67651 Manajemen Kepegawaian Daerah: Isu dan Rekomendasi Kebijakan Desain Besar Otonomi Daerah November 2011 !         Manajemen Kepegawaian Daerah: Isu dan Rekomendasi Kebijakan     Desain Besar Otonomi Daerah     DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY Gedung Bursa Efek Indonesia, Gedung I, Lantai 9 Jalan Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telepon: (+6221) 5299 3199 Fax: (+6221) 5299 3299 Website: www.dsfindonesia.org Decentralization Support Facility (DSF) merupakan dana perwalian multi donor yang dipimpin oleh Pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk mendukung agenda desentralisasi pemerintah. DSF berupaya mencapai tujuannya dengan memenuhi tiga peranan, yaitu membantu Pemerintah Indonesia meningkatkan: (i) harmonisasi, keselarasan, dan efektivitas bantuan pembangunan; (ii) penyusunan dan pelaksanaan kebijakan; dan (iii) kapasitas pemerintah, terutama di tingkat daerah. Keanggotaan DSF terdiri dari BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sembilan donor (ADB, AusAID, CIDA, DFID, Pemerintah Jerman, Pemerintah Belanda, UNDP, USAID, dan Bank Dunia). Dukungan keuangan untuk DSF utamanya diberikan oleh DFID, dan juga kontribusi dari AusAID serta CIDA. Foto pada halaman sampul merupakan hak cipta Multi Donor Fund, World Bank Indonesia. Manajemen Kepegawaian Daerah: Isu dan Rekomendasi Kebijakan merupakan hasil kerja konsultan dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat DSF maupun donor yang diwakili. Desain sampul oleh Harityas Wiyoga.   GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY Daftar isi Daftar isi ........................................................................................................................................................ i I. Latar Belakang .................................................................................................................................. 1 II. Metodologi ........................................................................................................................................ 2 III. Isu kebijakan dalam manajemen kepegawaian daerah ................................................................ 3 A. Rekrutasi PNS di daerah ............................................................................................................ 3 Masalah ......................................................................................................................................... 3 Kesimpulan .................................................................................................................................. 4 Rekomendasi ............................................................................................................................... 4 B. Mutasi Pegawai ............................................................................................................................ 6 Masalah ......................................................................................................................................... 6 Kesimpulan .................................................................................................................................. 7 Rekomendasi ............................................................................................................................... 7 C. Promosi ........................................................................................................................................ 8 Masalah ......................................................................................................................................... 8 Kesimpulan ................................................................................................................................ 10 Rekomendasi ............................................................................................................................. 10 D. Manajemen Kinerja................................................................................................................... 10 Masalah ....................................................................................................................................... 10 Kesimpulan ................................................................................................................................ 12 Rekomendasi ............................................................................................................................. 13 E. Pelatihan ..................................................................................................................................... 13 Masalah ....................................................................................................................................... 13 Kesimpulan ................................................................................................................................ 15 Rekomendasi ............................................................................................................................. 15 F. Pengembangan Profesi Aparatur ............................................................................................ 15 Masalah ....................................................................................................................................... 15 Kesimpulan ................................................................................................................................ 16 Rekomendasi ............................................................................................................................. 16 Referensi ..................................................................................................................................................... 18 i MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ii Manajemen Kepegawaian Daerah: Isu dan Rekomendasi Kebijakan Agus Dwiyanto I. Latar Belakang Reformasi manajemen kepegawaian daerah menjadi agenda yang mendesak dalam pelaksanaan otonomi daerah. Setelah lebih dari satu dekade pelaksanaan otonomi daerah muncul banyak fakta yang menunjukan adanya berbagai masalah dalam manajemen kepegawaian daerah. Masalah tersebut diantaranya adalah: ketidaksesuaian antara kompetensi aparatur dengan jabatan yang diemban (mismatch), politisasi aparatur sipil, komodifikasi posisi dan jabatan birokrasi, dan fragmentasi spasial berbasis etnis dan kedaerahan, dan penguatan nilai-nilai primodialisme. Akumulasi berbagai masalah tersebut tentu berpengaruh negatif terhadap kinerja daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Pelaksanaan otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat reformasi pelayanan public dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dapat terganggu jika profesionalisme aparatur daerah tidak dapat diwujudkan. Keinginan warga untuk memperoleh pelayanan publik yang efisien, efektif, dan akuntabel, ketika pemerintah menjadi semakin dekat dengan mereka tidak dapat diperoleh karena aparatur yang melayani mereka tidak professional dan tidak kompeten. Akibatnya, janji otonomi daerah untuk memperbaiki akses dan kualitas pelayanan public masih jauh dari terpenuhi. Salah satu penyebab utama dari munculnya berbagai masalah tersebut adalah karena pengaturan tentang manajemen aparatur daerah dalam UU No.32/2004 dan UU No.43/1999 beserta peraturan pelaksanaannya tidak lagi mampu merespon dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua UU tersebut belum mengatur dengan jelas tentang kedudukan aparatur di daerah sebagai bagian dari aparatur sipil nasional. Akibatnya, muncul kesulitan mobilitas aparatur antar daerah dan antar susunan pemerintahan. Fragmentasi aparatur berbasis wilayah spasial dan kelembagaan semakin menguat dan menimbulkan egosime dan budaya birokrasi yang sempit. Masalah juga muncul karena manajemen kepegawaian yang digunakan oleh pemerintah tidak lagi relevan dengan tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dalam membangun aparatur sipil yang professional. Misalnya, penggunaan formasi sebagai dasar untuk merekrut pegawai negeri sipil (PNS). Rekrutmen berbasis formasi mempersulit upaya untuk merekrut PNS berdasarkan kompetensi dan kecakapan karena tidak jelas jabatan yang akan diduduki oleh seorang calon PNS. Sistem seleksi calon PNS tidak didasarkan pada kecakapan yang dimiliki tetapi berdasarkan pengetahuan umum. Masalah juga muncul sebagai akibat dari distorsi dalam implementasi kebijakan dan manajemen kepegawaian di daerah. Politisasi aparatur di daerah dan komodifikasi posisi dan jabatan dalam organisasi pemerintah daerah yang meruyak selama satu decade terakhir ini adalah sebagian dari contoh distorsi dalam manajemen aparatur daerah. Walaupun peraturan perundangan telah dibuat untuk mencegah politisasi birokrasi dan komodifikasi jabatan aparatur daerah namun karena kepentingan politik ekonomi dari KDH dan para pemangku kepentingan di daerah distorsi implementasi menjadi keniscayaan. MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Berbagai problema tersebut telah mendorong banyak pihak menyampaikan kepedulian dan kekawatiran terhadap prospek dari pelaksanaan onotomi daerah jika masalah tersebut tidak segera diselesaikan. Untuk mengkaji lebih mendalam problema yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola aparaturnya yang ada di daerah maka Kementrian Dalam Negeri membentuk Tim Konsultan untuk melakukan kajian terhadap praktik manajemen kepegawaian di daerah. Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang memadai untuk mempetakan masalah yang dihadapi oleh pemerintah dan daerah dalam mengelola aparatur sipilnya dan memmberikan rekomenasi tentang reformasi yang diperlukan untuk membentuk aparatur yang professional, memiiki kinerja yang tinggi, dan mampu menjadi pilar NKRI. Reformasi pengaturan manajemen aparatur di daerah akan dilakukan melalui dua cara. Dalam jangka pendek, melakukan perubahan pengaturan manajemen kepegawaian daerah dalam UU No.32/2004 agar mampu menghasilkan aparatur sipil Negara di daerah yang professional, memiliki integritas yang tinggi, dan mampu mengelola urusan pemerintahan daerah secara efisien dan efektif. Perubahan pengaturan tentang aparatur daerah dalam UU No.32/2004 juga perlu dilakukan agar sesuai dengan arah dan semangat dalam pembentukan UU Aparatur Sipil Nasional (ASN) sebagai pengganti dari UU No.43/1999. Dalam jangka panjang reformasi pengaturan dilakukan melalui pembentukan disain besar otonomi daerah (DBOD) yang mengatur tentang peta jalan dari reformasi manajemen aparatur daerah dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. II. Metodologi Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementrian Dalam Negeri membentuk Tim Konsultan untuk melakukan kajian tentang problema yang dihadapi oleh daerah dalam mengelola aparatur dan merumuskan rekomendasi tentang reformasi yang diperlukan agar daerah mampu mengelola aparaturnya untuk mendukung pelaksanaan urusan pemerintah daerah yang efisien, efektif, dan akuntabel. Kasus yang digunakan dalam kajian ini ada tiga sektor, yaitu: pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum. Ketiga sektor tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa ketiganya termasuk sektor strategis karena perannya dalam peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi warga dan pembangunan daerah sangat besar. Ketiga sektor tersebut juga menggambarkan kompleksitas yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam mengelola aparaturnya di daerah. Sektor pendidikan dan kesehatan melibatkan sebagian besar dari aparatur daerah, terutama tenaga guru dan para medis. Problema yang dihadapi dalam pengelolaan aparatur dari ketiga sektor itu, mewakili problema yang dihadapi oleh sebagian besar aparatur daerah. Kajian dilakukan di tiga provinsi, yaitu: Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga provinsi ini dipilih secara purposif, masing-masing untuk mewakili daerah yang memiliki pembangunan sosial ekonomi yang relatif maju, menengah, dan tertinggal. Di masing-masing provinsi terpilih diambil secara purposif 4 kabupaten/ kota sebagai sampel untuk menggambarkan karakteristik daerah yang berbeda-beda, seperti kabupaten vs kota, daerah otonom baru hasil pemekaran (DOHP) vs daerah otonom yang sudah lama terbentuk, dan wilayah kepulauan vs wilayah daratan. 2 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY Kajian dilakukan pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Tim Konsultan melakukan wawancara dengan informan kunci dari pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota terpilih. Wawancara melibatkan kepala daerah (KDH), sekretaris daerah (Sekda), Asisten Sekda, Kepala BKD dan staf, Kepala Dinas Pendidikan dan staf, Kepala Dinas PU dan staf, Kepala Dinas Kesehatan dan staf, guru, dokter dan tenaga para medis, dan asosiasi profesi yang terkait. Focused-di setiap daerah untuk membahas dan mengklarifikasi temuan-temuan dari kajian dan rekomendasi kebijakan untuk reformasi manajemen aparatur daerah. Hasil kajian yang diperoleh dari daerah kemudian didiskusikan dalam satu seminar melibatkan para pemangku kepentingan dari Kemendagri, Kemen PAN dan RB, LAN, dan BKN. Hasil dari seminar kemudian dibahas secara mendalam didalam satu FGD melibatkan representasi dari kementrian dan lembaga non-kementrian tersebut diatas. FGD dirancang untuk menyepakati isu-isu kebijakan dalam reformasi manajemen aparatur daerah dan rencana tindak lanjut pada setiap isu kebijakan yang perlu dilakukan oleh Kemendagri, Kemen PAN dan RB, BKN, dan LAN. III. Isu kebijakan dalam manajemen kepegawaian daerah A. Rekrutasi PNS di daerah Masalah: Proses penerimaan calon PNS adalah proses yang paling kritis dibandingkan dengan serangkaian proses lain dari keseluruhan fungsi manajemen kepegawaian. Kesalahan pada proses rekrutasi memiliki akibat jangka panjang yang sangat merugikan jika kualitas PNS yang direkrut ternyata tidak sesuai dengan dengan kualifikasi yang dibutuhkan.. Namun, sayangnya proses rekrutasi pegawai daerah memiliki beberapa masalah yang sejauh ini belum memperoleh perhatian dari pemerintah. Masalah pertama muncul dari penggunaan formasi sebagai dasar dalam menentukan kebutuhan pegawai. Penggunaan formasi, yaitu jumlah pegawai dan susunan pangkat yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi birokrasi tertentu, memiliki beberapa kelemahan. Pertama, formasi tidak menggambarkan jenis keahlian/ kecakapan yang dibutuhkan oleh satuan organsasi pemerintah tertentu. Rekrutasi calon PNS tidak dilakukan untuk mengisi jabatan tertentu yang lowong, tetapi untuk memenuhi formasi. Karena itu rekrutasi calon PNS tidak begitu memperhatikan kecakapan dan kompetensi yang dimiliki oleh calon. Sistem seleksi tidak dirancang untuk mengukur wawasan dan kecakapan yang dimiliki calon untuk menduduki jabatan tertentu tetapi hanya mengukur pengetahuan umum dari calon PNS. Karena rekrutasi tidak terkait dengan lowongan jabatan maka muncul persoalan baru dalam organisasi pemerintah, termasuk OPD, yaitu semakin banyaknya PNS yang tidak memiliki jabatan. PNS seperti ini dikategorikan sebagai staf pelaksana, yang tidak jelas deskripsi pekerjaannya, dan proporsinya semakin besar. Beberapa narasumber di daerah menjelaskan tentang semakin banyaknya jumlah staf pelaksana, bahkan sebagian diantaranya sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi staf pelaksana. Karena rekrutmen tidak terkait dengan kebutuhan untuk menduduki jabatan yang lowong maka kriteria untuk menentukan kebutuhan PNS dan kualifikasinya menjadi tidak jelas dan memberi 3 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ruang bagi prilaku berburu rente. 1 Sebagaimana dijelaskan oleh para narasumber di daerah, besaran kuota formasi yang dialokasikan ke daerah cenderung menjadi arena KKN baru bagi para actor yang terlibat dalam penentuan formasi dan rekrutmen pegawai baik di pusat ataupun di daerah. Tidak adanya kriteria yang jelas dalam alokasi kuota formasi kepada daerah mendorong para KDH dan aparaturnya berusaha melakukan lobi ke BKN dan Kemen PAN dan RB untuk memperjuangkan perolehan kuota formasi PNS. Apalagi adanya kesempatan untuk melakukan perubahan kuota, membuat daerah yang ingin memperoleh jatah yang lebih banyak berlomba-lomba untuk melakukan lobi dengan actor-aktor yang ada di Kemen PAN dan RB untuk memperbesar kuota formasi PNS. Jual beli kuota formasi menjadi arena baru bagi para aktor di daerah dan pusat untuk berburu rente.2 Semua actor yang terlibat dalam proses rekrutmen memiliki insentif untuk memperbanyak formasi. Akibatnya, jumlah PNS di daerah terus membengkak dan membuat sebagian besar daerah yang dijadikan sampel dari kajian ini mengalami kesulitan dalam mengelola belanja pegawainya. 3 Belanja pegawai telah mengambil 70-80 persen dari DAU yang diperoleh dan menjadikan daerah tidak memiliki diskresi yang memadai untuk mengelola urusan pemerintahannya. Kesimpulan: Rekrutasi PNS berbasis formasi memilii banyak kelemahan. Pertama, formasi tidak selalu terkait dengan kekosongan jabatan dalam organisasi pemerintah. Implikasinya rekrutasi berdasar formasi cenderung menghasilkan banyak PNS tanpa jabatan yang jelas. Kedua, rekrutment berdasar formasi membuat rekrutmen calon PNS berdasarkan prinsip meritokrasi sulit dikembangkan. Pemerintah memperoleh kesulitan untuk mengetahui jenis kecakapan yang diperlukan untuk mengisi jabatan yang ada dalam OPD. Ketiga, rektrutasi berbasis formasi menciptakan banyak peluang untuk melakukan rent-seeking behavior dalam proses rekrutment PNS. Rekomendasi: “Pemerintah perlu mengembangkan sistem rekrutmen PNS yang kompetitif, fair, dan berbasis pada jabatan.� Untuk itu, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah: 1. Menentukan kebutuhan aparatur sipil di daerah berdasarkan jabatan yang lowong di OPD Agar struktur kelembagaan yang ada sekarang ini dapat menjadi basis bagi perkiraan kebutuhan aparatur sipil di daerah maka pemerintah perlu membuat pedoman dan standar tentang pembentukan organisasi pemerintah daerah. Pedoman yang berlaku sekarang, yaitu 1 Seorang informan menunjukan adanya perubahan kuaifikasi calon PNS yang akan direkrut karena calon yang akan membayar memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dengan yang ditentukan. Kepala BKD daerah tersebut harus melobi ke pusat agar formasi dapat diubah agar sesuai dengan ijazah yang dimiliki oleh calon tersebut. 2 Wawancara dengan nara sumber di daerah menjelaskan bahwa untuk penerimaan calon PNS tingkat sarjana, para calon PNS yang bersedia membeli formasi harus membayar berkisar dari 100-150 juta rupiah tergantung pada instansi dan ijazah sarjana yang dimiliki oleh para calon. Beberapa kepala dan staf BKD dan secretariat daerah menjelaskan tentang cara memperoleh formasi dan lobi yang diperlukan agar kualifikasi calon PNS sesuai dengan diinginkan. 3 Pemerintah Kota Banjar selama dua tahun berturut menolak untuk menggunakan jatah formasi yang diberikan oleh Kemen PAN dan RB karena mereka menyadari bahwa pengangkatan PNS baru akan membebani APBD. Tahun 2010 Kota Banjar memperoleh lebih dari 260 formasi PNS tetapi tidak digunakan. 4 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY PP No.41/2007 tidak lagi memadai karena PP tersebut memberi kisaran skala organisasi pemerintah daerah yang sangat besar. Akibatnya, pelaksanaan PP tersebut telah mendorong daerah mengambil pola maksimal sehingga pasca penerbitan PP tersebut, sebagian besar daerah justru miliki jumlah dan skala OPD yang lebih besar. PP No.41/2007 menjadi penyebab dari membengkaknya struktur pemerintahan daerah. Untuk itu, Kementrian PAN dan RB bersama dengan Kemendagri perlu segera membuat PP yang mampu mendorong adanya right sizing OPD. PP baru tersebut nantinya harus menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan penataan kembali struktur birokrasinya. Dengan mereformasi struktur birokrasi sesuai dengan PP baru tersebut maka kebutuhan pegawai dan kualifikasi yang diperlukan dapat dengan mudah ditentukan. Daerah dengan menggunakan PP tersebut menerbitkan peraturan daerah untuk menetapkan Perda SOTK. Untuk menjaga agar OPD yang dibentuk oleh kabupaten/ kota sesuai dengan PP tersebut maka draf rancangan Perda SOTK tersebut harus dikonsultasikan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. Rancangan Perda dapat disahkan oleh DPRD setelah memperoleh persetujuan dari gubernur sebagai wakil pemerintah. Untuk Raperda SOTK pemerintah provinsi, pengesahan oleh DPRD provinsi dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Kemen PAN dan RB dan Kemendagri. Kemendagri bertugas mengecek usulan SOTK tersebut sesuai dengan pengaturan tentang pembagian urusan pemerintahan daerah, sedangkan Kemen PAN dan RB bertugas mengecek apakah penentuan jabatan dalam setiap OPD provinsi telah sesuai dengan PP, standar, dan pedoman yang dibuatnya. Dalam memperkirakan jumlah kebutuhan aparaturnya, provinsi dan kabupaten/ kota membuat laporan tahunan tentang jumlah calon aparatur dan kompetensi yang diperlukan untuk mengisi jabatan yang lowong dalam setiap OPD. Daerah hanya dapat mengusulkan pengangkatan pegawai baru jika ada jabatan yang lowong di OPDnya. Kabupaten/ Kota membuat laporan tahunan tentang jabatan yang lowong dan perkiraan kebutuhan dan kualifikasinya kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, sedangkan laporan tahunan perkiraan kebutuhan aparatur provinsi disampaikan kepada Kemen PAN dan RB. Dengan cara ini maka perkiraan kebutuhan pegawai secara nasional dengan mudah dilakukan. Pemerintah dapat melakukan rekrutasi PNS secara nasional dan mendistribusikannya kepada daerah sesuai dengan kualifikasi yang diperlukan. Cara ini juga dapat menutup beberapa peluang untuk berburu rente dalam rekrutasi PNS yang muncul karena tidak adanya kriteria yang jelas untuk menentukan kebutuhan pegawai dan kualifikasi yang diperlukan. Tidak adanya kriteria rekrutasi PNS yang jelas telah menciptakan peluang bagi para pihak yang terlibat dalam proses rekrutasi menjual fromasi PNS kepada para pencari kerja. 2. Mengembangkan sistem test calon PNS yang mampu mengukur pengetahuan, kecakapan, dan sikap yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan Dengan merekrut calon PNS untuk menduduki jabatan yang lowong dalam struktur birokrasi di daerah maka pemerintah perlu mengembangkan sistem seleksi calon PNS yang mampu mengukur pengetahuan, sikap, dan kecakapan yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan yang lowong. Selama ini rekrutasi PNS dilakukan secara massif dan penilaian 5 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN kelayakan calon dilakukan dengan mengukur pengetahuan umum dari para calon. Hal ini terjadi karena rekrutasi dilakukan hanya untuk mengisi formasi yang ada. Akibatnya, di banyak OPD sekarang ini terjadi pengelembungan jumlah staf pelaksana di setiap OPD. Persoalan yang muncul dalam melakukan rekrutasi berbasis jabatan adalah perbedaan kualitas pendidikan antar daerah. Jika rekrutasi dilakukan calon PNS dilakukan secara nasional maka perbedaan kualitas pendidikan tinggi yang sangat mencolok antar daerah dapat menyebabkan terjadinya perbedaan akses penduduk antar daerah untuk menjadi PNS. Mereka yang menamatkan pendidikanya dari perguruan tinggi terbaik, yang umumnya di Jawa dan Sumatra, akan diuntungkan. Lulusan perguruan tinggi di daerah lainnya yang kualitasnya relatif rendah tidak dapat bersaing secara fair dengan lulusan dari PT di Jawa. Akibatnya, hal tersebut akan dapat mendorong para lulusan SMA untuk berbondong- bondong memasuki PT di Jawa. Untuk mendorong agar sistem tes rekrutasi PNS lebih fair dan memperhatikan perbedaan kualitas lembaga pendidikan antar daerah, maka penerimaan calon PNS berbasis wilayah tertentu dapat dilakukan. Penerimaan calon PNS tetap dilaksanakan secara nasional, tetapi kompetisi antar calon dapat dilakukan secara kewilayahan. Cara ini dinilai lebih mampu menjaga akses secara adil antar calon dari daerah dengan keragaman kualitas lembaga pendidikan dan kemajuan social ekonomi. Pelaksana: KemenPAN dan RB, Kemendagri, Gubernur sebagai wakil pemerintah B. Mutasi Pegawai Masalah: Salah satu masalah yang menonjol dalam bidang kepegawaian pasca pelaksanaan otonomi daerah adalah rendahnya mobilitas aparatur antar daerah dan antar susunan pemerintahan. Ketika transfer pegawai menjadi kewenangan sepenuhnya daerah dan belanja pegawai menjadi salah satu komponen alokasi dasar dari dana alokasi umum (DAU) maka transfer pegawai amat sulit dilakukan. Banyak sekali keluhan dari aparatur di daerah terkait dengan hal ini. Kesulitan untuk memperoleh “lolos butuh� menjadi kendala utama untuk melakukan transfer pegawai antar daerah dan antar susunan pemerintahan. Akibatnya, wawasan aparatur daerah cenderung menjadi amat sempit dan mengarah pada ekslusifitas yang dapat membahayakan wawasan kebangsaan. Aparatur daerah yang seharusnya dapat menjadi salah satu pilar dari NKRI cenderung menjadi semakin terkotak-kotak secara spasial dan secara vertical. Pengkotakan aparatur secara spasial ketika beririsan dengan aspek-aspek primordial seperti kesamaan etnis dan agama dapat melembagakan nilai-nilai primordial yang sempit dalam aparatur sipil di daerah. Akibatnya, sering muncul kecenderungan aparatur dan pemerintah daerah untuk menjadi semakin eklusif berbasis pada nilai-nilai kedaerahan dan primordial. Mobilitas aparatur yang rendah juga membuat kesulitan pada pemerintah untuk mengembangkan wawasan dan kompetensi aparatur daerah. Karena mutasi antar daerah dan antar susunan pemerintahan sulit dilakukan maka mutasi antar jabatan di satu pemerintahan juga mengalami keterbatasan. Seorang aparatur di pemerintah Provinsi NTT menjelaskan bahwa dirinya telah lebih dari 13 tahun tidak pernah mengalami kesempatan bekerja diluar bagian pemerintahan. Sejak tamat dari IPDN yang bersangkutan tidak pernah bertugas di luar Bagian Pemerintahan. Fenomena yang sama dengan mudah juga dijumpai di berbagai kabupaten/ kota di Kalimantan 6 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY Barat dan Jawa Barat. Kondisi seperti ini tentu sangat mengkawatirkan karena dapat membuat aparatur di daerah memiliki wawasan yang sempit dan pengembangan karir yang terbatas. Yang menarik, walaupun secara umum transfer aparatur antar daerah mengalami kesulitan namun transfer keluar dari daerah tertentu, terutama di daerah tertinggal, justru cenderung membesar. Daerah- daerah yang secara social dan ekonomis relative terbelakang cenderung mengalami angka mutasi negative, karena mutasi keluarnya sangat besar sementara yang mutasi kedalam amat kecil4. Sebagai contoh Provinsi NTT yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, dokter, bidan, dan perawat, justru kehilangan banyak tenaga pendidikan dan kesehatan karena terjadi mutasi keluar. Kondisi social ekonomi yang terbatas, membuat tenaga guru dan kesehatan yang ada di NTT cenderung melakukan mutasi ke luar daerah. Pada tahun 2008, BKD Provinsi NTT mengeluarkan izin mutasi keluar NTT tenaga kesehatan dan tenaga guru. 5 Kondisi ini sangat ironis, daerah yang relative terbelakang dan mengalami kekurangan tenaga pendidikan dan kesehatan justru mengalami brain-drain karena tenaga yang ada melakukan mutasi keluar menuju daerah yang relative secara ekonomis menjanjikan. Praktik KKN dalam mutasi kepegawaian menjadi salah satu penyebab dari adanya kejadian ini. Kesimpulan: Pengalihan kewenangan untuk melakukan transfer kepada daerah dan penempatan belanja pegawai menjadi bagian dari alokasi dasar membuat transfer pegawai antar daerah dan antar susunan pemerintahan mengalami kemandekan. Akibatnya, transfer sebagai instrumen untuk pengembangan kapasitas aparatur dan penguatan integritas nasional amat sulit dilakukan. Pada sisi lain sulitnya akses untuk memperoleh izin “lolos butuh� menciptakan peluang bagi pejabat publik yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan izin tersebut untuk melakukan rent-seeking behavior. Izin lolos butuh dapat diperoleh ketika mereka membayar. Akibatnya, daerah yang tertinggal secara social dan ekonomi dan kurang menarik untuk pengembangan karir cenderung semakin mengalami brain-drain karena banyak tenaga pendidikan dan kesehatan yang pindah keluar sementara tenaga yang sama yang masuk (termasuk rekrutasi yang baru) ke daerah tersebut amat kecil. Untuk merespon berbagai masalah terkait dengan pelaksanaan transfer pegawai antar daerah dan antar susunan maka pemerintah perlu menempatkan kebijakan transfer sebagai bagian dari pengembangan kapasitas aparatur, pemerataan pembangunan, dan penguatan aparatur sipil sebagai perekat integrasi nasional. Rekomendasi: 1. Membuat pengaturan yang jelas tentang transfer aparatur daerah dan antar susunan pemerintahan. Pengaturan tersebut harus menempatkan transfer sebagai bagian dari 4 Beberapa kasus mutasi masuk ke NTT umumnya karena pertimbangan keluarga. Seorang dokter yang berasal dari Jawa Timur menceritakan bahwa dia pindah ke NTT karena suaminya beraasal dari NTT. Narasumber tersebut mengatakan “kalau saya tidak kawin sama orang NTT, mana mau saya bekerja di NTT. Mending tetap bekerja di Jawa Timur.� 5 Beberapa informan kunci menjelaskan bahwa izin mutasi keluar NTT untuk tenaga guru dan kesehatan mestinya tidak dikeluarkan karena NTT sendiri sangat kekurangan tenaga di kedua bidang tersebut. Hal ini dapat terjadi karena terjadi praktik KKN dalam pengeluaran izin lolos butuh. Dengan membyar sejumlah rupiah tertentu mereka dapat memperoleh izin lolos butuh. Adanya peluang memperoleh lolos butuh telah mendorong munculnya modus calon PNS mengikuti test di NTT agar peluang diterima menjadi besar, namun setelah2-3 tahun mereka bekerja di NTT kemudian mereka meminta izin lolos butuh dengan cara menyuap kepada petugas di BKD. Penjelasan lebih mendalam tentang hal ini dapat dibaca di Hoesoda, S dan Nurdin N., 2011. 7 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN pengembangan kompetensi, penguatan wawasan nasional (NKRI), pemerataan pegawai, dan pemerataan pembangunan nasional. 2. Pelaksanaan transfer aparatur sipil eselon I dan II dilakukan secara nasional oleh pemerintah/ Komisi Aparatur Sipil Nasional. Sedangkan untuk aparatur sipil lainnya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah. 3. Pelaksanaan transfer harus berbasis kompetensi dan bersifat kompetitif. Aparatur yang mengalami mutasi dan menduduki jabatan di daerah dan atau susunan pemerintahan lainnya harus memenuhi kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan di tempat yang baru. Penempatan aparatur yang mengalami mutasi dalam jabatan dilakukan secara kompetitif. Pelaksana: Kemen PAN dan RB, Kemendagri, dan Gubernur sebagai wakil pemerintah C. Promosi Masalah: Promosi pegawai dalam jabatan tertentu cenderung menjadi arena politisasi dan komodifikasi dalam manajemen kepegawaian daerah pasca pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kegagalan melembagakan sistem meritokrasi dalam birokrasi pemerintah di daerah membuat promosi dan penempatan aparatur dalam jabatan lebih banyak didasarkan atas pertimbangan subyektif seperti: afiliasi politik, kedekatan hubungan, dan pembayaran suap. Prestasi kerja, kompetensi, dan kualifikasi aparatur yang mestinya harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan promosi dan menempatkan aparatur dalam jabatan tertentu cenderung menjadi semakin tergusur oleh politisi dan komodifikasi. Tentang politisasi dalam promosi dan penempatan dalam jabatan banyak informan yang menjelaskan kesulitan aparatur dalam menyikapi pelaksanaan pilkada. Di ketiga provinsi yang terpilih, aparatur di provinsi ataupuan di kabupaten/ kota umumnya merasa bahwa pilkada membuat aparatur ada dalam posisi dilematis. Seorang informan mengatakan bahwa “kami ini ibaratnya mundur kena, maju juga kena, bahkan diampun kita juga kena�. Informan ini menjelaskan dalam kasus pilkada, aparatur di daerah ditempatkan pada posisi sulit, karena kalau mereka bersikap netral, tidak memihak pada calon tertentu akan dianggap tidak mendukung, dan KDH terpilih dan tim suksesnya akan memperlakukan mereka sebagai pihak yang tidak mendukung. Tetapi jika aparatur terlibat dalam tim sukses salah satu calon KDH, aparatur tersebut telah berjudi dengan nasibnya. Seorang camat di NTT menjelaskan bagaimana pilkada membuat polarisasi terjadi dalam birokrasi. Informan ini sebelumnya pernah menjadi seorang Sekwilcam di salah satu kota di Jawa Tengah. Ia menjelaskan pengalamannya ketika mengikuti pilkada di Jawa Tengah, politisasi tidak seperti yang terjadi di kabupatennya sekarang ini. Walaupun Ia merasa tidak berpihak, KDH yang baru dan tim suksesnya menganggap bahwa mereka yang diluar tim sukses sebagai pihak lawan yang harus digusur. Polarisasi bahkan bukan hanya di dalam birokrasi tetapi juga dalam masyarakat karena hubungan kekerabatan di NTT relative sangat kuat sehingga pilkada sering dilihat sebagai pertarungan antar kelompok kekerabatan. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang penempatan jabatan berbasis merit dan bersifat kompetitif, menjadikan calon KDH menjadikan birokrasi sebagai mesin politik dan menggunakan jabatan sebagai instrument politik. 8 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY Tentang penggunaan jabatan birokrasi sebagai instrument politik dijelaskan oleh seorang pejabat di Provinsi NTT yang mengatakan bahwa di salah satu kabupaten di NTT pasca pelantikan bupati baru 26 dari 31 kepala SKPD digusur oleh KDH yang baru. Pergantian kepala SKPD secara masif pasca pelantikan KDH baru lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan, di beberapa daerah juga terjadi kasus yang sebaliknya. Pergantian secara masif kepala SKPD dilakukan oleh KDH yang akan lengser karena sudah habis jabatannya. Seorang KDH mengganti sebagian besar dari kepala SKPD hanya beberapa hari sebelum menyerahkan jabatannya kepada penggantinya. Kedua kasus ini menunjukan betapa tinggi intensitas dari politisasi birokrasi melalui penempatan aparatur dalam jabatan birokrasi. Di samping karena pertimbangan afiliasi politik, pelanggaran prinsip meritokrasi dalam penempatan jabatan birokrasi juga terjadi karena komersialisasi jabatan. Beberapa informan menjelaskan bahwa pembayaran suap untuk memperoleh jabatan dalam birokrasi menjadi semakin lumrah dan terbuka sekarang ini. Seorang informan yang mantan sekretaris daerah di satu kabupaten menjelaskan bahwa “saya diminta menyediakan dana sebesar 250 juta kalau ingin diperpanjang jabatan saya sebagai sekretaris daerah.� Informan tersebut memilih untuk tidak diperpanjang dari pada harus menyediakan suap sebesar itu. Informasi tentang komodifikasi jabatan birokrasi bukan hal baru karena hal seperti ini telah lama terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan bagaiamana kepala daerah menjual posisi dalam birokrasi kepada aparaturnya (Dwiyanto, dkk, 2004). Yang membedakannya, fenomena seperti ini cenderung semakin meluas dan lazim terjadi di daerah. Politisasi dan komodifikasi jabatan birokrasi di daerah memiliki implikasi yang luas bagi pengembangan profesionalisme dalam birokrasi pemerintahan daerah. Salah satu tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mempercepat perbaikan kualitas pelayanan publik. Namun, ketika pelaksanaan otonomi daerah justru diikuti dengan semakin maraknya politisasi dan komodifikasi jabatan birokrasi amat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah dapat mempercepat reformasi pelayanan publik. Ketika mismatch antara kualifikasi pemegang jabatan dengan persyaratan kompetensi cenderung menjadi semakin besar, bisa jadi yang terjadi justru sebaliknya. Tentang fenomena mismatch yang semakin meluas, beberapa informan menjelaskan salah satunya karena semakin banyaknya tenaga guru yang masuk dalam jabatan structural di daerah. Guru sekarang ini cenderung mengalami politisasi karena guru umumnya memiliki pengaruh yang cukup luas di dalam masyarakat. Banyak KDH terpilih yang menjadikan guru sebagai vote getter dalam pilkada yang kemudian menempatkan mereka dalam jabatan structural. Penempatan guru dalam jabatan structural menjadi lebih mudah karena umumnya guru memiliki pangkat yang tinggi. Karena itu tidak mengherankan kalau beberapa anggota DPRD di Provinsi NTT mengeluh karena pelaksanaan otonomi daerah telah membuat profesi guru menjadi ikut menikmati limbah politik pilkada. Mereka mengatakan bahwa “seorang guru matematika yang terbaik di salah satu kota di NTT sekarang telah menjadi seorang camat dan kepala dinas pengelolaan aset dan keuangan di salah satu kota disini juga seorang guru�. 6 Masuknya guru 6Seorang informan yang kebetulan menjadi Kepala Dinas PU di salah satu kota di Jawa Barat menjelaskan bahwa kepala PU di provinsi Jawa Barat yang memiliki latar belakang teknis sipil seperti dirinya sekarang sudah sangat jarang. Kepala PU di daerah sekarang ini kebanyakan latar belakang pendidikannya bukan dari teknis sipil . Karena Dinas PU memiliki banyak proyek fisik yang memungkinkan terjadinya prilaku berburu rente dan suap maka kepala Dinas PU umumnya harus orang yang dekat dengan 9 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN dalam gerbong birokrasi terjadi di banyak daerah menimbulkan kerugian ganda bagi penyelenggaraan pelayanan publik, penurunan kualitas pendidikan dan penurunan kinerja birokrasi di daerah karena birokrasi dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan. Kesimpulan: Potensi birokrasi menjadi mesin pengumpul suara dalam pilkada, telah mendorong para calon KDH dan KDH petahana melakukan politisasi birokrasi. Politisasi dilakukan dengan melakukan promosi dan penempatan aparatur dalam jabatan OPD berdasarkan afiliasi politik, keterlibatan dalam kampanye, hubungan kekerabatan, dan factor subyektif lainnya. Politisasi menciptakan mismatch antara kecakapan pejabat dengan kualifikasi jabatannya, instabilitas birokrasi pemerintahan daerah, dan praktik KKN dalam pengelolaan aparatur daerah. Tidak adanya sistem merit yang mengharuskan penempatan pejabat secara kompetitif, tranparan, dan berbasis pada kompetensi membuat politisasi birokrasi meluas di hampir semua daerah. Jika tidak segera dihentikan, sistem promosi yang berlaku sekarang akan dapat memperburuk kinerja daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pembaharuan sistem promosi dapat dilakukan dengan mengenalkan sistem promosi berbasis pada prinsip merit dan uji kompetensi, transparan, dan kompetitif. pemberlakuan sistem promosi tersebut akan dapat mendorong aparatur untuk meningkatkan kecakapan dan kompetensi Rekomendasi: 1. Kementrian PAN dan RB bersama dengan Kemendagri membuat pengaturan tentang promosi dan penempatan aparatur dalam jabatan berbasis kompetensi dan dilakukan secara transparan dan kompetitif. Untuk itu Kemen PAN dan RB bersama dengan BKN perlu segera menentukan persyaratan kompetensi untuk setiap jabatan sipil. Pengaturan juga harus mencakup tentang pelaksanaan uji kompetensi calon untuk menduduki jabatan aparatur sipil di daerah. 2. Pelaksanaan promosi dan penempatan aparatur sipil di daerah dalam jabatan tertentu harus dilakukan melalui uji kompetensi. Calon yang ditempatkan dan atau dipromosikan adalah calon yang dinyatakan lulus dalam uji kompetensi. 3. Kompetisi untuk menduduki jabatan pimpinan tingkat menengah dan tinggi (senior eksekutif) dilakukan secara nasional, sedangkan kompetisi untuk menduduki jabatan diluar kategori eksekutif senior dilakukan di tingkat provinsi dan menjadi kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Pelaksana: KemenPAN dan RB, Kemendagri, BKN, dan Gubernur sebagai wakil pemerintah D. Manajemen Kinerja Masalah: Manajemen kinerja menjadi salah satu titik lemah dari manajemen aparatur sipil bukan hanya yang dipekerjakan di daerah tetapi secara keseluruhan. Sistem penilain kinerja yang mengacu pada PP No.10/1979 melalui pengisian DP3 sudah lama dikritik banyak pihak, namun sampai sekarang DP3 masih menjadi instrumen penilaian kinerja aparatur yang berlaku. Dasar penilaian KDH dan menjadi bagian dari tim sukses pemenangan pilkada. Banyak lulusan IPDN dan IKIP yang sekarang menjadi kepala DInas PU kabupaten/kota. 10 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY kinerja yang hanya mengandalkan penilaian atasan tanpa indicator yang jelas untuk mengukur berbagai aspek kinerja yang digunakan dalam DP3 membuat penilaian kinerja sepenuhnya menjadi wilayah subyektivitas pimpinan. Akibatnya, pimpinan dalam mengisi DP3 cenderung sekedar memenuhi kebutuhan untuk mematuhi peraturan bukan menjadikannya sebagai instrumen untuk mengukur kinerja bawahannya. Dalam situasi dimana indicator untuk mengukur setiap aspek kinerja tidak dirumuskan dengan jelas, maka pimpinan merasa tidak aman ketika mereka melakukan pengisian DP3 secara serius. Jika pimpinan mengisi DP3 secara serius, karena aspek kinerja dan indikatornya yang ditentukan dalam DP3 tidak jelas, maka ketika bawahan merasa tidak puas dengan penilaiannya maka amat sulit bagi pimpinan tersebut untuk menjelaskan dan mempertahankan argumentasinya. Penilaian yang tidak baik terhadap DP3 seseorang dengan mudah dibawa menjadi masalah suka atau tidak suka dan menjadi persoalan pribadi antara pimpinan dan bawahan. Karena itu umumnya pimpinan mengisi DP3 sebagai sekedar formalitas dan bahkan banyak diantara mereka hanya mengisi DP3 ketika dibutuhkan untuk pengurusan kenaikan pangkat. Bahkan, DP3 yang mestinya dibuat setiap tahun seringkali DP3 tersebut untuk selama 4 tahun berturut-turut dibuat dalam satu tahun terakhir karena diperlukan untuk kenaikan pangkat pegawai yang bersangkutan7. DP3 sebagai instrumen penilaian kinerja tidak lagi memadai untuk menilai kinerja aparatur sipil. Semua informan yang diwawancarai sepakat bahwa DP3 memang tidak lagi relevan untuk menilai kinerja aparatur dan instrumen baru diperlukan untuk mengganti DP3. Namun, persoalan dalam penilaian kinerja bukan hanya persoalan teknis tentang instrumentasi pengukuran kinerja, tetapi jauh lebih luas yaitu tentang tidak adanya manajemen kinerja. Kualitas intrumen yang buruk seperti DP3 hanya salah satu isu besar yaitu tidak adanya manajemen kinerja aparatur di daerah. Banyak informan yang mengatakan bahwa “penilaian kinerja aparatur sepenuhnya adalah wilayah pimpinan dan menjadi sepenuhnya subyektivitas pimpinan untuk menentukan�. Kinerja aparatur lebih banyak ditentukan oleh apa yang mereka lakukan terhadap pimpinan daripada apa yang mereka lakukan dalam pelaksanaan tugas mereka. Budaya birokrasi yang paternalistic cenderung memperkuat persepsi yang dimiliki oleh aparatur daerah bahwa penilaian kinerja sepenuhnya menjadi otoritas dan wilayah kekuasaan pimpinan untuk menentukan. Ketika ditanya tentang perlunya ada peer review (teman sejawat) dalam penilaian kinerja aparatur, beberapa informan memberi tanggapan yang berbeda-beda, ada yang setuju dan tidak setuju. Yang tidak setuju umumnya menganggap penilaian kinerja aparatur menjadi otoritas pimpinan dan penilaian oleh teman sejawat dapat menimbulkan konflik ketika penilaian pimpinan berbeda dengan penilaian koleganya. Namun, banyak informan yang setuju dengan adanya penilaian oleh kolega karena dianggap dapat membuat penilaian menjadi lebih objektif sehingga proses penilaian kinerja menjadi lebih transparan dan mampu mendorong perbaikan kinerja. Namun, terlepas dari isu instrumentasi dan cara penilaian kinerja indikasi bahwa pemerintah daerah umumnya belum menerapkan manajemen kinerja adalah sangat mengkawatirkan. Tidak adanya manajemen kinerja membuat orientasi pemerintah dan aparaturnya tidak focus pencapaian kinerja. Pemerintahan daerah menjadi kegiatan yang rutin berjalan sebagaimana 7 Hoesodo, ibid. 11 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN adanya, tanpa ada hasil yang jelas dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Beberapa informan di pemerintah provinsi dan kabupaten yang diwawancarai membenarkan sinyalemen tentang kecenderungan kegiatan pemerintahan menjadi rutinitas dan tidak jelas orientasinya. Ketika ditanya tentang mengapa kegiatan pemerintahan cenderung tidak jelas orientasi kinerjanya, cenderung berjalan secara rutin beberapa narasumber di pemerintah provinsi menjelaskan hal itu salah satunya disebabkan oleh karena tidak jelasnya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten. Informan di provinsi NTT dan Jawa Barat menjelaskan kesulitan ketika mereka ingin mengembangkan kontrak kinerja untuk para kepala SKPD di pemerintah provinsi. Banyak SKPD yang kesulitan menentukan indicator kinerjanya karena ternyata indicator kinerja yang diusulkan sama dengan indicator kinerja dari SKPD kabupaten/ kota. Hal ini terjadi karena ketidakjelasan pembagian urusan antara pemerinth provinsi dengan kabupaten/ kota membuat duplikasi program dan kegiatan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota amat sulit dihindari. Beberapa informan di dinas kesehatan provinsi dan kabupaten mengatakan bahwa dalam perencanaan kegiatan, mereka sering harus mengintip apa yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat dan provinsi dalam berbagai kegiatan pembangunan kesehatan agar jika terjadi kegiatan yang sama, lokasinya dapat digeser sehingga tidak terjadi duplikasi kegiatan di lokasi yang sama. Mereka menjelaskan bahwa kesamaan program antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten sering terjadi tetapi selalu diusahakan tidak terjadi dalam lokasi yang sama. Ketidakjelasan pembagian urusan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota mempersulit pengembangan manajemen kinerja di daerah. Ketika ada kegiatan yang sama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota yang ada di satu kabupaten/ kota, siapa yang dapat mengklaim hasil dari program yang sama tersebut. Misalnya, program pemberantasan kemiskinan di desa yang dilakukan oleh Provinsi NTT yang disebut sebagai “Anggur Merah�, atau anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah provinsi menganggap bahwa pemberantasan kemiskinan adalah urusan bersama sehingga sah-sah saja kalau pemerintah provinsi memberi tugas pebantuan kepada desa untuk mengembangkan kegiatan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat sebesar 250 juta pertahun. Namun, seorang mantan Bupati di NTT mengatakan bahwa pemerintah provinsi telah mencampuri urusan kabupaten/ kota, ibaratnya “pemerintah provinsi telah menabur benih ikan di kolam kita�. Kalau penurunan angka kemiskinan menjadi ukuran kinerja dari pemerintah provinsi dan juga pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah yang mana yang dapat mengklaim keberhasilan tersebut jika kemudian angka kemiskinan di satu kabupaten/ kota dapat diturunkan? Situasi tersebut tentu mempersulit pengembangan kontrak kinerja baik untuk para pejabat di pemerintah provinsi maupun di pemerintah kabupaten/ kota. Kontrak kinerja hanya dapat dirumuskan ketika ukuran kinerja provinsi dan kabupaten/ kota dapat ditentukan. Untuk menentukan ukuran kinerja yang tepat dari kedua susunan pemerintahan itu maka pembagian urusan antar keduanya harus dapat didefinisikan dengan jelas. Tanpa ukuran kinerja yang jelas amat sulit bagi daerah untuk dapat mengembangkan manajemen kinerja. Kesimpulan: Pengembangan manajemen kinerja pemerintah daerah memerlukan kebijakan yang holistic yang menempatkan manajemen kinerja bukan hanya masalah instrumentasi tetapi mencakup pengembangan budaya kerja dan sistem insentif berbasis kinerja. Pengembangan manajemen 12 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY kinerja hanya dapat dilakukan kalau pemerintah menempatkan penilaian kinerja dalam perspektif yang luas, tidak hanya terbatas pada pembaharuan instrumentasi untuk penilaian kinerja sebagaimana diwacanakan selama ini. Pengembangan manajemen kinerja juga membutuhkan adanya pembagian urusan pemerintahan yang jelas antara susunan pemerintahan. Ketidakjelasan dalam pembagian urusan mempersulit pengembangan kontrak kinerja, yang dapat menjadi salah satu intrumen pengembangan manajemen kinerja. Rekomendasi: Untuk mengembangkan manajemen kinerja di kalangan pemerintahan daerah maka beberapa tindakan berikut perlu dilakukan: 1. Pemerintah perlu memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan, terutama antara pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota. PP N0.38/ 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota dinilai belum mampu memberi pedoman bagi daerah untuk menentukan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/ kota. Duplikasi program dan kegiatan antar susunan pemerintahan sering mempersulit pengukuran kinerja daerah. 2. Pemerintah perlu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada pencapaian indicator kinerja. Daerah perlu didorong dan difasilitasi untuk dapat mengembangkan budaya kerja yang produktif dan berorientasi pada indicator yang telah ditentukan dalam dokumen RPJMD. 3. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang berbasis pada output, bersifat obyektif dan terbuka, melibatkan peer-review. 4. Pemerintah membuat pedoman bagi daerah untuk mengembangkan insentif berbasis pada kinerja. Pelaksana: KemenPAN dan RB, Kemendagri, BKN E. Pelatihan Masalah: Problema utama dalam pengembangan profesionalisme aparatur utamanya yang bekerja di daerah adalah rendahnya akses terhadap pelatihan dan pendidikan. Seorang calon PNS yang direkrut untuk menduduki jabatan tertentu mungkin sudah memiliki kualifikasi teknis tertentu. Namun, dalam pengembangan karirnya aparatur tersebut tentu membutuhkan peningkatan kapasitas dan kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan lain yang lebih tinggi kualifikasinya. Apa yang diperoleh dari tempat pendidikan dan pengalaman kerja tentu tidak memadai lagi untuk menjawab kebutuhan pengembangan karirnya. Karena kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam pengembangan aparatur adalah keniscayaan. Apalagi ketika rekrutasi PNS dilakukan berdasarkan formasi, yang seringkali tidak mengkaitkan antara kualifikasi calon dengan jabatan yang lowong maka kebutuhan untuk memberi pendidikan dan pelatihan kepada aparatur menjadi semakin besar. Namun, sayangnya banyak daerah yang tidak mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kecuali untuk pelatihan penjenjangan. Disamping karena keterbatasan anggaran, rendahnya kepedulian daerah terhadap kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi aparaturnya juga terjadi karena kesalahan persepsi mereka tentang pendidikan dan pelatihan untuk aparatur di daerah. Mereka umum melihat pelatihan aparatur 13 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN sebagai cost bukan sebagai investasi pada staf dan aparatur agar mereka dapat memberi kontribusi terhadap pencapaian visi pembangunan daerahnya. Pendikan dan pelatihan umumnya tidak dilihat sebagai bagian penting dari pengembangan kapasitas daerah. Tidak mengherankan kalau seorang kepala BKD di satu kabupaten mengatakan bahwa pelatihan untuk aparatur adalah satu kemewahan. 8 Tidak mengherankan jika daerah umumnya tidak mengalokasi anggaran untuk pelatihan kecuali pelatihan itu harus dilakukan, seperti Diklat Kepemimpinan. Salah satu penjelasan mengapa daerah cenderung menganggap kegiatan Diklat tidak menjadi bagian dari pengembangan kapasitas daerah karena manfaat pelatihan sering tidak jelas. Seorang informan mengatakan bahwa hasil pelatihan selama ini tidak jelas manfaatnya, baik bagi peserta Diklat ataupun bagi daerah. Misalnya, banyak staf yang telah mengikuti Diklat Perencanaan yang tidak lama kemudian tidak lagi ditempatkan di BAPPEDA. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali diceritakan oleh para informan di daerah. Akibatnya, manfaat dari pelatihan yang diikuti oleh aparatur daerah juga tidak jelas bagi daerah. Tidak adanya perencanaan karir yang jelas dan tradisi promosi berbasis pada merit membuat minat aparatur untuk mengikuti kegiatan Diklat juga rendah. Ketika kompetensi dan kecakapan tidask menjadi pertimbangan utama dalam menempatkan seseorang dalam jabatan tertentu maka minat aparatur untuk membangun kompetensi dalam bidang tertentu juga menjadi rendah. Manfaat dari pelatihan seringkali tidak jelas karena banyak pelatihan yang dirancang oleh daerah bukan untuk peningkatan kapasitas daerah tetapi lebih banyak dilakukan untuk tujuan yang tidak terkait dengan peningkatan kapasitas daerah dan aparaturnya, seperti menghabiskan anggaran dan melakukan perjalanan. Beberapa informan di berbagai kabupaten/ kota yang diwawancari menjelaskan bahwa kabupatennya pernah melakukan Diklat untuk para anggota DPRD di berbagai kota di Jawa9. Ketika pelatihan dirancang lebih untuk memberi kesempatan pada para peserta pelatihan untuk melakukan perjalanan dan menghabiskan anggaran maka pendapat yang mengatakan bahwa pelatihan tidak memberi manfaat yang jelas menjadi benar adanya. Keluhan tentang manfaat Diklat juga disampaikan secara tegas oleh seorang KDH di NTT. Bupati ini mengkritisi pelaksanaan Diklat Kepemimpinan yang menurut pendapatnya beayanya sangat mahal dan manfaatnya tidak jelas. Untuk seorang peserta daerah harus mengeluarkan 60 juta ditambah dengan beaya perjalanan dari daerah ke Jakarta. Daerah harus kehilangan aparatur tersebut selama 3 bulan untuk mengikuti kegiatan Diklat Kepemimpinan 10 . Menurut pendapatnya pemerintah harus memikirkan kembali program Diklat Kepemimpinan dan Diklat Fungsional. Karena manfaat Diklat Kepemimpinan bagi daerah tidak jelas akan lebih baik jika Diklat Kepemimpinan dikurangi intensitasnya dan diganti dengan Diklat Teknis Fungsional. Kritik terhadap relevansi dari Diklat Kepemimpinan juga disampaikan oleh berbagai informan di Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Materi dan cara pembelajaran dalam Diklat tersebut perlu disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi oleh para pimpinan aparatur di daerah, terutama dalam mendorong inovasi dalam pemerintahan. 8 Hoesodo, S dan Nurdin, N., Ibid 9 Fenomena seperti ini lazim terjadi dalam Diklat DPRD di berbagai daerah di Indonesia. Informan tersebut menjelaskan bahwa para anggota DPRD lebih suka melakukan kegiatan DIklat di jawa agar bisa melakukan perjalanan kesana dan memperoleh per diem yang lebih besar. Informan yang lain menjelaskan bahwa di provinsinya rata-rata jumlah hari perjalanan anggota DPRD adalah 221 hari. 10 Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam Hoesodo dan Nurdin, ibid. 14 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY Kesimpulan: Kecenderungan daerah menganggap pelatihan sebagai cost dan bukan sebagai investasi cenderung membuat alokasi anggaran untuk pelatihan sangat terbatas. Daerah umumnya hanya menganggarkan beaya pelatihan untuk DIklat Kepemimpinan. Diklat untuk peningkatan kapasitas teknis amat jarang memperoleh perhatian dari daerah. Hal ini tentu amat merugikan dilihat dari kepentingan untuk meningkatkan kapasitas daerah. Otonomi daerah hanya akan berhasil kalau daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk menyelenggarakan urusan daerah. Untuk itu daerah membutuhkan aparatur yang cakap dan professional. Diklat aparatur harus menjadi kebutuhan strategis daerah dan menjadi bagian penting dari pengembangan kapasitas daerah. Rekomendasi: 1. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang menjamin akses aparatur di daerah terhadap berbagai kegiatan untuk meningkatkan kecakapan dan kompetensi dalam bidang yang sesuai dengan urusan pemerintahan daerah. 2. Pemerintah memperbaharui pengaturan tentang Diklat Kepemimpinan yang mencakup: orientasi, substansi, metodologi, dan mekanisme perekrutan 3. Pelatihan teknis fungsional diarahkan untuk sertifikasi kompetensi. Pemerintah bekerjasama dengan organisasi profesi menyelenggarakan pelatihan untuk memberikan sertifikasi kompetensi dalam bidang yang dibutuhkan bagi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Pemerintah perlu membuat pengaturan tentang hak aparatur di daerah untuk mengikuti pelatihan sebagai bagian dari pengembangan kapasitas aparatur. Pelaksana: LAN, semua kementrian, BKN, Asosiasi Profesi F. Pengembangan Profesi Aparatur Masalah: Profesi aparatur sipil menjadi salah satu aspek penting dalam peningkatan kapasitas aparatur namun cenderung dilupakan. Maraknya politisasi aparatur sebagai efek dari penggunaan birokrasi pemerintah di daerah dan aparaturnya sebagai mesin pengumpul suara dalam pilkada ikut memperburuk citra aparatur sipil sebagai satu profesi. Aparatur daerah yang mestinya bersikap netral dan mengambil jarak yang sama terhadap semua calon KDH, justru sering menjadi bagian dari Tim Sukses calon KDH. Seorang informan yang kebetulan menjadi bagian dari Tim Sukses yang memenangkan pilkada bahkan dengan bangga menjelaskan bagaimana keterlibatannya dalam ikut memenangkan KDH petahana dalam pilkada. Informan ini yang kebetulan seorang kepala SKPD mengatakan bahwa semua SKPD telah diinstruksikan untuk menggunakan anggaran SKPD untuk hibah dalam rangka memenangkan pilkada, kecuali anggaran belanja pegawai. Dalam satu tahun terakhir menjelang pilkada anggaran tidak boleh dicairkan kecuali terkait dengan kegiatan untuk memenangkan pilkada. Karena itu tidak mengherankan kalau pada tahun pelaksanaan pilkada, anggaran untuk hibah kepada masyarakat menjadi berlipat ganda. Hibah tersebut sebenarnya adalah bagian dari politik uang dari KDH petahana. 15 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, politisasi birokrasi juga dapat dengan kasat mata dilihat dari pergantian pimpinan SKPD pasca pergantian KDH. Pergantian KDH selalu diikuti oleh pergantian pimpinan SKPD secara masif. Akibatnya, efek dari Pilkada sering kali menjadi kepanjangan dan tidak mudah untuk disembuhkan dalam waktu yang pendek. Fragmentasi birokrasi menurut pilihan calon KDH yang seringkali beririsan dengan nilai-nilai primordial lainnya seperti hubungan kekerabatan, etnis, dan kesamaan afilisasi politik membuat harapan untuk membentuk aparatur sebagai pemegang profesi yang menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan kelompok, keluarga, dan dirinya menjadi semakin sulit dikembangkan. Politisasi ini membuat orientasi aparatur kepada pelayanan publik menjadi semakin rendah. Sebaliknya, orientasi kepada kekuasaan menjadi semakin menguat. Beberapa informan mengatakan bahwa sebenarnya orientasi pada kekuasaan dapat dimoderasi kalau seandainya pemerintah mendorong pengembangan aparatur sebagai sebuah profesi. Selama ini PNS cenderung ditempatkan tidak lebih sebagai pegawai yang dapat dimobilisasi untuk kepentingan pemerintah. Seorang informan mengatakan hal ini dengan menggunakan contoh Korpri yang oleh pemerintah cenderung dijadikan kepanjangan tangan pemerintah, karena pemerintah menempatkan pejabat stuktural untuk mengurus Korpri. Menurut informan tersebut sebaiknya Korpri didorong untuk menjadi organisasi profesi. Kesimpulan: Pengembangan aparatur sipil sebagai sebuah profesi belum memperoleh perhatian yang memadai baik dari pemerintah ataupun dari aparatur itu sendiri. Akibatnya, aparatur sipil sebagai sebuah profesi mengalami politisasi mengalami politisasi yang sangat intens selama satu decade terakhir ini. Jika hal ini dibiarkan akan membuat profesi aparatur, yang semestinya netral terhadap kepentingan politik praktis dan hanya mengabdi pada kepentingan publik, menjadi terfragmentasi menurut kepentingan politik yang sempit. Orientasi pelayanan aparatur sipil cenderung tergusur oleh orientasi pada kekuasaan. Untuk itu pengembangan profesi aparatur sipil adalah keniscayaan, kalau kita ingin mengembangkan aparatur sipil yang professional, peduli kepada kepentingan publik, dan mampu melayani warganya secara adil. Jika aparatur sipil diperlakukan sebagai profesi, maka profesi tersebut seharusnya memiliki organisasi profesi yang dapat menyantuni pengembangan profesi. Sebagai layaknya profesi yang lain maka profesi aparatur juga nantinya dapat mengembangkan nilai-nilai profesi, code of conduct, and kode etik profesi. Jika hal ini dapat dikembangkan maka pengembangan profesi diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap politisasi aparatur di daerah. Aparatur sipil yang professional dapat menjadi benteng yang tangguh bagi upaya berbagai pihak untuk mendorong birokrasi dan aparaturnya menjadi alat politik dari KDH. Aparatur yang professional juga dapat menjadi pilar yang kokoh bagi upaya untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan akses dan kualitas pelayanan publik. Rekomendasi: Untuk mengembangkan profesi aparatur sipil, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Melembagakan nilai-nilai dasar dan kode etik profesi melalui kegiatan pelatihan dan pengembangan kapasitas aparatur lainnya. Nilai-nilai dasar dan kode etik profesi selama ini kurang memperoleh perhatian dari pemerintah. Sedangkan nilai-nilai dasar dan kode etik ini 16 GRAND DESIGN FOR REGIONAL AUTONOMY mestinya harus dikenalkan pada calon aparatur sipil sejak awal mereka menjadi bagian dari aparatur sipil. Pelatihan pra-jabatan mestinya harus menjadi arena untuk mengenalkan nilai- nilai dasar dan kode etik profesi aparatur sipil. Reorientasi dan revitalisasi pelatihan pra- jabatan perlu dilakukan dengan mentransformasi pelatihan tersebut menjadi arena untuk mengenalkan dan melembagakan nilai-nilai dasar dan kode etik profesi. 2. Agar nilai-nilai dasar dan kode etik profesi dapat dilembagakan dalam kehidupan dan pelaksanaan tugas aparatur sehari-hari maka satuan pengawasan internal di setiap daerah ditugaskan untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan nilai-nilai dasar dan kode etik profesi. 3. Membuat peraturan yang jelas tentang hubungan antara aparatur sipil dengan para pejabat politik dan political appointees. Pengaturan itu dibuat untuk melengkapi nilai-nilai dasar dan kode etik profesi sebagai pegangan bagi aparatur dalam mengambil sikap dan tindakan terkait dengan pelaksanaan tugas jabatannya. Sejauh ini hubungan antara pejabat politik dan political appointees tidak diatur dengan jelas sehingga political appointtees yang mengintevensi kegiatan aparatur untuk kepentingan politik sempit dari kelompok politik dan atau KDH. Pelaksana: KemenPAN dan RB/ Komisi Aparatur Sipil Nasional, Kemendagri, Gubernur 17 MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Referensi Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia. ……………, “Pembagian Urusan Pemerintahan: Inkonsistensi Regulasi, Distorsi Implementasi, dan Implikasinya Bagi Pelaksanaan Otonomi Daerah�, Input Paper untuk DFS, Tidak Diterbitkan. Hoesodo, Sukardi dan Nurliah Nurdin, 2011. Input Paper. Manajemen Kepegawaian Daerah, Input Paper untuk DSF, Tidak Diterbitkan. 18 !