangan Bencana Daerah yang secara •• BNPB mengembangkan pedoman, format dan ka- eksplisit mengakui pentingnya pengarusutamaan pasitas yang diperlukan untuk pengumpulan data gender seperti di Kabupaten Magelang dan Sleman. dan asesmen kebutuhan. 8 NEW brief 6 indo.indd 8 6/13/2011 2:22:10 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 •• BNPB mengadakan penelitian tentang kerentanan cana di tingkat nasional dan daerah, tetapi um- bencana menurut bahaya dan lokasi, memberikan umnya di antara pemerintah kabupaten/kota dan perhatian terhadap kerentanan spesifik baik pada desa. Kegiatan ini harus menekankan pentingnya perempuan maupun laki-laki. mengkompilasi data terpilah dan strategi komu- nikasi publik yang responsif gender. •• Kementerian Lingkungan Hidup dan aktor penting dalam pemerintah dan non-pemerintah lainnya •• Badan manajemen bencana di tingkat kabupaten/ yang terlibat dalam perubahan iklim mendorong kota dan propinsi secara aktif membina kerjasama dan mengadakan penelitian lebih lanjut tentang dengan LSM yang berpengalaman dalam mener- hubungan antara gender dan perubahan iklim, apkan pengetahuan dan praktik terbaik yang ber- mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. hubungan dengan pengarusutamaan gender dan tersedia secara internasional. •• Penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi kebi- jakan dan program pengurangan resiko bencana; tanggap dan adaptasi terhadap perubahan iklim Referensi Action Aid (2006), “Tsunami Response: A Human Rights Assessment�. menggunakan perspektif gender dengan fokus Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD) (2005), “Why pada pengurangan kerentanan berbasis gen- are Women More Vulnerable During Disasters�. der, memperkuat ketahanan dan meningkatkan APWLD (2006), “Tsunami Aftermath: Violations of Women’s Human Rights in Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia�. kepemimpinan perempuan. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias •• Koordinasi lintas sektor harus dilakukan antara Ke- (BRR) (2006), “Promoting Gender Equality in the Rehabilitation and Reconstruction Process in Aceh and Nias�. Policy and Strategy Paper, menterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlind- September 2006. ungan Anak (KPPPA), BNPB dan Kementrian sekto- Bennett, Jon; Harkin, Claire; Samarasinghe, Stanley (2006), “Coordination of ral lainnya dalam rangka mendukung penerapan International Humanitarian Assistance in Tsunami-Affected Countries: prinsip-prinsip yang berlaku secara internal (mis- Evaluation Findings Indonesia�, Tsunami Evaluation Coalition BNPB, 2009, Indonesia – National Progress Report on the Implementation of alnya Standar Sphere, Agenda delapan butir dari the Hyogo Framework for Action, accessed at: www.preventionweb.net/ UNDP), penggunaan instrumen penting seperti english/countries/asia/idn/. asesmen gender, pembahasan temuan penelitian Cosgrave, John (2008), “Responding to Earthquakes 2008: Learning from yang relevan dan integrasi indikator kesetaraan Earthquake Relief and Recovery Operations�, ALNAP and Provention Consortium, 2008. Accessed at: www.alnap.org. gender dalam makalah kebijakan dan program Dewi, Sinta (2010), “Gender Highlights of Emergency Situations in Mentawai utama. and Merapi Affected Areas�, Internal Report, commissioned by AusAID, Jakarta. •• BNPB bekerjasama dengan inisiatif dari Kantor Disaster Management Law 24/2007 Wakil Presiden untuk mempercepat pengentasan Enarson, Elaine (2009), “Women Building their Future: Gender Breakthroughs in kemiskinan, dalam hal pengarusutamaan per- Post-Tsunami Aceh�, UNIFEM. masalahan sekitar pengurangan risiko bencana Fordham, Maureen (2000), “The Place of Gender in Earthquake Vulnerability and Mitigation�, Anglia Polytechnic University: Disaster Studies Project. yang sensitif gender dalam kebijakan dan skema Gender Working Group Aceh, 2007, “Evaluation of Women Situation in Aceh prioritas pengentasan kemiskinan. 2006�. •• Membangkitkan kesadaran tentang pentingnya Harper, Erica et al (2007), “Guardianship, Inheritance and Land Law in Post- Tsunami Aceh�, International Development Law Organization. pengarusutamaan gender dalam pengurangan Haynes, Katherine; Lassa, Jonatan; Towers, Briony (2010), “Child-Centered risiko bencana pada lembaga manajemen ben- Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation: Roles of Gender 9 NEW brief 6 indo.indd 9 6/13/2011 2:22:12 AM KERTAS KEBIJAKAN 6 and Culture in Indonesia 2010�, Children in a Changing Climate Research, UNDP Pacific Center/AusAID (2009), “The Gendered Dimensions of Disaster Working Paper No. 2. Risk Management and Adaptation to Climate Change�, Stories from the Holländer, Michael (2008), “Evaluation Report of GTZ Earthquake Recovery Pacific. Assistance for DI Yogyakarta and Central Java Provinces�, unpublished UNIFEM (2006), “Women’s Voices in Aceh Reconstruction: The Second All- report. Acehnese Women’s Congress�. Human Rights Watch, 2010, “Policing Morality: Abuses in the Application of UNISDR (United Nations International Strategies for Disaster Reduction Sharia in Aceh, Indonesia�, New York. Secretariat) (2009), “Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction�, International Disaster Database at www.emdat.be, Centre for Research on accessed at Epidemiology of Disasters (RED). www.preventionweb.net/english/hyogo/gar/report/index.php?id=1130. Kamis, Mazalan; Mahdi, Saiful (2006), “Tsunami Response and Women�, Paper RPJMN 2010-2014 P I-50, National Priorities – Environment and Management presented at the International Conference on Development in Aceh at of Natural Disasters the National University of Malaysia, December 26-27, 2006. Komnas Perempuan, (2007a), “Perempuan Pengungsi: Bertahan dan Berjuan alam Keterbatasan – Kondisi Pemenuhan HAM Perempuan Pengungsi Aceh, Nias, Jogjakarta, Porong, NTT, Maluku dan Poso�, Jakarta. Komnas Perempuan, (2007b), “Seeking and Accessing Justice: Experiences of Acehnese Women�. A Collection of Experiences and Voices of Women Victims of Violence Occurred During and Post Conflict Time and Within the Context of the Implementation of Shariah Law in Aceh, Jakarta: January 2007. Kontras, 2006, Aceh Peace with Justice, Jakarta. National Action Plan on Disaster Risk Reduction 2010-2012 National Disaster Management Plan 2010-2014 Noble, Cameron, Thorburn, Craig (2009), “Multi-Stakeholder Review of Post- Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh�. Nowak, Barbara, Caulfield, Tanya (2008), “Women and Livelihoods in Post- Tsunami India and Aceh�, Working Paper Series No. 104, Asia Research Institute: National University of Singapore. Oxfam (2005), “The Tsunami’s Impact on Women�, Oxfam Briefing Note, March 2005. Pennells, Linda (2008), “Mission Report: Gender Outcomes and Reflections – Aceh�, OCHA. Pincha, Chaman (2008), “Gender-Sensitive Disaster Management: A Toolkit for Practitioners�, Oxfam America and NANBAN Trust, Mumbai. Sagala, Saut (2010), “Dealing with Disasters: A Review of Disaster Risk Reduction Investments in West Java and West Sumatra�, Indonesia, Oxfam Research Reports. Telford, John, Cosgrave, John, Houghton, Rachel (2006), “Joint Evaluation of the International Response to the Indian Ocean Tsunami: Synthesis Report�. London: Tsunami Evaluation Coalition The World Bank (2008), “Aceh Poverty Assessment 2008: The Impact of the Conflict, the Tsunami and Reconstruction on Poverty in Aceh�, Jakarta. Umar, Risma et al (2006), “Tsunami Aftermath: Violations of Women’s Human Rights in Nanggroe Aceh Darussalam�, Indonesia, Asian Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD). UNDP (2009), “Gender and Climate Change: Impact and Adaptation�, Highlights from Regional Gender Team Workshop, Negombo, Sri Lanka, 24-26 September 2008. 10 NEW brief 6 indo.indd 10 6/13/2011 2:22:12 AM